Oleh: Rum Aly
DALAM banyak waktu, nama dan kegiatan Rahman Tolleng kerapkali sampai ke telinga sebagian generasi baru, namun wajahnya nyaris tak ‘dikenali’ terbuka, terutama di tengah-tengah hiruk pikuk politik pasca reformasi. Akan tetapi pada sisi lain di saat yang sama sejumlah generasi muda lainnya dalam berbagai tingkat usia, sangat lekat dan intens mengikuti pikiran-pikirannya melalui beberapa forum khusus. Ini semacam misteri juga.
Dalam situasi seperti itu, pada tahun 2008 nama A. Rahman Tolleng tiba-tiba muncul dalam sebuah iklan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Terletak di urutan ketiga di antara 297 nama penandatangan. Huruf A di depan nama Rahman Tolleng adalah singkatan dari Abdul –salah satu nama awal yang lazim diberikan keluarga Islami di Sulawesi Selatan kepada anak laki-laki. Iklan tersebut berisi pernyataan bertanggal 10 Mei namun baru tampil di berbagai media nasional terkemuka pada tanggal 30 Mei 2008, sepuluh hari setelah perayaan peringatan seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional.
Peritiwa 1 Juni 2008 di Monas
Pernyataan 10 Mei 2008 ini, mengecam kekerasan yang dipraktekkan dalam kehidupan beragama, oleh sekelompok orang penganut garis keras yang dianggap mengatasnamakan umat Islam. Aliansi menganggap penganut kekerasan ini pada akhirnya “akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menghancurkan sendi kebersamaan kita.” Aliansi kala itu menyerukan agar pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an.

Bersama Rahman Tolleng, tercantum nama-nama tokoh seperti Adnan Buyung Nasution, Abdul Hakim Garuda Nusantara, A. Syafii Maarif, Amien Rais, KH Abdurrahman Wahid, Nono Anwar Makarim, Goenawan Mohamad, WS Rendra, Rizal Mallarangeng, Arief Budiman, Azyumardi Azra, Ulil Abshar-Abdalla, sejumlah Kiyai Haji dan tokoh ternama lainnya yang nyaris mewakili seluruh golongan masyarakat dan juga agama.
Pernyataan ini ternyata mendapat reaksi keras dari sebuah organisasi bernama Front Pembela Islam. Terjadi Peristiwa Monas tanggal 1 Juni 2008 bersamaan dengan peringatan Hari Lahirnya Pancasila berupa penyerangan terhadap peserta acara tersebut yang diselenggarakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Rahman Tolleng adalah salah seorang peserta acara. Satu di antara korban penyerangan adalah Guntur Romli –kini tokoh Partai Solidaritas Indonesia dan menjadi pendukung Joko Widodo– yang sampai kini tampaknya tak bisa memadamkan kemarahannya terhadap FPI.
Pada 1 Juni itu Goenawan Mohamad bertemu Rahman Tolleng di halaman depan Galeri Nasional Jakarta, yang letaknya di seberang jalan sisi barat Taman Monumen Nasional. “Orang-orang, termasuk anak-anak, berkumpul di sana. Mereka menghindar dari Taman Monumen Nasional, setelah sejumlah orang dari mereka yang sedang akan memeriahkan Hari Lahir Pancasila diserbu dan dipukuli sampai berdarah-darah oleh sepasukan orang seakan-akan hendak menunjukkan, ‘Kami Islam, sebab itu Kami berhak memukul!’. Hari itu Rahman di tengah orang-orang yang dipukuli itu. Ia tak kelihatan letih”, tulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir, Majalah Tempo, 13 Juli 2008.
Jangan tergelincir memusuhi umat dan agama Islam
Goenawan Mohammad dalam tulisan itu nyaris mendefinitifkan semacam sikap yang melekat pada kelompok Islam garis keras, melalui ‘kutipan’ kalimat pengandaian “Kami Islam, sebab itu kami berhak memukul.” Bagi Rahman Tolleng sendiri, menghadapi radikalisme di kalangan sebagian penganut Islam dan serangan terhadap kebebasan beragama (dari arah manapun), sebenarnya bukan hal baru. Itu bukan satu-satunya yang pernah dihadapi Rahman sebagai seorang yang selalu berkegiatan dalam gerakan penegakan demokrasi dan kebebasan beragama serta berkeyakinan. Sebagai Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia di tahun 1967 Rahman mengingatkan satu hal kepada saya. Agar, dalam penulisan dan pemberitaan “kita mengkritisi perilaku politik dengan pengatasnamaan Islam, tetapi bukan memusuhi umat dan agama Islam.” Jangan tergelincir.
Tak urung di tahun 2018 sepuluh tahun setelah Peristiwa Monas 1 Juni 2008, saya dibuat sedikit tercengang. Saat bertemu dengannya 28 Juli dalam acara peluncuran kesatu buku Sarwono Kusumaatmadja ‘Menapak Koridor Tengah’, Rahman mengkritisi sikap kalangan kekuasaan kini yang terlalu jauh menyudutkan umat Islam dan bahkan Islam. ”Saya menjadi bersimpati kepada Islam. Lama-lama, apakah kita harus ikut berjuang membela Islam sekali ini,” ujarnya dengan sedikit kandungan nada tanya. “Kita boleh mengecam perilaku sebagian kalangan politik Islam garis keras, tapi kita tak harus memperlakukan buruk dan menyudutkan umat Islam dan Islam, seperti sekarang ini.” Ada kalangan kekuasaan yang tergelincir.
Saya beberapa tahun bersama mengelola Mingguan Mahasiswa Indonesia dengan Rahman Tolleng dan Awan Karmawan Burhan serta beberapa kawan lainnya seperti Sarwono Kusumaatmadja. Rahman yang membimbing saya untuk mahir membuat editorial, sebelum akhirnya saya dipilih menjadi Pemimpin Redaksi menggantikannya. Sebenarnya, ada seorang senior bernama Hasjroel Mochtar yang secara pribadi saya anggap paling pantas menjadi pemimpin redaksi bila Rahman meninggalkan posisi itu. Sayangnya, Hasjroel memilih lebih dulu meninggalkan MI dan bergabung dengan Mimbar Demokrasi yang didirikan teman-teman HMI.
Selama dalam masa kerja bersama dengan Rahman Tolleng, saya menyarikan satu prinsip berharga yang kemudian selalu saya gunakan dalam penulisan: Dari kebenaran lahir keadilan. Dalam praktek sebagai pelaku pers, bila kita mendalami kebenaran masalah, maka kita bisa menulis secara adil. Kecuali hati dan pikiran kita telah menjadi busuk –entah karena godaan uang atau posisi. Sebenarnya, frasa ‘dari kebenaran lahir keadilan’ adalah dasar dari etika keilahian.
PII, tak soal ia bukan HMI
Rahman Tolleng lahir Juli 1938 di Balanipa, Sinjai, suatu kabupaten di Sulawesi Selatan yang dihuni etnis Bugis, yang berbatasan dengan Teluk Bone di sebelah Timur, kabupaten Bone di Utara, dan di sisi Selatan dan Barat berbatasan dengan dua kabupaten dengan penduduk etnis Makassar yakni Bulukumba dan Gowa. Sebagai keturunan Bugis, berlatar belakang keluarga pedagang, Rahman Tolleng ada dalam lingkungan yang taat Islam. Ibundanya adalah penganut salah satu tarekat Islam yang ketat. Secara umum, keluarga Tolleng memang adalah penganut agama Islam yang amat taat. Ayahandanya, banyak disapa dengan sebutan yang respektif di kalangan masyarakat Bugis, yakni Puang Tolleng. Orang takkan disapa puang bila tidak dihormati menurut skala sosial kemasyarakatan Bugis.
Rahman semula bersekolah di sebuah sekolah menengah pertama di Bone, tapi kemudian melanjutkan dan menyelesaikannya di SMP Jalan Maros (kini Jalan Gunung Bawakaraeng) di Makassar. Ia menyelesaikan sekolah menengah atas, juga di kota Makassar. Menjadi anggota PII –Pelajar Islam Indonesia– dan memasuki suatu organisasi kepanduan Islam.
Secara resmi, keanggotaan Rahman Tolleng di PII tak pernah ditinggalkannya, saat ke pulau Jawa di tahun 1955 bersama seorang pemuda Bugis lainnya Ahmad Nurhani – teman sekelas sejak di sekolah menengah pertama di Bone– untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi di Bandung. Ahmad Nurhani memilih untuk kuliah di Universitas Padjadjaran, masuk HMI dan sempat menjadi Ketua PB HMI di tahun 1965. Sementara itu, Rahman Tolleng sebenarnya mendapat beasiswa untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Khewan UI di Bogor (sebelum lebur menjadi IPB), tetapi lebih tertarik pada Bandung dan pindah ke jurusan Farmasi FIPA UI di Bandung yang kemudian dilebur ke dalam ITB. Akhirnya, Rahman pindah ke Fakultas Sosial Politik Universitas Padjadjaran.
Kendati adalah anggota PII, Rahman tidak menjadikan HMI sebagai pilihan. Tapi satu ketika, ia pernah memakai topi HMI, sewaktu sholat Ied di Lapangan Jalan Pasteur Bandung. Razak Latang, seorang teman sekolahnya sejak sekolah menengah pertama di Bone –yang adalah anggota HMI Bandung– yang meminjamkan topi HMI itu. Razak mengingat peristiwa itu sebagai suatu kenangan tak terlupakan. Rahman masuk Gemsos. Walaupun demikian, bagi sejumlah teman-teman lamanya di PII, ia tetap dianggap anggota dan keluarga PII, sampai sekarang. “Tak soal ia masuk Gemsos, bukan HMI seperti umumnya mahasiswa yang berasal dari Sulawesi Selatan,” ujar Razak Latang. “Bagi saya ia seorang teman yang baik dan membanggakan. Ia menjadi seorang politisi yang hebat dan idealis.” (Berikutnya di socio-politica.com/media-karya.com: Rahman Tolleng, Kisah Kandas Percobaan Struggle From Within)