Tag Archives: Mahmilub

1965: Konspirasi Di Atas Konspirasi

TERKAIT Peristiwa 30 September 1965, buku Julius Pour “G30S, Fakta atau Rekayasa” (Kata Hasta Pustaka, 2013) menyebutkan ada satu pertanyaan yang menunggu jawaban. “Jika memang Jenderal Soeharto sudah tahu bahwa sejumlah perwira progresif revolusioner akan bergerak, mengapa dia tidak lebih dulu menghabisi mereka? Paling tidak, melaporkannya kepada Jenderal Yani.”

Untuk itu, Julius Pour yang dulu aktif sebagai wartawan di sebuah media nasional terkemuka, merujuk beberapa catatan dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, 2006). Bahwa, kala itu sebenarnya cukup banyak perwira Angkatan Darat, di antaranya Jenderal Soeharto, yang tahu banyak tentang adanya sesuatu yang berpotensi bahaya terhadap negara, khususnya terhadap pimpinan Angkatan Darat. Namun semuanya, tidak ada yang pernah menindaklanjuti informasi yang mereka terima tersebut. Minimal, dengan melaporkan kepada atasan. Di lain pihak, bisa terjadi, justru pihak atasan yang memang tidak tanggap.

SOEKARNO-UNTUNG-SOEHARTO. "Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief."
SOEKARNO-UNTUNG-SOEHARTO. “Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief.”

Menurut buku tahun 2006 tersebut, Jenderal Soeharto mengetahui adanya rencana gerakan, tidak kurang dari Kolonel Latief –salah seorang perwira yang kemudian dinyatakan terlibat dalam peristiwa– sehari menjelang kejadian. Selain itu, sebelumnya Soeharto pernah pula bertemu Letnan Kolonel Untung ‘pemimpin’ gerakan militer tanggal 30 September 1965 tersebut. Namun sebenarnya, Soeharto tak sendirian dalam mengetahui rencana konspirasi –bahkan mungkin justru terlibat secara mendalam– akan tetapi membiarkan. Tak lain, karena memang masing-masing tokoh, di antaranya Soekarno, saat itu punya agenda untuk kepentingan politik dan kekuasaannya sendiri.

Lebih jauh, berikut ini adalah kutipan beberapa catatan dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 yang menggambarkan adanya benang merah konspirasi di atas konspirasi dalam Peristiwa 30 September 1965.

SAMPAI tengah malam saat bertemunya akhir hari Kamis 30 September dan awal hari Jumat 1 Oktober 1965, terpetakan situasi berikut ini, diantara tokoh-tokoh yang akan mencipta satu episode baru dalam sejarah politik dan kekuasaan Indonesia. Semua tokoh, pada tempat pijakannya masing-masing, ada dalam keadaan tidak buta samasekali, dan semua punya sesuatu pengetahuan penting –meskipun dalam kadar kedalaman yang berbeda-beda– terkait dengan apa yang akan terjadi kemudian tak berapa lama lagi. Beberapa diantara mereka terlibat dalam rangkaian perbuatan yang menimbulkan tanda tanya, sekaligus menempatkan mereka dalam posisi tertuduh dalam sejarah, sebagai orang-orang yang menciptakan suatu tragedi berdarah.

            Soekarno, Presiden Republik Indonesia, memiliki bekal pengetahuan tentang akan adanya satu gerakan dari sekelompok perwira yang bertujuan menindaki sejumlah perwira lainnya di Angkatan Darat yang dianggap akan melakukan ‘kudeta’ terhadap dirinya. Ia sendiri yang memerintahkan penindakan para jenderal itu kepada Brigjen Sabur, Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. Tetapi memang menarik bahwa yang kemudian tampil bertindak adalah pasukan yang dikoordinasi oleh Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung, yang tidak ikut kesibukan lapor-melapor pada hari-hari menjelang tanggal 30 September 1965.

Soekarno percaya bahwa kelompok perwira yang akan melakukan makar itu, adalah apa yang dinamakan Dewan Jenderal. Bagi Soekarno, Dewan Jenderal identik dengan Jenderal Abdul Harris Nasution, yang menurut Soebandrio adalah jenderal yang paling ditakuti sang presiden. Jadi, baginya, Nasution adalah sasaran untuk ditindaki dan bersama sejumlah jenderal akan diperhadapkan kepadanya esok hari pada tanggal 1 Oktober 1965.

Ada kemungkinan, Soekarno tidak terlalu menyadari bahwa Letnan Jenderal Ahmad Yani –yang sebenarnya adalah satu di antara de beste zonen van Soekarno– menjadi salah satu sasaran gerakan, karena untuk Yani, Soekarno sudah punya solusi tersendiri. Keberatan Soekarno terhadap Yani hanyalah bahwa salah satu jenderal kesayangannya ini seringkali dianggapnya terlalu terpengaruh oleh Nasution. Bahwa akan terjadi pembunuhan, kemungkinan besar adalah di luar keinginan Soekarno. Menurut Laksamana Madya Laut (Purnawirawan) Mursalin Daeng Mamangung, Soekarno pada hakekatnya ‘tidak tahan’ melihat darah mengalir. Mursalin tidak yakin bila suatu perintah pembunuhan  keluar dari mulut Soekarno. Artinya, bisa ditafsirkan bahwa ungkapan-ungkapan tentang pertumpahan darah di antara sesama saudara kalau perlu demi perjuangan, lebih cenderung sebagai ungkapan romantik belaka dari Soekarno mengenai revolusi.

Jangankan Soekarno, bagi Brigjen Soepardjo maupun Kolonel Latief pun hal itu diluar dugaan. Perintah yang menyebabkan darah mengalir, berasal dari Letnan Kolonel Untung kepada Letnan Satu Doel Arief, yang kemudian ‘memperkuat’nya lagi ke bawah sebagai pilihan utama. Namun dalam persidangan Mahmilub atas dirinya, Letnan Kolonel Untung membantah dan mengaku ia hanya bermaksud menangkap dan menghadapkan para jenderal kepada Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno. Sang Letnan Kolonel menunjuk anggota Biro Khusus (Biro Chusus) PKI Sjam Kamaruzzaman sebagai pemberi perintah eksekusi.

            LETNAN Jenderal Ahmad Yani pada 30 September malam itu, sadar betul tentang adanya satu rencana penculikan terhadap sejumlah jenderal, sesuai laporan intelijen yang dengan gencar masuk padanya, namun ia tak tahu secara definitif kapan itu akan terjadi. Memang menjadi tanda tanya, kenapa ia menyuruh pulang satuan Pomad Para yang malam itu justru merupakan perkuatan pengawalan rumahnya. Agaknya ia menganggap pengawalan reguler yang ada, sudah cukup memadai, selain bahwa ia pun sudah mengetahui tindak-tanduk Komandan CPM Brigjen Soedirgo di hari-hari terakhir.

Siang 30 September 1965 itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani pulang dengan riang dan cerah dari kantornya, seperti yang dituturkan putera-puterinya. Sorenya ia tetap melakukan kegiatan olahraga golfnya, dan malamnya ia menerima laporan Pangdam Brawijaya Basoeki Rachmat serta perwira dari Corps Polisi Militer, serta telepon dari Brigjen Sugandhi. Sepanjang yang terlihat, tak ada yang perlu dikuatirkannya, dan ia percaya bahwa pengaturan keamanan dalam beberapa hari terakhir telah diatur dengan baik. Setidaknya, ia menerima laporan bahwa semuanya telah diatur.

Sikap gembiranya pada siang hari, tak bisa diabaikan, pasti ada penyebabnya, dan itu terkait dengan berita ‘baik’ terkait rencana pertemuannya esok pagi dengan Presiden, bahwa ia mungkin saja akan diganti sebagai Menteri Pangad, ditegur keras, namun sebaliknya ia akan naik ke suatu posisi lebih tinggi, walau posisi baru itu tidak punya nilai komando dan akses kepada pasukan. Menurut salah satu  mantan ajudan Presiden Soekarno, RH Sugandhi –dalam suatu percakapan bersama Drs Ton Kertapati dan Rum Aly di tahun 1987– ada yang menyampaikan demikian padanya hari itu, yang dikatakan bersumber dari Presiden Soekarno sendiri.

            DIPA Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, mengetahui adanya rencana ‘gerakan internal Angkatan Darat’ yang melibatkan Letnan Kolonel Untung Sjamsuri dan kawan-kawan. Ia siap untuk memetik keuntungan dari gerakan itu, tapi ia bukanlah di garis pertama persoalan maupun perencanaan. Kendali bukan pada tangannya. Itu menjadi tugas Biro Khusus di bawah Sjam, yang diketahuinya ikut berperan untuk mendorong gerakan internal tersebut. Tapi ia tidak punya kontak khusus dan langsung, baik dengan Letnan Kolonel Untung, Brigjen Supardjo, Kolonel Latief maupun Mayor Sujono. Dan tampaknya Sjam tidak memberi gambaran detail, kecuali ‘rumus’ didahului atau mendahului.

Dalam rangka mendahului, sepanjang informasi dari Sjam, kebetulan ada perwira yang tidak puas dan akan melakukan gerakan internal melawan kelompok Dewan Jenderal. Aidit lalu menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu ‘mengotori’ tangan sendiri secara langsung, rival dalam pergulatan kekuasaan di sekitar Soekarno bisa ditundukkan, melalui pergantian pimpinan oleh Soekarno. Dari Soekarno ada jaminan bahwa pimpinan Angkatan Darat yang baru tidak dari kalangan perwira yang menempatkan PKI sebagai musuh.

Bahwa PKI memiliki perencanaan sendiri, betul, tetapi bukan pada tanggal 30 September 1965 itu. Aidit punya perencanaan lebih lanjut bagi partainya dalam kerangka kekuasaan politik, dalam bentuk dan cara yang lain. Maka partai tidak disiapkan untuk momentum tanggal 30 September 1965, melainkan untuk sesuatu yang lebih bersifat jangka panjang. Adanya rencana jangka panjang ini diungkapkan juga oleh Ketua CDP PKI Jawa Barat Ismail Bakri. Ia juga menyebutkan bahwa sayap Moskow dalam PKI sebenarnya punya rencana sendiri lewat perjuangan politik, bukan dengan kekerasan bersenjata. Adanya rencana ini antara lain diungkapkan Ismail Bakri kepada aktivis 1978 Madjid Mahmud semasa sama-sama menjadi tahanan di RTM Cimahi pada tahun 1978.

            JENDERAL Abdul Harris Nasution, meskipun mengaku tidak ada firasat apa-apa menjelang tanggal 30 September, namun juga cukup memahami situasi dan dalam kedudukannya sebagai Menko Kasab telah mendapat laporan-laporan intelijen yang cukup. Ia menyadari, cepat atau lambat ada sesuatu yang akan terjadi, meskipun mungkin ia tidak tahu persis bahwa peristiwa akan mengambil waktu pada tanggal 30 September 1965. Sayangnya, laporan-laporan spesifik seperti yang disampaikan oleh Kolonel Herman Sarens Sudiro dan Kolonel Muskita misalnya tidak kepadanya, melainkan kepada Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusumah dan Pangkostrad Mayjen Soeharto.

Sebagai salah satu sasaran, Jenderal AH Nasution sudah cukup punya prediksi, terkecuali kepastian waktu. Penjagaan di rumahnya, ada pada tingkat standar memadai, termasuk dengan adanya Letnan Pierre Tendean. Meskipun, juga punya titik lemah, yakni fakta bahwa pengawal itu berasal dari Brigif I yang ada di bawah komando Kolonel Latief yang kemudian hari diketahui justru terlibat dalam gerakan pada tanggal 30 September 1965 itu. Tetapi, terlepas dari itu penggunaan pasukan Tjakrabirawa memang suatu hal yang agak di luar dugaan dan punya dampak kejutan dan amat taktis.

            LAKSAMANA Madya Udara Omar Dhani, pada dasarnya juga memperoleh informasi yang cukup mengenai beberapa bagian dari peristiwa yang akan terjadi. Ia memahami seluruh persoalan sebagai satu proses internal Angkatan Darat, untuk menindaki apa yang disebutkan sebagai jenderal-jenderal kontra revolusioner yang tergabung dalam Dewan Jenderal. Omar Dhani memilih sikap untuk tidak campur tangan terhadap masalah internal angkatan yang lain dan menanti apa yang akan terjadi. Pada sisi lain ada faktor subjektif yang terkait dengan rivalitas antar angkatan kala itu.

Namun, sadar atau tidak, terjadi keterlibatan nama Angkatan Udara, melalui keikutsertaan seorang Mayor Angkatan Udara dan beberapa anggota, serta digunakannya kendaraan dan senjata milik Angkatan Udara. Dan pimpinan Angkatan Udara tidak mencegah keikutsertaan tersebut. Selain itu, locus delicti ada di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, meskipun tidak seluruhnya termasuk dalam kawasan yang merupakan tanggungjawab Angkatan Udara, karena berada di luar area jurisdiksi seperti misalnya Lubang Buaya.

            BAGAIMANA caranya memahami posisi Mayor Jenderal Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief. Soeharto hanya menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri, tidak melanjutkannya kepada pimpinan Angkatan Darat, katakanlah setidaknya kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Dengan bekal informasi yang cukup detail itu, Soeharto dengan mudah ‘membaca’ situasi dan tampil dengan gerakan pembersihan. Keberhasilan dari gerakan pembersihan yang dilakukannya kelak membawa dirinya masuk ke dalam jenjang kekuasaan yang luar biasa.

Sikap dan perilaku Soeharto dalam peristiwa ini dalam hal tertentu memang bisa cukup mengherankan. Maka bukanlah sesuatu yang luar biasa bila pasca momentum ada analisa yang menempatkan Soeharto sebagai salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian peristiwa. Sebagaimana, sikap dan perilaku janggal yang juga diperlihatkan baik Soekarno maupun Dipa Nusantara Aidit, pun telah menempatkan mereka masing-masing dalam posisi-posisi sebagai ‘tertuduh’.

(socio-politica.com)

Peristiwa 1965: Politik Keadilan atau Politik Kebenaran?

Marzuki Darusman*

            SATU persoalan yang selalu kita hadapi dari waktu ke waktu –selama lebih dari dua pertiga masa Indonesia merdeka– sebagai satu bangsa, adalah soal masa lampau yang belum dijangkau oleh sejarah yang benar. Masa lampau Indonesia itu kerapkali bagaikan duri yang tertanam dalam daging, tak pernah diupayakan sungguh-sungguh untuk dicabut keluar. Luka luar seakan telah sembuh dan seringkali sakitnya tak begitu terasa, namun ada saatnya tiba-tiba rasa perih muncul ketika kulit diatas luka berduri yang tersembunyi itu terbentur. Dan tak hanya ada satu luka seperti itu, karena terdapat beberapa duri lainnya yang tersebar di bawah permukaan kulit.

PERSOALAN PELANGGARAN HAM 1965-1966. Setelah melakukan penyelidikan, Komnas HAM menyampaikan kepada pers, 23 Juli, suatu kesimpulan bahwa terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan kejahatan kemanusiaan itu, berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Meskipun Komnas HAM belum secara spesifik menyebutkan siapa pelaku dan siapa korban, tak sulit untuk menduga, apa dan siapa yang dimaksudkan, karena sejak lama publik telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang peristiwa tersebut. Namun sejauh ini, kebenaran sepenuhnya dari peristiwa kejahatan kemanusiaan tahun 1965-1966 belum terungkap dengan sebaik-baiknya karena kuatnya subjektivitas para pihak yang terlibat dalam tarik ulur tentang kebenaran peristiwa. Komnas HAM mungkin perlu diingatkan untuk betul-betul cermat dan berhati-hati dalam menarik kesimpulan-kesimpulan, maupun dalam melakukan intrepretasi, karena peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa tersebut, memiliki keterkaitan kuat dengan masalah pertarungan politik dan kekuasaan, dengan pelaku-pelaku yang brutal di semua pihak, yang menciptakan peristiwa menjadi suatu malapetaka sosiologis. Sebagai referensi, sociopolitica menurunkan tulisan Marzuki Darusman SH yang berjudul ‘Politik Keadilan atau Politik Kebenaran?’ yang pernah dimuat dalam buku ‘Simtom Politik 1965’ (Penerbit Kata Hasta, 2009). Berikutnya, akan diturunkan pula tulisan ‘PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan’. Sementara itu, sejumlah catatan tentang peristiwa kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di seputar peristiwa itu sendiri, pernah diturunkan secara serial melalui blog sociopolitica ini pada bulan Oktober 2009, dengan judul “Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah”. Tulisan tersebut diangkat dari buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’ (Rum Aly, Penerbit Kata Hasta, 2006) yang penyusunannya bersifat dua sisi.

Orientasi sejarah dan kesejarahan Indonesia, hingga sejauh ini masih selalu berpusat kepada nation building atau pembangunan bangsa. Walau sudah cukup liberal, benang Continue reading Peristiwa 1965: Politik Keadilan atau Politik Kebenaran?

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (6)

Hatta Albanik*

PERJUANGAN mahasiswa 1970-1974 itu memang menjadi ternoda oleh kecerobohan yang dilakukan para mahasiswa intra kampus di Jakarta yang terlalu banyak melibatkan tokoh-tokoh avonturir gerakan mahasiswa ekstra kampus. Di samping kurangnya sensitivitas terhadap kemungkinan begitu teganya suatu pemerintahan kekuasaan yang didukung secara populis dan demokratis serta selalu menyatakan diri memiliki partnershipdengan mahasiswa, memperlakukan anak bangsanya sendiri sebagai musuh yang harus ditumpas habis seperti mereka menumpas PKI dan Soekarno sebagai lawan politiknya.

GERAKAN MAHASISWA, TAHUN 1966. “Ada semacam kendala di kalangan petinggi-petinggi ABRI pada waktu itu untuk tidak menjatuhkan korban di antara para mahasiswa dan prajurit dengan bercermin pada bagaimana tindakan yang dilakukan terhadap pasukan pengamanan Soekarno (Resimen Tjakrabirawa) yang dianggap bertanggung jawab terhadap terbunuhnya demonstran mahasiswa Arif Rahman Hakim di depan Istana Merdeka di samping juga ada kekuatiran bahwa putera-puteri mereka sendiri mungkin juga berada di tengah-tengah para mahasiswa yang sedang menyalurkan aspirasi hati nurani rakyat”. (Repro PACE/MI)

Dengan didudukinya kampus Universitas Indonesia oleh pasukan pendudukan militer, dimulailah suatu masa penindasan baru terhadap rakyat dan bangsa Indonesia yang bahkan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah jajahan Belanda serta fasisme Jepang. Dan bagaikan drakula yang sekali mengisap darah kemudian semakin menikmati sedapnya darah, demikianlah kemudian terjadi penindasan demi penindasan terhadap rakyat Indonesia yang semakin lama menjadi semakin enteng dan berdarah-darah dilakukan tanpa sedikit pun rasa bersalah dan penyesalan, dilakukan oleh petinggi-petinggi ABRI.

Pendudukan kampus berulang kembali di Bandung tahun 1978. Perlakuan-perlakuan berdarah dan anti kemanusiaan dalam operasi-operasi militer Timor Timur, Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Irian, Maluku, Ternate sampai dengan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan dengan ‘enak’nya menggunakan istilah ‘demi negara’, bahkan dijadikan sebagai ‘media’ unjuk jasa yang pantas mendapatkan penghargaan, jabatan-jabatan tinggi sampai tertinggi di dalam negara Republik Indonesia tercinta ini. Mereka seolah-olah bisa berbuat apa saja dalam menindas bangsa dan negara Indonesia ini. Tanpa rasa salah dan sesal. Tidak ada satupun petinggi itu yang diseret ke mahkamah pengadilan negara seperti mereka me-Mahmilub-kan (Mahkamah Militer Luar Biasa) tokoh-tokoh G30S/PKI yang mereka anggap sebagai pendosa bangsa dan negara Indonesia. Sementara dosa-dosa yang telah mereka perbuat terhadap bangsa dan negara Indonesia mereka coba tutupi Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (6)

Mahasiswa dan Polisi Dalam Kancah Kekerasan (1)

“Bisa dianalisis bahwa need of agression bukanlah pendorong utama mahasiswa melakukan kekerasan dalam aksi demonstrasi. Lebih menonjol adalah dimensi frustrasi (tentunya terhadap keadaan negara sehari-hari). Pengaruh angstpsychose yang dilontarkan aparat keamanan serta sikap dan perilaku kekerasan yang justru ditampilkan aparat saat menghadapi barisan demonstran, berdasarkan pengamatan dan pengalaman empiris, tampaknya lebih berpengaruh dalam terpancingnya mahasiswa untuk agresif”.

BELUM lagi peserta unjuk rasa ‘anti’ Pemerintahan SBY-Budiono –yang pada 20 Oktober 2010 ini berusia 1 tahun– tiba di depan Istana Merdeka, pagi-pagi 4000 anggota pasukan gabungan polisi dan TNI telah lebih dulu berada di lokasi. Dan masih ada lagi 6000 lainnya yang kemudian ditambah lagi dengan 5000 personil disiagakan dan setiap saat bisa turun ke lapangan bila diperlukan. Padahal, sementara itu, kekuatan mahasiswa dan elemen unjuk rasa lainnya semula diperkirakan hanya akan berkekuatan 2000 orang, yang dalam kenyataannya menjadi sekitar 3000 orang.

Kehadiran pasukan TNI, khususnya AD, dalam barisan pengamanan kali ini, tentu menarik perhatian. Ada kekuatiran apa yang melanda kalangan kekuasaan? Apakah ada hubungannya dengan sinyalemen yang bermula dari lontaran kalangan kekuasaan sendiri, bahwa aksi 20 Oktober 2010 ini merupakan bagian dari apa yang disebutkan sebagai usaha menggulingkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari kekuasaannya? Padahal, para pengunjuk rasa hanya ingin melontarkan kritik terbuka terhadap apa yang mereka sebut sebagai kegagalan pemerintahan SBY-Boediono setelah setahun pemerintahan kedua SBY. Atau sekedar berjaga-jaga menghadapi aksi unjuk rasa dengan kekerasan ala mahasiswa Makassar seperti yang terjadi 18-19 Oktober tatkala SBY berkunjung ke sana kemarin ini? Dan kehadiran satuan-satuan TNI mendampingi polisi diperlukan untuk menaikkan kadar gertakan penggentar bagi para pengunjuk rasa? Apapun, kehadiran pasukan-pasukan bukan polisi, yakni dari TNI, mengingatkan kepada cara-cara represif penguasa rezim Soeharto menghadapi demonstrasi mahasiswa tempo dulu, yang polanya digunakan sampai Mei 1998, dan sempat dilanjutkan sejenak di masa Presiden Habibie. Di masa Habibie, tentara melakukan ‘kreasi’ baru melalui pembentukan PAM Swakarsa yang pada dasarnya menghadapkan sipil menghadapi sipil.

Bila kehadiran kembali tentara (ABRI, kini TNI) akan punya makna dan isyarat khusus dalam proyeksi pemeliharaan kekuasaan hingga ke masa depan, menarik untuk mengutip apa yang pernah ditulis oleh aktivis gerakan kritis mahasiswa 1970-1974, Hatta Albanik, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran 1973-1974. Menurut Hatta Albanik, harus menjadi pertanyaan besar dalam sejarah Indonesia merdeka, mengapa ABRI sepanjang hidup dalam Indonesia merdeka hampir selalu menempatkan diri sebagai musuh dari rakyat. Ia menggambarkan telah “terjadi penindasan demi penindasan terhadap rakyat Indonesia yang semakin lama semakin enteng dilakukan dan berdarah-darah, dilakukan tanpa sedikitpun rasa bersalah dan penyesalan, oleh petinggi-petinggi ABRI”. Pendudukan kampus yang berulang kembali di Bandung tahun 1978. Perlakuan-perlakuan berdarah dan anti-kemanusiaan dalam operasi-operasi militer Timor Timur, Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Irian, Maluku, Ternate sampai dengan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan dengan ‘enak’nya menggunakan istilah ‘demi negara’, bahkan dijadikan sebagai ‘media’ unjuk jasa yang pantas mendapatkan penghargaan, jabatan-jabatan tinggi sampai tertinggi di dalam negara Republik Indonesia. “Mereka seolah-olah bisa berbuat apa saja dalam menindas bangsa dan negara Indonesia ini. Tanpa rasa salah dan sesal. Tidak ada satupun petinggi itu yang diseret ke mahkamah pengadilan negara seperti mereka me-Mahmilub-kan tokoh-tokoh G30S/PKI yang mereka anggap sebagai pendosa bangsa dan negara Indonesia. Sementara, dosa-dosa yang telah mereka perbuat terhadap bangsa dan negara Indonesia, mereka coba tutupi dan tidak pernah di-mahkamah-kan sedikitpun”.

“Mungkin perlu suatu kajian psikologi yang sangat mendalam untuk memahami mengapa ABRI (TNI dan Polri) selalu, dalam melakukan tugasnya, senang sekali membuat jatuhnya korban berdarah di kalangan rakyat”, demikian Hatta. “Dan, selalu menganalogikan posisinya sebagai pembela siapa pun pihak yang berkuasa yang bahkan sulit bisa diterima andaikata perbuatan serupa itu dilakukan aparat kekuasaan penjajah di Indonesia. Bila kita cermati, sangat sedikit catatan sejarah dari tentara kolonial Belanda maupun polisi penjajahan Belanda yang menghadapi rakyat Indonesia dengan cara-cara kekerasan yang brutal dan berdarah-darah, padahal jelas visi dan misi mereka adalah untuk memusuhi dan menindas rakyat di negara jajahannya. Tidak pernah kita temukan cara polisi penjajah Belanda mengawal acara pertandingan sepakbola atau pertunjukan musik dengan menggebuki serta berwajah kejam beringas berusaha melukai penonton sampai berdarah-darah. Sementara, hampir di setiap kesempatan berhadapan dengan massa rakyat di negara Indonesia merdeka, perlakuan TNI dan Polri dengan jelas sekali di televisi, menampilkan wajah garang, sombong, angkuh, ringan tangan, berusaha mencari kesempatan untuk melukai. Sebaliknya menghadapi massa dalam jumlah besar yang sulit untuk mereka atasi, mereka cenderung bersembunyi mengawasi dari kejauhan bahkan sedapat mungkin menghilang dari hadapan publik, sehingga hampir selalu kegiatan-kegiatan publik yang berbau massal akan dengan mudah berubah menjadi aksi anarki yang memakan darah dan harta benda rakyat tidak bersalah dan menjadi sasaran korban. Tampaknya banyak hal yang harus dibenahi dalam doktrin, visi, misi dan perilaku TNI dan Polri untuk bisa menjadi pilar yang mengayomi tumbuhnya rasa aman, tertib dan damai di hati rakyat, bangsa dan negara Indonesia”.

TAK BISA dihindari, kembali mahasiswa dan para polisi, terlibat benturan keras pada hari anti SBY-Boediono 20 Oktober 2010 ini. Di Jakarta, benturan keras terjadi di depan Istana Merdeka dan di Jalan Diponegoro. Dan di tempat yang disebut terakhir ini, ada mahasiswa yang tertembak di kaki. ‘Untung’ tidak tewas seperti dalam Insiden Trisakti 12 Mei 1998. Benturan dengan kericuhan juga terjadi di sejumlah kota lainnya saat terjadinya rangkaian aksi anti SBY-Boediono menyambut satu tahun masa pemerintahan kedua SBY.

Dalam pengamanan menghadapi demo mahasiswa Makassar sehari sebelumnya, 19 Oktober, satuan pasukan kavaleri AD juga diturunkan. Akan tetapi, ketika terjadi bentrokan antara mahasiswa UNM (Universitas Negeri Makassar) yang kampusnya terletak tak jauh dari tempat acara SBY –perang batu– dengan satuan polisi, satuan kavaleri itu meninggalkan tempat setelah SBY juga meninggalkan tempat acara. Dan tinggallah polisi melanjutkan bentrokan dengan mahasiswa, dengan hasil 5 polisi luka-luka, dua di antaranya cukup berat, dan 4 mahasiswa ditangkap. Sehari sebelumnya di depan kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Universitas 45, satuan polisi yang jumlahnya lebih kecil menjadi sasaran lemparan batu mahasiswa dan sempat tunggang langgang dikejar mahasiswa. Mahasiswa juga menyandera sebuah mobil tangki Pertamina.

Mahasiswa Makassar memang punya jam terbang yang tinggi dalam aksi demonstrasi yang sarat dengan kekerasan. Tak heran bila kalangan penguasa melekatkan predikat anarkis kepada para mahasiswa Makassar, sementara sesama kalangan gerakan kritis terhadap pemerintah tak jarang memberikan kritik internal terhadap ciri kekerasan ala Makassar itu. Mahasiswa Makassar dengan demikian ditempatkan pada urutan teratas dalam konteks demonstrasi sarat kekerasan. Tetapi pada sisi lain, dengan sendirinya, aparat kepolisian setempat yang menghadapi demonstran, juga ada di urutan teratas, karena cara penindakan mereka dalam berbagai peristiwa tak kalah brutalnya. Menghadapi rangkaian aksi memprotes skandal Bank Century beberapa bulan lalu, polisi bahkan sempat dua kali menggunakan taktik memprovokasi (atau setidaknya) membiarkan sekelompok anggota masyarakat menyerang mahasiswa yang hingga mundur ke kampus di Jalan Sultan Alauddin dan Jalan AP Pettrani. Lalu digambarkan bahwa masyarakat sudah jengkel dengan ulah para mahasiswa yang sudah mengganggu kepentingan umum dalam menjalankan aksinya. Tetapi pada titik ini, memang para mahasiswa harus mencoba mengoreksi diri agar tidak kehilangan simpati masyarakat saat melakukan aksi-aksinya. Gerakan-gerakan mahasiswa di masa lampau, umumnya lebih berhasil mencegah munculnya ‘permusuhan’ masyarakat. Gerakan-gerakan mahasiswa kala itu bahkan bisa mengundang simpati masyarakat, berada di tepi jalan mengelu-elukan barisan mahasiswa, bahkan turun tangan mendukung mahasiswa dengan bantuan nasi bungkus dan minuman.

Dalam rangkaian gerakan mahasiswa 1966 dulu –dipimpin tokoh HMI Jusuf Kalla dan Rafiuddin Hamarung cs– aksi-aksi demonstrasi mahasiswa Makassar belum begitu menonjol dibandingkan dengan gerakan mahasiswa pada umumnya di seluruh Indonesia, terutama bila misalnya dibandingkan dengan yang terjadi di Jakarta dan Bandung. Hanya sayangnya, dalam aksi 1966 di Makassar saat itu, terselip satu lembaran hitam berupa peristiwa rasialis terhadap etnis keturunan Cina-Makassar, saat tempat usaha dan rumah-rumah kediaman etnis tersebut di ‘porak-porandakan’, tumpas hingga garam di dapur. Nama Makassar mulai tercatat sebagai kota demonstrasi penuh kekerasan dan kebrutalan –yang dipertunjukkan oleh dua belah pihak, masyarakat atau mahasiswa maupun polisi– antara lain sejak terjadinya rangkaian demonstrasi menolak kewajiban pemakaian helm untuk pengendara sepeda motor, masih dimasa kekuasaan Soeharto. Setelah reformasi, dimensi kekerasan sepenuhnya menjadi trade mark demonstrasi mahasiswa Makassar.

BANYAK yang menghubungkan kecenderungan kekerasan mahasiswa di Makassar ini dengan sikap khas masyarakat setempat yang dikenal temperamental dan atau berdarah panas. Kurang lebih, dianggap ada kaitannya dengan aspek tertentu dari sistem nilai sosial budaya setempat. Trisuci Gita Wahyuni Suryo –cucu pakar ilmu sosial terkemuka, Prof A. Mattulada– dalam penelitiannya terhadap sejumlah mahasiswa Makassar untuk skripsi S-1 di Fakultas Psikologi Unpad (2009), dalam salah satu kesimpulan menyebutkan mahasiswa yang berasal dari suku bangsa campuran di daerah itu cenderung menunjukkan perilaku kekerasan dengan kadar yang lebih rendah dibandingkan dengan yang berasal dari suku bangsa tertentu. Tepatnya, yang dimaksud adalah bahwa  mahasiswa yang berasal dari suku asli setempat di Sulawesi Selatan, lebih tinggi kecenderungan kadar kekerasannya. Data penelitian juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang masih berada pada semester awal perkuliahan (semester 1-2) menunjukkan perilaku kekerasan yang cenderung lebih kuat dalam aksi demonstrasi, dibandingkan dengan yang berada pada pertengahan masa kuliah (semester 3-6) dan akhir kuliah (semester 7 ke atas). Begitu pula kecenderungan perilaku kekerasan pada mahasiswa laki-laki lebih kuat daripada mahasiswa perempuan.

Namun amat menarik, data penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya hanya 4% dari mahasiswa yang diteliti itu yang betul-betul memiliki perilaku dengan kecenderungan kekerasan –fisik maupun verbal, dan agresivitas– yang betul-betul tinggi. Lainnya, 75% berkadar sedang dan ada 21% dengan perilaku kekerasan yang rendah saat melakukan aksi demonstrasi. Dalam pengukuran variabel kekerasan dalam aksi demonstrasi sebagai penyaluran dari need of aggression yang tinggi, ternyata hanya 5,26% yang berkategori tinggi, 40,79% berkategori sedang, dan mayoritas justru berkategori rendah yakni 53,95%. Hal ini berarti bahwa lebih banyak yang tidak begitu terpengaruh oleh need of aggression saat dirinya melakukan perilaku kekerasan dalam aksi demonstrasi. Sebanyak 40,79% yang cukup terpengaruh, dan hanya sebanyak 5,26% yang mendapatkan pengaruh kuat dari need of aggression saat melakukan aksi kekerasan dalam aksi demonstrasi.

Untuk dimensi perilaku kekerasan sebagai reaksi dari kondisi frustrasi yang dialami dalam melakukan demonstrasi, mayoritas mahasiswa yang diteliti berada dalam kategori sedang, yaitu sebanyak 63,15%. Terdapat 26,32% yang termasuk dalam kategori rendah, dan sebanyak 10,53% yang termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini berarti bahwa 63,15% mahasiswa cukup dipengaruhi oleh kodisi frustrasi dalam aksi demonstrasi sehingga kemudian melakukan perilaku kekerasan dalam aksi tersebut, dan 10,53% yang sangat dipengaruhi oleh kondisi frustrasi. Sedangkan 26,32% sisanya tidak begitu dipengaruhi oleh kondisi frustrasi saat menunjukkan perilaku kekerasan dalam aksi demonstrasi.

Berikutnya, untuk dimensi perilaku kekerasan sebagai reaksi dari meleburnya individu dalam kerumunan, sebagian besar sampel berada pada kategori sedang, yaitu sebanyak 67,11%. Sementara untuk kategori tinggi terdapat 14,47% mahasiswa yang tergolong di dalamnya, dan 18,42% yang termasuk dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa 67,11% mahasiswa yang melakukan aksi kekerasan karena cukup terpengaruh oleh kondisi kerumunan yang menyebabkan dirinya melebur dan mengikuti perilaku orang-orang yang ada bersamanya di dalam kerumunan tersebut. Terdapat 14,47% yang terpengaruh secara kuat oleh kondisi kerumunan tersebut sehingga menunjukkan perilaku kekerasan dalam demonstrasi, dan sebanyak 18,42% mahasiswa yang tidak begitu terpengaruh oleh kondisi kerumunan saat menunjukkan perilaku kekerasan. Untuk dimensi perilaku kekerasan sebagai performance dari identitas sosial, sebagian mahasiswa yang diteliti berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 64,47%. Sedangkan untuk kategori rendah terdapat 27,63% mahasiswa, dan terdapat 7,9% yang termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini berarti bahwa sebanyak 64,47% cukup dipengaruhi oleh kesadaran akan identitasnya sebagai mahasiswa untuk kemudian melakukan tindakan kekerasan dalam aksi demonstrasi (perilaku kekerasan ini merupakan performance dari identitas sosialnya sebagai mahasiswa). Sebanyak 7,9% melakukan tindakan kekerasan dalam demonstrasi karena dipengaruhi secara kuat oleh identitas mahasiswanya, dan sebanyak 27,63% yang perilaku kekerasannya kurang dipengaruhi oleh kesadaran akan identitas sosialnya sebagai mahasiswa.

Dari penelitian Trisuci ini, bisa dianalisis bahwa need of agression bukanlah pendorong utama mahasiswa melakukan kekerasan dalam aksi demonstrasi. Lebih menonjol adalah dimensi frustrasi (tentunya terhadap keadaan negara sehari-hari). Angstpsychose yang dilontarkan aparat keamanan serta sikap dan perilaku kekerasan yang justru ditampilkan aparat saat menghadapi barisan demonstran, berdasarkan pengamatan dan pengalaman empiris, tampaknya lebih berpengaruh dalam terpancingnya mahasiswa untuk agresif. Sedang pengaruh suasana kerumunan dan kesadaran identitas sosial sebagai mahasiswa, dengan sendirinya merupakan hal yang tak terelakkan dalam suatu gerakan yang bersifat massal. Agaknya ini berlaku umum untuk gerakan-gerakan mahasiswa Indonesia seluruhnya, tak hanya di Makassar.

Berlanjut ke Bagian 2