PENGAMBILALIHAN kekuasaan melalui kudeta bekerja dengan senjata intimidasi dan paksaan. Tetapi sebenarnya ada jenis kudeta yang bekerja terselubung di balik cara kerja demokrasi, yang dapat berlangsung ‘senyap’ di atas sikap pasif dan apatis publik. Di sebagian besar negara dengan sistem demokrasi yang masih dianggap berfungsi, tulis David Runciman –professor ilmu politik Universitas Cambridge, UK– dalam buku How Democracy Ends (2018), rakyat lebih banyak memilih menjadi penonton proses politik. Mereka menonton saja ketika keputusan politik diambil atas nama mereka oleh segelintir orang yang disebut wakil rakyat. Runciman menyebutnya sebagai Zombie Democracy.
Peringatan lain tentang demokrasi disampaikan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt –dua akademisi ilmu politik dan pemerintahan Universitas Harvard US– melalui buku mereka How Democracies Die (2018). “Demokrasi tidak digulingkan secara eksternal oleh kudeta militer yang kejam seperti di masa lampau, melainkan dari arah internal demokrasi sendiri melalui kotak suara pemilihan umum dan jeratan terhadap institusi politik oleh kaum otokrat.”
Dengan situasi demokrasi seperti itu, pada hakekatnya sebagaimana ditulis Bramantya Basuki (Sorge Magazine, 29 Januari 2020) otoritarianisme telah berada di beranda kita. Bahkan, menurut Sorge Magazine tokoh kritis dari masa ke masa Rahman Tolleng (almarhum sejak 29 Januari 2019) melalui Forum Diskusi Jakarta, pernah mengingatkan “Jangan sampai otoritarianisme mengetuk pintu rumah lebih dulu, baru paham.” Continue reading Otoritarianisme dan Kudeta Demokrasi di Beranda Kita→
COSMAS BATUBARA –bersama Fahmi Idris, Rahman Tolleng, Mar’ie Muhammad, Subchan ZE, Liem Bian Koen dan beberapa tokoh lainnya– adalah bagian tak terpisahkan dalam salah satu proses perubahan politik Indonesia pada tonggak waktu 1966. Suatu rezim kekuasaan di bawah tokoh legendaris dalam sejarah Indonesia kontemporer Bung Karno, pengakhirannya berawal dari sana. Kenapa rezim itu harus berakhir? Sedikitnya tergambar melalui narasi yang disarikan dari catatan Cosmas Batubara berikut ini.
“Perkembangan politik Indonesia selama demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno dari tahun 1960-1965 diwarnai tiga kekuatan politik. Dari seluruh politisi dan organisasi masyarakat serta angkatan bersenjata ada yang berorientasi kepada diri Presiden Soekarno, sebagian lagi berorientasi kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan ada yang berorientasi kepada Partai Komunis Indonesia. Pada saat itu terjadi pertarungan ideologi antara yang pro Nasakom dan yang tidak menyetujui Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis).” Singkatnya pertarungan antara ideologi komunis versus Pancasila.
“Posisi Presiden Soekarno dengan para pengikut sebenarnya berada di tengah. Akan tetapi dalam realitas politik, kelompok yang tidak setuju kepada komunis berpendapat bahwa Presiden Soekarno lebih sering memberi angin kepada kelompok komunis.” Continue reading Cosmas Batubara dan Bung Karno→
SEGERA setelah Peristiwa 30 September 1965 tanda-tanda tumbangnya rezim Nasakom Soekarno, mulai membayang. Diakui atau tidak, saat Jenderal Soeharto dan Jenderal Abdul Haris Nasution serta sejumlah perwira militer anti komunis masih ada dalam kesangsian mengakhiri kekuasaan Soekarno, kelompok mahasiswa dan pelajar tampil sebagai faktor pendorong diakhirinya rezim lama. Di Jakarta ada tokoh-tokoh mahasiswa di barisan depan seperti antara lain Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, Marsillam Simandjuntak dan Fahmi Idris. Sementara di Bandung ada Rahman Tolleng yang muncul dari ‘bawah tanah’ dan menjadi pelopor gerakan anti Soekarno yang kali ini dilakukan di ‘permukaan tanah’.
Bersama Rahman di Bandung ada aktivis mahasiswa senior lainnya seperti Alex Rumondor, Mangaradja Odjak Siagian dan lainnya. Lalu muncul tokoh-tokoh penggerak mahasiswa intra kampus Rachmat Witoelar yang memperkuat otot massa bagi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dan aktivis populer Soegeng Sarjadi dari kampus Universitas Padjadjaran yang memicu aksi perobekan gambar Bung Karno Agustus 1966.
Kekuasaan Soekarno berakhir dalam Sidang Istimewa MPRS 7-12 Maret 1967, saat SI MPRS itu memutuskan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala keluasaan pemerintahan negara dari tangannya. Lalu Soeharto naik ke puncak kekuasaan. Berakhirnya kekuasaan Soekarno, membawa Indonesia ke dalam satu babak baru. Continue reading Rahman Tolleng, Kisah Kandas Percobaan Struggle From Within→
DALAM banyak waktu, nama dan kegiatan Rahman Tolleng kerapkali sampai ke telinga sebagian generasi baru, namun wajahnya nyaris tak ‘dikenali’ terbuka, terutama di tengah-tengah hiruk pikuk politik pasca reformasi. Akan tetapi pada sisi lain di saat yang sama sejumlah generasi muda lainnya dalam berbagai tingkat usia, sangat lekat dan intens mengikuti pikiran-pikirannya melalui beberapa forum khusus. Ini semacam misteri juga.
Dalam situasi seperti itu, pada tahun 2008 nama A. Rahman Tolleng tiba-tiba muncul dalam sebuah iklan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Terletak di urutan ketiga di antara 297 nama penandatangan. Huruf A di depan nama Rahman Tolleng adalah singkatan dari Abdul –salah satu nama awal yang lazim diberikan keluarga Islami di Sulawesi Selatan kepada anak laki-laki. Iklan tersebut berisi pernyataan bertanggal 10 Mei namun baru tampil di berbagai media nasional terkemuka pada tanggal 30 Mei 2008, sepuluh hari setelah perayaan peringatan seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional. Continue reading Rahman Tolleng dan Faktor Islam→
SUATU ketika, seusai mengakhiri masa jabatan sebagai Duta Besar RI di Kanada, saya bertemu Ekky Syahrudin di kediamannya di Jakarta. Itu hanya beberapa bulan sebelum Ekky Syahrudin meninggal dunia pada 28 Juni 2005. Aktivis pergerakan tahun 1966, yang kebetulan tokoh HMI ini, saya temui waktu mempersiapkan penulisan buku sejarah politik kontemporer yang melibatkan gerakan mahasiswa ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’. Semata-mata karena saya bertubuh agak tinggi dan kurus, Ekky spontan menyambut “Wah, Tan Malaka datang…” Memang Tan Malaka berperawakan agak tinggi dan kurus, terutama setelah menderita TB.
Sebutan Tan Malaka untuk saya, meski cuma guyonan karena model tubuh, kualitatif tentu saja jauh panggang dari api. Lalu Ekky menjelaskan mengenai sambutan spontannya dengan menyebut Tan Malaka. “Bung kan dulu dari koran yang memiliki gagasan-gagasan sosialistis”, separuh bercanda. “Anda menggantikan bung Rahman Tolleng, tokoh sosialis, sebagai pemimpin redaksi kan?” Ekky mengatakan kedatangan saya dari Bandung mengingatkannya kepada Rahman Tolleng, yang mendirikan MingguanMahasiswaIndonesia, Juni 1966. Jadi, sebenarnya yang terkilas di pikiran Ekky ketika menyebut Tan Malaka, adalah Rahman Tolleng yang oleh kawan dan lingkungan pergaulan politik serta kegiatan lain senantiasa disapa sebagai BungRahman. ‘Dikenal’ berpaham sosialis dan kerap diasosiasikan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Continue reading Rahman Tolleng, Gerakan Bawah Tanah dan Ideologi→
‘METODE’ struggle from within ini bukannya tak pernah dicoba. Melalui Golongan Karya. Meski suatu waktu, 40 tahun kemudian, Rahman Tolleng akhirnya mengakui, “Asumsi-asumsi kami ternyata sebagian salah. Dan karenanya harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi.” Katakanlah semacam fatamorgana.
Dalam Sidang Umum MPRS Maret 1968, tiga tokoh sipil yang bergabung dalam Golkar –Dr Midian Sirait, Rahman Tolleng dan tokoh pers dari Bandung Djamal Ali SH– ditampilkan secara bergiliran berpidato. Mereka tampil menyampaikan konsep perubahan struktur politik yang dibarengi pembangunan ekonomi, yang sekaligus menempatkan pentingnya penciptaan kepastian hukum. Tetapi untuk kepastian hukum itu diperlukan dukungan politik. Karena itu struktur politik harus diperbaharui, untuk mengenyahkan pertarungan ideologi dan menggantikannya dengan orientasi program, guna terciptanya dukungan politik yang sehat. Sementara itu, sejumlah partai pada Sidang Umum yang sama, lebih fokus menyampaikan keinginan agar segera dilaksanakan pemilihan umum. Konteksnya, tak lebih tak kurang adalah perebutan porsi kekuasaan.
Sipil dan Militer. DALAM suatu kurun waktu di tahun 1969-1972, Golkar dan ABRI mengadakan sesi yang berlangsung terus menerus untuk merumuskan mengenai akselerasi dan modernisasi 25 tahun. Topik dan terminologi ini, di belakang hari selalu disebut dan dipopulerkan oleh Mayor Jenderal Ali Moertopo, sehingga banyak yang menganggapnya sebagai gagasan Aspri Presiden tersebut. Dr Midian Sirait menuturkan, rantai awal menuju lahirnya gagasan percepatan modernisasi dalam jangka 25 tahun tersebut sebenarnya adalah simposium tahun 1968 di Bumi Sangkuriang itu. Masukan dalam simposium itu disimpulkan dan diteruskan Seskoad ke Presiden Soeharto. Cara penyampaian gagasan dan pemikiran seperti ini telah dilakukan berkali-kali. Bila kalangan gerakan pembaharuan perlu menyampaikan pemikiran kepada Soeharto, maka itu dilakukan lewat Mayor Jenderal Soewarto sampai 1967 maupun melalui Tjakradipura, Komandan Seskoad berikutnya. Termasuk misalnya pemikiran Soemitro Djojohadikoesoemo di Eropa –tentang pembangunan ekonomi– yang dikirim lewat seorang pilot sampai Hongkong, diterima Tombokan dan disampaikan ke Dr Midian Sirait lalu diteruskan ke Soeharto lewat Mayjen Soewarto.
JENDERAL SOEHARTO – JENDERAL HR DHARSONO. “Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak gagasan itu, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. Gagasan dwi partai Sang Jenderal pembaharu, kandas.”
Demikianlah di tahun 1969-1972 lima tokoh sipil yang untuk sebagian adalah peserta percobaan struggle from within –Rahman Tolleng, Sumiskum, Moerdopo, Oetojo Oesman dan Midian Sirait– mewakili Golkar dalam rangkaian sesi dengan tim ABRI, yang diketuai oleh Amir Moertono yang ketika itu menjabat Asisten Sosial Politik ABRI. Amir bekerja di bawah Kepala Staf Kekaryaan ABRI Jenderal Darjatmo. Karena Oetojo Oesman kerap kali tidak muncul, sementara Moerdopo sibuk untuk berbagai urusan lain, maka praktis tiga lainnya yang selalu muncul dalam rangkaian sesi marathon tersebut.
Cukup banyak perbedaan yang muncul kala itu dengan pihak ABRI. Orang-orang sipil itu menyebut jangka waktu akselerasi-modernisasi selama 25 tahun –mengacu pada simposium 1968– sedang ABRI menginginkan jangka 30 tahun. Bagaimana dengan struktur politik di masa datang? Rahman Tolleng tampil dengan teori missile: Pendorong utama adalah ABRI, pendorong kedua pegawai negeri dari kalangan birokrasi pemerintahan, lalu pendorong ketiga adalah partai politik dan organisasi massa. ABRI protes: “Jadi kita ini pendorong saja? Setelah lepas landas, kita ditinggal?”. Teori yang diprotes ini hampir sama dengan ide Adam Malik, setelah tugas selesai, agar tidak berdosa, sang malaikat kembali ke langit. Berikutnya, Sumiskum memaparkan pentahapan 5 tahunan dalam 25 tahun. Pada 5 tahun pertama ABRI berkuasa, 5 tahun kedua ABRI memimpin, dan makin berkurang peranannya dalam tahapan-tahapan berikut, untuk pada akhirnya ABRI pun berlalu. Meredakan kegusaran ABRI, akhirnya Midian Sirait menyampaikan agar dalam menjalani 25 tahun itu, ABRI lah sendiri yang menentukan kapan mengakhiri tugas dan meninggalkan politik. Tapi apakah mereka sudi berhenti sukarela begitu? “Takkan berhenti mereka,” demikian Rahman memprotes. Namun Midian mengatakan itu hanya penyampaian taktis belaka sebagai bagian dari persuasi. Tetapi Rahman tetap mempertahankan gagasan, dan harus berhadapan dengan ABRI dalam forum ini.
Di tahun 1969-1972 itu, di medan lainnya dalam kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Dari KASI Bandung, sebelumnya muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Gagasan Dwi Partai ini pertama kali menjadi topik dalam suatu pembicaraan antara Soemarno –yang kala itu juga adalah politisi di DPR– dengan Rahman Tolleng. Pembicaraan yang sama tampaknya juga dilakukan Soemarno dengan dr Rien Muliono Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.
Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak gagasan itu, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. Gagasan dwi partai Sang Jenderal pembaharu, kandas. Semestinya, kata Midian Sirait, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang.”
Seperti diketahui, sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan oleh Sjafruddin Prawiranegara pada simposium di Bandung. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Sebenarnya, sebelumnya sekitar waktu itu pernah ada yang mengajukan gagasan 5 partai, yakni 2 partai Islam, 1 partai nasional, 1 partai Kristen-Katolik serta 1 Golongan Karya. Namun terhadap gagasan ini, Ali Moertopo bilang, “Sudahlah, pak Harto telah memutuskan 3 partai.”
Benang merah gerakan pembaharuan kala itu, dari Bandung khususnya, adalah perombakan struktur politik, melaksanakan dwi partai, dan tentara tidak lagi masuk dunia politik, barulah tercipta kehidupan politik baru dalam sistem politik dengan kelengkapan infrastruktur dan suprastruktur. Tapi itu semua ternyata bukan sesuatu yang mudah dikerjakan.
Pengalaman terbenturnya gagasan dwi partai, antara lain menunjukkan banyaknya hambatan bahkan kemusykilan yang harus dihadapi. Tapi terlepas dari itu, kenyataan juga menunjukkan bahwa sedikit banyak Golkar dalam kadar tertentu sempat menjadi wahana bagi kaum pembaharu untuk memperjuangkan gagasannya. Berbeda banyak dengan Golkar masa kini yang lebih penuh pertikaian opportunistik antar tokoh-tokoh antagonis. Bagaimana pun, sejumlah gagasan pembaharuan berhasil diwujudkan, misalnya pembentukan ormas-ormas mandiri yang bukan onderbouw partai atau Golkar. (Berlanjut ke Bagian 3– socio-politica.com)
BERITA-BERITA 11 Maret 2016 di berbagai suratkabar nasional, menyebutkan terjadinya kembali kebakaran lahan dan hutan di beberapa provinsi. Namun, kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, jumlah titik apinya jauh lebih kecil dibanding tahun lalu. Tapi sebenarnya, di Indonesia, bukan hanya hutan yang bisa terbakar dan membuat beberapa bagian negara ini nyaris hilang terbungkus asap, membuat penduduk di kawasan sekitar tersengal-sengal sesak napas seperti terjadi berkali-kali. Kebakaran juga sering melanda kehidupan politik. Itu sebabnya, kehidupan politik dan kepartaian di sini kerap berbau sangit.
Bak hutan ‘konsesi’ yang ditangani sejumlah korporasi dengan jalan pintas aksi kriminal ‘bakar-membakar’ untuk land clearing, dalam kehidupan politik merambah ‘hutan’ kepentingan dengan cara membakar juga terjadi. Maka dalam beberapa tahun terakhir, kehidupan politik Indonesia pun senantiasa diselimuti kabut asap yang menyesakkan. Ada kesalahan dalam pembangunan sistem politik Indonesia dari waktu ke waktu, yang tak terlepas dari kandasnya serangkaian upaya pembaharuan politik beberapa dekade terakhir. Antitesisnya justru cenderung datang dari kalangan pemegang kunci-kunci kekuasaan sendiri, yang menikmati statusquo ‘sistem’ politik yang ada selama ini. Dan begitu dikritisi, muncul tudingan deparpolisasi dan semacamnya.
STATUS QUO. “Ada kesalahan dalam pembangunan sistem politik Indonesia dari waktu ke waktu, yang tak terlepas dari kandasnya serangkaian upaya pembaharuan politik beberapa dekade terakhir. Antitesisnya justru cenderung datang dari kalangan pemegang kunci-kunci kekuasaan sendiri, yang menikmati statusquo ‘sistem’ politik yang ada selama ini.” (Karikatur dasar, T. Sutanto)
Pasca Soeharto, sistem kepartaian Indonesia berbalik 180 derajat kembali menjadi multi partai dengan kecenderungan praktek parlementer meski menurut sistem formal ketatanegaraan yang ada masih menggunakan sistem presidensial. Dan karena tak pernah ada partai yang berhasil memenangkan suara yang cukup untuk menciptakan mayoritas kerja di parlemen, maka tawar menawar politik menjadi bagian sehari-hari dalam praktek politik di lembaga perwakilan rakyat. Presiden yang terpilih dalam tiga kali pemilihan umum presiden secara langsung selalu dibayangi kekuatiran politik karena tak memiliki mayoritas kerja yang kuat di DPR dan harus melakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai yang ada. Berbagai cara, seakan dihalalkan demi terciptanya mayoritas kerja itu, baik melalui pembentukan ‘koalisi semu’ maupun ‘pelemahan’ partai seberang –bila perlu melalui akuisisi melalui paksaan kekuasaan. Dalam beberapa kasus ‘kekuasaan’ dan ‘kewenangan’ Menteri Hukum dan HAM digunakan sebagai tongkat penggebuk, bahkan bila perlu, tanpa mengindahkan keputusan Mahkamah Agung sekali pun.
Bangunan politik baru: Antara cita-cita dan fatamorgana. TAK LAMA setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965 dengan segera sejumlah tokoh intelektual dan kelompok generasi muda di masyarakat yang berbasis kampus berbicara tentang perlunya penghancuran bangunan politik lama. Ada yang menyebutnya bangunan politik G30S/PKI, tetapi yang dimaksudkan sebenarnya adalah bangunan politik Nasakom yang setidaknya selama sekitar lima tahun terakhir setelah Dekrit 5 Juli 1959 dibangun oleh Soekarno. Sebagai pengganti bangunan politik lama itu, harus dibangun suatu bangunan politik baru yang menjamin keadilan, kebenaran, kemanusiaan dan demokrasi –yang praktis hilang dalam 5 tahun terakhir kekuasaan Soekarno– untuk membuka kemungkinan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dengan lebih baik.
Banyak pemikiran baru dan segar yang muncul dari kalangan cendekiawan dan generasi muda kala itu, yang memperlihatkan keinginan kuat agar pembaharuan politik dilakukan sesegera mungkin. Namun sepanjang tahun 1966 wacana pembaharuan politik untuk sementara tenggelam dalam arus gerakan pembubaran PKI dan kemudian gerakan retoris melahirkan Orde Baru untuk menggantikan Orde Lama Soekarno. Dan masih pada tahun yang sama gerakan generasi muda tahun 1966 bereskalasi menjadi gerakan menurunkan Soekarno dari kekuasaan negara, mulai dari Bandung dan kemudian Jakarta sebelum merambat ke kota-kota perguruan tinggi lainnya di Indonesia.
Segera setelah turunnya Soekarno dari kekuasaan formal di bulan Maret 1967, barulah kelompok cendekiawan dan mahasiswa dari Bandung bisa lebih terfokus menyentuh isu pembaharuan politik. Mereka menggunakan terminologi yang lebih tajam, yakni sebagai usaha perombakan struktur politik. Bendera perombakan struktur politik ini berlangsung hingga beberapa lama. Tetapi pada sisi lain dengan segera terlihat pula bahwa upaya perombakan struktur politik ini menghadapi hambatan-hambatan, yang antara lain terutama datang dari kalangan partai-partai ideologis yang keberadaannya berakar dari zaman Soekarno. Tetapi kelak di kemudian hari, upaya perombakan struktur politik itu kerapkali justru harus berhadapan dengan Jenderal Soeharto yang ternyata memiliki arus pemikiran berbeda. “Padahal,” menurut Dr Midian Sirait –salah satu tokoh KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) yang bersama tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dari Bandung Rahman Tolleng, banyak melontarkan gagasan perombakan struktur politik– “pada mulanya Soeharto sempat diharapkan sebagai tokoh yang akan menerobos kebekuan politik yang ada pada rezim terdahulu.”
Terhadap arus pemikiran Jenderal Soeharto yang berbeda, sejumlah tokoh memprakarsai suatu simposium pembaharuan di Bandung, 10 hingga 12 Pebruari 1968. Simposium yang berlangsung di Bumi Sangkuriang Bandung ini diselenggarakan bersama oleh KASI, ITB, Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) dan Kodam Siliwangi. Peserta simposium antara lain tokoh-tokoh terkemuka seperti Mohammad Hatta, Adam Malik, Sultan Hamengku Buwono IX, TB Simatupang, Sjafruddin Prawiranegara, IJ Kasimo, Mr Sumanang dan Mohammad Natsir. Dr Midian Sirait menjadi ketua SteeringCommittee dan memimpin diskusi bergantian dengan Kolonel Samosir dari Seskoad. Komandan Seskoad kala itu adalah Jenderal Tjakradipura. Diskusi berlangsung 3 hari, tanpa kehadiran wartawan. Kini boleh dikatakan semua peserta diskusi telah tiada, termasuk tokoh KASI Adnan Buyung Nasution selain Midian Sirait.
Kepada seorang penulis buku, Rum Aly, Dr Midian Sirait menuturkan, “Saya memimpin diskusi itu dengan sangat hati-hati, agar jangan sampai ada di antara tokoh bangsa ini yang tersinggung. Mulanya mereka bertanya kenapa mereka diundang. Saya menjawab, bapak-bapak diundang karena tidak pernah terlibat dalam kekuasaan di masa Soekarno. Saya mempersilahkan mereka berbicara berdasarkan urutan alfabetis. Dengan demikian Adam Malik selalu berbicara dulu dan Sjarifuddin Prawiranegara serta TB Simatupang bicara belakangan.”
Dalam pertemuan itu tokoh Katolik IJ Kasimo mengatakan: “Sudahlah. Partai-partai politik yang ada sekarang ini telah berdosa sepanjang perjalanan sejarah politik kita. Sekarang kekuasaan ada di tangan tentara. Kita moratorium saja selama 25 tahun. Kita beri saja tentara kesempatan memimpin 25 tahun. Setelah 25 tahun kita tata kembali. Kita beri waktu 25 tahun sebagai periode moratorium pertentangan ideologi.”
Adam Malik lain lagi. Ia berkata: “Ya sudahlah, untuk sekali ini dalam revolusi perubahan kekuasaan ini biarlah tentara di depan. Selesai tugas, tentara kembali ke baraknya. Tentara ini kan seperti malaikat, jangan berpolitik. Bukankah politik itu kotor, jadi malaikat tidak usah terlibat lagi.” Mendengar ucapan Adam Malik, Jenderal Tjakradipura dengan agak marah, berkata: “Itu tidak manusiawi. Masa’ kami disebut malaikat? Tentara bukan malaikat, bung. Tapi kami punya tanggungjawab pada bangsa dan negara.”
TB Simatupang mengatakan, “Prosesnya harus dalam satu pencetan.” Simatupang mencontohkan pengalaman Turki di bawah Jenderal Kemal Ataturk. “Kemal Ataturk mengambil alih kekuasaan dan pada waktu yang sama ia menyuruh temannya mendirikan satu partai politik, dan berjalan sejajar dengan militer dalam kekuasaan. Kemudian, tiba waktunya Ataturk memberikan kekuasaan kepada partai politik yang sudah dipersiapkan itu. Dalam konteks Indonesia, kita harus mempersiapkan lebih dulu partai politik yang bisa bekerjasama.”
Bung Hatta samasekali tidak menyebut partai politik. Seperti yang kerap disampaikannya sebelumnya, ia menganjurkan menyerahkan kekuasaan hukum ke tangan polisi, perkuat kesatuan Brigade Mobil (Brimob), perkuat koperasi. Sjafruddin Prawiranegara lebih radikal. “Bubarkan semua partai,” ujarnya. “Lalu bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan yang ketiga satu partai netral.” Sjafruddin menggunakan istilah netral namun tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral –“ya, partai netral lah”, katanya– dan menghindari menyebut kekuatan sosialis. Di situlah Mohammad Natsir tampil dengan sosok seorang guru. “Jangan bubarkan partai politik”, ujarnya. “Partai itu ibarat belukar. Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang. Itulah keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik.” Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan ibarat ilalang sesuai belukar dibakar. Mungkin itu sebabnya Natsir mengingatkan, jangan dibakar, tapi biarkan. “Kita bina partai yang masih baik.”
“Jadi memang ada bermacam-macam pendapat yang muncul dalam diskusi di Bumi Sangkuriang itu,” Midian Sirait menyimpulkan. “Tapi setidaknya harus ada satu yang jelas, harus ada perubahan struktural. Sebagai pimpinan sidang saya melontarkan bagaimana caranya supaya ada perubahan struktural dalam rangka pembaharuan politik Indonesia. Saya sendiri lebih condong kepada suatu pemerintahan teknokratis yang dijalankan bersama militer. Biarkan saja 25 tahun ini pemerintahan yang teknokratis, sambil kita robah struktur masing-masing. Yang paling pokok adalah –seperti juga pendapat Rahman Tolleng– ada proses institusionalisasi dari gerakan, semisal masuk ke dalam parlemen untuk membangun parlemen yang lebih baik. Katakanlah, memperjuangkan gagasan dari dalam institusi formal.” (Berlanjut ke Bagian 2 – socio-politica.com).
DALAM kancah pemilihan presiden Indonesia yang baru lalu di tahun 2004 ini, terjadi sejumlah peristiwa duka. Selain soal pelacuran intelektual, salah satu di antara cerita duka telah menimpa dunia pers. “Demi menciptakan opini keunggulan bagi yang mereka dukung, media pers tak segan-segan melakukan manipulasi kebenaran. Paling tidak melakukan semacam polesan artifisial. Menutupi keburukan dari yang mereka dukung dan di lain pihak membesar-besarkan dengan cara di luar batas keburukan pihak seberang. Media cetak hanya memilih narasumber yang bisa memberikan penguatan atau pembenaran atas opini yang mereka rancang. Kalau pun ada narasumber yang memberi analisa dan pandangan berbeda, itu diselipkan seadanya di pinggiran fokus, sekadar basa-basi agar masih dianggap berimbang.”
HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO. “… bagaimana pun Indonesia membutuhkan media-media semacam Harian Kompas dan juga Majalah Tempo –semestinya demikian pula Koran Tempo– yang pada hakekatnya berkualitas tinggi. Dibutuhkan sebagai –katakanlah dalam posisi the last strong hold– sumber referensi kebenaran, di tengah suasana penuh ketidakbenaran seperti diderita Indonesia selama ini hingga kini. Tapi tentu, jangan sering-sering terpeleset ke dalam genangan lumpur noda sosial-politik-ekonomi.”
Tetapi, dukacita terdalam sebenarnya, adalah ‘kehilangan’ Indonesia akan dua (kelompok) media berkualitas, yakni Harian Kompas serta MajalahBerita Mingguan Tempo dan Koran Tempo. Terhadap media yang lain, dari sejak lama sudah wajar untuk skeptis, bahkan ada yang memang sudah ‘sakit’ sejak awal kelahirannya. Sebelum musim politik partisan ini melanda, kedua kelompok media tersebut Kompas dan Tempo, memiliki posisi khusus, yaitu sebagai sumber referensi saat publik ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya dari suatu peristiwa, termasuk peristiwa-peristiwa politik. Tetapi dalam semusim ini, mereka berubah menjadi sama buruknya dengan media lain pada umumnya, yaitu saat mereka dengan nyata menunjukkan perpihakan hitam-putih dengan kadar tinggi. Koran Tempo misalnya, bahkan seringkali sudah mirip pamflet propaganda. (Baca kembali, https://socio-politica.com/2014/07/20/pemilihan-presiden-2014-dalam-aroma-kejahatan-intelektual-2)
Sayang sekali, padahal kedua kelompok media itu didirikan dan diasuh oleh kalangan intelektual yang seharusnya tak perlu lagi mengalami krisis integritas. Tetapi apa daya integritas itu sempat berkabut. Apakah ini hanya gejala semusim, atau akan menjadi karakter baru yang menetap?
KESANGSIAN mengenai Harian Kompas, sedikit banyaknya terjawab oleh makalah Jakob Oetama –salah satu pendiri dan Pemimpin Umum media nasional terkemuka itu– “Perpolitikan dan Profesionalitas Media”, Jumat 5 September 2014. Makalah tersebut dibacakan dalam acara penganugerahan Doktor Kehormatan untuk tokoh pers senior itu dari Universitas 11 Maret, Surakarta, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Menurut Jakob Oetama, sebagaimana diberitakan Kompas sehari sesudahnya, “media massa yang berusaha tetap independen seperti Kompas mengambil peran dalam menyediakan keberagaman gagasan di masyarakat. Harapannya agar tidak terjadi asimetri informasi yang menyebabkan sebagian besar orang kehilangan kesempatan. Peran Kompas dikembangkan sebagai lembaga kultural dengan acuan kemanusiaan yang beriman dengan Pancasila sebagai roh.”
Tim promotor dari Universitas 11 Maret, menganggap gagasan jurnalisme makna yang dirintis Jakob Oetama penting bagi perkembangan jurnalistik di Indonesia. Pada intinya, jurnalisme makna adalah karya jurnalistik yang tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga konteks dari fakta terkait peristiwa yang diberitakan. Ini merupakan kerja intelektual. Tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga memberikan konteks dan interpretasi. Tim promotor menyebutkan jurnalisme makna merupakan terobosan baru dalam bingkai ideologi Pancasila dengan meniscayakan pengungkapan latar belakang peristiwa sehingga publik bisa melihat konteks peristiwa, meski akhirnya penilaiannya tetap diserahkan kepada publik.
Dengan adanya kejelasan dari Jakob Oetama, kini mungkin bisa menganggap bahwa generasi baru jajaran pengasuh Harian Kompas, hanyalah terpleset dan terhanyut sesaat dalam arus politik partisan yang harus diakui memang membelah masyarakat di sekitar masa pemilihan presiden. Akibatnya di sekitar masa itu, berita dan interpretasi serta analisis yang disajikan Kompas, berkecenderungan kuat menjadi asimetri. Sejenak kehilangan posisi sebagai kompas nalar dan sumber referensi objektif bagi publik yang ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya dari peristiwa politik yang sedang terjadi. Kompas demam sesaat, tapi kini suhu tubuhnya agaknya mulai kembali normal. Demam itu mungkin terjadi karena semangat yang terlalu menggebu mendukung ketokohan tertentu kala itu. Di satu sisi ada tokoh baru yang belum terungkap mendalam mengenai masa lampaunya dan belum sempat dipastikan apakah punya dosa atau bersih dalam perjalanan karirnya –yang hingga sejauh ini cenderung mendapat citra semi malaikat. Dan pada sisi lain, ada tokoh yang sudah punya sejarah cukup panjang dengan lekatan subjektif citra moreevil karena berbagai lekatan stigma pelanggaran HAM masa lampau serta tuduhan tindakan represi –yang tak pernah diklarifikasi dengan tepat.
Koran Tempo yang merupakan ‘anak’ Majalah Mingguan Berita Tempo, mengalami demam partisan Pemilihan Presiden, dalam jangka waktu yang lebih panjang dari Harian Kompas. Sampai saat-saat terakhir, menjelang, selama dan setelah sidang gugatan hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi, suhu tubuhnya tetap tinggi. Apakah yang sesungguhnya telah terjadi di tubuh kelompok media terkemuka itu? Apakah telah terjadi jurang perbedaan gaya, sikap dan pemahaman tentang idealisme pers di antara para pendiri maupun para senior Tempo lainnya dengan generasi baru dan terbaru yang menjadi para juniornya?
INTRODUKSI tim promotor Universitas 11 Maret, tentang jurnalisme makna yang dianggap terobosan baru, yang dilekatkan kepada Kompas adalah suatu penyampaian yang menarik. Empat puluh enam tahun lalu, Juni 1968, tokoh pers senior lainnya, Rosihan Anwar, mengintrodusir adanya model journal of ideas. Rosihan kala itu menyebut Mingguan Mahasiswa Indonesia –lahir 19 Juni 1966, dibreidel rezim Soeharto Januari 1974– sebagai pers dengan kategori seperti itu. Media generasi muda itu dianggap Rosihan sebagai penerbitan yang menyajikan segala gagasan dan opini dalam masyarakat. Telah mengabdikan diri pada karya modernisasi di tanah air, suatu hal yang tidak mudah dan tidak biasa terdapat dalam pers Indonesia. Kata Rosihan, “a single journal can make the difference.” Rosihan menyebut dalam posisi sebagai koran modernisator, tiga misi harus dijalankan media generasi muda tersebut, yaitu: Menggerakkan lagi bangsa ini, mengatur bangsa ini untuk pembangunannya dan memberikan bangsa ini suatu ideal.
Apakah juga Harian Kompas adalah sebuah journal of ideas, dan apakah jurnalisme makna pada hakekatnya bisa pula dipahami dengan pengertian yang sama? Dalam desertasi doktornya –yang kemudian dibukukan tahun 1984 oleh LP3ES dengan judul ‘Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia’– peneliti asal Perancis, Francois Raillon, sempat melakukan penilaian tentang dua koran nasional terkemuka Harian Kompas (terbit pertama kali 28 Juni 1965) dan Harian Sinar Harapan di masa-masa awal. Menurut Francois Raillon, kedua suratkabar nasional itu, menonjol berkat mutu editorial mereka dibandingkan pers pada umumnya. Sepanjang informasi yang ada, dua penulis editorial Kompas masa awal adalah Jakob Oetama dan Auwyang Peng Koen (PK Ojong, 1920-1980). “Namun sifat institusional serta nada tulisan mereka yang berhati-hati tidaklah memuaskan hati mereka yang mencari satu pers yang mencerminkan perubahan.”
Sebagai reaksi terhadap model pers yang ada, tulis Raillon, di tahun 1966 Mingguan Mahasiswa Indonesia didirikan (Rahman Tolleng, Awan Karmawan Burhan, Ryandi S) dan pada saat yang sama Harian KAMI (Nono Anwar Makarim). Untuk memperkenalkan sebuah gaya jurnalisme baru, lebih hidup, lebih kritis dan lebih dinamis. “Yang hendak dilakukan ialah mematahkan tradisi berupa respek terhadap kekuasaan yang mewarnai pers waktu itu serta menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah.” Waktu itu, sikap kritis, dinamis dan fungsi kontrol sosial kepada penguasa, masih merupakan konsep baru yang tidak dijalankan dengan baik oleh pers konvensional maupun oleh partai-partai politik.
Mungkin saja Francois Raillon bisa dianggap berlebihan –termasuk oleh kalangan pers sendiri misalnya– tetapi bagaimana pun ia telah menempatkan dua media generasi muda itu, Harian KAMI dan terutama Mingguan Mahasiswa Indonesia, sebagai model ‘puncak’ pers bebas Indonesia, dengan nafas baru dan kualitas baru. Ketika dua media generasi muda itu dibreidel Januari 1974, antara lain dengan Harian Indonesia Raya (Mochtar Lubis) dan Harian Pedoman (Rosihan Anwar), Raillon menyebut Mahasiswa Indonesia tak tergantikan. “Tentu saja karena pers Indonesia baru saja menerima suatu kejutan setelah satu gelombang larangan yang mematikan beberapa penerbitan pers. Di samping itu, yang terbit terus hanya koran-koran yang selalu moderat atau memiliki kepandaian untuk berdayung serta pandai menebak berbagai variasi dari garis politik resmi.”
Francois Raillon tidak menyebut nama pers yang termasuk dalam kategori yang disebut terakhir tersebut. Tapi secara khusus ia menyebut Majalah Tempo yang terbit kemudian (dipimpin Goenawan Mohammad) sebagai memiliki warisan spiritual pers bebas seperti Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia. Goenawan Mohammad sebelumnya juga bergabung di Harian KAMI, lalu ikut mendirikan Mingguan Berita Ekspres bersama Marzuki Arifin. Akhirnya mendirikan Tempo setelah pecah kongsi dengan Marzuki. Tempo menurut Raillon, “membedakan dirinya dengan pers Indonesia lainnya berkat mutu yang boleh jadi terpengaruh oleh jurnalisme Amerika, tetapi juga mempunyai gaya hidup serta kritik cukup pedas yang mengingatkan kita pada Mingguan Mahasiswa Indonesia dari Bandung, tentu tanpa sikap aktivis.”
BERBEDA dengan Tempo yang lebih pedas, Harian Kompas tergolong sebagai media dengan pilihan sikap moderat. Kadang-kadang ketidakberaniannya menyuarakan kebenaran dengan lantang mengecewakan banyak pihak yang mendambakan pembaharuan sosial politik. Tetapi terlepas dari itu, bagaimana pun Indonesia membutuhkan media-media semacam Harian Kompas dan juga Majalah Tempo –semestinya demikian pula Koran Tempo– yang pada hakekatnya berkualitas tinggi. Dibutuhkan sebagai –katakanlah dalam posisi the last strong hold– sumber referensi kebenaran, di tengah suasana penuh ketidakbenaran seperti diderita Indonesia selama ini hingga kini. Tapi tentu, jangan sering-sering terpeleset ke dalam genangan lumpur noda sosial-politik-ekonomi. Keduanya, suka atau tidak, harus bersedia memikul semacam beban moral, dalam suatu ekspektasi berkadar tinggi dari publik, untuk tidak bergelimang noda politik maupun noda ekonomi. (Rum Aly/socio-politica.com)
BUKAN hanya Prabowo Subianto yang memiliki semacam ‘beban sejarah’ dari masa lampau, tetapi juga Muhammad Jusuf Kalla. Tokoh yang tampil sebagai calon Wakil Pesiden mendampingi Jokowi dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 mendatang ini, juga punya ‘beban sejarah’ yang sama –yang seharusnya memerlukan pula penjelasan, karena mengandung sejumlah peran kontroversial. Di tahun 1966-1967 nama dan peran Jusuf Kalla mencuat sebagai tokoh perjuangan 1966 di Sulawesi Selatan. Ia memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan, sekaligus sebagai tokoh puncak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di daerah tersebut.
MUHAMMAD JUSUF KALLA. “Namun adalah baik bila ia bisa menjelaskan beberapa segmen yang berpotensi sebagai beban dalam sejarah ketokohannya, menjelang ia menapak menjadi bagian dari kepemimpinan nasional untuk kedua kali.” (gambar download)
Gerakan mahasiswa 1966 di Sulawesi Selatan kala itu, bila diperbandingkan, berbeda banyak dengan gerakan mahasiswa pada tahun-tahun yang sama di Jakarta dan Bandung. Salah satu perbedaan utama adalah fakta sangat dominannya HMI dalam gerakan-gerakan mahasiswa di Sulawesi Selatan saat itu. Demikian besar jumlah keanggotaan HMI di Sulawesi Selatan –terutama di Makassar– sehingga tokoh HMI Adi Sasono pernah mengatakan “di perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI.” Maksud Adi, seluruh badan kemahasiswaan di perguruan tinggi di sana, tak ada yang tak dikuasai oleh HMI. Dan di lapisan pelajar berperan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Di Jakarta, sumber ketokohan mahasiswa di sekitar tahun 1966 lebih warna-warni. Tokoh-tokoh pergerakan 1966 bersumber dari berbagai organisasi ekstra, seperti PMKRI (Cosmas Batubara, Savrinus Suardi), Somal (Marsillam Simandjuntak, Yosar Anwar), Mahasiswa Pantjasila (David Napitupulu), GMKI (Albert Hasibuan) selain PMII, IMM dan HMI (Mar’ie Muhammad, Abdul Gafur, Akbar Tandjung). Sementara itu di Bandung, tokoh-tokoh organisasi ekstra berpadu dengan tokoh-tokoh intra kampus sebagai tulang punggung KAMI, ditambah aktivis-aktivis independen. Dari Daim A. Rahim, Djoko Sudyatmiko, Sugeng Sarjadi, Mansur Tuakia, Jack Sitompul, Purwoto Handoko, Alex Rumondor, Muslimin Nasution sampai Rachmat Witoelar, Rahman Tolleng dan Bonar Siagian. Dan, yang lebih muda seperti Sarwono Kusumaatmadja dan Marzuki Darusman. Di kalangan pelajar selain KAPPI ada Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, KAPI, satu-satunya di Indonesia (Thomas Sitepu, Endriartono Sutarto, Luhut Pandjaitan dan Sudi Silalahi). Mereka dari Bandung ini tercatat sebagai pelopor gerakan menjatuhkan Soekarno.
Perbedaan lain yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh mahasiswa tahun 1966 di Makassar, adalah bahwa dibanding Bandung misalnya, mereka lebih cepat tiba di ‘tujuan’. Secara dini, beberapa tokoh mahasiswa, seperti antara lain Rapiuddin Hamarung, berhasil masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan setempat, di antaranya sebagai anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) tingkat provinsi maupun daerah tingkat dua. Tapi, Jusuf Kalla, menetapkan bagi dirinya suatu pilihan lain, berkarir di dunia usaha. Menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) “Muhammad Jusuf Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone.” Tampaknya, pilihan Jusuf Kalla, terbukti jitu. Ia berhasil lebih mem’besar’kan Group Kalla hingga tingkat yang termasuk menakjubkan. Tak heran, bila banyak yang merasa bangga, khususnya di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, terhadap diri Jusuf Kalla.
JUSUF KALLA DAN JOKOWI. “Sepanjang apa yang diucapkannya dan untuk sebagian telah diperlihatkannya selama dirinya berkesempatan ikut dalam kekuasaan negara, terkesan Jusuf Kalla banyak merubah diri dan ketokohannya. Tak heran, setelah menyelesaikan masa jabatan sebagai Wakil Presiden di tahun 2004-2009, ia makin diapresiasi sebagai calon pemimpin alternatif. Buktinya, Jokowi, yang pasti tak terlepas dari persetujuan puteri sulung Soekarno, Megawati, memilihnya sebagai pendamping dalam memperjuangkan ‘mandat langit’ dari rakyat. ” (download, jusufkalla.info)
Ia diketahui dan dianalisis sebagai pengusaha yang sangat tidak menyukai pengusaha keturunan Cina (sekarang secara resmi disebut etnis Tionghoa). Disebutkan, dalam beberapa peristiwa rasialis di Sulawesi Selatan, khususnya setelah peristiwa 1965, jejak peran Jusuf Kalla dan HMI selalu ada. Diceritakan pula –mungkin saja sedikit berlebihan– Jusuf Kalla berperan mendorong Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan Baharuddin Lopa untuk ‘secara’ hukum menyapu pengusaha Tony Gozal, seorang keturunan Tionghoa, dari persaingan bisnis di wilayah tersebut.
Ada dua hal yang perlu diceritakan di sini. Di satu pihak, Baharuddin Lopa –yang kemudian hari sempat sejenak menjadi Jaksa Agung RI– adalah orang yang keras kepala dan tak mudah dibujuk, tetapi Jusuf Kalla dengan caranya yang khas agaknya berhasil ‘menyelami’ sehingga bisa ‘memikat’ hati Lopa. Di pihak lain, Tony Gozal, adalah pengusaha yang tangkas melakukan pendekatan kepada para pejabat di daerah tersebut, siapa pun dan di tingkat mana pun. Kecuali, terhadap Lopa, ia gagal melakukan pendekatan. Lopa sering ikut menghadiri jamuan makan yang dilakukan Tony Gozal kepada para petinggi, tetapi justru di situ ia menyimpulkan kedekatan luar biasa sang pengusaha dengan para penguasa daerah. Lopa tak hanya ‘menyapu’ Tony, melainkan juga sejumlah kalangan pejabat.
Tetapi, Jusuf Kalla juga adalah pengusaha yang berhasil menjalin kedekatan dengan kalangan penguasa. Mula-mula dengan penguasa tingkat daerah, dan pada akhirnya juga untuk tingkat pusat. Ada masa di mana proyek-proyek pemerintah untuk daerah Sulawesi Selatan jatuh hanya ke tangan Group Kalla di samping pengusaha tertentu yang punya hubungan kekeluargaan dengan para pejabat. Di luar itu, hanyalah golongan pengusaha kelas pemungut remah-remah.
PADA 10 November 1965 kota Makassar dilanda sejumlah aksi yang keras. Selain penyerbuan Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) di Jalan Chairil Anwar dan ‘pengganyangan’ PKI juga terjadi pengejaran kepada massa PNI/Marhaenis pendukung Soekarno yang dilanjutkan dengan penyerbuan dan perusakan rumah beberapa tokoh PNI. Aspek persaingan menjadi faktor penting dalam aksi permusuhan terhadap kalangan PNI Sulawesi Selatan ini. Selama masa kekuasaan Soekarno, khususnya periode 1960-1965, PNI begitu dominan di daerah ini, termasuk dalam posisi di pemerintahan.
Di tingkat pusat kala itu PNI direpresentasikan oleh PNI Ali-Surachman yang dianggap dipengaruhi PKI. Secara internal, sebenarnya ada perpecahan di tubuh PNI. Kelompok Hardi SH dan kawan-kawan misalnya menolak keberadaan Surachman yang dianggap kader PKI sebagai Sekjen PNI. Dan, PNI Sulawesi Selatan saat itu, dengan sedikit pengecualian, lebih cenderung berada di kubu Hardi. Tetapi 10 November 1965, mereka kena ‘ganyang’. Sejumlah rumah tokoh PNI diserbu dan dirusak, sehingga beberapa di antaranya terpaksa melarikan diri ke pulau Jawa. Harian Marhaen milik PNI Sulawesi Selatan diambilalih oleh seorang tokoh tentara.
Massa HMI menjadi salah satu tulang punggung aksi pada 10 November 1965 itu. Tetapi sungguh menarik bahwa kini, hampir 50 tahun kemudian, Muhammad Jusuf Kalla, tokoh HMI Sulawesi Selatan pada masa-masa pergolakan kala itu, menjadi calon Wakil Presiden dari Jokowi. Direstui Megawati Soekarnoputeri untuk maju sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014. Dengan pendukung utama PDIP, suatu partai yang mewarisi gen PNI.
Berikutnya, di tahun 1967, tanggal 1 Juni yang sebenarnya bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, yang selama ini dikaitkan dengan tanggal penyampaian pidato Bung Karno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), massa HMI berkumpul di gedung sekretariat mereka di Jalan Botolempangan Makassar. Kehadiran Jusuf Kalla terlihat di sana. Massa kemudian bergerak meninggalkan tempat itu dan terlibat dalam aksi perusakan sejumlah gereja di kota itu, termasuk Gereja Katedral di arah utara Jalan Botolempangan yang berseberangan dengan Lapangan Karebosi. Meskipun masih berdekatan waktu, boleh dikatakan tak ada alasan rasional untuk terjadi kerusuhan berdasar sentimen agama yang bisa dikaitkan dengan Peristiwa 30 September 1965, ataupun pencabutan mandat MPR atas diri Soekarno Maret 1967. Perusakan gereja itu terjadi sebagai suatu peristiwa dengan alasan yang berdiri sendiri, yakni intoleransi beragama. Kalau ada sesuatu yang bisa dikaitkan, paling mungkin adalah sisa-sisa kebencian pasca DI/TII.
BARANGKALI, dalam sudut pandang sekelompok masyarakat, situasional per waktu itu, saat peristiwa-peristiwa tersebut terjadi, Jusuf Kalla adalah tokoh yang berkategori hero. Sikap anti ‘Cina’ yang ditunjukkannya kala itu misalnya, mewakili pandangan sejumlah saudagar Bugis dan atau lapisan tertentu dalam masyarakat terkait kesenjangan ekonomi. Tapi jangankan sikap anti ‘Cina’, sikap anti ‘Jawa’ pun masih merupakan fakta di masa itu. Sikap anti Kristen, yang ditandai perusakan gereja, mewakili pandangan sempit kelompok-kelompok masyarakat Sulawesi Selatan waktu itu, yang baru 1-2 tahun lepas dari masa pergolakan DI/TII. Sementara sikap anti PNI yang tak cermat memilih korban, lebih banyak terkait dengan rivalitas antar tokoh politik dan tokoh masyarakat di Sulawesi Selatan kala itu.
KINI, untuk kedua kalinya, Muhammad Jusuf Kalla akan menjadi tokoh nasional –bila ia dan Jokowi berhasil memenangi pemungutan suara 9 Juli 2014– dan itu terjadi di usia 72 tahun. Di tahun 1966-1967 Jusuf Kalla baru berusia 24-25 tahun. Masih agresif. Kini, meski masih sering meletup-letup, pastinya harus tampil lebih bijak sebagai tokoh yang pluralis, yang menerima cita-cita bhinneka tunggal ika. Sepanjang apa yang diucapkannya dan untuk sebagian telah diperlihatkannya selama dirinya berkesempatan ikut dalam kekuasaan negara, terkesan Jusuf Kalla banyak merubah diri dan ketokohannya.
Tak heran, setelah menyelesaikan masa jabatan sebagai Wakil Presiden di tahun 2004-2009, ia makin diapresiasi sebagai calon pemimpin alternatif. Buktinya, Jokowi, yang pasti tak terlepas dari persetujuan puteri sulung Soekarno, Megawati, memilihnya sebagai pendamping dalam memperjuangkan ‘mandat langit’ dari rakyat. Namun adalah baik bila ia bisa menjelaskan beberapa segmen yang berpotensi sebagai beban dalam sejarah ketokohannya, menjelang ia menapak menjadi bagian dari kepemimpinan nasional untuk kedua kali.
Hal yang sama tentu berlaku untuk Prabowo Subianto. Banyak tokoh yang mampu merubah sikap, perilaku dan pandangan masa lampaunya menjadi jauh lebih baik di masa kini dan masa depan. Meski, ada juga yang jauh di dalam dirinya pada hakekatnya tak mampu melakukan perubahan sejati. Manusia termasuk spesies yang tak mudah untuk seketika merubah tabiat yang terbentuk dalam jangka lama sepanjang perjalanan hidupnya.
Jangan biarkan rakyat pemilih untuk kembali masuk ke dalam dilema pilihan the bad among the worst atau bahkan pilihan lesser evil dalam menentukan pemimpin negara. (socio-politica.com)
*Sekali lagi, tulisan ini sebagaimana tulisan lainnya dalam serial ‘Mengejar Mandat Langit’, tidak bertujuan mendiskreditkan seorang tokoh. Tujuan utama tulisan-tulisan ini adalah memberi tambahan referensi kepada mereka yang akan menjadi pemilih untuk lebih mengenal dan lebih mengetahui tentang tokoh yang akan mereka pilih 9 Juli 2014.
DALAM laporan khusus Majalah Tempo (13-19 Januari 2014) mengenai Peristiwa 15 Januari 1974 yang terjadi 40 tahun lampau, muncul catatan penggunaan metafora pers dan mahasiswa sebagai ‘pisau dapur’. Dilontarkan Mashuri SH selaku Menteri Penerangan RI di depan anggota DPR pada awal Februari 1974. Sang menteri kala itu sedang mencoba menjelaskan kenapa ia membreidel –mencabut Surat Izin Terbit– begitu banyak suratkabar setelah peristiwa. “Selama berfungsi sebagai pisau dapur, tetap dapat dipakai. Tapi, kalau digunakan untuk membunuh, lebih baik disimpan atau dibuang saja,” ujar Mashuri SH di forum itu.
Sebenarnya cukup banyak yang geram terhadap Mashuri dengan tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan ‘ikut arus’nya, khususnya di kalangan aktivis mahasiswa dan cendekiawan yang sebenarnya memiliki kedekatan dengan dirinya. Meskipun ia adalah menteri Soeharto –Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, lalu Menteri Penerangan– ia dianggap bukan tipe bebek. Tapi ternyata pada momen pasca Malari, saat fase copot mencopot diyakini mau tak mau akan terjadi, Mashuri memilih ikut arus.
BERITA ‘MAHASISWA INDONESIA’ SOAL PANGKOPKAMTIB. “Pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia disertai alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.”
Semua suratkabar yang sudah lebih dulu dicabut Surat Izin Cetak dan atau ditindaki Kopkamtib/Kopkamtibda, tak lolos dari pencabutan SIT oleh Departemen Penerangan. Bahkan, ada suratkabar yang luput ditindak Kopkamtib, pun dicopot SIT-nya. Jenderal Ali Moertopo, seteru Jenderal Soemitro dalam kekuasaan, diyakini berperan dalam proses ini. Begitu pula dalam proses penindakan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berada dalam barisan Jenderal Soemitro.
IRONIS sebenarnya, bila Mashuri SH menganggap pers dan mahasiswa hanya sebagai pisau dapur, yang akan dibuang bila dipakai di luar dapur. Sungguh suatu pandangan khas penguasa, bahwa segala sesuatunya hanyalah alat kepentingan kekuasaan. Padahal, Mashuri SH, dengan mencatat rekam jejak perjuangannya sejak tahun 1966, semestinya bukanlah tipe tokoh kekuasaan klasik seperti itu. Tak ada gunanya ia menggunakan metafora yang tak nyaman itu bagi pers dan mahasiswa itu dan hanya akan menciptakan kerenggangan psikologis. Toh, tak selang beberapa lama setelah peristiwa, ia juga dilepas dari jabatan Menteri Penerangan, diganti oleh Jenderal Ali Moertopo.
Sebelumnya, saat baru menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, susah payah Mashuri SH menghadapi kasus CV Haruman yang turun temurun pengaruhnya bagaikan gurita melilit tubuh Departemen PDK dan menguasai begitu banyak proyek melalui cara-cara fait accompli di situ. Sangat terbatas media pers yang ‘membantu’nya menyampaikan ‘kebenaran’, dan hanya dua yang gigih berpihak kepadanya memerangi bisnis korup itu, yaitu Harian Indonesia Raya dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Uang bekerja untuk menetralisir kebanyakan pers, bahkan merekrut beberapa media pers sebagai senjata menghadapi Menteri PDK Mashuri, sementara yang lainnya memilih tidak turut campur. Berangsur-angsur pemberitaan pers tentang kasus tersebut mereda. Hanya dua media itu saja yang bertahan ingin mengawal persoalan itu tuntas sampai pengadilan.
Namun ternyata, Departemen PDK sendiri diam-diam berunding menyelesaikan masalah di luar jalur hukum. Kantor redaksi Mahasiswa Indonesia didatangi seseorang yang mengaku utusan CV Haruman dengan membawa tas berisi uang dan janji-janji. Cukup berhenti memberitakan saja, tak lebih dari itu, karena ‘ketenangan’ diperlukan saat berlangsung suatu ‘penyelesaian damai’. Mahasiswa Indonesia memilih tetap saja memberitakan dan mengulas kasus tersebut untuk beberapa lama. Bukan pisau dapur. Namun, nyatanya terjadi kesepakatan penyelesaian damai tanpa proses hukum antara PDK dan sang swasta.
HARIAN Indonesia Raya dan Mingguan Mahasiswa Indonesia termasuk di antara dua media pers yang dibreidel ganda, baik oleh pihak penguasa militer maupun Departemen Penerangan di bawah Mashuri SH. Khusus bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah cukup ironis bahwa pencabutan SIT kebetulan dilakukan oleh Menteri Penerangan Mashuri, orang yang pada waktu menjadi Menteri PDK disupportnya habis-habisan menghadapi kasus korupsi CV Haruman pada saat tak ada media lain lagi mau melakukan supportasi. Tapi bagaimanapun posisi Mashuri bisa dipahami, karena pencabutan SIT adalah keputusan Kabinet serta Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, dan terutama atas kehendak Presiden Soeharto sendiri. Pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia disertai alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.
Memang, kala itu disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offsetrotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.
Lebih jauh, tentang nasib pers kala itu, berikut ini kita meminjam kembali beberapa uraian dalam buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter” (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).
Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibilitygap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibilitygap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.
DALAM pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan tersebut praktis hanya tiga orang ini, yakni Panglima Siliwangi, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Tak lain, karena hadirin lainnya (termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal) agaknya ‘tercekam’ situasi.
Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.
Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.
Menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden.
‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.
KORAN ibukota yang dibreidel di wilayah Laksus Pangkopkamtibda sejak 21 Januari adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mohtar Lubis, Harian Kami yang dipimpin Nono Anwar Makarim, lalu Harian Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang dan Mingguan Pemuda Indonesia. Keenamnya dicabut Surat Izin Cetak-nya. Dua hari kemudian, menyusul lagi Harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar –kendati Rosihan sudah menyempatkan diri meminta maaf kepada penguasa– dan Majalah Ekspres yang dipimpin Marzuki Arifin SE.
Pembreidelan terhadap ‘Ekspres’, yang diketahui sangat dekat dengan kelompok Ali Moertopo dan beritanya menghantam habis para mahasiswa dan peristiwa itu, memang sedikit mengherankan pada mulanya. Tapi belakangan diketahui bahwa ‘permintaan’ untuk menindak ‘Ekspres’ mau tidak mau harus dipenuhi karena majalah itu memuat foto-foto perusakan pada tanggal 15 Januari itu yang dijadikan salah satu ‘syarat’ pembreidelan. Sehari sebelumnya, rencana pembreidelan ‘Ekspres’ ini dengan alasan pemuatan foto perusakan disampaikan oleh Louis Taolin (Pemimpin redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat yang tak terbit lagi) yang mempunyai akses ke kalangan intelejen, kepada Rahman Tolleng. Mereka ini lalu berinisiatif menghubungi Majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Mohamad, agar mencoba menghindari nasib serupa dengan tidak memuat foto-foto perusakan yang bisa dijadikan alasan menindak. Para pengasuh Tempo tanggap dan segera mencabut halaman-halaman yang memuat foto-foto seperti itu, padahal majalahnya sudah betul-betul siap cetak. Edisi Tempo kali itu lalu terbit dengan lebih ramping karena ‘kehilangan’ beberapa halaman, namun akhirnya lolos dari pembreidelan. Menjadi kurus sejenak tapi tidak perlu kehilangan nyawa, sehingga dunia pers tidak harus kehilangan terlalu banyak media yang berharga dan masih idealis.
Tapi, menurut Liputan Khusus Tempo (13-19 Januari 2014), penanggung jawab Tempo saat itu di tahun 1974, Goenawan Mohamad, mengaku tak mendapat pemberitahuan tersebut. Tempo yang kala itu berumur tiga tahun, menulis kasus Malari dalam sebelas halaman di edisi 26 Januari, dengan sampul depan berjudul “Huru Hara di Jakarta”. Terbit 52 halaman, sama dengan ketebalan edisi sebelum Malari, Tempo tak menulis banyak, kata Goenawan, “Karena enggak ada naskah aja.”
Belakangan, seluruh pencabutan SIC ini mendapat ‘hukuman final’ berupa vonnis mati yang tetap dengan adanya pencabutan Surat Izin Terbit yang dilakukan oleh Departemen Penerangan. Menurut Menteri Penerangan Mashuri SH “pencabutan SIT itu adalah dalam rangka membulatkan langkah-langkah penyelesaian penertiban surat-suratkabar dan majalah sebagai akibat Peristiwa 15 Januari 1974”. Keputusan Menteri Penerangan diambil setelah menunggu keputusan Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional. (socio-politica.com)