RAMALAN The Guardian yang dituliskan melalui editorialnya 8 bulan lalu, bahwa Joko Widodo dan Ma’ruf Amin akan membawa mundur Indonesia kini seakan siap untuk mewujud. Dalam kenyataan kini, hingga menjelang usia tiga perempat abad Indonesia merdeka, kekecewaan terhadap kepemimpinan dan pemerintahannya begitu meluas dan mengundang banyak kecaman. Dan sasarannya bukan lagi sebatas masalah lampau –yang telah banyak dikritik– melainkan juga terhadap berbagai ucapan, tindakan dan fakta-fakta buruk yang muncul dalam serentetan peristiwa baru.
Seiring menguatnya tanda-tanda kegagalan penanganan bencana COVID-19, bermunculan tak sedikit peristiwa baru yang serba tak nyaman. Ke hadapan publik tersaji proses penanganan hukum yang janggal atas kasus penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan. Lalu ada Keputusan Mahkamah Agung No. 44/2019 yang mematahkan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU No. 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih –namun tak berpengaruh lagi kepada posisi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, karena tak bisa berlaku surut.
Berikutnya ada skandal tiga jenderal polisi dalam kaitan kasus buron Djoko Tjandra. Melanjut kepada kemerosotan ekonomi dan kian bertumpuknya hutang luar negeri. Ekonom terkemuka Rizal Ramli memastikan Indonesia sedang menuju ke jurang resesi. Tak ketinggalan ada bumbu kisruh skandal keuangan maupun pembagian posisi berbau kolusi dan nepotisme di begitu banyak BUMN yang jadi bahan pertengkaran internal pendukung Joko Widodo. Kemudian ada tudingan mendirikan dinasti terkait putera, menantu, besan dan ipar. Bumbu asin lainnya adalah Perppu No.1/2020 yang telah menjelma menjadi UU No.2/2020 yang isinya dianggap memberi kekebalan para pengguna anggaran dalam rangka Perppu atau UU ini untuk tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan itikad baik.
Sikap represif mengemuka. Tak kurang dari Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Mei 2020 harus mengingatkan. “Janganlah pemerintah alergi, cepat marah, tdak boleh ada warga negara melakukan kritik atau berbicara yang tak menyenangkan pemerintah atau kepada pemimpin. Tidak perlu arogan.”

Joko Widodo dalam sorot The Guardian
Apa yang ditulis dalam editorial media terkemuka Inggeris The Guardian pada 3 November 2019 lalu? Terhadap pernyataan Joko Widodo bahwa dirinya tak memiliki lagi beban mental dalam masa jabatannya yang kedua, The Guardian menulis, pertanyaannya adalah bagaimana ia akan menggunakan situasi tanpa beban itu. “Lima tahun yang lalu, ia dielu-elukan sebagai ‘Obama Indonesia’. Kemunculannya dipandang sebagai langkah maju bagi negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia dan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Transisi dari kediktatoran dua dekade sebelumnya seakan telah menjadikannya model demokrasi yang berharga dan dibutuhkan di kawasan ini. Joko Widodo, sebagaimana ia dikenal luas, adalah manusia luar lingkaran elite, presiden pertama dari latar belakang yang sederhana. Tak terkait dengan era otoriter, ia sempat mendapatkan reputasi sebagai politisi bersih dan menjadi Gubernur Jakarta.”
Sejak 20 Oktober 2019 Joko Widodo telah memulai masa kepresidenannya yang kedua. Slogan kampanyenya adalah “Indonesia Maju”. Tetapi banyak dari mereka yang pernah mendukungnya berbalik melihat negara mengalami kemunduran dalam beberapa isu kritis termasuk hak asasi manusia, toleransi beragama dan kualitas umum dari demokrasi. “Meskipun kemajuannya dalam membangun infrastruktur dan komitmen untuk mengembangkan kesejahteraan sosial sempat mendapat tepuk tangan, dia telah diserang karena gagal mengatasi korupsi dan berbagai pelanggaran hukum.”
Memang kritik tak melulu datang dari luar. Salah satu tokoh pendukung Joko Widodo, Abdillah Toha, mengkritisi Joko Widodo di periode kedua. “Begitu cepat setelah Jokowi dilantik, muncul berbagai Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang baru yang bikin banyak pihak tersentak. Ada kesan konspirasi antara pemerintah dan DPR untuk menghasilkan berbagai undang-undang secara kilat tanpa memperhatikan aspirasi dan masukan dari publik. Omnibus Law, UU Minerba, KPK,” demikian Toha dikutip pers. “Sesungguhnya banyak dari kami yang bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada seorang Jokowi yang pada periode pertama menghasilkan prestasi yang cukup mengesankan?” Banyak kondisi suram. Bahkan tak sampai setahun dalam periode kedua ini, secara khusus kondisi penegakan hukum makin memprihatinkan. Sulit, menurut Toha, untuk mengatakan bahwa dukungan kepada Presiden Joko Widodo masih dapat dipertanggungjawabkan.
The Guardian melihat ada kebiasaan Joko Widodo menggiring lawan-lawan politiknya bergabung ke dalam koalisi pendukungnya. “Akhirnya koalisi yang berkuasa sekarang mengendalikan hampir tiga perempat kursi di dewan perwakilan. Dan hanya menyisakan hanya sedikit kekuatan oposisi.” Joko Widodo mengajak Prabowo Subianto ke dalam koalisi pendukungnya. Sesungguhnya langkah serupa pernah dilakukan Joko Widodo sebelumnya. Tahun 2016, ia mengangkat Jenderal Wiranto sebagai Menko Polhukam. Padahal, mantan Panglima TNI itu pernah didakwa melakukan kejahatan kemanusiaan oleh sebuah pengadilan yang diprakarsai PBB.
Merangkul yang di seberang
Apa yang disebut The Guardian ada betulnya. Kepemimpinan Joko Widodo memang memiliki ciri khas, merangkul semua yang berseberangan. Tak sedikit orang yang pernah berkata keras tentang dirinya, dirangkulnya dan diberi posisi. Muhammad Jusuf Kalla yang pernah mengatakan hancur Indonesia kalau dipimpin Joko Widodo, justru diajak maju bersama sebagai pasangan dalam Pilpres 2014. Kyai Ma’ruf Amin, pimpinan Majelis Ulama dan dianggap tokoh 212 yang tak sejalan dengannya, pun diajak menjadi Wakil Presiden pada Pilpres 2019. Untuk itu, ia meninggalkan Mahfud MD yang semula disiapkan untuk posisi tersebut. Lalu kemudian kekecewaan Mahfud diobati dengan mengangkatnya sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Ali Mochtar Ngabalin yang saat di kubu seberang banyak melontarkan kata-kata sangat keras kepada dirinya, diangkat menjadi ahli utama staf kepresidenan dengan tugas jurubicara. Ali Ngabalin menjelma sebagai seorang tokoh yang hidup matinya seakan diabdikan untuk Joko Widodo. Ali Ngabalin menyebut pemerintah adalah wakil Tuhan di dunia, mengadopsi adagium raja-raja masa lampau sebagai Wakil Tuhan di Dunia.
Joko Widodo, menurut The Guardian, juga dikecam karena mempertahankan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang lama, kendati ada kegagalan mengatasi kebakaran hutan. Mempertahankan Menteri Hukum dsan HAM yang lama, walau disorot terkait RUU KUHP yang beberapa bagiannya mengandung ancaman kebebasan pers, kriminalisasi aborsi serta pelemahan KPK.
Presiden memang tak mungkin memenuhi keinginan semua pihak. Tetapi menjadi jelas, tulis The Guardian, bahwa Joko Widodo tak bisa diandalkan membela hak-hak dasar warganegaranya. Menjadi jelas pula bagi akar rumput Indonesia bahwa tak mungkin mengharapkan seorang politisi sebagai penyelamat. Real pressure for reform, and real opposition can only come from outside parliament –Tekanan nyata untuk reformasi, dan oposisi sebenarnya, hanya bisa datang dari luar parlemen.
Kritik tajam Rocky Gerung
Kritik paling tajam dari arah eksternal disampaikan pengamat politik Rocky Gerung. Ia menganggap Joko Widodo telah melakukan transaksi politik dengan Wakil Walikota Solo Achmad Purnomo yang tadinya adalah calon PDIP untuk Walikota Solo dalam Pilkada mendatang. Tak lain untuk mengamankan Gibran Rakabuming menuju posisi yang sama. Purnomo mengaku telah ditawari satu jabatan strategis.
Transaksi ini dinilai Rocky Gerung sebagai political prostitution, yang dilakukan di ruang terbuka, di Istana. “Standar moral kita diuji,” ucap Rocky Gerung. Saat ini publik tengah berada di puncak kekecewaan terhadap para penguasa, terutama karena para pejabat diam saja ketika Joko Widodo melakukannya.
Ke mana akhirnya luapan kekecewaan akan menghambur dan menerjang? Joko Widodo di ambang kegagalan? Time will tell. Apapun, kecaman-kecaman yang ada telah berkembang bahkan tiba pada cetusan-cetusan pernyataan menghendaki dirinya mundur atau dimundurkan. (media-karya.com/socio-politica.com)
Wow,,, good, akan lebih great jika dipertajam lagi. Tapi, resiko nya siapa yang akan membungkam nanti. Karena tak ada penguasa yang suka dikritisi saat ini. Salut, bangga dan suka sama alur pikirnya. Good luck untuk kedepannya 👍