KEMUNGKINAN besar, seruan hijrah dari kebencian dan permusuhan yang dilontarkan calon presiden petahana Joko Widodo (3/11) di Banten dan di Jakarta, takkan bisa memupus dua sentimen negatif yang telah berurat berakar tak kurang dari 4 tahun pada dua kubu politik faktual yang ada. Seruan itu baik, tapi bagi kubu pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun non pendukung, apa pun isinya, hanya akan sampai secara hitam putih dalam arah yang sudah instan. Bahwa lawan politik lah pelaku kebencian dan permusuhan itu, sementara kubu sendiri adalah sasaran dari pernyataan-pernyataan kebencian dan permusuhan itu.
Bahwa seruan ini lebih lebih cenderung ditujukan ke arah eksternal ketimbang ke arah internal, di sisi kubu Joko Widodo, segera tergarisbawahi dengan munculnya tafsir-tafsir tambahan dari para pendukung. Salah satu pemimpin partai koalisi petahana misalnya, mengatakan seruan hijrah sesuai dengan ajaran Islam. Dan kemudian, salah satu anggota tim sukses menyebut hijrah akan diteruskan petahana ke periode berikut. Di titik ini, kata hijrah telah menjadi perbendaharaan kosakata kampanye.
POSTER DUA PASANG KONTESTAN PILPRES 2019. Dan last but not least, selalu ada kemungkinan situasional di luar dugaan muncul mempengaruhi di hari-hari atau bahkan di menit-menit akhir…….. Politik uang dan iming-iming lainnya? Ada pemeo lama menjelang pemilihan umum 1999, “boleh terima uangnya, tapi jangan pilih partainya”. Dukungan ‘palsu’ bukan suatu hal yang mustahil saat ini. Semua pihak bisa terkena….. (Gambar, download)
Penyampaiannya pun bisa dianggap sedikit bernuansa playing victim. “Yang marah-marah lalu hijrah ke sabar-sabar. Sabar tapi tetap kerja keras,” bunyi salah satu penggal kalimat tambahan sang petahana. Sabar dan kerja-kerja selama ini dijadikan identitas ciri kelompok pendukung (pemerintah). Sementara kelompok ‘oposisi’ bila melakukan kritik disebutkan sebagai perilaku nyinyir. Padahal sebenarnya, perilaku beraroma kebencian dan permusuhan, serta aneka perilaku negatif lainnya, dalam kenyataan ada pada semua sisi. Kebencian dan permusuhan adalah dua perilaku balas berbalas, bukan perilaku psikologis sepihak. Perilaku membenci dan memusuhi, paling tidak bisa dicerminkan dengan penamaan kecebong dan kampret dari dan untuk masing-masing pihak.
Seruan aneka hijrah dari Joko Widodo ditanggapi pihak Prabowo-Sandi sebagai lip service belaka. Tidak ada bukti komitmen. Juru bicara kubu 02 Faldo Maldini mengatakan selama ini relawan Jokowi suka menyerang dan memaki pihak lawan politik sang petahana. Karena cara itu tak efektif lagi, Joko Widodo kemudian meminta mereka mengubah strategi. “Petahana memang kesulitan mengontrol tindakan relawan-relawannya yang suka menyerang dan memaki,” ujar Faldo. Jurubicara ini menganggap kubunya justru korban. “Saya saja tiap menit dimaki-maki di media sosial, apalagi Pak Prabowo dan Bang Sandi. Sudah dihina seperti apa.”
Jadi, kalau memang ada yang harus hijrah, semua harus hijrah. Dua kubu politik, harus diakui di sana sini sama-sama memiliki perilaku tak beretika, vulgar dan jauh dari kesantunan. Untuk tidak menyebutnya menghalalkan segala kata dan cara –termasuk mengobarkan permusuhan dan kebencian serta menggunakan kebohongan– untuk mencapai tujuan kemenangan memperebutkan kekuasaan. Maka semua sisi harus hati-hati menempatkan juru kampanye yang terlalu banyak mengobarkan kebencian dan permusuhan.
Pantulan terbaru dari fakta kuatnya kebencian dan permusuhan di antara dua kubu dalam pembelahan politik saat ini, adalah terlontarkannya kata-kata sontoloyo, pengkhianat bangsa, tampang Boyolali (sebuah gurauan tak cermat) yang berbalas makian asu. Di susul phrase ‘politik genderuwo’. Dan itu disampaikan tak kurang dari dua tokoh tertinggi di masing-masing kubu yang ditingkahi seorang bupati. Selain itu beberapa tokoh dan umumnya pendukung menunjukkan sikap tak jujur terhadap kebenaran. Bila ada berita menguntungkan meskipun perlu diragukan kebenarannya, dibiarkan beredar di media sosial pendukung. Sebaliknya, setiap berita yang meskipun benar tetapi tidak menyenangkan, langsung ditangkis dengan tudingan hoax.
Dan sayangnya, di sini, untuk soal hoax, umumnya media mainstream terkesan membatasi peranan. Nyaris tak ada media mainstream yang mengambil peran sebagai jangkar referensi objektivitas. Satu dan lain sebab, karena terbuka atau di belakang layar, telah menjadikan diri sebagai media partisan dan propaganda. Di zaman Orde Lama Soekarno, setiap media harus punya induk partai, dan berfungsi sebagai koran agitprop –agitasi dan propaganda. Sementara dalam masa Orde Baru Soeharto, sebagian besar media –dengan hanya sedikit pengecualian– memilih jalan aman tak bersikap kritis terhadap kekuasaan karena takut dicabut SIT/SIUPP atau diberangus Kopkamtib.
Dua pasangan calon presiden-wakil presiden perlu berhati-hati menjaga kata-kata dan perilaku. Jangan ada yang jemawa. Apalagi, belum ada satu di antara mereka yang betul-betul bisa memastikan diri telah mengantongi kemenangan. Memang beberapa lembaga survei telah mempublisir keunggulan elektabilitas kubu tertentu, tetapi validitasnya masih bisa dipertanyakan, khususnya karena digunakannya kisi-kisi fait accompli dan penggiringan. Bagaimanapun, rahasia hati sebagian terbesar rakyat pemilih belum bisa diketahui.
Meski ada dugaan adanya ‘pelacuran’ intelektual melalui survei, namun ada juga beberapa hal yang bagaimanapun perlu dicermati lanjut dari satu dua survei. Lebih dari satu survei atau jajak pendapat menunjukkan lebih besarnya swing voters non golput dibandingkan jumlah calon pemilik suara yang telah menentukan pilihan. Ini fenomena menarik. Survei Indopolling di Jawa Barat periode 9-15 Oktober yang lalu memperlihatkan terdapatnya 51,6 persen ‘suara rahasia’ ataupun mereka yang belum memutuskan memilih siapa di antara dua pasangan yang ada. Menurut survei ini pasangan 01 mendapat 27,0 persen dan pasangan 02 memperoleh 21,4 persen. Artinya untuk sementara swing voters lah yang unggul melebihi akumulasi prosentase elektabilitas sekaligus dua kubu.
Angka Indopolling ini, sedikit banyaknya mengkonfirmasi beberapa analisa akademis tentang adanya kejenuhan publik terhadap perilaku politik saat ini, yang terjadi bersamaan waktu dengan fenomena membesarnya angka swing voters. Ini variable yang perlu dicermati dalam 5 bulan lebih menjelang 17 April 2019. Perlu pula diukur, apa dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap penggunaan jurukampanye-jurukampanye yang punya sejarah pindah-pindah tuan karena mengejar benefit materil maupun kedudukan. Mungkin justru kontra produktif.
Tak boleh juga dilupakan, pengalaman dari beberapa pilkada, bahwa seringkali angka-angka lembaga survei meleset, seperti misalnya yang terjadi dengan dua Pilkada DKI berturut-turut. Kemungkinan, ada beberapa sikap calon pemilih yang masih perlu diteliti dan diperhitungkan lanjut. Antara lain, misalnya, tak selalu seluruhnya mau tunduk kepada penentuan dini keunggulan yang terkesan kerap digunakan sebagai angka fait accompli. Belum lagi kemungkinan kesalahan persepsi dan prediksi mengenai kelompok yang selama ini dikategorikan kaum milenial. Selama ini sikap dan pilihan politik mereka yang sesungguhnya, senantiasa dihitung-hitung. Tapi, apakah akurasi pembacaan terhadap pengkategorian kaum milenial dan generasi baru pada umumnya sudah tepat? Suatu dinamika tinggi dan cepat sesungguhnya telah terjadi dalam shifting generasi karena pengaruh luar biasa derasnya arus kemajuan IT dan teknologi digital pada umumnya. Jangan-jangan peta generasi pun sudah berubah.
Dan last but not least, selalu ada kemungkinan situasional di luar dugaan muncul mempengaruhi di hari-hari atau bahkan di menit-menit akhir…….. Politik uang dan iming-iming lainnya? Ada pemeo lama menjelang pemilihan umum 1999, “boleh terima uangnya, tapi jangan pilih partainya”. Dukungan ‘palsu’ bukan suatu hal yang mustahil saat ini. Semua pihak bisa terkena….. (socio-politica.com/media-karya.com)
PASCA masa Dwifungsi ABRI, Kepolisian Indonesia terbawa tepat ke tengah pusaran kekuasaan negara. Polri – khususnya Kepala Polri, yang langsung berada di bawah Presiden– menjadi faktor dalam kekuasaan, yang terjadi terutama karena struktur pengorganisasiannya yang berskala nasional dengan sistem komando sentralistik. Di atas kertas –dan untuk sebagian dalam kenyataan– Polri menjadi sangat powerful. Sesuatu yang yang tidak dimiliki oleh kebanyakan institusi kepolisian negara-negara maju di dunia, dengan kewenangan yang terbagi per wilayah. Di beberapa negara, institusi-institusi kepolisian berada di bawah kewenangan pemerintah lokal di suatu wilayah, namun memiliki kualitas penegakan hukum (dan ketertiban) yang memadai.
KIAI DITILANG NGAMUK. “Sang kiai yang ternyata bukan seorang kiai yang sebenarnya, dan bahkan mungkin bukan seorang ustadz, berhasil menggertak para polisi yang menilangnya dalam Operasi Zebra Lodaya di Karawang, dengan penampilannya menggunakan sorban, jubah putih dan sarung.” (download youtube)
Dengan posisi dan situasi istimewa seperti itu, toh Polri seakan tak bisa lepas dari situasi abu-abu –percampuran hitam dan putih– karena benturan prestasi dan ekses dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya sehari-hari. Polri misalnya, berhasil dengan baik dalam menangani beberapa kasus korupsi di luar kasus yang ditangani KPK. Tetapi, sungguh ironis bahwa dalam tubuhnya terjadi korupsi besar-besaran seperti dalam kasus Alat Simulasi Korlantas Polri, serta berbagai ekses dan kejanggalan dalam penanganan skandal pajak Gayus Tambunan.
Polri dianggap berprestasi dalam penanggulangan terorisme. Teroris internasional seperti Dr Azahari dan Nurdin M. Top beserta sejumlah anggota jaringannya yang beroperasi di Indonesia berhasil disergap dan ditembak mati. Beberapa kasus pemboman dengan cepat bisa dipecahkan. Bahkan cara pengumpulan dana kelompok teroris –antara lain melalui perampokan– bisa ditelusuri dan diungkapkan.
Namun, kenapa Polri selalu gamang dan ‘gagap’ dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah dan belakangan juga terhadap kelompok Syiah, di beberapa daerah? Polri pun selalu gamang dan ‘gagap’ terhadap keterlibatan FPI dalam berbagai aksi sepihak dan kekerasan. Mulai dari Insiden Monas, razia-razia dengan pretensi sebagai polisi moral sampai penyerbuan dan perusakan Gedung Kementerian Dalam Negeri. Apakah Polri gentar terhadap kaum ‘militan’ yang mengatasnamakan agama, terutama pengatasnamaan Islam, dalam perbuatan melanggar hukum dan keamanan? Padahal, perbuatan-perbuatan itu sebenarnya merupakan kesalahan ganda, melanggar hukum sekaligus menodai nama agama yang suci.
POLISI MENINDAK DEMO ANTI FPI. “Polri pun selalu gamang dan ‘gagap’ terhadap keterlibatan FPI dalam berbagai aksi sepihak dan kekerasan….. Apakah Polri gentar terhadap kaum ‘militan’ yang mengatasnamakan agama, terutama pengatasnamaan Islam, dalam perbuatan melanggar hukum dan keamanan? Padahal, perbuatan-perbuatan itu sebenarnya merupakan kesalahan ganda, melanggar hukum sekaligus menodai nama agama yang suci.” (foto download)
BULAN Desember 2013 yang lalu, kepolisian kembali menunjukkan kegamangan dan sikap gagap saat menghadapi perilaku melanggar hukum dan ‘melawan’ negara dengan menggunakan nama dan atribut agama Islam. Sebenarnya, suatu kasus ‘kecil’ yang bisa dianggap ‘remeh temeh’ saja, namun menjadi perhatian karena videonya diunggah ke jaringan ‘Youtube’ di internet –hingga kini sudah ditonton oleh 2 juta lebih pengunjung– dengan judul ‘Kiai Ditilang, Ngamuk’. Sang kiai yang ternyata bukan seorang kiai yang sebenarnya, dan bahkan mungkin bukan seorang ustadz, berhasil menggertak para polisi yang menilangnya dalam Operasi Zebra Lodaya di Karawang, dengan penampilannya menggunakan sorban, jubah putih dan sarung. Laki-laki itu, yang bernama Sahal –sehingga bisa saja dikelirukan sebagai KH Sahal Mahfudz, Rois Aam PB-NU yang baru saja meninggal dinihari 24 Januari 2014 yang lalu– ternyata hanyalah seorang pengasuh sebuah tempat, yang dikesankan sebagai semacam pesantren, untuk penyembuhan sakit jiwa menggunakan ‘terapi’ berdasakan agama.
Dalam insiden pada Kamis 5 Desember 2013 itu, orang yang semula diidentifikasi sebagai Kiai Sahal itu mengamuk saat akan ditilang polisi karena hanya memakai sorban dan tak memakai helm ketika mengendarai sepeda motor membonceng seorang perempuan muda. Ia menolak ditilang, lalu melontarkan serentetan makian yang bernada menghina kepolisian. “Kalian memang nggak ada harganya. Seluruh Indonesia SIM dijual. Tau nggak? …… Bajingan semua.” Sehingga, dari tengah publik yang menyaksikan insiden, muncul ucapan kaget “Astaghfirullah…” menyaksikan seorang kiai bersorban bisa berperilaku begitu kasar. Mungkin karena melihat polisi sedikit gentar, ia makin menjadi-jadi melanjutkan sumpah-serapahnya seraya mundar-mandir dengan acungan tangan menunjuk-nunjuk. “Saya keliling Indonesia tidak pakai helm. Saya lebih aman pakai ini..,” ujarnya seraya menunjuk sorban putihnya. “Biar saya mati pake ini!” Ia menantang Kapolri untuk memanggil dirinya dan akan menceritakan semua. Maksudnya tentu, mengenai kebobrokan polisi. Lalu ia mengulangi lagi, “Dasar bajingan semua…” Dan mengancam “Kalau kalian bukan orang Islam, sudah saya bom-in semua….”
Terlihat dalam video, betapa para anggota kepolisian memang seakan ‘mati kutu’ menghadapi sang ‘kiai’. Betul-betul tampil tak berwibawa. Alih-alih menangkap, seorang perwira polisi malah mempersilahkan sang ‘kiai’ jalan. Tapi masih saja sang ‘kiai’ –yang mengaku anaknya pernah digertak akan ditangkap polisi– terus mengoceh sebelum akhirnya betul-betul dengan bebas meninggalkan tempat kejadian dengan sepeda motornya.
Butuh waktu 6 hari sebelum polisi memanggil dan memeriksa sang ‘kiai’ di kantor Polres Karawang, untuk penghinaan dan ancaman yang dilontarkannya. Di kantor polisi, keberingasan sang ‘kiai’ jauh melorot, setelah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi masih tetap banyak bicara. Menyampaikan maaf, namun terkesan setengah hati. Ditanya apakah selanjutnya ia akan menggunakan helm bila berkendara dengan sepeda motor, ia hanya melontarkan sejumlah kata-kata bersayap yang tidak jelas sebagai suatu jawaban pasti. Ia balik menyalahkan wartawan, terlalu membesar-besarkan peristiwa.
SAAT menghadapi aksi unjuk rasa mahasiswa Makassar (19/2) yang menolak kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan, polisi bersikap keras. Polisi dan mahasiswa di daerah itu, punya tradisi terlibat benturan keras dari waktu ke waktu. Kali ini, polisi sudah menghadang dan membubarkan barisan mahasiswa sejak keluar dari salah satu kampus untuk melakukan long march ke kampus lain. Puluhan mahasiswa ditangkap polisi. Mahasiswa antara lain memprotes penggunaan 14 miliar rupiah dana APBD sebagai biaya ‘menyambut’ kedatangan SBY.
Pada umumnya, polisi seluruh Indonesia cenderung lebih keras bila menghadapi gerakan-gerakan mahasiswa yang kritis terhadap kekuasaan. Tetapi, harus diakui pula bahwa mahasiswa pun tak jarang tergelincir bertindak mengarah anarkis dalam berbagai aksi. Ini menjadi lubang peluang bagi polisi di salah satu Polda, untuk menjalankan siasat baru. Lebih dari satu kali para penegak ketertiban masyarakat di Polda itu melakukan insinuasi terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk menyerbu mahasiswa yang disebutkan anarkis serta mengganggu ketertiban dan keamanan publik.
Sebaliknya, polisi cenderung bersikap lebih lunak –atau mungkin ragu– saat menghadapi sejumlah unjuk rasa buruh besar-besaran yang dalam beberapa peristiwa bersifat anarkis. Sangat mengganggu kepentingan umum, antara lain berkali-kali memblokkade jalan tol.
DALAM menjalankan tugasnya tidak sedikit anggota kepolisian menggunakan jalan pintas. Memaksakan pengakuan agar kasus cepat terselesaikan bukan cerita baru. Pelawak Gogon dalam suatu talk show di tvOne, mengaku dirinya menjadi korban manipulasi bukti hukum dalam kasus narkoba sehingga akhirnya dipenjara 4 tahun 2 bulan. Ia dimintai uang 20 juta rupiah, tapi tak dipenuhinya karena tak punya uang sebesar itu. Ia menduga-duga, kalau membayar, mungkin hanya dihukum 7 bulan. Pola jalan pintas memaksakan bukti dan pengakuan agar kasus bisa segera rampung, ada kaitannya dengan promosi dan kenaikan pangkat. Memaksakan kasus perdata menjadi kasus pidana, juga sering dipraktekkan. Kalau yang ini, bukan untuk keperluan kenaikan pangkat, melainkan diduga karena adanya komersialisasi penegakan hukum. Namun cukup menakjubkan, bahwa kasus-kasus dengan ‘pemaksaan’ seperti ini, sering kali bisa bergulir sampai jauh ke tangan penegak hukum lainnya, jaksa dan hakim. Semacam permainan perorangan dalam jaringan –sehingga muncul isu mafia hukum.
Tetapi pola jalan pintas bisa juga tampil sebagai ‘kebijakan’ yang institusional. Kepala Polda Jawa Barat Irjenpol M. Iriawan yang baru beberapa lama menempati posnya, pekan pertama Januari 2014 merekomendasikan pembatasan jam buka tempat-tempat hiburan malam di wilayahnya, maksimal sampai jam 24.00 malam. Perubahan batas waktu jam buka ini –yang selama ini menurut Perda yang ada, sampai 03.00 dinihari– adalah wewenang kepala daerah setempat. Meski pada umumnya belum ada Perda baru, dalam praktek rekomendasi Kapolda telah ‘berlaku’.
Pihak kepolisian memberi alasan, banyak peristiwa kriminal bermula dari tempat-tempat hiburan malam. Seorang perwira menengah dari Polrestabes Bandung menyebutkan bahwa sepanjang 2013 lalu setidaknya ada 30 peristiwa kriminal menonjol, “bermula dari tempat hiburan malam.” Sementara itu Kapolda Jawa Barat –yang dulu ikut menangani kasus Ketua KPK Antasari Azhar, saat masih bertugas di Polda Metro Jaya– menyebutkan sepanjang 2013 terjadi 93 gangguan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di tempat-tempat hiburan malam. Seraya itu ia mengklaim kebijakan pembatasan jam buka tempat-tempat hiburan malam berhasil menekan angka kriminal di wilayahnya. Tidak ada penjelasan lanjut, apakah pada waktu yang sama juga ada penurunan angka kriminal di tempat-tempat lain, atau sebaliknya justru terjadi kenaikan angka kriminal di tempat lain.
Seringkali peristiwa-peristiwa kriminal atau yang semacamnya, bila ditekan di satu tempat, akan naik di tempat lainnya, bagaikan hukum fisika, air dalam bejana berhubungan. Contohnya, menurut pengalaman empiris bila suatu lokalisasi pelacuran ditutup, maka pelacuran pindah ke jalan-jalan dan menjadi tak terkontrol. Beberapa tahun lampau, di masa Soeharto, saat di ibukota terjadi pembasmian besar-besaran terhadap kaum kriminal, angka kriminal di berbagai kota besar lainnya di Indonesia, justru meningkat. Karena, daerah-daerah tak menyiapkan operasi pembasmian serupa, mengantisipasi ‘migrasi’ kaum kriminal yang lolos dari Jakarta.
Terhadap pembatasan jam buka tempat-tempat hiburan malam sejumlah organisasi kemayarakatan dan pakar memberi reaksi. Beberapa di antaranya, masuk akal. “Jika kerawanan terjadi di tempat-tempat hiburan malam, tugas polisi untuk mengantisipasi dan mengawasi.” Mereka mengingatkan pula agar polisi jangan menggeneralisir hal-hal kasuistik. Ada pula yang menganjurkan agar polisi tidak emosional. Perkiraan bahwa polisi mungkin emosional, ada dasarnya, karena beberapa waktu sebelum kebijakan ‘jam malam’ dilontarkan, seorang perwira polisi dibacok di sebuah tempat hiburan malam. Perwira itu, Kapolsekta Astana Anyar di Bandung, dibacok ketika memeriksa lokasi percobaan penjambretan di tempat hiburan itu. Seorang pakar dari Universitas Padjadjaran, Muradi, mengingatkan bahwa aturan main tempat hiburan malam adalah pada Perda (Peraturan Daerah). Pembatasan jam buka tempat hiburan malam itu merupakan aksi sepihak dari kepolisian.
Kebijakan jalan pintas kembali dilakukan Polda Jabar pekan lalu. Kuatir akan terjadi bentrokan antara para supporter Persib Bandung (Viking) dengan supporter Persija Jakarta (Jakmania) yang merupakan musuh bebuyutan, polisi tak mau ambil risiko. Polda mengambil kebijakan tidak mengeluarkan izin bagi pertandingan yang seharusnya digelar Sabtu 22 Februari lalu di Stadion Jalak Harupat. Polda tidak mencoba memilih alternatif lain yang bisa saja berhasil, selain lebih pantas dan tak mencari gampangnya saja. Misalnya, menyuruh kedua kelompok supporter berunding dan bersepakat untuk tidak membuat keonaran. Atau, bila tak mampu bersepakat, melarang supporter Jakarta masuk Bandung. Begitu pula sebaliknya, bila pertandingan berlangsung di Jakarta, giliran supporter Bandung yang dicegah masuk Jakarta oleh Polda Metro Jaya. Ketentuan ini berlaku selama kedua kelompok tak berhasil menertibkan diri dan tak mampu menjaga perilaku. Pengorganisasian dan cara menampilkan diri kelompok-kelompok supporter selama ini harus diakui memang cenderung brutal. Semacam sikap ‘pelarian’ dari berbagai kegagalan terkait eksistensi diri dalam berbagai bidang kehidupan lainnya sehari-hari. Harus dirubah.
Tokoh-tokoh persepakbolaan harus memecahkan hal ini dengan bantuan akademisi ilmu-ilmu sosial dan psikologi maupun pihak kepolisian selaku aparat penertiban. Tidak mudah bagi polisi untuk turut serta dalam proses sosial yang panjang seperti ini, tetapi memang itulah fungsi polisi sebagai aparat ketertiban masyarakat dalam negara yang bukan negara kekuasaan. Polisi bukan penguasa pengganti Kopkamtib, tetapi pengayom. (socio-politica.com)
DALAM laporan khusus Majalah Tempo (13-19 Januari 2014) mengenai Peristiwa 15 Januari 1974 yang terjadi 40 tahun lampau, muncul catatan penggunaan metafora pers dan mahasiswa sebagai ‘pisau dapur’. Dilontarkan Mashuri SH selaku Menteri Penerangan RI di depan anggota DPR pada awal Februari 1974. Sang menteri kala itu sedang mencoba menjelaskan kenapa ia membreidel –mencabut Surat Izin Terbit– begitu banyak suratkabar setelah peristiwa. “Selama berfungsi sebagai pisau dapur, tetap dapat dipakai. Tapi, kalau digunakan untuk membunuh, lebih baik disimpan atau dibuang saja,” ujar Mashuri SH di forum itu.
Sebenarnya cukup banyak yang geram terhadap Mashuri dengan tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan ‘ikut arus’nya, khususnya di kalangan aktivis mahasiswa dan cendekiawan yang sebenarnya memiliki kedekatan dengan dirinya. Meskipun ia adalah menteri Soeharto –Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, lalu Menteri Penerangan– ia dianggap bukan tipe bebek. Tapi ternyata pada momen pasca Malari, saat fase copot mencopot diyakini mau tak mau akan terjadi, Mashuri memilih ikut arus.
BERITA ‘MAHASISWA INDONESIA’ SOAL PANGKOPKAMTIB. “Pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia disertai alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.”
Semua suratkabar yang sudah lebih dulu dicabut Surat Izin Cetak dan atau ditindaki Kopkamtib/Kopkamtibda, tak lolos dari pencabutan SIT oleh Departemen Penerangan. Bahkan, ada suratkabar yang luput ditindak Kopkamtib, pun dicopot SIT-nya. Jenderal Ali Moertopo, seteru Jenderal Soemitro dalam kekuasaan, diyakini berperan dalam proses ini. Begitu pula dalam proses penindakan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berada dalam barisan Jenderal Soemitro.
IRONIS sebenarnya, bila Mashuri SH menganggap pers dan mahasiswa hanya sebagai pisau dapur, yang akan dibuang bila dipakai di luar dapur. Sungguh suatu pandangan khas penguasa, bahwa segala sesuatunya hanyalah alat kepentingan kekuasaan. Padahal, Mashuri SH, dengan mencatat rekam jejak perjuangannya sejak tahun 1966, semestinya bukanlah tipe tokoh kekuasaan klasik seperti itu. Tak ada gunanya ia menggunakan metafora yang tak nyaman itu bagi pers dan mahasiswa itu dan hanya akan menciptakan kerenggangan psikologis. Toh, tak selang beberapa lama setelah peristiwa, ia juga dilepas dari jabatan Menteri Penerangan, diganti oleh Jenderal Ali Moertopo.
Sebelumnya, saat baru menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, susah payah Mashuri SH menghadapi kasus CV Haruman yang turun temurun pengaruhnya bagaikan gurita melilit tubuh Departemen PDK dan menguasai begitu banyak proyek melalui cara-cara fait accompli di situ. Sangat terbatas media pers yang ‘membantu’nya menyampaikan ‘kebenaran’, dan hanya dua yang gigih berpihak kepadanya memerangi bisnis korup itu, yaitu Harian Indonesia Raya dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Uang bekerja untuk menetralisir kebanyakan pers, bahkan merekrut beberapa media pers sebagai senjata menghadapi Menteri PDK Mashuri, sementara yang lainnya memilih tidak turut campur. Berangsur-angsur pemberitaan pers tentang kasus tersebut mereda. Hanya dua media itu saja yang bertahan ingin mengawal persoalan itu tuntas sampai pengadilan.
Namun ternyata, Departemen PDK sendiri diam-diam berunding menyelesaikan masalah di luar jalur hukum. Kantor redaksi Mahasiswa Indonesia didatangi seseorang yang mengaku utusan CV Haruman dengan membawa tas berisi uang dan janji-janji. Cukup berhenti memberitakan saja, tak lebih dari itu, karena ‘ketenangan’ diperlukan saat berlangsung suatu ‘penyelesaian damai’. Mahasiswa Indonesia memilih tetap saja memberitakan dan mengulas kasus tersebut untuk beberapa lama. Bukan pisau dapur. Namun, nyatanya terjadi kesepakatan penyelesaian damai tanpa proses hukum antara PDK dan sang swasta.
HARIAN Indonesia Raya dan Mingguan Mahasiswa Indonesia termasuk di antara dua media pers yang dibreidel ganda, baik oleh pihak penguasa militer maupun Departemen Penerangan di bawah Mashuri SH. Khusus bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah cukup ironis bahwa pencabutan SIT kebetulan dilakukan oleh Menteri Penerangan Mashuri, orang yang pada waktu menjadi Menteri PDK disupportnya habis-habisan menghadapi kasus korupsi CV Haruman pada saat tak ada media lain lagi mau melakukan supportasi. Tapi bagaimanapun posisi Mashuri bisa dipahami, karena pencabutan SIT adalah keputusan Kabinet serta Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, dan terutama atas kehendak Presiden Soeharto sendiri. Pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia disertai alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.
Memang, kala itu disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offsetrotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.
Lebih jauh, tentang nasib pers kala itu, berikut ini kita meminjam kembali beberapa uraian dalam buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter” (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).
Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibilitygap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibilitygap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.
DALAM pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan tersebut praktis hanya tiga orang ini, yakni Panglima Siliwangi, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Tak lain, karena hadirin lainnya (termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal) agaknya ‘tercekam’ situasi.
Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.
Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.
Menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden.
‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.
KORAN ibukota yang dibreidel di wilayah Laksus Pangkopkamtibda sejak 21 Januari adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mohtar Lubis, Harian Kami yang dipimpin Nono Anwar Makarim, lalu Harian Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang dan Mingguan Pemuda Indonesia. Keenamnya dicabut Surat Izin Cetak-nya. Dua hari kemudian, menyusul lagi Harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar –kendati Rosihan sudah menyempatkan diri meminta maaf kepada penguasa– dan Majalah Ekspres yang dipimpin Marzuki Arifin SE.
Pembreidelan terhadap ‘Ekspres’, yang diketahui sangat dekat dengan kelompok Ali Moertopo dan beritanya menghantam habis para mahasiswa dan peristiwa itu, memang sedikit mengherankan pada mulanya. Tapi belakangan diketahui bahwa ‘permintaan’ untuk menindak ‘Ekspres’ mau tidak mau harus dipenuhi karena majalah itu memuat foto-foto perusakan pada tanggal 15 Januari itu yang dijadikan salah satu ‘syarat’ pembreidelan. Sehari sebelumnya, rencana pembreidelan ‘Ekspres’ ini dengan alasan pemuatan foto perusakan disampaikan oleh Louis Taolin (Pemimpin redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat yang tak terbit lagi) yang mempunyai akses ke kalangan intelejen, kepada Rahman Tolleng. Mereka ini lalu berinisiatif menghubungi Majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Mohamad, agar mencoba menghindari nasib serupa dengan tidak memuat foto-foto perusakan yang bisa dijadikan alasan menindak. Para pengasuh Tempo tanggap dan segera mencabut halaman-halaman yang memuat foto-foto seperti itu, padahal majalahnya sudah betul-betul siap cetak. Edisi Tempo kali itu lalu terbit dengan lebih ramping karena ‘kehilangan’ beberapa halaman, namun akhirnya lolos dari pembreidelan. Menjadi kurus sejenak tapi tidak perlu kehilangan nyawa, sehingga dunia pers tidak harus kehilangan terlalu banyak media yang berharga dan masih idealis.
Tapi, menurut Liputan Khusus Tempo (13-19 Januari 2014), penanggung jawab Tempo saat itu di tahun 1974, Goenawan Mohamad, mengaku tak mendapat pemberitahuan tersebut. Tempo yang kala itu berumur tiga tahun, menulis kasus Malari dalam sebelas halaman di edisi 26 Januari, dengan sampul depan berjudul “Huru Hara di Jakarta”. Terbit 52 halaman, sama dengan ketebalan edisi sebelum Malari, Tempo tak menulis banyak, kata Goenawan, “Karena enggak ada naskah aja.”
Belakangan, seluruh pencabutan SIC ini mendapat ‘hukuman final’ berupa vonnis mati yang tetap dengan adanya pencabutan Surat Izin Terbit yang dilakukan oleh Departemen Penerangan. Menurut Menteri Penerangan Mashuri SH “pencabutan SIT itu adalah dalam rangka membulatkan langkah-langkah penyelesaian penertiban surat-suratkabar dan majalah sebagai akibat Peristiwa 15 Januari 1974”. Keputusan Menteri Penerangan diambil setelah menunggu keputusan Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional. (socio-politica.com)
SEHARUSNYA, begitu Adi Bing Slamet –selebriti, putera pelawak terkenal di masa lampau– ‘sadar’ telah dirugikan, dibodohi, atau entah ditipu bertahun-tahun lamanya oleh Eyang Subur, tindakan pertamanya mestilah menempuh jalur hukum. Bukannya malah mencari panggung publikasi. Tapi bisa jadi para selebrities memang lebih percaya –kalau bukan lebih suka– mencari ‘penyelesaian’ heboh melalui media (infotainmen) daripada melalui jalan hukum yang sering dipersepsi serba rumit dengan sampingan ‘macam-macam’.
Pilihan Adi Bing Slamet ‘memerangi’ Eyang Subur melalui media, ternyata berkembang sebagai polemik antar pihak yang juga mengundang keikutsertaan pihak ketiga, yang untuk sebagian terasa sangat vulgar. Sedemikian vulgar, sehingga banyak kalangan masyarakat yang meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meminta media, khususnya media televisi, menghentikan penayangan yang terkait dengan kasus itu. Tapi, dalam situasi itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru tergesa-gesa masuk ke tengah persoalan yang belum terlalu jelas ujung pangkalnya tersebut dan terkesan segera berpihak karena kepekaan alergisnya terhadap terminologi ‘sesat’.
PLESETAN EYANG SUBUR DALAM SERAGAM KOPASSUS. “Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua.” (copy gambar yang beredar melalui BB)
Permintaan masyarakat itu cukup masuk akal. Di dalam ‘lajur frekuensi dan kolom’ yang digunakan media terdapat hak masyarakat. ‘Kolom’ dan ‘lajur’ itu tak bisa digunakan semena-mena dan seenaknya oleh para penyelenggara siaran. Tak layak untuk menjejalkan informasi-informasi sampah atau format-format komunikasi lainnya yang bersifat membodohkan, menyesatkan, tak beradab, saling mempermalukan secara tak pantas dan tak etis, atau bahkan sadistis.
Penyelenggara media menurut kriteria komunikasi maupun jurnalistik yang sehat, dalam konteks penghargaannya terhadap demokrasi, berkewajiban setidaknya secara moral, untuk melindungi masyarakat dari polusi pemberitaan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Memang tak perlu ada kekuasaan dan atau penguasa seperti halnya Departemen Penerangan dan Kopkamtib di masa lampau, yang merasa berhak dan berwenang menentukan mana yang pantas dan mana yang tak pantas disiarkan. Akan tetapi, bila media atau pers pada umumnya tak mampu menggunakan kebebasannya secara baik dan benar, termasuk dalam menentukan mana yang pantas dan mana yang tak pantas dilontarkan ke tengah masyarakat, pada waktunya akan muncul antitesa untuk menindakinya, entah dari kalangan kekuasaan, entah dari masyarakat yang jenuh dengan polusi yang disalurkan media.
Dan antitesa itu memang lahir juga di masyarakat, tapi dalam bentuk lain, gambar plesetan yang bersifat seloroh. Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua.
TELEVISI swasta yang mengkhususkan diri sebagai televisi berita dan penyaji talking news, tvOne, Sabtu 20 April 2013, menampilkan 4 narasumber untuk membahas perkembangan terakhir perseteruan Eyang Subur-Adi Bing Slamet. Semua pihak, seakan terwakili dalam wawancara yang lebih mirip ajang pertengkaran ala pokrol bambu tersebut. Ada penasehat hukum Adi Bing Slamet, ada penasehat hukum Eyang Subur, ada seorang ustadz dari MUI dan seorang lainnya yang diperkenalkan sebagai pengamat. Kedua penasehat hukum tak hentinya saling melecehkan secara tak pantas dan sudah mengarah saling serang dan saling hina secara pribadi. Sang pengamat, terkesan tak kompeten, lebih mirip pembela dan pembenar bagi segala pendapat MUI. Sementara itu, ustadz yang ‘mewakili’ MUI di forum itu, meskipun berulang-ulang mengatakan MUI belum memberi kesimpulan tentang Eyang Subur, sudah mendahului institusinya untuk memberi kesimpulan pribadi bahwa Eyang Subur sesat dan karenanya harus mengaku bersalah dan bertobat.
‘Pertengkaran’ antara Eyang Subur dan Adi Bing Slamet, tak akan diulas banyak dalam tulisan ini. Toh kedua-duanya sudah mengadu ke mana-mana, termasuk ke kalangan penegak hukum. Jadi, biarkan masalahnya diselesaikan secara hukum, semoga dengan cara yang baik, benar dan masuk akal. Namun, campur tangan MUI barangkali perlu diberi beberapa catatan.
SEPANJANG yang disampaikan ustadz yang mewakili MUI dalam wawancara segi empat di tvOne itu, terkesan bahwa Eyang Subur telah diadili kedalaman keyakinan dan atau pengetahuan agamanya oleh MUI. Eyang Subur antara lain dites kemampuannya menghafal Surat Al Fatihah. Karena dianggap tak menghafal surat yang selalu dilafalkan ketika melakukan shalat 5 waktu itu, tampaknya muncul anggapan bahwa ke-Islam-an yang bersangkutan pantas diragukan, dan karenanya bisa dianggap sesat. Karena sesat, harus mengaku bersalah dan dengan demikian mesti melakukan pertobatan.
Apakah MUI tidak melangkah terlalu jauh? Mengadili pengetahuan agama dan keyakinan agama orang lain orang per orang? Dari mana MUI memperoleh hak untuk melakukan peradilan seperti itu? MUI jangan sampai tergelincir menjadi seperti organisasi kemasyarakatan tertentu yang berpretensi seolah-olah menjadi wakil Tuhan di dunia untuk mengadili moral maupun keyakinan agama orang lain. Lalu, dengan berani memutuskan seseorang atau sekelompok orang telah sesat dan ingkar kepadaNya, sekaligus melaksanakan eksekusinya.
Menurut konstruksi negara hukum yang kita anut, dalam batas tertentu beberapa masalah kesesatan keagamaan, dengan sangat berhati-hati bisa diadili oleh lembaga peradilan negara. Bilamana peradilan itu dilakukan juga, MUI hanya berposisi sebagai kelompok saksi ahli, katakanlah saksi ahli yang penting.
BAGAIMANA dan dengan apa kaum cerdik cendekiawan Islam sebaiknya menghadapi orang-orang yang dianggap tipis iman dan rasa keagamaannya, bahkan berbeda keyakinannya? Hanya satu, kearifan yang ditopang kecerdasan.
Sebagai catatan penutup, kita meminjam sepenggal kalimat dalam kata pengantar seorang anak muda, Taufiq Djamidin, dalam buku “Tragedi Pembunuhan 3 Khalifah – Awal Perpecahan Islam” (2009). Buku itu ditulis sang anak muda –yang lahir dan dibesarkan di sudut tenggara negara kita, Kupang– empat tahun lalu saat berusia 28 tahun.
“Bahwa Islam adalah bahasa persatuan, bahasa kedamaian, bahasa indah nan tegas, yang memperbaiki, bukan menghancurkan, merangkul dan bukan mencekik, bahasa yang tidak mengenal pihak lain sebagai musuh melainkan semata karena belum tahu.”
TAK HANYA sekali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –secara tersurat maupun tersirat– melontarkan kritik maupun sindiran terhadap pers Indonesia. Ketika berpidato pada puncak Hari Pers Nasional (11/2) di Manado, Presiden berbicara yang baik-baik saja tentang pers Indonesia, sambil sedikit memberi petuah tentang kewajiban moral pers. Tetapi berselang dua hari, ada keluhan dari Istana, bahwa berita pembocoran surat perintah penyidikan KPK terhadap Anas Urbaningrum bertendensi mengadu domba Ketua Majelis Tinggi/Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ketua Umum Partai Demokrat itu. “Presiden merasa tidak nyaman”, ujar Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha. SBY sendiri tidak sampai jauh menuding keterkaitan pers dalam pembocoran itu, tetapi bagaimanapun juga pers menjadi saluran berita.
MEDALI EMAS UNTUK BJ HABIBIE. “Meski dikatakan seleksi terhadap penerima medali “sangat ketat”, tak bisa dianggap bahwa mereka yang pernah dianugerahi medali tersebut sangat layak dan berjasa luar biasa terhadap penegakan kebebasan pers di Indonesia. Kalau ada tokoh yang betul-betul tepat untuk dianugerahi sejauh ini dalam konteks kebebasan pers, barangkali itu adalah tokoh dari kalangan pers sendiri, yakni Mochtar Lubis, pemimpin suratkabar Indonesia Raya”. (Foto Antara)
Penyebutan terminologi “berita”, dengan sendirinya menyentuh nama dan peran pers. Tetapi bahwa pers dituding sebagai pemeran adu domba antara Anas Urbaningrum dan SBY dalam konteks kemelut internal Partai Demokrat, tampil secara jelas dalam berbagai pernyataan petinggi-petinggi partai tersebut pada banyak kesempatan. Menyalahkan pers, sudah menjadi model di kalangan petinggi Partai Demokrat. Saat dicecar dengan pertanyaan oleh pers, Anas Urbaningrum sendiri pun menjawab “saya jangan diadu-adu dengan pak SBY”.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya adalah salah satu di antara tokoh (dan institusi) yang pernah menerima Medali Emas Kebebasan Pers, yang dianugerahkan insan pers pada setiap perayaan Hari Pers Nasional. SBY menerimanya pada tahun 2009. Setelah itu, Jenderal Joko Santoso, menjadi penerima kedua pada tahun 2010. Penerima lain, Mahkamah Agung pada tahun 2011 serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh pada 2012. Penerima terbaru Medali Emas Kebebasan Pers, adalah mantan Presiden Indonesia BJ Habibie, pada Hari Pers Nasional tahun 2013 ini.
Meski dikatakan seleksi terhadap penerima medali “sangat ketat”, tak bisa dianggap bahwa mereka yang pernah dianugerahi medali tersebut sangat layak dan berjasa luar biasa terhadap penegakan kebebasan pers di Indonesia. Kalau ada tokoh yang betul-betul tepat untuk dianugerahi sejauh ini dalam konteks kebebasan pers, barangkali itu adalah tokoh dari kalangan pers sendiri, yakni Mochtar Lubis, pemimpin suratkabar Indonesia Raya. Sebagai tokoh yang berani melawan pengekangan, ia ditahan bertahun-tahun lamanya oleh rezim Soekarno, korannya pun diberangus. Di masa kekuasaan rezim Soeharto, sekali lagi korannya diberangus, Januari 1974, bersama beberapa media lainnya yang memiliki keberanian dan prinsip yang jelas tentang kebenaran. Dan sekali lagi, Mochtar Lubis mengalami penahanan.
Tulisan ini tidak bermaksud mengurangi penghargaan kepada tokoh dan institusi yang pernah dianugerahi Medali Emas Kebebasan Pers. Mereka diberikan penghargaan, dan mungkin bangga dan merasa terhormat menerimanya. Tapi mungkin juga sungkan untuk menolak, sehingga mereka pun barangkali saja ada dalam suatu posisi dilematis.
Semestinya, sesuatu yang biasa. Alasan pemberian Medali Emas Kebebasan Pers (2009) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah karena ia aktif menggunakan hak jawab terhadap pemberitaan pers yang dianggap merugikan dirinya, dan lebih memilih jalur hukum daripada menggunakan kekuasaannya untuk menekan pers. Ia tak pernah melakukan pemberangusan pers. Ini sikap yang jauh lebih maju daripada Soeharto dan Soekarno. Tapi toh, kalaupun ia ingin melakukan pemberangusan, memang keadaan sudah tak memungkinkan, kecuali ia ingin menjadi tokoh totaliter baru. Terima kasih, untuk tidak menjadi totaliter.
Jenderal Joko Santoso (tahun 2010), tatkala menjadi Panglima TNI, sama dengan presidennya, selalu menggunakan mekanisme hak jawab menghadapi pemberitaan pers yang tertuju kepada institusinya. Ia tak pernah main keras menghadapi pers. Memang harus begitu, karena tingkat situasi negara kita saat ini tak memungkinkan lagi suatu pengendalian pers ala Kopkamtib misalnya. Bukan sesuatu yang luar biasa sebenarnya. Namun pers tetap perlu berterima kasih bila TNI memilih mekanisme hak jawab, meskipun bisa dan tak salah jika menggunakan jalur tuntutan hukum.
Mahkamah Agung (2011) berkali-kali menangani perkara pers yang pada tingkat-tingkat sebelumnya mendapat vonnis hukuman, tetapi pada tingkat kasasi memenangkan pers. Ini sikap dan kebijakan yang pantas diapresiasi, terutama bila ia terjadi dalam konteks penegakan kebenaran terhadap ketidakbenaran yang terjadi pada peradilan di tingkat-tingkat sebelumnya. Tapi tidak berharga bilamana persnya memang sungguh-sungguh bersalah. Tidak selalu pers berada di pihak kebenaran. Namun yang menjadi alasan kenapa Mahkamah Agung mendapat Medali Emas Kebebasan Pers, karena lembaga itu dianggap mendukung jaminan kebebasan pers dengan mengeluarkan surat edaran agar dalam menangani perkara terkait pers, menggunakan UU tentang Pers dan menghadirkan saksi dari kalangan pers.
Muhammad Nuh, mendapat medali yang sama, 2012, dengan alasan pada saat menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika ia selalu mendorong implementasi kebebasan pers dan selalu menyuarakan jaminan terhadap kebebasan pers.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan para tokoh dan institusi tersebut di atas dalam relasi dengan pers, adalah sesuatu yang biasa bila pemerintahan dan kekuasaan dijalankan sebagaimana mestinya di atas jalur demokrasi.
Kisah BJ Habibie dan Tempo. Terkait BJ Habibie, kebijakan di masa kepresidenannya yang singkat, untuk menghapuskan mekanisme perizinan pers –Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)– memenuhi tuntutan kuat publik dan kalangan pers pasca Soeharto, perlu mendapat ucapan terima kasih. Minimal, bisa dianggap sebagai suatu penyeimbang neraca bagi masalah krusialnya dengan pers di masa Soeharto.
Pada tahun 1994, Majalah Berita Mingguan Tempo (31 Mei dan 7 Juni) menurunkan laporan mengenai penggelembungan 62 kali lipat harga pembelian 39 kapal perang ex Jerman Timur, yang seharusnya hanya USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 milyar. Upaya pembelian itu dilaksanakan Menteri Ristek BJ Habibie dengan sepengetahuan Presiden Soeharto. Tempo –dan sejumlah pers lainnya, termasuk tabloid Detik dan Majalah Editor– memuat kontradiksi sikap dan pandangan antara BJ Habibie dengan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad seputar harga pembelian tersebut.
Presiden Soeharto memilih untuk mencetuskan kemarahannya pada 9 Juni 1994, tatkala meresmikan Pangkalan Utama Angkatan Laut Teluk Ratai Lampung. Sang Presiden memerintahkan penindakan terhadap media pers yang dianggap Soeharto telah mengadu domba menteri. Tergopoh-gopoh, Menteri Harmoko yang selalu siap bertindak “sesuai petunjuk bapak Presiden” membreidel Tempo, DeTik dan Editor yang dianggap tiga bintang utama adu domba.
Menurut beberapa tokoh di sekitar Soeharto, laporan BJ Habibie menjadi penyulut utama kemarahan presiden. Kemarahan Presiden, mengakibatkan terbreidelnya tiga media. Belakangan, BJ Habibie menyangkal melakukan peranan buruk itu. Saat menerima Medali Emas Kebebasan Pers, Habibie menyampaikan penyangkalan dirinya berada di belakang pembreidelan tersebut. Malah, menurut Habibie, setelah mendengar tentang pembreidelan, ia yang sedang berada di Jepang, buru-buru kembali ke Jakarta menemui Presiden Soeharto. Ia mengaku berhasil meyakinkan Soeharto agar diterbitkan SIUPP baru bagi ketiga media tersebut. “Banyak saksi yang mengetahui hal ini, silahkan mengecek kebenaran informasinya. Banyak saksi yang masih hidup dan dapat ditanyai”, ujar Habibie. Sebenarnya, sebelum meneliti peranan BJ Habibie dalam pembreidelan tiga media pers di tahun 1994 itu, belum saatnya suatu Medali Emas Kebebasan Pers dianugerahkan. Belum lagi, sejauh yang dapat dicatat, terlepas dari masalah pembreidelan pers, pokok persoalan tentang penggelembungan harga hingga 92 kali lipat dalam pembelian kapal perang bekas ex Jerman Timur itu, tak pernah tertuntaskan kebenarannya, khususnya mengenai ‘kebersihan’ dari mereka yang terkait dalam urusan tersebut.
Belenggu traumatik. MEMBAGI Medali Emas Kebebasan Pers, bukan suatu keharusan, bilamana memang belum ditemukan tokoh yang betul-betul tepat untuk itu. Jangan memaksakan diri. Kecuali makna kebebasan pers itu tidak dihargai tinggi. Ini tidak beda dengan pemerintah yang setiap tahun memaksakan diri untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional baru kepada sejumlah tokoh setiap menjelang Hari Pahlawan 10 November. Bila kita bersikap kritis, di antara tokoh yang telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional beberapa tahun belakangan ini, tidak sulit untuk menemukan tokoh yang masih perlu dipertanyakan peranan kepahlawanannya. Belum lagi, bila sekedar melihat isi Makam Pahlawan, sejumlah tokoh korup pun ada terselip di sana.
Kebebasan pers adalah pedang perjuangan demokrasi bagi pers sebagai suatu kekuatan profesi ideal. Sejarah politik maupun sejarah pers sendiri, menunjukkan bahwa kalangan kekuasaan dalam banyak kurun waktu merupakan antitesis bagi kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers, di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Pengalaman Indonesia menunjukkan, betapa kekuasaan hampir mentradisi secara penuh sebagai antitesis bagi pers bebas, di zaman Soekarno maupun di zaman kekuasaan Soeharto. Soekarno, khususnya di paruh terakhir kekuasaannya yang berlangsung 20 tahun, menempatkan pers sebagai sekedar alat pembawa suara revolusi yang harus selalu seia-sekata dengan keinginan pemimpin revolusi. Bila tidak, ia menjadi anti revolusi. Di masa kekuasaan Soeharto yang berlangsung 32 tahun lamanya, pers ditempatkan dalam keharusan sebagai pendukung pembangunan. Dalam tugas tersebut pers diberi slogan bebas tapi bertanggungjawab. Namun dalam kenyataan sehari-hari, keharusan bertanggungjawab selalu membelenggu kebebasan pers. Begitu ada pers yang disangka tidak bertanggungjawab, lembaga represif Kopkamtib turun tangan. Lalu, Departemen Penerangan yang menjadi ekor kekuasaan –hingga detik terakhir, yakni sampai masa Harmoko– akan segera mencabut SIT (Surat Izin Terbit) dan atau SIUPP.
Puluhan tahun bergaul dengan antitesis yang bernama kekuasaan, membuat pers nasional untuk sebagian terbesar terisi dengan pelaku-pelaku yang menderita traumatic bonding atau capture bonding. Suatu keterikatan kepatuhan kepada penguasa yang memegang lisensi hidupnya. Pers berada dalam arena perjuangan mempertahankan nyawa (survival identification syndrome) yang menimbulkan kepengecutan dan hipokrisi. Berdasarkan peristiwa penyanderaan karyawan Kreditbanken 23-28 Agustus 1973 di Stockholm, kriminolog sekaligus psikiater Nils Bejerot menyebut traumatic bonding itu sebagai stockholm syndrome. Dalam peristiwa ini, para staf bank yang disandera, akhirnya menunjukkan simpati bahkan empati terhadap para penyanderanya. Mereka menjadi begitu patuh, sehingga lebih memilih membantu para penyandera daripada polisi.
Apakah, para pelaku pers kita hingga kini masih mengalami ikatan belenggu traumatik itu dalam hubungannya dengan kalangan kekuasaan itu? Dengan traumatik itu, meskipun telah mendapat anugerah mendadak kebebasan pers dengan berakhirnya kekuasaan Soeharto, sebagian pelaku pers yang sedikit banyaknya berdasarkan usia masih terkait dengan generasi pendahulunya, sesekali masih memiliki ikatan traumatik. Kerap kali masih merasa perlu mengambil hati para penguasa. Faktor bahwa pers untuk sebagian sudah menjadi usaha mapan dan atau kepemilikannya berada di tangan kalangan berlatar belakang pengusaha yang terbiasa berkompromi dengan kalangan kekuasaan, menjadi faktor tambahan.
Mungkin tradisi penganugerahan Medali Emas Kebebasan Pers, adalah produk dari situasi-situasi di atas?
‘KEGIGIHAN’ Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengungkap berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia dari waktu ke waktu, dalam banyak hal sebenarnya layak diapresiasi. Namun, ketika lembaga itu menjadi tidak cermat dan tergelincir menjadi sangat subyektif dan terkesan melakukan perpihakan berkadar tinggi dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam kaitan Peristiwa 1965-1966, lembaga tersebut saatnya untuk dipertanyakan. Apakah lembaga tersebut, khususnya, pada periode yang baru lalu terdiri dari sekumpulan manusia jujur dan punya integritas serta kapabilitas untuk menangani persoalan HAM di Indonesia? Dan bagaimana pula di masa mendatang ini?
JENDERAL SOEHARTO DI LUBANG BUAYA 6 OKTOBER 1965. “Perwira-perwira penerangan Angkatan Darat di Mabes AD menjalankan peran untuk mempertajam kemarahan rakyat melalui dramatisasi artifisial kekejaman Gerakan 30 September 1965 dalam peristiwa penculikan dan pembantaian para jenderal di Lubang Buaya dinihari 1 Oktober 1965. Penggambaran berlebihan tentang kekejian anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lubang Buaya itu, di luar dugaan para perwira itu sendiri berhasil menyulut kemarahan masyarakat yang begitu dahsyat. Tetapi pada sisi lain, merupakan pula fakta bahwa kekerasan dan pembunuhan atas para perwira Angkatan Darat itu memang terjadi, di ibukota maupun di Yogyakarta”. Foto AP.
Beberapa hari yang lalu, rekomendasi dan laporan penyelidikan Komnas HAM periode 2007-2012 tentang kejahatan HAM dalam Peristiwa 1965-1966 dan Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Laporan mengenai Penembakan Misterius 1982-1985 dituangkan dalam sebuah ringkasan eksekutif 12 Juli 2012 yang ditandatangani oleh Ketua Tim Ad Hoc Josep Adi Prasetyo. Sementara laporan 23 Juli 2012 mengenai pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965-1966 ditandangani Ketua Tim Ad Hoc Nur Kholis SH, MH. Komisioner yang disebut terakhir ini, ikut terpilih kembali sebagai anggota Komnas HAM 2012-2017. Belum kita ketahui, apakah serta merta 13 komisioner baru periode 2012-2017 secara keseluruhan akan melanjutkan kesimpulan dan rekomendasi 23 Juli 2012 sebagai sikap yang Continue reading Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)→
MASIH pada tahun 1966, cendekiawan muda dari ITB, MT Zen, sudah menyinggung terjadinya kekerasan kemanusiaan 1965-1966 setelah Peristiwa 30 September 1965. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama bertahun-tahun yang mencapai puncaknya di Lubang Buaya, dinihari 1 Oktober 1965. Setelah terjadinya peristiwa, yang menjadi bukti nyata tentang kekerasan-kekerasan PKI pada beberapa tahun terakhir, Presiden Soekarno tidak mengambil solusi dengan menindaki PKI. “Sebagai akibat dari selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Tengah serta tempat-tempat lainnya di Indonesia”, tulis MT Zen di Mingguan Mahasiswa Indonesia Bandung.
JENDERAL SOEHARTO DAN JENDERAL HR DHARSONO. “Kepala Staf Kodam Siliwangi waktu itu adalah Brigadir Jenderal HR Dharsono, yang juga anti PKI, namun berbeda dengan Ibrahim Adjie, tidak memiliki kedekatan dan simpati terhadap Soekarno. Ketika HR Dharsono kemudian naik menggantikan Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi 20 Juli 1966, peta dukungan politik kepada Soekarno di Jawa Barat samasekali berubah. Ia sangat membantu gerakan anti Soekarno, khususnya dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan kesatuan aksi pada umumnya”. (Foto dokumentasi MI)
Dari stigmatisasi sampai misteri hilangnya catatan Sang Jenderal. Sebenarnya, pada tahun 1966 maupun pada tahun 1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia pada umumnya cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya MT Zen dan Soe-Hokgie –melalui tulisan-tulisannya, antara lain di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror dan tuduhan tertentu.
AKSI-AKSI mahasiswa intra kampus Bandung pada umumnya lebih terfokus pada issue-issue yang berkaitan dengan kepentingan makro, bangsa, negara dan sangat menghindari issue-issue praktis, tendensius, berbau pemerasan. Aksi-aksi mahasiswa intra kampus Bandung umumnya ditujukan pada perbaikan nasib rakyat, kritik terhadap penyimpangan kebijakan maupun pelaksanaannya dalam bidang politik, ekonomi, dwifungsi ABRI, korupsi, kolusi dan nepotisme yang mulai menggejala dan lain sebagainya.
DEMONSTRAN MAKASSAR BABAK BELUR DI TANGAN POLISI. “Sayang sekali bahwa perilaku pimpinan-pimpinan puncak TNI dan Polri di tingkat pusat maupun daerah lebih tampil sebagai pembawa kekuasaan yang memusuhi rakyat daripada pembela rakyat dan pelindung negara serta bangsa dari ancaman kekerasan”. (foto antara)
Leadingissue yang dimunculkan misalnya adalah koreksi terhadap keberadaan lembaga-lembaga ekstra konstitusional seperti Aspri, Kopkamtib dan Laksus Kopkamtibda, dwifungsi ABRI, hak-hak warganegara, demokratisasi. Lalu, koreksi terhadap perilaku ‘economicanimal’ dari penanam modal Jepang di Indonesia dan praktek-praktek antikulturalnya. Serta kritik terhadap strategi pembangunan ‘trickledowneffect’ yang menguatkan kolusi orang-orang dekat di sekitar Soeharto dengan pengusaha-pengusaha non pri cina yang rasialis, kesan penyimpangan bantuan luar negeri melalui IGGI yang dikorupsi dan hanya bermanfaat bagi segelintir elite, RUU Perkawinan, skeptisisme terhadap kemampuan Soeharto dan lain sebagainya.
Dengan sendirinya misi gerakan mahasiswa intra kampus Bandung pada waktu itu tidak diarahkan sebagai suatu gerakan populis yang memprovokasi massa, tetapi lebih diarahkan sebagai advokasi terhadap kepentingan masyarakat luas dengan sedapat mungkin mengeliminasi unsur-unsur dalam kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto yang menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang disebutkan dalam leadingissue itu. Kalau kemudian mahasiswa intra kampus di Jakarta melepaskan diri dari aksi semacam ini, bergerak ke arah provokasi terhadap masyarakat luas serta merangkul gerakan-gerakan demonstran ekstra kampus, tak pelak lagi terciptalah jarak yang sama dengan persepsi gerakan mahasiswa intra kampus Bandung pada gerakan-gerakan ekstra kampus pada umumnya.
DALAM setiap pergantian rezim kekuasaan, akan selalu ada manusia dengan peran Brutus. Meski tak selalu Brutus itu dengan sendirinya tak berguna. Brutus sendiri –dalam naskah Shakespeare– mengaku ikut menusukkan belati ke tubuh Julius Caesar justru karena kecintaan kepadanya. “Begitu besar cintaku kepadanya, sehingga aku tak ingin membiarkannya hidup sebagai seorang diktator tiran”. Mencegah kediktatoran, adalah suatu alasan yang idealistik. Tetapi anggota-anggota Senat yang berkonspirasi dalam pembunuhan Julius Caesar, 15 Maret 44 SM, untuk sebagian juga adalah orang-orang yang mengkhianati rakyat dan menjadi kaya karena korup. Adalah Senat itu pula pada tahun yang sama, 44 SM, beberapa waktu sebelum konspirasi pembunuhan menetapkan Caesar sebagai penguasa seumur hidup. Apapun, bagi penyair besar abad 14 Dante, Brutus dan Cassius adalah pengkhianat. Maka dalam karya besarnya, Divina Commedia, Dante memberikan tempat bagi keduanya di kerak bumi yang terdalam dan gelap –neraka menurut versi sang penyair– bersama Judas Iskariot sang murid yang mengkhianati Jesus Kristus.
PRESIDEN SOEHARTO, BJ HABIBIE, JENDERAL WIRANTO, 21 MEI 1998. “Sejauh yang bisa dicatat, tindak-tanduk Jenderal Wiranto pada Mei 1998 itu, tidak pernah mendapat kejelasan resmi hingga kini, karena ia tak pernah dimintai pertanggunganjawab untuk itu. Dan ketika diminta memberi keterangan kepada TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Mei 1998 yang diketuai Marzuki Darusman, Jenderal Wiranto tidak bersedia”. (Foto Reuters/Enny Nurhaeni)
Permainan di zona abu-abu. Menjelang kejatuhan Soekarno, tak sedikit kaum Brutus yang muncul atau paling tidak, ada sejumlah orang yang dengan cepat melompat keluar dari kapal yang akan karam. Dan orang-orang seperti ini biasanya bisa terbawa kembali ke dalam rezim yang baru. Ketika Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, menyusun Kabinet Ampera I akhir Juli 1966, ia membiarkan beberapa nama yang masih dikehendaki Presiden Soekarno, terbawa dalam kabinet baru itu, sambil membawa juga tokoh-tokoh ex pendukung Bung Karno yang telah meloncat duluan dari kapal. Wartawan senior Mochtar Lubis ketika itu mengecam dan mengatakan, bagaimana mungkin kita membiarkan orang-orang yang pernah menjadi pendukung setia Bung Karno, kembali berada dalam kekuasaan. Mochtar Continue reading ‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto (3)→
BILA dalam fase wealth driven economic lahir kelompok oligarki ekonomi, maka dalam situasi wealth driven politic tercipta partai-partai dengan praktek oligarki dipimpin dan dikendalikan oleh tokoh-tokoh oligarch. Dalam Indonesia merdeka, pelopor oligarki dalam kekuasaan negara tak lain adalah Ir Soekarno, yang memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri pada 1960-1965, pasca Dekrit 5 Juli 1959. Dilanjutkan oleh Jenderal Soeharto, khususnya pada 20-25 tahun terakhir masa kekuasaannya, yang kemudian keterusan dipraktekkan kalangan partai dan penguasa negara hingga kini. Hampir seluruh partai politik pasca Soeharto dipimpin oleh kaum oligarch, sebagaimana silih berganti presiden yang naik memerintah negara juga menampilkan diri sebagai sosok oligarch meskipun tak henti-hentinya beretorika mengenai demokrasi.
Sejajar dengan oligarki dalam politik, pada masa Soeharto menonjol pula oligarki dalam pembangunan ekonomi. Tetapi sejak masa Soekarno pun oligarki dalam kehidupan ekonomi sudah tampil melalui pengusaha-pengusaha yang punya kedekatan istimewa dengan sang pemimpin, antara lain Markam, Hasjim Ning, Dasaad dan Rahman Aslam. Saat kue hasil pembangunan makin membesar dari waktu ke waktu, kenikmatan terbesar hanya dibagikan kepada sejumlah orang tertentu yang memiliki hubungan kolutif dan nepotisme dengan pusat kekuasaan politik –yang juga sekaligus adalah pusat kekuasaan ekonomi. Pada babak ini antara lain muncul nama-nama Lim Soei Liong, Go Swie Kie, Yap Swie Kie (Sutopo Jananto), Nyoo Han Siang, Bob Hasan, Po Murdaya dan lain-lain sampai nama agak ‘baru’ seperti Prajogo Pangestu.
Pemerataan keadilan masa itu hanya ada pada dataran retorika, dan kalau pun ada program pemerataan, itu dilakukan dengan kadar paling minimal yang sekedar untuk meredam gejolak sosial. Tapi, penguasa cukup pandai, tidak membiarkan ada krisis pangan. Beras selalu di-ada-kan sekuat tenaga dengan harga yang dipastikan terjangkau kemampuan daya beli rakyat. Hal yang sama terjadi dalam pengelolaan bahan pokok lainnya yang ada dalam kelompok 9 kebutuhan pokok rakyat. Tidak seperti sekarang, kadangkala harga garam dan cabai pun tak mampu diatur.
Pada masa Soeharto, pengakumulasian dana besar hanya bisa dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu, terutama dalam konteks pemeliharaan kekuasaan yang makin oligarkis. Dilakukan berdasarkan penugasan tertentu, dan karenanya dari kacamata pengendali kekuasaan tidak dikategorikan sebagai korupsi yang menggerogoti kekuasaan meskipun esensinya tetap menggerogoti hasil pembangunan. Mereka yang mendapat ‘mandat’ dalam pengakumulasian dana, dalam batas tertentu yang cukup terkendali (oleh pucuk kekuasaan) diberikan kesempatan menikmati beberapa bagian sebagai semacam tindak ‘korupsi’ yang ditolerir. Mereka yang tak mendapat ‘mandat’ tetapi diam-diam sendirian menarik keuntungan, dan atau mengambil di luar batas nominal yang ditolerir bagi pelaku yang bukan kelompok atas, akan dibabat. Salah satu yang ditindak karena inisiatifnya melampaui batas, adalah Budiadji Kepala Depot Logistik Kalimantan Timur. Kemudian para pelaku ‘korupsi’ di kalangan birokrasi kelas menengah ke bawah, yang melakukan pungli (pungutan liar) dan semacamnya, bila dianggap melampaui batas, atau mendapat sorotan yang makin tajam, dibasmi oleh Opstib (Operasi Tertib) yang adalah ‘bagian’ Kopkamtib, di bawah Laksamana Laut Soedomo.
Salah satu hal yang menarik, dalam korupsi masa Soeharto, para anggota DPR-RI tidak memegang atau tidak diberi kesempatan cukup untuk ikut melakukan korupsi. Kalau ada ‘pembagian’ rezeki, itu datang dari departemen atau lembaga pemerintah yang menjadi partner kerja komisi-komisi kerja di DPR berupa berbagai ‘goodwill’ untuk membantu kemudahan para anggota menjalankan tugas di bidangnya masing-masing. Itu sebabnya, kala itu tidak dikenal korupsi ber’jamaah’ seperti yang terjadi di masa-masa pasca Soeharto, khususnya pada tahun-tahun belakangan ini. Apalagi memang, fungsi DPR saat itu tidak mencakup ‘wewenang’ persetujuan menentukan keputusan yang sebenarnya adalah ranah eksekutif, khususnya di bidang anggaran maupun wewenang fit and proper test yang bisa ‘diuangkan’. Selain itu, ada situasi berbeda dalam seluk beluk pendanaan partai politik di masa Soeharto. Dana untuk Golongan Karya praktis sepenuhnya diadakan dan dipasok oleh Dewan Pembina. Sementara dana untuk dua partai politik lain, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), boleh dikatakan juga sudah dialokasi melalui jalur dan berbagai cara khusus oleh pengendali kekuasaan, Presiden Soeharto. Dana-dana taktis untuk politisi penting, terutama kalangan pimpinan partai, pun sudah diatur dengan baik melalui para ‘penghubung’ khusus yang sekaligus bertugas ‘membina’ partai-partai di luar Golkar. Itu juga rahasianya, kenapa Soeharto secara relatif bisa mengendalikan politik dengan baik untuk seberapa lama.
KINI, pasca Soeharto, pola pendanaan politik mengalami perubahan signifikan mengikuti arus retorika pemberantasan korupsi. Partai-partai politik, mengambil inisiatif penggalian dana melalui kegesitan kader-kadernya dengan memanfaatkan berbagai kesempatan di kementerian-kementerian yang dipimpin oleh tokoh-tokoh partai mereka. ‘Kesempatan’ itu sendiri diciptakan by design, tidak lagi sekedar menunggu rezeki di tikungan. Pola ini belakangan disebutkan sebagai ‘mafia anggaran’, yang melibatkan operator ‘bebas’ partai sebagai play maker dengan mendayagunakan kader-kader partai yang ada di DPR dan ada di eksekutif. Sejumlah proyek besar berskala nasional maupun berskala daerah, dirancang lalu diajukan agar dibiayai melalui APBN dan kemudian diatur siapa swasta pelaksana berdasarkan kesiapan atau kesanggupan memberi bagian prosentase ‘keuntungan’.
Konspirasi anggaran semacam ini telah terungkap beberapa waktu belakangan ini, melibatkan terutama partai-partai politik yang memiliki share dalam kekuasaan pemerintahan. Dua partai yang sedang dalam sorotan dalam konteks tersebut saat ini, adalah Partai Demokrat dan PKB cq Muhaimin Iskandar. Tokoh yang namanya disebut terakhir ini, adalah tokoh muda yang fenomenal. Saat menjejakkan kaki ke dalam kancah politik nasional menjelang Pemilihan Umum 1999, ia terkisahkan sebagai politisi dengan ekonomi sederhana, tapi kini cukup menjulang. Sementara itu, partai-partai politik yang tak berada dalam posisi kekuasaan pemerintahan, harus puas dengan cipratan-cipratan gratifikasi, semisal dalam kegiatan fit and proper test di DPR. Mungkin tidak berskala spektakuler, tetapi toh mencapai nominal ratusan juta hingga miliaran rupiah, seperti halnya dalam kasus Miranda Goeltom. Untuk kasus ini dua di antara sejumlah partai yang paling disorot, yakni PDIP dan Partai Golkar, harus menerima kenyataan kader-kadernya masuk penjara –Panda Nababan cs serta Paskah Suzetta cs. Pilihan cara lainnya menuju sumber dana, adalah secara insidental ikut berkolaborasi dalam percaloan anggaran bersama partai lain yang in position. Dan sesuai tudingan Ketua MK Mahfud MD, ikut serta dalam jual beli penyusunan Undang-undang.
BENTLEY TAHUN 1920-AN, SUDAH MEMIKAT KAUM KAYA SEJAK 1921-1929. “Kepemilikan benda-benda mewah dan mahal adalah intisari dari hasrat konsumerisme yang terkait dengan prestige. Mobil mewah adalah simbol dan etalase yang mobile bagi hasrat prestigeous yang menjadi salah satu tali nyawa terpenting dalam konsumerisme….”. (download foto: vivanews)
Permainan-permainan ‘pinggiran’ ini, meski tak juga terlalu gampang ditangani, bisa lebih cepat tersentuh penindakan hukum dibanding dengan kasus-kasus yang melibatkan kalangan pusat kekuasaan. Panda Nababan dari PDIP misalnya, kalah sakti dibanding Johnny Allen Marbun dari Partai Demokrat. Muhammad Nazaruddin hilang kesaktiannya karena menyerang ‘nama baik’ kelompok yang lebih sakti. Mirip nasib Komjen Pol Susno Duadji yang mencoba menggempur benteng kesetiaan sempit korpsnya. Meskipun bintang di bahunya tiga, masih kalah banyak dari akumulasi bintang di bahu mereka yang ia tuding maupun dari mereka yang merasa akan ikut tersrempet bila tiupan pluitnya ditoleransi.
KINI kita mendapat pelajaran empiris baru bahwa jalan parlementer ternyata sudah harus dicatat sebagai salah satu cara untuk menjadi kaya. Dengan gaji dan take home pay di atas lima puluh juta per bulan, seorang anggota DPR bisa hidup di atas rata-rata layak, meski mereka pun harus rela berbagi sekian persen untuk partainya. Namun bila masuk ke dunia politik melalui money politic,seorang anggota DPR masih harus bekerja keras untuk mengembalikan investasi finansial yang telah ditanamkannya. Itulah bagian tak terelakkan dari wealth driven politic. Dalam wealth driven politic –yang merupakan bagian tak terlepas dari wealth driven economic dengan segala eksesnya– lambat atau cepat para calon anggota DPR pada waktunya hanya akan bisa memasuki lembaga itu dengan syarat nomor satu memiliki cukup kekayaan dan atau minimal didukung oleh kelompok kaya (tentu dengan segala risiko sponsorship). Bagi anggota yang sudah ada di dalam, dan berniat mempertahankan posisi pada periode berikut, akan terdorong memanfaatkan kesempatan yang ada untuk ikut menjadi kaya atau lebih kaya, guna memenuhi syarat yang tak tertulis itu.
TETAPI apa kaitannya ini semua dengan kepemilikan mobil mewah oleh anggota parlemen? Wealth driven economic sebagai fase setelah dilampauinya fase productivity driven economic, memang dilekati oleh konsumerisme sebagai gejala ikutan. Kepemilikan benda-benda mewah dan mahal adalah intisari dari hasrat konsumerisme yang terkait dengan prestige. Mobil mewah adalah simbol dan etalase yang mobile bagi hasrat prestigeous yang menjadi salah satu tali nyawa terpenting dalam konsumerisme….