RAMALAN The Guardian yang dituliskan melalui editorialnya 8 bulan lalu, bahwa Joko Widodo dan Ma’ruf Amin akan membawa mundur Indonesia kini seakan siap untuk mewujud. Dalam kenyataan kini, hingga menjelang usia tiga perempat abad Indonesia merdeka, kekecewaan terhadap kepemimpinan dan pemerintahannya begitu meluas dan mengundang banyak kecaman. Dan sasarannya bukan lagi sebatas masalah lampau –yang telah banyak dikritik– melainkan juga terhadap berbagai ucapan, tindakan dan fakta-fakta buruk yang muncul dalam serentetan peristiwa baru.
Seiring menguatnya tanda-tanda kegagalan penanganan bencana COVID-19, bermunculan tak sedikit peristiwa baru yang serba tak nyaman. Ke hadapan publik tersaji proses penanganan hukum yang janggal atas kasus penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan. Lalu ada Keputusan Mahkamah Agung No. 44/2019 yang mematahkan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU No. 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih –namun tak berpengaruh lagi kepada posisi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, karena tak bisa berlaku surut. Continue reading Presiden Joko Widodo Di Ambang Pintu Kegagalan→
SETELAH bertahun-tahun coba ditegakkan sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, kini gerakan pemberantasan korupsi berangsur-angsur berproses untuk pada akhirnya menjadi sekedar sebuah dongeng di kala malam. Sebuah narasi pengantar tidur malam tentang kebajikan “kebenaran mengalahkan kejahatan”, namun begitu matahari terbit berbenturan dengan kenyataan “kejahatan mengalahkan kebenaran”. KPK sebagai ujung tombak yang paling diandalkan selama beberapa tahun terakhir ini dalam pemberantasan korupsi, makin tersudut dan porak poranda di tangan para pengeroyoknya. KPK tersengal-sengal karena saluran pernafasannya disumbat di sana-sini. Lehernya dicekik.
KPK periode 2011-2015 praktis terlantar dan mungkin akan dibiarkan terus begitu dalam belitan persoalannya sendiri saat ini sampai masa kerjanya berakhir pada Desember 2015. Publik pun makin melemah suaranya dalam membela, dikejutkan oleh ‘penindakan hukum’ atas ‘dosa-dosa’ lama yang secara artifisial diungkit dengan berbagai ‘argumentasi’ yang rapih terhadap dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjajanto, maupun penyidiknya Novel Baswedan. Para pegiat anti korupsi menyebut semua rangkaian tindakan terhadap KPK itu sebagai kriminalisasi terhadap KPK. Lalu, Presiden Joko Widodo menyerukan agar kriminalisasi terhadap KPK dihentikan seraya melakukan ‘tambal ban’ terhadap KPK dengan mengangkat Plt Ketua KPK serta dua komisioner setelah menerbitkan keputusan memberhentikan sementara dua pimpinan KPK.
KRIMINALISASI KPK DALAM BERITA KORAN TEMPO. “Sementara itu, masyarakat yang ingin membela KPK menjadi gentar ketika sejumlah tokoh yang bersuara vokal dalam pemberantasan korupsi dan pegiat anti korupsi lainnya mulai diincar, digertak bahkan ditindak. Apalagi, pada waktu yang sama merebak angstpsychose di tengah masyarakat, bahwa kini aparat kepolisian bisa menjadi semacam Kopkamtib baru. Perkasa dan dominan, bisa menangkap siapa saja. Maka, jangan berselisih jalan dengannya.”
Gentar. Soal kriminalisasi, Wakil Presiden Jusuf Kalla berbeda dengan Presiden, dan bertanya apanya yang kriminalisasi? Dan kelihatannya, pendapatnya lebih didengar di tingkat pelaksana. Terhadap tuduhan kriminalisasi, Kabareskrim Komjen Budi Waseso pun bilang jangan lebay. Sementara itu, masyarakat yang ingin membela KPK menjadi gentar ketika sejumlah tokoh yang bersuara vokal dalam pemberantasan korupsi dan pegiat anti korupsi lainnya mulai diincar, digertak bahkan ditindak. Apalagi, pada waktu yang sama merebak angstpsychose di tengah masyarakat, bahwa kini aparat kepolisian bisa menjadi semacam Kopkamtib baru. Perkasa dan dominan, bisa menangkap siapa saja. Maka, jangan berselisih jalan dengannya.
Berturut-turut dalam sidang pra-peradilan di PN Jakarta Selatan, KPK di’tekuk’ melalui tiga gugatan tersangka korupsi, yang dikabulkan para hakim. Mulai dari Komisaris Jenderal Budi Gunawan, mantan Walikota Makassar Ilham Arief Siradjuddin dan yang terbaru mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo. Putusan hakim pun mengalami eskalasi, dari sekedar membatalkan status tersangka, menjadi lebih jauh mempersoalkan keabsahan dan kategori penyelidik dan penyidik KPK. Dengan tiga putusan pra-peradilan ‘mengalahkan’ KPK itu, PN Jakarta Selatan seakan kembali melanjutkan ‘reputasi’ya sejak masa awal reformasi –saat Kejaksaan Agung di bawah Marzuki Darusman SH intensif menangani sejumlah kasus korupsi– sebagai ‘kuburan bagi perkara korupsi’. Pers dan pengamat tahun 2000-2001 memberi kesimpulan seperti itu berdasarkan begitu banyaknya kasus korupsi yang dikandaskan di PN Jakarta Selatan, baik melalui vonnis bebas maupun vonnis ringan seadanya. Satu kali, Kejaksaan Agung juga kandas melanjutkan kasus korupsi TAC dengan tersangka Ir Ginandjar Kartasasmita, karena dikalahkan dalam pra-peradilan di PN Jakarta Selatan. Di pengadilan negeri yang sama, perkara terhadap mantan Presiden Soeharto, juga tak berhasil berlanjut.
PERHATIAN terhadap KPK ‘lama’ (2011-2015) dengan segala nasib peruntungannya, cukup teralihkan oleh persiapan pemilihan komisioner dan pimpinan baru KPK untuk periode 2015-2019. Untuk menemukan calon-calon komisioner dan pimpinan baru KPK, Presiden Jokowi mengintrodusir satu Panitia Seleksi (Pansel) dengan gaya baru, seluruhnya sembilan orang adalah tokoh perempuan. Bila diukur dalam konteks kesetaraan gender, ini bukan kesetaraan biasa, namun melampaui apa yang semula bisa dibayangkan mengenai aspek kesetaraan itu sendiri. Selama ini kehidupan sosial-politik Indonesia masih sangat patriarkis, dan isu kesetaraan gender untuk sebagian besar masih lebih merupakan bahan permainan retoris –terutama oleh kalangan penguasa– daripada sesuatu yang memang ingin diwujudkan sebagai realita. Sejumlah kebijakan affirmatif untuk kesetaraan gender, dalam praktek, masih terkendala di sana sini. Upaya mewujudkan quota 30 persen anggota lembaga-lembaga legislatif terdiri dari kaum perempuan dalam kaitan kebijakan affirmatif pun masih tertatih-tatih. Maka, dalam situasi seperti itu seratus persen Pansel KPK terdiri dari tokoh perempuan adalah sesuatu yang menarik.
Begitu menariknya peristiwa ini, sehingga perhatian terhadap nasib KPK ‘lama’ memang sedikit terabaikan, dan perhatian lebih tertuju bagaimana nanti Pansel seratus persen perempuan ini akan menyodorkan tokoh-tokoh baru pengendali KPK untuk 4 tahun ke depan. Meski masih menjadi pertanyaan pula, seberapa banyak tokoh berintegritas dan berani yang akan berhasil dimunculkan di antara sekedar para pencari kerja dan posisi. Tapi terlepas dari itu, patut untuk berharap bahwa tokoh-tokoh perempuan yang sembilan ini, akan mampu menghadapi gaya dan kepentingan politik yang masih patriarkis di DPR dalam proses pemilihan komisioner baru KPK nanti menjelang batas waktu Desember 2015.
Tentu saja, tak mungkin nasib KPK hari ini takkan berkaitan dengan nasib KPK ‘baru’ 2015-2019. Apa yang menimpa KPK saat ini –tersudut dalam gempuran balik kaum korup– bisa ditebak akan kembali dialami KPK periode mana pun. Katakanlah Pansel KPK berhasil menampilkan tokoh-tokoh terbaik per saat ini untuk menjalankan KPK di masa depan –memiliki integritas, keberanian, kejujuran dan sejarah relatif bersih– tidak berarti ada jaminan takkan mengalami gempuran. Apalagi, bila tokoh-tokoh ‘baru’ pimpinan KPK itu nanti tak memiliki kualifikasi memadai dan punya sejarah yang tak sepenuhnya bersih. Mereka pasti akan menjadi bulan-bulanan dan bahkan bisa ‘diperas’ dan ditekan sebagai alat kepentingan para pelaku korupsi. Akan selalu demikian, sepanjang kehidupan sosial-politik itu sendiri tidak bersih seperti sekarang ini. Dan pasti tidak bersih, selama kehidupan sosial-politik itu mengandalkan kekuatan uang seperti yang menjadi pengalaman kronis bertahun-tahun lamanya hingga kini.
Konspirasi dan pengalaman sejarah. Untuk berkiprah dalam kehidupan politik dan kekuasaan sekarang ini, partai-partai mengandalkan biaya besar dan fantastis dalam kompetisi politik. Dan tak mungkin ada biaya besar tanpa korupsi dan manipulasi kekuasaan, atau tanpa kerjasama dengan ‘konglomerasi’ kelas naga atau pun kelas yang lebih kecil. Para naga dan mahluk-mahluk ekonomi itu takkan mungkin mengeluarkan dana besar tanpa keharusan pembayaran balik dalam berbagai bentuk. Dalam pada itu, orang per orang yang tampil maju dalam ajang perebutan kursi-kursi lembaga legislatif juga membutuhkan biaya fantastis yang hampir tak lagi masuk akal. Begitu pula bagi mereka yang akan tampil dalam ajang Pilkada. Dan sekali lagi, saat ini biaya-biaya besar hanya tersedia di jalur konspirasi politik dan bisnis.
Dari situasi seperti itu, takkan mungkin terjadi pengisian posisi-posisi politik dan kekuasaan yang bersih dan terhormat di segala tingkat, dari atas hingga ke bawah. Persekongkolan busuk lebih memenuhi kebutuhan pragmatisme politik yang ada. Pada gilirannya, dengan sendirinya perlu melakukan korupsi dan manipulasi kekuasaan untuk membayar kembali hutang-hutang biaya politik itu dalam berbagai cara dan bentuk. Tak ada cara cepat lainnya untuk memperoleh dana pengganti ‘hutang’.
Lalu, apakah mungkin rezim kekuasaan yang terbentuk melalui pola konspirasi seperti itu akan bisa diharapkan betul-betul memiliki komitmen sejati memberantas korupsi? Pengalaman sepanjang sejarah Indonesia merdeka menunjukkan, tak terkecuali pada masa pasca Soeharto sekarang ini, takkan mungkin ada suatu lembaga anti korupsi yang ditunjuk atau dibentuk untuk betul-betul memberantas korupsi. Para pemain mungkin saja bersungguh-sungguh, tapi selalu ada pengatur sandiwara di balik panggung dengan atau tanpa sepengetahuan sang pelakon. Pelajari saja sejarah Operasi Budi yang diintrodusir Jenderal AH Nasution di masa Presiden Soekarno, TPK di masa Presiden Soeharto, eliminasi KPKPN melalui cara ‘peleburan’ ke dalam KPK di era Presiden Megawati. Lalu pelajari nasib KPK yang menurut retorika awal adalah memberantas korupsi, karena secara kualitatif Polri dan Kejaksaan Agung dianggap tak mampu optimal mengemban tugas itu. Tapi nyatanya, KPK tak henti-hentinya dirongrong dengan berbagai cara oleh sebagian anggota DPR –sebagai suatu lembaga yang ikut membidani kelahiran KPK– dan oleh kalangan rezim penguasa sendiri. Tak lain, karena lembaga-lembaga itu sendiri untuk sebagian dihuni oleh para pelaku korupsi dan manipulasi kekuasaan.
SELAMA kehidupan politik berlangsung buruk, karena kegagalan membangun dan menjalankan sistem dengan baik, jangan berharap banyak. Memang, pada akhirnya pemberantasan korupsi dalam sistem kekuasaan dan sistem politik yang korup, tak lebih tak kurang hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur di kala malam. (socio-politica.com)
CITIZEN reporter, Iwan Piliang, yang banyak melakukan pengungkapan cerita belakang layar penanganan berbagai masalah korupsi, menilai Komite Etik KPK sebenarnya justru tidak etis dalam ‘peradilan’ etika Abraham Samad dan Adnan Pandupradja. Ia juga mengungkapkan sebuah catatan menarik, bahwa beberapa sosok pejabat dan penyidik di KPK terindikasi tajam membela Anas Urbaningrum karena jiwa korsa sebagai sesama organisasi mahasiswa Islam. Organisasi yang dimaksud Iwan, tak lain adalah HMI.
Dalam sebuah tulisannya di media online, Iwan mengaku orang “beruntung”, karena “pernah mengenal dekat Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di era jilid II lalu. Paling tidak dua dari tujuh anggota pernah saya kenal, seperti Nono Makarim, Buya Syafii Maarif.”
NAZARUDDIN DAN ANAS URBANINGRUM. “Akan tetapi ada fakta nyata, bagaimana dari Komite Etik yang lalu dan yang sekarang ini topiknya sama: Nazar dan Anas. Pada yang sekarang ini, fakta mengemukakan pula bagaimana sosok pejabat dan penyidik di KPK memang terindikasi tajam membela Anas Urbaningrum karena keterkaitan hubungan sesama di organisasi mahasiswa Islam.: (foto ilustrasi: lensa.indonesia.com)
“Beruntung yang saya maksud, karena diundang secara khusus berdialog berkait kasus M. Nazaruddin. Komunikasi saya melalui skype dengan Nazar ingin mereka gali lebih dalam sebagai latar bagi Komite Etik bekerja. Dan Nazar kala itu menuding beberapa pimpinan KPK bertemu dengannya dan Anas Urbaningrum.”
“Saya masih ingat bagaimana saya menunggu di ruang tamu sesuai jadwal. Kala itu tim dari redaksi majalah Tempo masih di dalam ruangan. Setelah hampir sejam menunggu, barulah giliran saya. Bila mengacu ke dialog di media sosial dan bahasa media kala itu, saya bak pesakitan. Dipanggil KPK sesuatu yang agaknya dianggap tabu, salah. Sementara faktanya di dalam ruangan hanya berdialog. Tim mendengar pengalaman saya ber-skype. Saya masih ingat bagaimana Nono Makarim nyeletuk di akhir pertemuan, menyarankan saya untuk maju sebagai Ketua KPK di era mendatang.”
Sepenuhnya, tulisan Iwan yang berjudul “Komite Etik Etis? Maju Samad!”, dikutip dan disajikan di sini. Bisa saling melengkapi dengan tulisan “KPK, Ethic Dalam Fungsi Anesthetic”, socio-politica.com, Senin 8 April 2013. Berikut ini.
KINI setelah menonton konperensi pers Komite Etik KPK jilid III, dipimpin oleh Anis Baswedan, saya merasa alpa. Lupa menanyakan siapa memilih anggota Komite Etik? Apa kriterianya, bagaimana cara kerjanya? Mengapa pertanyaan itu penting?
Pertama. Pada sebuah wawancara dengan tabloid di gedung KPK. Abraham Samad, Ketua KPK, pernah mengatakan bahwa ia merasa seakan-akan KPK itu ada yang punya. Itu ungkapan personalnya. Mengingat, di awal masa menjabat, ia merasa banyak diatur-atur, diawasi.
Lantas beranjak dari keterangan pers Komite Etik kini membahas soal bocornya Sprindik Anas Urbaningrum, saya menduga-duga seakan yang “punya” KPK itu Komite Etik.
Kedua. Jika yang “punya” KPK adalah Komite Etik, siapa memilih anggota Komite Etik? Inilah yang saya sesalkan kini, mengapa dulu saya tak bertanya siapa yang memilih mereka? Dasarnya apa?
Jika ditelisik Komite Etik kini, duduknya Anis Baswedan sebagai ketua saya anggap kurang etis. Karena ada hubungan keluarga antara Novel Baswedan –penyidik yang pernah “bermasalah”– dengan Anis Baswedan.
Ketiga. Menjawab cara-cara yang dilakukan di saat konperensi pers, yang bagi saya belum tentu benar, terasa sebagai pengadilan publik untuk Abraham Samad.
Logika saya, Komite Etik cukup mengumumkan ke publik melalui rilis. Sementara situasi internal, body language, sosok yang berhadapan, tidak harus dipertontonkan ke publik. Namun itu semua hanyalah penilaian subjektif.
Akan tetapi ada fakta nyata, bagaimana dari Komite Etik yang lalu dan yang sekarang ini topiknya sama: Nazar dan Anas. Pada yang sekarang ini, fakta mengemukakan pula bagaimana sosok pejabat dan penyidik di KPK memang terindikasi tajam membela Anas Urbaningrum karena keterkaitan hubungan sesama di organisasi mahasiswa Islam. Bukan rahasia pula sosok seperti Busyro Muqoddas acap bertemu tokoh Kyai Krapyak, yang juga adalah mertua Anas Urbaningrum.
Nah dalam kerangka inilah, sekretaris Samad membocorkan sprindik. Artinya ada urusan etika pejabat KPK yang ingin menghambat TSK-nya seseorang sebagai latar. Dan atau tak bergeraknya pengusutan mereka yang terindikasi korup sebagai latar kuat.
Premis utama pemberantasan korupsi sebagai premis mayor menjadi seakan nomor dua, kita lalu sibuk di ranah sprindik. Bukankah di balik ini semua ada laku tambun mengakali anggaran APBN terindikasi dikorupsi dikolusi? Inilah yang harus dibongkar total.
Fakta utama lain, negara ini seakan hanya diributkan dengan kasus Nazar-Anas. Nazar ingin semua dibongkar. Anas sebaliknya. Dan KPK terjebak oknumnya di dualisme itu.
Bekerjanya Komite Etik, saya nilai sumbang menerjemahkan makna etika: mereka buat berkadar rendah, sedang, dan besar. Padahal bila mengacu ke etika dasar: etik itu ranah hitam putih saja, beretika dan tidak.
Bila sudah demikian, saya memilih mendukung Abraham Samad dan pimpinan bekerja total football. Jangan pernah berubah, toh Komite Etik itu juga “bermasalah”. Konsisten saja sikat koruptor! Banyak kasus korupsi di luar Anas-Nazar. Untuk mereka berdua, ya, secepatnya saja gerakkan penyidik membongkar total.