Tag Archives: Pancasila

Agama dan Pancasila: Membuka Belahan Luka Lama

SIAPA bisa menduga. Mendadak terjadi sebuah silang pendapat seputar Pancasila yang seakan membuka belahan ‘luka lama’ yang pernah terjadi di sekitar momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Padahal belahan luka itu sudah dirapatkan kembali dengan sikap bijak dan jiwa besar para pendiri bangsa dan republik ini. Pertama kali langsung di awal kemerdekaan. Dan yang kedua kali, dalam momen Dekrit 5 Juli 1959 yang disampaikan Presiden Soekarno dengan dukungan persetujuan Jenderal AH Nasution dan beberapa tokoh politik Islam.

Ironis bahwa toreh ulang atas luka justru tercipta karena ucapan tak cermat seorang Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila di tahun 2020 saat tokoh-tokoh kekuasaan gencar mengkampanyekan retorika ‘Saya Indonesia Saya Pancasila’ sejak akhir Mei dan awal Juni 2017. Kendati dengan susah payah coba diluruskan kemudian oleh sang Kepala BPIP dan orang-orang pemerintahan, ucapan yang menurut Franz Magnis Suseno (18/2) adalah sembrono, yang telah terekam di kepala khalayak itu, tak bisa ‘dibersihkan’ kembali. Malah, cara klarifikasi yang dilakukan sejumlah orang yang berpretensi sebagai ‘jurubicara’ pemerintah dengan pembenaran artifisial –yang menempatkan publik sebagai awam yang bodoh-bodoh– justru menambah tingkat kejengkelan. Continue reading Agama dan Pancasila: Membuka Belahan Luka Lama

Pancasila dan Bung Karno

BANGSA ini, sebenarnya memiliki bekal berharga dari para pendiri bangsa, yakni Pancasila, sebagai filsafat dan ideologi dalam bernegara. Esensi dasar negara yang kemudian diberi nama Pancasila, disampaikan oleh beberapa tokoh pendiri bangsa dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –yang juga dikenal sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai– tanggal 29 dan 31 Mei hingga 1 Juni 1945.

Pada sidang-sidang pertama BPUPKI yang beranggotakan 62 tokoh pergerakan Indonesia menuju Indonesia merdeka, dibahas mengenai  Dasar Negara Indonesia. Anggota Mr Soepomo mengetengahkan gagasan Indonesia sebagai Negara Integralistik yang menginspirasi pilihan negara kesatuan. Sementara itu, anggota Muhammad Yamin memberikan pemaparan mengenai peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan dan kesejahteraan rakyat yang dikaitkan dengan keadilan sosial.

Pada hakekatnya, dalam pembahasan menjawab masalah dasar negara yang diajukan Ketua BPUPKI Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, beberapa aspek yang kemudian diserap sebagai sila-sila dalam Pancasila telah disampaikan oleh para pembicara dalam sidang 29 dan 31 Mei1945. Namun, menurut catatan para sejarawan, anggota Soekarno –yang hingga saat itu lebih sering disapa sebagai Bung Karno– lah yang paling jelas dan sistematik merumuskan jawaban mengenai dasar negara, yang disampaikan dalam sidang 1 Juni 1945. Soekarno memaparkan lima pokok dari apa yang dikatakannya sebagai philosofische grondslag dari Indonesia Merdeka. Lima pokok itu, berdasarkan urutan penyampaiannya, adalah dasar kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, serta keTuhanan Yang Maha Esa. Continue reading Pancasila dan Bung Karno

“APA YANG TERJADI PADA TAHUN 1965?” (2)

Oleh Hotmangaradja Pandjaitan*

Mendudukkan permasalahan. Berbagai versi pendapat dan kesaksian telah memunculkan berbagai teori tentang peristiwa sekitar tahun 1965, yang mau tidak mau, cepat atau lambat akan mempengaruhi generasi muda bangsa dalam membangun negara Indonesia yang kita cintai ini. Mendudukkan permasalahan secara proporsional dan disertai ketulusan hati untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan negara dan bangsa merupakan sikap yang mulia, oleh karena itu tidak perlu mencari pembenaran diri dengan menghalalkan segala cara.

          Disadari bahwa kesepakatan untuk membentuk bangsa dan negara Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai ideologi negara, sumber dari segala sumber hukum dan falsafah hidup bangsa telah menjadi kewajiban setiap warga negara. Oleh karena itu kita harus bijak sebagai warga negara Indonesia untuk menerima keputusan negara yang legitimate sebagai jalan hidup bangsa dan negara. Tentu, keputusan tersebut didasari oleh berbagai fakta antara lain seperti berikut ini.

*LETNAN JENDERAL HOTMANGARADJA PANDJAITAN. Putera salah satu Pahlawan Revolusi, Brigadir Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, yang menjadi korban G30S PKI pada 30 September 1965 tengah malam menuju dinihari 1 Oktober. Pasukan G30S menyerbu ke rumah kediaman di Jalan Sultan Hasanuddin, memaksa untuk membawa sang jenderal dengan alasan dipanggil Presiden Soekarno. DI Pandjaitan yang mengenakan seragam jenderal, ditembak di halaman rumahnya ketika berdiri dalam posisi berdoa. Saat peristiwa terjadi, Hotmangaradja baru berusia 12 tahun, dan ikut menyaksikan tindakan kekerasan yang menimpa ayahandanya. Mengikuti jejak ayahanda, Hotmangaradja menjadi perwira tinggi TNI dan mencapai pangkat Letnan Jenderal. Kini, purnawirawan.

          Fakta pertama, telah terjadi pembantaian terhadap personel TNI AD maupun NU oleh PKI yang memicu aksi balas dendam terhadap PKI yang pada saat itu merupakan reaksi spontan yang tidak dapat dihindari ataupun dijelaskan dengan logika normatif.

          Berikutnya sebagai fakta kedua, mereka yang meyakini kebenaran fahamnya dan tidak mau menerima Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia, membuat mereka tidak mampu berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara tetapi justru tetap berusaha melakukan koreksi dan atau berupa kritik-otokritik untuk mengevaluasi kegagalannya dengan tujuan akhir yang tetap sama yaitu meng-komunis-kan Indonesia.

          Fakta ketiga, dengan telah terjadinya gerakan untuk merubah ideologi Pancasila yang mengakibatkan terjadinya pembantaian terhadap personel TNI AD dan NU oleh PKI, maka terjadilah penghakiman terhadap pelaku-pelaku PKI berupa hukuman sebagai tahanan politik (tapol) dan selanjutnya ditindak-lanjuti dengan sikap waspada oleh seluruh bangsa Indonesia terhadap kemungkinan bangkitnya kembali faham komunis di Indonesia yang disebut ‘bahaya laten komunis’. Harus diakui bahwa implementasi dari sikap waspada masyarakat secara langsung maupun tidak langsung tersebut ternyata telah menimbulkan ekses diskriminasi hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia terhadap pihak-pihak yang terkait.

          Pada saat ini para pelaku G30S/PKI telah mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya, sudah seharusnya bangsa Indonesia menatap masa depan bangsa yang lebih cerah dengan kearifan. Walaupun dengan tetap harus disertai sikap waspada terhadap bahaya laten komunis. Pertentangan dalam percaturan dunia politik untuk memperjuangkan tujuan politik golongannya selalu dihadapkan pada kemungkinan menang atau kalah. Bila ternyata kalah, maka hal tersebut merupakan konsekwensi logis yang tidak perlu terus menerus dipersoalkan, terlebih dengan mengutak-atik sejarah untuk mencari pembenaran diri atas apa yang telah diperbuat di masa lalu. Justru seharusnya sebagai penggiat politik, mengedepankan sikap mendukung politik negara dan bahu membahu membangun bangsa dan negara berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

          Sikap tidak dapat menerima kenyataan “telah gagal atau kalah” inilah yang selama ini justru menghalangi dan meracuni anak bangsa yang ingin kembali mengakui Pancasila dan secara tulus ingin berjuang demi bangsa dan negara Indonesia.

Solusi kearifan menatap masa depan

          Melansir pernyataan Bung Karno, Indonesia hanya butuh pemuda dan pemudi bersemangat membangun negeri untuk menjadi bangsa yang besar (Soebandrio, hal. 2) Sikap nasionalis anak bangsa untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 senantiasa harus konsisten semenjak berdirinya negara Indonesia. Harus disadari bahwa bahaya laten komunis saat ini telah menyusupi generasi ketiga pelaku G30S/PKI karena pada setiap alih generasi selalu dilaksanakan estafet pengkaderan PKI dengan berbagai cara dan seleksi untuk meneruskan perjuangan mereka mereka dalam mengkomuniskan Indonesia.

          Dengan kenyataan kondisi kehidupan bangsa yang lebih baik saat ini, ternyata tidak semua generasi keturunan PKI sepaham dengan pendahulunya. Banyak di antara mereka yang sadar akan pentingnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan satu ideologi yaitu Pancasila.

Tulisan ini diangkat dari buku Symptom Politik 1965 (Kata Hasta Pustaka, 2007), dengan sediki peringkasan yang tak merubah makna.

          Bagi anak bangsa yang telah sadar tersebut, harus diterima dengan arif agar dapat terjadi rekonsiliasi yang tidak menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan kewaspadaan yang tetap tinggi terhadap bahaya laten komunis. Untuk menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik dan mencegah agar lembaran hitam pemberontakan G30S/PKI tidak terulang kembali, maka bangsa Indonesia harus mengambil sikap tegas.

          Pertama, pengakuan bahwa gagasan maupun perbuatan PKI untuk meng-komunis-kan Indonesia jelas adalah salah.

          Kedua, Pancasila diakui sebagai satu-satunya ideologi negara.

          Rekonsiliasi dengan dua persyaratan minimal tersebut merupakan niat tulus yang perlu ditindaklanjuti untuk mempersatukan kembali anak bangsa dalam membangun kehidupan bangsa dan negara yang kita cintai ini (socio-politica).

‘Hantu’ PKI dan Filsafat Marxis Kontemporer

MENJELANG 52 tahun Peristiwa 30 September 1965, banyak disebutkan tentang gejala neo-komunisme. Apakah ideologi itu masih ada dan akan tumbuh kembali dalam berbagai wujud baru? Secara spesifik untuk konteks Indonesia bahkan mengemuka diskursus tentang kemungkinan bangkitnya kembali PKI. Selasa malam 19 September 2017, melalui tvOne, Indonesia Lawyers Club memilih tema pembahasan yang mempertanyakan apakah PKI itu nyata atau hantu?

Ada yang menyatakan PKI itu adalah hantu yang sekaligus juga nyata. Namun –seperti halnya diskursus yang berlangsung di masyarakat beberapa tahun terakhir– ada juga yang menyebutkan komunisme adalah ideologi yang sudah rontok. Salah satunya, budayawan Goenawan Mohammad. Dalam sebuah wacananya ke publik ia menggambarkan ‘kematian’ komunisme dengan mengutip Alexander Solzhenitsyn, “Bagi kami di Rusia, komunisme itu anjing yang mati.”

MARZUKI DARUSMAN. “Kita tidak terampil menanggapi dimensi-dimensi baru ideologi, khususnya yang terkait dengan komunisme.”

Betulkah komunisme sudah mati? Rontok dalam kekuasaan, mungkin, ditandai oleh bubarnya Uni Sovyet, kembali menjadi keping-keping banyak negara seperti semula. Tapi bisakah ideologi mati begitu saja? Di China daratan, meski sepak terjang dalam kehidupan ekonominya sudah kapitalistis, tetapi ideologi politiknya tidak ikut mati.

Terlepas dari itu semua, kelihatannya tak banyak orang mengikuti wacana yang terbuka di dunia internasional tentang perkembangan komunisme, mengenai ideologi, maupun mengenai kapitalisme dan sebagainya. “Ini membuat kita tidak terampil menanggapi dimensi-dimensi baru ideologi,” kata Marzuki Darusman dalam suatu percakapan, “khususnya yang terkait dengan komunisme.”

Sebenarnya terdapat informasi dan pengetahuan baru bahwa komunisme sebagai ideologi saat ini sedang mencari penjelmaan baru melalui tokoh-tokoh cendekiawan dunia seperti Slavoj Žižek, peneliti senior sosiologi di Universitas Ljubljana, Slovenia.

Žižek mencanangkan suatu masa depan dengan ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau. Ia menggunakan filsafat Marxis kontemporer dengan pendekatan kultural, dan menjabarkan diri sebagai kiri radikal yang mengkritisi neo liberalisme. Jadi, memang ada upaya untuk merehabilitasi komunisme di lingkungan cukup terpandang di kalangan intelektual dunia sekarang. Akan tetapi bila kita tak mengikuti prosesnya dengan cermat, kita tak akan mengerti bahwa proses pencarian itu bukan serta merta merupakan tiruan ideologi komunisme masa lalu.

“Karena kaitan tugas di PBB, saya misalnya juga harus mengamati perkembangan di Korea Utara. Negara itu tidak mengklaim dirinya sebagai negara dengan sistem sosialis apalagi komunis. Mereka mengklaim dirinya sebagai negara dengan ideologinya sendiri, dan tidak lagi menggunakan label komunisme,” kata Marzuki Darusman. Tapi sistem yang diterapkan di Korea Utara selama ini adalah sistem yang ekstrim, yang sama dengan sistem Stalinis di Rusia masa lampau. Katakanlah, komunisme dengan Stalinisme. Tapi, tidak persis seperti itu sebenarnya. Sistem totaliter yang dulu diterapkan di Uni Soviet, lebih tepat disebut sebagai Stalinisme –yang kini sudah runtuh. Stalinisme adalah bentuk komunisme yang degeneratif, yaitu komunisme yang menjelma menjadi terpusat pada kultus personalitas. Sepuhannya kala itu mungkin komunisme, tapi hakekatnya adalah Stalinisme, sama dengan Maoisme di China.

SLAVOJ ZIZEC. “Ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau.”

Perlu mencoba membuka ufuk pemikiran baru, untuk lebih mewacanakan secara tenang dan tidak tergopoh-gopoh bertindak menghadapi fenomena baru itu. Apakah itu untuk mencegah atau untuk membela diri, karena kedua-duanya sama-sama tidak menyelesaikan soal. Lebih penting sekarang dalam konteks Indonesia adalah bagaimana bisa melakukan hal-hal berharga untuk ke depan ini. Bukan sebatas berslogan mencegah terjadinya pengulangan dari peristiwa seperti yang terjadi pada September 1965. Untuk itu harus kritis. Sama pentingnya tentu adalah jangan sampai terjadi pengulangan masa Soekarno tahun 1960-1965 maupun pengulangan Orde Baru.

Menyikapi fenomena ideologis tidak bisa hanya dengan sikap marah-marah, melainkan dengan membangun barikade pemikiran yang bersumber pada ideologi nasional, yaitu Pancasila. Di sinilah agaknya kita tertinggal, sehingga seringkali menghadapi komunisme semata-mata sebagai hantu. Tidak sebagai suatu tantangan dalam konteks ideologi bangsa, misalnya dalam kaitan berkembangnya filsafat Marxis kontemporer. Salah seorang tokoh penggagas pembaharuan politik Indonesia Dr Midian Sirait (almarhum), melalui bukunya yang diterbitkan bertepatan dengan usianya 80 tahun, pernah mengajukan perlunya revitalisasi Pancasila. Tapi mungkin, jalan yang lebih tepat lagi, seperti diajukan Marzuki Darusman, adalah ideologisasi lanjut dari Pancasila. Meski, proses itu tidak bisa berlangsung sekejap dan instan. Memerlukan waktu, dan memerlukan juga proses kecendikiawanan (socio-politica).

Tanda Tanya Sejarah Seputar Lahirnya Pancasila dan Soekarno

BERHARI-HARI lamanya terjadi gelombang kritik dan bullying di media sosial sejak Presiden Joko Widodo ‘salah ucap’ di Blitar 1 Juni 2015 dalam acara peringatan ‘lahir’nya Pancasila, tentang tempat kelahiran Bung Karno tahun 1901. Joko Widodo mengatakan, “Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran Bung Karno, hati saya selalu bergetar.” Padahal, menurut catatan sejarah, tempat kelahiran Soekarno yang sebenarnya adalah Surabaya. Dengan tujuan ‘membela’ kekeliruan penyebutan itu, ada saja yang berakrobat mencoba mengaburkan persoalan dengan berbagai cara. Antara lain, mengatakan perlunya diteliti lebih lanjut data sejarah yang kurang jelas mengenai tempat kelahiran Soekarno. Tapi apanya yang tidak jelas? Terdapat begitu banyak sumber data sejarah menyebutkan Surabaya sebagai tempat kelahiran Bung Karno.

Dalam buku  Bung Karno Penyambung  Lidah Rakyat –edisi bahasa Indonesia dari buku Soekarno, an Autobiography as Told to Cindy Adams, The Bobbs-Merril Company Inc, New York 1965– Soekarno bertutur mengenai kisah rumit perjodohan dua orangtuanya yang berbeda daerah asal, Jawa dan Bali. Karena ada ketidaksetujuan terhadap perkawinan beda agama antara Raden Sukemi Sosrodihardjo dengan Idayu –ayah dan ibu Soekarno– pasangan itu harus meninggalkan Bali. Dan karena Raden Sukemi “merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan di sanalah putera sang fajar dilahirkan,” tutur Soekarno. Bertepatan waktu dengan “Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus.”

SOEKARNO SUNYI SEPI SENDIRI. "Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini....." (Karikatur Harjadi S, 1966)
SOEKARNO SUNYI SEPI SENDIRI. “Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini…..” (Karikatur Harjadi S, 1966)

            Dengan terjadinya polemik, beberapa pengamat, politisi dan media, menyarankan  perlunya pemerintah meluruskan sejarah Bung Karno. Sepanjang menyangkut tempat dan tanggal lahir Soekarno yang sudah jelas, tentu tak perlu ada pelurusan sejarah lebih lanjut. Persoalannya telah dibuat sederhana, ketika Sunardi Rinakit –seorang peneliti yang pernah jadi tim relawan Jokowi dan belum lama ini diangkat sebagai Komisaris Bank Tabungan Negara tapi ditolaknya– tampil mengambil alih tanggung jawab kekeliruan. Ia mengakui dirinyalah sumber data Blitar sebagai tempat lahir Bung Karno. Akan tetapi, bilamana yang dimaksudkan adalah data sejarah seputar Soekarno secara keseluruhan, memang diperlukan banyak pelurusan berbagai peristiwa sejarah melalui pencarian kebenaran secara bersungguh-sungguh.

            Setidaknya ada tiga peristiwa sejarah yang besar dan berkategori penting menyangkut Soekarno yang masih memerlukan penelusuran lebih jauh, akibat banyaknya kontroversi maupun pencatatan artifisial –dan mungkin saja manipulatif. Kebenarannya kita perlukan bersama sebagai bangsa, untuk mencegah kesesatan sejarah yang berkepanjangan. Ketiga peristiwa itu, adalah mengenai tanda tanya kapan sebenarnya Pancasila atau gagasan Pancasila lahir, teka teki seputar momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan misteri peranan sesungguhnya dari Soekarno di sekitar Peristiwa 30 September 1965. Fokus tulisan kali ini adalah mengenai Pancasila, meski dua tanda tanya sejarah lainnya tak kalah menariknya untuk kembali dibahas pada suatu waktu.

            Hari ‘Lahirnya Pancasila’.  Selama ini, tanggal 1 Juni selalu dinyatakan dan dirayakan sebagai hari Lahirnya Pancasila. Ini dikaitkan tampilnya Ir Soekarno di depan sidang BPUPKI –Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia– pada tanggal tersebut dengan acara pembicaraan lanjutan tentang dasar negara Indonesia. Dalam pidato itu Ir Soekarno menawarkan 5 prinsip untuk dijadikan dasar negara, yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dilengkapi prinsip Ketuhanan. “Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula,” demikian Soekarno. “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa. Namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”

            Tak berhenti hingga di situ, Soekarno menawarkan lebih lanjut, “Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja.” Lalu Soekarno menyatukan prinsip kebangsaan dan internasionalisme (peri kemanusiaan) menjadi socio-nationalisme, sedang prinsip demokrasi dan kesejahteraan menjadi socio-democratie. Dan keTuhanan menjadi yang ketiga. Dinamai Soekarno sebagai Trisila. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia, yaitu perkataan Gotong Royong…. Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila…. Tetapi terserah tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih….”

            Beberapa hari sebelumnya, 29 Mei 1945, Muhammad Yamin, telah lebih dahulu menyampaikan 5 pokok gagasan, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri keTuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. Namun Yamin tidak memberi penamaan spesifik terhadap gagasan yang diutarakannya. Sementara itu, Soepomo yang berbicara dalam sidang BPUPKI 31 Mei, lebih fokus kepada masalah bentuk negara yang akan didirikan. Pada umumnya, para peneliti tentang sejarah kelahiran Panca Sila selalu bertitik tolak pada pidato Ir Soekarno 1 Juni 1945. Tetapi penyebutan bahwa Pancasila lahir 1 Juni 1945, barulah dinyatakan pada tahun 1947 dengan penamaan pidato Soekarno pada tanggal tersebut sebagai “Lahirnya Pancasila”.

            Muhammad Yamin berbeda pendapat tentang hari ‘Lahirnya Pancasila’. Ia menyebut Pancasila lahir 22 Juni 1945, bersamaan dengan Piagam Jakarta. Sewaktu menjadi Menteri PPK, pada 22 Juni 1955 ia merayakan Hari Lahirnya Pancasila di kementerian yang dipimpinnya itu. Menurut catatan Aldy Anwar seorang tokoh 1966 dari Bandung, dalam acara itu Yamin menyampaikan hal-hal berikut. “Pada tanggal 22 Juni 1945 lahirlah di Gedung Pegangsaan Timur 56 di ibukota Jakarta, ajaran dan dasar negara Indonesia menurut keinginan untuk merdeka dan sesuai dengan tinjauan hidup bangsa Indonesia. Ajaran itu adalah Pancasila. Yang merumuskannya adalah 9 orang pemimpin Indonesia…. Ajaran Pancasila yang asalnya dari 9 orang yang disebut Piagam Jakarta, umurnya 6 hari lebih tua dari Piagam PBB yang dituliskan di San Fransisco.” Aldy menyimpulkan, “jadi Muhammad Yamin menganggap Piagam Jakarta sebagai penjelmaan dan tempat lahirnya Pancasila.” Namun dalam bukunya di tahun 1960 “Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia” Yamin memberi arah pandangan yang sudah berbeda. “Tanggal 1 Juni 1945 dianggap oleh Republik Indonesia sebagai tanggal lahirnya ajaran Pancasila, dan Bung Karno diterima sebagai penggalinya. Pernah ajaran itu dirumuskan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945…”

            Siapa Penggali Pancasila? Dalam buku tersebut, Muhammad Yamin selanjutnya di halaman lebih belakang menulis “Ajaran Pancasila ialah hasil pengolahan dan penggalian orang Indonesia di bidang tinjauan hidup yang melakukan peninjauan kerohanian orang Indonesia dalam menyusun perumusan negara Republik Indonesia. Bung Karno menyiarkan hasil penggalian itu dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di kota Jakarta.” Aldy Anwar menyimpulkan, jelas Muhammad Yamin membedakan antara orang yang mengolah dan menggali –yang tak pernah disebutkan namanya, termasuk oleh Soekarno sendiri– dengan orang yang menyiarkan hasil penggalian, yakni Soekarno.

Pada peringatan Lahirnya Pancasila, Juni 1958, Soekarno masih menegaskan “saya bukan pembentuk atau pencipta Pancasila, melainkan sekadar salah seorang penggali daripada Pancasila.” Tetapi setelah itu Soekarno lebih sering menyebutkan diri sebagai penggali dan penerima ilham dari Tuhan mengenai Pancasila nyaris tanpa menyebutkan lagi adanya peranan tokoh lain di luar dirinya.  

Dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat ia menuturkan ‘pengalaman spiritual’nya menjelang pidato 1 Juni. “Di malam sebelum ku berbicara aku berjalan ke luar di pekarangan rumah kami. Seorang diri. Dan menengadah memandangi bintang-bintang di langit. Aku kagum akan kesempurnaan ciptaanNya. Aku meratap perlahan dalam dadaku karena besok aku akan menghadapi detik bersejarah dalam hidupku ‘Dan aku memerlukan bantuanMu. Aku sadar, bahwa buah pikiran yang akan kuucapkan bukanlah kepunyaanku. Engkaulah yang membeberkannya di mukaku. Engkaulah yang memiliki daya-cipta. Engkaulah yang membimbing setiap napas dari kehidupanku. Turunkanlah pertolonganMu…. KepadaMu kumohon pimpinanMu, kepadaMu kupohonkan ilham guna di hari esok.”

Dalam pidato 1 Juni 1964 –saat memperingati 19 tahun Lahirnya Pancasila– ia juga menuturkan pengalaman spiritualnya yang lebih eskalatif di malam menuju 1 Juni 1945. “.. Tengah-tengah malam yang keesokan harinya saya diharuskan menyiapkan pidato giliran saya, saya keluar dari rumah Pegangsaan Timur 56…… Saya keluar di malam yang sunyi itu dan saya menengadahkan wajah saya ke langit, dan saya melihat bintang gemerlapan, ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu,” demikian ia bercerita. “Pada saat itu dengan segala kerendahan budi saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa: ‘Ya Allah, ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku apa yang besok pagi akan kukatakan’…. Sesudah aku mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saya merasa mendapat petunjuk. Saya merasa mendapat ilham. Ilham yang berkata: ‘Galilah apa yang hendak engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri’. Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini…..” Jadi, ilham itu datang pada malam menjelang 1 Juni.

Tempat dan momen yang berbeda. Tetapi soal momen datangnya inspirasi, menjadi membingungkan ketika pada kesempatan lain Soekarno menyebutkan tempat dan waktu yang berbeda sebagai momen turunnya ilham itu.

Masih dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Ir Soekarno bercerita “Di Pulau Flores yang sepi tidak berkawan aku telah menghasilkan waktu berjam-jam lamanya merenung di bawah pohon kayu. Ketika itulah datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.” Pada alinea sebelumnya, Soekarno menggambarkan bahwa sebenarnya ia telah enam belas tahun lamanya mempersiapkan soal dasar negara yang akan disampaikannya di depan BPUPKI. “Dalam kuburanku yang gelap di Banceuy, maka landasan-landasan tempat republik di suatu waktu akan berpijak sudah mulai tampak dalam pikiranku.” Banceuy adalah penjara bersejarah di Bandung, tak jauh dari alun-alun. Kini bangunan penjara itu telah tersapu dan menjadi kompleks rumah pertokoan sejak puluhan tahun lalu, tak lama setelah tumbangnya rezim Soekarno.

SAATNYA meluruskan satu per satu persoalan-persoalan sejarah dalam konteks kebenaran, sebelum kebenaran itu sendiri tersapu total dalam sejarah karena kepentingan politik dan pencitraan ketokohan. Dengan kebenaran sejarah, bangsa ini lebih berpeluang terhindar dari berbagai kesalahpahaman yang menyesatkan dan melanggengkan disintegrasi: Tentang Soekarno, tentang Soeharto, Peristiwa 30 September 1965 dan sejumlah peristiwa lainnya. (socio-politica.com)

Partai Golkar, Kisah Intervensi Berbalut Kain Sutera

BULAN Desember menjelang tutup tahun 2014, kepada publik tersaji serial berita tentang dua versi kepengurusan tingkat pusat Partai Golkar, yakni hasil Munas IX di Bali dan hasil Munas tandingan di Ancol Jakarta. Dua-duanya menyatakan diri sesuai konstitusi partai. Tapi bagaimana pun, sepanjang ketentuan yang ada dalam konstitusi partai tersebut, mustahil terjadi dua kebenaran sekaligus. Karena, apakah mayoritas DPD Golkar yang tersebar di 34 provinsi, 412 kabupaten, 98 kota (dan kota administratif) sebagai pemilik suara terpenting dan menentukan, masing-masing telah menghadiri Munas Golkar IX di Bali lalu juga menghadiri Munas di Ancol Jakarta? Maka, pasti ada satu di antaranya yang palsu. Dan semestinya sama sekali tidak sulit memverifikasi kebenaran di antara kedua Musyawarah Nasional itu.

LAMBANG BERINGIN GOLKAR. "Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara."
LAMBANG BERINGIN GOLKAR. “Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara.”

Meski seringkali menjengkelkan untuk melihat perilaku akrobatik yang kerap beraroma otoriter dari sejumlah tokoh Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, tak boleh tidak harus diakui bahwa Munas Golkar di Bali yang harus dianggap sah karena praktis dihadiri oleh DPD-DPD yang sah dari seluruh Indonesia. Sebaliknya, tidak sulit untuk melihat bahwa Munas di Ancol adalah artifisial, bersifat mengakali konstitusi partai. Tapi pemerintahan Jokowi yang diwakili dalam hal ini oleh Kementerian Hukum dan HAM, mengambil sikap sangat abu-abu.

Pers mengutip Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly –seorang tokoh PDIP– yang mengatakan (16/12) “Setelah kami pertimbangkan, dari semua aspek, yuridis, fakta, dan dokumen, kami menyimpulkan bahwa masih ada perselisihan yang seharusnya Kementerian Hukum dan HAM tidak boleh mengintervensi….” Dan dengan anggapan adanya perselisihan, pemerintah lalu menyarankan penyelesaian internal melalui Mahkamah Partai. Tapi saran pemerintah ini pada hakekatnya hanya memperpanjang dan memperlama fase pertengkaran di tubuh partai papan atas ini. Sepintas sikap pemerintah adil dan bijaksana, tapi implikasinya sebenarnya adalah menciptakan nafas lanjutan dan kesempatan bagi kelompok ‘Munas Ancol’ Agung Laksono dan kawan-kawan untuk tetap menjadi faktor. Baik untuk membangun eksistensi mereka secara formal, maupun setidaknya untuk punya standing dalam suatu proses islah.

Intervensi terselubung. Menjadi pengetahuan publik, bahwa kekisruhan di tubuh Golkar secara pragmatis hanya akan menguntungkan koalisi partai-partai pendukung kekuasaan dan pemerintahan Jokowi-JK dalam konteks mematahkan supremasi KMP di lembaga legislatif. Makin panjang kisruh itu makin bagus bagi the ruling parties. Siapa tahu, hasil akhirnya nanti adalah sebuah Golkar yang pro kelompok berkuasa dalam kekuasaan pemerintahan negara saat ini. Dan cukup banyak kaum opportunis di tubuh partai itu siap ‘dimainkan’ sebagai pemegang peran antagonis.

KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. "Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera."
KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. “Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera.”

Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmuziy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera. Kenapa intervensi di PPP dilakukan tanpa ragu, tak lain karena menganggap posisi kubu Suryadharma Ali sedang terpojok secara internal maupun eksternal. Tuduhan korupsi di Kementerian Agama yang sedang mengarah ke Suryadharma Ali melemahkan posisi dan penilaian integritasnya dalam opini publik. Sebaliknya, intervensi ke Partai Golkar dilakukan lebih berhati-hati, karena adalah fakta bahwa secara internal kubu Aburizal Bakrie memang cukup kokoh berkat dukungan seluruh DPD –terlepas dari soal bagaimana cara dukungan itu diperoleh– dan legal formal pasti lebih konstitusional. Maka Menteri Hukum dan HAM tak ‘berani’ untuk secara langsung memaksakan memberi pengakuan keabsahan kepada kubu Munas Ancol bila tidak ingin mengalami efek bumerang dalam opini publik. Namun, di sisi lain ada kepentingan khusus yang harus disandarkan kepada keberadaan kubu Munas Ancol itu. Maka pilihannya, adalah sikap abu-abu.

Secara khusus bagi Jusuf Kalla, bila Partai Golkar bisa dikuasai oleh unsur-unsur kelompok Ancol, itu akan mengamankan bargaining position dirinya dalam percaturan politik di tubuh kekuasaan dalam lima tahun ke depan. Diakui atau tidak, sebenarnya kebersamaan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam satu perahu kekuasaan, lebih bersifat ‘perkawinan’ taktis dengan segala kepentingan politis demi kekuasaan daripada bersatu atas dasar kesamaan strategis demi idealisme untuk bangsa.

Involusi dan molekulisasi. PERTENGKARAN internal –yang sering diperhalus secara sesat dengan terminologi “dinamika partai”– pasca Soeharto, bukan sesuatu yang baru di tubuh organisasi politik dengan sejarah yang cukup panjang ini. Akan tetapi baru sekali ini Golkar mengalami suatu pertengkaran yang menciptakan situasi ‘seakan-akan’ terjadi kepengurusan ganda. Dan ini adalah kali pertama ada kelompok bertindak terlalu jauh, menyelenggarakan Munas tandingan dan melahirkan DPP tandingan. Menjelang Pemilu 2004 tokoh Golkar Marzuki Darusman-Fahmi Idris dan kawan-kawan sempat berbeda pendirian dengan Ketua Umum Akbar Tandjung yang berujung pemecatan. Hanya saja, Marzuki dan kawan-kawan tidak memilih jalan menyelenggarakan Munas dan DPP tandingan yang bisa menyebabkan kehancuran partai.

Namun setelah itu terjadi sejumlah fenomena baru. Dalam beberapa peristiwa, sejumlah tokoh yang kecewa terhadap Golkar –misalnya kalah dalam konvensi Golkar maupun pemilihan kepemimpinan organisasi tersebut atau gagal menjadi presiden dengan dukungan Golkar– meninggalkan Golkar untuk mendirikan partai baru. Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, Wiranto mendirikan Partai Hanura dan belakangan Surya Paloh mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasdem yang kemudian menjelma sebagai partai Nasdem. Sebelumnya, di awal pasca Soeharto Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjad mendirikan PKPI. Setiap tokoh partai-partai baru itu, menjalankan pola mirip transmigrasi bedol desa, membawa serta para pendukungnya meninggalkan Golkar. Partai Demokrat pun sebenarnya, untuk sebagian dibangun dan diisi oleh tokoh-tokoh yang tadinya adalah bagian dari Keluarga Besar Golkar –misalnya dari jalur A, maupun tokoh-tokoh eks Golkar lainnya.

Fenomena baru pasca Soeharto ini, mungkin tepat disebut sebagai proses involusi, semacam degenerasi yang lebih jauh bisa saja suatu waktu menjadi molekulisasi Golkar. Ini semacam pembalikan terhadap apa yang terjadi di tahun 1964 saat tak kurang dari 291 organisasi bercorak kekaryaan berhimpun membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Dan menjelang Pemilihan Umum 1971, Sekber Golkar berhasil merampingkan pengorganisasiannya namun dengan kuantitas akar rumput yang lebih luas di masyarakat. Pada saat akan memasuki tahun Pemilu 1971 itu pula Golkar berhasil mengajak sejumlah kalangan generasi muda pergerakan tahun 1966 dan kelompok-kelompok cendekiawan independen untuk memperkuat Golkar secara kualitatif. Ketertarikan generasi muda dan kalangan cendekiawan itu, terutama karena pada pasca Soekarno itu Golkar lah satu-satunya alternatif kekuatan politik yang tidak ideologistis dan hanya bersandar pada ideologi Pancasila di antara kerumunan partai ideologis lama. Dan yang paling penting, Golkar mampu menyodorkan konsep yang menjanjikan pembaharuan sosial dan pembaharuan kehidupan politik. Bahwa di kemudian hari sebagian besar janji pembaharuan tak terwujud, itu suatu persoalan yang pada waktunya perlu dikupas tersendiri.

Tiga dimensi dan pergaulan politik klik. TIGABELAS tahun setelah 1971, saat Golkar berusia 20 tahun, ahli politik terkemuka Dr Alfian memberi penilaian bahwa hingga per waktu itu Golkar masih terpaku pada penekanan dimensi preventif dalam kehidupan perpolitikan. Trauma politik di masa lampau membuat langkah-langkah preventif seolah menjadi obsesi Golkar. Tragedi politik pra Orde Baru, menyebabkan Golkar khawatir terhadap segala bentuk ancaman. Golkar cemas kalau-kalau muncul ideologi baru di luar Pancasila. Padahal, selain dimensi preventif, ada dua dimensi lain yang harus juga diberlakukan bersamaan secara proporsional, yaitu dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan dan pengembangan. Jangan ada satu dari ketiga dimensi ini yang mendapat penekanan berlebihan (Media Karya, edisi 20 Tahun Golkar, Oktober 1984).

Tetapi sejarah menunjukkan, sengaja atau tidak, sepanjang masa kekuasaan Soeharto yang adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dimensi preventif selalu menjadi warna utama politik Golkar dan Soeharto sendiri. Dalam periode Ketua Umum Sudharmono SH dan Sekjen Sarwono Kusumaatmadja, cukup terlihat ada upaya untuk juga memperhatikan dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan tersebut di tubuh Golkar. Antara lain dengan gerak kaderisasi besar-besaran serta penerapan stelsel keanggotaan aktif –dimulai dengan pemberian KAG (Kartu Anggota Golkar) dan NPAG (Nomor Pokok Anggota Golkar). Terhadap kader diberlakukan saringan kualitatif melalui kriteria PDLT –prestasi, dedikasi, loyalitas, tidak tercela– dalam penempatan atau penugasan, misalnya saat akan mengisi posisi anggota legislatif atau posisi fungsionaris partai. Namun fakta empiris memperlihatkan, betapa perhatian terhadap dimensi pemeliharaan dan dimensi pembaharuan tak cukup berlanjut di masa-masa berikut, terutama di masa Harmoko memimpin partai. Harmoko lebih mengejar aspek kuantitatif berupa pencapaian prosentase tinggi kemenangan Golkar dalam pemilu.

Penerapan PDLT, terutama menjelang Pemilu 1987, sering harus berhadapan dengan perilaku nepotisme yang terjadi di tiga jalur Golkar –ABG yang terdiri dari jalur A (Abri), jalur B (Birokrasi) dan jalur G (Golkar) sendiri. ‘Pertarungan’ sengit terjadi dalam tiga tahap penyusunan daftar calon tetap untuk pengisian posisi legislatif, khususnya di tahap akhir. Hingga sejauh yang bisa terlihat saat itu, kriteria PDLT cukup bisa membatasi keberhasilan nepotisme kendati di sana-sini tetap juga terjadi sejumlah kompromi. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, terutama menjelang Pemilu 1997, warna nepotisme menjadi corak yang menonjol. Lahir misalnya plesetan AMPI menjadi Anak-Mantu-Ponakan-Isteri atau yang semacamnya, yang pada intinya menyindir penempatan-penempatan berdasarkan hubungan kekerabatan dan atau klik. Kasat mata, satu keluarga bisa berkumpul di lembaga legislatif. Tetapi soal klik, lebih sulit diukur, walau sangat terasa. Ini menular hingga ke masa-masa berikutnya, bahkan hingga di masa reformasi dan sesudahnya. Maka Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung dan Golkar berikutnya di bawah Muhammad Jusuf Kalla maupun Aburizal Bakrie, suka atau tidak, dengan sendirinya ‘harus’ terbiasa dengan ‘pergaulan politik klik-klikan’.

Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara. Di sini, partai hanyalah ibarat sebuah kendaraan tumpangan yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan bila menemukan kendaraan lain yang lebih sesuai dan nyaman untuk kebutuhan per suatu saat. Dan atau sebaliknya.

Akal sehat dan ‘Golkar Putih’. Dalam konteks pertengkaran internal –dengan jalinan faktor eksternal– yang melanda Partai Golkar saat ini di dua kubu, harus diakui terdapat peran politisi akrobatis dan oportunis. Peran mereka ternyata tidak kecil. Satu dan lain hal, inilah yang membuat situasinya berbau sangat tidak sedap. Politisi akrobatis dan oportunis ini di satu sisi bisa menjadi sumber keruntuhan partai, namun di sisi lain harus diakui bahwa pada saat yang sama mereka juga mempunyai kemampuan luar biasa dalam berkompromi. Maka, harus menanti sisi mana yang akan bekerja. Kelompok akal sehat yang dulu sering disebut sebagai ‘Golkar Putih’, mungkin lebih pantas diharapkan kehadirannya kembali untuk berperan. Tetapi kalaupun pada akhirnya kompromi tercapai, atau penyelesaian hukum yang baik dan benar tercapai, masa depan Golkar tetap terselaput tanda tanya selama Golkar tak berhasil mengatasi kehadiran dan peran para politisi akrobatis dan oportunis di tubuhnya. (socio-politica.com)

Dari Dua Semarak ‘Pesta’: Angan-angan Akar Rumput dan Kemakmuran Elite

DALAM momen yang berdekatan di bulan Oktober 2014 ini, terjadi dua ‘pesta’ yang semarak.

Pertama, 20 Oktober 2014, usai pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, berupa ‘kirab budaya’ yang diorganisir relawan Jokowi untuk mengantar sang Presiden dari Gedung MPR menuju Istana Merdeka. Ini juga tergambarkan sebagai semacam pesta rakyat. Sebuah kelompok relawan Jokowi yang dipimpin seorang pengusaha kelapa sawit, mengorganisir dana untuk konsumsi senilai 385 juta rupiah. Tentu itu bukan satu-satunya kontribusi, dan biaya keseluruhan mungkin saja tak hanya berskala ratusan juta rupiah. Apalagi pesta rakyat itu berlanjut dengan konser salam tiga jari hingga malam hari di kompleks Monumen Nasional.

JOKOWI DAN JUSUF KALLA DI ATAS KERETA KENCANA MENUJU ISTANA. "Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental." (foto tribunews)
JOKOWI DAN JUSUF KALLA DI ATAS KERETA KENCANA MENUJU ISTANA. “Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental.” (foto tribunnews)

Dan yang kedua, resepsi pernikahan satu pasangan selebriti dunia entertainmen di sebuah hotel di Bali, sehari sebelumnya, 19 Oktober yang disiarkan langsung oleh sebuah televisi swasta lengkap dengan iklan-iklan sponsor. Pesta yang konon berbiaya 15 milyar ini, dihadiri tak kurang dari 6000 tamu, yang sebagian terbesar tampil dengan busana ‘wah’ dan pasti mahal. Sebagai perbandingan, untuk Sidang MPR pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja, hanya disebarkan 1200 undangan. Maka, ada yang menyebut resepsi pernikahan selebrities ini sudah setara dan pantas disebut Royal Wedding. Kalau pesta di Bali ini diibaratkan sebuah etalase, maka ia berhasil menampilkan citra betapa makmur sejahtera sudah Indonesia ini. Salah satu kado untuk pernikahan ini, diserahkan Minggu siang. Sebuah mobil mewah, Lamborghini, yang menurut pengacara terkenal (dan kaya raya) Hotman Paris Hutapea pada acara penyerahan, berharga sekitar dua belas setengah milyar rupiah. Pemberi kado adalah klub para pemilik mobil mewah dengan merek tersebut.

Dua peristiwa semarak tersebut sebenarnya mewakili dua ‘dunia’ yang berbeda. Peristiwa pertama mewakili dunia politik dalam kaitannya dengan partisipasi dan apresiasi akar rumput yang ditampilkan dalam momen pergantian kepemimpinan nasional. Sedang peristiwa kedua, mewakili dunia entertainmen komersial sebagai salah satu sub sektor ekonomi bidang jasa. Dunia entertainmen itu merupakan salah satu ladang keberhasilan mencapai pendapatan besar oleh sebagian kecil anggota masyarakat berketrampilan entertainer yang berjaya menggali benefit yang semakin booming dari pasar masyarakat dalam negeri.

Kontras Laten. Tanpa sengaja, angka-angka rupiah dari dua peristiwa tersebut sekaligus mewakili suatu kontras laten dalam kehidupan bangsa ini, yaitu gap kaya-miskin, dalam konteks pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Dalam kontras itu, kurang lebih 20 persen golongan masyarakat makmur yang hidup berkelimpahan dalam satu ruang dan waktu bersama 80 persen yang hidup dalam serba keterbatasan karena belum berhasil terciprat rezeki pembangunan ekonomi. Kenyataan ini menjadi lebih memilukan, karena seperti metafora yang disebutkan penyair Taufiq Ismail dalam satu puisinya, uang telah menjadi berhala dan kerap diperlakukan seperti tuhan. Mereka yang menguasai akumulasi uang bisa mengendali kekuasaan negara dan kekuasaan sosial, sementara sebagian kalangan akar rumput yang ada dalam tekanan berat kehidupan ekonomi bisa terfaitaccompli untuk menggadaikan hak politik, hak sosial dan bahkan harkat-martabat dirinya.

Pembangunan ekonomi sesungguhnya bisa dipertemukan dengan pembangunan sosial dalam konteks sosial-ekonomi, melalui kebijakan politik yang diletakkan dengan baik. Namun, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, belum pernah ada kebijakan politik yang berhasil mempertemukan dengan baik pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial.

Dari waktu ke waktu menjadi pertanyaan begitu banyak orang: Sejauh manakah sudah keadilan sosial itu telah terwujud di Indonesia? Sub judul buku Revitalisasi Pancasila (Dr Midian Sirait, Kata Hasta Pustaka, 2008) dapat menjadi jawaban yang masih berlaku hingga kini. Bahwa Indonesia ini dihuni oleh “Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial”. Selanjutnya, beberapa penggambaran dalam buku tersebut masih akan dipinjam lebih jauh dalam tulisan ini dengan tambahan catatan lebih aktual.

Bangsa Indonesia berada dalam suatu posisi yang selain terjerat hutang luar negeri juga terjerat dengan angka kemiskinan yang besar dan bersamaan dengan itu memiliki angka pengangguran yang semakin tinggi. Hingga September 2014, hutang luar negeri berada pada angka 3000 triliun rupiah, dengan sekitar 70 persen di antaranya hutang swasta. Pemerintah sendiri telah mengambil dana masyarakat dalam negeri melalui surat berharga dengan nilai kurang lebih 1800 triliun rupiah.

Dari tahun ke tahun semakin banyak lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, tetapi sebagian besar tidak tertampung oleh lapangan perkerjaan yang tersedia. Semakin besar jumlah pengangguran ini, semakin besar pula tanggungan sosial yang harus dipikul. Dari sejak lima tahun yang lampau hingga kini, seorang yang bekerja harus menanggung biaya makan dan biaya hidup lainnya setidaknya untuk 6 orang dalam satu keluarga. Kesempatan bekerja semakin terbatas dengan terus bertambahnya manusia yang siap menjadi tenaga kerja. Dengan sendirinya, tingkat pendapatan juga semakin terbatas, sehingga kemiskinan pun akan bertambah, meskipun para pemerintah dari waktu ke waktu selalu menyebutkan adanya penurunan angka kemiskinan.

Sepintas kerapkali angka kemiskinan terlihat menurun, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah quasi miskin-tidak miskin. Banyak orang yang memiliki angka pendapatan yang bisa saja terlihat membaik, tetapi secara mendadak berkemampuan di bawah garis kelayakan dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya, pada tahun ajaran baru, atau saat terjadi gejolak harga komoditi yang menjadi kebutuhan pokok, entah harga cabai, minyak goreng, kelangkaan beras, kerumitan dan kenaikan tarif angkutan umum. Bila pemerintahan baru mendatang menurunkan subsidi BBM, yang esensinya berarti kenaikan harga BBM –dengan segala dampak non-ekonomisnya yang sebenarnya tidak rasional– untuk jangka waktu tertentu, banyak yang mendadak miskin kembali. Tak lain karena, mereka berada di perbatasan antara miskin dan tak miskin.

Tentang kemiskinan ini, menjelang akhir periode pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, tahun 2009, pemerintah pernah memberikan angka-angka yang menunjukkan menurunnya angka kemiskinan. Angka penurunan itu terjadi karena pengaruh bantuan langsung tunai (BLT) yang dibagi-bagikan pemerintah kepada rakyat miskin. Tetapi program itu hanya menurunkan angka kemiskinan untuk 2-3 bulan. Jadi bila dibuat statistik berdasarkan sensus pada 2-3 bulan setelah dibagikannya BLT, pasti angka kemiskinan itu menurun. Dan bila diteliti lagi 2-3 bulan sesudah itu, pasti akan menaik lagi, karena bantuan seperti itu takkan sempat digunakan secara produktif melainkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek menutup lubang akibat tekanan ekonomi yang berlangsung permanen. Menjadi semacam fatamorgana belaka.

Bagaimana caranya mengatasi kemiskinan itu? Pada tahun-tahun mendatang ini, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla akan menghadapi fakta persaingan yang makin ketat dengan negara-negara atau bangsa-bangsa lain. Bila terhadap kemajuan Cina dan India misalnya, kita tak mampu mengimbanginya, meskipun jumlah penduduk kita juga besar, kita akan makin terpuruk. Bangsa ini akan makin tertinggal.

Metoda Keadilan Sosial. Sebenarnya tersedia metoda yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan manusia Indonesia menghadapi persaingan, yakni keadilan sosial  dari falsafah Pancasila. Ini bukan sekedar retorika, karena bisa dilaksanakan. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar seperempat miliar jangan sampai menjadi beban pembangunan, tetapi harus menjadi modal. Agar sumber daya manusia yang secara kuantitatif besar itu, bisa menjadi modal, maka kemampuan kualitatifnya harus bisa ditingkatkan.

Menurut keyakinan kaum sosial demokrat –istilah ini digunakan Dr Midian Sirait dalam buku itu– dengan membagi rata kemampuan pembangunan, maka akan makin meningkat pula pendapatan bangsa secara merata. PDIP yang menjadi tulang punggung utama pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, diakui atau tidak, semestinya tergolong kaum sosial-demokrat.

Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah menyebutkan rencana-rencana pembangunan infrastruktur yang akan dilaksanakan dengan cara padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Hal yang sama sebenarnya dijanjikan dalam kampanye-kampanye Jokowi-Jusuf Kalla maupun Prabowo-Hatta Rajasa. Dengan demikian, akan makin banyak orang memiliki pekerjaan. Pada masa mendatang ini yang harus diutamakan memang adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak yang mungkin bisa disediakan. Itu akan mengurangi angka kemiskinan. Barangkali, bila selama ini satu orang bekerja untuk menghidupi dan memberi makan enam orang dalam satu keluarga, maka nanti satu orang bekerja untuk menghidupi empat orang saja. Seterusnya meningkat untuk tiga orang saja, yakni untuk satu isteri dan satu anak.

Pencapaian seperti ini akan mengurangi ketegangan sosial di perbatasan gurun kemiskinan dengan oase kelompok kecil masyarakat kaya yang berkelimpahan secara ekonomis. Oase itu selama ini antara lain diisi para pemilik koleksi kendaraan mewah berharga miliaran rupiah, kaum bergaya hidup kelas tinggi dan pemilik pemukiman mewah berharga fantastis yang tak mungkin terjangkau kalangan akar rumput dalam angan-angan sekali pun.

Peningkatan harkat dan martabat manusia, dengan sendirinya juga mencipta solidaritas masyarakat karena kerja, sebagai bagian dari keadilan sosial. Kekuatan dari keadilan sosial akan memperkuat kemampuan manusia berproduksi. Kemampuan manusia itu bila dihubungkan dengan jumlah penduduk yang besar, akan membuat bangsa Indonesia survive. Karena itu, keadilan sosial sebagai bentuk peningkatan kemampuan bangsa, bukan hanya berarti membagi rata kekayaan republik. Tetapi, kekayaan republik, kekayaan alam dan tanah, dimanfaatkan untuk seluruh kegiatan demi meningkatkan kemampuan manusia, sekaligus meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Harkat dan martabat manusia serta kemampuan intelejensi bangsa ini, pada gilirannya akan lebih memperkuat lagi solidaritas satu sama lain sebagai satu bangsa.

            Puisi dan Kereta Kencana. DALAM dunia retorika, yang dijejalkan para pemimpin selama 69 tahun Indonesia merdeka untuk ‘mengenyangkan’ batin rakyat di lapisan akar rumput, kehidupan Indonesia ini bisa indah bagai puisi. Dalam dunia akar rumput, angan-angan dan persuasi bernuansa dongeng kerapkali mampu menciptakan ekstase. Tokoh baru dalam kepemimpinan nasional, Joko Widodo, dipilih oleh separuh lebih rakyat pemilih sebagai antitesa gaya kepemimpinan elitis –yang mencitrakan diri dekat dengan rakyat tetapi sesungguhnya berjarak dalam kenyataan sehari-hari.

Tapi perlu meminjam Bung Hatta yang menyitir dalam bahasa Jerman, Zwischen Diechtung und Wahrheid, agar antara puisi dan kebenaran jangan terlalu jauh. Harus mendekatkan angan-angan dengan kenyataan, mendekatkan puisi dengan realita.

Prinsip keadilan sosial tentu tak hanya berarti pembagian-pembagian rezeki bagi masyarakat. Masyarakat juga harus dijamin kesehatannya, hari tuanya serta berbagai hal dasar lainnya, termasuk bidang pendidikan. Dua calon presiden dalam Pilpres yang baru lalu sama-sama menjanjikan hal-hal tersebut. Janji-janji jaminan sosial ini harus segera dibuktikan. Presiden yang bisa mengembangkan program dana sehat, dana pendidikan dan sebagainya dalam rangka jaminan-jaminan sosial, akan diingat sepanjang masa.

Di antara dua calon presiden yang ada, Jokowi yang terpilih. Tokoh yang kemunculannya bagaikan separuh dari dunia dongeng dan mitos Jawa ini –yang lahir dari kandungan wong cilik dan tersurat sebagai penyelamat negeri– ‘mengalahkan’ seorang tokoh atas yang lebih terbuka hitam-putih riwayatnya dalam catatan sejarah kontemporer Indonesia merdeka.

Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental. Dongeng dan mitos harus segera didekatkan dengan realita. (socio-politica.com)

Soekarno, September 1966 (2)

SIAPAKAH Bung Karno? Bung Karno –atau Ir Soekarno, yang nama lengkapnya adalah Raden  Koesno Sosro Soekarno– lahir di Surabaya tanggal 6 Juni 1901. Memperoleh gelar ingenieur di Bandung tahun 1925. Menurut tulisan Aldy Anwar, “ia adalah seorang yang cerdas, berbakat luar biasa dan berambisi besar.”

Semasa remajanya Raden Koesno Sosro Soekarno telah jatuh cinta pada teman sekolahnya di HBS, seorang anak Belanda bernama Mien Hessels. Setelah berkasih-kasihan beberapa waktu lamanya, Raden Koesno Sosro Soekarno memberanikan dirinya untuk melamar Mien Hessels kepada ‘Meneer’ Hessels. Tetapi oleh Hessels pinangan ‘inlander R. Koesno Sosro Soekarno yang tak tahu diri itu’ ditolak mentah-mentah dengan caci maki, penghinaan dan pengusiran dari rumahnya.

SOEKARNO-SOEHARTO. "Cara mereka membawa keberhasilan perlu ditiru, sebagaimana kegagalan mereka dijadikan pelajaran untuk tidak diulangi. Namun sayang, tak belajar dari sejarah, banyak para pemimpin masa kini yang kembali mengulang sejarah: Semakin lebih bersikap sebagai politisi daripada sebagai negarawan. Lebih cenderung menjadi pemimpin golongan dalam konteks kepentingan partainya daripada menjadi pemimpin bangsa seluruhnya." (foto: nusantara-history)
SOEKARNO-SOEHARTO. “Cara mereka membawa keberhasilan perlu ditiru, sebagaimana kegagalan mereka dijadikan pelajaran untuk tidak diulangi. Namun sayang, tak belajar dari sejarah, banyak para pemimpin masa kini yang kembali mengulang sejarah: Semakin lebih bersikap sebagai politisi daripada sebagai negarawan. Lebih cenderung menjadi pemimpin golongan dalam konteks kepentingan partainya daripada menjadi pemimpin bangsa seluruhnya.” (foto: nusantara-history)

Peristiwa itu mungkin menimbulkan semacam dendam dalam diri Soekarno kepada Hessels pribadi maupun kepada orang-orang Belanda pada umumnya. “Di bawah pengaruh lingkungan pergaulan di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tempat ia tinggal selama bersekolah di HBS”, dan bertemu dengan tokoh-tokoh politik pemimpin pergerakan dari berbagai aliran, “ia mendapat saluran dalam bentuk sikap anti kolonialisme dan imperialisme Belanda.”

Sebagai student pada Technische Hooge School yang mengalami berbagai diskriminasi dan penghinaan oleh orang-orang Belanda, bertambah kuat tekadnya untuk melawan kekuasaan orang-orang Belanda dan mencari kekuatan sendiri. Menurut Aldy, kemahiran Soekarno untuk mempersuasi orang, ‘akting’ dan berpidato, ternyata berguna baginya dalam klub-klub debat, dan kemudian dalam Bandungsche Studie Club. Kepandaiannya menggunakan kata-kata menyebabkan ia ditarik untuk membantu pers pergerakan seperti “Fikiran Rakjat”. Sasaran tulisan-tulisan dan pidato-pidato agitasinya selalu Belanda dan apa-apa yang diciptakan dan diakibatkan  oleh Belanda di Indonesia. “Demikianlah, dengan kepopuleran yang diperolehnya itu Raden Sosro Soekarno atau Ir Soekarno, memulai karir politiknya sebagai pemimpin, yang dalam jangka waktu 40 tahun berhasil membawanya sampai ke puncak kekuasaan dan kejayaan pribadinya.”

Tatkala sesuai keputusan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda tahun 1926, tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia yang aktif dalam Bandungsche Studie Club memutuskan untuk mendirikan suatu partai yang bercorak nasional, maka Ir Soekarno yang ditonjolkan sebagai ketuanya. Dengan pidato-pidato Soekarno yang menarik massa, PNI dapat menjadi besar. Kepopuleran Ir Soekarno menanjak terus, lebih-lebih setelah ia ditangkap dan dipenjarakan di Banceuy dan kemudian di Sukamiskin.

Sewaktu mahasiswa Mohammad Hatta selaku ketua Perhimpunan Indonesia pada tanggal 9 Maret 1928 dihadapkan Rechtbank di Den Haag, ia mengucapkan pembelaannya yang terkenal, “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka). Di situ ia menguraikan kolonialisme dan imperialisme Belanda di Indonesia serta perjuangan pergerakan kemerdekaan yang dilakukan Perhimpunan Indonesia. Dalam pada itu, saat Ir Soekarno dihadapkan ke Landraad di tahun 1930, ia mengajukan pembelaan yang hampir serupa bagi PNI, “Indonesia Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat). Pembelaan itu menambah kepopulerannya di kalangan pergerakan dan kalangan rakyat banyak.

Selama Ir Soekarno dalam pembuangan di Flores dan Bengkulu, usaha-usaha Dr Tjipto Mangunkusumo, A. Hassan dari Persatuan Islam di Bandung, dan lain-lain dalam pers pergerakan, dapat memelihara kepopuleran Ir Soekarno. Maka tatkala Drs Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir pada permulaan pendudukan Jepang, memutuskan untuk membagi tugas antara memimpin kerjasama dengan Jepang dan memimpin gerakan bawah tanah melawan Jepang, Hatta mengajukan Soekarno yang dianggap pandai ‘bersandiwara’ untuk memimpin kerjasama dengan Jepang.

Semenjak itulah Ir Soekarno dan Drs Mohamamad Hatta dengan dukungan pemimpin-pemimpin lainnya, praktis memegang pimpinan nasional pergerakan kemerdekaan  Indonesia. Kedua tokoh itu mulai terkenal sebagai Bung Karno dan Bung Hatta, serta dipandang sebagai lambang persatuan bangsa dan lambang perjuangan kemerdekaan bangsa. Sehingga wajar dan dianggap dengan sendirinya bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus ditandatangani dan diumumkan oleh Soekarno-Hatta. Dan, bahwa sebagai Presiden dan Wakil Presiden, hanya dipilih Bung Karno dan Bung Hatta. Kepemimpinan Dwitunggal Soekarno-Hatta sebagai pimpinan bangsa, negara dan revolusi adalah suatu kenyataan yang berangsur-angsur juga menjadi mitos.

Tetapi setelah tahun 1950 Bung Karno semakin lebih bersikap sebagai politikus daripada sebagai negarawan. Menjadi pemimpin golongan dan bukan pemimpin bangsa seluruhnya. Semakin melibatkan dirinya dalam percaturan politik dan pertarungan kekuatan, bahkan menjalankan politik devide et impera dan balance of power. Maka, semakin retaklah Dwitunggal Soekarno-Hatta pada tahun 1956. Semakin leluasalah Bung Karno menjalankan politik devide et impera dan balance of power, sementara kepemimpinannya sebagai Bapak Rakyat dan Kepala Negara semakin merosot. Kesalahan-kesalahan dan penyelewengan-penyelewengan yang bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila dan UUDS 1950, dan kemudian UUD 1945, semakin besar dan semakin banyak diperbuatnya.

“Bung Karno pemimpin rakyat semakin terasing dari rakyat, bertahta dalam istana-istana dengan dikelilingi para pemaisuri, dayang dan hulubalang dan tentara istana, bermewah-mewah dan berpelesir di atas penderitaan rakyat yang semakin sengsara. Bung Karno kesayangan rakyat telah meninggalkan dan melupakan rakyatnya. Bung Karno yang dikenal rakyat dahulu, telah tinggal bayangannya saja, tinggal mitosnya saja. Bung Karno yang dahulu, sudah tak ada lagi.” Demikian Aldy Anwar menulis.

            SETENGAH tahun kemudian, Maret 1967, masa kekuasaan Presiden Soekarno berakhir. Meski para pendukung Soekarno melakukan tiarap politik panjang setelah itu, untuk sebagian pemitosan Soekarno tak pernah betul-betul berakhir. Tampilnya Megawati Soekarnoputeri sekitar 25 tahun kemudian dengan PDIP, mencuatkan kembali nama Soekarno sebagai simbol keberhasilan dan contoh kharisma suatu model kepemimpinan. Hal yang sama terjadi pada Soeharto setelah 1998. Kini, saat kepemimpinan negara dianggap lemah, nostalgia tentang kejayaan kedua pemimpin itu kembali hidup. Lalu, banyak yang menoleh lagi kepada jalan pikiran, model kepemimpinan, ataupun cara memimpin bangsa dan negara ala Soekarno maupun Soeharto.

            Kenapa tidak? Kedua tokoh itu memang sama-sama memiliki keistimewaan, kegemilangan dan keberhasilan. Pantas untuk dicontoh dalam konteks kontinuitas keberhasilan bernegara. Tetapi jangan lupa, sejarah juga mencatat bahwa keduanya pun memiliki banyak kekeliruan dan ketidakberhasilan yang hampir saja menenggelamkan bangsa dan negara ini. Maka bila ingin menarik hikmah dan berkah dari sejarah, mari kita belajar dari pengalaman mereka. Belajar dari keberhasilan mereka, sambil juga belajar titik-titik kegagalan mereka. Cara mereka membawa keberhasilan perlu ditiru, sebagaimana kegagalan mereka dijadikan pelajaran untuk tidak diulangi. Namun sayang, tak belajar dari sejarah, banyak pemimpin masa kini yang kembali mengulang sejarah: Semakin lebih bersikap sebagai politisi daripada sebagai negarawan. Lebih cenderung menjadi pemimpin golongan dalam konteks kepentingan partainya daripada menjadi pemimpin bangsa seluruhnya.

(socio-politica.com)  

Bung Karno Seorang Marxis, Apakah Ia Juga Komunis? (3)

DI SAMPING semua ini kita catat komando-komando Aidit –pidato-pidato 11 Mei dan 23 Mei di depan Hari Ulang Tahun PKI ke-45– buat mengganyang semua kapitalis birokrat, semua kaum anti Manipol, semua kaum anti Nasakom, kaum anti Komunis, kaum Trotzkys, kaum lima setan, termasuk kaum kapbir (kapitalis birokrat) dan tujuh setan desa.

            Tanggal 25 Juli Bung Karno mengomandokan supaya semua “PNI gadungan” ditendang dari PNI. Ini sesungguhnya adalah komando buat semua organisasi non komunis dan anti komunis untuk memecah belah diri mereka sendiri dengan saling mencurigai, saling menuduh, saling memfitnah, dan saling menendang. Tahun 1964 juga sudah ada komando-komando seperti ini.

SOEKARNO. "Dari sudut pelaksanaan Marxisme-Leninisme, Bung Karno memang berhasil. Bung Karno berhasil membangun Kediktatoran Demokratis Rakyat. Bung Karno berhasil mematangkan situasi revolusioner. Bung Karno berhasil memecah belah dan menyapu bersih kekuatan-kekuatan dan tokoh-tokoh anti komunis. Bung Karno berhasil mendudukkan PKI ke posisi berkuasa. " (foto Life)
SOEKARNO. “Dari sudut pelaksanaan Marxisme-Leninisme, Bung Karno memang berhasil. Bung Karno berhasil membangun Kediktatoran Demokratis Rakyat. Bung Karno berhasil mematangkan situasi revolusioner. Bung Karno berhasil memecah belah dan menyapu bersih kekuatan-kekuatan dan tokoh-tokoh anti komunis. Bung Karno berhasil mendudukkan PKI ke posisi berkuasa. ” (foto Life)

Inilah politik divide et impera Soekarno buat menjamin kokohnya kekuasaan PKI. Bung Karno mempraktekkan Marxisme-Leninisme-Maoisme. Sekarang tinggal meledakkan Revolusi Sosial-nya. Tapi untuk ini diperlukan senjata. Di samping itu ABRI yang anti komunis harus dihancurkan dulu. Sukses Revolusi Sosial hanya terjamin kalau diktum Mao Zedongdilaksanakan: “Political power grows out of the barrel of a gun” (Mao Zedong, On Contradiction).

 Menghancurkan ABRI dan Gerakan 30 September

            Karena ABRI adalah anti-komunis, maka ABRI harus dihancurkan, demi meratakan jalan buat perebutan kekuasaan oleh PKI.

            Caranya ada empat.

            Pertama, ABRI harus disusupi dengan komunisme, sehingga pecah menjadi ABRI-komunis dan ABRI anti komunis. Keduanya gampang diadu. Ternyata infiltrasi ini berhasil.

            Kedua, ABRI harus di-Nasakom-kan. Ini tidak berhasil sebab ditentang Abdul Harris Nasution dan Ahmad Yani.

            Ketiga, ABRI harus disuruh berperang melawan Inggeris supaya kekuatan ABRI bisa dipatahkan atau dihancurkan sama sekali. Untuk itu diperlukan perang terbuka di mana Inggeris melakukan invasi terbuka ke dalam wilayah Indonesia. Untuk memprovokasikan agresi Inggeris ini maka pasukan tertentu  diterjunkan ke Semenanjung Malaya. Tapi Inggeris tetap tidak bereaksi. Mereka tetap berdiam diri saja di Singapura dan paling-paling hanya menjaga perbatasan. Pihak sana rupanya mengerti bahwa perang terbuka berarti peng-komunis-an Indonesia secara total. Dengan demikian, usaha eksploitasi politik konfrontasi ternyata gagal.

            Keempat, karena gagalnya politik konfrontasi ini, maka Bung Karno mau membentuk “ABRI tandingan” yang namanya “Angkatan Kelima”. Bung Karno menyodorkan gagasan kepada ABRI. Gagasan ini dikatakan datang dari PM RRC Chou En-lai. Segera PKI dan semua organisasi massanya menuntut “minta dipersenjatai”. PNI dan ‘Suluh Indonesia’ juga memberi sokongan penuh. Kata Ali Sastroamidjojo kepada ‘Antara’ (23 Juli 1965), “Integrasi antara rakyat dan ABRI harus dilaksanakan dalam bentuk Angkatan Kelima”. Sejak bulan Mei Harian ‘Suluh Indonesia’ juga mempropagandakan idea Angkatan Kelima ini. Dan Bung Karno meng’amanat’i ABRI dengan mengatakan “bahaya kuning dari Utara itu tidak ada”, untuk menepis kekuatiran yang sebelumnya disampaikan para pimpinan Angkatan Darat.

            Angkatan Kelima ini gagal dilaksanakan, karena sikap keras dan tegas Nasution dan Ahmad Yani. Semua kegagalan merobek ABRI ini membuat avontur Gestapu (‘Gerakan September Tiga Puluh’) sebenarnya menjadi riskan. Peluangnya hanya setengah-setengah. Tetapi situasi revolusi diyakini oleh sebagian tokohnya sudah ‘masak’. Dianggap keadaan sudah “hamil tua”. Gerakan mesti dipaksakan.

            Beberapa hal jelas merupakan persiapan Gerakan 30 September.

            Anwar Sanusi berkata di bulan September bahwa “Ibu Pertiwi sudah hamil tua”. Tanggal 9 September Aidit berpidato: Sang bayi pasti lahir. Adalah kebiasaan Lenin untuk mengumpamakan “situasi revolusioner” sebagai “keadaan hamil”. Dus, “hamil tua” berarti “siap untuk segera dilahirkan”. Aidit mengatakan “kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar”.

            Dalam sambutannya pada hari lahir ke 34 Partindo, yang dibacakan oleh salah satu menterinya Oei Tjoe Tat, Bung Karno menutup pidatonya dengan kata-kata, “Pergunakanlah Harlah ke-34 Partindo ini untuk meningkatkan implementasi komando saya untuk menyelesaikan Revolusi Nasional Demokratis Indonesia ini serta mengadakan persiapan-persiapan untuk memasuki periode Sosialisme Indonesia”. Jadi dalam keadaan negara yang bobrok waktu ini, Bung Karno memberi komando supaya bersiap-siap untuk memasuki Sosialisme Indonesia. Padahal “syarat-syarat kesejahteraan sosial dan hamil dengan kesejahteraan”, seperti yang pernah dikatakannya sendiri, sama sekali tidak ada. Tidak bisa tidak komando ini harus kita artikan sebagai komando untuk bersiap-siap menjalankan satu aksi, yakni Gestapu.

            Pada tanggal 26 September 1965, hanya lima hari sebelum Gerakan 30 September, Presiden Soekarno berkata di depan lulusan-lulusan Institut Pertanian Bogor dalam upacara di Istana Bogor, “Tahap pertama dari Revolusi Indonesia, yaitu tahap Nasional Demokratis, sudah hampir selesai. Kita sekarang sudah diambang pintunya tahap kedua dari Revolusi Indonesia, yaitu pelaksanaan sosialisme”.

            Sudah terang yang ada diambang pintu saat itu adalah “Revolusi Sosial”nya Gerakan 30 September. Selebihnya hanyalah ada kemelaratan, inflasi, dan ketidakadilan sosial, dan menghebatnya segala macam kebobrokan. Maka kita harus mengambil kesimpulan bahwa Bung Karno mengetahui benar tentang bakal adanya aksi Gerakan 30 September. Karena itu Bung Karno adalah pelaku Gerakan 30 September. Bung Karno adalah dalang utama Gerakan 30 September, atau salah seorang dalangnya.

 Berhasil atau tidak ?

            “Rezim Soekarno gagal”, kata rakyat sekarang. Bung Karno menjawab, “Aku berhasil”.

            Yang berbeda di sini adalah view point. Rakyat memakai Pancasila sebagai ukuran, sedang Bung Karno memakai Marxisme sebagai ukuran. Ternyata Pancasila dan Marxisme tidak klop, malahan bertentangan dalam penilaian.

            Dari sudut pelaksanaan Marxisme-Leninisme, Bung Karno memang berhasil. Bung Karno berhasil membangun Kediktatoran Demokratis Rakyat. Bung Karno berhasil mematangkan situasi revolusioner. Bung Karno berhasil memecah belah dan menyapu bersih kekuatan-kekuatan dan tokoh-tokoh anti komunis. Bung Karno berhasil mendudukkan PKI ke posisi berkuasa. Aksi Gerakan 30 September (Gestapu) adalah tugas mulia sebagai Marxis-Leninis yang sejati-konsekuen-revolusioner.

            Bung Karno bukanlah seorang Pancasilais. Pancasila adalah hogere optrekking dari Marxisme. Artinya, Pancasila adalah lebih tinggi dari Marxisme. Seharusnya Bung Karno berkata, “Aku adalah Pancasilais yang sudah mengatasi Marxisme”. Tapi Bung Karno tidak mengatakan itu. Belakangan, Bung Karno terus menerus berkata, “Aku adalah Marxis”.

            Sungguh celaka.

 *Marion Mueng Yong adalah nama yang digunakan Dr Soedjoko MA setiap kali menulis. Soedjoko seorang cendekiawan terkemuka, pengajar ITB yang menjadi aktivis. Memiliki gaya menulis yang memikat dan tajam. Tulisan ini berjudul asli “Siapa Dalang Gestapu?” dimuat serial selama 3 minggu di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, akhir September dan awal Oktober 1966. Kemudian menjadi salah satu artikel koleksi dalam buku “Simtom Politik 1965” yang terbit 2007. Soedjoko termasuk salah satu yang meyakini keterlibatan penuh Soekarno dalam Peristiwa 30 September 1965. Meninggal dunia tahun 2006.

(socio-politica.com)

Bung Karno Seorang Marxis, Apakah Ia Juga Komunis? (1)

Marion Mueng Yong*

             BUNG Karno adalah seorang Marxis. Ia sendiri yang selalu mengatakan “Aku seorang Marxis”. Marxis itu bukan orang sekedar tahu Marxisme saja. Bung Sjahrir dan Bung Hatta juga tahu betul Marxisme, tetapi mereka adalah sosialis, dan sosialis yang anti komunis. Mereka adalah Pancasilais. Buat mereka, Pancasila dengan sendirinya adalah sosialis yang anti komunis. Bung Hatta juga bilang bahwa Marxisme tidak ada hubungan apa-apa dengan Pancasila. Bung Karno lain. Bung Karno tidak cuma tahu Marxisme, tidak cuma cinta Marxisme, tetapi menganggap Marxisme sudah menjadi sebagian dari kepuasan jiwanya.

            Bung Karno adalah sosialis, tapi sosialis yang tidak anti komunis, bahkan sosialis yang terang-terangan pro komunis. Bung Karno adalah Pancasilais yang Marxis yang nasionalis yang Islamis yang sosialis yang pro komunis. Bukan pro komunis saja, tapi cinta sepenuh hatinya kepada komunis. Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin sosialis Pancasilais di Indonesia ini yang terang-terangan berkata “aku merangkul kepada PKI”, dan lalu memang betul-betul merangkul Aidit di hadapan massa.

*Marion Mueng Yong. Ini hanyalah nama samaran dari Dr Soedjoko MA setiap kali ia menulis. Soedjoko adalah seorang cendekiawan terkemuka, pengajar ITB yang menjadi aktivis. Memiliki gaya menulis yang memikat dan tajam. Tulisan ini berjudul asli “Siapa Dalang Gestapu?” dimuat serial selama 3 minggu di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, akhir September dan awal Oktober 1966. Kemudian menjadi salah satu artikel koleksi dalam buku “Simtom Politik 1965” yang terbit 2007. Soedjoko termasuk salah satu yang meyakini keterlibatan penuh Soekarno dalam Peristiwa 30 September 1965. Soedjoko meninggal dunia tahun 2006.
*Marion Mueng Yong. Ini hanyalah nama samaran dari Dr Soedjoko MA setiap kali ia menulis. Soedjoko adalah seorang cendekiawan terkemuka, pengajar ITB yang menjadi aktivis. Memiliki gaya menulis yang memikat dan tajam. Tulisan ini berjudul asli “Siapa Dalang Gestapu?” dimuat serial selama 3 minggu di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, akhir September dan awal Oktober 1966. Kemudian menjadi salah satu artikel koleksi dalam buku “Simtom Politik 1965” yang terbit 2007. Soedjoko termasuk salah satu yang meyakini keterlibatan penuh Soekarno dalam Peristiwa 30 September 1965. Soedjoko meninggal dunia tahun 2006.

            Bung Karno selalu berkata, “Aku bukan komunis”.

            Ini tentu reaksi atas anggapan banyak orang bahwa Bung Karno itu komunis, atau komunis gelap. Yang terang adalah, bahwa Bung Karno tidak pernah anti komunis, ya, tidak mau anti komunis. Bacalah saja buku-buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I dan II. Dari halaman pertama sampai halaman terakhir tidak ada kritik tajam –apalagi kutukan– terhadap komunisme dan PKI. Kalaupun ada di satu dua tempat, maka kritik ini diberikan dengan cara segan-segan, lembek, ‘reserved’ dan ‘reluctant’ sekali. Dia bersifat catatan yang sambil lalu saja, biasanya segera disusul oleh apa-apa yang membaikkan komunisme, atau pembicaraan dibelokkan begitu saja kepada hal-hal lain. Tidak pernah Bung Karno memberikan satu artikel atau pidato yang khusus mengeritik dan menyerang komunisme dan PKI. Bandingkan ini dengan tulisan-tulisan panjang lebar yang khusus mengecam Islam, sampai ada pula yang berjudul amat sarkastis, bunyinya “Islam sontoloyo”, yang rupanya sampai perlu juga ditambah dengan kalimat “baca: Islam soontoolooyoo!”.

            Perbedaan perlakuan terhadap komunisme dan Islam ini tentu saja menyolok. Dan sangat mencurigakan. Inilah celakanya jadi Marxis.

            Bung Karno adalah seorang Islam dan seorang Nasionalis sekaligus, dan menganggap kaum Islam dan kaum Nasionalis sebagai kawan-kawan seperjuangannya. Komunis juga menjadi kawan seperjuangannya. Cuma ada bedanya. Yang komunis hampir tidak pernah dikritik. Yang Islam dan Nasionalis seringkali dikritik, dengan bernafsu, panjang lebar, berapi-api dan sarkastis. Dimana dianggap perlu, maka kawan-kawan seperjuangan yang nasionalis dan religius ini dihancurkannya samasekali. Masjumi, PSI dan Murba dibubarkan, BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dibubarkan, pemimpin-pemimpinnya dipenjarakannya bertahun-tahun lamanya tanpa proses, dus tanpa kesalahan yang bisa dibuktikan. Sekarang mereka sudah bebas kembali. Tapi bukan Bung Karno yang membebaskan mereka.

            Bandingkan ini dengan perlakuan Bung Karno terhadap PKI dan benggolan-benggolannya, dari dulu hingga saat ini. Akhir-akhir ini katanya minta fakta, lantas fakta ditumpuk setinggi gunung di depan Bung Karno, tapi jawabnya cuma satu: “PKI paling berjasa. Aku Marxis. Biar digorok lehernya komunis tidak bisa mati”.

Bagaimana Stalin dan Mao? Dan Bagaimana Madiun?

             Adolf Hitler diktator fasis dikutuk. John Foster Dulles dikutuk. Tengku Abdul Rahman dikutuk. U Thant pun tidak lepas dari dampratan Bung Karno. Hatta, Sjahrir, Prawoto, Natsir, Mochtar Lubis, semua kena tangan besinya. Sjahrir mati karenanya.

            Tapi Marx, Lenin, Stalin, Mao, Aidit tidak pernah dikritik. Mereka disitir buat dicontoh dan dipuji. Paling banter mereka didiamkan saja, seakan-akan kejahatan Stalin, pengganti Lenin, adalah cuma kejahatan mencuri seekor ayam. Notabene Stalin adalah diktator juga. Tapi buat Bung Karno diktator-komunis adalah okay, diktator-fasis go to hell. Inilah celakanya Marxis yang merangkul komunis. Punya standar ganda. Padahal Khruschov sendiri melabrak Stalin habis-habisan, sampai-sampai ia menghancurkan semua patung Stalin di seluruh Eropah Timur supaya segala bekas tokoh paling keras komunis ini bisa hilang dari pandangan dan kenangan rakyat. Ini dilupakan Bung Karno, dan sebagai gantinya Bung Karno mengisi pidato-pidato 17 Agustus-nya dengan celaan-celaan terhadap “anak-anak muda yang berdansa cha-cha-cha dan rocknroll dan berambut sasak serta beatlebeatlean”.

            Bung Karno adalah anti komunis, anti kapitalis, anti fasis, anti fuhrer prinzip, anti nekolim. Mengenai konsistensinya atau tidak, mengenai kecapnya atau bukan, semua orang sekarang juga sudah tahu. Tetapi yang terang, Soekarno pro kolonialisme imperialisme komunis, kolonialisme imperialisme Cina, kolonialisme imperialisme Rusia.

            Gerakan 1 Oktober (Gestok) dikutuk. Tapi kita harus menerka saja gerakan mana yang dikutuk Bung Karno itu, sebab ada Gestok Soeharto dan ada Gestok Aidit. Sudah terang bukan komunisnya, bukan PKI-nya, bukan Aiditnya yang dikutuk. Jadi yang dikutuk itu apa?

            Bagaimana dengan kebuasan ‘revolusi Madiun’ dulu itu? Sikap Bung Karno, setali tiga uang. Dikutuk, tapi tidak terang siapa yang dikutuk. Yang dikutuk hanyalah apa yang Bung Karno sebut sebagai “mereka”. “Komunis” atau “PKI” tak sekalipun disebut. Periksa “Kepada Bangsaku” dan Pidato 17 Agustus 1949. Bung Karno mengecam “mereka” itu sebagai orang-orang yang kejam, buas, biadab, penyembelih-penyembelih yang sama sekali telah meninggalkan Pancasila. Sebetulnya gampang saja buat Bung Karno untuk mengatakan “PKI-Muso kejam, buas, biadab, anti Pancasila, kontra revolusioner”. Tetapi Bung Karno berkeberatan untuk mengatakan itu. Bung Karno tidak berani mengatakan itu. Itulah celakanya menjadi Marxis yang merangkul komunis.

            Apakah sebetulnya kesalahan “mereka” itu? Menurut Bung Karno, ialah karena “mereka” memaksakan revolusi sosial “sebelum waktunya tiba”, karena masyarakat kita “belum masak untuk revolusi sosial, belum mau kepada revolusi sosial”. Seakan-akan Bung Karno mau berkata kepada “mereka” itu: “Jangan sekarang adakan revolusi-mu! Tunggu sampai nanti waktunya tiba! Tunggu kalau rakyat sudah mau revolusi-mu”.

            Setiap orang yang waras pikirannya, setiap orang yang Pancasilais tulen, tentu akan segera melarang dan membubarkan PKI pada tahun 1948 itu. Toh sudah terang-terangan kejam, biadab dan anti Pancasila. Tunggu apa lagi?

            Jawabnya: Tunggu sampai tiba waktunya yang baik buat “mereka” untuk mengadakan revolusi sosial dan rebut kekuasaan mutlak. Tunggu sampai masyarakat sudah masak buat adakan revolusi sosial di mana nanti “mereka” akan bisa menang. Apakah karena itu “mereka” tidak dilarang dan tidak dibubarkan? Apakah izin hidup bagi “mereka” itu dimaksudkan buat memberi kesempatan kepada “mereka” untuk “memasakkan situasi” dengan perencanaan yang lebih teratur dan jitu, dan kemudian, membuat revolusi sosial lagi?

            Maka perhatikanlah politik Bung Karno sesudah “revolusi Madiun” ini terhadap PKI dan terhadap ormas/orpol lainnya, politik yang memuncak menjadi diktator-durnoisme di mana PKI kebagian “Lebensraum” yang makin membesar saja.

 Teori Dwi-Fase Revolusi dan Jalan Kekerasan

             Menurut Bung Karno (dalam “Kepada Bangsaku”), Revolusi Indonesia punya dua fase, ialah pertama Fase Nasional dan kemudian Fase Sosial. Menurut pengertian Marxistis, maka hingga saat ini Indonesia masih berada pada Fase Nasional, atau Fase Revolusi Nasional. Bung Karno kelak mempergunakan istilah Nasional Demokratis yaitu istilah baru yang diciptakan oleh musyawarah 81 partai komunis di Moskow pada akhir tahun 1960. Pendeknya, teori revolusi Bung Karno ini adalah teori komunis, teori asing, dan sama sekali bukan hasil “berdikari” dalam teori dan ideologi.

            Amat panjang lebar Bung Karno menerangkan mengenai dwi-fase revolusi ini, terutama mengenai fase yang pertama. Tapi biar pun begitu Bung Karno tetap menyembunyikan satu hal yang teramat serius, yaitu bahwa teori ini adalah teori komunis. Dan teori komunis hanyalah mengabdi kepada komunisme. Teori ini dikembangkan Stalin di tahun-tahun duapuluhan, kemudian dipertajam Mao Zedong pada tahun 1939. Ini bukannya sekedar teori buat mencapai masyarakat sosialis sebagaimana tergambar dalam ‘Kepada Bangsaku’. Ini adalah teori buat mencapai sosialisme yang dikuasai oleh partai komunis dengan cara kekerasan dan diktatorial.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2