Tag Archives: Departemen Penerangan

‘Pertengkaran’ Eyang Subur-Adi Bing Slamet Sebagai ‘Kasus Sampah’ di Media dan MUI

SEHARUSNYA, begitu Adi Bing Slamet –selebriti, putera pelawak terkenal di masa lampau– ‘sadar’ telah dirugikan, dibodohi, atau entah ditipu bertahun-tahun lamanya oleh Eyang Subur, tindakan pertamanya mestilah menempuh jalur hukum. Bukannya malah mencari panggung publikasi. Tapi bisa jadi para selebrities memang lebih percaya –kalau bukan lebih suka– mencari ‘penyelesaian’ heboh melalui media (infotainmen) daripada melalui jalan hukum yang sering dipersepsi serba rumit dengan sampingan ‘macam-macam’.

            Pilihan Adi Bing Slamet ‘memerangi’ Eyang Subur melalui media, ternyata berkembang sebagai polemik antar pihak yang juga mengundang keikutsertaan pihak ketiga, yang untuk sebagian terasa sangat vulgar. Sedemikian vulgar, sehingga banyak kalangan masyarakat yang meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meminta media, khususnya media televisi, menghentikan penayangan yang terkait dengan kasus itu. Tapi, dalam situasi itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru tergesa-gesa masuk ke tengah persoalan yang belum terlalu jelas ujung pangkalnya tersebut dan terkesan segera berpihak karena kepekaan alergisnya terhadap terminologi ‘sesat’.

PLESETAN EYANG SUBUR DALAM SERAGAM KOPASSUS. "Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua." (copy gambar yangberedar melalui BB)
PLESETAN EYANG SUBUR DALAM SERAGAM KOPASSUS. “Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua.” (copy gambar yang beredar melalui BB)

            Permintaan masyarakat itu cukup masuk akal. Di dalam ‘lajur frekuensi dan kolom’ yang digunakan media terdapat hak masyarakat. ‘Kolom’ dan ‘lajur’ itu tak bisa digunakan semena-mena dan seenaknya oleh para penyelenggara siaran. Tak layak untuk menjejalkan informasi-informasi sampah atau format-format komunikasi lainnya yang bersifat membodohkan, menyesatkan, tak beradab, saling mempermalukan secara tak pantas dan tak etis, atau bahkan sadistis.

Penyelenggara media menurut kriteria komunikasi maupun jurnalistik yang sehat, dalam konteks penghargaannya terhadap demokrasi, berkewajiban setidaknya secara moral, untuk melindungi masyarakat dari polusi pemberitaan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Memang tak perlu ada kekuasaan dan atau penguasa seperti halnya Departemen Penerangan dan Kopkamtib di masa lampau, yang merasa berhak dan berwenang menentukan mana yang pantas dan mana yang tak pantas disiarkan. Akan tetapi, bila media atau pers pada umumnya tak mampu menggunakan kebebasannya secara baik dan benar, termasuk dalam menentukan mana yang pantas dan mana yang tak pantas dilontarkan ke tengah masyarakat, pada waktunya akan muncul antitesa untuk menindakinya, entah dari kalangan kekuasaan, entah dari masyarakat yang jenuh dengan polusi yang disalurkan media.

Dan antitesa itu memang lahir juga di masyarakat, tapi dalam bentuk lain, gambar plesetan yang bersifat seloroh. Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua.

TELEVISI swasta yang mengkhususkan diri sebagai televisi berita dan penyaji talking news, tvOne, Sabtu 20 April 2013, menampilkan 4 narasumber untuk membahas perkembangan terakhir perseteruan Eyang Subur-Adi Bing Slamet. Semua pihak, seakan terwakili dalam wawancara yang lebih mirip ajang pertengkaran ala pokrol bambu tersebut. Ada penasehat hukum Adi Bing Slamet, ada penasehat hukum Eyang Subur, ada seorang ustadz dari MUI dan seorang lainnya yang diperkenalkan sebagai pengamat. Kedua penasehat hukum tak hentinya saling melecehkan secara tak pantas dan sudah mengarah saling serang dan saling hina secara pribadi. Sang pengamat, terkesan tak kompeten, lebih mirip pembela dan pembenar bagi segala pendapat MUI. Sementara itu, ustadz yang ‘mewakili’ MUI di forum itu, meskipun berulang-ulang mengatakan MUI belum memberi kesimpulan tentang Eyang Subur, sudah mendahului institusinya untuk memberi kesimpulan pribadi bahwa Eyang Subur sesat dan karenanya harus mengaku bersalah dan bertobat.

‘Pertengkaran’ antara Eyang Subur dan Adi Bing Slamet, tak akan diulas banyak dalam tulisan ini. Toh kedua-duanya sudah mengadu ke mana-mana, termasuk ke kalangan penegak hukum. Jadi, biarkan masalahnya diselesaikan secara hukum, semoga dengan cara yang baik, benar dan masuk akal. Namun, campur tangan MUI barangkali perlu diberi beberapa catatan.

SEPANJANG yang disampaikan ustadz yang mewakili MUI dalam wawancara segi empat di tvOne itu, terkesan bahwa Eyang Subur telah diadili kedalaman keyakinan dan atau pengetahuan agamanya oleh MUI. Eyang Subur antara lain dites kemampuannya menghafal Surat Al Fatihah. Karena dianggap tak menghafal surat yang selalu dilafalkan ketika melakukan shalat 5 waktu itu, tampaknya muncul anggapan bahwa ke-Islam-an yang bersangkutan pantas diragukan, dan karenanya bisa dianggap sesat. Karena sesat, harus mengaku bersalah dan dengan demikian mesti melakukan pertobatan.

Apakah MUI tidak melangkah terlalu jauh? Mengadili pengetahuan agama dan keyakinan agama orang lain orang per orang? Dari mana MUI memperoleh hak untuk melakukan peradilan seperti itu? MUI jangan sampai tergelincir menjadi seperti organisasi kemasyarakatan tertentu yang berpretensi seolah-olah menjadi wakil Tuhan di dunia untuk mengadili moral maupun keyakinan agama orang lain. Lalu, dengan berani memutuskan seseorang atau sekelompok orang telah sesat dan ingkar kepadaNya, sekaligus melaksanakan eksekusinya.

Menurut konstruksi negara hukum yang kita anut, dalam batas tertentu beberapa masalah kesesatan keagamaan, dengan sangat berhati-hati bisa diadili oleh lembaga peradilan negara. Bilamana peradilan itu dilakukan juga, MUI hanya berposisi sebagai kelompok saksi ahli, katakanlah saksi ahli yang penting.

BAGAIMANA dan dengan apa kaum cerdik cendekiawan Islam sebaiknya menghadapi orang-orang yang dianggap tipis iman dan rasa keagamaannya, bahkan berbeda keyakinannya? Hanya satu, kearifan yang ditopang kecerdasan.

Sebagai catatan penutup, kita meminjam sepenggal kalimat dalam kata pengantar seorang anak muda, Taufiq Djamidin, dalam buku “Tragedi Pembunuhan 3 Khalifah – Awal Perpecahan Islam” (2009). Buku itu ditulis sang anak muda –yang lahir dan dibesarkan di sudut tenggara negara kita, Kupang– empat tahun lalu saat berusia 28 tahun.

“Bahwa Islam adalah bahasa persatuan, bahasa kedamaian, bahasa indah nan tegas, yang memperbaiki, bukan menghancurkan, merangkul dan bukan mencekik, bahasa yang tidak mengenal pihak lain sebagai musuh melainkan semata karena belum tahu.”

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Pendudukan Kampus 1978: Luka Ketiga Dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara (1)

“Pola reaksi dan cara kekuasaan yang salah dalam menanggapi sikap kritis mahasiswa, yakni dengan gaya militeristik yang makin dikembangkan pasca 1973, telah mendorong kekuatan kritis di masyarakat, terutama mahasiswa, secara perlahan namun pasti sampai kepada kesimpulan bahwa kekuasaan yang ada tak boleh tidak pada akhirnya harus diakhiri. Apalagi makin terlihat betapa kekuasaan telah menjelma menjadi lebih keras dari waktu ke waktu, ibarat mengerasnya kulit kerang dalam rendaman air laut yang bergaram dan oleh sorotan sinar matahari”.

SASARAN utama yang ingin dilumpuhkan kalangan kekuasaan setelah Peristiwa 15 Januari 1974, adalah kekuatan mahasiswa yang berbasis kampus. Seluruh kampus perguruan tinggi di Ibukota Jakarta dan di Bandung dinyatakan ditutup dan tak boleh dipakai untuk kegiatan apapun. Beberapa kampus di Ibukota bahkan dimasuki satuan-satuan tentara dan ditempatkan dalam pengawasan. Beberapa sekolah di Jakarta juga ditutup untuk jangka waktu tertentu. Sasaran berikut adalah melumpuhkan pers yang kritis dan lebih menjinakkan yang tersisa. Mahasiswa sendiri, khususnya di Bandung, setelah Januari 1974 tampaknya sangat menyadari bahwa untuk sementara perlu menghindari benturan terbuka dengan pihak penguasa yang tampaknya telah menjadi semakin otoriter dan mengandalkan kekuasaan. Bagaikan tiarap, mahasiswa Bandung dan mahasiswa di beberapa kota perguruan tinggi lainnya, pun makin mengokohkan aktivitasnya melalui diskusi-diskusi intensif yang dilakukan dalam bingkai akademik untuk kedalaman wawasan. Tetapi kegiatan inipun tidak mudah karena hampir selalu terbentur masalah perizinan yang tak kunjung keluar.

Tekanan-tekanan yang dijalankan penguasa terhadap kampus dan kehidupan mahasiswa, sejak keberhasilan ‘menumpas’ apa yang mereka berhasil gambarkan sebagai makar Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), secara kasat mata terlihat begitu berhasil. Kehidupan kampus dan kegiatan mahasiswa berhasil ditempatkan dalam suatu supresi yang amat efektif. Nyaris tak ada kegiatan kritis, apalagi berupa aksi-aksi protes terbuka, yang terjadi. Tapi berangsur-angsur mahasiswa bangkit dari tiarapnya, dan tak sampai empat tahun kemudian terjadi lagi benturan terbuka mahasiswa dengan kalangan kekuasaan yang mengakibatkan pendudukan kampus oleh satuan-satuan tentara mulai pada akhir Januari 1978 dan berlangsung hampir selama dua bulan hingga 25 Maret.

SALAH satu penyaluran pengganti kegiatan lainnya yang efektif, selain diskusi, adalah penerbitan-penerbitan kampus. Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran misalnya, sejak Pebruari 1974 telah menerbitkan tabloid bernama ‘Aspirasi’, yang sepintas penampilannya mengingatkan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang pada bulan Januari 1974 baru saja dibreidel oleh penguasa. Setidaknya, ‘Aspirasi’ berhasil bertahan tak kurang dari setahun lamanya, hingga 1975. Isinya tampaknya terpaksa dibuat dengan sangat mengurangi sikap agresif yang biasanya menjadi ciri pers mahasiswa. Hal serupa juga terjadi pada beberapa media pers mahasiswa lainnya di berbagai kampus Indonesia.

Beberapa tulisan dalam ‘Aspirasi’ kendati dibuat oleh aktivis-aktivis, seperti Prabowo Djamal Ali, Ketut Ritiasa dan Syamsir Alam, serta beberapa penulis kampus lainnya seperti Ilsa Sri Laraswati, Didin Damanhuri, Harry K. Sudarsono, terasa lebih kuat dan lebih banyak unsur ‘mengendalikan’ diri daripada mengikuti hasrat kritis. Isi tulisan-tulisan itu lebih banyak bersifat ‘otokritik’ atau pembahasan-pembahasan ke dalam diri perguruan tinggi dan kehidupan mahasiswa. Meskipun sedikit, masih terasa kehadiran selipan-selipan suggestif yang tampaknya bersifat menjaga ‘stamina’ pandangan kritis kampus. Selipan untuk menjaga ‘stamina’ itu misalnya disampaikan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Ilsa Sri Laraswati dalam tulisannya mengenai ‘Organisasi Mahasiswa’ dengan menuliskan “Yang kita harapkan pada kalangan mahasiswa adalah adanya suatu kegelisahan, suatu keinginan untuk mengungkapkan lebih jauh, mencari lebih dalam nilai-nilai kebenaran. Suatu kegelisahan yang menimbulkan dinamik, suatu ketegangan yang positif”. Sedang Ketut Ritiasa, mahasiswa jurusan Farmasi, mengingatkan “bahwa mahasiswa karena identitasnya, wajib tanpa diminta memperhatikan dan memperjuangkan  kepentingan masyarakat”. Dan dari Prabowo, aktivis senior dalam pergerakan awal 1970-an ada selipan untuk mengingatkan bahwa “penghayatan idealisme membuahkan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan sejarah”. Lalu, Syamsir Alam (aktivis dari ITB) mencatatkan kembali faktor kepekaan terhadap masalah-masalah sosial yang harus dimiliki mahasiswa, “yang muncul dalam perhatian kepada masalah-masalah kampus, kesadaran akan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang sedang terjadi, kemampuan mengeritik secara bijaksana dan masuk akal, kesediaan memikul tanggung jawab sebagai warga negara”.

Dalam suatu sindiran yang lebih jelas sasarannya, Al Maiyura (tampaknya, nama samaran salah seorang aktivis), masih pada bulan Maret 1974 menulis “Menjadi pemimpin itu memang tidak gampang. Bukan sekedar duduk di kursi kekuasaan. Dulu lebih ‘gampang’, tapi tidak adil karena kepemimpinan diwariskan berdasarkan keturunan, bukan karena kecakapan dan persaingan sehat. Asalkan keturunan Brawijaya, lalu bisa jadi Brawijaya berikutnya dan seterusnya, kecuali kalau ada musibah, umpamanya ada makar. Ken Arok sebagai contoh, naik karena makar, pun jatuh karena makar. Untuk memelihara kekuasaan, gudang dan pundi-pundi raja lazimnya padat”. Dan kepada mahasiswa lalu diingatkan “Maka tatkala masih jadi mahasiswa, baik-baiklah melatih diri. Kalau berminat jadi pemimpin di kelak kemudian hari, rajin-rajinlah menanamkan dan mengembangkan jiwa demokratis dalam diri. Kebetulan pula perguruan tinggi adalah lembaga yang bersendikan kemerdekaan berfikir, kebenaran dan akal sehat, dan bukannya panggung permainan wayang atau tari topeng. Kalau banyak kalangan lebih tua sudah sukar menyelamatkan diri dari karat feodalisme (tapi gemar melengkapi diri dengan topeng bagus-bagus), biarlah. Barangkali sudah takdirnya. Pokoknya yang muda-muda jangan ketularan. Jadilah manusia tanpa topeng yang menganut prinsip keterbukaan, agar masa depan tidak menjadi masa yang celaka”.

Ungkapan-ungkapan para penulis kampus ini, jika disampaikan pada tahun-tahun kritis sebelumnya, pastilah dikategorikan sebagai tulisan yang lunak, dan merupakan ungkapan-ungkapan yang lumrah saja. Tetapi untuk masa sesudah Peristiwa 15 Januari 1974 dalam situasi kampus yang dicekam oleh supresi kekuasaan, ungkapan-ungkapan itu sudah tergolong ‘berbahaya’. Begitu pula gugatan yang dilontarkan dalam Tajuk Rencana ‘Aspirasi’ bulan April 1974, yang agaknya ditulis Ketua DM Unpad Hatta Albanik, bahwa gerakan-gerakan kritis mahasiswa –berupa tuntutan-tuntutan kecil sampai kepada perubahan-perubahan besar di tingkat nasional– pada beberapa kondisi seringkali dinilai sebagai semata-mata dari nilai politis yang ditimbulkannya. Perlakuan politis dengan segala tipu daya pun coba diperlakukan baginya. Sikap itu lalu menimbulkan rangsangan untuk menumbuhkan militansi sikap mahasiswa untuk lebih reaktif lagi, karena tesis akan menimbulkan anti tesis.

Apa yang diutarakan dalam tajuk ini, kelak cukup terbukti kebenarannya. Pola reaksi dan cara kekuasaan yang salah dalam menanggapi sikap kritis mahasiswa, yakni dengan gaya militeristik yang makin dikembangkan pasca 1973, telah mendorong kekuatan kritis di masyarakat, terutama mahasiswa, secara perlahan namun pasti sampai kepada kesimpulan bahwa kekuasaan yang ada tak boleh tidak pada akhirnya harus diakhiri. Apalagi makin terlihat betapa kekuasaan telah menjelma menjadi lebih keras dari waktu ke waktu, ibarat mengerasnya kulit kerang dalam rendaman air laut yang bergaram dan oleh sorotan sinar matahari. Dan bila sampai 1975-1976 masih ada yang melihat kemungkinan adanya suatu pilihan tengah, maka sesudahnya sejalan dengan fakta makin mengerasnya pola reaksi dari rezim kekuasaan maka kalangan kritis pada akhirnya menyimpulkan tak ada lagi pilihan tengah sebagai alternatif. Hanya tersisa satu alternatif, jatuhkan dan ganti Soeharto dengan Orde Baru buatannya.

Kampus-kampus lain seperti ITB, juga gigih mempertahankan sejumlah penerbitan mahasiswa yang mereka miliki seperti BB ITB (Berita-berita ITB) dan Majalah Scientiae yang dengan sengaja juga dirubah bentuknya menjadi tabloid. Untuk seberapa lama, penerbitan-penerbitan kampus ini bisa cukup leluasa dan bebas terbit, karena tidak diperlukan surat izin terbit atau surat izin cetak dari instansi-instansi resmi. Cukup dengan ‘restu’ intern dari lingkungan perguruan tinggi. Tapi pada saat kalangan kekuasaan merasa bahwa penerbitan-penerbitan kampus ini pada akhirnya bisa juga menjadi duri baru dalam daging, akhirnya dikeluarkan lagi satu ketentuan baru bahwa penerbitan kampus pun perlu melengkapi diri dengan izin-izin resmi dari Departemen Penerangan (dengan rekomendasi Kopkamtib tentunya) seperti halnya dengan penerbitan-penerbitan umum. Satu lagi ‘kebebasan berekspresi’ berhasil dicabut penguasa dari kehidupan kampus perguruan tinggi.

Bersamaan dengan pengetatan terhadap pers kampus, penguasa pun makin keras terhadap pers nasional. Budaya telpon dari kalangan penguasa kepada redaksi berbagai media pers untuk menegur tumbuh dan makin menjadi dari waktu ke waktu. Atas nama Kopkamtib atau instansi militer dan kekuasaan lainnya, cukup seorang Mayor yang menelpon untuk mengatur apa yang boleh dimuat dan apa yang tidak boleh dimuat sebagai berita. Lama kelamaan, isi pemberitaan pun bisa didiktekan arahnya, dan bahkan sampai kepada suruhan pemutarbalikan fakta. Martabat pers betul-betul didorong ke tingkat yang paling rendah. Pers dengan sendirinya tidak mampu lagi menjadi alat mediasi kepentingan masyarakat dan kebenaran. Kalau pun unsur pers ingin memperjuangkan kebenaran dan keadilan, itu harus dilakukan dengan ‘bergerilya’ melalui formulasi penyajian yang sangat taktis dan halus terselubung. Terakhir, sejak tahun 1980-an kalangan penguasa bahkan secara jelas masuk ke dunia pers melalui penguasaan permodalan. Banyak sanak keluarga dan kerabat kalangan kekuasaan terjun menguasai media cetak dan elektronik. Beberapa stasiun televisi swasta besar didirikan dengan topangan uang keluarga kalangan kekuasaan puncak. Semuanya, demi pengendalian.

Berlanjut ke Bagian 2

‘Maju ke Otoriterisme Masa Lampau’

DALAM rapat kabinet Kamis 18 Februari 2010 ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur Menteri Komunikasi dan Informatika Tiffatul Sembiring terkait merebaknya pro-kontra Rancangan Peraturan Pemerintah (RPM) Konten Multimedia, yang menurut Presiden “sudah meluas ke mana-mana”. Seolah-olah pemerintah ingin mengambil hak-hak dan kebebasan berpendapat melalui dunia maya yang selama ini dimiliki publik. Presiden meminta menteri dan jajarannya untuk lebih berhati-hati dalam melontarkan pernyataan ke masyarakat.

ENTAH kebetulan entah memang terkait erat dengan sikap dan jalan pikiran sang penentu kebijakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika di masa kedua kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ir Tiffatul Sembiring sebagai menterinya, mendadak menguat tampilan aroma represifnya. Kementerian ini berada tepat di jantung waktu pelaksanaan Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Untuk itu beberapa waktu terakhir, yang tak terlepas dalam masa pacu program 100 hari pemerintahan periode kedua SBY, Kementerian Kominfo, berturut-turut meluncurkan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) Penyadapan, RPP Lembaga Penyiaran Publik dan yang terbaru RPM (Rancangan Peraturan Menteri) Konten Multimedia. Semuanya memancing polemik. Terhadap teguran dan sorotan, Tiffatul berkelit bahwa proses RPM itu sudah dilakukan sejak 2006, artinya di masa menteri M. Nuh.

Tiga produk ini menampilkan ciri kuat sikap represif. Menurut Agus Sudibyo, dalam sebuah tulisan di Harian Kompas, rancangan-rancangan ini menunjukkan Kementerian Kominfo telah “melaksanakan perumusan kebijakan yang bersifat sepihak, eksklusif, dan kurang partisipatoris”. Rencana kebijakan menjadi kontroversial karena tidak memenuhi harapan publik tentang regulasi yang kompatibel terhadap prinsip-prinsip demokrasi, serta mengancam fundamen kebebasan informasi dan kebebasan berpendapat. “Situasi ini tercipta karena unsur-unsur publik tidak benar-benar dilibatkan dalam perumusan rencana kebijakan”.

Dalam RPM itu diketengahkan dalih untuk melindungi masyarakat dari ekses penyalahgunaan informasi elektronik, dokumen elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Dengan rumusan seperti itu RPM Konten Multimedia dianggap berpotensi menjadi lembaga sensor gaya baru. Salah satu pasal, yakni Pasal 30 Ayat 2 mencantumkan ancaman sanksi administratif mulai dari teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan usaha dan atau pencabutan izin. Adanya ketentuan sanksi ini bisa diartikan bahwa dengan demikian diperlukan izin-izin bagi penyelenggaraan konten, blog dan yang semacamnya. Akan ada pengawasan terhadap berbagai produk dalam lalu lintas dunia maya, mulai dari Facebook yang selama ini menjadi alat publik untuk menggalang solidaritas secara efektif, sampai kepada lalu lintas e-mail. Izin-izin dengan sendirinya bermakna pengendalian yang mengancam kebebasan berekspresi melalui media internet dan yang semacamnya, yang dengan sendirinya juga mengancam hak masyarakat untuk mengakses informasi dari internet.

Menjadi pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang pemikiran di kalangan kekuasaan sehingga berkali-kali tanpa henti melakukan berbagai upaya pengendalian di dunia maya. Apa seperti jalan pikiran para penguasa di RR-Cina yang mencoba mengendalikan dan membatasi operasi jaringan Google di negeri itu melalui mekanisme sensor, karena digunakan kaum kritis untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah? Apakah pemerintah tidak senang dengan kejadian semacam berhasilnya penggalangan dukungan satu juta facebooker dalam kasus Bibit-Chandra atau penggalangan simpati melalui internet ala kasus Prita Mulyasari?

Mari kita sejenak menengok beberapa catatan seputar sikap dan perilaku kalangan kekuasaan di masa lampau, berikut ini.

SANG KALA atau waktu dalam pemahaman manusia secara umum adalah berjalan lurus ke depan. Tak mungkin manusia berjalan mundur ke masa lampau dalam wujud ragawi. Akan tetapi, pola pikir dan perilaku manusia, agaknya bisa bebas berjalan ‘maju’ ke masa lampau. Terutama dalam konteks pengelolaan kekuasaan dan politik. Apakah itu yang sedang terjadi di dalam kementerian yang dipimpin tokoh Partai Keadilan Sejahtera yang merupakan produk masa yang disebut era reformasi ini?

Barangkali kita tidak boleh terlalu buru-buru mengatakan –dan menjadi naif– bahwa kita sekarang sudah ada dalam satu negara dengan masyarakat yang demokratis. Sejarah menunjukkan betapa bangsa ini berkali-kali menumbangkan kekuasaan otoriter, namun di atas puing-puing kekuasaan lama yang dijatuhkan dengan cara tumpas kelor, senantiasa terbangun kembali bangunan kekuasaan baru yang tak kalah otoriternya. Sehingga, proses pembangunan demokrasi yang memenuhi harapan, selalu kandas.

Para pemimpin di Indonesia selalu memasuki kekuasaan dengan bekal idealisme yang tinggi –setidaknya dikesankan demikian– namun pada akhirnya cenderung terjerumus kepada praktek lebih menikmati benefit dari kekuasaan itu daripada memenuhi esensi tanggungjawab yang altruistis. Kenikmatan kekuasaan demi kekuasaan, merupakan ajaran utama dalam warisan sistem nilai kolonialisme dan feodalisme Nusantara, sedangkan altruisme melekat sebagai esensi kewajiban dalam kehidupan yang demokratis.

Beberapa di antara pemimpin Indonesia jatuh ketika tergelincir dalam pola kenikmatan kekuasaan demi kekuasaan itu. Soekarno jatuh di tahun 1966-1967 untuk membayar kekhilafannya selama masa kekuasaan 1959-1965. Jenderal Soeharto pun jatuh sewaktu mulai mengutamakan kepentingan pemeliharaan kekuasaannya dengan pembentukan kelompok-kelompok kepentingan yang melibatkan keluarga, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir masa kekuasaannya. Sedang Abdurrahman Wahid dijatuhkan melalui impeachment yang dimotori kalangan partai politik  yang mendominasi DPR, setelah mengeluarkan dekrit membubarkan lembaga perwakilan rakyat itu. Di tahun 1959 Soekarno berhasil dengan Dekrit 1 Juli 1959, yang antara lain membubarkan parlemen, terutama karena adanya dukungan kuat tentara sebagai salah satu faktor dalam kekuasaan, sesuatu yang tidak dimiliki Abdurrahman Wahid, dalam hal ini dari kepolisian sebagai faktor kekuatan pasca hegemoni militer Indonesia. Walau masih bisa diperdebatkan, Abdurrahman Wahid yang dikenal sebagai tokoh pro demokrasi, di bulan-bulan akhir kekuasaannya justru dituduh bersikap a demokratis.

Biasanya, tatkala memasuki suatu fase sikap yang lebih otoriter, para penguasa makin ‘cerewet’ terhadap mereka yang banyak berpendapat, teristimewa yang pengutaraan-pengutaraannya bersifat kritis. Makin menaik kadar perilaku otoriter itu, makin mengeras pula sikap para penguasa. Presiden Soekarno misalnya pernah memerintahkan pemecatan kepada Professor Mochtar Kusumaatmadja dari jabatannya di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran karena dalam salah satu kegiatan mengajar ia dianggap menyampaikan kritik terhadap ajaran Manipol Usdek dan terhadap Jubir Usman (Juru Bicara Usdek Manipol) Dr Ruslan Abdulgani. Lebih dari itu sejumlah lawan politiknya dipenjarakan bertahun-tahun tanpa proses peradilan, dan pada waktu yang sama memberangus beberapa media pers, di antaranya Harian Indonesia Raya sekalian memenjarakan Pemimpin Redaksinya, Mochtar Lubis.

Presiden Soeharto juga melakukan hal-hal yang serupa. Melalui lembaga super, Kopkamtib, yang sehari-hari dipimpin oleh Jenderal Soemitro, kemudian Laksamana Soedomo, dengan berbagai cara dan alasan sejumlah tokoh yang berbeda pandangan ditangkapi, mulai dari tokoh-tokoh Petisi 50 sampai kepada Letnan Jenderal HR Dharsono yang bersama Jenderal Soeharto dan Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo merupakan tiga jenderal utama dalam proses penumpasan Gerakan 30 September 1965 dan pengakhiran kekuasaan Soekarno. Jenderal yang lebih senior, Abdul Harris Nasution, meski sempat dianugerahi gelar Jenderal Besar –berbintang lima– bersama Soeharto, disisihkan dari kekuasaan. Melalui momentum Peristiwa 15 Januari 1974, sejumlah tokoh kritis seperti Adnan Buyung Nasution, Marsillam Simandjuntak, Rahman Tolleng, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, ditangkap tanpa pernah diadili. Serangkaian pembreidelan media pers juga dilakukan, Harian Indonesia Raya (sekali lagi), Mingguan Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI lalu Harian Pedoman dan Harian Abadi. Belakangan, rezim Soeharto membreidel Harian Sinar Harapan, Harian Kompas dan beberapa media massa lainnya yang kemudian diampuni setelah menyampaikan maaf.

Para presiden pasca Soeharto, tidak berani main tangkap dan main tahan, seperti yang sering dilakukan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Pada awalnya mereka biasanya mulai mengeluhkan kebebasan tak ‘terkendali’ dalam penyampaian pendapat dan kritik. Fase berikutnya mulai memberi tangkisan dengan kata-kata yang cukup keras dalam berbagai kesempatan. Dan pada kesempatan selanjutnya mulai mengeluarkan berbagai peraturan dan cara yang bersifat membatasi dan atau membendung arus kritik. Departemen Penerangan yang di masa lampau ampuh untuk mengendalikan pers dan seluruh media massa, namun di masa kekuasaan Abdurrahman Wahid dihapuskan, dihidupkan kembali oleh para penguasa masa berikutnya sebagai Lembaga Informasi Nasional. Lalu, belakangan berangsur menjelma menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika lengkap dengan sebuah lembaga bernama Komisi Penyiaran Indonesia. Sejak awal Departemen Kominfo dan atau Kementerian Komunikasi dan Informatika ini serta KPI tak sepi dari kontroversi, karena dianggap sebagai reinkarnasi Departemen Penerangan yang punya kewenangan represif terhadap media komunikasi massa.

Kehadiran KPI misalnya, banyak dikaitkan dengan adanya hasrat kalangan kekuasaan untuk mengendalikan dan menjinakkan media pers yang pada masa ini begitu bebasnya. Tetapi memang harus diakui pula bahwa dalam beberapa peristiwa, tidak sedikit perilaku pers telah sangat mencemaskan –bukan hanya kalangan kekuasaan, melainkan juga beberapa kalangan di masyarakat– kadar eksesnya dalam euphoria menjalankan kebebasan pers. Kerapkali, media massa, tak hanya memberitakan dan menganalisa satu peristiwa tetapi juga sudah menginterogasi, menuduh, mengadili sekaligus menghukum ‘objek’nya. Kalau benar, tentu saja tidak terlalu merupakan masalah. Tapi kalau tidak benar, apa bedanya dengan perilaku otoriter yang ada dalam kekuasaan negara dan kekuasaan politik? Beberapa acara televisi bahkan sudah tidak lagi berjalan berdasarkan kaidah-kaidah jurnalistik, seringkali bisa menelanjangi bulat-bulat kehidupan pribadi orang lain tanpa ada alasan kepentingan umumnya lagi. Perilaku penuh ekses dari pelaku dan penyelenggara berbagai media massa, bisa menjadi bahan tunggangan dan alasan pembenar bagi kalangan tertentu dalam kekuasaan yang memang alergi terhadap sikap kritis dan bahkan tak nyaman dengan kebebasan yang demokratis, untuk bertindak otoriter.

KEMBALI ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seratus hari awal masa kepresidenannya yang kedua telah dilalui dengan cara yang tidak mudah. Banyak tudingan yang ditujukan kepada diri dan pemerintahannya yang tampaknya cukup menguras energi dan emosinya. Untuk sebagian, polemik dan kritik terhadap pemerintahannya terpicu oleh beberapa perilaku para bawahannya di pemerintahan maupun para pengikutnya di Partai Demokrat yang masih gamang sebagai partai pemenang, dan sebagian lagi karena sejumlah pernyataannya sendiri yang tidak bisa ‘dipahami’ dan tidak bisa ‘diterima’ oleh banyak orang. Apakah kritik dan serangan gencar terhadap dirinya, akan memicu kemarahannya dan membuat sikapnya mengeras di masa selanjutnya? Seterusnya, akankah ia mengulangi pilihan sejumlah pendahulunya untuk tidak lagi menerima kritik dan lebih tergoda kepada kenikmatan kekuasaan demi kekuasaan? Lalu ‘maju’ ke otoriterisme masa lampau? Tapi tentu saja, yang terbaik adalah memilih keluar dari lingkaran setan tradisi kegagalan kepemimpinan dan memilih menjadi pemimpin dengan altruisme yang kuat.

Rum Aly

Pers Indonesia: Senjata Perjuangan yang Beralih Menjadi Penanda Kegagalan Sosiologis (2)

“Harkat dan martabat pers berada pada titik nadir paling rendah, di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965”. “Dan dalam masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif, dengan hanya sedikit pengecualian pers Indonesia menjadi pers yang tanpa keberanian dan sikap kritis. Justru di masa langka kepemilikan keberanian moral itu, kehadiran sejumlah pers yang diasuh mahasiswa menjadi fenomena dengan sikap kritisnya yang cerdas dan berani”.

NUSANTARA, meminjam pandangan Clifford Geertz, adalah tempat persilangan kultural yang paling rumit di dunia. Persilangan rumit itu menghasilkan suatu kegagalan sosiologis yang berkepanjangan di Nusantara hingga ke masa Indonesia merdeka. Kegagalan sosiologis yang disertai semacam agnosia atau loss of perception. Merupakan produk dari pengalaman kemalangan sejarah yang panjang: Pertemuan dan persilangan yang hampir tak masuk akal dari perilaku terburuk dari bangsa-bangsa yang datang dengan hasrat penaklukan, mulai dari orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda, bahkan juga dari ‘sesama’ Asia yakni India dan Cina. Juga menjadi tempat persilangan penyebaran agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan kerap dengan pertumpahan darah, penaklukan dan tipu daya, apakah itu Hindu, Budha, Konghucu, maupun Kristen dan juga Islam. Cara penyebaran yang tak damai itu menyisakan dalam jangka panjang dan berulang-ulang suatu rangkaian konflik berdasarkan perbedaan agama. Lalu, pada dua abad terbaru, Indonesia menjadi pula tempat persilangan antara sistem kapitalisme liberal, imperialisme dan komunisme, bahkan juga ideologi-ideologi berdasar agama yang digunakan dalam kehidupan politik yang amat duniawi, bertentangan dengan kesucian ajaran agama-agama itu sendiri. Pertemuan silang ideologi-ideologi ini menciptakan situasi pertarungan politik dengan orientasi kekuasaan semata.

Kendati menjelang proklamasi kemerdekaan, para the founding fathers telah berhasil menyusun suatu falsafah dan ideologi dasar yang dipetik dari bagian paling luhur akar budaya Indonesia yang telah diperkaya dengan pikiran baru dengan nilai-nilai universal yang diadaptasi dari alam pemikiran barat, namun sesudahnya tak pernah dilakukan suatu proses ideologisasi lanjut sepanjang masa Indonesia merdeka. Padahal ideologisasi lanjut diperlukan dalam kehidupan politik dalam rangka pembentukan dan penyelenggaraan negara selanjutnya. Tanpa falsafah dan ideologi bangsa yang memadai, pembangunan politik –dengan berbagai derivatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang bertujuan untuk menciptakan bangsa yang punya harkat dan martabat lahir maupun batin– dan secara lebih luas, pembangunan sosiologis bangsa ini, tak mampu dilakukan. Indonesia menjadi suatu bangsa yang gagal secara sosiologis, menjadi bangsa yang sakit secara sosiologis, dalam jangka panjang, hingga kini.

Demikian peta masalah yang kita hadapi sebagai bangsa: Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan 1945-1949; masa percobaan kehidupan politik liberalistik 1950-1959; masa kekuasaan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno 1960-1965; masa kekuasaan Soeharto dengan demokrasi Pancasila yang kualitatif tak berbeda esensinya dengan demokrasi terpimpin; maupun masa pasca Soeharto yang dikenal dengan masa reformasi namun tanpa transformasi nilai-nilai baru. Esensi permasalahan berputar-putar pada pola dan lakon yang sama, di atas panggung yang sama dan hanya dengan pelakon yang berganti-ganti secara transisional.

Catatan sejarah politik dan kekuasaan Indonesia menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu tercipta titik kulminasi kejenuhan dengan letupan-letupan. Titik jenuh pertama, yang berupa kejenuhan terhadap kegagalan percobaan kehidupan politik yang liberalistik, terjadi 5 Juli 1959 saat Soekarno dengan dukungan AD di bawah Jenderal AH Nasution, mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 sambil membubarkan konstituante. Tetapi hanya dalam tempo 5 tahun Soekarno berubah menjadi seorang pemimpin diktatorial dengan dukungan kuat dari Partai Komunis Indonesia yang menganut ideologi totaliter, telah menciptakan titik jenuh baru dan meletup sebagai Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini disusul dengan pergerakan kritis 1966 yang dipelopori kaum intelektual dengan kelompok mahasiswa sebagai tulang-punggung gerakan perubahan dan pembaharuan politik dan kekuasaan.

Masa kekuasaan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno, ditandai beberapa kecelakaan politik sebagai akibat pertarungan internal di tubuh kekuasaan, yang beberapa di antaranya melibatkan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa, seperti Peristiwa 15 Januari 1974 dan Peristiwa 1978 yang berupa kekerasan dan pendudukan beberapa kampus. Terakhir, Peristiwa Mei 1998, yang menyebabkan Soeharto meninggalkan kekuasaannya. Keterlibatan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ada dalam konotasi yang satu sama lain bisa berbeda-beda: Terbanyak sebagai gerakan moral yang kritis yang mempunyai tujuan ideal pelurusan keadaan, tetapi tak jarang pula keterlibatan yang berupa bagian dari pertarungan kekuasaan antar faksi dalam kekuasaan dalam posisi pemicu atau bahkan sekedar alat. Atau peranan pelopor atas dasar idealisme dan moral kebenaran-keadilan namun kemudian benefitnya dipungut oleh kekuatan-kekuatan politik praktis dalam rangka perebutan hegemoni kekuasaan.

Di mana posisi dan peran Pers Indonesia dan Pers Mahasiswa dalam bingkai peristiwa? Dalam kurun waktu kekuasaan kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang, jelas bahwa pers Indonesia ada dalam masa suram. Pers selalu ada dalam ancaman supresi, namun sungguh menarik bahwa sejumlah pelaku pers tetap mencoba mencari celah untuk menyampaikan aspirasi tentang kebebasan bagi rakyat, kendati pada waktu yang sama tak kurang banyaknya kaum opportunis maupun yang menempatkan diri dalam pola penghambaan terhadap kekuasaan.

Sementara itu, ketika berada dalam masa kekuasaan otoriter Soekarno maupun kekuasaan otoriter Soeharto, harus diakui bahwa mayoritas pelaku pers nasional melakukan pilihan yang paling aman untuk tunduk terhadap kekuasaan dan menempatkan diri sebagai penyalur suara dan kepentingan kekuasaan belaka. Beberapa tokoh pers terkemuka melakukan pembelaan diri dengan terminologi sikap taktis. Hanya terdapat sedikit pengecualian, dan contoh paling terkemuka untuk dua kurun waktu ini adalah tokoh Mochtar Lubis dengan Harian Indonesia Raya yang dipimpinnya.

Harkat dan martabat pers berada pada titik nadir paling rendah, di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965. Setiap penerbitan pers diharuskan memiliki induk partai dan atau kekuatan politik. Seterusnya penerbitan-penerbitan pers di daerah harus bergabung pada salah satu induk pers di Jakarta. Karena seluruh partai dalam struktur Nasakom kala itu dapat dikatakan sepenuhnya adalah partai-partai dengan kepribadian lemah karena sikap opportunis para pemimpinnya, maka dengan sendirinya penerbitan pers yang bergabung dengannya tak bisa diharapkan memiliki kepribadian yang jelas. Di sisi lain, Partai Komunis Indonesia yang secara politis berada di atas angin, partai itu dan organ-organ persnya menjadi sangat agresif dan provokatif. Dan dalam masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif, dengan hanya sedikit pengecualian pers Indonesia menjadi pers yang tanpa keberanian dan sikap kritis. Justru di masa langka kepemilikan keberanian moral itu, kehadiran sejumlah pers yang diasuh mahasiswa menjadi fenomena dengan sikap kritisnya yang cerdas dan berani.

Pengamatan dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa aktivitas pers mahasiswa senantiasa terkait erat dengan aktivitas pergerakan dan atau perjuangan mahasiswa dari masa ke masa. Mahasiswa yang terbina dalam kebebasan akademis, memiliki ketertarikan kepada kegiatan pers yang merupakan media penyampaian aspirasi dalam pemahaman demokratis. Sementara kalangan kekuasaan dengan kecenderungan otoriteristik memandang pers hanyalah sekedar alat penanaman opini yang efektif. Pergerakan moral mahasiswa –sebagian bagian dari kaum intelektual– maupun aktivisme pers dalam konteks demokrasi memiliki idealisme dan etika dasar yang sama, yaitu kebenaran objektif dalam pengertian universal yang dengan sendirinya juga memperjuangkan keadilan.

Dharma ketiga perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa sebagai insan akademis ada dalam konteks. Lahir dan terbentuknya IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) di tahun 1950-an banyak terkait dengan perjuangan mahasiswa untuk penegakan demokrasi. Di masa demokrasi terpimpin Soekarno, IPMI menjadi tempat persemaian aktivis pro demokrasi yang resah terhadap gejala kekuasaan yang mengarah kepada bentuk diktatorial. Pada waktu yang sama, banyak aktivis mahasiswa yang melakukan perlawanan bawah tanah terhadap kekuasaan, antara lain dengan menggunakan pamflet dan selebaran gelap yang berisi tulisan-tulisan kritis terhadap cara Soekarno menjalankan kekuasaan. Di tahun 1970-an di Bandung lahir pula BKS Pers MI (Badan Kerja Sama Pers Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah kerjasama penerbitan pers mahasiswa intra maupun ekstra kampus.

Kendati pers mahasiswa juga bisa digeluti oleh beberapa mahasiswa hanya atas dasar minat dan ketertarikan kepada kegiatan jurnalistik, tetapi dalam perjalanan keterlibatan itu akan selalu tampil romantisme atas dasar idealisme seberapa kecilpun kadarnya. Paling tidak, menyalurkan aspirasi untuk mengkritisi keadaan di sekitar dalam berbagai skala. Model ini banyak kita temukan dalam bentuk penerbitan internal di fakultas-fakultas, dan atau di kalangan internal organisasi ekstra-universiter.

Model dengan skala lebih luas adalah penerbitan yang diselenggarakan untuk tingkat universitas. Kampus Universitas Padjadjaran pernah memiliki Gema Padjadjaran pada akhir tahun 1960 hingga awal 1970-an sampai menjelang meletusnya Peristiwa 15 Januari 1974. Kemudian, setelah peristiwa, ada Aspirasi. Keduanya diterbitkan di bawah naungan Dewan Mahasiswa dan atau lembaga mahasiswa internal kampus, dengan supportasi otoritas kampus. Kampus ITB adalah contoh menarik lainnya dalam pers mahasiswa. Kampus ini sejak tahun 1960-an sebelum 1965, dan kemudian pada masa-masa sesudahnya, senantiasa memiliki lembaga-lembaga pers. Ada Berita-berita ITB pada masa pergolakan karena politisasi kampus di masa demokrasi terpimpin, yang terbagi antara kubu mahasiswa intra yang independen dengan kubu mahasiswa onderbouw kekuatan eksternal kampus seperti CGMI, GMNI, Perhimi dan sebagainya. Berita-berita ITB ini berhasil eksis dalam jangka yang amat panjang. Di ITB pernah pula ada Gelora Teknologi, Majalah Kampus, Scientiae. Selain itu, ITB memiliki Liga Film Mahasiswa yang tetap memutar film-film barat pada saat kekuatan politik kiri di masa Soekarno ramai-ramai mengganyang apa yang mereka sebut sebagai film Nekolim. ITB pun memiliki Radio ITB dan sempat ada Pemancar TV di kampus.

Kampus Universitas Gajah Mada di Yogyakarta juga memiliki sejarah yang cukup panjang dalam kehidupan pers mahasiswa. Sampai kini ada Lembaga Pers yang dikenal sebagai Balairung yang menerbitkan Balkon atau Balairung Koran dan Jurnal yang terbit 1-2 kali setahun dengan kumpulan tulisan tematis. Lembaga pers UGM ini lahir pada masa UGM dipimpin Rektor Prof. Dr Kusnadi Hardjasumantri. Almarhum pada masa mahasiswanya di tahun 1950-an menjadi salah satu pendiri IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) antara lain bersama Emil Salim. Kampus UGM juga memiliki SKM Bulaksumur. Setiap fakultas memiliki penerbitan mahasiswa, seperti halnya dengan Universitas Padjadjaran, ITB, Universitas Parahyangan, Universitas Indonesia dan berbagai kampus perguruan tinggi di tanah air. Universitas Indonesia juga pernah tercatat sebagai kampus dengan banyak penerbitan pers mahasiswa. Mereka pernah punya Koran Salemba. Karena pemberitaannya, koran mahasiswa itu berkali-kali menghadapi persoalan dengan kalangan kekuasaan masa Soeharto.

Namun yang paling fenomenal dalam kehidupan pers mahasiswa adalah masa pergerakan tahun 1966. Pada tahun 1966 lahir Harian KAMI di Jakarta dan Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat di Bandung pada waktu yang hampir bersamaan. Berbeda dengan pers kampus, kedua media yang disebut di atas adalah sebuah media yang bergerak sebagai pers umum, namun diasuh oleh sumberdaya manusia yang berasal dari kampus, khususnya kalangan mahasiswa. Selain edisi Jawa Barat, lebih dulu ada Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat dan kemudian edisi Yogyakarta. Akan tetapi dua yang disebut terakhir ini justru tak berusia panjang, sehingga edisi Jawa Barat akhirnya tampil dengan nama Mingguan Mahasiswa Indonesia saja dengan posisi dan kategori pers nasional. Harian KAMI maupun Mingguan Mahasiswa Indonesia memiliki Surat Izin Terbit dari Departemen Penerangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Meskipun kedua media itu menyandang nama mahasiswa, media yang diasuh mahasiswa ini menjalani kehidupan pers umum. Beredar secara nasional dengan tiras yang kadangkala bisa menyamai bahkan melampaui media massa nasional yang ada masa itu.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (14)

“Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut”. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. “Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu”.

BERKAITAN dengan perkembangan dan situasi terakhir Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Bandung merasa perlu menyampaikan kepada penguasa beberapa hal. Kesatu, usaha yang dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi yang berlangsung saat ini, seharusnyalah didasari akan penghayatan terhadap inti masalah sesungguhnya dan tidak semata-mata diarahkan pada usaha mengatasi reaksi yang timbul sebagai konsekuensi logis dari kenyataan sosial yang ada. Kedua, usaha-usaha penanggulangan masalah, seharusnyalah dilakukan dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang telah dengan susah payah ditegakkan dengan darah dan air mata patriot, prajurit-prajurit bangsa dan rakyat Indonesia. Ketiga, dalam menilai dan mengambil sikap terhadap situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan mahasiswa, hendaknya penguasa tidak terlampau prematur menjatuhkan vonis; sehingga berakibat semakin meluasnya kegoncangan dan ketidakpastian di dalam masyarakat.

Kepada masyarakat sementara itu, disampaikan hal-hal berikut. Kesatu, gerakan mahasiswa akan terus dilanjutkan, dan diarahkan pada usaha-usaha untuk memperjuangkan tata kehidupan masyarakat yang lebih baik, keadilan yang lebih merata, di dalam negara Indonesia yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Kedua, gerakan-gerakan mahasiswa akan disesuaikan dengan langkah yang mencoba meletakkan unsur kepentingan dan keamanan masyarakat luas, sejauh hal tersebut dimungkinkan. Adalah merupakan kewajiban kita semua untuk membantu menciptakan situasi tersebut dan memberikan dukungan yang positif.

Lalu kepada mahasiswa diserukan: Kesatu, perjuangan dan gerakan yang kita lakukan, akan semakin berat sehingga dibutuhkan kekompakan serta penghayatan dan pandangan yang lebih luas untuk lebih mengarahkan langkah-langkah yang menampilkan aspirasi masyarakat. Kedua, menghindarkan usaha-usaha yang memungkinkan menodai nama baik mahasiswa, dengan jalan memperkuat tekad bersama untuk tetap menjaga dan membela panji-panji gerakan mahasiswa yang hanya berorientasikan kepada dinamika dari proses perubahan. Ketiga, “perkembangan situasi dewasa ini menunjukkan bahwa solidaritas sesama mahasiswa semakin ditingkatkan; dalam kaitan ini kami anjurkan untuk tetap siaga dan berada di kampus masing-masing”.

Pernyataan itu menambahkan bahwa merupakan keyakinan bersama mahasiswa, “bahwa setiap usaha perubahan ke arah perbaikan akan selalu menghadapi rintangan-rintangan dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan itu, karena merasa dirugikan oleh perubahan yang diingini oleh lapisan masyarakat luas. Dalam konstelasi masyarakat Indonesia saat ini, pihak-pihak yang dirugikan tersebut adalah benalu bangsa, penjual negara dan pengkhianat-pengkhianat bangsa”.

Pernyataan sikap Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung itu ditandatangani oleh pimpinan-pimpinan DM/SM, yakni Muslim Tampubolon (Institut Teknologi Bandung), Hatta Albanik (Universitas Padjajaran), Denny Kailimang (Universitas Parahyangan), Muddin Said (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Bandung), Djodi Hersusanto (Institut Teknologi Tekstil), Roy Pradana (Universitas Kristen Maranatha), A. Rahman Abbas (Akademi Geologi dan Pertambangan), Binsar Siregar (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Dedeng Z. (Universitas Islam Bandung), Pulung Peranginangin (Akademi Tekstil Berdikari), A. Hamid Puaupa (Universitas Islam Nusantara) dan Tommy E. (Akademi Bahasa Asing).

Tingkat situasi pasca kerusuhan Jakarta tanggal 15 Januari 1974, dengan segera menempatkan posisi mahasiswa Jakarta pada titik yang disudutkan dan terpojok, terutama Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Bersama dengan beberapa eksponen non kampus, beberapa aktivis DM/SM Jakarta ditangkap dan dikelompokkan sebagai bagian dari suatu gerakan makar. Setelah peristiwa, Laksus Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan maklumat 004/PK/1/74 15 Januari. Seluruh perguruan tinggi se Jakarta dan seluruh sekolah-sekolah diminta untuk ditutup sementara dan tidak melakukan kegiatan apa pun di lingkungan masing-masing. Tapi mulai hari Senin 21 Januari, sekolah-sekolah di Jakarta diizinkan untuk dibuka kembali, terkecuali Universitas dan Perguruan Tinggi serta 11 Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas (seperti antara lain STM Budi Utomo, STM Penerbangan, SMA VII Jalan Batu, Sekolah Menengah Pembangunan Rawamangun). Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo memberi alasan, masih ditutupnya universitas dan 11 sekolah itu adalah untuk mencegah sekolah-sekolah itu digunakan sebagai konsentrasi, diskusi atau rapat-rapat gelap. “Anak-anak itu dihasut”, ujar Soedomo, “Hasutan bisa dilakukan oleh guru sendiri ataupun pihak-pihak luar yang masih sedang dicari”. Soedomo menunjuk salah satu unsur paling berbahaya, yaitu Kappi –suatu koordinasi aksi pelajar yang bertahan sejak perjuangan 1966. “Organisasi-organisasi seperti itu akan dibubarkan”.

Mereka yang ditahan pada kesempatan pertama adalah Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo (putera Bung Tomo), Purnama dan Salim Hutadjulu. Lalu seorang pengajar UI Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawannya di DM-UI, diakui oleh Jenderal Soemitro sebagai perintahnya secara langsung, meskipun Laksamana Soedomo mengingatkan untuk jangan terburu-buru melakukan penangkapan. Ketika penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawan dilakukan 15 Januari malam, DM Universitas Padjadjaran melakukan pembelaan. “Hendaknya dipisahkan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan provokasi”, DM Unpad menegaskan.  Pemisahan itu “hanya bisa dilakukan melalui suatu pengadilan yang jujur”. Sehingga, jelas mana yang merupakan perbuatan mahasiswa dan mana yang bukan. Beberapa waktu sebelum 15 Januari, Hatta Albanik sempat mengingatkan kepada rekannya dari DM-UI Eko Djatmiko agar jangan tersusupi provokasi pihak luar mahasiswa. Dengan bercanda Eko menjawab “Kita sudah menyiapkan terong untuk mementung orang-orang seperti itu”. Hatta dan kawan-kawan lain dari Bandung menyimpulkan bahwa kawan-kawan dari Jakarta itu tidak siap. Sewaktu kampus UI dikepung tanggal 15 malam, adalah Eko yang menelpon menyampaikan SOS ke Bandung karena merasa terdesak oleh situasi. Eko dihubungkan dengan dua mahasiswa Bandung, Hertog dan Peter Nelwan yang sedang ada di Jakarta.

Selain aktivis kampus Jakarta, kemudian terdapat nama-nama lain yang ditangkap, yakni beberapa nama yang dikenal sebagai eks pergerakan 1966 seperti Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution SH dan aktivis HAM Princen. Terdapat juga nama beberapa aktivis non kampus seperti Imam Walujo, Jusuf AR, Yessy Moninca. Bersama mereka ditangkap pula tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan ex PSI seperti Prof Sarbini Somawinata, Soebadio Sastrosatomo dan Moerdianto. Pada waktu-waktu berikutnya, berturut ditangkap pula antara lain Sjahrir, Rahman Tolleng, Soemarno, Ramadi.

Belakangan dapat diketahui bahwa usulan atau saran penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap terlibat ini, tidak hanya datang dari satu ‘lijn’ dalam kekuasaan, tetapi berasal dari berbagai jurusan. Sehingga istilah yang paling tepat adalah ‘tangkap menangkap’. Pesanan penangkapan terhadap Rahman Tolleng misalnya datang dari arah berbeda dari yang lainnya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sendiri merasa tidak pernah menyuruh tangkap tokoh-tokoh ex PSI, dan menunjuk Ali Moertopo sebagai orang yang meminta penangkapan tersebut. Ali Moertopo dan kelompoknya memang sangat pro aktif mengusulkan penangkapan-penangkapan. Ia ini mengadakan rapat-rapat khusus kelompok Tanah Abang, dan dalam rapat-rapat itulah disusun daftar nama siapa-siapa saja yang harus ditangkap. Rapat-rapat itu dihadiri oleh mereka yang dikategorikan tenaga inti Tanah Abang, termasuk dr Abdul Gafur. Tapi Dr Midian Sirait yang selama ini punya kedekatan secara langsung ‘tanpa perantara’ dengan Ali Moertopo tidak hadir dalam rapat-rapat tersebut setelah sejak bulan Desember 1973 memutuskan untuk mengurangi kontak karena adanya beberapa perbedaan pandangan dan tidak menyetujui beberapa tindakan Ali Moertopo. David Napitupulu, juga tak pernah mau menghadiri rapat-rapat penyusunan ‘daftar hitam’ itu.

Disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offset rotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.

Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibility gap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibility gap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan ini, praktis hanya tiga orang. Pertama adalah Panglima Siliwangi. Lalu, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan yang ketiga adalah Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Ini terjadi karena agaknya hadirin lainnya –termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal– agaknya ‘tercekam’ situasi. Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.

Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.

Maka, menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.

Berlanjut ke Bagian 15