Tag Archives: Partai Demokrat

Partai Golkar, Kisah Intervensi Berbalut Kain Sutera

BULAN Desember menjelang tutup tahun 2014, kepada publik tersaji serial berita tentang dua versi kepengurusan tingkat pusat Partai Golkar, yakni hasil Munas IX di Bali dan hasil Munas tandingan di Ancol Jakarta. Dua-duanya menyatakan diri sesuai konstitusi partai. Tapi bagaimana pun, sepanjang ketentuan yang ada dalam konstitusi partai tersebut, mustahil terjadi dua kebenaran sekaligus. Karena, apakah mayoritas DPD Golkar yang tersebar di 34 provinsi, 412 kabupaten, 98 kota (dan kota administratif) sebagai pemilik suara terpenting dan menentukan, masing-masing telah menghadiri Munas Golkar IX di Bali lalu juga menghadiri Munas di Ancol Jakarta? Maka, pasti ada satu di antaranya yang palsu. Dan semestinya sama sekali tidak sulit memverifikasi kebenaran di antara kedua Musyawarah Nasional itu.

LAMBANG BERINGIN GOLKAR. "Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara."
LAMBANG BERINGIN GOLKAR. “Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara.”

Meski seringkali menjengkelkan untuk melihat perilaku akrobatik yang kerap beraroma otoriter dari sejumlah tokoh Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, tak boleh tidak harus diakui bahwa Munas Golkar di Bali yang harus dianggap sah karena praktis dihadiri oleh DPD-DPD yang sah dari seluruh Indonesia. Sebaliknya, tidak sulit untuk melihat bahwa Munas di Ancol adalah artifisial, bersifat mengakali konstitusi partai. Tapi pemerintahan Jokowi yang diwakili dalam hal ini oleh Kementerian Hukum dan HAM, mengambil sikap sangat abu-abu.

Pers mengutip Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly –seorang tokoh PDIP– yang mengatakan (16/12) “Setelah kami pertimbangkan, dari semua aspek, yuridis, fakta, dan dokumen, kami menyimpulkan bahwa masih ada perselisihan yang seharusnya Kementerian Hukum dan HAM tidak boleh mengintervensi….” Dan dengan anggapan adanya perselisihan, pemerintah lalu menyarankan penyelesaian internal melalui Mahkamah Partai. Tapi saran pemerintah ini pada hakekatnya hanya memperpanjang dan memperlama fase pertengkaran di tubuh partai papan atas ini. Sepintas sikap pemerintah adil dan bijaksana, tapi implikasinya sebenarnya adalah menciptakan nafas lanjutan dan kesempatan bagi kelompok ‘Munas Ancol’ Agung Laksono dan kawan-kawan untuk tetap menjadi faktor. Baik untuk membangun eksistensi mereka secara formal, maupun setidaknya untuk punya standing dalam suatu proses islah.

Intervensi terselubung. Menjadi pengetahuan publik, bahwa kekisruhan di tubuh Golkar secara pragmatis hanya akan menguntungkan koalisi partai-partai pendukung kekuasaan dan pemerintahan Jokowi-JK dalam konteks mematahkan supremasi KMP di lembaga legislatif. Makin panjang kisruh itu makin bagus bagi the ruling parties. Siapa tahu, hasil akhirnya nanti adalah sebuah Golkar yang pro kelompok berkuasa dalam kekuasaan pemerintahan negara saat ini. Dan cukup banyak kaum opportunis di tubuh partai itu siap ‘dimainkan’ sebagai pemegang peran antagonis.

KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. "Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera."
KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. “Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera.”

Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmuziy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera. Kenapa intervensi di PPP dilakukan tanpa ragu, tak lain karena menganggap posisi kubu Suryadharma Ali sedang terpojok secara internal maupun eksternal. Tuduhan korupsi di Kementerian Agama yang sedang mengarah ke Suryadharma Ali melemahkan posisi dan penilaian integritasnya dalam opini publik. Sebaliknya, intervensi ke Partai Golkar dilakukan lebih berhati-hati, karena adalah fakta bahwa secara internal kubu Aburizal Bakrie memang cukup kokoh berkat dukungan seluruh DPD –terlepas dari soal bagaimana cara dukungan itu diperoleh– dan legal formal pasti lebih konstitusional. Maka Menteri Hukum dan HAM tak ‘berani’ untuk secara langsung memaksakan memberi pengakuan keabsahan kepada kubu Munas Ancol bila tidak ingin mengalami efek bumerang dalam opini publik. Namun, di sisi lain ada kepentingan khusus yang harus disandarkan kepada keberadaan kubu Munas Ancol itu. Maka pilihannya, adalah sikap abu-abu.

Secara khusus bagi Jusuf Kalla, bila Partai Golkar bisa dikuasai oleh unsur-unsur kelompok Ancol, itu akan mengamankan bargaining position dirinya dalam percaturan politik di tubuh kekuasaan dalam lima tahun ke depan. Diakui atau tidak, sebenarnya kebersamaan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam satu perahu kekuasaan, lebih bersifat ‘perkawinan’ taktis dengan segala kepentingan politis demi kekuasaan daripada bersatu atas dasar kesamaan strategis demi idealisme untuk bangsa.

Involusi dan molekulisasi. PERTENGKARAN internal –yang sering diperhalus secara sesat dengan terminologi “dinamika partai”– pasca Soeharto, bukan sesuatu yang baru di tubuh organisasi politik dengan sejarah yang cukup panjang ini. Akan tetapi baru sekali ini Golkar mengalami suatu pertengkaran yang menciptakan situasi ‘seakan-akan’ terjadi kepengurusan ganda. Dan ini adalah kali pertama ada kelompok bertindak terlalu jauh, menyelenggarakan Munas tandingan dan melahirkan DPP tandingan. Menjelang Pemilu 2004 tokoh Golkar Marzuki Darusman-Fahmi Idris dan kawan-kawan sempat berbeda pendirian dengan Ketua Umum Akbar Tandjung yang berujung pemecatan. Hanya saja, Marzuki dan kawan-kawan tidak memilih jalan menyelenggarakan Munas dan DPP tandingan yang bisa menyebabkan kehancuran partai.

Namun setelah itu terjadi sejumlah fenomena baru. Dalam beberapa peristiwa, sejumlah tokoh yang kecewa terhadap Golkar –misalnya kalah dalam konvensi Golkar maupun pemilihan kepemimpinan organisasi tersebut atau gagal menjadi presiden dengan dukungan Golkar– meninggalkan Golkar untuk mendirikan partai baru. Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, Wiranto mendirikan Partai Hanura dan belakangan Surya Paloh mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasdem yang kemudian menjelma sebagai partai Nasdem. Sebelumnya, di awal pasca Soeharto Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjad mendirikan PKPI. Setiap tokoh partai-partai baru itu, menjalankan pola mirip transmigrasi bedol desa, membawa serta para pendukungnya meninggalkan Golkar. Partai Demokrat pun sebenarnya, untuk sebagian dibangun dan diisi oleh tokoh-tokoh yang tadinya adalah bagian dari Keluarga Besar Golkar –misalnya dari jalur A, maupun tokoh-tokoh eks Golkar lainnya.

Fenomena baru pasca Soeharto ini, mungkin tepat disebut sebagai proses involusi, semacam degenerasi yang lebih jauh bisa saja suatu waktu menjadi molekulisasi Golkar. Ini semacam pembalikan terhadap apa yang terjadi di tahun 1964 saat tak kurang dari 291 organisasi bercorak kekaryaan berhimpun membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Dan menjelang Pemilihan Umum 1971, Sekber Golkar berhasil merampingkan pengorganisasiannya namun dengan kuantitas akar rumput yang lebih luas di masyarakat. Pada saat akan memasuki tahun Pemilu 1971 itu pula Golkar berhasil mengajak sejumlah kalangan generasi muda pergerakan tahun 1966 dan kelompok-kelompok cendekiawan independen untuk memperkuat Golkar secara kualitatif. Ketertarikan generasi muda dan kalangan cendekiawan itu, terutama karena pada pasca Soekarno itu Golkar lah satu-satunya alternatif kekuatan politik yang tidak ideologistis dan hanya bersandar pada ideologi Pancasila di antara kerumunan partai ideologis lama. Dan yang paling penting, Golkar mampu menyodorkan konsep yang menjanjikan pembaharuan sosial dan pembaharuan kehidupan politik. Bahwa di kemudian hari sebagian besar janji pembaharuan tak terwujud, itu suatu persoalan yang pada waktunya perlu dikupas tersendiri.

Tiga dimensi dan pergaulan politik klik. TIGABELAS tahun setelah 1971, saat Golkar berusia 20 tahun, ahli politik terkemuka Dr Alfian memberi penilaian bahwa hingga per waktu itu Golkar masih terpaku pada penekanan dimensi preventif dalam kehidupan perpolitikan. Trauma politik di masa lampau membuat langkah-langkah preventif seolah menjadi obsesi Golkar. Tragedi politik pra Orde Baru, menyebabkan Golkar khawatir terhadap segala bentuk ancaman. Golkar cemas kalau-kalau muncul ideologi baru di luar Pancasila. Padahal, selain dimensi preventif, ada dua dimensi lain yang harus juga diberlakukan bersamaan secara proporsional, yaitu dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan dan pengembangan. Jangan ada satu dari ketiga dimensi ini yang mendapat penekanan berlebihan (Media Karya, edisi 20 Tahun Golkar, Oktober 1984).

Tetapi sejarah menunjukkan, sengaja atau tidak, sepanjang masa kekuasaan Soeharto yang adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dimensi preventif selalu menjadi warna utama politik Golkar dan Soeharto sendiri. Dalam periode Ketua Umum Sudharmono SH dan Sekjen Sarwono Kusumaatmadja, cukup terlihat ada upaya untuk juga memperhatikan dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan tersebut di tubuh Golkar. Antara lain dengan gerak kaderisasi besar-besaran serta penerapan stelsel keanggotaan aktif –dimulai dengan pemberian KAG (Kartu Anggota Golkar) dan NPAG (Nomor Pokok Anggota Golkar). Terhadap kader diberlakukan saringan kualitatif melalui kriteria PDLT –prestasi, dedikasi, loyalitas, tidak tercela– dalam penempatan atau penugasan, misalnya saat akan mengisi posisi anggota legislatif atau posisi fungsionaris partai. Namun fakta empiris memperlihatkan, betapa perhatian terhadap dimensi pemeliharaan dan dimensi pembaharuan tak cukup berlanjut di masa-masa berikut, terutama di masa Harmoko memimpin partai. Harmoko lebih mengejar aspek kuantitatif berupa pencapaian prosentase tinggi kemenangan Golkar dalam pemilu.

Penerapan PDLT, terutama menjelang Pemilu 1987, sering harus berhadapan dengan perilaku nepotisme yang terjadi di tiga jalur Golkar –ABG yang terdiri dari jalur A (Abri), jalur B (Birokrasi) dan jalur G (Golkar) sendiri. ‘Pertarungan’ sengit terjadi dalam tiga tahap penyusunan daftar calon tetap untuk pengisian posisi legislatif, khususnya di tahap akhir. Hingga sejauh yang bisa terlihat saat itu, kriteria PDLT cukup bisa membatasi keberhasilan nepotisme kendati di sana-sini tetap juga terjadi sejumlah kompromi. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, terutama menjelang Pemilu 1997, warna nepotisme menjadi corak yang menonjol. Lahir misalnya plesetan AMPI menjadi Anak-Mantu-Ponakan-Isteri atau yang semacamnya, yang pada intinya menyindir penempatan-penempatan berdasarkan hubungan kekerabatan dan atau klik. Kasat mata, satu keluarga bisa berkumpul di lembaga legislatif. Tetapi soal klik, lebih sulit diukur, walau sangat terasa. Ini menular hingga ke masa-masa berikutnya, bahkan hingga di masa reformasi dan sesudahnya. Maka Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung dan Golkar berikutnya di bawah Muhammad Jusuf Kalla maupun Aburizal Bakrie, suka atau tidak, dengan sendirinya ‘harus’ terbiasa dengan ‘pergaulan politik klik-klikan’.

Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara. Di sini, partai hanyalah ibarat sebuah kendaraan tumpangan yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan bila menemukan kendaraan lain yang lebih sesuai dan nyaman untuk kebutuhan per suatu saat. Dan atau sebaliknya.

Akal sehat dan ‘Golkar Putih’. Dalam konteks pertengkaran internal –dengan jalinan faktor eksternal– yang melanda Partai Golkar saat ini di dua kubu, harus diakui terdapat peran politisi akrobatis dan oportunis. Peran mereka ternyata tidak kecil. Satu dan lain hal, inilah yang membuat situasinya berbau sangat tidak sedap. Politisi akrobatis dan oportunis ini di satu sisi bisa menjadi sumber keruntuhan partai, namun di sisi lain harus diakui bahwa pada saat yang sama mereka juga mempunyai kemampuan luar biasa dalam berkompromi. Maka, harus menanti sisi mana yang akan bekerja. Kelompok akal sehat yang dulu sering disebut sebagai ‘Golkar Putih’, mungkin lebih pantas diharapkan kehadirannya kembali untuk berperan. Tetapi kalaupun pada akhirnya kompromi tercapai, atau penyelesaian hukum yang baik dan benar tercapai, masa depan Golkar tetap terselaput tanda tanya selama Golkar tak berhasil mengatasi kehadiran dan peran para politisi akrobatis dan oportunis di tubuhnya. (socio-politica.com)

Di Balik Retorika Demokrasi Ada Oligarki

SEBUAH metafora lama yang termasuk paling banyak digunakan dalam pergaulan sosial manusia Indonesia, adalah “ada udang di balik batu.” Bahwa di balik suatu kata bujukan atau perbuatan ada maksud terselubung. Sebuah ungkapan yang besar atau kecil mengandung sikap waspada menghadapi suatu ‘keadaan’ yang terasa terlalu baik (dan muluk) untuk bisa menjadi kenyataan. Maka, ada ungkapan lain bertujuan mengingatkan “yang manis jangan cepat ditelan, yang pahit jangan cepat dimuntahkan.”

Di saat kehidupan politik –dan kekuasaan– Indonesia mengalami rangkaian cuaca buruk yang berlangsung nyaris terus menerus belakangan ini, makna dua metafora itu pasti juga pas untuk masuk dalam konteks. Dalam kaitan kehidupan kepartaian, ada dua peristiwa aktual menyangkut Partai Persatuan Pembangunan (PPP), disusul Partai Golongan Karya (Golkar). Terjadi pergolakan internal menyangkut hegemoni ‘kekuasaan’ di tubuh kedua partai ‘tua’ tersebut. Pergolakan tersebut pada hakekatnya adalah pertengkaran –yang selalu diperhalus dengan terminologi ‘dinamika demokrasi’ dalam partai– yang nyata-nyata semata untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan internal partai yang ada hubungannya dengan situasi kepentingan politik eksternal.

ABURIZAL BAKRIE DI 'MEDIA KARYA' GOLKAR 1985, PERSENTUHAN AWAL. "Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. .... Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai. "
ABURIZAL BAKRIE DI ‘MEDIA KARYA’ GOLKAR 1985, PERSENTUHAN AWAL. “Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. …. Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai. “

            Pertengkaran internal itu terjadi di antara kelompok-kelompok elite partai saja sebenarnya, yang sama-sama berkecenderungan menegakkan oligarki dalam partainya masing-masing. Bisa dikatakan ini masih mengikuti hukum besi oligarki yang ‘diperkenalkan’ 1911 oleh sosiolog muda Jerman Robert Michels, dalam bukunya ‘Political Parties’. Pengamatan empiris masa itu menunjukkan organisasi selalu melahirkan dominasi sang pemimpin terpilih atas pemilihnya, dominasi sang mandataris atas pemberi mandat, dan dari sang penerima kekuasaan atas para pemberi kekuasaan. Massa pendukung hanya dibutuhkan dalam konteks mengimbangi kekuatan lawan tapi tidak lagi diperlukan suaranya dalam pengambilan keputusan. Itulah oligarki. Seabad lebih telah berlalu, tetapi hukum besi oligarki tersebut ternyata tetap berlaku dalam organisasi-organisasi pada umumnya –termasuk dalam partai-partai politik modern masa kini, kendati mereka selalu menggunakan retorika demokrasi. Di sana-sini mungkin ada pengecualian, tetapi terbatas di negara-negara yang demokrasinya lebih mapan –dan itu pun tak terjamin sepenuhnya bersih dari aroma oligarki dan berbagai derivatnya. Dan, partai-partai politik Indonesia, tidak termasuk dalam deretan pengecualian itu.

            Dengan demikian, sebenarnya tak salah kalau kita meminjam metafora ada udang di balik batu, menjadi semacam kesimpulan bahwa di balik retorika demokrasi ada fakta oligarki di tubuh partai-partai politik Indonesia. Bahwa semua partai-partai politik Indonesia lahir dengan menunjukkan niat baik sebagai alat demokrasi, itu benar. Namun fakta menunjukkan, pengelolaan organisasi lebih lanjut pada akhirnya dilakukan di bawah model kepemimpinan oligarki. Lebih dari itu, nyaris seluruh partai berkecenderungan kuat bergantung kepada ketokohan dan pengaruh pemimpinnya daripada betul-betul bersandar pada konstitusi partai.

            Bilamana para pemimpin terancam dari arah internal partai –biasanya dari sesama kelompok elite partai– sang pemimpin dan elite pendukungnya tak akan segan-segan menabrak norma demokrasi dengan ‘otoritas’ pribadi dan senjata ‘prosedural’ untuk mematahkan lawan. Kenapa seorang pemimpin selalu bersikeras? Kehilangan kekuasaan memerintah partai bagi sang pemimpin sama artinya dengan kehilangan segala sesuatu yang telah membuatnya menjadi manusia penting. Maka kedudukan harus dipertahankan habis-habisan dan jika perlu dengan menggunakan ‘metode’ penindasan.

            Tangan besi berbalut beludru dan pengkhianatan. PEMIMPIN Partai Golkar Aburizal Bakrie kemarin ini banyak dikritik telah bersikap otoriter, tidak demokratis, menggunakan politik uang, menindas dan sebagainya demi melanjutkan hegemoninya di tubuh partai. Tapi toh sejauh ini ia berhasil memecahkan tradisi tak pernah ada Ketua Umum yang terpilih untuk kedua kali. Dulu, memang Amir Murtono pernah seakan menjadi Ketua Umum untuk ke dua kali, tetapi sebenarnya periode pertamanya hanyalah meneruskan jabatan Ketua Umum Sokowati yang meninggal dunia dalam masa kerjanya.

            Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. Tak selalu sang pemimpin menghendaki demikian, namun situasi dan peluang selalu terlanjur tersedia dari waktu ke waktu. Pun, tak perlu terlalu marah kepada Aburizal saja seorang. Karena, tidak boleh dilupakan, bahwa sebagian dari kelompok-kelompok elite lainnya di tubuh Golkar yang ingin menjatuhkannya pun tidak lebih baik. Sebagian terbesar tak lebih dari sekedar ingin mengambil posisi kepemimpinan karena pragmatisme berlatar belakang hasrat kekuasaan belaka. Bukan karena suatu idealisme demi demokrasi dan demi kepentingan akar rumput Golkar, apapula konon kepentingan rakyat secara keseluruhan. Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai.

            Jika masih mampu menggunakan akal sehat, dan memiliki niat yang betul-betul ingin memperbaiki Golkar dari dalam, tentu tak perlu memelihara sikap bersikeras dengan menyerang terus dari luar, termasuk melontarkan gagasan menyelenggarakan Munas tandingan. Dan tentu tak perlu menggunakan massa untuk melakukan serangan dan kekerasan di markas partai. Kendati Aburizal dan kawan-kawan memang juga pantas dikecam. Dalam konteks akal sehat, sikap salah satu tokoh yang tadinya juga disebut sebagai kandidat Ketua Umum, MS Hidayat, yang memilih tetap memperbaiki dari dalam, mungkin lebih tepat.

Tapi akal sehat pasti sulit ditemukan dalam suasana tumbuhnya klik-klik di tubuh partai. Klik-klik kepentingan berkadar tinggi di tubuh partai, adalah dataran subur bagi pertikaian internal. Padahal, setiap sikap saling menentang hanyalah menguntungkan pesaing dari eksternal atau lawan politik. Dalam model oligarki, setiap serangan terhadap pemimpin akan dibahasakan sebagai pengkhianatan terhadap partai. Dan begitulah hukum besi oligarki.

Keberadaan ‘Ketua Presidium Tim Penyelamat Golkar’, Agung Laksono, yang berkali-kali menyatakan sikap akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK, menjadi indikasi terdapatnya juga kepentingan eksternal terhadap hegemoni dalam Golkar. Bukan rahasia bagi khalayak politik Indonesia, bahwa mantan Ketua Umum Golkar, Muhammad Jusuf Kalla, sangat berkepentingan untuk menempatkan orang-orangnya dalam kepemimpinan baru Golkar 2014-2019. Kalau tidak, ia takkan punya ‘kartu politik’ yang kuat untuk ikut berperan dalam pengendalian kekuasaan dan pemerintahan di samping Joko Widodo. Surya Paloh akan lebih punya harga politik. Apalagi, Megawati Soekarnoputeri, pemegang seluruh kartu As.

Dulu, saat berhasil menjadi Wakil Presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono untuk periode 2004-2009, Jusuf Kalla mampu mengambilalih kepemimpinan Golkar melalui Munas Golkar 2004 –yang juga berlangsung di Nusa Dua Bali– dari ‘tangan’ Akbar Tandjung. Waktu itu, di tengah kecamuk isu politik uang, perjuangan Jusuf Kalla secara kuat disokong oleh Aburizal Bakrie. Kemenangan Jusuf Kalla kala itu terbantu oleh suasana psikologis masih gamangnya para elite Golkar di pusat maupun di daerah untuk menempuh hidup baru sebagai pelaku politik di luar lingkup kekuasaan (pemerintahan) negara.

Antara sandaran institusional dan sandaran ketokohan. POLA perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan, tak berbeda dengan yang kemudian terjadi di Golkar, juga ikut dipicu oleh kepentingan politik dalam kaitan eksternal. Suryadharma Ali diguncang oleh kelompok elite lainnya di internal partai karena dianggap mengambil keputusan-keputusan sepihak yang tidak demokratis dalam perpihakan politik semasa pemilihan calon presiden dan wakil presiden yang baru lalu. Ketika tokoh pilihan Suryadharma ternyata tidak berhasil memenangkan pilpres, sejumlah elite penentang melakukan coup dengan membentuk dewan pimpinan partai yang baru, yang kini sedang rebut-rebutan pengakuan dan kantor. Terlihat ada tali temali kepentingan politik yang kuat, ketika Menteri Hukum dan HAM dalam kabinet Jokowi tergopoh-gopoh melakukan pembenaran formal terhadap kubu Romahurmuziy dan Pangkapi. Tidak bisa ditutupi bahwa ‘Koalisi Indonesia Hebat’ yang mendukung Jokowi secara pragmatis memang membutuhkan PPP untuk menambal ‘kekurangan’ dalam membentuk mayoritas kerja di DPR sebagai benteng pemerintahan Jokowi-JK di kancah legislatif.

PPP sejauh ini secara formal menjadi partai ‘tertua’ di Indonesia. Hasil fusi partai-partai ‘ideologi’ Islam setelah Pemilihan Umum 1971, sebagaimana Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi partai-partai berideologi nasional dan ber’ideologi’ agama non Islam. Golkar ditempatkan sebagai kekuatan politik lainnya namun tanpa label partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah sempalan yang terbentuk akibat perpecahan di PDI pada tahun-tahun terakhir masa Soeharto. Sementara itu, Golkar berubah menjadi Partai Golongan Karya tahun 1998 di bawah Akbar Tandjung pada masa reformasi pasca Soeharto. Tapi bagaimana pun ketiganya memang tergolong partai ‘tua’.

Di antara partai politik yang ada, bisa dikatakan Partai Golkar lah yang memiliki tradisi institusional dan kolektivitas kepemimpinan yang kuat sehingga tidak seharusnya lebih mengandalkan ketokohan satu atau dua orang saja untuk mempertahankan eksistensinya. Tetapi dalam perjalanan waktu, hasrat akan sistem oligarki dalam kepemimpinan partai berangsur-angsur menguat. Sehingga nyaris tak terlalu berbeda lagi dengan partai-partai politik lainnya yang jelas oligarkis dan mengandalkan ketokohan –seringkali sudah menyerupai mitos– untuk eksistensi partai. PPP pernah sangat mengandalkan ketokohan Hamzah Haz yang sempat menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputeri. PDIP dalam pada itu betul-betul mengandalkan ketokohan Megawati Soekarnoputeri –dan secara tidak langsung bersandar pada ‘mitos’ Soekarno. Maka, sulit terbayangkan bagaimana PDIP kelak tanpa Megawati. Ketiadaan Hamzah Haz, boleh jadi merupakan salah satu sebab rapuhnya kepemimpinan di tubuh PPP pada tahun-tahun belakangan ini.

Partai-partai baru yang ada juga pada dasarnya masih menyandarkan eksistensinya pada ketokohan daripada kepada kekokohan institusi. Terlebih-lebih bila sang tokoh adalah pendiri partai dan kemudian dikonotasikan sebagai pemilik. Bagaimana misalnya nanti PAN tanpa Amien Rais (Hatta Rajasa)? PKB dengan Abdurrahman Wahid yang tidak lagi menjadi presiden sempat berantakan, tapi kini untuk sementara dalam batas tertentu masih bertahan dengan Muhaimin Iskandar. Tapi apa yang akan terjadi selanjutnya, masih merupakan tanda tanya, saat Muhaimin kini tidak lagi punya posisi menteri. Bagaimana nasib Partai Demokrat seterusnya setelah SBY terlepas dari posisi Presiden Indonesia? Bagaimana nanti Gerindra tanpa Prabowo Subianto dan bagaimana pula Partai Hanura sepeninggal Wiranto kelak? Terakhir dan tak kalah pentingnya, bagaimana nasib Partai Nasdem bila nanti ditinggalkan Surya Paloh?

Jawabannya normatifnya tentu: kaderisasi kepemimpinan baru dengan penekanan kepada kekokohan institusional. Tapi apakah itu mungkin bilamana di balik retorika demokrasi di tubuh partai ada fakta oligarki yang selalu berpintu tertutup, dengan pengambilan keputusan tunggal, maksimal seperempat kamar? (socio-politica.com)

Pemilihan Kepala Daerah, Soal Buah Malakama dan Sarang Setan

SAAT suasana pembelahan terkait pemilihan presiden yang baru lalu belum lagi sempat pulih, masyarakat seakan kembali terbelah dua dengan sikap pro-kontra soal pemilihan umum kepala daerah. Perbedaan keinginan yang terjadi menyangkut apakah pilkada dilakukan langsung oleh rakyat seperti yang dipraktekkan setidaknya satu dekade terakhir ini, ataukah dikembalikan menjadi pemilihan oleh anggota DPRD. Perang pernyataan mengenai pilihan mekanisme pilkada itu –dalam suatu situasi semua pihak menganggap diri paling benar seraya mengatasnamakan rakyat– sekaligus menggambarkan dengan baik bagaimana perilaku politik mutakhir di Indonesia yang menciptakan situasi serba tidak produktif.

Kamis 25 September 2014, klimaks sekaligus antiklimaks perilaku politik itu pentas di gedung DPR-RI, melalui sidang paripurna untuk menentukan mekanisme pemilihan kepala daerah tersebut. Semula, pada hari-hari terakhir menjelang paripurna, terkesan bahwa opsi yang akan menjadi pilihan mayoritas adalah pilkada langsung. Hal itu terutama setelah Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat menyatakan mendukung mekanisme langsung tersebut.

POSTER JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA. "Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke depan akan memerintah di tengah ‘lautan’ gubernur, bupati dan walikota pilihan Koalisi Merah Putih. Dan itu tampaknya akan terjadi setelah disahkannya undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD, kecuali manuver untuk memecah Koalisi Merah Putih berhasil dijalankan oleh Jokowi dan Jusuf Kalla beserta partai-partai pendukungnya."
POSTER JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA. “Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke depan akan memerintah di tengah ‘lautan’ gubernur, bupati dan walikota pilihan Koalisi Merah Putih. Dan itu tampaknya akan terjadi setelah disahkannya undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD, kecuali manuver untuk memecah Koalisi Merah Putih berhasil dijalankan oleh Jokowi dan Jusuf Kalla beserta partai-partai pendukungnya.”

Namun, saat berlangsungnya sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada menjadi UU, Kamis 25 September 2014, situasi anti klimaks mulai membayang. Dukungan Partai Demokrat, seperti diketahui, disertai syarat 10 perbaikan pelaksanaan pilkada langsung tersebut. Dan, partai-partai pendukung pilkada langsung –PDIP, PKB dan Partai Hanura–  di atas permukaan terlihat menyambut baik sikap ‘baru’ Partai Demokrat. Tetapi partai SBY ini kemudian menganggap bahwa itu hanya lips service karena opsi ketiga yang diajukannya di paripurna DPR yaitu pilkada langsung dengan syarat 10 perbaikan, pada dasarnya ditolak. Maka, Fraksi Partai Demokrat melakukan walkout, dan dengan demikian langsung atau tidak, memberi andil bagi dimenangkannya opsi pilkada melalui DPRD pada dinihari Jumat 26 September. Lalu, beberapa jam kemudian dari Washington, Susilo Bambang Yudhoyono memberikan tanggapan politik yang terkesan akrobatik. Mungkin, terutama untuk menangkis kecaman yang mendadak menggelombang. Ia menyatakan kecewa terhadap proses pengesahan RUU Pilkada itu dengan opsi Pilkada melalui DPRD dan menyatakan sedang berpikir-pikir akan melakukan tuntutan hukum –yang belum ditetapkan apakah melalui Mahkamah Konstitusi ataukah Mahkamah Agung.

Politisi dan Partai Kutu Loncat. SEBUAH adagium lama, dalam politik tak ada kawan maupun lawan permanen, karena yang ada hanya kepentingan tetap, sepertinya mendapat bukti ‘kebenaran’ dan keberadaannya dalam praktek politik di Indonesia. Dalam konteks tersebut, baik berdasar pengalaman lampau maupun pengalaman masa kini, sebagai derivat dari adagium tersebut, berkembang sejumlah sikap yang hanya memperkuat anggapan bahwa politik itu sesungguhnya tidak mulia dan buruk. Para politisi Indonesia lebih memilih prinsip untuk tidak berprinsip. Memilih sikap sangat akomodatif dan amat kompromistis agar setiap saat bisa berubah-ubah pikiran dan pendirian sesuai kepentingan per saat itu. Dalam kehidupan kepartaian tumbuh pendirian baru yang sangat pragmatis: Kesetiaan kepada negara tidak lebih penting daripada kesetiaan kepada partai. Sementara kesetiaan kepada partai itu sendiri bisa berakhir setiap saat bila ada peluang baru dan benefit lebih baik di partai lain dalam kaitan kekuasaan. Terlihat pula, betapa dari hari ke hari gejala tersebut makin menjadi-jadi.

            Dan, bukan hanya perorangan yang bisa berperilaku seperti itu, melainkan juga kelompok-kelompok dan bahkan partai itu sendiri secara keseluruhan. Maka kini, selain politisi kutu loncat, juga sekalian ada partai kutu loncat. Sulit membedakan mana yang berubah sikap karena idealisme politik, dan mana yang berubah karena pragmatisme politik semata. Para kutu loncat selalu mengidealisir perubahan sikap politiknya –dengan retorika kepentingan rakyat, misalnya– kendati nyata-nyata tindakan yang dilakukan itu sebenarnya adalah oportunisme tulen atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok. Retorika mempertahankan kedaulatan rakyat menjadi omong kosong, karena sebenarnya yang mereka pertahankan adalah kedaulatan politik kepentingan mereka sendiri.

            PILIHAN untuk menyelenggarakan suatu Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) langsung, adalah sebuah loncatan dalam praktek demokrasi di Indonesia pasca Soeharto, walau cara pemilihan langsung oleh rakyat bukan hal baru, karena telah puluhan tahun dipraktekkan dalam pemilihan kepala desa (Pilkades). Bahkan sudah menjadi tradisi sejak dulu, sebagai kebijaksanaan akar rumput di Nusantara saat memilih pemimpin lokal maupun dalam pengambilan keputusan menyangkut kepentingan bersama (voting). Tetapi bersamaan dengan itu, berkembang nalar tentang cara yang lebih sederhana, lebih mudah dan mampu dilaksanakan namun rapih (efisien). Maka untuk skala yang lebih luas digunakan cara-cara perwakilan baik dalam penentuan pemimpin maupun pengambilan keputusan. Untuk kepentingan keselarasan dalam masyarakat, dikenal cara pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat.

SI KUTU LONCAT  DALAM PENGGAMBARAN KARIKATURAL DI SOCIAL MEDIA. "Maka kini, selain politisi kutu loncat, juga sekalian ada partai kutu loncat. Sulit membedakan mana yang berubah sikap karena idealisme politik, dan mana yang berubah karena pragmatisme politik semata. Para kutu loncat selalu mengidealisir perubahan sikap politiknya –dengan retorika kepentingan rakyat, misalnya– kendati nyata-nyata tindakan yang dilakukan itu sebenarnya adalah oportunisme tulen atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok." (download)
SI KUTU LONCAT DALAM PENGGAMBARAN KARIKATURAL DI SOCIAL MEDIA. “Maka kini, selain politisi kutu loncat, juga sekalian ada partai kutu loncat. Sulit membedakan mana yang berubah sikap karena idealisme politik, dan mana yang berubah karena pragmatisme politik semata. Para kutu loncat selalu mengidealisir perubahan sikap politiknya –dengan retorika kepentingan rakyat, misalnya– kendati nyata-nyata tindakan yang dilakukan itu sebenarnya adalah oportunisme tulen atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok.” (download)

            Saat mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di bulan-bulan menjelang Agustus tahun 1945, para pendiri bangsa yang umumnya adalah manusia-manusia ‘baru’ Indonesia dengan latar belakang pendidikan barat, justru lebih memilih cara yang lebih Indonesia dalam mekanisme pengambilan keputusan. Mereka lebih mendahulukan cara musyawarah untuk mendapat mufakat daripada cara mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak. Penentuan berdasarkan suara terbanyak adalah pilihan terakhir. Namun tanpa konotasi mempertentangkan dua pilihan cara tersebut. Dan dalam kehidupan politik mereka memilih “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, sementara dalam kehidupan masyarakat ditetapkan tujuan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Mekanisme pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat digunakan di masa Soekarno pasca Dekrit 5 Juli 1959 sampai 1965, dan dilanjutkan dengan intensif di masa Soeharto sampai tahun 1998. Tetapi dalam sejarah politik Indonesia tercatat bahwa mekanisme itu dengan cerdik lebih banyak dimanfaatkan untuk ‘memaksakan’ segala keinginan penguasa.

            Para ‘pemimpin’ dan sebagian terbesar elite (politik dan sosial) baru Indonesia pasca Soeharto, memilih sikap yang seolah-olah lebih zakelijk namun sekaligus tergesa-gesa dan penuh kecerobohan. Ketergesa-gesaan, mungkin bisa dipahami dalam konteks ‘penderitaan’ traumatis dalam pelaksanaan demokrasi di masa kekuasaan sebelumnya. Semua cara dan ‘sistem nilai’ lantas dibalik. Namun harus dianggap tergesa-gesa dan ceroboh karena tidak cukup memperhitungkan semacam adagium yang sering dilontarkan para akademisi ahli masalah demokrasi, bahwa sistem demokrasi hanya akan berjalan baik bila tingkat pendidikan rata-rata rakyat cukup baik dan tingkat ekonomi rata-rata memadai. Adalah membohongi diri sendiri, bila menggunakan retorika bahwa rakyat kita sudah makin cerdas dan tingkat kesejahteraan ekonominya makin membaik. Bagaimana bisa cerdas bila para elite penguasa maupun elite kepentingan lainnya tak henti-hentinya membodohi rakyat? Dan bagaimana rakyat bisa makin sejahtera, jika ketidakadilan sosial-ekonomi terus berlangsung dan korupsi elite politik kian merajalela?

Busung Lapar Demokrasi dan Kembung Demokrasi. Sesuai sejumlah kriteria bernegara yang berubah sebagai hasil sejumlah amandemen terhadap UUD 1945, dilakukan proses pemilihan pemimpin negara –presiden, gubernur hingga bupati dan walikota– secara langsung sebagai antitesa terhadap cara tidak langsung sebelumnya yang dianggap penuh ekses kekuasaan monolitik. Rezim lama di bawah Soeharto, dipersepsi secara kuat sebagai penuh kolusi, melakukan korupsi terencana untuk kelanggengan rezim dan  bergelimang nepotisme dalam penentuan jabatan dan pembagian rezeki untuk pribadi-pribadi dalam kekuasaan.

Meski penuh niat koreksi, tetapi perubahan pasca Soeharto itu sendiri tidak dilakukan dengan cara lebih cermat dalam tahapan proses yang lebih berurutan. Dilakukan instan dan serentak dalam ayunan satu langkah. Ada situasi ketergesa-gesaan –karena tekanan traumatik– dalam melakukan perubahan terhadap apa yang dianggap tidak baik dalam masa kekuasaan rezim terdahulu, namun perubahan yang dilakukan sebenarnya tak lebih dari sekedar pembalikan hitam-putih tanpa kejelasan mana yang sebenarnya putih dan mana yang hitam. Dan pembalikan itu –khususnya menyangkut pola perilaku sosial, ekonomi dan politik– pada hakekatnya lebih menyerupai sekedar membalik kertas pembungkus, sedang isi dalam bungkusan tetap sama. Bahkan dari hari ke hari isi bungkusan itu makin membusuk, karena tak ada lagi kekuatan kekuasaan yang mampu menjaga ‘stabilitas’ perilaku.

Terkait dengan software bernegara, yakni penanganan sistem demokrasi, bisa disampaikan sebuah metafora. Bila dalam masa kekuasaan Soeharto –maupun Soekarno– katakanlah terjadi situasi ‘busung lapar demokrasi’ maka dalam ‘masa reformasi’ terjadi ‘kembung demokrasi’. Analoginya, jika orang yang menderita busung lapar, mendadak diberi makan sekenyang-kenyangnya dengan cepat, perutnya akan kembung, bahkan mengalami kerusakan alat cerna dan mungkin saja menyebabkan kematian.

            SEJAK masa-masa awal pelaksanaan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai pembalikan dari sistem pemilihan oleh DPRD, hingga beberapa bulan menjelang pemilihan presiden Juli 2014, cukup banyak kritik dan pernyataan kecemasan tentang praktek demokrasi kebablasan, tumbuhnya oligarki baru, biaya tinggi serta ekses politik uang dalam pelaksanaan pilkada. Tak ketinggalan, terpicunya konflik horizontal yang makin meluas. Pilkada langsung dituding hanya menghasilkan kepala-kepala daerah yang korup. Faktanya memang sekitar tiga perlima bupati maupun walikota dan juga sejumlah gubernur tersangkut perkara korupsi. Selain itu, juga menyuburkan persekongkolan dan permainan uang untuk menciptakan dinasti-dinasti kekuasaan lokal.

            Semua tuduhan terkait pemilihan umum kepala daerah secara langsung itu praktis terbukti dengan berbagai fakta yang tersaji selama satu dekade ini. Sama terbuktinya dengan tuduhan serupa bahwa di masa lampau pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga diatur berdasarkan skenario kekuasaan. Bahwa kehendak penguasa yang menentukan siapa kepala daerah, tidak bisa tidak memang harus terjadi demikian. Karena, di masa lampau mayoritas di lembaga-lembaga perwakilan rakyat memang ada di tangan Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI, sementara Fraksi PDI dan Fraksi PPP ada di pinggiran panggung.

            Susunan lembaga-lembaga perwakilan rakyat saat ini, khususnya setelah pemilihan umum legislatif 2014, jelas berbeda. Akan ada multi fraksi, yang meskipun ada di antaranya memiliki suara signifikan, tetapi tidak mampu menjadi mayoritas kerja tanpa ‘berkoalisi’. Dan dalam konteks ini, yang berhasil bertindak lebih cepat adalah partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Di atas kertas, praktis mereka akan menjadi mayoritas di DPR-RI maupun di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada umumnya. Akan tetapi perubahan-perubahan sikap Partai Demokrat dalam soal Pilkada langsung oleh rakyat misalnya, dan kemungkinan goyahnya beberapa partai lainnya di koalisi itu oleh iming-iming kekuasaan dari kelompok politik Jokowi-JK, berpotensi merubah peta kekuatan di lembaga-lembaga legislatif.

            Terlepas dari kemungkinan berubahnya peta kekuatan di lembaga-lembaga legislatif, bisa ditebak kenapa PDIP dan kawan-kawan gigih mempertahankan mekanisme pemilihan umum kepala daerah secara langsung oleh rakyat pemilih. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke depan akan memerintah di tengah ‘lautan’ gubernur, bupati dan walikota pilihan Koalisi Merah Putih. Dan itu tampaknya akan terjadi setelah disahkannya undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD, kecuali manuver untuk memecah Koalisi Merah Putih berhasil dijalankan oleh Jokowi dan Jusuf Kalla beserta partai-partai pendukungnya. Misalnya, dengan iming-iming kursi kabinet atau posisi-posisi di BUMN pada Oktober mendatang ini.

            Buah Malakama dan Setan. BAGAIMANAPUN, ke depan pemilihan kepala daerah melalui DPRD secara formal telah siap dijalankan berdasarkan undang-undang. Tak perlu mempertentangkan dua cara pemilihan, sebagai pilihan pada si buah malakama.

Dari sudut pandang tertentu, memang sebenarnya patut disayangkan bahwa peluang rakyat di masing-masing daerah untuk turut serta menentukan secara langsung siapa pemimpinnya, secara kuantitatif kembali berkurang. Seolah-olah rakyat harus menjalani hukuman karena secara bersama-sama tidak ‘berhasil’ menjalani pemilihan kepala daerah langsung yang berkualitas selama satu dekade ini. Tapi tak perlu terlalu emosional menyebut perubahan kembali kepada pemilihan kepala daerah melalui DPRD itu sebagai kemunduran demokrasi. Dengan menghitung dan melihat fakta betapa pilkada langsung sejauh ini memang penuh ekses, maka perubahan kembali itu hendaknya diterima sebagai mundur selangkah untuk pada waktunya kembali maju menuju perbaikan di masa depan dengan cara yang lebih baik. Termasuk meningkatkan aspek kualitatif masyarakat sebagai pemegang kedaulatan rakyat. 

            Untuk sementara, blessing indisguise, pemilihan kepala daerah melalui DPRD, akan membantu penghematan triliunan dana negara dan dana masyarakat yang selama ini terhambur melalui pilkada yang penuh ekses. Kebetulan kemampuan keuangan negara selalu dikeluhkan. Tinggal meningkatkan kiat untuk mengawasi bagaimana DPRD menjalankan kekuasaan dalam menentukan pemimpin pemerintahan dengan baik dan benar. Hendaknya jangan sampai terjadi, meninggalkan sarang setan yang satu untuk masuk ke sarang setan lainnya.

Namun apa pun dan bagaimana pun juga, tetap harus dicatat, sejalan dengan makin berhasilnya upaya pencerdasan rakyat, pada waktunya nanti rakyat harus tetap diberi peluang lebih banyak untuk ikut serta menentukan jalannya negara. Khususnya, dalam ikut menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin pemerintahan di berbagai tingkat. Barangkali pula dalam konteks kedaulatan rakyat, diperlukan cara tambahan lainnya sebagai pelengkap. Misalnya, melalui mekanisme referendum dengan memanfaatkan teknologi e-voting yang efisien. Beberapa hal penting, bila diperlukan, bisa ditanyakan kepada rakyat melalui mekanisme tersebut, apakah setuju atau tidak, sehingga kehidupan bernegara tidak diatur dengan cara-cara yang terlalu elitis. Dengan mekanisme referendum, terhindar terjadinya terlalu banyak penipuan politik yang mengatasnamakan kehendak rakyat. (socio-politica.com)

Kecurangan, Virus Laten Dalam Demokrasi Indonesia (1)

PEMILIHAN Presiden 2014 kini memasuki fase hukum “perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden” di Mahkamah Konstitusi yang terjadwal 6-21 Agustus 2014. Gugatan ini akan menunda langkah Jokowi ke Istana. Bila kubu Prabowo-Hatta memang memiliki data dan bukti kuat tentang kecurangan dalam Pemilihan Presiden, perjalanan Jokowi –yang ditampilkan bergaya tokoh komik Tintin dalam sampul  tabloid terbitan Jokomania untuk menangkal ‘kampanye hitam’ Obor Rakyat– di atas kertas malah berkemungkinan terhenti. Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam.

Kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan tentang adanya kecurangan terstruktur, sistimatis dan massive dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2014 tersebut. Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu yang lalu telah mengumumkan dan mengesahkan ‘real count’ versi KPU yang menempatkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang dengan keunggulan sekitar 8 juta suara. Tetapi sebaliknya, berdasarkan hasil perhitungannya sendiri, kubu Prabowo-Hatta menyampaikan angka keunggulan 67.139.153 suara mengatasi angka Jokowi-JK yang sebesar 66.643.124 suara. Terlepas dari kontroversi angka yang terjadi, baik kemenangan Jokowi-JK versi KPU maupun kemenangan Prabowo-Hatta versi hitungan sendiri, terlihat bahwa tingkat ‘kemenangan’ itu pada dasarnya tipis saja.

JOKOWI DALAM PENGGAMBARAN ALA TINTIN. "Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam." (repro tabloid Jokowimania)
JOKOWI DALAM PENGGAMBARAN ALA TINTIN. “Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam.” (repro tabloid Jokowimania)

Hal ‘berbeda’, terjadi di tahun 2009. Dalam Pemilihan Presiden Indonesia tahun itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, ‘menang besar’ dalam satu putaran. Perolehan suaranya mencapai 60,80 persen, sehingga membuat pasangan-pasangan lain seperti misalnya Megawati Soekarnoputeri-Prabowo Subianto atau Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto, langsung jatuh terduduk. Sebelumnya, dalam Pemilihan Umum legislatif, partai pendukung utama SBY, Partai Demokrat, secara ‘menakjubkan’ meraih 20,80 persen suara yang hampir tiga kali lipat dari perolehan dalam Pemilihan Umum 2004.

Terhadap rangkaian kemenangan yang terasa cukup fantastis tersebut, kala itu sempat terjadi kesangsian yang dinyatakan terbuka bahwa di balik kemenangan terjadi kecurangan-kecurangan, khususnya dalam pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden 9 Juli 2009. Dua pasangan lain, Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, mengajukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi, terkait dugaan adanya manipulasi massive menyangkut puluhan juta suara melalui suatu cara yang dilakukan secara terstruktur dan sistimatis. Baik melalui manipulasi DPT, pengalihan dan penghilangan puluhan ribu TPS maupun sosialisasi pencontrengan oleh KPU yang mengarah pada keuntungan pasangan SBY-Budiono. (Baca: https://socio-politica.com/2009/08/19/the-invisible-hand-terstruktur-sistimatis-dan-massive-1).

MK dalam keputusannya 12 Agustus 2009, menyatakan adanya pelanggaran-pelanggaran yang berkategori kecurangan, namun tidak dilakukan secara terstruktur, sistimatis dan massive.” Terlihat adanya kecenderungan untuk lebih membuang tanggung jawab kecurangan kepada perorangan atau oknum, dan sebisa mungkin tidak sebagai kesalahan institusi penyelenggara. Mungkin untuk menangkis kesan terstruktur dan sistimatis. Merupakan catatan tersendiri dalam sejarah politik Indonesia, memang tak pernah ada pemilihan umum dan demikian juga kemudian dengan pemilihan presiden, yang pernah dikoreksi apalagi dibatalkan karena gugatan kecurangan, khususnya yang melibatkan penyelenggara. Betapa pun kuatnya tercium aroma kecurangan. Cerita tentang kecurangan selalu diupayakan dipatahkan atau minimal dikerdilkan sekerdil-kerdilnya. Dinyatakan sebagai bagian sikap tak siap kalah. Dan bersamaan dengan itu tak pernah ada sanksi hukum maupun sanksi politik dijatuhkan. Tetapi bagaimana mungkin bisa menjatuhkan sanksi, bila upaya pencarian kebenaran peristiwa kecurangan itu sendiri memang tak pernah dilakukan, untuk tidak mengatakannya selalu dihambat?

Dalam setiap kasus kecurangan pemilu dari masa ke masa, seakan-akan memang ada tangan-tangan rahasia yang selalu mampu mengelolanya menjadi tidak dipersoalkan lanjut. Entah siapa pengendali the invisible hand itu. Tetapi terlepas dari itu, apakah mungkin leluasa mengungkapkan suatu kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan massive –melalui mekanisme hukum yang tersedia terkait pemilu– dalam suatu jangka waktu yang ringkas dalam hitungan hari atau minggu?

            Pada masa pasca Soeharto, kekuatan-kekuatan politik sipil, termasuk mereka yang merasa selalu dirugikan dalam pemilihan-pemilihan umum Orde Baru, senantiasa menyebutkan pemilihan-pemilihan umum masa reformasi, khususnya Pemilihan Umum 1999, sepenuhnya bersih dan paling demokratis sepanjang sejarah Pemilihan Umum Indonesia. Gegap gempita klaim kebersihan pemilu tersebut menenggelamkan cerita di balik berita, bahwa sebenarnya Pemilihan Umum 1999 itu juga penuh rekayasa. Partai-partai kecil yang banyak, karena tak punya saksi-saksi di TPS-TPS pelosok, habis dijarah perolehan suaranya oleh beberapa partai yang lebih besar dan lebih baik pengorganisasiannya. Selain itu, partai-partai kecil yang puluhan jumlahnya itu pun ‘dirampok’ melalui sistem penghitungan alokasi kursi. Upaya mereka melalui protes agar perolehan suara mereka –yang bila diakumulasi, mencapai jumlah puluhan juta suara yang secara kuantitatif setara dengan puluhan kursi DPR– ‘dikembalikan’, tak menemukan jalan penyelesaian, baik melalui KPU maupun Panitia Pemilihan Indonesia (PPI).

Ada pula rumour politik, bahwa dalam Pemilu 1999, sebenarnya suara Golkar sedikit lebih besar dari perolehan PDIP, tetapi kalangan tentara dengan sisa-sisa pengaruhnya, dengan pertimbangan stabilitas keamanan, menyodorkan skenario PDIP sebagai pemenang. Bila Golkar yang dimenangkan akan mencuat tuduhan politis bahwa Pemilu 1999 curang dan direkayasa. Sejumlah jenderal yang mencoba mengambil peran dan haluan baru, memainkan kartu untuk membesarkan PDIP dan atau Megawati Soekarnoputeri.

Klaim bahwa pemilu-pemilu pasca Soeharto bersih, menciptakan sikap obsesif, dan pada akhirnya seakan-akan merupakan semacam ‘aliran kepercayaan’ tersendiri. Semua pengungkapan bahwa kecurangan –terlepas dari berapa besar kadarnya– masih mewarnai pemilihan-pemilihan umum hingga kini, akan selalu ditolak. Itu sebabnya, setiap protes tentang adanya kecurangan selalu menemui jalan buntu penyelesaian. Selain sikap obsesif tadi, juga cukup kuat anggapan, bahwa sebagai peristiwa politik –yang terlanjur dikonotasikan terbiasa bergelimang dengan aneka kelicikan– jamak bila pemilihan umum diwarnai kecurangan. Maka, dianggap, tak perlu terlalu serius mencari kebenaran di situ. Hanya yang ‘kalah’ saja yang mencak-mencak.

Pemilihan umum 2004 sebenarnya juga tak sepi dari laporan kecurangan, namun perhatian lebih banyak tercurah kepada kecurangan keuangan oleh beberapa komisioner KPU. Tetapi terbuktinya keterlibatan sejumlah komisioner KPU dalam manipulasi keuangan dengan menyalahgunakan kedudukannya, tak urung menimbulkan dugaan dalam bentuk pertanyaan: Kalau manipulasi keuangan bisa mereka lakukan, kenapa tidak mungkin mereka melakukan manipulasi yang lebih mendalam, semisal manipulasi politik dengan latar imbalan finansial atau imbalan lainnya?

Aktivis perjuangan mahasiswa 1978 dari Bandung, Indro Tjahjono, Juli 2012 mengungkapkan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah melakukan kecurangan untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua Pemilihan Presiden, baik di tahun 2004 maupun tahun 2009, melalui manipulasi sistem Informasi Teknologi (IT) dan rekayasa data secara manual. (Baca: https://socio-politica.com/2012/07/16/kisah-sby-dan-indro-tjahjono-kecurangan-dalam-dua-pemilihan-umum-presiden-2).      

            Pengungkapan itu sepi reaksi, dari media pers maupun dari mereka yang dituduh. Terhadap nasib tudingan Indro Tjahjono, socio-politica.com saat itu memberi catatan: “Apakah sebaiknya kita mengembalikan persoalannya ke tangan Tuhan saja?” serayamenyampaikan “Sampai bertemu pada 2014 dengan peristiwa dan kecurangan yang sama, sesuai kelaziman dari pemilihan umum ke pemilihan umum.”

            DI TAHUN 2014 ini, ternyata publik Indonesia, sekali lagi harus berjumpa dengan tampilan kecurangan yang tak kalah buruk dengan beberapa pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden terdahulu. Bahkan, dalam aspek kecerdikan bermuslihat, praktek atas nama demokrasi kali ini bisa lebih buruk. Terutama karena berperannya kelompok-kelompok pelacur intelektual dalam sejumlah proses pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden. Dan pada waktu yang sama, kekuatan uang berperan penting dalam lika liku proses yang semestinya adalah murni proses demokrasi. Kelompok pelacur intelektual berduet dengan kekuataan uang untuk misalnya menggunakan aneka survei dan jajak pendapat terarah –dan pasti manipulatif karena tendensius– sebagai senjata pembentukan opini. Itu semua terlihat sejak masa-masa pra kampanye, masa kampanye hingga momen-momen sekitar pemungutan suara. Bahkan hingga kini, seperti misalnya jajak pendapat yang dilakukan LSI tentang menurunnya simpati kepada Prabowo-Hatta karena dianggap tidak legowo menerima ‘kekalahan’. Apa gunanya jajak pendapat semacam itu dilakukan dalam situasi pasca pemilu seperti sekarang dalam konteks kepentingan publik? Apa alasan idealnya? Lebih menonjol adalah aspek benefit politiknya, yang mungkin saja bersangkut paut dengan kepentingan finansial pada ujungnya.

Apakah juga para penyelenggara Pemilihan Umum di KPU atau Bawaslu –yang pada umumnya berlatarbelakang pendidikan akademis– telah ikut terbawa dalam kancah permainan kecurangan intelektual di momen pelaksanaan demokrasi di tahun 2004 ini? Ini suatu pertanyaan. (socio-politica.comBerlanjut ke Bagian 2 )

Mengejar ‘Mandat Langit’: Golkar dan Partai Demokrat

DARIPADA menjadi ekor, atau sekedar semut-semut yang mengejar sisa-sisa butiran gula di sekitar Jokowi maupun Prabowo Subianto, sebenarnya adalah lebih baik bila Golkar dan Partai Demokrat berani menciptakan alternatif. Menyelenggarakan rapat pimpinan nasional di waktu yang hampir bersamaan (18/5) di tempat yang berdekatan, Partai Demokrat lebih cepat bersikap tegas daripada Partai Golkar. Kali ini, sikap Susilo Bambang Yudhoyono (dan Partai Demokrat) lebih berkepribadian: Tidak akan bergabung dengan kubu mana pun, baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo. Sementara itu, Rapimnas Golkar menyerahkan kepada Aburizal Bakrie untuk menentukan arah koalisi, dan memberi mandat pada sang ketua umum untuk menetapkan dirinya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Tapi ternyata Aburizal berpikiran sangat pragmatis.

            Konsekuensi sikap yang disampaikan SBY itu adalah Partai Demokrat harus mencoba membuat poros alternatif, dan yang paling mungkin untuk saat ini adalah bersama Golkar. Sebenarnya, berdasar historis kelahirannya sebagai pembaharu tidak pada tempatnya bila Golkar memilih menjadi pengekor demi memenuhi hasrat kecipratan remah-remah kekuasaan belaka. Dalam menghadapi pemilihan umum pertama setelah Pemilu 1955 pasca Soekarno, di tahun 1971, Golkar menampilkan diri dengan gagasan pembaharuan politik yang sempat memikat sejumlah tokoh generasi muda tahun 1966 dan kaum intelektual untuk bergabung. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa setelah kemenangan dicapai, Soeharto dan para jenderal di lingkaran kekuasaannya berangsur-angsur ‘membuktikan’ lebih cinta kekuasaan belaka daripada cita-cita pembaharuan politik yang sesungguhnya.

PERTANYAAN OM PASIKOM DI KOMPAS. "Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga. Kalau mereka bisa mengatasi subjektivitas tertentu pada diri mereka, Senin petang atau paling lambat Selasa pagi 20 Mei mereka juga akan mengumumkannya."
PERTANYAAN OM PASIKOM DI KOMPAS. “Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga.”

            Namun, terlepas dari soal kesetiaan kepada cita-cita itu, apa pun yang terjadi sepanjang masa Soeharto, Golkar –tepatnya, Jenderal Soeharto– selalu memimpin arah politik. Ditempa oleh keadaan serba unggul, Golkar berhasil melahirkan politisi-politisi tangguh yang mampu mengendalikan arah kehidupan politik dari waktu ke waktu. Akan tetapi bersamaan dengan itu, khususnya pada satu dekade terakhir masa kekuasaan Soeharto Golkar juga berhasil ditumpangi oleh orang-orang oportunis yang pandai mencari kesempatan yang menguntungkan dirinya. Sejak awal 1974 berangsur-angsur kelompok dengan cita-cita pembaharuan dipentalkan keluar, dan posisi-posisi kunci di tubuh Golkar makin dikuasai para oportunis pencari rezeki. Mereka yang disebut terakhir ini, tercatat paling gesit meloncat meninggalkan Golkar dan Soeharto di tahun 1998 di saat Golkar terancam karam.

            DENGAN ‘susah payah’, Akbar Tandjung, Marzuki Darusman, Fahmi Idris, MS Hidayat dan sejumlah tokoh Golkar lain yang ‘bertahan’ di kapal yang disangka akan karam –dan nyaris diberi nasib seperti PKI pasca Nasakom Soekarno– mempertahankan keberlangsungan hidup Golkar dengan penamaan ‘Golkar Baru’ dalam bentuk sebagai partai. Penamaan ‘Golkar Baru’ sekaligus dijadikan tanda batas dengan era Soeharto, tepatnya semacam garis pemisah dengan era Golkar terakhir yang penuh ekses KKN dan oportunisme masa Harmoko. Tetapi ‘Golkar Baru’ tidak pernah betul-betul bersih dari kaum oportunis masa lampau, dan bahkan berangsur-angsur terisi juga dengan kaum oportunis baru. Untuk yang disebut terakhir ini, Akbar Tandjung, harus diakui, ikut khilaf membuka kesempatan.

            ‘Golkar Baru’ yang di dalam tubuhnya masih mengandung unsur-unsur yang gamang bila tak tercantel dengan kekuasaan, terpikat untuk memilih Muhammad Jusuf Kalla yang berhasil menjadi Wakil Presiden (2004-2009) pendamping SBY, sebagai Ketua Umum Golkar yang baru melalui Munas Golkar di Nusa Dua Bali akhir 2004. Padahal, beberapa tahun sebelumnya Jusuf Kalla sebenarnya sempat meninggalkan Golkar ikut berlayar di kapal Partai Persatuan Pembangunan. Tetapi di ‘masa reformasi’ faktor kesetiaan kepada ‘partai asal’ memang sudah berubah menjadi begitu encer dan tidak lagi terlalu dipersoalkan.

            Hari Senin 19 Mei 2014 ini Muhammad Jusuf Kalla kembali menjadi calon Wakil Presiden, mendampingi Joko Widodo yang didukung PDIP bersama Nasdem dan PKB disusul Hanura. Tak ada manuver ‘dadakan’ di internal PDIP untuk memajukan Puan Maharani seperti yang di’kuatir’kan sebelumnya. Pun belum ada perubahan sikap di PKB akibat ketentuan kerjasama tanpa syarat yang secara ‘tegas’ dinyatakan Megawati Soekarnoputeri. Tetapi pertanyaannya, sanggupkah PKB bertahan ikut serta dalam suatu ‘koalisi’ tanpa mengharapkan suatu deal apapun untuk para petingginya? Kalau semua yang terjadi, kerjasama tanpa syarat, adalah seperti yang dikatakan, baguslah, berarti terjadi kemajuan dalam sikap dan praktek politik. Meskipun, ini semua lebih terasa sebagai sesuatu yang too good to be truth dalam iklim politik yang sangat pragmatis seperti sekarang ini.

Setelah JK mendampingi Jokowi menjadi satu kenyataan, tentu saja, sesuai penegasan Aburizal Bakrie usai Rapimnas Golkar Minggu (18/5), Jusuf Kalla tidak mewakili Golkar melainkan mewakili dirinya sendiri. Tetapi harus diakui, Jusuf Kalla masih memiliki sel-sel pendukung di tubuh Golkar. Bagaimanapun dia pernah menjadi Ketua Umum di partai berlambang pohon beringin tersebut selama 5 tahun.

Senin siang 19 Mei ini, Prabowo juga memastikan Hatta Rajasa dari PAN sebagai pendampingnya selaku Wakil Presiden. Pengumumannya disampaikan di sebuah rumah di Polonia, Jakarta, yang konon pernah menjadi kediaman sementara Soekarno. Pertanyaan yang sama memang bisa diajukan, sanggupkan partai-partai seperti PKS dan PPP bertahan dalam koalisi tersebut, padahal calon-calon Wakil Presiden yang mereka ajukan tak terakomodir? Berbeda dengan PDIP, persoalan di poros Prabowo mungkin sedikit lebih mudah. Suatu deal mengenai posisi di kabinet, tersurat maupun tersirat, bisa dipastikan telah dibicarakan lebih awal.

            TERKAIT kemungkinan koalisi Golkar dengan Partai Demokrat, pernyataan Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan menjadi menarik. Partai Demokrat menginginkan Aburizal Bakrie dan Susilo Bambang Yudhoyono mengambil peran sebagai king maker. Suatu usul yang baik dan bisa menampilkan sisi kenegarawanan dari kedua tokoh itu. Tidak ada kata terlambat. “Kami mengusulkan supaya Golkar memberikan opsi-opsi untuk calon presiden, seperti mengajukan Menteri Perindustrian Mohamad Sulaeman Hidayat,” ujar Sjarif seperti dikutip Koran Tempo (18/5). Sementara itu, MS Hidayat sendiri, yang menjadi salah satu anggota tim dari kedua partai yang terdiri dari 6 orang, menyampaikan usul suatu poros ketiga untuk mengusung pasangan capres-cawapres Aburizal Bakrie dengan Pramono Edhie Wibowo.

KARIKATUR KORAN TEMPO: KADER PARTAI KORUP DALAM TEROPONG KPK. "Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga."
KARIKATUR KORAN TEMPO: KADER PARTAI KORUP DALAM TEROPONG KPK. “Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga.”

            Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga. Kalau mereka mau dan bisa mengatasi subjektivitas tertentu pada diri mereka, Senin petang atau paling lambat Selasa pagi 20 Mei mereka masih berkesempatan mengumumkannya. Khususnya Golkar, saatnya belajar meninggalkan sikap obsesif mereka terhadap kursi kekuasaan sekalipun untuk itu harus rela menjadi figuran belaka. Tapi harapan seperti itu buyar seketika, karena Senin siang menjelang deklarasi pasangan Prabowo dengan Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie dikabarkan memutuskan mendukung pencalonan Prabowo Subianto.

            Terhadap kemungkinan poros ketiga, serta merta sejumlah pengamat, termasuk mereka yang menjagokan dua capres, Jokowi dan Prabowo, mengatakan suatu pasangan baru sudah terlambat. Tak punya lagi waktu sosialisasi untuk membangun elektabilitas. Dua tokoh lainnya sudah jauh di depan. Tentu saja, pendewa-dewaan pencapaian elektabilitas yang telah dicapai dua calon lainnya, bisa juga berlebih-lebihan dan keliru. Harus diakui, kerjasama atau koalisi pendukung dua calon presiden yang sedang di atas angin itu, bukannya tak mengandung kerapuhan di sana-sini. Dua pasangan yang tampil juga tak sepenuhnya ideal. Publik masih punya kemampuan untuk menerima penyampaian-penyampaian gagasan baru –maupun fakta kebenaran dan kesadaran baru– sepanjang gagasan baru itu bisa lebih masuk akal, jujur dan genius. Dalam tempo yang sempit sekali pun. Suatu proses perubahan pikiran bisa saja terjadi hanya dalam 1-2 detik.

            Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga. Golkar dan Aburizal juga bisa melakukan berbagai hal positif lainnya. Bagaimana jika Aburizal segera menyelesaikan sisa kewajibannya kepada korban lumpur Lapindo misalnya, seraya menyampaikan permintaan maaf yang lebih tulus? Untuk ini, pun tidak ada kata terlambat. Tapi apa boleh buat, Aburizal memilih lain, dan menjadi sangat pragmatis. Ia memang menjadi king maker, tapi bukan bersama SBY di poros ketiga. Melainkan di poros bersama Gerindra, seperti dielu-elukan Prabowo terhadap Ketua Umum partai peraih suara kedua terbanyak itu.

            Sebenarnya, kalaupun misalnya, pasangan baru sebagai pasangan ketiga yang diajukan Golkar dan Partai Demokrat, tidak memenangkan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, toh mereka bisa menjadikan ketidakberhasilan itu sebagai suatu kekalahan terhormat. Dan setelah itu, memilih untuk melangkah menjadi kekuatan oposisi yang terhormat pula. Kemenangan jangka pendek, semestinya, bukan satu-satunya hal. (socio-politica.com)

Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Aburizal Bakrie

PERJUANGAN Aburizal Bakrie mengejar ‘mandat langit’, cukup berkemungkinan menjadi kisah ‘kemalangan politik’ bagi dirinya maupun bagi partai yang dipimpinnya. Ini terkait dengan berbagai peristiwa ‘kalah’ langkah tokoh-tokoh Golkar di pasar ‘dagang sapi’ politik. Tetapi jangan salah, dengan makin mencuatnya begitu banyak fakta bahwa Pemilihan Umum legislatif yang baru lalu ini ternyata kacau balau luar biasa –karena massivenya perilaku manipulatif para pelaku politik–  maka 50 berbanding 50, secara keseluruhan justru politik Indonesia yang berpeluang berubah menjadi kemalangan dan tragedi kenegaraan sesungguhnya.

Suatu salah penanganan akan menggelindingkan proses delegitimasi menuju ketidak-absahan pemilu, yang berakhir sebagai suatu chaos politik. Belum tentu bisa dibendung. Suatu gelanggang ‘permainan’ (politik) yang penuh ‘penjahat’ (politik) dengan sendirinya akan lebih berkemungkinan sepenuhnya menjadi dunia ’kejahatan’ (politik) sejati. Ini memerlukan suatu ulasan dan analisa tersendiri dalam suatu kesempatan tersendiri.

ARB DAN PRABOWO DALAM TEMPO. "Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh."
ARB DAN PRABOWO DALAM TEMPO. “Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh.”

HINGGA hitungan hari menjelang batas pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, 18-20 Mei 2014, baru dua calon Presiden yang mendekati kepastian pencalonannya, yaitu Joko Widodo (PDIP) dan Prabowo Subianto (Gerindra). Tapi siapa calon Wakil Presiden dan partai-partai mana yang akan berkoalisi dengan keduanya, meski mulai mengerucut, puncak kerucutnya belum betul-betul lancip. Tawar-menawar di pasar politik belum final. Berkali-kali sudah tiba pada suatu keadaan seakan-akan final, tetapi hanya dalam hitungan hari bahkan hanya dalam hitungan jam, berubah lagi.

Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh darinya.

Lalu, Jokowi. Dalam berita, Jokowi bukan hanya mendua, tetapi diberitakan punya tiga calon Wakil Presiden. Salah satunya, Muhammad Jusuf Kalla –tokoh yang paling lanjut usianya dalam bursa kepemimpinan nasional kali ini, dan mungkin kandidat tertua sepanjang sejarah politik Indonesia– mantan Wakil Presiden, mantan Calon Presiden dan mantan Ketua Umum Partai Golkar. Secara khusus menyangkut JK, perlu pula dicatat bahwa di internal PDIP bukannya tak ada kekuatiran tentang potensi Wapres JK bertindak ‘melampaui’ Presiden Jokowi kelak. Sama dengan yang pernah dialami SBY 2004-2009. Dua calon lainnya, Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang didukung PKB, dan Abraham Samad yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua KPK. Dengan berita itu, beberapa nama lain yang disebut-sebut sebelumnya, telah tersisih. Misalnya dua purnawirawan jenderal, yakni Ryamisard Ryacudu dan Luhut Binsar Pandjaitan, meski keduanya memenuhi kriteria ‘luar Jawa’ yang disebutkan Jokowi beberapa waktu lalu.

LALU dalam situasi apa Aburizal berada? Pekan lalu, pertemuannya dua kali berturut-turut dengan Prabowo Subianto, menimbulkan spekulasi seakan-akan segera mewujudnya duet ARB dengan Prabowo. Kalau kini spekulasi itu sudah ditenggelamkan oleh suatu spekulasi lain, berarti Aburizal masih ‘sendiri’. Berpasangan dengan Golkar –yang menurut hitungan resmi KPU menempati urutan perolehan suara kedua terbesar, sebesar 18.432.312 suara atau 14,75 persen dari seluruh suara pemilih– tampaknya tidak begitu menarik. Masih kalah daya tariknya dibandingkan Gerindra yang ada di urutan ketiga dengan perolehan 14.760.371 (11,81 persen).

Setidaknya ada empat sebab penting yang menurut kalkulasi partai lain tidak menguntungkan bila berkoalisi dengan Golkar. Pertama, khalayak politik tahu, bahwa walau terlihat solid di etalase kehidupan politik, Golkar sebenarnya rapuh kekompakannya. Setidaknya ada tiga faksi yang dalam banyak hal berbeda ‘kemauan’ di tubuh Golkar, yaitu faksi ARB, faksi Akbar Tandjung dan faksi JK. Ditambah sisa-sisa faksi Golkar putih. Faksi JK sebenarnya adalah suatu faksi yang mirip kembang anggrek yang dulu berhasil dicangkokkan di batang pohon Beringin melalui Munas Golkar Desember 2004 di Denpasar. Anggrek adalah tanaman epifit, memang tidak ‘mengisap’ makanan dari tempat tumpangan, namun menciptakan peluang hidup yang aman di sana. Faksi dengan analogi epifit ini kemudian ditumbuh-suburkan 2004-2009, di masa Jusuf Kalla merangkap jabatan Wakil Presiden RI dengan jabatan Ketua Umum Golkar. Sepanjang catatan Sudharmono SH saat dirinya menjadi Ketua Umum Golkar 1983-1988, Muhammad Jusuf Kalla berada dalam struktur Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

 Hal kedua yang membuat Golkar tidak menarik diajak berkoalisi, adalah fakta bahwa elektabilitas figur ARB tidak cukup tinggi. Kalah oleh beberapa tokoh lainnya. Selain itu, pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Golkar, dianggap lebih merupakan hasil faitaccompli internal. Bukan melalui mekanisme konvensional partai tersebut. Tentu tidak aman dan tidak nyaman berkoalisi dan atau berpasangan dengan suatu keluarga besar atau seseorang yang memiliki masalah internal. Apalagi, partai-partai yang ada saat ini pada umumnya sangat mengutamakan faktor keamanan benefit dan keuntungan dari suatu persekutuan, bukan untuk berbagi kesulitan.

Berikutnya, sebagai faktor ketiga, tokoh-tokoh lingkaran terdekat ARB dianggap telah mengisolasi Aburizal dari persentuhan dengan berbagai kelompok lain yang bisa memperkaya visi politik dan kepemimpinannya sebagai Ketua Umum sebuah partai besar. Termasuk mengisolasi Aburizal ‘Ical’ Bakrie dari kelompok teman-teman perjuangannya di masa lampau di Bandung (dan Jakarta) yang banyak di antaranya punya kualitas prima dalam berbagai pergerakan sosial-politik dan profesi. Dan di lain pihak, lingkaran baru itu justru tidak punya kemampuan melakukan manuver politik dengan kualitas yang dibutuhkan sebuah partai sekaliber dan seberpengalaman Golkar yang telah berusia setengah abad. Banyak kalangan di lingkaran ‘baru’  di sekitar ARB disindir sekedar berfungsi sebagai penggembira atau pengiring arak-arakan karnaval saja.

Pilihan Golkar dan ARB beserta lingkaran politiknya untuk tiba-tiba menggunakan isu kejayaan masa lampau Golkar bersama Soeharto, sebagai salah satu bahan kampanye Pemilihan Umum yang baru lalu, menyisakan suatu tanda tanya besar. Kenapa Golkar dan ARB tiba kepada pilihan seperti itu? Padahal, seperti halnya dengan ketokohan Soekarno, rakyat Indonesia masih mendua mengenai ketokohan Soeharto. Butuh waktu lama untuk menjernihkan situasi dengan persepsi mendua terhadap dua tokoh itu. Kedua tokoh tersebut, adalah tokoh besar yang punya jasa besar terhadap bangsa dan negara di zamannya masing-masing, namun jangan dilupakan mereka pun masing-masing punya kekhilafan dan kesalahan besar saat memimpin negara. Dan itu sebabnya mereka diturunkan dari panggung kekuasaan.

Terakhir dan tak kalah pentingnya, peristiwa Lapindo dan penanganan penyelesaiannya yang berkepanjangan, telah menjadi beban yang harus dipikul dalam jangka waktu lama oleh Abrurizal Bakrie. Jika di awal peristiwa Aburizal bertindak cepat memberikan solusi tuntas, persoalannya mungkin lain. Khalayak menilai, bahwa Aburizal harus dipaksa-paksa dulu sebelum memberikan tanggung jawab. Itupun tidak tuntas.

KETIDAKBERHASILAN Partai Golkar untuk mencapai angka tinggi perolehan suara, juga disebabkan ketidakberhasilan menyampaikan hal-hal konseptual yang menawarkan solusi bagi pemecahan berbagai masalah nasional. Dalam bagian tertentu, Golkar melalui sejumlah kadernya justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Misalnya, dalam isu korupsi, tidak sedikit kadernya malahan menjadi sasaran isu korupsi. Tidak beda dengan Partai Demokrat, PKS atau bahkan PDIP sekalipun.

Iklan-iklan televisi yang gencar, tidak banyak menolong. Selain salah arah dan salah konsep, iklan-iklan sosialisasi Golkar maupun ketokohan ARB terlalu banyak mengandung solipsisme. Dalam beriklan dan berkampanye, ARB dan para petinggi Golkar terlalu mendasarkan diri pada “apa yang saya pikir tentang saya”. Mengabaikan “apa yang orang lain pikirkan mengenai saya” dan tidak berusaha mengolah “apa yang saya pikir mengenai pikiran orang lain tentang saya”. Tetapi pembawaan seperti ini bukan monopoli ARB dan para petinggi Golkar saja, melainkan juga menghinggapi sebagian terbesar tokoh yang sedang terobsesi dan mati-matian mengejar ‘mandat langit’ melalui suara rakyat.

PELUANG apa yang tersisa bagi Aburizal Bakrie? Peluang itu hanya bisa datang dengan suatu keajaiban politik, yang bisa tercipta antara lain bila upaya PDIP dan Gerindra mendadak gagal menyusun koalisi untuk menopang Jokowi maupun Prabowo Subianto menuju kursi RI-1. Minimal, gagal menemukan tokoh Wakil Presiden yang tepat untuk diri mereka masing-masing. Elektabilitas Jokowi maupun Prabowo tidak terlalu luar biasa untuk bisa membuat faktor siapa pendamping mereka masing-masing menjadi tidak penting. Pilihan tepat dalam menentukan pendamping, sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap keterpilihan mereka. Keajaiban politik seperti ini, di atas kertas memang tipis, tapi kita tidak bisa menebak ego ipso solus yang diidap para tokoh pimpinan partai yang ada saat ini dan keanehan apa yang bisa diakibatkannya. Contohnya, meskipun sudah menawarkan Mahfud MD, bukannya tak ada hasrat di tubuh PKB untuk memajukan Ketua Umum Muhaimin Iskandar sebagai calon Wakil Presiden. Dalam pada itu, siapa yang bisa mengatakan bahwa PDIP takkan mungkin mendadak mengajukan Puan Maharani misalnya, sebagai Wakil Presiden mendampingi Jokowi demi kelanjutan trah Soekarno?

Setipis-tipisnya peluang, Aburizal Bakrie dan Golkar juga masih mungkin bertemu di satu titik dengan Partai Demokrat yang sama ‘tertinggal’nya dalam tawar menawar di pasar politik ‘dagang sapi’. Partai Demokrat adalah peraih posisi keempat dalam perolehan suara dalam pemungutan suara 9 April yang lalu, 12.728.913 suara (10,19). Digabungkan dengan Golkar, relatif memenuhi syarat untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dua partai ini, banyak persamaannya, termasuk dalam menuai isu dan sorotan. Di tengah menipisnya peluang, menurut berita terbaru, Ical bertemu Jokowi di Pasar Gembrong, Johar Baru Jakarta Pusat, pada hari terakhir menjelang pendeklarasian koalisi bagi calon presiden dari PDIP itu. Ical sedang mencoba membuka satu peluang baru untuk dirinya? Atau memilih menjadi ‘king maker‘ saja bagi tokoh Golkar yang lain untuk kursi RI-2? 

NAMUN, terlepas dari semua itu, keajaiban politik yang sangat tidak diharapkan, tentu adalah terciptanya situasi chaos akibat kegagalan penanganan sengketa dan manipulasi dalam pemilihan umum legislatif yang lalu. Bila tidak hati-hati, itu bisa saja terjadi. (socio-politica.com)

Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Prabowo Subianto

HINGGA sejauh ini, memasuki pekan ketiga setelah pemungutan suara pemilihan umum legislatif, terkesan kuat bahwa Letnan Jenderal (Purnawirawan) Prabowo Subianto berbagi peluang fifty-fifty dengan Jokowi untuk memenangkan kursi RI-1. Meskipun, tetap tak tertutup peluang bagi tokoh lainnya yang juga ikut ‘berburu’ mandat di medan yang sama. Apalagi, saat ini kegiatan negosiasi politik –tepatnya, mungkin aksi dagang sapi– untuk mencari pasangan koalisi berlangsung setengah rasional saja. Pertimbangan apa yang terbaik bagi bangsa dan negara, cenderung dikalahkan oleh semata kalkulasi keuntungan subjektif partai dan kelompok politik masing-masing. Maka pencapaian pasangan Presiden-Wakil Presiden terbaik dan paling ideal –berdasarkan kemampuan dan kualitas tokoh– misalnya, sulit bahkan mustahil tercapai, karena perbedaan subjektivitas (kepentingan sempit) partai-partai pendukung.

LETNAN JENDERAL PRABOWO SUBIANTO. "Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya... Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998." (Sumber foto, Tempo)
LETNAN JENDERAL PRABOWO SUBIANTO. “Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya… Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998.” (Sumber foto, Tempo)

            Walau memiliki peluang yang relatif sama, Jokowi dan Prabowo, memiliki perbedaan ketokohan yang diametral berbeda. Prabowo masih cukup beraroma tentara dan tergolong agresif, sementara Jokowi masih ‘cukup Jawa’. Dan ada lagi satu perbedaan yang sangat menonjol di antara keduanya. Bila Prabowo Subianto memiliki begitu banyak ‘sejarah’ –baik yang menguntungkan maupun yang kontroversial dan bisa menjadi beban– maka sebaliknya, Jokowi minim ‘sejarah’ yang diketahui publik. Orang hanya mengetahui bahwa Jokowi pernah menjadi Walikota Solo yang prestasinya sempat diapresiasi oleh sebuah lembaga internasional sebagai salah satu walikota yang termasuk terbaik di dunia.

Di Jakarta, orang masih harus menunggu bukti prestasi Jokowi sebagai Gubernur DKI yang baru seumur jagung. Tetapi kedekatan dan pendekatannya terhadap rakyat dalam tempo singkat bisa cukup mempesona, karena dianggap banyak berbeda dengan gaya kepemimpinan (yang menjemukan, menjengkelkan dan mengecewakan) para penguasa selama ini. Namun pesona itu juga sekaligus membangkitkan ekspektasi yang luar biasa tinggi, sehingga juga dibayangi oleh kemungkinan kekecewaan yang juga luar biasa besarnya nanti bila ia salah langkah. Katakanlah, ia berhasil memenangkan ‘mandat langit’ dari rakyat –yang secara retoris digambarkan sebagai penyampai suara Tuhan di bumi– tetapi kemudian tidak bisa segera memenuhi tuntutan ekspektasi rakyat, bisa diperkirakan apa yang terjadi. Mungkin ia akan menghadapi gelombang ‘kemarahan’ yang lebih besar, karena ini merupakan kekecewaan kedua rakyat terhadap pemimpin yang berhasil merangsang ekspektasi tinggi. Belum lagi manuver dari partai politik lainnya, bahkan manuver akrobatik internal partai pendukung utamanya sendiri, PDIP.

Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh pertama pemicu ekspektasi tinggi berkat ‘keberhasilan’ politik pencitraannya. Terhadap periode pertama kepresidenannya, rakyat masih mendua sikap. Tapi terhadap periode keduanya, ia memicu kekecewaan lebih besar. Untuk sebagian, tercermin dari nyaris gagalnya Partai Demokrat mempertahankan eksistensi. Hanya faktor x di tengah pelaksanaan pemilihan umum 2014 ini yang menolong partai tersebut untuk tidak terbanting jauh ke bawah. Apakah faktor x juga akan berhasil menolong partai SBY ini dalam keikutsertaan bermain pada arena pemilihan presiden mendatang ini, merupakan suatu tanda tanya tersendiri yang menarik dan perlu dicermati.

Prabowo dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya, seperti misalnya Dedi Hamdun suami artis film Eva Arnaz. Para keluarga korban penculikan dan penghilangan orang di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto itu, bisa bersiap-siap untuk acara penguburan kasus kejahatan atas HAM itu, bila Prabowo Subianto yang berhasil menjadi Presiden RI mendatang.

            Upacara ‘penguburan’ yang sama juga akan terjadi untuk upaya pengungkapan teka-teki kejahatan kemanusiaan berupa kekerasan fisik dan perkosaan dalam Peristiwa Mei 1998. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto. Nama mereka, dalam konteks peristiwa tahun 1998 itu, juga sempat disinggung Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan dalam buku biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, 2009).

            Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998. (Baca juga, Indonesia 2014: Dari Anomali ke Anomali, socio-politica.com, March 4, 2014). Sejak Habibie bertambah dekat dengan Soeharto –yang sering dipujinya sebagai SGS, Super Genius Soeharto– ia banyak ‘dimusuhi’ lingkaran Soeharto lainnya, termasuk kalangan arus utama militer. Tetapi Letnan Jenderal Prabowo –menantu Soeharto– justru memberikan dukungan di tengah kelangkaan kepada kehadiran Habibie di lingkaran Soeharto. Untuk ini Prabowo menjadi bagian dari hanya sedikit kalangan jenderal yang bersedia menjalin kedekatan dengan teknolog pesawat terbang itu. Dukungan Prabowo dan sedikit saja dari kalangan jenderal itu, toh cukup memadai untuk keberlangsungan gagasan-gagasan bidang iptek BJ Habibie di tahun-tahun terakhir masa Soeharto. Lebih dari itu, secara menakjubkan, BJ Habibie yang juga memiliki sayap pendukung utama lainnya, yakni Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bisa memenangkan kesempatan dalam kompetisi calon Wakil Presiden bagi Soeharto untuk masa jabatan 1998-2003.

Semula berita upaya kudeta Mei 1998 dibantah Prabowo, tetapi setelah sekian tahun, mulai diakuinya meskipun sebagian dengan gaya bercanda. Kenapa akhirnya kudeta tak jadi dilakukan? Selain soal perhitungan taktis, agaknya peranan ayahandanya, Professor Soemitro Djojohadikoesoemo, sebagai faktor pencegah amat besar. Begawan ekonomi dengan pengalaman internasional itu pasti tahu betul bahwa bilamana puteranya yang Letnan Jenderal itu melakukan kudeta, ia akan ditolak dan dimusuhi oleh negara-negara barat yang suka atau tidak suka merupakan kekuatan penentu secara global. Dan mungkin saja, tindakan seperti itu bertentangan dengan hati nurani sang professor yang berlatarbelakang politik sosialis ‘kanan’ itu.

KERUSUHAN MEI 1998. "Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto." (foto download)
KERUSUHAN MEI 1998. “Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto.” (foto download)

            Tentu menjadi pertanyaan, apakah seorang yang berlatarbelakang militer agresif, dan pernah mencoba melakukan kudeta, bisa merubah dan membentuk kembali dirinya sebagai seorang Presiden di suatu negara yang berkeinginan membangun supremasi sipil berdasarkan sistem demokrasi? Apalagi dengan belajar dari ketidakberhasilan seorang militer seperti Susilo Bambang Yudhoyono yang untuk berubah menjadi pemimpin sipil memerlukan terlalu banyak kompromi dan persuasi yang  sering salah tempat dan salah waktu?

            Kecemasan BJ Habibie, Mei 1998. Menurut Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, Prabowo datang ke Istana pukul 15.00 Jumat 22 Mei 1998, setelah mendengar dari Fanny Habibie –adik kandung BJ Habibie– bahwa dirinya dicopot dari jabatan Panglima Kostrad. Prabowo datang ke Istana mengendarai tiga mobil Landrover bersama 12 orang pengawalnya. “Bagi Prabowo masuk ke Istana tidak menjadi masalah, karena cukup banyak perwira Pasukan Pengamanan Presiden yang mengenal dirinya. Namun pada waktu Prabowo masuk, para petugas agak tegang.” Berdasarkan prosedur, para tamu presiden harus menunggu dulu di lantai dasar, untuk diperiksa dan ‘disterilkan’. Tapi, Prabowo langsung naik lift menuju lantai 4, tanpa ada petugas yang berani mencegahnya.

Mendengar laporan mengenai apa yang dilakukan Prabowo, penasehat militer presiden, Letnan Jenderal Sintong Panjaitan memberi perintah kepada petugas agar mencegah Prabowo yang bersenjata lengkap masuk ke ruang presiden sebelum dirinya memberi izin. Sintong dengan cepat menganalisis kedatangan Prabowo siang itu, terkait dengan pencopotan dari jabatan Panglima Kostrad. Menurut Sintong, “terdapat tiga kemungkinan; yaitu pertama, Prabowo akan menerima; Kedua, ia akan menawar; Dan ketiga, ia akan menolak perintah.” Padahal, dalam kamus militer sebenarnya hanya ada satu pilihan, yaitu siap melaksanakan perintah. Sintong juga menganggap sangat janggal bila dalam situasi semacam itu Presiden BJ Habibie harus berhadapan dengan Prabowo yang bersenjata lengkap.

Sintong memerintahkan perwira petugas agar meminta dengan sopan dan hormat pada Prabowo untuk menyerahkan senjatanya. Dalam waktu yang sama disiapkan petugas berpakaian preman tapi bersenjata lengkap di lantai 4 untuk menurunkan Prabowo dengan paksa ke lantai dasar seandainya ia menolak menyerahkan senjatanya. Ternyata, Prabowo tidak berkeberatan menyerahkan senjatanya –pistol yang tertambat di kopelrimnya, magasen peluru, pisau rimba dan beberapa peralatan lainnya– kepada petugas.

Baik BJ Habibie maupun Sintong Panjaitan, kelak di kemudian hari menceritakan dalam bukunya masing-masing, apa yang terjadi dan apa yang dibicarakan dalam pertemuan di ruang presiden sore itu. Namun penuturan-penuturan itu tidak cukup lengkap menggambarkan beberapa momen penting yang terjadi, dan bagaimana sesungguhnya BJ Habibie ‘memahami’ dan memaknai esensi insiden itu. Akan tetapi, mungkin tidak banyak diketahui, bahwa hanya dalam hitungan satu atau dua jam sesudahnya Presiden BJ Habibie meminta waktu bertemu di suatu tempat dengan seorang duta besar negara barat (Eropa) yang cukup penting, yang saat itu bertugas di Indonesia.

Dalam pertemuan dengan duta besar itu, BJ Habibie menyampaikan kecemasan-kecemasannya tentang apa yang telah dan mungkin akan dilakukan Letnan Jenderal Prabowo pasca peristiwa sore itu di Istana. Agaknya, BJ Habibie menyampaikan sejumlah curahan hati, serta, katakanlah semacam permintaan terkait keamanan dan keselamatannya. Sang duta besar menangkap adanya kecemasan yang cukup berkadar tinggi dari BJ Habibie, terhadap ancaman yang diucapkan maupun tersirat dari bahasa tubuh Prabowo Subianto kala itu. Sang duta besar bisa memahami dan menganggap pantas bila BJ Habibie sangat cemas setelah pertemuan dengan Prabowo itu.

Tapi bagaimana sesungguhnya, tingkat kecemasan BJ Habibie dan bagaimana ia menilai tingkat potensi bahaya yang ada saat itu, tentu hanya BJ Habibie sendiri yang paling mengetahui. Mungkin BJ Habibie perlu membagi informasi peristiwa 22 Mei 1998 itu, dan bagaimana ia menilai sosok Prabowo Subianto sebagai seorang pemimpin yang kini menjadi salah satu tokoh yang berkemungkinan menjadi seorang Presiden melalui Pemilihan Umum Presiden 9 Juli mendatang. Itu akan menjadi masukan berharga bagi para calon pemilih, terkait masa depan bangsa dan negara ini. Tanpa informasi dan konfirmasi yang lebih lengkap dan terbuka, mungkin publik hanya bisa meraba-raba apa yang dimaksud BJ Habibie dengan kriteria Presiden Indonesia mendatang, yang menurutnya sebaiknya adalah tokoh muda. Apakah BJ Habibie sedang mengisyaratkan suatu bahaya bila tokoh-tokoh ‘senior’  tertentu yang ada saat ini dibiarkan menjadi Presiden, termasuk Prabowo? Prabowo memang masih berpenampilan muda, namun usiaya jelas bukan muda lagi. (socio-politica.com)

*Tulisan ini samasekali tidak terkait dengan tujuan pendiskreditan tokoh. Dasar utama semata-mata menggali informasi yang benar tentang tokoh. Tulisan berikutnya, mengenai tokoh-tokoh lainnya yang sedang disiapkan atau mempersiapkan diri dalam proses mencari ‘mandat langit’ dari rakyat, baik sebagai presiden maupun sebagai wakil presiden.

Kenegarawanan, Aborsi Politik Indonesia

SEBUAH ‘anekdote’ politik tentang presiden dan kepresidenan saat ini tengah beredar melalui pesan singkat, blackberry messenger dan berbagai media sosial elektronik lainnya. Menurut ‘anekdote’ itu, Soekarno telah membuktikan bahwa seorang pejuang kebangsaan bisa dan pantas menjadi presiden. Soeharto membuktikan seorang anak petani bisa menjadi presiden. BJ Habibie membuktikan seorang ilmuwan bisa menjadi presiden. KH Abdurrahman Wahid membuktikan seorang ulama pun bisa menjadi presiden. Dan Megawati Soekarnoputeri membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menjadi presiden. Sementara itu, Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan bahwa sebenarnya keberadaan seorang presiden tidak lagi dibutuhkan.

PRABOWO DAN JANJI MEGA, DALAM LIPUTAN KORAN TEMPO. "Tak ada partai yang ikhlas ‘menyumbangkan’ seorang tokoh untuk betul-betul menjadi milik rakyat. Partai-partai malah cenderung melakukan aborsi politik terhadap tokoh-tokoh yang berpotensi sebagai pemimpin dengan kenegarawanan. Dianggap sudah merupakan kewajaran, bila seseorang dibesarkan oleh partai, ia pun punya kewajiban untuk balas budi membesarkan partai. Ini tentu benar, tetapi ada pilihan cara untuk tidak membuat seorang tokoh sebagai ‘robot’ atau hamba partai semata."
PRABOWO DAN JANJI MEGA, DALAM LIPUTAN KORAN TEMPO. “Tak ada partai yang ikhlas ‘menyumbangkan’ seorang tokoh untuk betul-betul menjadi milik rakyat. Partai-partai malah cenderung melakukan aborsi politik terhadap tokoh-tokoh yang berpotensi sebagai pemimpin dengan kenegarawanan. Dianggap sudah merupakan kewajaran, bila seseorang dibesarkan oleh partai, ia pun punya kewajiban untuk balas budi membesarkan partai. Ini tentu benar, tetapi ada pilihan cara untuk tidak membuat seorang tokoh sebagai ‘robot’ atau hamba partai semata.”

            Tentu, yang paling tidak nyaman dengan anekdote tersebut, adalah Susilo Bambang Yudhoyono, yang pada tahun 2014 ini –bila tak ada kejadian luar biasa– akan mengakhiri masa kepresidenan yang kedua atau yang terakhir dari yang dimungkinkan konstitusi saat ini. Sejumlah pengeritik, antara lain Rizal Ramli dan buya Syafii Maarif, pernah mengatakan bahwa republik ini –khususnya di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono– terkendalikan melalui autopilot. Tapi terlepas dari analogi itu, pesawat-pesawat terbang dengan teknologi mutakhir saat ini memang bisa serba otomatis lepas landas, mengudara menuju maupun mendarat di bandara tujuan. Metode dan sistematika kerja pengoperasian pesawat-pesawat modern kini memang berbeda. Pilot dan ko-pilot hanyalah merekayasa dan mengawasi komputer agar bekerja sesuai maksud dan tujuan penerbangan.

BARANGKALI cara kerja seorang presiden dan wakil presiden dalam menjalankan pemerintahan dalam suatu negara modern, pun sudah harus berubah dan diperbaharui. Sayangnya, menurut catatan empiris, ilmu ketatanegaraan hingga sejauh ini kurang dinamis dalam mengikuti perkembangan zaman. Nyaris tak ada pembaharuan dan inovasi. Sehingga mungkin tidak mudah melakukan pembaharuan dalam cara berpolitik, berbangsa dan bernegara. Padahal, dalam konteks Indonesia, bukannya tak pernah ada gerakan-gerakan pembaharuan politik dan kehidupan bernegara. Pun sejumlah ahli tatanegara berkali-kali mengetengahkan pikiran dan gagasan maupun penafsiran-penafsiran baru, yang sekecil apapun kadarnya bisa lebih mendinamisir praktek ketatanegaraan Indonesia.

Namun, kekuatan-kekuatan politik yang ada cenderung resisten kepada segala sesuatu yang berbau pembaharuan. Mereka merasa lebih nyaman dan aman mempertahankan sejumlah aspek prosedural dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Sikap cinta statusquo membentur setiap gagasan baru yang muncul. Tapi sementara itu pada pihak lain, terjadi pergeseran minus terkait nilai-nilai filosofis dan etika dasar –yang justru harus dipertahankan– dalam bernegara. Syarat dan sikap kenegarawanan seorang pemimpin misalnya, makin terdorong ke belakang, digantikan kekuatan dukungan uang, persekongkolan dan penggunaan massa sebagai faktor penekan. Etika digantikan taktik-taktik busuk dan kepandaian berbohong. Altruisme digantikan egoisme pribadi dan kelompok.

Bukan hanya rakyat yang dibohongi dengan berbagai klaim jasa dan keberhasilan serta aneka janji kosong, tetapi sesama pelaku politik juga dibohongi. Dalam sebuah wawancara televisi, Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto mengeluh tentang kebiasaan buruk para politisi yang gemar berbohong. Ia mengaku telah berkali-kali dibohongi para politisi. Ada yang mengatakan, Prabowo antara lain sering dibohongi agar bisa mengalirkan ‘dana politik’. Adiknya, Hasyim Djojohadikoesoemo, pemegang akumulasi dana yang besar.

Salah satu keluhan penting terbaru yang dilontarkan Prabowo adalah mengenai janji Ketua Umum PDIP yang menyatakan akan mendukung pencalonannya sebagai presiden pada 2014. Tapi, nyatanya Jumat 14 Maret kemarin Megawati mengeluarkan surat perintah tentang pencalonan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden RI melalui Pilpres mendatang. Dalam hal ini, Prabowo merujuk Perjanjian Batutulis yang ditandatanganinya bersama Megawati 16 Mei 2009.

Apakah Prabowo sendiri tak suka berbohong? Rekam jejak karir Prabowo Subianto tidak sepenuhnya putih. Sebagai seorang jenderal Prabowo misalnya memerintahkan anak buahnya melakukan aksi-aksi penculikan terhadap aktivis kritis di masa Soeharto. Tetapi, harus diakui bahwa tokoh utama Partai Gerindra ini tampaknya tak terbiasa (sengaja) melakukan kebohongan. Setidaknya, di gelanggang bohong berbohong ini ia tak terkemuka dibandingkan sejumlah tokoh politik dan kekuasaan lainnya. Ia misalnya tidak berbohong dan mengakui tindakan-tindakan penculikan politik yang dilakukannya di masa lampau. Ia pun tak menyangkal pernah berniat melakukan kudeta terhadap Presiden BJ Habibie Mei 1998.

KELANGKAAN sikap kenegarawanan dan kemiskinan etika merupakan bagian terburuk sebagai fakta dalam dunia politik dan percaturan kekuasaan negara di Indonesia dalam satu atau dekade terakhir ini. Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy –tewas terbunuh 22 November 1963 dalam suatu konspirasi– pernah menyampaikan semacam adagium, “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.” Kesetiaanku kepada partai berakhir saat kesetiaanku kepada negara mulai. Adagium itu juga pasti pernah didengar para politisi dan orang yang berkecimpung sebagai  pelaksana negara di Indonesia, tetapi tak dijadikan sebagai pegangan sehari-hari dalam praktek politik dan pengelolaan kekuasaan.

JOHN F. KENNEDY. “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.” Kesetiaanku kepada partai berakhir saat kesetiaanku kepada negara mulai. Adagium itu juga pasti pernah didengar para politisi dan orang yang berkecimpung sebagai  pelaksana negara di Indonesia, tetapi tak dijadikan sebagai pegangan sehari-hari dalam praktek politik dan pengelolaan kekuasaan.
JOHN F. KENNEDY. “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.” Kesetiaanku kepada partai berakhir saat kesetiaanku kepada negara mulai. Adagium itu juga pasti pernah didengar para politisi dan orang yang berkecimpung sebagai pelaksana negara di Indonesia, tetapi tak dijadikan sebagai pegangan sehari-hari dalam praktek politik dan pengelolaan kekuasaan.

Ir Soekarno adalah tokoh dengan kenegarawanan hampir sepanjang masa perjuangannya dan masa kepresidenannya. Sayang, tahun 1960-1965, ia kehilangan sikap kenegarawanan itu saat ia bergerak terlalu ke kiri dan sangat berpihak kepada kelompok politik tertentu.

Jenderal Soeharto menjalani separuh masa kekuasaannya dengan kenegarawanan, namun pada separuh bagian lainnya ia membiarkan orang-orang di sekelilingnya melakukan permainan kekuasaan dengan aroma korupsi, kolusi dan nepotisme. Keberhasilannya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi diakui. Tapi sayang, ia gagal dalam pemerataan keadilan ekonomi, hukum dan politik.

BJ Habibie praktis belum cukup berhasil membuktikan kenegarawanannya dalam masa kepresidenannya yang ringkas. Penanganannya terhadap masalah Timor Timur yang membuat provinsi ke-33 itu terlepas dari RI, menjadi bahan kontrovesi. Effortnya membuka keran demokrasi di Indonesia lebih lebar dihargai, namun di lain pihak ketidakcermatannya dalam menjalankan proses tersebut dikecam melahirkan begitu banyak ekses.

KH Abdurrahman Wahid melakukan sejumlah terobosan mengesankan dalam masalah kebebasan pers dan gerak pemberantasan korupsi. Tetapi reputasinya sebagai kyai penuh kebijaksanaan maupun kenegarawanannya seringkali dipertanyakan ketika ia menyampaikan ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan kontroversial. Ia pun dikritik karena besarnya peranan para pembisik di lingkaran kekuasaannya. Tapi banyak yang memaafkan dan memahami bahwa keadaan kesehatanlah yang membuat ia tidak optimal sebagai kepala pemerintahan sebagaimana diharapkan sebelumnya. Meskipun demikian, ketika ia mengeluarkan dekrit yang antara lain bertujuan membubarkan DPR, tanpa ampun ia dimakzulkan melalui suatu keroyokan politik. Tokoh terkemuka Amien Rais yang memotori terpilihnya KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden menggantikan Habibie, menjadi pula salah satu tokoh utama pemakzulannya April 2001.

Dua presiden berikut, Megawati Soekarnoputeri dan Susilo Bambang Yudhoyono, seringkali lebih terasa sebagai tokoh partai –PDIP dan Partai Demokrat– daripada seorang presiden yang seharusnya milik semua rakyat. Mereka tak ‘sealiran’ dengan John F. Kennedy. Kesetiaan mereka kepada partai tak berakhir bersamaan dengan dimulainya kesetiaan mereka kepada negara –selaku Presiden RI. Terkesan, kesetiaan mereka kepada partai makin bertambah kadarnya justru setelah menjadi presiden. Porsi waktu yang mereka sediakan mengurus partai sangat besar. Prestasi mereka untuk partai lebih menonjol daripada prestasi untuk negara. Lalu tercipta iklim, betapa keterlibatan ‘oknum’ partai dalam beberapa perbuatan tak terpuji dalam kejahatan keuangan menjadi menonjol.

KESETIAAN terhadap partai yang tak mampu dikalahkan kesetiaan kepada negara, melajur sebagai contoh hingga ke bawah. Dilakukan oleh para gubernur maupun walikota dan bupati. Dan ini tak melulu monopoli PDIP ataupun Partai Demokrat, melainkan boleh dikatakan melibatkan seluruh partai yang ada. Jika seorang tokoh naik menjadi bupati, walikota atau gubernur, atas dukungan partai, ia harus mempersiapkan diri untuk membuka keran dana melalui rekayasa proyek-proyek pemerintah dalam kewenangannya, bagi partai atau oknum partai. Ini adalah balas budi atau mungkin lebih tepat disebut membayar dan memenuhi janji konspiratif dengan partai pendukung.

Maka, sangat sulit mengharapkan partai melahirkan seorang tokoh dengan kenegarawanan. Tak ada partai yang ikhlas ‘menyumbangkan’ seorang tokoh untuk betul-betul menjadi milik rakyat. Partai-partai malah cenderung melakukan aborsi politik atas kelahiran tokoh-tokoh yang berpotensi sebagai pemimpin dengan kenegarawanan. Dianggap sudah merupakan kewajaran, bila seseorang dibesarkan oleh partai, ia pun punya kewajiban untuk balas budi membesarkan partai. Ini tentu benar, tetapi pasti ada pilihan cara untuk tidak membuat seorang tokoh sebagai ‘robot’ atau hamba partai semata. Kalau seorang tokoh berhasil menjadi presiden, gubernur, bupati atau walikota yang cemerlang dan tak hanya mengutamakan kepentingan partai pendukungnya melainkan kepentingan seluruh rakyat, bukankah nama partai yang melahirkannya juga akan terangkat dengan sendirinya?

Dalam konteks yang disebutkan terakhir di atas inilah, mungkin kita harus mengamati tokoh-tokoh yang saat ini sedang populer di mata rakyat, atau setidaknya sedang ada di medan sanjungan dan pujian saat ini. Sebutkanlah, Jokowi, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil atau beberapa nama lainnya.

Tri Rismaharini belum lama ini sempat mengeluh mengenai gangguan dan ‘tagihan-tagihan’ PDIP partai pendukungnya, termasuk dalam kaitan proyek. Sementara itu, Ridwan Kamil diprotes banyak kalangan, saat gambar dirinya digunakan oleh dua partai pengusungnya PKS dan Gerindra –dalam pemilihan Walikota Bandung yang lalu– di arena kampanye pemilihan umum legislatif yang sedang berlangsung saat ini.

Jokowi yang telah resmi dideklarasikan PDIP sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2014, memang sangat populer, bukan hanya bagi rakyat Jakarta tetapi juga di daerah lainnya. Banyak lapisan rakyat yang secara emosional sedang kecewa dengan gaya kepemimpinan di negara ini dan melihat Jokowi sebagai sosok harapan kepemimpinan baru. Pada sisi lain, Jokowi tampaknya kini sedang dituntut oleh partainya untuk ‘bekerja keras’ dan merelakan namanya dipakai untuk meningkatkan nama partai. Tapi bila pada satu momen banyak kalangan di masyarakat yang sampai pada anggapan bahwa Jokowi ternyata hanya milik partai dan sesungguhnya bukan milik dan bukan untuk mereka, entah apa yang akan terjadi. (socio-politica.com)

Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (2)

PARTAI Demokrat –yang dideklarasikan kelahirannya 19 Agustus 2001, dan kini menjelang usianya yang ketigabelas– adalah bagaikan bintang yang sebenarnya kecil tetapi sempat ‘sejenak’ bersinar sangat terang di langit yang biru. Sayangnya, mungkin kini sedang berproses menjadi sebuah bintang jatuh, kecuali ada keajaiban politik di tahun 2014 ini. Begitu banyak masalah yang melanda tubuh partai ‘milik’ SBY itu. Mulai dari perilaku korup dan mempan gratifikasi sampai kepada konflik internal –yang satu dan lain sebab diakibatkan pola rekrutmen kader dan kepemimpinan yang terkesan serba dadakan diwarnai model jalan pintas atau loncat pagar.

            Rekrutmen yang melahirkan kaum opportunis. Model jalan pintas dan atau loncat pagar seperti itu membuat sejumlah kader yang tergolong pendiri Partai Demokrat, seperti Sys NS misalnya, terpental keluar. Pola rekrutmen yang sangat terbuka dalam waktu secepat-cepatnya, dengan risiko tingginya heterogenitas, memang menjadi ciri sebuah partai (baru) yang ingin membesar dengan cepat. Partai jenis ini mau tak mau menghindari pola seleksi ketat, bahkan sebaliknya sangat cenderung secara aktif melakukan rekrutmen, khususnya terhadap tokoh-tokoh yang secara instan sudah siap, populer, punya ketokohan, punya jam terbang di organisasi maupun partai lain, atau dianggap sudah punya konstituen memadai.

JENDERAL SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. "Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial, muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus di sekitar Presiden SBY..... Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus." (download sadandunia)
JENDERAL SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial, muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus ….. Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus.” (download sadandunia)

Kelemahan utama dari suatu pola rekrutmen cepat untuk membesarkan partai, adalah turut masuknya pemburu kepentingan dan bahkan juga kaum opportunis (yang gemar pindah-pindah partai) ataupun politisi luntang-lantung. Kader-kader model seperti inilah yang biasanya menjadi pembuat masalah, karena orientasinya memang kepentingan pribadi bukan kepentingan partai, apalagi kepentingan bangsa dan negara. Kelemahan ini akan lebih diperkuat, karena partai yang ingin bertumbuh cepat, pada waktu memacu diri menyongsong pemilu memiliki kecenderungan abai dan tidak menyempatkan diri melakukan konsolidasi kualitatif.

Selain ketokohan, berlaku pula syarat lain yang tak tertulis, yakni sebaiknya sudah mapan secara ekonomi. Tapi untuk syarat khusus yang terakhir ini, pada umumnya partai gagal dalam eksplorasi maupun pemanfaatan. Para pemilik akumulasi dana, pada awalnya akan menjadi kontributor yang cukup membantu, namun tak diperlukan waktu yang lama membalikkan keadaan, partai dimanfaatkan sebagai alat mengorganisir aksi memulung proyek pemerintah dan fasilitas ekonomi lainnya. Akhirnya menimbulkan masalah. Tapi jangankan tokoh-tokoh tipe seperti ini, tokoh-tokoh hasil rekrutmen karena ketokohan di organisasi atau partai lain, atau memiliki konstituen potensil, pun bisa menjadi sumber masalah. Biasanya, karena mereka gerak cepat dalam positioning di partai barunya, cenderung terjadi friksi dengan kader yang lebih dulu masuk. Walau, untuk partai seusia Partai Demokrat, sebenarnya ‘jam terbang’ para kader relatif beda-beda sedikit saja satu sama lain.

Salah satu tokoh muda yang bergabung dengan Partai Demokrat, tetapi tidak turut serta sebagai pendiri, adalah Andi Alifian Mallarangeng. Tadinya ia berduet dengan Dr Ryas Rasjid memimpin Partai Demokrasi Kebangsaan, pada Pemilihan Umum 1999. Sempat pula menjadi anggota KPU pada pemilu tersebut, sebelum ditarik SBY sebagai salah anggota lingkaran politiknya di pemerintahan dan kemudian di tubuh partai pendukung. Sejumlah ex kader partai lain juga bergabung di Partai Demokrat, seperti Hayono Isman dan Ruhut Sitompul dari lingkungan Partai Golkar. Namun yang lebih banyak bergabung, khususnya ketika partai itu memperlihatkan tanda-tanda akan atau telah bersinar, adalah orang-orang yang sebelumnya tak begitu dikenal sepak terjangnya di dunia politik.

Tapi, paling fenomenal adalah rekrutmen Anas Urbaningrum, Ketua Umum PB HMI1997-1999. Ia tak menyelesaikan periode kerjanya di KPU (dilantik 2001) karena mengundurkan diri 8 Juni 2005. Dan langsung direkrut sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat. Momen exitnya dari KPU sungguh ‘tepat’, karena tak lama sesudahnya KPU mendapat gempuran dahsyat terkait tindakan curang dengan lekatan penyelewengan dana. Sejumlah komisioner disorot keterlibatannya dalam tindak korupsi dalam jabatan, dan beberapa di antaranya berakhir di penjara. Beberapa lainnya selamat, meski juga disorot tajam. Dalam medan rumor dan isu, rekrutmen Anas oleh Partai Demokrat dihubung-hubungkan dengan jasa tertentu yang diberikannya untuk partai tersebut selaku anggota KPU.

KALAU ada partai yang begitu miripnya dengan Golkar masa Soeharto, itu tak lain adalah Partai Demokrat. Struktur organisasinya boleh dikata menyadur struktur Golkar. Saat Partai Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung meninggalkan pelembagaan dan penamaan Dewan Pembina, justru Partai Demokrat menggunakannya dalam struktur. Bila Ketua Dewan Pembina Golkar adalah Presiden Soeharto, maka Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah menteri asal Partai Demokrat, juga ditempatkan sebagai anggota Dewan Pembina. Kepengurusannya pun menggunakan model Golkar, yaitu DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dan DPD (Dewan Pimpinan Daerah).

Tetapi celaka dua belas, sejumlah kader partai itu, terpeleset keliru meniru cara-cara penggalangan dana ala Golkar tempo dulu. Bedanya, bila penggalangan dana Golkar masa lampau lebih tersentralisir dan ketat mencegah kebocoran ke kantong pribadi fungsionaris partai, maka di Partai Demokrat berlangsung lebih ‘leluasa’ dengan berbagai improvisasi tapi rawan bocor. Kerahasiaannya pun lemah, gampang bocor. Satu persatu kader penting partai itu masuk dalam ranah penanganan KPK, mulai dari mantan Bendahara Umum Mohammad Nazaruddin, anggota DPR Angelina Sondakh sampai Ketua Umum Anas Urbaningrum dan anggota Dewan Pembina Andi Mallarangeng. Menyusul, keterlibatan atau penyebutan dugaan keterlibatan dalam berbagai kejahatan keuangan negara dari kadernya yang lain, baik yang di DPP maupun yang di DPR. Cukup banyak nama disebut, mulai dari Johnny Allen Marbun sampai yang terbaru Sutan Bathoegana. Bahkan, terkait erat dengan serial konflik internal, nama Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang lebih dikenal dengan panggilan Ibas dituding terlibat kasus Hambalang dan beberapa kasus lain oleh kelompok Anas Urbaningrum.

Pada serial konflik internal inilah, kepada publik akhirnya tersuguhkan kisah model Brutus yang di satu sisi dianggap pengkhianatan kepada Julius Caesar sang pemimpin. Tapi, di sisi lain juga bisa dianggap tindakan untuk mengakhiri penyimpangan kekuasaan sang pemimpin yang dilakukan oleh ‘anak-politik’nya sendiri. Penggunaan nama Brutus dalam konotasi “pengkhianatan”, dipinjam dari sejarah Roma klasik terkait peristiwa pembunuhan keroyokan ‘ides March’ tahun 44 sebelum Masehi oleh para Senator Roma terhadap Julius Caesar, pemimpin Republik Roma kala itu.

Menurut Theodor Mommsen, Julius Caesar –lahir 13 Juli SM, tewas 15 Maret 44 SM– adalah seorang negarawan tiada banding, creative genius satu-satunya yang dilahirkan Roma dan yang terakhir dari dunia lama. Saat terjun dalam kemiliteran, ia berhasil mengandalkan kegeniusannya untuk memecahkan berbagai masalah, kendati ia sebenarnya tak sempat terlatih secara profesional sebagai militer, karena sampai usia pertengahan tak tertarik kepada dunia kemiliteran. Saat terjun ke dunia politik –dan menjadi Konsul Roma– dihadapkan kenyataan harus berbagi dalam kekuasaan dengan para senator, diam-diam ia menjalankan berbagai upaya pelemahan Senat. Dan itu menjadi mudah karena sebagian terbesar senator kala itu sangat korup dan gampang disuap. Berikutnya, dengan memanfaatkan kaum berduit ia menjalankan politik uang, ‘membeli’ para hakim, dewan juri, sejumlah pemuka masyarakat berpengaruh, dan legiun-legiun militer. Tahun 45 SM ia menduduki posisi Konsul Ketiga dan pada tahun 44 SM diresmikan sebagai Diktator Abadi, atau penguasa seumur hidup. Tapi pada Maret tahun 44 SM itu ia tewas oleh belati Brutus dan kerumunan para senator lainnya.

Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 1998, 20 Mei, 14 menteri dari kabinet terakhir Soeharto –Ginandjar Kartasasmita dan kawan-kawan– melalui suatu pertemuan di Gedung Bappenas menghasilkan satu surat untuk disampaikan kepada Presiden, yang menyatakan menolak ikut serta dalam Kabinet Reformasi yang akan dibentuk Soeharto. Dari sudut pandang Presiden Soeharto, apa yang dilakukan para menteri itu adalah perilaku para Brutus. Pastilah Jenderal Soeharto merasa terlukai oleh mereka yang untuk sebagian terbesar justru adalah orang-orang yang di’besar’kannya. Pada hari-hari itu memang Soeharto bertubi-tubi di’luka’i oleh sejumlah ‘anak’ politik dan kekuasaannya. Berturut-turut oleh Harmoko, Jenderal Wiranto dan BJ Habibie. (Baca juga, ‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto; socio-politica.com, May 30, 2012).

Saat Presiden Soekarno dijatuhkan dalam suatu proses panjang tahun 1966-1967, adalah Jenderal AH Nasution dan Jenderal Soeharto serta sejumlah jenderal lainnya, berperan bagaikan para Brutus. Tentu, menurut perspektif Soekarno dan para pengikutnya. Dalam proses kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid, Kepala Polri Jenderal Bimantoro, Poros Tengah Amien Rais dan kawan-kawan, tokoh militer seperti Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono bersama-sama ‘balik badan’ meninggalkan dirinya. Banyak di antara yang balik badan itu kemudian diakomodir Presiden berikutnya Megawati Soekarnoputeri. Pada umumnya, semua Presiden Indonesia sama-sama pernah mengalami ditinggalkan oleh orang atau kelompok yang pernah diberinya kesempatan bersama dalam pemerintahan, justru saat berada pada momen kritis akhir riwayat kepresidenan mereka. Meski, tak selalu disebabkan sikap opportunis dari mereka yang balik badan. Kelemahan dan kegagalan kepemimpinan maupun ‘ketidaksetiaan’ seorang tokoh pemimpin atau Presiden terhadap mereka yang dipimpinnya dalam menjalankan pemerintahan, di sisi lain juga bisa menjadi penyebab terjadinya ‘pengkhianatan’.

Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial (kompasiana), muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus di sekitar Presiden SBY. Kalau kriteria tersebut yang digunakan, jumlah para Brutus itu tidak sedikit. Baik dalam pemerintahan koalisi maupun di tubuh partai pendukung SBY.

Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus. Tapi tentu, dari kelompok loyalis Anas ada ‘definisi’ dan terminologi yang berbeda. Saat Anas digusur keluar dari Partai Demokrat dan kemudian terseret dalam kasus Hambalang serta kasus berkategori korupsi lainnya, ada lontaran tentang keberadaan para Sengkuni di sekitar Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pewayangan, hanya Prabu Suyudono yang menggunakan Sengkuni sebagai penasehat.

Per saat ini, tak henti-hentinya Anas dan kelompok pendukungnya melancarkan serangan tentang keterlibatan sejumlah kader partai maupun kalangan peripher SBY –khususnya Ibas sang putera– dalam berbagai korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Publik memperlihatkan tanda-tanda percaya terhadap apa yang dilontarkan Anas dan kawan-kawan, sekalipun pada sisi lain terdapat kesangsian kuat terhadap ‘kebersihan’ Anas –yang dengan poker face nyaris sempurna selalu tampil menjawab penuh ketenangan.

PUBLIK menanti kelanjutan lakon Brutus dan Julius Caesar –belati siapa yang lebih dulu menancap– maupun lakon Sengkuni dan Suyudono di tahun 2014 ini. (socio-politica.com).

Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (1)

KENDATI memiliki banyak perbedaan kualitatif kepemimpinan, dalam sejarah perjalanan politik dan kekuasaan, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono memiliki sejumlah persamaan dengan Jenderal Soeharto. Kedua tokoh tersebut, sama-sama bermasalah dalam jalannya kekuasaan dengan Presiden pendahulu mereka. Dan ketika berada di tampuk kekuasaan, mereka memiliki pengalaman mirip, harus menghadapi para ‘Brutus’ di sekitar dirinya dalam kekuasaan mereka. Belati para ‘Brutus’ berhasil menancap di tubuh Jenderal Soeharto, sementara para ‘Brutus’ di sekitar Susilo Bambang Yudhoyono pun telah mulai mengayunkan belati-belati mereka. Ini sedang menjadi cerita aktual masa kini. Mungkin saja akan memberi luka dan perdarahan, dalam masa-masa akhir kekuasaannya maupun pasca kepresidenannya nanti.

SBY DALAM COVER FEER. "Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009."
SBY DALAM COVER FEER. “Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009.”

Jenderal Soeharto ‘bermasalah’ dengan Presiden Soekarno sejak 30 September menuju 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan semi suksesi melalui Sidang Istimewa 7-11 Maret 1966 lalu suksesi sepenuhnya pada Sidang Umum IV MPRS Maret 1967. Melalui Sidang Umum IV itu, Jenderal Soeharto diangkat sebagai Pd Presiden, setelah mandat Soekarno dicabut sepenuhnya oleh MPRS.

Abdurrahman Wahid dan Megawati. Sedang Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, berturut-turut bermasalah dengan dua presiden yang pernah menjadi atasannya, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri. Tanggal 1 Juni 2001 ia didesak mundur oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dari jabatan Menko Politik-Sosial-Keamanan, karena perbedaan penafsiran tentang keadaan darurat terkait konflik politik Presiden dengan DPR per saat itu. Menko Polsoskam itu menolak mengambil langkah-langkah khusus penertiban dan keamanan serta penegakan hukum dalam rangka Maklumat Presiden 28 Mei 2001. Dalam situasi konflik kala itu Dekrit Presiden –yang antara lain bertujuan membubarkan DPR– tak berhasil dilaksanakan karena tak adanya dukungan penuh dari institusi-institusi yang memiliki ‘kekuatan pemaksa’ seperti kepolisian dan para pimpinan militer. Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro menolak menyerahkan posisi pimpinan Polri kepada Komisaris Jenderal Chaerudin Ismail yang ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kapolri baru.

Dekrit Abdurrahman Wahid 2001 berbeda ‘nasib sejarah’ dengan Dekrit 5 Juli 1959 Soekarno yang selain didukung sejumlah partai politik besar, juga terutama ‘didukung’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution.

Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono juga kemudian bermasalah dengan Presiden Megawati –pengganti Abdurrahman Wahid– yang telah mengangkatnya sebagai Menko Politik dan Keamanan 10 Agustus 2001. Pada tahun ketiga dalam jabatan tersebut, ia merasa tak dipercaya lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. Sekitar waktu yang sama, suami Megawati, Taufiq Kiemas berkali-kali melontarkan ucapan yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap dirinya. Lebih dari satu kali ia tak lagi diundang ikut dalam rapat kabinet. Akhirnya, 11 Maret 2004 ia mengundurkan diri. Tetapi sebelum ‘meninggalkan’ Mega, sebenarnya Susilo Bambang Yudhoyono telah lebih dulu mempersiapkan ‘jalan baru’ dalam politik dan kekuasaan bagi dirinya. Lahirnya Partai Demokrat, merupakan bagian dari ‘jalan baru’ itu.

Semula, menurut cerita belakang layar yang banyak menjadi bahan perbincangan kalangan politik kala itu, pernah ada upaya menampilkan Megawati Soekarnoputeri berpasangan dengan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden-Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden secara langsung di tahun 2004. Tetapi Taufiq Kiemas –berdasarkan beberapa informasi yang diterimanya– meyakini Susilo Bambang Yudhoyono diam-diam memiliki rencana sendiri menuju kursi nomor satu, dan tidak ingin sekedar menjadi orang nomor dua. Kecaman-kecaman Taufiq Kiemas yang mengalir setelah itu ke alamat Susilo Bambang Yudhoyono ditambah koinsidensi sikap ‘keras’ dan ‘dingin’ yang ditunjukkan Megawati, menimbulkan kesan penganiayaan politik terhadap figur sang jenderal. Citra teraniaya –seperti yang pernah dialami Megawati puteri sulung Soekarno dari rezim Soeharto dan terbukti menuai simpati dan dukungan publik– ternyata juga berhasil mengangkat simpati kepada Susilo Bambang Yudhoyono.

TAHUN 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal dengan akronim SBY, berhasil memenangkan Pemilihan Presiden berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla, mengalahkan Megawati Soekarnoputeri. Padahal, dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya di tahun yang sama, partai pendukung utama SBY, Partai Demokrat, bukan peraih suara terbanyak. Sementara Muhammad Jusuf Kalla kala itu belum menjadi Ketua Umum Golkar dan Partai Golkar sendiri oleh Akbar Tandjung –Ketua Umum saat itu– diarahkan pada pilihan mendukung Megawati Soekarnoputeri. Untuk pilihan itu, Akbar harus berpisah jalan dengan beberapa rekannya yang juga menjadi tokoh teras DPP Golkar yang sama-sama mengelola ‘Golkar Baru’ pasca Soeharto, seperti Fahmi Idris dan Marzuki Darusman.

Setelah meraih kursi Wakil Presiden, Muhammad Jusuf Kalla, berhasil mengambil alih kepemimpinan Golkar melalui Musyawarah Nasional di Nusa Dua Bali, 19 Desember 2004. Meski Jusuf Kalla –seperti dikatakan Sudharmono SH– pernah berpaling ke PPP, kaum pragmatis di Golkar yang gamang bila tak terkait dengan tokoh yang punya jabatan tinggi dalam kekuasaan pemerintahan, tetap memilihnya sebagai Ketua Umum untuk periode 2004-2009. Hampir semua tokoh yang pernah dipentalkan Akbar dari DPP sebelumnya, seperti Fahmi Idris, Burhanuddin Napitupulu dan beberapa lainnya terakomodasi dalam Golkar di bawah Jusuf Kalla. Hanya Marzuki Darusman yang tak ikut.

Walau Marzuki sempat berbenturan dan beda paham dengan Akbar, sebaliknya ia tak sepenuh hati terhadap penokohan Jusuf Kalla di Golkar. Selama Munas di Nusa Dua itu, Marzuki yang juga berada di Bali sempat berkomunikasi dengan Akbar. Marzuki kala itu bahkan tampaknya masih ikut mengusahakan supaya Akbar Tandjung berlanjut sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dan bukan yang lain-lain –Wiranto, atau Jusuf Kalla. Munas Golkar di Nusa Dua, Desember 2004 –yang penuh aroma politik uang, tawar menawar dilakukan via sms, dan merupakan salah satu di antara perilaku politik yang terburuk dan vulgar di antara event serupa di tubuh Golkar– menghasilkan resultante DPP Golkar di bawah Ketua Umum Muhammad Jusuf Kalla.

MELALUI beberapa orang, agaknya Marzuki Darusman sempat mengalami jalinan komunikasi dengan SBY yang baru memenangkan kursi nomor 1 Republik Indonesia. Ini ada historinya. Bersama Fahmi dan lain-lain, dalam Pilpres 2004, Marzuki Darusman menolak pilihan politik Akbar Tandjung untuk membawa Golkar mendukung Megawati Soekarnoputeri. Dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya baru saja Golkar menggariskan kepada para kadernya untuk menempatkan PDIP sebagai saingan utama, tetapi hanya beberapa bulan setelahnya disuruh berbalik mendukung Mega dan PDIP. Sesuatu yang agaknya menurut Marzuki secara moral tak benar, walau bisa saja memenuhi kepentingan pragmatis dalam kehidupan politik yang opportunistik. Marzuki cenderung agar Golkar berjalan bersama Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat SBY sebagai presiden baru mulai menghubungi para tokoh untuk diajak ikut dalam kabinetnya, dikabarkan Marzuki Darusman termasuk yang ditemui awal. Kuat dugaan kala itu bahwa SBY akan mengajak Marzuki bergabung, seperti halnya Fahmi Idris kemudian. Dalam kenyataan, Fahmi Idris ikut dalam kabinet pertama SBY, dan Marzuki tidak. Mungkin ini merupakan sesuatu yang menarik untuk diceritakan suatu waktu, dikaitkan dengan selera SBY terhadap tokoh-tokoh yang diajaknya masuk kabinet. Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009. Tapi dalam pemilihan presiden berikutnya mereka tak melanjutkan duet, malahan bersaing.

Demi mayoritas kerja. Sebagai pemenang Pemilihan Presiden, Pemerintahan SBY yang tak punya mayoritas kerja di DPR membutuhkan koalisi, karena partai pendukungnya, Partai Demokrat, meskipun dianggap partai pendatang baru yang cukup cemerlang, kenyataannya hanya memiliki 56 dari 550 kursi DPR hasil Pemilu 2004. Partai Demokrat berada di urutan ke-4 di bawah Partai Golkar (127 kursi), PDIP (109 kursi) dan PPP (58 kursi). Hanya unggul sedikit dari PAN (53 kursi), PKB (52 kursi) dan PKS (45 kursi). Itulah sebabnya, demi mayoritas kerja dan keamanan jalannya pemerintahannya, dalam penyusunan kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono harus melakukan kompromi, membagi kursi kabinet kepada sejumlah partai. Dalam keadaan seperti itu, ia berada di ruang pilihan sempit, tak bisa menjadikan aspek kualitatif sebagai faktor dalam menentukan komposisi kabinetnya. Hak prerogatifnya terpaksa ‘dibagikan’ kepada partai-partai koalisi.

Dengan demikian, sejak awal memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak bisa sepenuhnya mengharap loyalitas utuh, karena para menterinya untuk sebagian besar punya kesetiaan yang siap sewaktu-waktu mendua. Dan situasi itu berlanjut ke dalam masa kepresidenannya yang kedua, karena tak mampu keluar dari pola kompromi. Meski mengalami kenaikan perolehan suara dalam Pemilihan Umum 2009, tetap saja Partai Demokrat tak bisa mencapai angka mayoritas kerja. Raihan suara mayoritas dalam Pemilihan Umum memang cenderung menjadi suatu kemustahilan dalam sistem banyak partai. Dalam sistem banyak partai, the art of negotiation dalam pengertian yang dinamis, konstruktif dan beretika merupakan kebutuhan melekat. Tapi malang, pengalaman empiris menunjukkan betapa kebanyakan politisi Indonesia terbukti lebih pandai bersekongkol daripada berkompromi secara wajar dan terhormat.

Apakah situasi kesetiaan mendua dalam kabinet SBY, sewaktu-waktu bisa melahirkan perilaku mirip Brutus, merupakan pertanyaan tersendiri. Sejauh ini yang pernah terjadi, ada menteri dan mantan menteri yang menyatakan kekecewaan kepada sang Presiden. Dalam posisi dan kompetensi sebagai ahli tata negara, Yusril Ihza Mahendra (tokoh PBB), pernah mempersoalkan kekeliruan administratif Presiden terkait keberlanjutan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji tahun 2009 bersamaan dengan pembentukan kabinet baru. Belum merupakan perilaku Brutus yang sesungguhnya. Namun, sedikit di luar perkiraan, para Brutus justru kemudian lahir di tubuh partai pendukung utama Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2