EMPAT puluh tahun waktu berlalu setelah Peristiwa 15 Januari 1974, dan Indonesia awal 2019 masih tetap menghadapi beberapa titik persoalan ekonomi dan politik yang serupa. Dalam dua momen, amat menonjol kritik tajam tentang dominasi modal dan bantuan asing. Menjelang tahun 1974 Indonesia menjadi bagian dari protes luas atas dominasi (ekonomi) Jepang di regional Asia Tenggara. Sementara saat ini, pada tahun-tahun ini, Indonesia dipenuhi diskursus tajam mengenai dominasi ekonomi Republik Rakyat Tiongkok melalui tali temali hutang.
Bedanya, pada 45 tahun lalu titik kulminasi protes tercapai dan di Indonesia meletus pada akhirnya sebagai Peristiwa 15 Januari 1974. Terjadi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran yang oleh kalangan kekuasaan kala itu diberi akronim Malari atau ‘Malapetaka Limabelas Januari’ yang berkonotasi buruk dalam bingkai makar. Jenderal Soeharto sebenarnya nyaris tumbang, namun berhasil mendayung keluar di antara gelombang persaingan internal para jenderal maupun teknokrat di bawahnya.
Peking-Tokyo-Beijing
Protes besar-besaran anti Jepang di Asia Tenggara sebenarnya dimulai di Bangkok., berupa gerakan mahasiswa ‘Anti Japanese Goods’. Merambat ke Indonesia. Kala itu, bipolarisme dunia –akibat masih berlangsungnya Perang Dingin– masuk ke dalam lingkup nasional semua negara. Di Indonesia simbol pertarungannya adalah antara Ali Murtopo-Soedjono Hoemardani-CSIS-Jepang-Amerika versus Jenderal Soemitro-Hariman Siregar-Sjahrir –bersama maupun terpisah– sebagai kelompok kritis progressif. Continue reading 45 Tahun Peristiwa 15 Januari 1974: Peking-Tokyo-Beijing→
PEMILIHAN Presiden 2014 ini berkemungkinan besar akan tercatat sebagai salah satu peristiwa politik terburuk dalam sejarah kontemporer Indonesia. Bahkan bisa menjadi suatu bencana politik, kecuali bila 22 Juli, setelah KPU mengumumkan hasil penghitungan suara sesungguhnya, para pihak –kalah atau menang– berhasil menampilkan sikap kenegarawanan mereka. Dengan sikap kenegarawanan, jika ada yang dianggap harus diluruskan berdasarkan kebenaran, penyelesaian yang dipilih adalah mekanisme sesuai hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Bukan jalan pintas mengekspresikan kekecewaan secara emosional melalui kekerasan fisik antar massa.
Bagaimana pun, melalui pemilihan presiden tahun ini, telah tercatat sejumlah perilaku buruk sebagian manusia Indonesia dalam berpolitik. Baik sebagai pelaku-pelaku penting maupun sekedar sebagai pendukung politik –dengan pengutamaan kekuasaan semata. Indonesia nyaris sepenuhnya terbelah dua, meski masih harus dicatat terdapatnya 20-29 persen rakyat pemilih sebagai pengecualian, yang tak merasa perlu memilih dalam situasi fait accompli pilihan terhadap tokoh-tokoh lesser evil. Pilihan lesser evil itu sendiri sepenuhnya adalah produk sistem politik dan sistem kepartaian buruk yang masih berlaku di negara yang mengelu-elukan diri sebagai negara demokrasi terbesar ke empat di dunia ini.
4 TOKOH DALAM PEMILIHAN PRESIDEN 2014. “Tidak terlihat kecukupan urgensi dari survei untuk menilai karakter dan kepribadian para tokoh yang akan maju sebagai kandidat dalam pemilihan presiden ini, selain daripada menggunakannya sebagai kepentingan menyudutkan salah satu pihak dalam konteks kampanye. Sadar atau tidak, justru para psikolog ini telah tersesat melakukan suatu kampanye hitam sembari melakukan pengatasnamaan nilai-nilai akademis.” (gambar download)
Pelacuran intelektual dan quick count menyimpang. Termasuk di antara yang menyedihkan, adalah betapa dalam situasi pembelahan dua dalam rangkaian proses pemilihan presiden tersebut, amat menonjol praktek ‘kejahatan’ yang dilakukan oleh tak sedikit kalangan intelektual. Aroma ‘pelacuran intelektual’ cukup menyengat. Melacurkan keilmuannya demi uang dan iming-iming kedudukan. Ini dilakukan oleh banyak kaum intelektual yang mengelola lembaga-lembaga survei, mengelola media atau maupun para pengajar perguruan tinggi dan kaum profesional dengan bidang keilmuan tertentu yang berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Kejahatan yang dilakukan oleh kalangan berpendidikan akademis dan kaum intelektual pada umumnya, jelas jauh lebih buruk dan berbahaya daripada bila itu dilakukan kalangan awam.
TERBANYAK mendapat perhatian dan paling aktual adalah bagaimana sejumlah lembaga survei, melalui quick count hasil pilpres, sengaja atau tidak, menciptakan dua kelompok angka prosentase indikasi kemenangan dua kubu yang berbeda diametral. Dua kelompok angka itu telah dan akan berkelanjutan menciptakan krisis kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme quick count itu sendiri. Padahal metode quick count itu berdasar kepada ilmu statistika yang ditopang ilmu matematika, sesuai pengalaman yang sudah-sudah, terbukti mampu mendekati kebenaran hasil akhir realcount. Artinya, setidaknya ada di antara lembaga penyelenggara quickcount tidak ‘disiplin’ menjalankan metodologi. Mungkin tidak cermat atau manipulatif dalam sampling, dan atau mungkin bahkan memanipulasi angka-angka hasil TPS yang menjadi sample. Akibatnya, meminjam pernyataan 77 akademisi, menyebabkan “kebenaran ilmu pengetahuan menjadi taruhan”.
Lebih dari sekedar pertaruhan kebenaran ilmu pengetahuan, adanya dua versi quick count, sekaligus menciptakan kondisi tidak siap kalah di dua kubu pendukung. Lembaga-lembaga penyelenggara quick count itu berhasil menanamkan keyakinan diri pada masing-masing kubu sebagai pemenang pilpres. Ketergesa-gesaan Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkan Jokowi sebagai Presiden Indonesia berikutnya, dan mendorong Prabowo Subianto untuk juga mengajukan klaim kemenangan, mempertajam perang opini mengenai siapa pemenang. Dan dengan sendirinya ini lebih memperkuat fanatisme pemenang di masing-masing kubu. Sikap tidak siap kalah berpotensi sebagai penyulut bentrokan fisik, pada saat KPU mengumumkan siapa peraih suara terbanyak nanti.
Bahwa ada yang melakukan manipulasi, hampir bisa dipastikan. Tentu tidak mudah saat ini menentukan siapa yang menyimpang, tanpa audit. Dan audit itu sendiri harus dilakukan oleh suatu lembaga yang terdiri dari akademisi perguruan tinggi yang objektif, yang bisa dipercaya tak berpihak kepada dua kubu kepentingan politik. Bukan oleh lembaga semacam Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia) yang sedikit banyaknya bisa terbaca kemungkinan keberpihakannya.
‘Membaca’ rekam jejak lembaga-lembaga penyelenggara quick count yang ada saat ini, semua pantas dicurigai. Pada umumnya, lembaga-lembaga itu sudah terlihat aktif dalam survei opini yang berbau komersial dan terlihat telah menggunakan survei elektabilitas kandidat untuk penciptaan opini. Perilaku mereka dalam pertempuran opini, tak kalah ‘agresif’ dari mercenaries. Mereka sejak awal telah memperlihatkan gejala penyimpangan, bukan sekedar membaca opini publik melainkan lebih jauh melangkah membentuk opini untuk kepentingan klien yang membayar mereka atau demi kepentingan politik tertentu.
Tapi dengan membandingkannya nanti terhadap real count KPU, akan lebih mudah menyimpulkan lembaga survei atau penyelenggara quickcount mana yang melakukan manipulasi. Entah itu konsultan kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, entah konsultan Jokowi-Jusuf Kalla. “Salah satu hasil hitung itu cepat itu benar dan satu lainnya pasti salah,” ujar Ade Armando seorang akademisi dari Universitas Indonesia. Tapi mungkin juga tidak sesederhana dan hitam-putih seperti kesimpulan Ade Armando, karena angka-angka real count KPU juga bisa saja memperlihatkan bahwa konsultan kedua kubu ternyata sama-sama melakukan manipulasi angka berupa mark-up untuk kepentingan klien mereka masing-masing.
Psikolog yang tersesat? SEJUMLAH psikolog juga telah tergelincir melakukan penyimpangan –untuk tidak menyebutkannya melakukan penyalahgunaan profesi dan keilmuan mereka– tatkala bersedia diorganisir dalam suatu jajak pendapat untuk menilai karakter dan kepribadian empat tokoh yang menjadi kandidat dalam pemilihan pasangan capres-cawapres 2014 ini. Hamdi Muluk, Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, bertindak selaku ‘event organizer’ dari kegiatan yang tak etis ini, bekerjasama dengan beberapa asosiasi profesi seperti Lembaga Psikologi Politik Universitas Indonesia, Ikatan Psikologi Sosial dan Ikatan Psikologi Klinis serta Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Survei ini melibatkan 204 psikolog di Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang sebagai responden. Hasil survei menunjukkan betapa sejumlah sifat dan kepribadian berkonotasi ‘buruk’ lebih banyak diarahkan mengumpul pada dua tokoh yakni Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, sementara sifat dan kepribadian positif mengumpul pada tokoh Jokowi dan Muhammad Jusuf Kalla.
Sebenarnya, sebelum sah sebagai calon peserta Pemilihan Presiden, empat tokoh ini sudah menjalani tes kesehatan, termasuk kesehatan jiwa, oleh Tim Dokter yang ditunjuk KPU. Mereka telah menjalani dan lulus tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) ditambah sejumlah tes psikologi lainnya untuk perkuatan. Tim Dokter tersebut memiliki otoritas untuk menyatakan para calon presiden wakil presiden itu lolos atau tidak lolos tes. Tapi apa dan bagaimana hasil tes kesehatan raga dan jiwa itu, sesuai kode etik kedokteran, tak pernah diumumkan.
Psikolog-psikolog yang mengorganisir survei maupun yang terlibat sebagai responden adalah insan-insan akademis dengan profesi yang memiliki kode kehormatan profesi. Bisa dipertanyakan, apakah tepat para narasumber yang berprofesi psikolog ini dijadikan objek jajak pendapat. Dan kalau mereka menyampaikan penilaian mereka, atas dasar apa mereka mengambil kesimpulan? Apakah mereka pernah mewawancara atau melakukan tes terhadap ke empat tokoh itu? Kalau melandaskan diri pada observasi, berdasarkan data apa? Berita suratkabar atau televisi, atau sekedar common sense atau subjektivitas pribadi saja? Sejauh mana tingkatan kesahihan sumber-sumber tersebut? Kalau pun mereka telah memenuhi syarat-syarat akademis untuk tiba pada suatu konklusi, apakah kesimpulan mereka pantas untuk diumumkan? Salah satu dasar utama dari profesi psikolog adalah kemampuan menjaga kerahasiaan privasi agar tidak menjadi sajian yang terbuka ke umum. Hanya kepentingan-kepentingan tertentu yang sangat prinsipil, semisal kepentingan penyelidikan kriminal, yang bisa memberi alasan untuk membuka suatu kerahasiaan privasi. Itu pun terbatas kepada pihak dengan kompetensi tertentu.
Tidak terlihat kecukupan urgensi dari survei untuk menilai karakter dan kepribadian para tokoh yang akan maju sebagai kandidat dalam pemilihan presiden ini, selain daripada menggunakannya sebagai kepentingan menyudutkan salah satu pihak dalam konteks kampanye. Sadar atau tidak, justru para psikolog ini telah tersesat melakukan suatu kampanye hitam sembari melakukan pengatasnamaan kaidah dan nilai-nilai akademis. Kalau misalnya terbukti bahwa survei ini disponsori secara finansial atau berdasarkan suatu kesepakatan politik khusus bagi pemrakarsa, mungkin sudah lebih dari pantas untuk dikecam sebagai suatu pelacuran intelektual terselubung.
Kecaman serupa layak untuk ditujukan pula kepada 330 gurubesar perguruan tinggi di berbagai provinsi yang sudi menjadi responden jajak pendapat Poltracking. Mereka seakan diperalat untuk menilai integritas, kompetensi dan kapabilitas, serta perkiraan kemampuan memimpin negara dari dua kandidat presiden.
Para gurubesar ini, sesuai dengan disiplin keilmuan mereka masing-masing, sah-sah saja untuk melakukan penilaian-penilaian mereka, terutama mengenai visi dan gagasan ataupun pengalaman dan prestasi para calon, untuk membantu memberi referensi kepada calon pemilih. Tetapi semestinya, mereka melakukannya sendiri-sendiri sebagai seorang insan akademis, sehingga jelas pertanggungjawaban akademisnya. Kenapa harus bersuara dalam suatu kerumunan yang menjadi objek jajak pendapat suatu lembaga yang punya kepentingan dan perpihakan tertentu, sehingga bisa menimbulkan aroma konspirasi kerumunan? Bagaimana pun, mereka adalah kaum intelektual yang memiliki etika –yang hanya setingkat di bawah etika keilahian– dan nilai-nilai integritas yang berbeda dengan kaum awam. Kaum intelektual adalah kelompok terhormat karena filosofi kebenaran yang mereka miliki sebagai nilai tambah. Bukan awam apalagi preman yang terbiasa melakukan keroyokan. (socio-politica.com – Berlanjut ke Bagian 2)
HINGGA detik-detik terakhir keberangkatannya ke New York USA, melalui Swedia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap bersikeras untuk menerima World Statesman Award dari The Appeal of Conscience Foundation. Ia menganggap lembaga yang dipimpin dan didirikan oleh Rabbi Jahudi Arthur Schneier itu, kredibel. Rabbi Schneier juga adalah pemimpin sinagoga (gereja) Jahudi di Park East Manhattan.
Pers, Senin (27/5) mengutip Presiden mengatakan, “Kalau sebuah lembaga yang kredibel melakukan pengamatan saksama di Indonesia dari berbagai aspek, lalu memberikan penghargaan kepada bangsa kita melalui presiden, tentu tak boleh melihatnya secara tidak baik.” Justru harus berterimakasih, katanya, karena dunia mengamati. Khusus dalam konteks kehidupan beragama, menurut Presiden “patut diapresiasi meski harus diakui masih banyak masalah terkait kerukunan beragama.”
SBY MASA AKABRI, PENABUH GENDERANG. “Karena ABRI memang ingin terus menerus mengendalikan kekuasaan negara, dan makin menyempurnakannya, tentu saja generasi muda yang dididik di Akabri dipersiapkan sebagai pewaris kekuasaan. Komposisi kurikulum Akabri kala itu, terdiri dari 75 persen akademis dan 25 persen kemiliteran. Ini menimbulkan penilaian bahwa memang ABRI mempersiapkan kader-kader yang di samping menguasai ilmu kemiliteran, menguasai pula berbagai aspek yang akan dibutuhkan dalam tugas-tugas non militer. Tegasnya, ada pembekalan untuk menjalankan fungsi sosial-politik dalam kadar tinggi selain fungsi pertahanan keamanan.” (repro)
Terlihat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sisi sebaliknya, mengabaikan kritik sejumlah tokoh intelektual dan pemuka dalam negeri –made in Indonesia– yang tak kalah kredibel dan pasti lebih mengenal dan lebih memahami lika-liku kenyataan di negeri kita ini. Mereka ini, yang telah teruji integritasnya, tak mengamati Indonesia dari depan etalase, tetapi tepat berada di punggung etalase. Kita mencatat beberapa nama yang mengkritisi dan mengingatkan apa yang terjadi di balik kegemerlapan etalase Indonesia, seperti Buya Syafii Maarif, Romo Franz Magnis-Suseno, Adnan Buyung Nasution, selain sejumlah tokoh lain yang berkecimpung sebagai penggiat HAM maupun pengamat dan kalangan perguruan tinggi. Selain itu, sebuah petisi telah ditujukan kepada Rabbi Arthur Schneier agar membatalkan rencana pemberian award kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga pekan ketiga Mei 2013, petisi telah ditandatangani oleh tak kurang dari 1700 orang dari Australia, Belanda, Jepang dan beberapa negara lainnya, selain dari Indonesia dan Amerika Serikat sendiri.
Kita tentu juga mencatat komentar-komentar akrobatik yang mendukung dan mendorong SBY menerima award negarawan dunia seperti itu, antara lain Sekertaris Kabinet Dipo Alam yang menuding Romo Franz dangkal, para juru bicara dan staf khusus Presiden semacam Julian Aldrin Pasha dan Daniel Sparingga, serta Dubes RI di AS Dino Patti Djalal. Tetapi mereka ini, tugas dan kepentingannya memang sepenuhnya mau tak mau harus diabdikan kepada sang Presiden selama in charge.
Namun terlepas dari pro-kontra, fakta adalah fakta. Kenyataan yang terjadi di Indonesia dalam konteks kerukunan beragama –bahkan dalam keadilan, kesetaraan dan kerukunan bangsa secara keseluruhan– jauh dari pantas untuk menjadikan pemimpin negara ini berkategori worldstatesman. Karena, apa yang telah pemimpin itu perbuat hingga sejauh ini, belum berarti dibandingkan besarnya problema bangsa yang sedang dihadapi.
Asisten professor dalam hubungan internasional di Boston University, Jeremy Menchik, yang berkesempatan mengamati Indonesia dari dekat di tahun 2009-2010, menilai pilihan The Appeal of Conscience Foundation kali ini janggal dan keliru. Lembaga itu mempunyai misi untuk mendukung toleransi beragama dan penghargaan kepada hak azasi manusia, sementara di Indonesia terjadi sejumlah fakta sebaliknya. (Selengkapnya baca ‘New York Rabbi’s Awful Award’, socio-politica.com). Salah satu kesalahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disebutkan Jeremy adalah mengangkat seorang politisi partai ideologi Islam sebagai menteri –yang dimaksud adalah Menteri Agama Suryadharma Ali dari PPP– yang senantiasa mempersalahkan minoritas Kristen yang seringkali teraniaya dan tak henti-hentinya menyerukan agar sekte-sekte muslim heterodox dilarang.
“Akibatnya, tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas telah meningkat drastis dan dramatis selama delapan tahun ia menjabat menteri. Sejumlah gereja Kristen di Jawa Barat dan Sumatera Utara dipaksa untuk tutup melalui kebijakan diskriminatif dalam pemberian izin membangun. Minoritas Muslim Syiah diusir dari rumah mereka oleh kelompok Islam militan yang mengubah mereka menjadi pengungsi di wilayah-wilayah yang tadinya merupakan wilayah kehidupan damai selama beberapa dekade. Paling mencemaskan adalah ‘kampanye’ kekerasan selama 10 tahun terakhir terhadap sekte Muslim heterodoks Ahmadiyah. Kelompok ‘vigilante’ militan telah menghancurkan rumah-rumah kaum Ahmadiyah, membakar masjid mereka, mengusir dan membunuh mereka dengan ‘persetujuan’ diam-diam dan kadang-kadang langsung dari pemerintah.”
BAGAIMANAPUN, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berangkat untuk menyongsong suatu award baru yang nampaknya sangat dibutuhkannya lahir-batin untuk bukti pengakuan sebagai salah satu pemimpin dunia. Bukankah selama bertahun-tahun dalam dua periode kepresidenannya ini ia merasa de facto telah mendapat tempat duduk di berbagai forum ‘terhormat’ di antara negara-negara maju? Perjanjian dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki tak memberinya nobel perdamaian, melainkan hanya menghadirkan bendera nasional cikal bakal negara Aceh Merdeka. Justru mediator perdamaian itu, Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia (1994-2000) yang mendapat hadiah Nobel Perdamaian di tahun 2008. Kenapa harus melepaskan World Statesman Award, bila itu mungkin saja bisa membawanya ke kursi semisal sebagai Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa?
Tetapi, apakah ia memang memiliki kualitas world statesman? Sebelumnya, pertanyaannya adalah apakah ia telah menjadi seorang pemimpin Indonesia yang baik dan pantas dibanggakan bangsa ini? Mari menelusuri sebuah catatan domestik.
DI ANTARA enam tokoh yang pernah menduduki kursi RI-1, tak ada yang memiliki begitu banyak kemiripan satu dengan yang lain, selain Jenderal Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Meski sedikit berbeda generasi, keduanya sama-sama memiliki latar belakang militer, yang hidup dan dibesarkan oleh dwifungsi ABRI. Bila Soeharto berperan dalam membesarkan dwifungsi ABRI dalam konteks kekuasaan, maka Susilo Bambang Yudhoyono merupakan generasi baru ABRI yang berhasil mewarisi kekuasaan dengan bersandar kepada pembentukan diri dalam masa-masa puncak penerapan konsep tersebut. Dan sungguh menarik, pewarisan tersebut terjadi justru ketika penerapan konsep dwifungsi itu sendiri dalam praktika kekuasaan negara sedang berada pada titik nol, setelah kejatuhan Jenderal Soeharto Mei 1998.
Surut ke catatan lama, dua puluh lima tahun sebelum itu, 27 April 1973, di kampus Akabri Magelang diselenggarakan diskusi bertopik “Membina Hubungan Generasi Muda Militer dan Non Militer”. Tuan rumah pertemuan adalah para Taruna Akabri. Diskusi diikuti para Taruna seluruh angkatan, serta 301 mahasiswa putera dan puteri dari Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Trisakti Jakarta. Komandan Taruna kala itu adalah Sersan Mayor Taruna Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam diskusi yang moderatornya adalah Prabowo Djamal Ali mahasiswa Ekonomi Unpad, lebih banyak mahasiswa non militer yang angkat bicara dibanding mahasiswa militer. Sebaliknya, lebih banyak Taruna yang memilih diam, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono. Namun setidaknya ada 3 Taruna yang menonjol dan aktif berbicara, yaitu Prabowo Subianto, Agus Wirahadikusumah dan Erich Hikmat. “Kurangnya spontanitas Taruna,” ujar Gubernur Akabri waktu itu, Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, “adalah karena hati-hati, ingat akan Peristiwa tahun 1970 di ITB.”
Pada tahun 1973 itu kuat asumsi di kalangan sipil –termasuk kalangan mahasiswa– bahwa militer (ABRI) berniat untuk senantiasa melanggengkan kekuasaannya. Terlihat waktu itu betapa kalangan militer masuk mendominasi pemerintahan dengan menduduki posisi-posisi yang tadinya diduduki kaum sipil seperti jabatan menteri, gubernur, bupati, walikota, bahkan camat dan lurah. Kalangan militer pun masuk ke dalam posisi-posisi kepemimpinan sosial. Karena ABRI memang ingin terus menerus mengendalikan kekuasaan negara, dan makin menyempurnakannya, tentu saja generasi muda yang dididik di Akabri dipersiapkan sebagai pewaris kekuasaan. Komposisi kurikulum Akabri kala itu, terdiri dari 75 persen akademis dan 25 persen kemiliteran. Ini menimbulkan penilaian bahwa memang ABRI mempersiapkan kader-kader yang di samping menguasai ilmu kemiliteran, menguasai pula berbagai aspek yang akan dibutuhkan dalam tugas-tugas non militer. Tegasnya, ada pembekalan untuk menjalankan fungsi sosial-politik dalam kadar tinggi selain fungsi pertahanan keamanan.
“Akibat adanya perbedaan-perbedaan selama ini, timbul pertanyaan siapakah di antara kita yang berhak menjadi pemimpin,” kata Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Hatta Albanik dalam diskusi. “Dalam masyarakat kita yang feodalistis, pemimpin lah yang menentukan masyarakat.” Menurut Taruna Erich Hikmat –yang belakangan sebagai perwira militer sempat bertugas dalam posisi sipil pada perwakilan Indonesia di luar negeri– yang diperlukan adalah pimpinan yang qualified, tidak soal apakah ia ABRI atau bukan, tetapi atas pilihan rakyat.
TIGAPULUH satu tahun setelah kelulusannya selaku Alumni Akabri 1973, Susilo Bambang Yudhoyono menapak ke puncak kekuasaan negara melalui cara dan metode sipil sesuai ‘kondisi dan situasi’ tahun 2004 dengan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik utamanya. Majalah Far Eastern Economic Review (September 30, 2004) menyambut kemenangan SBY di tahun 2004 dengan cover story “High Hopes, Indonesians Vote For Strong Leadership”. Namun, harapan tinggal harapan. Dalam menjalankan kekuasaannya, selama hampir 9 tahun hingga kini, tak lari jauh dari akar pembentukan dirinya Susilo Bambang Yudhoyono banyak menggunakan cara dan metode menyerupai Soeharto. Dengan catatan, ada perbedaan kualitatif, khususnya menyangkut solidity maupun solvability dari kekuasaan tersebut.
Baik Jenderal Soeharto maupun Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, berkecenderungan untuk meletakkan pengambilan keputusan di tangannya sendiri. Bedanya, keputusan Soeharto sangat kuat daya paksanya, khususnya kepada para bawahan, sedang Susilo Bambang Yudhoyono sebaliknya, jauh lebih lemah. Perbedaan zaman atau periode kekuasaan mereka mungkin mempengaruhi, tetapi pada hakekatnya ini lebih berhubungan dengan persoalan kepemimpinan. Hasrat para pemimpin bisa sama, tetapi pencapaian belum tentu juga sama.
SEMENTARA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –hingga sejauh ini– masih memilih ‘sikap untuk tidak bersikap’, ketegangan antara KPK dengan Polri mengalami eskalasi menuju tingkat yang lebih berbahaya. Tetapi sepanjang menyangkut langgam kepemimpinan tidak solutif dan tidak punya karakater problem solverdari jenderal staf ini, fenomena ‘sikap untuk tidak bersikap’ bukanlah sesuatu yang mengherankan betul. Dengan getir Harian Kompas (6 Agustus 2012) menyelipkan catatan saat memberitakan insiden KPK-Polri, “Dalam situasi seperti itu, semestinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyokong KPK agar bisa bekerja maksimal”. Namun, “harapan ini tampaknya sia-sia meskipun publik tetap menagih komitmen dan janji politiknya untuk memberantas korupsi”.
TOPI JENDERAL POLISI. “Untuk memperbaiki Polri, apapun caranya, semestinya kita bisa menoleh kepada Presiden Republik Indonesia, Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi bisakah itu? Mungkin tidak, karena sekali lagi, ……. sepanjang menyangkut SBY, harapan itu akan sia-sia…..”. (foto justisianews)
Setidaknya ada dua pemberitaan yang bisa menunjukkan terjadinya eskalasi ke arah berbahaya dalam benturan KPK-Polri itu.
Mingguan Berita Tempo terbaru, pekan ini, menurunkan sebuah laporan tentang pertemuan konsolidasi Pimpinan Polri dengan sejumlah Perwira Tinggi Polri (6 Agustus) untuk menghadapi ‘serangan’ KPK. Mengutip sumbernya yang ikut dalam pertemuan tertutup tersebut, Tempo mencatat serangkaian ucapan Kapolri Jenderal Timur Pradopo, yang oleh media terkemuka itu disebut sebagai orasi. “Hukum tanpa etika, namanya preman”, ujarnya. “Menggeledah tempat orang seenaknya dan menangkap orang seenaknya itu namanya garong”. Dikaitkan dengan peristiwa aktual yang sedang terjadi antara KPK dan Polri, yaitu penggeledahan KPK di Mabes Korlantas Polri, tak boleh tidak, tentulah dianggap bahwa sasaran kalimat itu adalah KPK. Beberapa media lalu mendefinitifkan bahwa Kapolri menuding KPK sebagai garong. Apalagi, dalam kesempatan yang sama, Jenderal Timur Pradopo, juga mengatakan Undang-undang Tindak Pidana yang menjadi landasan kerja KPK adalah “aturan extraordinary, tetapi belum memiliki hukum acara”.
TELAH lebih dari sepuluh hari ini, berita kecurangan dan manipulasi suara untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden RI 2004 maupun 2009, kembali bergulir. Tetapi, hanya melalui media sosial di jaringan dunia maya, dan boleh dikatakan tak mendapat tempat di kolom-kolom pemberitaan media cetak maupun televisi. Sumber berita, adalah Ir Indro Tjahjono, seorang aktivis gerakan kritis mahasiswa tahun 1978, seangkatan antara lain dengan Dr Rizal Ramli dan Ir Heri Akhmadi.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DI FORUM PARTAI DEMOKRAT, DI MIMBAR GARUDA. Terdongkrak secara ajaib. (foto detik)
Berbicara di ‘Rumah Perubahan’, Jalan Gajah Mada Jakarta pekan lalu, Indro Tjahjono mengungkapkan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah melakukan kecurangan untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua Pemilihan Presiden, baik di tahun 2004 maupun tahun 2009, melalui manipulasi sistem Informasi Teknologi (IT).
Indro merinci, dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2004, semua PC (personal computer) di KPU yang digunakan untuk penghitungan suara, telah diset-up dengan program khusus di malam hari. “Ketika tidak ada orang di KPU, malam-malam ada yang datang. Semua PC diisi program untuk memenangkan SBY”, kata Indro. Dan, “yang terdongkrak secara ajaib adalah suara Partai Demokrat”.
Manipulasi dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2009, lebih maju lagi selangkah. Semua unit PC yang akan dimasukkan ke KPU lebih dulu telah diset-up dengan program tertentu. Kecurangan IT pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009 ini, menurut Indro, memang lebih complicated. “Pada 2009, tidak cukup dicurangi dari sisi IT, tetapi juga dilakukan rekaya manual. Salah satunya dari DPT (Daftar Pemilih Tetap). Rekayasa manual dicocokkan untuk pengontrolan suara dari sisi IT, agar jangan sampai hitungan IT melonjak, tetapi manualnya tidak cocok”. Rekayasa manual itu, demikian Indro lebih jauh, diback-up dengan manipulasi IT. “Ini untuk memberi patokan kepada publik bahwa kemenangan yang diraih SBY atau Partai Demokrat, cukup besar. IT yang sudah diset-up akan mendekati hitungan suara manual yang sudah direkayasa melalui DPT”. Continue reading Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (1)→
AKSI-AKSI mahasiswa intra kampus Bandung pada umumnya lebih terfokus pada issue-issue yang berkaitan dengan kepentingan makro, bangsa, negara dan sangat menghindari issue-issue praktis, tendensius, berbau pemerasan. Aksi-aksi mahasiswa intra kampus Bandung umumnya ditujukan pada perbaikan nasib rakyat, kritik terhadap penyimpangan kebijakan maupun pelaksanaannya dalam bidang politik, ekonomi, dwifungsi ABRI, korupsi, kolusi dan nepotisme yang mulai menggejala dan lain sebagainya.
DEMONSTRAN MAKASSAR BABAK BELUR DI TANGAN POLISI. “Sayang sekali bahwa perilaku pimpinan-pimpinan puncak TNI dan Polri di tingkat pusat maupun daerah lebih tampil sebagai pembawa kekuasaan yang memusuhi rakyat daripada pembela rakyat dan pelindung negara serta bangsa dari ancaman kekerasan”. (foto antara)
Leadingissue yang dimunculkan misalnya adalah koreksi terhadap keberadaan lembaga-lembaga ekstra konstitusional seperti Aspri, Kopkamtib dan Laksus Kopkamtibda, dwifungsi ABRI, hak-hak warganegara, demokratisasi. Lalu, koreksi terhadap perilaku ‘economicanimal’ dari penanam modal Jepang di Indonesia dan praktek-praktek antikulturalnya. Serta kritik terhadap strategi pembangunan ‘trickledowneffect’ yang menguatkan kolusi orang-orang dekat di sekitar Soeharto dengan pengusaha-pengusaha non pri cina yang rasialis, kesan penyimpangan bantuan luar negeri melalui IGGI yang dikorupsi dan hanya bermanfaat bagi segelintir elite, RUU Perkawinan, skeptisisme terhadap kemampuan Soeharto dan lain sebagainya.
Dengan sendirinya misi gerakan mahasiswa intra kampus Bandung pada waktu itu tidak diarahkan sebagai suatu gerakan populis yang memprovokasi massa, tetapi lebih diarahkan sebagai advokasi terhadap kepentingan masyarakat luas dengan sedapat mungkin mengeliminasi unsur-unsur dalam kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto yang menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang disebutkan dalam leadingissue itu. Kalau kemudian mahasiswa intra kampus di Jakarta melepaskan diri dari aksi semacam ini, bergerak ke arah provokasi terhadap masyarakat luas serta merangkul gerakan-gerakan demonstran ekstra kampus, tak pelak lagi terciptalah jarak yang sama dengan persepsi gerakan mahasiswa intra kampus Bandung pada gerakan-gerakan ekstra kampus pada umumnya.
PERJUANGAN mahasiswa 1970-1974 itu memang menjadi ternoda oleh kecerobohan yang dilakukan para mahasiswa intra kampus di Jakarta yang terlalu banyak melibatkan tokoh-tokoh avonturir gerakan mahasiswa ekstra kampus. Di samping kurangnya sensitivitas terhadap kemungkinan begitu teganya suatu pemerintahan kekuasaan yang didukung secara populis dan demokratis serta selalu menyatakan diri memiliki partnershipdengan mahasiswa, memperlakukan anak bangsanya sendiri sebagai musuh yang harus ditumpas habis seperti mereka menumpas PKI dan Soekarno sebagai lawan politiknya.
GERAKAN MAHASISWA, TAHUN 1966. “Ada semacam kendala di kalangan petinggi-petinggi ABRI pada waktu itu untuk tidak menjatuhkan korban di antara para mahasiswa dan prajurit dengan bercermin pada bagaimana tindakan yang dilakukan terhadap pasukan pengamanan Soekarno (Resimen Tjakrabirawa) yang dianggap bertanggung jawab terhadap terbunuhnya demonstran mahasiswa Arif Rahman Hakim di depan Istana Merdeka di samping juga ada kekuatiran bahwa putera-puteri mereka sendiri mungkin juga berada di tengah-tengah para mahasiswa yang sedang menyalurkan aspirasi hati nurani rakyat”. (Repro PACE/MI)
Dengan didudukinya kampus Universitas Indonesia oleh pasukan pendudukan militer, dimulailah suatu masa penindasan baru terhadap rakyat dan bangsa Indonesia yang bahkan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah jajahan Belanda serta fasisme Jepang. Dan bagaikan drakula yang sekali mengisap darah kemudian semakin menikmati sedapnya darah, demikianlah kemudian terjadi penindasan demi penindasan terhadap rakyat Indonesia yang semakin lama menjadi semakin enteng dan berdarah-darah dilakukan tanpa sedikit pun rasa bersalah dan penyesalan, dilakukan oleh petinggi-petinggi ABRI.
Pendudukan kampus berulang kembali di Bandung tahun 1978. Perlakuan-perlakuan berdarah dan anti kemanusiaan dalam operasi-operasi militer Timor Timur, Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Irian, Maluku, Ternate sampai dengan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan dengan ‘enak’nya menggunakan istilah ‘demi negara’, bahkan dijadikan sebagai ‘media’ unjuk jasa yang pantas mendapatkan penghargaan, jabatan-jabatan tinggi sampai tertinggi di dalam negara Republik Indonesia tercinta ini. Mereka seolah-olah bisa berbuat apa saja dalam menindas bangsa dan negara Indonesia ini. Tanpa rasa salah dan sesal. Tidak ada satupun petinggi itu yang diseret ke mahkamah pengadilan negara seperti mereka me-Mahmilub-kan (Mahkamah Militer Luar Biasa) tokoh-tokoh G30S/PKI yang mereka anggap sebagai pendosa bangsa dan negara Indonesia. Sementara dosa-dosa yang telah mereka perbuat terhadap bangsa dan negara Indonesia mereka coba tutupi Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (6)→
RAKYAT dan bangsa Indonesia, karenanya harus peka bilamana aturan dan undang-undang itu dibuat atau diusulkan oleh ABRI sendiri, dengan anggapan mereka lebih ahli dalam bidangnya. Kemalasan dan keengganan berfikir semacam inilah yang membuat bangsa dan negara Indonesia seringkali kecolongan sehingga melahirkan banyak aturan-aturan negara yang kemudian mencekik negara dan menguntungkan satu kelompok kepentingan saja.
Produk undang-undang ‘ketengan’ semacam ini banyak dihasilkan oleh inflasi undang-undang di masa pemerintahan Presiden Habibie (yang berkolaborasi dengan DPR/MPRnya Harmoko cs) sehingga menyulitkan kontrol publik terhadap kekuasaan kripto-mania yang mengangkangi asset-asset milik publik, membuat negara dalam negara yang dikuasi para kripto-mania tersebut. Lihat saja UU Bank Indonesia, aturan-aturan tentang BPPN, UU tentang Mahkamah Agung, UU tentang Kejaksaan, UU Kepolisian, UU tentang Perpajakan dan lain-lain.
KARIKATUR, KETIKA PELAJAR (KAPI-KAPPI) MENUNTUT WAKIL MAHASISWA (KAMI) TURUN DARI KURSI DPR, 1968. “Ada kecenderungan penilaian bahwa tokoh-tokoh mahasiswa 1966 sudah mulai lembek terhadap kekuasaan Orde Baru, tidak lagi kritis terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh pemerintahan Soeharto, tidak idealis lagi, dan mulai meninggalkan tradisi-tradisi kecendekiawanan gerakan-gerakan mahasiswa. Masih ada sedikit respek terhadap segelintir tokoh gerakan mahasiswa 1966 yang masih mau dan mampu berkomunikasi intensif karena dinilai dapat tetap memelihara integritas dan idealisme mahasiswa. Tetapi tokoh-tokoh semacam ini biasanya adalah mereka yang justru dimusuhi oleh kekuatan kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto”. (Karikatur Ganjar Sakri, 1968).
Semua UU itu bertujuan untuk mengontrol dan menguasai publik dan memberikan tempat sangat sempit untuk kontrol publik. UU Kepolisian misalnya, telah menempatkan kepolisian sebagai suatu ‘kekuatan’ baru yang jauh lebih besar kekuasaannya daripada masa sebelumnya, namun tidak memberi celah kepada kontrol publik. Sehingga bukan mustahil pada waktunya kepolisian akan mengulangi perilaku tentara tatkala memegang kekuasaan besar di tangannya. Kecemasan seperti ini ada dasarnya karena catatan empiris memperlihatkan terjadinya beberapa tindakan brutal aparat kepolisian sebagai aparat kekuasaan dalam menghadapi masyarakat pada beberapa tahun terakhir dan pada akhir-akhir ini, termasuk Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (3)→
JAUH sebelum Ketua DPR-RI Marzuki Alie melontarkan ucapannya (Senin, 7Mei 2012) tentang adanya alumni beberapa perguruan tinggi negeri ternama seperti UI dan UGM yang terlibat korupsi, seorang dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Drs Hatta Albanik MPsy telah menyampaikan kritik dan otokritik yang lebih tajam dari itu.
REKRUITMEN KEPEMIMPINAN, DARI POLITIK SENJATA DAN OTOT SAMPAI POLITIK KECAP. “Agaknya bangsa dan negara Indonesia perlu berusaha menciptakan suatu sistem rekrutmen kepemimpinan bangsa dan negara yang memungkinkan munculnya pimpinan-pimpinan bangsa dan negara dari segala level kepemimpinan, politik, militer, pemerintahan, birokrasi yang benar-benar mampu memikul tanggung jawab kekuasaan negara yang bukan pemburu serta penikmat kekuasaan belaka”. (Karikatur 1967, T. Sutanto)
Mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa Unpad 1973-1974 itu, pernah menulis –dalam referensi tema untuk buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004)– bahwa bangsa dan negara Indonesia sampai hari ini belum beruntung memiliki pemimpin-pemimpin yang andal, penuh dedikasi, menimbulkan rasa bangga, demokratis, tidak mabuk kekuasaan, tidak lupa daratan, mencintai negara lebih dari mencintai keluarga, dan sebagainya. “Agaknya bangsa dan negara Indonesia perlu berusaha menciptakan suatu sistem rekrutmen kepemimpinan bangsa dan negara yang memungkinkan munculnya pimpinan-pimpinan bangsa dan negara dari segala level kepemimpinan, politik, militer, pemerintahan, birokrasi yang benar-benar mampu memikul tanggung jawab kekuasaan negara yang bukan pemburu serta penikmat kekuasaan belaka”.
Kampus perguruan tinggi dan gerakan mahasiswa intra kampus perguruan tinggi, menurut tokoh mahasiswa gerakan kritis tahun 1970-an itu, harus diupayakan “agar selalu menjadi salah satu sumber rekrutmen kepemimpinan”. Hal ini harus diberikan penekanan, karena “bukan tak mungkin dari ekses-ekses yang terlihat hingga hari ini, kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia: UI, ITB, IPB, UGM, AMN, AAU, AAL, Akpol, STPDN, IIP sedang, bisa dan akan menjadi sumber rekrutmen pemimpin-pemimpin negara yang korup, kolutif, nepotistik, berorientasi pangkat, jabatan, kekayaan, kekuasaan dan penindas rakyat, jauh dari sifat-sifat idealistik, dedikatif, bersih berwibawa dan memajukan rakyat, bangsa serta negara”. Continue reading Soal “Perguruan Tinggi Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin-pemimpin Negara yang Korup”→
“Kita sudah cukup banyak memiliki ajaran agama yang membuat kita saling membenci, tapi belum cukup ajaran yang membuat kita saling menyayangi”, Jonathan Swift, Penulis.
PERNYATAAN Menteri Agama Suryadharma Ali, usai rapat di Gedung DPR Jakarta, Rabu 25 Januari yang lalu, yang mengatakan aliran Syiah bertentangan dengan ajaran Islam benar-benar mengejutkan dan sangat disesalkan, karena dapat membuat konflik dalam kehidupan beragama semakin memanas. Suryadharma baru membaca dokumen lama, salah satunya adalah hasil Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Maret 1984 di Jakarta yang merekomendasikan umat Islam Indonesia agar waspada terhadap penyusupan paham Syiah yang berbeda dengan ajaran Ahli Sunnah Waljamaah, terutama dalam segi imamah (pemerintahan). Kementerian Agama RI juga pernah mengeluarkan surat edaran nomor D/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember 1983 tentang golongan syiah dan menyatakan bahwa syiah tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. “Atas dasar itu, Majelis Mujahidin Indonesia menyatakan bahwa Syiah bukan dari golongan Islam. Siapa saja yang menganggap syiah tidak sesat, berarti dia sesat,” kata Menag dalam siaran persnya. Padahal, beberapa hari sebelumnya ia mengatakan Syiah masih dalam koridor Islam.
Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Umar Shahab menyarankan agar Suryadharma meminta maaf atas pernyataan tersebut, karena dapat memicu tindakan yang tidak dikehendaki dari kelompok garis keras. Secara terpisah, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Said Agil Siraj setuju Menteri Agama meminta maaf. “Wahabi yang keras saja tidak menganggap Syiah itu sesat”, katanya (Koran Tempo, 27 Januari 2011). Ketua Dewan Pimpinan Harian Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab pun menyatakan belum memutuskan apakah Syiah di luar Islam atau tidak. Bahkan, Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar menegaskan Syiah tidak menyimpang dari ajaran Islam. Kemudian, dalam hasil pertemuan Dewan Syura atau Tanfidz IJABI dengan Dewan Syariat PPP, Jumat (27/1/12) malam, Suryadharma mengatakan tidak merasa pernah menyebut kelompok Syiah sebagai aliran sesat yang berada di luar Islam. Kelihatan, ada kekuatan penekan yang begitu kuat sehingga Suryadharma bersikap plinplan seperti itu.
Daya tarik Revolusi Islam Iran yang membangkitkan minat mempelajari Syiah Jauh sebelumnya, Syiah non-politik, atau Syiah fikih, yang masuk ke Indonesia sejak awal abad 19, yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat, India, dan ulama-ulama dari Hadramaut, sudah membaur dengan Sunni. Tidak dikenal adanya masjid eksklusif Syiah, sehingga mereka beribadah di masjid yang sama dengan kelompok Sunni. Bahkan, di tempat yang pengaruh Syiah cukup dominan, beberapa tradisi Syiah digunakan masyarakat sebagai suatu kebiasaan tradisi beragama yang dianggap sudah demikian adanya.
Pada awal 1980-an, Makmun, seorang kiai di Nangkernang, Desa Karang Gayam, Sampang, Madura, yang gemar mempelajari agama lewat Al-Quran dan kitab-kitab kuning mendapat kiriman sebuah surat kabar dari sahabatnya di Iran mengenai Ayatollah Ali Khomeini, imam besar Syiah Iran, yang meletuskan Revolusi Islam Iran tahun 1979. Keberhasilan Khomeini menumbangkan monarki Syah Iran Reza Pahlevi, pemerintahan saat itu yang menjadi anak emas Amerika di Timur Tengah, telah membuat banyak kalangan Islam terbelalak, dan menjadi momentum historis bagi tersebarnya ajaran Syiah ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Mengagumi sosok Khomeini tersebut, pada 1983 Makmun lantas mengirim keempat anaknya, Iklil Hilal (kini 41 tahun), Tajul Muluk (40), Roisul Hukama (39), dan Heni (37), ke Pesantren Yayasan Pesantren Islam (YPI) di Bangil, Pasuruan, yang memang dikenal beraliran Syiah. Pada 1991, anak-anak Makmun telah kembali ke Sampang. Dari keempat anaknya, hanya Tajul, bernama asli Ali Murtadha, yang melanjutkan sekolah di Arab Saudi pada 1993, namun karena terkendala biaya, sekolahnya berhenti di tengah jalan. Ia banting setir jadi pekerja serabutan dan menetap di sana hingga 1999.
Mengetahui Tajul pernah berguru agama hingga ke Saudi, sejumlah warga Nankernang meminta Tajul untuk mengajari anak mereka mengenai agama. Pada 2004, Tajul merintis pesantren Misbahul Huda yang mengajarkan Islam ala Syiah yang pengaruhnya cepat meluas, sehingga menimbulkan kecemburuan dari sejumlah tokoh masyarakat Nangkernang, terutama kiai yang beraliran Ahlu Sunnah wal Jamaah atau Sunni. Pada 2006, gesekan mulai terjadi dan kelompok pesaing Tajul mulai menuding Syiah sesat. Protes itu reda dengan sendirinya, dan warga pun melupakan soal Syiah tersebut. Namun, konflik terjadi lagi ketika acara Maulid Nabi yang digelar di Misbahul Huda pada April 2007, dihadang oleh ribuan warga yang protes. Selain itu, pada 2007 Tajul dan Roisul dilantik sebagai pengurus IJABI wilayah Sampang.
Namun, karena masalah pribadi dengan kakaknya, tahun 2009 Roisul keluar dari Syiah dan kembali ke aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah. Sejak itu pula Roisul gencar menjelek-jelekkan Syiah. Dan sebelum penyerangan pesantren Misbahul Huda yang lalu itu, menurut Iklil Hilal, sang abang, Roisul terlihat di tengah-tengah massa, namun pada saat penyerangan terjadi sudah pergi menghilang. (http://www.tempo.co/read/news/ 2012/01/09/078376042/ Kisah-Cinta-di-Balik-Bentrok-Syiah-Madura).
Sebenarnya, di belakang keberhasilan revolusi itu ada Ali Syariati, salah satu arsitek intelektual Revolusi Islam Iran yang mampu menggerakkan para pemuda dan kaum buruh untuk bergerak melakukan perlawanan terhadap rezim Pahlevi. Namun, dalam pemberitaan mengenai revolusi Iran tersebut, namanya tidak disebut-sebut. Tokoh yang muncul ke permukaan adalah Khomeini sang pemimpin spiritual dan sekaligus pemimpin tertinggi Iran, dan beberapa tokoh intelektual lain yang berada di barisan para ulama, seperti Murthadha Muthari dan Sayeed Hosein Nashr.
Ali Syariati, yang dibenci oleh sebagian ulama Iran, adalah tokoh yang berada di barisan para intelektual dan menggerakkan kampus-kampus di Mashad menentang pemerintah rezim Pahlevi yang represif. Namun pada sisi lain ia menjadi salah satu orang yang membenci ulama, karena menurutnya para ulama sebelumnya berkonspirasi dengan pemerintah. Ali Syariati dicari-cari oleh intelijen, dan akhirnya dibunuh oleh agen rahasia Iran, karena melalui tulisan serta gerakan politiknya ia dituduh sebagai otak utama dalam gerakan menentang pemerintah tersebut. Selain menggerakkan mahasiswa di Iran, ia juga menggerakkan mahasiswa Iran yang berada di Eropa, khususnya yang berada di Perancis. Bahkan, menyebar ke seluruh pelosok dunia Barat dan Timur, termasuk Indonesia (http://kedai-ilmu.blogspot.com/ 2011/03/ali-syariati-sosok-aktivis-tangguh.html).
Di Indonesia, walaupun mayoritas penduduknya bermazhab Sunni, yang jelas-jelas berbeda dengan Syariati yang Syiah, tetapi sebagian intelektual Muslim sudah mengenal pemikirannya lewat penerjemahan buku-bukunya sejak akhir tahun 1970-an. Di tahun 1980 bersamaan dengan penerjemahan dan kajian-kajian tentang Syariati, muncul kelompok “Kiri Islam”, baik dari LSM maupun aktivis Islam dari HMI, Masjid Salman ITB, dan Masjid Shalahuddin Yogyakarta. Pemikiran dan penafsirannya tentang agama, yang dekat dan berpihak pada rakyat kecil demi keadilan, yang diwujudkan dalam tindakan kongkrit, agaknya relevan dengan kondisi Indonesia waktu itu yang rakyatnya banyak hidup di bawah garis kemiskinan.
POSTER ANTI SYIAH DI INDONESIA. “Keberhasilan Khomeini menumbangkan monarki Syah Iran Reza Pahlevi, pemerintahan saat itu yang menjadi anak emas Amerika di Timur Tengah, telah membuat banyak kalangan Islam terbelalak, dan menjadi momentum historis bagi tersebarnya ajaran Syiah ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia”. Pada saat yang sama, “gerakan Syiah menjadi sasaran kecemburuan kelompok lain yang selama ini pasif”. (Download: penaminang.blogspot.com)
Dalam kekaguman para generasi muda kepada revolusi Iran menggulingkan Syah Iran yang pro Barat –walaupun tidak sepenuhnya sebagai revolusi Islam– kajian mengenai Syiah ikut berkembang, dan mendapat dukungan dari pemerintah Iran. Kajian mengenai Syiah juga mulai banyak dilakukan di beberapa kampus di Jakarta (Universitas Indonesia dan Universitas Jayabaya), dan Bandung (Universitas Padjadjaran dan ITB). Bersamaan dengan itu ada program beasiswa ke Qum, Iran. Namun, program itu tidak begitu berhasil, karena pada saat yang sama, berkembang pula gerakan pengajian di kampus-kampus dari kelompok tarbiyah (Ikhwan) yang lebih agresif. Pada tahun 1990-an kelompok Syiah mengubah strateginya dengan keluar dari kampus, dan mengembangkan dakwahnya langsung ke tengah masyarakat melalui kegiatan publikasi (penerbitan buku), pembinaan kelompok-kelompok intelektual dengan program beasiswa ke Qum, Iran, dan sebagian lagi mengembangkan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan.
Sejauh yang dapat diketahui, menurut H As’ad Said Ali, Wakil Ketua Umum PBNU, generasi program beasiswa ke Qum yang pertama, adalah Umar Shahab dan Husein Shahab, yang keduanya berasal dari YAPI, Bangil. Mereka pulang ke Indonesia tahun 1970-an, dan sejak awal 1980-an mengembangkan Syiah di kalangan kampus. Sejak 1981, gelombang pengiriman mahasiswa ke Qum semakin intensif, dan generasi alumni Qum kedua inilah yang sekarang banyak memimpin yayasan-yayasan Syiah, dan menjadi pelopor gerakan Syiah di Indonesia. Walaupun tidak banyak yang berhasil dikader dan menjadi tokoh, tetapi hasilnya cukup memadai, misalnya Agus Abubakar dan Sayuti As-Syatiri dari UI, Zulfan Lindan dari Universitas Jayabaya, Jakarta, dan Haidar Bagir dari ITB, Bandung.
Namun yang lebih menarik, di luar jalur binaan kedua tokoh alumni Qum tersebut, pada pertengahan 1980-an muncul Jalaluddin Rakhmat sebagai cendekiawan Syiah yang lebih terkenal. Dengan latar belakang dari keluarga Nahdliyyin (orang-orang NU), Cicalengka, Jawa Barat, karena gemar mempelajari ilmu agama, saat SMA Jalaluddin berkelana menjelajah ke beberapa pesantren di Jawa Barat, pernah bergabung Persatuan Islam (Persis), aktif masuk dalam kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad, atau pemimpin masa depan. Ketika menjadi mahasiwa Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad, Bandung, bergabung dengan Muhammadiyah, dan dididik di Darul Arqam Muhammadiyah, dan pusat pengkaderan Muhammadiyah.
Setelah menjadi dosen, sampai dengan tahun 1998 kegiatan ekstra-kurikulernya dihabiskan dengan berdakwah dan melakukan pengajian, yang berlangsung di Masjid Salman ITB maupun di Masjid Jami Al-Munawarah, Bandung. Selain itu, ia membina jamaah di masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh gelandangan. Ia terkenal sangat vokal mengkritik kezaliman, baik yang dilakukan oleh elit politik maupun elit agama. Akibatnya ia sering harus berurusan dengan aparat militer, dan akhirnya dipecat sebagai pegawai negeri. Ia meninggalkan kampusnya dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Qum, Iran, untuk belajar Irfan (tasawuf) dan filsafat Islam dari para Mullah tradisional, yang mengantarkannya menjadi tokoh Syiah yang disegani. Pengenalannya dengan dunia tasawuf dimulai sejak tahun 1984, ketika bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshory diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984, ia bertemu dengan ulama-ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf, dan ia merasa kagum.
Sebagai aktivis Syiah, Jalaluddin Rakhmat membidani dan menjadi Ketua Dewan Syura IJABI yang kini sudah mempunyai hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab.
Kini, gerakan Syiah di Indonesia diorganisir oleh Islamic Cultural Center (ICC), dipimpin Syaikh Mohsen Hakimollah, yang datang langsung dari Iran. Secara formal organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah. ICC Jakarta di bawah kendali dan pengawasan langsung Supreme Cultural Revolution Council (SCRC) Iran. Di bidang pendidikan ICC mengorganisir lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan penerbitan yang jumlahnya sangat banyak dan bertebaran di berbagai daerah. Sedangkan di bidang dakwah, ICC bergerak di dua sektor, yaitu: gerakan kemasyarakatan yang dijalankan oleh IJABI, dan gerakan politik yang mengkhususkan bergerak di bidang mobilisasi opini publik dijalankan oleh Yayasan OASE. Sedangkan untuk bidang gerakan politik dan parlemen, dikomandani oleh sejumlah tokoh, dengan cara menyebarkan kader ke sejumlah partai politik.
Sebagai motor gerakan kemasyarakatan, IJABI hingga sekarang memiliki struktur yang telah meluas secara nasional hingga ke Daerah Tingkat II. Tentu format yang demikian dapat menjadi kekuatan efektif untuk memobilisasi pengaruh dan kepentingan politik. Kader-kader IJABI selain telah banyak aktif di dunia kampus, kelompok-kelompok pengajian, lembaga-lembaga sosial dan media, di daerah-daerah juga telah banyak yang menjadi anggota parlemen. Di level daerah inilah, IJABI yang memiliki peranan penting sebagai simpul gerakan dakwah dan politik di masing-masing daerah, gerakan Syiah menjadi sasaran kecemburuan kelompok lain yang selama ini pasif.
Berlanjut ke Bagian 2
-Tulisan ini disusun untuk sociopolitica, oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.