Tag Archives: nasakom

Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (2)

PETA situasi politik Bali di tahun 1965 lebih unik. Sebelum Peristiwa 30 September 1965, terdapat dua kekuatan politik yang sangat mencuat pengaruhnya di daerah tersebut. Pertama, PNI. Kedua, PKI. Di Bali, kekuatan lain di luar keduanya, nyaris tak ada artinya. Tetapi keduanya terlibat dalam rivalitas yang ketat dan tajam di provinsi tersebut. Padahal di tingkat nasional, khususnya di ibukota negara, kedua partai tersebut dianggap duet yang menjadi andalan Soekarno dalam kehidupan politik berdasarkan Nasakom. PKI dan PNI selalu dielu-elukan Soekarno sebagai dua kekuatan terpercaya dalam revolusi Indonesia.

PRESIDEN SOEKARNO DI DEPAN MASSA PKI, SENAYAN 1965. “Selain membela PKI sebagai salah unsur dalam konsep Nasakom ciptaannya, di sisi lain ia terkesan ‘mengecilkan’ peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dinihari sebagai hanya riak kecil dalam samudera revolusi. Sikap politiknya ini memicu dan memberi jalan kepada Jenderal Soeharto dan para perwira pengikutnya untuk mengembangkan lanjut hasrat untuk masuk lebih dalam ke gelanggang kekuasaan. Bila Soekarno ‘membekukan’ PKI, Jenderal Soeharto dan kawan-kawan akan kehilangan alasan untuk bertindak terlalu jauh”. (foto asiafinest).

Dalam suatu jangka watu yang panjang PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat pada umumnya menjadi pendukung PNI, sehingga berkat pengaruh mereka PNI memiliki massa pendukung yang besar di Bali. Namun dalam kehidupan sosial sehari-hari perlahan tapi pasti makin tercipta celah-celah kesenjangan. Rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani, adalah petani dengan kepemilikan tanah yang kecil, bahkan ada yang kemudian tidak memiliki tanah sama sekali. Selama puluhan tahun, sebenarnya terdapat tradisi harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dan petani, melalui sistem bagi hasil yang untuk jangka waktu yang lama diterima sebagai suatu keadaan yang adil. Bilamana terjadi perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan pada umumnya selalu berhasil sebagai media penyelesaian damai. Meskipun tak selalu penyelesaian itu bisa sepenuhnya memuaskan, khususnya bagi kalangan bawah.

PKI muncul memanfaatkan celah-celah kesenjangan sosial yang ada. Partai tersebut melakukan pendekatan kepada para petani dan golongan bawah lainnya, dan ‘mengajarkan’ untuk mulai menuntut lebih Continue reading Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (2)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (4)

MASIH pada tahun 1966, cendekiawan muda dari ITB, MT Zen, sudah menyinggung terjadinya kekerasan kemanusiaan 1965-1966 setelah Peristiwa 30 September 1965. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama bertahun-tahun yang mencapai puncaknya di Lubang Buaya, dinihari 1 Oktober 1965. Setelah terjadinya peristiwa, yang menjadi bukti nyata tentang kekerasan-kekerasan PKI pada beberapa tahun terakhir, Presiden Soekarno tidak mengambil solusi dengan menindaki PKI. “Sebagai akibat dari selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Tengah serta tempat-tempat lainnya di Indonesia”, tulis MT Zen di Mingguan Mahasiswa Indonesia Bandung.

JENDERAL SOEHARTO DAN JENDERAL HR DHARSONO. "Kepala Staf Kodam Siliwangi waktu itu adalah Brigadir Jenderal HR Dharsono, yang juga anti PKI, namun berbeda dengan Ibrahim Adjie, tidak memiliki kedekatan dan simpati terhadap Soekarno. Ketika HR Dharsono kemudian naik menggantikan Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi 20 Juli 1966, peta dukungan politik kepada Soekarno di Jawa Barat samasekali berubah. Ia sangat membantu gerakan anti Soekarno, khususnya dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan kesatuan aksi pada umumnya". (Foto dokumentasi MI)
JENDERAL SOEHARTO DAN JENDERAL HR DHARSONO. “Kepala Staf Kodam Siliwangi waktu itu adalah Brigadir Jenderal HR Dharsono, yang juga anti PKI, namun berbeda dengan Ibrahim Adjie, tidak memiliki kedekatan dan simpati terhadap Soekarno. Ketika HR Dharsono kemudian naik menggantikan Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi 20 Juli 1966, peta dukungan politik kepada Soekarno di Jawa Barat samasekali berubah. Ia sangat membantu gerakan anti Soekarno, khususnya dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan kesatuan aksi pada umumnya”. (Foto dokumentasi MI)

Dari stigmatisasi sampai misteri hilangnya catatan Sang Jenderal. Sebenarnya, pada tahun 1966 maupun pada tahun 1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia pada umumnya cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya MT Zen dan Soe-Hokgie –melalui tulisan-tulisannya, antara lain di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror dan tuduhan tertentu.

Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (4)

Antara KPK-Polri, Bukan ‘Keruk Nasi’

DI MASA puncak kekuasaannya, antara tahun 1960-1965, Presiden/Panglima Tertinggi ABRI Soekarno, bisa memaksa kekuatan-kekuatan sosial-politik yang ada –ikhlas atau tidak ikhlas– untuk bersatu di bawah retorika Nasakom. Semua harus mampu menunjukkan adanya kerukunan nasional, agar bisa ikut serta dalam rezeki pembagian kekuasaan. Namun, karena semua orang juga tahu bahwa di belakang ‘kerukunan nasional’ itu ada suasana intip mengintip bahkan jegal menjegal, maka di kalangan politik maupun di masyarakat muncul akronim ‘keruk nasi’. Meskipun akronim tersebut tak terlalu jelas semiotika maupun filosofinya, tetapi konotasinya jelas sebagai suatu kerukunan nasional yang semu. Semua bersatu hanya karena faktor rasa ‘takut’ kepada kekuasaan Soekarno di satu pihak, dan di pihak lain agar tidak ketinggalan memperoleh porsi kekuasaan.

PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO-KAPOLRI JENDERAL TIMUR PRADOPO, 8 OKTOBER 2012. “Tak perlu pula ada suatu MOU yang bisa menjadi alat penafsiran baru terhadap bunyi undang-undang yang sudah sangat jelas, sehingga malah mengarah menjadi satu bentuk persekongkolan dalam pelaksanaan hukum. Paling tidak, menjadi semacam kompromi model ‘keruk nasi’, yang pada saatnya tergelincir menciptakan peluang bagi-bagi rezeki ‘korupsi dalam pemberantasan korupsi’…”. (download presidenri.go.id)

Apakah kemarin, setelah pidato 8 Oktober Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, peredaan temperatur yang terjadi di antara para pihak dalam konflik KPK-Polri adalah dalam pola ‘keruk nasi’ juga? Katakanlah terjadi ‘kerukunan’ karena terpaksa, khususnya bagi Polri, karena bagaimanapun institusi ini secara hirarkis memang ada di bawah Presiden. Jadi bila Presiden menegur cara penanganan perkara atau menegur polisi saat melampaui atau menabrak undang-undang, tak serta merta bisa disebutkan sebagai intervensi. Otonominya hanyalah menyangkut aspek juridis-materil dari kasus yang ditangani penyidik Polri, sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tapi tidak diatur rinci dalam UU No. 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tahun 2002. Tetapi, idenpendensi itu tak bisa dibandingkan dan disamakan dengan kebebasan mutlak hakim yang tak bisa diintervensi dalam mengambil putusan hukum atas satu perkara.

‘Kerukunan’ atau tepatnya kepatuhan yang terpaksa, sedikit atau banyak, memang Continue reading Antara KPK-Polri, Bukan ‘Keruk Nasi’

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (1)

PERGOLAKAN politik dan kekuasaan tahun1965-1966, telah menempatkan Kolonel –kemudian menjadi jenderal– Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang dipimpinnya berada dalam fokus sorotan perhatian. Selama setidaknya dua puluh empat tahun, hingga akhir hayatnya 9 November 1989, sepenuhnya ia dikagumi sebagai pahlawan penyelamat Indonesia karena berhasil menumpas Gerakan 30 September 1965. Dan untuk beberapa lama setelahnya, searah jarum jam, ia tetap dikenang sebagai seorang jenderal idealis di tengah pergulatan kekuasaan. Dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 itu, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo digambarkan dalam pengibaratan bagaikan anak panah yang melesat dari balik tabir blessing in disguise yang menghadirkan satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Namun anak panah ini kemudian disingkirkan agar tak mengganggu kelanjutan jalannya kekuasaan yang telah berubah dari jalur idealisme awal saat kekuasaan diktatorial Soekarno diakhiri.

JENDERAL SOEHARTO DAN KOLONEL SARWO EDHIE WIBOWO. “Secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chaerul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu”. (foto download).

Namun belakangan ini, nama Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo –justru setelah almarhum– kembali diletakkan di pusat sorotan, terkait Peristiwa 30 September 1965. Kali ini, dalam arah melawan jarum jam, ia digambarkan menjalankan suatu peran berdarah, khususnya pada masa epilog Peristiwa 30 September 1965. Ketika bandul penulisan tentang peristiwa tahun 1965 itu berayun terlalu ke kiri, pasca Soeharto, perannya sebagai komandan satuan pembasmi PKI dan para pengikutnya, tahun 1965-1966 diungkapkan dalam konotasi kejahatan kemanusiaan.

Benarkah sang jenderal pujaan kalangan perjuangan tahun 1966 itu, terlibat dalam dosa kejahatan kemanusiaan bersama Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (1)

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (4)

SASARAN utama provokasi dan kekerasan oleh massa PKI di Jawa Tengah pada masa prolog Peristiwa 30 September 1965, adalah para pengikut PNI. Padahal, di tingkat nasional, PNI dan PKI seolah-olah terkesan kuat sebarisan dalam barisan Nasakom. Di tubuh PNI kala itu PKI bahkan berhasil ‘menanam’ seorang kadernya, Ir Surachman, dalam posisi penting sebagai Sekertaris Jenderal DPP PNI, mendampingi Ketua Umum Ali Sastroamidjojo SH. Itu sebabnya kemudian dalam pergolakan politik tahun 1966 ada penamaan PNI Asu, untuk membedakan dengan faksi PNI Osa-Usep yang menolak pengaruh unsur kom di tubuhnya.

AIDIT DAN POSTER PKI. “Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Bagi PKI ini menjadi antiklimaks, setelah sebelumnya di masa Nasakom sangat agresif menjalankan teror mental terhadap lawan politiknya di seluruh Indonesia”. (download anam78.blogspot.com/kompasiana.com)

Kenapa pengikut PNI di Jawa Tengah menjadi sasaran utama PKI, tak lain karena pada waktu itu, pengikut-pengikut PNI di Jawa Tengah dominan dalam jabatan-jabatan pemerintahan daerah, dominan dalam dunia usaha dan memegang kepemilikan terbesar dalam pertanahan. Sedangkan sasaran politik PKI adalah pemerataan kepemilikan tanah dengan cara radikal, dan untuk jangka panjang pemerataan kekayaan. Secara ideal, pemerataan tentulah baik, namun bila dilakukan dengan cara paksa dan radikal melalui kekerasan, sama artinya dengan penjarahan. Di Jawa Timur, sementara itu, para haji pengikut NU lah yang menjadi pemilik areal terluas tanah-tanah pertanian maupun dalam berbagai bentuk penggunaan tanah lainnya. Para pengikut NU juga unggul dalam kehidupan ekonomi lainnya. Maka, di provinsi tersebut, aksi radikal massa PKI dalam pertanahan dan perang terhadap apa yang mereka namakan ‘setan desa’ lebih tertuju kepada para pengikut NU.

Bisa dipahami bila kemudian pada masa epilog, saat terjadinya pembalasan dendam sosial politik di Jawa Timur, pelaku terdepan dalam peristiwa tersebut adalah massa NU, khususnya Barisan Ansor Serba Guna dari Pemuda Ansor. Kita ingin kembali mengutip pemaparan dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” –yang untuk sebagian pernah dimuat di blog sociopolitica Continue reading Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (4)

Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (3)

SETELAH berakhirnya masa kekuasaan formal Jenderal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI.

PARA PEMIMPIN PKI, DN AIDIT CS, BERSAMA BAPAK BESAR KOMUNIS CHINA MAO-ZEDONG. “Setelah PKI ‘berlalu’ karena pembubaran dan setelah surutnya komunisme secara global, ternyata ideologi dan aliran totaliter lainnya tidaklah ikut berakhir, untuk tidak tidak menyebutnya justru lebih menggejala. Tampilannya beraneka ragam, bisa dalam bentuk-bentuk aksi sepihak yang berkecenderungan kuat ‘menghakimi’ sendiri, bisa dalam bentuk sikap moralisme dengan bermacam-macam pretensi, ataukah sikap ber’demokrasi’ yang hanya mengenal haknya sendiri dan tidak menghargai hak orang lain, dan lain sebagainya”. (gambar asiafinest). BERIKUTNYA DI SOCIOPOLITICA: KISAH KORUPSI PARA JENDERAL

Bila sebelum ini penulisan versi penguasa masa Soeharto banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang tak kalah buruknya, bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Dalam sorotan terhadap kekerasan kemanusiaan yang terjadi di seputar peristiwa, fakta adanya situasi balas berbalas yang sama kejinya di semua pihak, cenderung diabaikan. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan. Dan kali ini, mereka yang selama ini ada di sebelah kanan, cenderung bersifat reaktif bertahan dan sesekali melontarkan tuduhan tentang ‘bangun’nya kembali paham komunis, meski secara global sementara itu kutub ideologi komunis praktis sudah roboh, atau paling tidak, jauh surut mendekati wilayah titik nol.

Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan Continue reading Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (3)

Abu Bakar Ba’asyir, Kisah ‘Don Kisot’ dari Ngruki (2)

SETELAH Peristiwa Bom Bali, Abu Bakar Ba’asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo (14 Oktober 2002), dan mengatakan bahwa peristiwa ledakan di Bali tersebut merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Markas Besar Polri melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia itu (17/10), namun Ba’asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME. Namun, berdasarkan pengakuan Al Faruq –sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali–  yang diterima tim Mabes Polri di Afganistan, Ba’asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI (18/10).

Kemudian, Ba’asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003, dan divonis 2,6 tahun penjara (3 Maret 2005). Ia dibebaskan pada 14 Juni 2006. Namun, Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaeda di Aceh (9 Agustus 2010). Walaupun banyak kontroversi yang terjadi selama masa persidangan, Ba’asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (16 Juni 2011) setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.

Belum banyak terungkap dari aktivitas NII
Ada dua kejadian yang berujung pada pelabelan Abu Bakar Ba’asyir sebagai biang teroris di Indonesia, yaitu aktivitas NII dan kegiatan intelijen internasional yang berimpit kepentingan memerangi kelompok Islam radikal. Menurut AM Fatwa, tokoh aktivis dakwah yang dituduh terlibat dalam kerusuhan Tanjung Priok (1984) dan dihubungkan dengan aksi Komando Jihad –sekarang Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD)– di balik aksi NII berupa pemboman yang terjadi pada waktu dulu, ada peran Ali Moertopo, petinggi militer Indonesia, sebagai aktor penting yang bermain di balik aksi radikal tersebut. “Dia mengadopsi konsep komando jihad Abdul Kadir Jaelani,” ungkapnya di tempat kerja, Kamis (28/4). Komando jihad Abdul Kadir dinilainya tidak masalah karena merangkul anak muda untuk melakukan aksi-aksi positif, mengaktualisasikan potensi diri, dan mengembangkan minat, dan bakat. Sedangkan, komando jihad bentukan Ali, cenderung mengarah kepada aksi-aksi radikal yang meresahkan, bahkan mengancam keamanan dan pertahanan negara. Fatwa menyebutkan, mendiang Ali Moertopo merekrut mantan pejuang DI/TII yang kini dinamakan Negara Islam Indonesia (NII) untuk melakukan aksi-aksi radikal. (Republika.co.id, Jakarta, Kamis, 28 April 2011).

Awalnya, dengan dihapuskannya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang sila Ketuhanan dalam Piagam Jakarta, terjadi perdebatan panjang antara golongan Islam dan golongan nasionalis. Mohammad Natsir, wakil golongan Islam dari Masyumi, menyatakan dengan tegas bahwa Islam harus menjadi dasar negara Indonesia. Dengan kekalahanan Masyumi dalam Pemilu 1955, namun dengan perolehan suara 45,2% yang menggambarkan realitas kekuatan umat Islam, menyebabkan kelompok Islam kembali menuntut agar naskah asli Piagam Jakarta diakui sebagai kaidah dasar negara dan peraturan perundangan.
Untuk meredam perdebatan ini, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan setahun kemudian, ia memperkenalkan ideologi Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) sebagai upaya untuk menyatukan ketiga ideologi dominan dalam masyarakat. Tidak lama kemudian, untuk meredam kembali munculnya isu negara Islam, Soekarno meminta Masyumi membubarkan diri, dan menyingkirkannya dari DPRGR yang dibentuk Soekarno setelah dibubarkannya parlemen hasil Pemilu 1955.
Setelah mengalami penekanan yang dilakukan oleh Soekarno kepada golongan Islam yang mendukung pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar negara (Masyumi dan DI/TII) tersebut, jatuhnya Orde Lama dan berkuasanya Orde Baru adalah sebuah harapan baru bagi mereka. Tetapi, di awal pemerintahannya, Soeharto ternyata menunjukkan sikap antipatinya terhadap golongan Islam jalur keras tersebut dan mulai merangkul golongan sosialis. Pemerintah Orde Baru menjuluki PKI sebagai “ekstrim kiri” dan Islam mendapatkan julukan “ekstrim kanan”. Berbagai sumber menyatakan, sikap Soeharto ini merupakan perwujudan dari paranoia pada ancaman kekuatan Islam terhadap kekuasaannya. Bagaimanapun, kelompok Islam radikal itu memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno, selain karena kenyataannya bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam.

JENDERAL ALI MOERTOPO. “Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif”. (Foto Tempo/Syahrir Wahab)

Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal tersebut, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif.

Puncak dari sikap represif Orde Baru tercermin dalam SU-MPR 1978 dan UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pengaturan mengenai Partai Politik dan Golkar tersebut, Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan. Tentu saja kebijakan Pemerintah tersebut mendatangkan polemik di berbagai ormas Islam. Namun,  pada akhirnya, ormas-ormas Islam memilih untuk berdamai dengan Pemerintah dan menjadikan Pancasila sebagai anggaran dasar ormas-ormas tersebut. Berbanding terbalik dengan ormas-ormas Islam tersebut, para aktivis dakwah kampus menolak keras Pancasila. Menurut mereka, menerima Pancasila berarti melakukan tindakan syirik. Selain itu, konsep nasionalisme menurut mereka sama dengan paham ashobiyah (kesukuan) dalam bentuk baru.

Namun, permainan yang dijalankan Ali Moertopo itu tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro dan didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.

Motif perang Amerika Serikat melawan kelompok Islam radikal
Pada pihak lain, dengan runtuhnya imperium Uni Soviet pada tahun 1989, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adikuasa (super-power) di dunia. Tidak heran, bila Amerika Serikat berusaha mempertahankan dan meningkatkan perannya sebagai pemimpin dunia, yang dipandang “lebih efektif ketimbang pemimpin Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)”. Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush yang disampaikan di depan Kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 September 2002, di dalam dokumen sebanyak 31 halaman dengan judul “The National Security Strategy of United States of Amerika”. Amerika Serikat menurut doktrin itu harus meningkatkan upaya memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke seluruh kawasan Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya ada di 120 negara, diperluas menjadi 160 negara. Tujuannya, untuk menjamin kedudukan dan peran White Americana, sebagai pemelihara perdamaian dunia di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Untuk mengamankan kepentingan itu, Amerika Serikat membentuk sebuah organisasi super-intelligence bernama “Proactive Pre-Emptiv Organization Group” (P2OG), dengan tugas melakukan operasi-operasi intelijen atas dasar “pukul dahulu urusan belakang”.

Prinsip ini sesuai dengan ancaman Presiden Bush kepada semua negara, “if you âre not with us, you âre against us” (kalau tak mendukung kami, anda adalah musuh kami). Serangan Bom Bali (12 Oktober 2002) dan Makassar (6 Desember 2002) merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang baru dari Amerika Serikat. Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Donald Rumfield, operasi semacam itu ditujukan untuk memancing keluarnya “tikus-tikus muslim radikal dari sarangnya.”
Karena itu, jelaslah motif Amerika Serikat memerangi kelompok Islam radikal, yang ditampilkan sebagai sosok Al Qaeda, untuk sebagian merupakan wujud arogansi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia. Padahal, menurut Brahma Chellaney, Guru Besar Studi Strategi pada Center for Policy Research di New Dehli, pengarang buku “Asian Juggernaut” dan “Water Asia’s New Battleground”, pada tahun 1980-an pemerintah Reagan menggunakan Islam sebagai alat ideologis untuk mendorong perlawanan bersenjata melawan tentara pendudukan Soviet di Afganistan. Pada 1985, dalam sebuah upacara di Gedung Putih yang dihadiri beberapa orang pemimpin mujahidin –pejuang-pejuang jihad yang kelak berkembang menjadi Taliban dan Al Qaeda– Reagan menoleh ke arah tamunya dan berkata, “Tuan-tuan, ini merupakan cerminan moral dari bapak-bapak pendiri Amerika” (Koran Tempo, 23 November 2011).

Pelajaran yang bisa ditarik dari upaya pemerintah Obama sekarang untuk berdamai dengan Taliban, yang tidak menghiraukan pengalaman Amerika Serikat akibat mengikuti kepentingan sesaat, adalah pentingnya fokus pada tujuan jangka panjang. Pelajaran kedua, perlu keberhati-hatian dalam melatih pejuang-pejuang Islamis dan mengucurkan senjata-senjata yang mematikan kepada mereka guna membantu menggulingkan suatu rezim. “Upaya melawan terorisme Islamis hanya bisa berhasil jika negara-negara tidak memperkuat bentuk-bentuk fundamentalisme Islamis yang menganjurkan kekerasan atas nama negara”, tulis Brahma. Sayangnya, dengan pelajaran dari masa lalu yang tidak dihiraukan Amerika Serikat itu, sekali lagi kelompok-kelompok ekstremis tersebut siap memberi pukulan pada mereka.

Namanya masih disebut-sebut pada setiap aksi teroris
Melihat situasi sekarang, nampak kecenderungan gerakan radikal sempalan NII, seperti JI (Jamaah Islamiyah), yang tidak lagi mau berjihad, walaupun tetap melihat jihad sebagai sesuatu yang penting, atau mungkin sudah merasa kekuatan mereka tidak cukup lagi mampu untuk menghadapi musuh. Menurut Sidney Jones, penasehat senior International Crisis Group (ICG) yang juga pengamat terorisme, “Sekarang mereka melihat jihad terlalu lemah dan juga sangat kontra produktif” (Koran Jakarta,1 Mei 2011).

Menurut laporan International Crisis Group tentang terorisme di Indonesia yang berjudul “Small Groups Big Plans” April 2011, setelah organisasi JI melemah, terlihat gejala munculnya kelompok-kelompok kecil berjejaring lokal yang lebih longgar dalam mengakomodasi individu yang ingin “berjihad” dengan biaya lebih rendah. Kelompok-kelompok kecil itu beririsan dengan kelompok Aman Abdurahman (bom Cimanggis), Tim Hisbah (bom Cirebon) dan Jamaah Anshorut Tauhid (Kompas, 27 Desember 2011). Nama Ba’asyir masih selalu disebut-sebut.

Masalah kita, mengapa pemerintah sepertinya masih membiarkan aksi gerakan radikal ini terus berlanjut?

Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam –mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (7)

PRAKTIS sepanjang September 1965, PKI menyerang secara agresif, lawan-lawan politiknya, terutama kelompok-kelompok tentara yang dikaitkan dengan Jenderal AH Nasution. Seraya menggambarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal kepada Soekarno, Harian Rakjat 4 September menulis bahwa para perwira tentara itu dalam pola maling teriak maling menuduh seakan-akan PKI mau melakukan kup. Tetapi sementara itu, pada tanggal 9 September adalah DN Aidit sendiri yang menggambarkan akan terjadinya sesuatu dengan mengatakan “Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar”. Ucapan ini diperkuat Anwar Sanusi. Lima hari kemudian, 14 September, di depan sidang nasional Sobsi Aidit mengatakan bahwa “yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota. Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi, kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara”. Akronim kapbir digunakan untuk kapitalis birokrat. Di depan karyawan BNI, 17 September, Aidit mengatakan “Kabinet sekarang belum Nasakom, hanya mambu Nasakom”. Lalu 21 September di depan Sarbupri, Aidit menyatakan “Jangan berjuang untuk satu ikan asin…. Jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam”. Seraya menggambarkan bahwa para menteri hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno, ia sebaliknya melukiskan “kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka”.

SOEKARNO DAN AIDIT. “…. Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI ‘ternyata menyeleweng’ dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan membubarkan HMI”.(Repro: applet.magic.com)

Paling agresif adalah ucapan-ucapan Aidit di depan Kongres III CGMI 29 September 1965, “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat. Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi berani”. Pada acara itu Aidit melancarkan serangan khusus kepada HMI yang beberapa waktu sebelumnya sempat dibela oleh Ahmad Yani. Bahkan sebenarnya Aidit malam itu seakan ‘melawan’ Soekarno ketika ia menanggapi pidato Waperdam II Leimena. Sang Waperdam yang berbicara sebelum Aidit, malam itu mengatakan bahwa sesuai sikap Presiden Soekarno, hendaknya HMI tak perlu lagi dipersoalkan lebih lanjut. Menurut Leimena, bukankah beberapa hari sebelumnya, 22 September, Presiden telah menyatakan penolakannya terhadap tuntutan pembubaran HMI yang disampaikan kepadanya? Namun Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI “ternyata menyeleweng” dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan membubarkan HMI.

Sesuatu yang ikut memberatkan PKI di belakang hari adalah editorial Harian Rakjat pada tanggal 30 September, yang berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil”. Editorial ini seakan membayangkan suatu pengetahuan tentang rencana PKI berkaitan dengan kematian para jenderal melalui suatu hukuman mati oleh rakyat atau kekuatan revolusioner. Akumulasi pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI, terutama Aidit, serta apa yang hitam putih termuat dalam Harian Rakjat, di belakang hari ibarat mozaik yang setelah disusun menjadi sebuah gambar, telah mendorong munculnya opini kuat tentang keterlibatan dan peran PKI sebagai otak gerakan makar tanggal 30 September 1965.

Jenderal Nasution yang pada bulan September itu banyak menjadi bulan-bulanan serangan kelompok politik kiri maupun Soekarno, lebih banyak berdiam diri, dalam arti tak banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan menanggapi serangan-serangan yang ditujukan pada dirinya. Bahkan serangan tentang keterlibatan isterinya dalam suatu kolusi bisnis yang memanfaatkan kekuasaan suami, juga didiamkan Nasution. Dalam suatu rapat raksasa 29 September –suatu model pengerahan massa pada masa itu– di lapangan Banteng yang dihadiri lebih dari seratus ribu orang, sebagian besar terdiri dari pelajar yang dikerahkan IPPI pimpinan Robby Sumolang, ada aksi tunjuk hidung terhadap kapbir, setan-setan kota dan kaum koruptor. Empat nama setan kota yang ditunjuk hidungnya adalah Hein Siwu, Pontoan, Kapten Iskandar dan seorang insinyur pemilik pabrik tekstil bernama Aminuddin, yang nama-namanya sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung Brigjen Sutardhio. Menurut Nasution, nama yang disebut terakhir, Ir Aminudin, bersama Hein Siwu, dikait-kaitkan dengan isterinya dalam urusan bisnis. Nasution memang pernah memenuhi undangan Aminuddin untuk meninjau pabrik tekstil milik Aminuddin yang terletak di daerah Cawang. Pabrik itu, “didesas-desuskan sebagai milik saya, yang diurus oleh Ir Aminuddin”. Kejadian sebenarnya dari hubungan itu, menurut Nasution adalah bahwa Hein Siwu dengan diantar oleh Kolonel Hein Victor Worang pernah datang untuk menyumbang kegiatan sosial Nyonya Sunarti Nasution.

Sepanjang September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo Sumpeno.

Malam hari tanggal 30 September 1965, Nasution memberi ceramah mengenai Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), tanpa point-point yang eksplosif secara politis. “Saya diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan Kolonel Isa Edris. Rupanya selama saya berceramah ada kelompok pemuda yang tidak dikenal yang terus mengawasi, sehingga terjadi bentrokan dengan para mahasiswa yang bertugas sebagai penjaga keamanan”. Pada malam yang sama, menurut Nasution, iparnya yang bernama Sunario Gondokusumo, melihat Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam Jaya, memeriksa penjagaan di rumah Jenderal Nasution. Tetapi secara umum, menurut kesan Nasution sendiri tentang keadaan sekitar kediamannya pada 30 September malam itu, tidak ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal dari Brigif I pun tidak melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka bergiliran tidur”. Waktu Nasution tiba di rumah dekat tengah malam, isterinya telah tidur bersama puterinya yang bungsu, Ade Irma. Sebagaimana biasanya pula, mereka tidur dengan jendela terbuka untuk mendapat hawa dingin dari luar. “Kelak saya mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel Ali Ebram”.

Pada pekan terakhir September Nasution banyak berlatih golf karena akan mengikuti pertandingan golf dalam rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober. Nasution sendiri menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan secara sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan show of force, dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga, GanefoGames of the New Emerging Forces– militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara sahabat yang tergolong sebagai Nefos. Tetapi ini tidak sempat lagi dilaksanakan karena alasan teknis dan keterbatasan waktu, meskipun sempat dilakukan sejumlah persiapan awal dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam kepanitiaan duduk antara lain Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.

Perjalanan keliling ke berbagai daerah sepanjang September dilakukan Jenderal Nasution tanpa mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang mengundang tanggapan. Sebaliknya, berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit banyak melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang bulan September. Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI sedang berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan terkesan ingin menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar pengaruhnya kelak dalam rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30 September 1965 malam dan pada masa-masa berikutnya segera setelah itu.

Seperti digambarkan Soebandrio, memang Soekarno menerima begitu banyak laporan tentang perkembangan terakhir. Ini terjadi boleh dikatakan hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya isu Dewan Jenderal– dan meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan adalah karena laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan prasangka tertentu kepada sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada suatu rencana ‘pembenahan’ yang untuk sebagian besar, beberapa waktu kemudian ternyata berkembang di luar kendalinya sendiri.

Berlanjut ke Bagian 8

Koalisi ala SBY: Pembaharuan Politik Yang Tersesat di Jalan Politik Pragmatis (3)

APAKAH koalisi yang diintrodusir Susilo Bambang Yudhoyono pada akhirnya akan menuju Dwi Partai? Secara teoritis, itu mungkin saja. Tetapi dengan melihat apa yang menimpa koalisi SBY sejauh ini, yang penuh salah paham dan salah tingkah, jangankan menuju Dwi Partai, menjadi dwi group saja, yakni pengelompokan politik berdasarkan perbedaan program antara kelompok posisi dan oposisi, pun masih jauh.

Koalisi yang dibentuk SBY diambang pelaksanaan pemilihan umum, adalah koalisi yang betul-betul berdasarkan pragmatisme kepentingan politik sesaat, demi kekuasaan, khususnya dalam pemilihan presiden. Partai Golkar bahkan bergabung setelah Pemilihan Presiden 2009-2014 usai dan diketahui pemenangnya. Namun karena SBY tampaknya membutuhkan mayoritas pendukung di parlemen, ia mengajak Golkar bergabung. Hal ini yang sering membuat iri beberapa anggota koalisi lainnya, bahkan juga di internal Partai Demokrat kepada Golkar yang dianggap tak ikut berkeringat untuk SBY tapi kemudian mendapat posisi penting di Sekretariat Gabungan Koalisi. Banyak ulah lagi, demikian konon kata orang dalam.

MENGERITIK SISTEM KEPARTAIAN LAMA. “Sistem ini memiliki kecenderungan membawa perpecahan di dalam masyarakat, terutama di masa awal, karena terlalu banyaknya partai yang melakukan persaingan. Karena tak ada yang mampu menguasai mayoritas, kuat kecenderungan terjadinya koalisi”.(Karikatur T. Sutanto, 1967)

Karena setiap anggota koalisi masih lebih mengutamakan kepentingan politik-khususnya masing-masing, maka tindak-tanduk politik mereka pun bisa silang menyilang. Mereka hanya bersatu dalam menikmati porsi di kabinet, tetapi di parlemen para wakil partai melakukan manuver sesuai kepentingan eksklusif partai mereka masing-masing, bahkan kadangkala sekedar kepentingan kelompok perorangan dengan pengatasnamaan partai. Sebaliknya, SBY dan kalangan petinggi Partai Demokrat lainnya, lebih menginginkan anggota-anggota parlemen dari koalisi yang manut meskipun bukan juga model yesmen atau anggota parlemen model togok seperti di masa Soekarno 1960-1965. Kata togok terasosiasi kepada tokoh Togog dalam pewayangan yang sikapnya memang togok.

Parlemen togog pun pernah dimiliki Inggeris di suatu masa. Menurut Abdullah Sjahir SH dalam sebuah tulisannya di tahun 1967, pernah dalam sejarah demokrasi dan parlementarisme Inggeris dikenal adanya Romp-Parliament atau parlemen togog yang berarti parlemen yes-men. Hal ini menunjukkan adanya krisis demokrasi yang sudah serius. Sebab, parlemen yang fungsi pokoknya seharusnya adalah lembaga legislatif yang harus menyuarakan suara rakyat dalam konteks vox populi vox dei, sebagai faktor dominan tegaknya demokrasi, bahkan malah menjadi faktor yang mengubur demokrasi itu sendiri. “Kalau kita selidiki mengapa sampai terjadi demikian, jawabannya karena terjadi krisis kepartaian… Partai-partai yang ada pada waktu itu tidak lagi sanggup menempati tempatnya yang terhormat untuk mengemban suara hati nurani rakyat”. Pemimpin-pemimpin partai waktu itu lebih merupakan para yes-men plus royalist quo le roi, yaitu para Togog yang “lebih raja dari rajanya sendiri”.

Apakah sikap “lebih raja dari rajanya sendiri” itu? Barangkali, kurang lebih, bila raja mengatakan sejengkal, maka mereka bilang sedepa. Pokoknya mereka bisa bersuara lebih nyaring, berbuat lebih ‘lebay’ dari raja. Kalau raja menunjukkan rasa marah kepada sesuatu, mereka bisa menunjukkan kemarahan yang lebih hebat lagi. Di hari-hari kemarin ini, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecam beberapa anggota koalisi yang bersikap tak sejalan lagi, maka beberapa orang di lingkaran SBY dan atau di kalangan Partai Demokrat, sudah sampai kepada omongan mengeluarkan sang pembelot dari koalisi dan mendepak ‘wakil-wakil’nya dari kabinet melalui suatu reshuffle. Saat The Age dan The Sydney Morning Herald ‘menyerang’ SBY, sejumlah orang di sekitar SBY mampu memperlihatkan sikap lebih marah yang dilahirkan dengan kata-kata yang lebih pedas dari sang presiden sendiri. Apa ini semua belum sampai atau sudah masuk royalist quo le roi?

Parlemen masa kerja 2009-2014 ini mungkin belum perlu dikatakan romp-parliament. Tapi perilaku Togog sudah sering dipertunjukkan, paling tidak kepada para pemimpin partainya, di tangan siapa masa depan karir politiknya masing-masing tergenggam. Kalau tidak berperilaku Togog dan lebih memilih hati nurani karena idealisme, bisa mengalami nasib seperti yang dialami dua anggota Fraksi PKB di DPR-RI, Lily Wahid dan Effendie Choirie, terkait sikap berbeda mereka dalam soal Angket Perpajakan.

Secara menyeluruh, parlemen kita sekarang ini merupakan model campuran antara parlemen sekitar tahun 1955 dalam sistem parlementer dan parlemen model Togog 1959-1965, plus perilaku ala parlemen masa Harmoko di bagian akhir kurun waktu kekuasaan Soeharto. Dalam kehidupan politik parlementer sekitar tahun 1955 berlaku sistem banyak partai, sedang pada tahun 1959-1965 jumlah partai yang ada sedikit berkurang meskipun tetap bersituasi multi partai. Soekarno mencoba menyederhanakan kepartaian ke dalam pengelompokan Nasakom, yang bila berlanjut mungkin pada akhirnya menjadi ‘sistem’ tiga partai. Di masa awal kekuasaan Soeharto pengelompokan politik berubah menjadi Nasabri, yakni kelompok Nasional dan Agama plus ABRI dan bentuk akhirnya adalah Nas-A-Golkar plus ABRI. Setelah pemilihan umum 1971 kepartaian disederhanakan menjadi Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan dan Golongan Karya.

Mengutip Maurice Duverger dalam buku Political Parties, menurut Dr Sri Soemantri SH, dikenal tiga macam sistem kepartaian, yakni sistem satu partai (single party system), sistem banyak partai (multi party system) dan sistem dua partai (two party system). Sistem satu partai adalah suatu sistem kepartaian di mana hanya ada satu partai politik saja (seperti di bekas Uni Soviet), atau hanya ada satu partai politik saja yang mempunyai/menjalankan peranan yang menentukan dalam kehidupan politik (seperti di RRC dan beberapa negara komunis/sosialis di Balkan). Sistem satu partai ini bisa terjadi melalui beberapa cara, antara lain ditentukan dalam UUD negara (seperti di Uni Soviet), atau berdasarkan kenyataan sosial (seperti di Turki sewaktu Mustafa Kemal menjadi Presiden), atau dengan satu dan lain cara sehingga hanya satu partai politik yang menjalankan peranan menentukan (seperti di RRC).

Sistem banyak partai adalah suatu sistem di mana terdapat banyak sekali partai, biasanya lebih dari tiga, dalam suatu negara. Dari sekian banyak partai politik yang menempatkan wakilnya di badan-badan perwakilan rakyat, cenderung tak ada yang menguasai kursi sebagai mayoritas mutlak. Sistem ini memiliki kecenderungan membawa perpecahan di dalam masyarakat, terutama di masa awal, karena terlalu banyaknya partai yang melakukan persaingan. Karena tak ada yang mampu menguasai mayoritas, kuat kecenderungan terjadinya koalisi. Koalisi bisa membawa kehidupan politik menuju ke penyederhanaan partai, atau setidaknya situasi keseimbangan untuk jangka waktu tertentu, tetapi bisa juga berlanjut sebagai kegagalan dan menjadi perpecahan yang berlarut-larut.

Salah satu faktor yang mempengaruhi infra struktur politik adalah jumlah atau kuantum dari bagian-bagian (golongan-golongan atau partai politik) yang terdapat dalam infra struktur tersebut. Semakin banyak golongan-golongan (misalnya multi partai)  dalam suatu infra struktur politik, maka semakin sulit infra struktur itu berfungsi dengan wajar dan lancar (Encyclopaedia Politik, MI, Februari 1968). Pada suatu “struktur politik” dalam arti luas, “infra struktur politik” menjalankan fungsi-fungsi input, sementara “struktur pemerintahan” menjalankan fungsi-fungsi output, yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem atau orde politik. Di antara fungsi-fungsi input yang terpenting adalah interest articulation (pernyataan kepentingan-kepentingan atau pengajuan tuntutan-tuntutan) dan interest aggregation (pemaduan kepentingan-kepentingan) oleh golongan-golongan dalam masyarakat, yaitu terutama sekali kelompok-kelompok kepentingan dan partai-partai politik. Sedangkan fungsi-fungsi output meliputi fungsi-fungsi rule making (pembuatan peraturan-peraturan) yaitu pengambilan keputusan-keputusan oleh badan-badan legislatif, fungsi rule application (pelaksanaan peraturan) oleh badan-badan eksekutif, dan fungsi rule adjudication, yaitu pengambilan tindakan  oleh badan-badan judikatif terhadap pelanggaran/pembangkangan peraturan-peraturan tadi.

Berlanjut ke Bagian 4

Kisah Pertarungan Politik Setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 (2)

SUASANA ‘buyar’ juga terjadi pada Front Pancasila. Ikatan ‘moral’ yang menyatukan gado-gado kekuatan politik dan masyarakat itu selama kurang lebih setahun, adalah kebersamaan menghadapi G30S dan keinginan bersama menumpas PKI. “Kini urgensi itu kurang dirasakan”, catat Rosihan Anwar, karena “sudah ada soal lain harus dipikirkan, yakni mempersiapkan posisi sebaik-baiknya untuk pemilihan umum”. Keadaan ekonomi rakyat yang sulit, dianggap partai-partai itu menjadi tugas Kabinet Ampera. Sikap egoistis kekuatan politik yang tergabung dalam Front Pancasila, untuk memperkecil jumlah saingan juga mereka tunjukkan. Front Pancasila menentang rehabilitasi Partai Murba.

Kerenggangan partai-partai dengan Angkatan Darat. Sikap penentangan juga ditunjukkan dalam bentuk ketidaksenangan terhadap gejala banyaknya perwira militer masuk menduduki posisi-posisi sebagai Gubernur atau Bupati dan juga pos Duta Besar. Ini membuat mulai terciptanya kerenggangan partai-partai dengan pihak Angkatan Darat yang berpolitik. Ketika Soeharto melontarkan rencana pengangkatan 110 anggota DPR-GR sebagai tambahan atas anggota lama yang terutama terdiri dari wakil partai-partai, terjadi pula penolakan. Dalam rencana itu, separuh atau 55 orang yang diangkat adalah dari partai-partai, termasuk partai yang direhabilitir, dan 55 orang lainnya adalah dari yang disebut golongan karya. Dalam kelompok golongan karya ini, akan termasuk unsur dari berbagai kesatuan aksi –mahasiswa, sarjana dan kalangan pendidik. Tapi partai-partai tak berani menolak secara terang-terangan karena tampaknya sikap Soeharto untuk memasukkan Angkatan 1966 sudah bulat.

SOEHARTO DAN SOEKARNO. Tahta, rupiah dan perempuan cantik. Karikatur Harjadi S 1968

Hingga sejauh yang terlihat kasat mata, semua tuntutan tampaknya telah terpenuhi melalui SU IV MPRS. Tetapi pada sisi lain, SU MPRS ini seakan menjadi tonggak titik balik bagi gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa yang konfrontatif, karena untuk selanjutnya jalan yang ditempuh adalah apa yang dinyatakan oleh AH Nasution sebagai taktik konstitusional. Secara umum memang terlihat bahwa Soeharto dan rekan-rekannya di Angkatan Darat sudah mulai tidak membutuhkan suatu kekuatan mahasiswa yang bergerak sebagai pressure group di jalanan dalam gerakan-gerakan ekstra konstitusional. Soeharto untuk sementara lebih membutuhkan ‘dukungan damai’ mereka dalam forum-forum legislatif yang tampaknya lebih mudah dikendalikan.

Dengan situasi seperti ini, apa yang disebut sebagai Partnership ABRI-Mahasiswa, memang perlu dipertanyakan. Apakah ia sesuatu yang nyata sebagai realitas politik ataukah hanya setengah nyata atau samasekali berada dalam dataran retorika belaka dalam rangka permainan politik ? Terlihat bahwa bagi Angkatan Darat di bawah Soeharto, partnership itu tak lebih tak kurang adalah masalah taktis belaka, dan mahasiswa ada dalam posisi kategori alat politik dalam rangka kekuasaan.

Kalau pun ada yang mengartikan partnership itu sebagai suatu keharusan faktual dan strategis, tak lain hanya para jenderal yang termasuk kelompok perwira intelektual dan idealis seperti Jenderal Sarwo Edhie, HR Dharsono, Kemal Idris dan sejumlah perwira sekeliling mereka yang secara kuantitatif ternyata minoritas di tubuh Angkatan Darat. Partnership itu memang terasa keberadaannya dan efektifitasnya sepanjang berada di samping para jenderal idealis itu serta pasukan-pasukan di bawah komando mereka. Tetapi di luar itu, partnership tak punya arti samasekali. Dalam berbagai situasi yang sangat membingungkan, tatkala berada dekat kesatuan tentara yang disangka partner, kerapkali para mahasiswa justru bagaikan berada di samping harimau dan sewaktu-waktu menjadi korban kekerasan tentara. Salah satu contoh, adalah apa yang dialami mahasiswa ketika melakukan demonstrasi ‘damai’ di depan Istana Merdeka 3 Oktober 1966.

Menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan yang ke-21, sejumlah tokoh kesatuan aksi di Bandung –KAMI, KASI maupun KAPI– telah menduga bahwa pidato yang akan disampaikan Soekarno dalam acara tersebut akan bernada keras. Ini terbaca melalui tanda-tanda ketidakpuasan yang diperlihatkan Soekarno setelah SU IV MPRS yang menolak pidato pertanggungjawabannya dan menanggalkan beberapa gelar dan wewenangnya.

Pada pelantikan Kabinet Ampera sebelumnya, Soekarno pun telah melontarkan ucapan-ucapan ‘keras’. Ia misalnya menegaskan keinginannya agar konfrontasi terhadap Malaysia tetap dilanjutkan. Tentang Surat Perintah 11 Maret 1966, Soekarno menyatakan bahwa itu adalah surat perintah biasa dan bukan transfer of authority atau pemindahan kekuasaan. Ia menyatakan pula bahwa Surat Perintah 11 Maret itu “bisa saya berikan kepada siapa saja”. Tapi tentu saja, semua sudah terlambat bagi Soekarno, karena Surat Perintah 11 Maret itu sudah dikukuhkan melalui suatu Tap MPRS, yang tak bisa lagi dicabut oleh Soekarno, kecuali ia bisa memulihkan kekuatan pendukungnya di kalangan militer, partai-partai dan atau di MPRS.

Untuk menghadapi kemungkinan Soekarno mengulangi atau bahkan menyampaikan suatu pidato yang lebih keras keras pada 17 Agustus 1966, para aktivis kesatuan aksi itu telah mempersiapkan beberapa tindakan antisipatif. Sementara itu di berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung  berlangsung berbagai appel mahasiswa. Mahasiswa pun menyelenggarakan suatu pawai alegoris keliling kora Bandung, Senin sore 15 Agustus. Sikap anti Soekarno yang paling nyata, terekspresikan dalam pawai allegoris tersebut. Sebuah patung besar yang menyerupai Soekarno di atas sebuah kendaraan bak terbuka amat menarik perhatian jubelan puluhan ribu massa rakyat yang menonton di sepanjang jalan. Patung yang lengkap dengan berbagai bintang dan tanda jasa di dadanya itu disertai suatu tulisan yang seakan pertanyaan Soekarno, ‘Tjing kuring hayang nyaho, naon Hati Nurani Rakyat’, Hayo saya ingin tahu apa itu Hati Nurani Rakyat. Di sekeliling patung, duduk bersimpuh sejumlah wanita cantik –berkebaya atau berpakaian kimono Jepang, yang diperankan sejumlah mahasiswi– dan kendaraan pengangkutnya berjalan lambat-lambat ‘ditarik’ sejumlah manusia kurus kering, berbaju gembel berjalan tertatih-tatih tanda kelaparan.

Sejumlah patung atau boneka sindiran karya para mahasiswa juga meramaikan pawai. Ada pula dua poster yang menyolok, berbunyi “Kalau tidak tahu Hati Nurani Rakyat, jangan mengaku Pemimpin Besar Revolusi” dan “Kalau tidak tahu Hanura, minggir saja Bung!”. Sebuah ‘patung’ lain dalam arak-arakan itu tak hanya ‘menyinggung’ perasaan Soekarno, tapi juga aparat keamanan, sehingga dirampas oleh sejumlah petugas di depan Gedung MPRS yang lebih dikenal sebagai Gedung Merdeka. Patung bertuliskan ‘Kecap Nomor Satu’ di bagian badan dan ‘Batu’ di bagian kepala itu, dikehendaki mahasiswa untuk di bawa terus dalam pawai. Mahasiswa menolak dan mogok di jalan menuntut patung dikembalikan. Persoalan bisa diatasi ketika beberapa perwira Kodam Siliwangi datang setelah dihubungi para mahasiswa, dan turun tangan untuk mengembalikan patung itu.

Pidato 17 Agustus Soekarno, “Djangan sekali-kali meninggalkan sedjarah” yang sering diringkas sebagai Djas Merah, ternyata memang memancing kontroversi. Soekarno menyebut tahun 1966 sebagai tahun gawat, dan menunjuk adanya gerakan kaum revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Dalam pidato itu Presiden Soekarno tetap menyebut-nyebut Pantja Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan Nasakom. Tetapi bagian yang paling ‘kontroversial’ ialah ketika Soekarno melontarkan tuduhan terhadap arus penentangan terhadap dirinya dan Nasakom sebagai sikap revolusioner yang palsu. Semua mengerti bahwa yang dimaksudkan terutama adalah kesatuan-kesatuan aksi. Seraya itu, ia lalu menyerukan, “Saudara-saudara kaum revolusioner sejati, kita berjalan terus, ya, kita berjalan terus, kita tidak akan berhenti. Kita berjalan terus, berjuang terus, maju terus pada sasaran tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945”. Seruan itu bermakna komando bagi para pengikutnya yang masih setia, untuk membela dirinya menghadapi penentangan ‘kaum revolusioner palsu’.

Seakan mengikuti seruan Soekarno dan sekaligus menjawab aksi-aksi anti Soekarno yang diperlihatkan pelajar dan mahasiswa dalam pawai alegoris mahasiswa, barisan pendukung Soekarno melakukan penyerangan-penyerangan terhadap para penentang Soekarno di berbagai penjuru tanah air. Salah satu rangkaian serangan yang paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung, yang dikenal sebagai Peristiwa 19 Agustus 1966, yang mengambil korban nyawa seorang mahasiswa Universitas Parahyangan bernama Julius Usman.

Berlanjut ke Bagian 3