DUAPULUH DUA tahun lalu, 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri. Sepekan mendahului momen itu terjadi kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang berimpit dengan peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol Jakarta 12 Mei. Namun, tabir asap yang menyelimuti kedua peristiwa, hingga kini tetap belum terkuak. Ada berbagai versi mengenai dua peristiwa ini, tetapi tak satu pun yang bisa ditentukan sebagai kebenaran, tak lain karena ada situasi tarik menarik di antara pihak yang sebenarnya diduga terlibat. Dengan demikian, karena kebenaran dalam peristiwa itu belum berhasil dibuat ‘terang benderang’ dengan sendirinya tak pernah ada pihak yang bisa dimintai pertanggunganjawab. Khususnya, dari kalangan jenderal para pengendali keamanan yang ada di latar depan kala itu. Apalagi para pemain belakang layarnya.
Kesimpulan terpenting dari Team Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman SH mengenai kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah bahwa kerusuhan terjadi karena disengaja. Kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Sementara itu kelompok-kelompok mahasiswa ditempatkan di depan sebagai tameng depan gerakan menjatuhkan Soeharto. Menurut TGPF, terdapat sejumlah “mata rantai yang hilang” (missinglink), yaitu hilang atau sukarnya diperoleh bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elite dengan arus massa. Namun, terdapat indikasi yang kuat adanya hubungan semacam itu, terutama di Solo dan sebagian wilayah Jakarta. Continue reading 22 Tahun Dalam Tabir Asap Peristiwa Mei 1998→
SUATU ketika, seusai mengakhiri masa jabatan sebagai Duta Besar RI di Kanada, saya bertemu Ekky Syahrudin di kediamannya di Jakarta. Itu hanya beberapa bulan sebelum Ekky Syahrudin meninggal dunia pada 28 Juni 2005. Aktivis pergerakan tahun 1966, yang kebetulan tokoh HMI ini, saya temui waktu mempersiapkan penulisan buku sejarah politik kontemporer yang melibatkan gerakan mahasiswa ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’. Semata-mata karena saya bertubuh agak tinggi dan kurus, Ekky spontan menyambut “Wah, Tan Malaka datang…” Memang Tan Malaka berperawakan agak tinggi dan kurus, terutama setelah menderita TB.
Sebutan Tan Malaka untuk saya, meski cuma guyonan karena model tubuh, kualitatif tentu saja jauh panggang dari api. Lalu Ekky menjelaskan mengenai sambutan spontannya dengan menyebut Tan Malaka. “Bung kan dulu dari koran yang memiliki gagasan-gagasan sosialistis”, separuh bercanda. “Anda menggantikan bung Rahman Tolleng, tokoh sosialis, sebagai pemimpin redaksi kan?” Ekky mengatakan kedatangan saya dari Bandung mengingatkannya kepada Rahman Tolleng, yang mendirikan MingguanMahasiswaIndonesia, Juni 1966. Jadi, sebenarnya yang terkilas di pikiran Ekky ketika menyebut Tan Malaka, adalah Rahman Tolleng yang oleh kawan dan lingkungan pergaulan politik serta kegiatan lain senantiasa disapa sebagai BungRahman. ‘Dikenal’ berpaham sosialis dan kerap diasosiasikan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Continue reading Rahman Tolleng, Gerakan Bawah Tanah dan Ideologi→
LAPORAN Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar, setebal 444 halaman yang disampaikan di Jenewa 18 September 2018 lalu, mengungkap telah terjadi genosida sistematis terhadap etnis Rohingya dan pemerkosaan terhadap kaum perempuan oleh Tatmadaw –sebutan bagi militer Myanmar. “Kaum pria secara sistematis dibunuh. Anak-anak ditembak dan dilempar ke sungai atau dibakar”, ujar Marzuki Darusman, Ketua TPF PBB. Sementara itu, kaum perempuan dan anak perempuan secara rutin diperkosa beramai-ramai, banyak dari mereka “disiksa secara mental dan fisik ketika diperkosa.”
BETULKAH populisme Islam telah hadir dan bahkan menjadi satu faktor di Indonesia? Sosiolog Vedi R. Hadiz, professor studi mengenai Asia pada Asia Institute, University of Melbourne, Australia, menyebutkan adanya kehadiran itu. Bahkan menurutnya, “populisme Islam di Indonesia belakangan ini semakin diserap dalam kompetisi antar faksi oligarki.” Sementara itu, menurut Dr Marzuki Darusman –pegiat HAM PBB dari Indonesia yang pernah menjadi Jaksa Agung RI– populisme Islam di Indonesia masih lebih berstatus fenomen, karena belum pernah melewati proses kritik.
Diwawancarai oleh Balairung –badan penerbitan pers mahasiswa– Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Vedi R. Hadiz, menguraikan populisme adalah suatu bentuk aliansi antar kelas yang sifatnya tidak seimbang. Ada elemen-elemen yang sifatnya dominan dan ada yang subordinat. Lalu, keduanya disatukan oleh satu narasi tentang suatu persamaan nasib. Dikarenakan sifatnya yang lintas kelas, aliansi-aliansi populis sifatnya penuh kontradiksi internal dan rentan. Oleh karena itu, untuk bisa dipelihara dan dijaga kelangsungannya selalu membutuhkan konflik dan kontroversi.
Dalam konteks kesenjangan sosial
“Kalau definisi populismenya adalah aliansi lintas kelas yang tidak seimbang dan sifatnya kontemporer, penuh kontradiksi dan memerlukan kontroversi, kita kemudian bisa melihat varian-variannya.” Varian-varian itu ditentukan oleh konstelasi kekuatan sosok spesifik yang ada di setiap masyarakat. “Saya menyebutnya sebagai cultural resource pool yang tersedia untuk menciptakan bahasa politik sebagai perekat kelas-kelas berbeda. Ciri khas dari populisme Islam adalah bahasa politiknya dari agama Islam.” Singkatnya, beda antara populisme secara konvensional dan populisme Islam adalah konsep dasar yang “The Peoples” sebagai rakyat yang ditindas oleh elite. Sementara, dalam populisme Islam konsep “The Peoples” diganti menjadi ummah yang ditindas dan terpinggirkan. Continue reading Populisme Islam Dalam Kompetisi Antar Faksi Oligarki→
DI LUAR dugaan, mendobrak prediksi sejumlah lembaga survey, kelompok oposisi Pakatan Harapan, memenangkan Pemilihan Umum Malaysia 9 Mei 2018. Dalam perhitungan tak lama setelah pemungutan suara mereka telah melampaui batas minimal 112 jumlah kursi dari 212 kursi parlemen yang diperebutkan. Sekaligus, koalisi oposisi yang dipimpin Dr Mahathir Mohammad di usia larut senja ini, mendadak mematahkan kurva kekuasaan Barisan Nasional yang telah berlangsung 60 tahun. Dunia internasional berharap, kemenangan oposisi ini mampu diterima dengan baik oleh Barisan Nasional, sehingga tak terjadi kekisruhan politik.
Mahathir sendiri, sebenarnya pernah menjadi bagian kekuasaan yang ketat dari Barisan Nasional itu selama 22 tahun sebagai Perdana Menteri, dari 1981 sampai 2003. “Dia memutuskan kembali ke dunia politik dan mendukung oposisi setelah marah dengan skandal korupsi besar-besaran yang melibatkan Perdana Menteri Najib Razak,” tulis Australia Plus 10 Mei 2018. Tak salah bila dengan kejutan-kejutan yang terjadi, maka kemenangan oposisi di bawah Mahathir ini disebut sebagai kemenangan bersejarah.
SELEBRASI VICTORY MAHATHIR MOHAMMAD. “Kemenangan barisan oposisi Malaysia ini juga memberikan pesan lain, bahwa di luar dugaan, petahana ternyata bisa dikalahkan. Dan itu bisa terjadi di mana-mana di kawasan ini. Termasuk di Indonesia.” (Foto download AP/media-karya.com)
Dengan hasil pemilihan umum Malaysia yang penuh kejutan itu, Dr Marzuki Darusman SH memprediksi Malaysia terdorong akan lebih terbuka. Sekarang, kata pegiat HAM internasional yang juga adalah mantan Jaksa Agung RI itu, ada dua –bukan hanya satu– kekuatan politik kelompok Melayu yang bisa bergantian berkuasa. Kelompok atau ‘Kaum Melayu’ dengan demikian tak perlu cemas kehilangan kedudukan istimewa yang telah mereka miliki selama beberapa dekade. ‘Politik ras’ memang masih berlaku, tetapi peluang untuk berganti pemerintahan menjadi lebih besar. Otoriterisme akan agak lebih terkendali, begitu pula perilaku korupsi.
“Pengaruh hasil pemilu Malaysia kali ini untuk kawasan, juga baik.” Dengan demikian, Indonesia kini tidak terlalu sendirian sebagai negara paling terbuka yang rentan terhadap ‘tekanan’ negara-negara tetangga yang selama ini sangat restriktif sistem politiknya. Hasil pemilihan umum Malaysia yang historis ini bisa memberikan babak keterbukaan baru di ASEAN.
Kemenangan barisan oposisi Malaysia ini juga memberikan pesan lain, bahwa di luar dugaan, petahana ternyata bisa dikalahkan. Dan itu bisa terjadi di mana-mana di kawasan ini. Termasuk di Indonesia. Meski, selama ini ada semacam tradisi bahwa petahana senantiasa lebih diuntungkan dengan berbagai ‘bonus’ kekuasaan, sehingga cenderung selalu memenangkan pemilihan umum dan bisa bertahan.
Serumpun –walau tak selalu akur– bagaimana pun manusia Indonesia dan manusia Malaysia memiliki begitu banyak kesamaan dalam perilaku sosial maupun perilaku politik. Sekedar beberapa contoh: Feodalisme terpelihara, orientasi ketokohan dalam politik lebih penting daripada orientasi sistem. Bungkus lebih penting daripada esensi. Berbeda pendapat bisa berarti permusuhan. Sama-sama masih bergelut dan bergulat dalam masalah etnis. Dan, sama-sama terjangkit wabah perilaku korupsi dan sulit memeranginya.
Dengan membebaskan diri dari jalan pikiran rasialistis, ada beberapa pertanyaan berikut. Mungkinkah begitu banyak persamaan itu berakar pada apa yang dikatakan sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial dan psikologi bahwa ras Melayu punya semacam sindrom, berupa respon reflektif terhadap kata (echolalia) dan perbuatan (echopraxia)? Dan mungkin karena itu rentan penularan satu dengan yang lain? Tetapi apakah juga bisa ada penularan ‘takdir’ atau ‘nasib’ politik…..? (media-karya.com)
TANGGAL 12 Maret 1966, Partai Komunis Indonesia dibubarkan. Karena tanggal 12 jatuh pada hari Sabtu, umumnya suratkabar yang ada waktu itu baru bisa memberitakannya pada hari Senin 14 Maret. Saat itu belum lazim suratkabar punya edisi Minggu. Ada sedikit kekeliruan pemberitaan kala itu, ketika ada media yang memberitakan bahwa pembubaran dilakukan oleh Presiden Soekarno. Pembubaran sebenarnya dilakukan oleh Jenderal Soeharto, selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966. Dan itu adalah penggunaan pertama Surat Perintah 11 Maret 1966, yang terjadi hanya selang sehari setelah Jenderal Soeharto menerimanya dari Presiden Soekarno/Panglima Tertinggi ABRI melalui tangan tiga jenderal yang sebelumnya dikenal sebagai orang-orang kepercayaan sang Presiden.
Sejumlah anggota lingkaran dalam Soekarno kala itu tak menyetujui tindakan Jenderal Soeharto, dan menganggap tindakan politik seperti pembubaran PKI tak tercakup dalam wewenang yang ada dalam Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada sisi lain, meskipun PKI telah dibubarkan secara formal, sepanjang tahun 1966 banyak pihak yang selalu memperingatkan tetap adanya bahaya laten PKI. “Sebuah partai bisa dibubarkan, tetapi ideologi tak bisa,” ujar seorang tokoh anti PKI kala itu mengingatkan. Ini disepakati banyak aktivis. Jadi tetap diperlukan kewaspadaan. Inilah opini terkuat yang ada per saat itu.
JENDERAL SOEHARTO, BUKAN PRESIDEN SOEKARNO. Membubarkan PKI 12 Maret 1966.
Namun, masih pada tahun yang sama, aktivis pergerakan 1966 dari Bandung, Alex Rumondor –yang juga adalah tokoh pers mahasiswa terkemuka– mengajukan semacam antitesis tentang PKI. Menulis di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, Alex menyatakan, “Sebenarnya dapat didedusir bahwa musuh kita yang paling besar dari masa ke masa, bukanlah sekedar sang pemimpin yang diktator ataukah PKI dan para pendukungnya yang telah melakukan pengkhianatan. Mereka hanyalah merupakan passing moment in Indonesian history, dengan beberapa syarat dan argumen.” Lalu siapa? “Musuh kita yang lebih mendasar ternyata adalah: Kemiskinan dan kemelaratan. Penderitaan. Kekerdilan dan kemeranaan jiwa. Penyakit-penyakit. Ketidaktahuan serta kebodohan. Bentuk-bentuk pemerasan, bentuk tirani pikiran dan sebagainya.” Dengan tulisannya ini, seorang tokoh mahasiswa 1966 bergurau, “PKI juga ini si Alex…” Tentu saja Alex Rumondor bukan PKI. Malah Alex lah yang pertama kali menyimpulkan kepada teman-teman aktivis Bandung segera setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, bahwa PKI ada di belakang peristiwa. (Baca buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta 2006)
Separuh ‘tesis’ Alex tentang musuh mendasar yang sebenarnya –kemiskinan, kemelaratan, kekerdilan dan kemeranaan jiwa, kebodohan dan sebagainya– dengan berjalannya waktu untuk sebagian terasa ada benarnya. Dan, musuh-musuh yang disebutkannya itu, hingga sejauh ini, ternyata memang belum berhasil ditundukkan oleh rezim-rezim kekuasaan yang pernah ada di Indonesia. Tetapi separuh lainnya, tesis bahwa PKI hanyalah passing moment dalam sejarah Indonesia, bagi sebagian besar masyarakat bukanlah keniscayaan.
Berdasar adagium bahwa sebuah ideologi tak pernah mati, banyak yang percaya, termasuk kalangan akademisi, cepat atau lambat PKI sebagai penganut komunisme, suatu waktu akan muncul kembali. Entah dengan wujud bagaimana. Dan menjelang 52 tahun pasca Peristiwa 30 September 1965 yang lalu, memang mengemuka diskursus yang cukup sengit tentang kemungkinan kebangkitan kembali PKI. Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, selalu mengingatkan agar jangan melupakan kekejaman PKI di masa lampau. Ia menginisiasi pemutaran kembali film G30S karya Arifin C. Noer di berbagai penjuru tanah air, sehingga menimbulkan reaksi sejumlah kekuatan politik, seperti PDIP, maupun simpatisan dan sisa-sisa anggota atau keluarga tokoh-tokoh PKI. Adapun Presiden Jokowi, yang pernah marah karena diisukan keturunan anggota PKI, memilih ikut nonton bareng bersama beberapa perwira militer di Bogor.
Akan tetapi –sebagaimana yang bisa diamati dari diskursus yang berlangsung di masyarakat beberapa tahun terakhir– ada juga yang menyebutkan komunisme adalah ideologi yang sudah rontok. Salah satunya, budayawan Goenawan Mohammad. Dalam sebuah wacananya ke publik ia menggambarkan ‘kematian’ komunisme dengan mengutip Alexander Solzhenitsyn, “Bagi kami di Rusia, komunisme itu anjing yang mati.” (Baca: Hantu PKI dan Filsafat Marxis Kontemporer, socio-politica.com 20 September 2017).
Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. Salah satu referensi tulisan ini dan beberapa tulisan lain di socio-politica.com – (Bagi yang ingin memperoleh buku ini, bisa memesan pada: tokopedia.com/bukubria)
BETULKAH komunisme sudah menjadi seekor anjing mati? Rontok dalam kekuasaan, mungkin, ditandai oleh bubarnya Uni Sovyet, kembali menjadi keping-keping banyak negara seperti semula. Tapi bisakah ideologi mati begitu saja? Di China daratan, meski sepak terjang dalam kehidupan ekonomi negara itu sudah kapitalistis, tetapi ideologi politik komunis tidak ikut mati.
Menurut Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung RI dan kini menjadi pegiat HAM bagi Perserikatan Bangsa Bangsa, ada wacana yang terbuka di dunia internasional tentang perkembangan komunisme, mengenai ideologi, selain mengenai kapitalisme. Terdapat informasi dan pengetahuan baru bahwa komunisme sebagai ideologi saat ini sedang mencari penjelmaan baru melalui tokoh-tokoh cendekiawan dunia seperti Slavoj Žižek, peneliti senior sosiologi di Universitas Ljubljana, Slovenia. Žižek mencanangkan suatu masa depan dengan ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau. Ia menggunakan filsafat Marxis kontemporer dengan pendekatan kultural, dan menjabarkan diri sebagai kiri radikal yang mengkritisi neo liberalisme. Jadi, memang ada upaya untuk merehabilitasi komunisme di lingkungan cukup terpandang di kalangan intelektual dunia sekarang. “Akan tetapi bila kita tak mengikuti prosesnya dengan cermat, kita tak akan mengerti bahwa proses pencarian itu bukan serta merta merupakan tiruan ideologi komunisme masa lalu.” (Baca tulisan sebelumnya di socio-politica: https://socio-politica.com/2017/09/20/hantu-pki-dan-filsafat-marxis-kontemporer/).
TAPI, di awal Maret 2018 ini, Polri diberitakan menangkapi sejumlah orang –yang semula disebut sebagai jaringan MCA, Muslim Cyber Army– dengan tuduhan menyebarkan hoax. Dan, salah satu pokok hoax yang disebut adalah isu kebangkitan kembali PKI. Ini koinsidensi yang menarik, dan sedikit rumit. Institusi penegak hukum yang bukan institusi politik ini perlu memperjelas, apakah yang mereka maksudkan dan kategorikan sebagai hoax itu adalah kemungkinan kebangkitan kembali PKI? Lalu, apakah dengan demikian, setiap orang yang menyerukan kewaspadaan terhadap potensi kebangkitan kembali PKI itu harus ditangkap karena menyebarkan hoax? Dan apakah memang betul bahwa potensi kebangkitan kembali PKI dan atau komunisme itu –yang ada dalam diskursus publik selama ini– adalah hoax? (socio-politica.com)
SEBUAH pertanyaan, apakah peristiwa ‘tangkap tangan’ Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara oleh KPK Kamis 6 Oktober 2017 merupakan bagian dari fenomena gunung es suap dan korupsi di lembaga peradilan Indonesia? Persoalannya, dalam dua tahun terakhir ini ada belasan –dan sedikit lagi memasuki nominal puluhan– praktek suap dan korupsi terungkap secara nyata di berbagai tingkat lembaga peradilan kita. Dan di bawah permukaan, melalui berbagai keluhan para pencari keadilan, atau percakapan di kalangan pengacara maupun di tengah masyarakat sehari-hari, praktek suap dan korupsi di lingkungan peradilan, menjadi rahasia umum keberadaannya. Maka, terkait suap dan korupsi, seakan-akan memang ada fenomena gunung es pengendalian uang terhadap proses hukum.
Tentu perlu penelusuran lanjut semua pihak untuk memastikan apakah fenomena gunung es wealth driven law itu nyata ada atau sekedar prasangka atau asumsi akibat kekecewaan pihak-pihak yang kalah berperkara. Tapi terlepas dari itu, dalam asumsi fenomena gunung es –bahwa gunung es itu hanya tampak 10 persen di atas permukaan– praktek suap dan korupsi di dunia peradilan yang belum terungkap sebenarnya jauh lebih besar.
WAJAH KETUA PENGADILAN TINGGI SULAWESI UTARA DALAM KARIKATUR INILAH.COM. “Independensi hakim rupanya telah dimanfaatkan banyak kalangan hakim sebagai komoditi bernilai komersial tinggi.”
Pengacara yang kini non aktif karena menjadi anggota DPR-RI, Henry Yosodiningrat dalam salah satu acara ‘Mata Najwa’ –kini sudah berakhir di Metro TV– Agustus dua tahun lalu, menyebut separuh hakim di Indonesia tidak bersih. “Suap menyuap di peradilan dimainkan hakim dan pengacara.” Henry mengaku pernah ditawari memenangkan perkara dengan menyogok hakim. Seorang pengacara lain, Elza Sjarief juga mengaku pernah ditawari Panitera membayar 30 juta rupiah jika ingin memenangkan sebuah kasus warisan. Namun, berdasarkan pengamatan Imam Anshori Saleh –selaku Komisioner Komisi Yudisial kala itu– yang disampaikannya juga dalam ‘Mata Najwa’, sejak gaji hakim naik tahun 2003 angka suap juga naik, mencapai skala miliaran rupiah (Baca: https://socio-politica.com/2015/08/12/hakim-dan-fenomena-wealth-driven-law/).
SEORANG pengacara muda menceritakan pengalamannya ketika beberapa waktu lalu mendampingi seorang klien –pengurus suatu yayasan sosial– di sebuah instansi penyidik terkait ‘sengketa’ tanah berharga sekitar 800 milyar rupiah. Mestinya, lebih tepat bila kasus itu ditangani di pengadilan perdata saja. Seraya menganjurkan agar sertifikat hak milik tanah yang dipersoalkan itu –dalam kaitan hibah yang tak sah dan dibatalkan– diserahkan saja kepada pihak pelapor pidana, salah seorang penyidik kurang lebih mengatakan, “pelapor adalah orang terkaya Indonesia ke(sekian) lho….” Tentu timbul pertanyaan, memangnya kenapa? Apakah seorang yang tergolong terkaya dengan sendirinya adalah pemegang kebenaran? (Baca: https://socio-politica.com/2015/10/06/keunggulan-korporasi-dan-kaum-kaya-dalam-kendali-hukum/)
Apa yang selanjutnya terjadi? Setelah dari Polri, kasus berpindah ke Kejaksaan Agung dan proses berlangsung dengan begitu cepat. Terjadi penetapan tersangka disertai penahanan di Kejaksaan Negeri dan pelimpahan ke Pengadilan Negeri. Sejak itu tercatat bahwa baik pidana maupun perdata terus menerus dimenangkan oleh orang terkaya kesekian itu, sampai tingkat Mahkamah Agung. Kecuali di tingkat banding Pengadilan Tinggi.
Sebenarnya, dalam persepsi publik bukan suatu keanehan kalau yang tak punya atau hanya sedikit uangnya hampir bisa dipastikan kalah dalam berperkara. Lebih aneh dan langka adalah bila terjadi sebaliknya. Seorang praktisi hukum pernah menyampaikan, bahwa menurut pengamatannya rakyat kecil selalu kalah dalam berperkara bila menghadapi mereka yang banyak uang.
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan para penegak hukum mengalami kendala luar biasa, dari arah internal berupa kelemahan teknis dan ketidak-kebalan iman terhadap aneka godaan, maupun dari arah eksternal dari sesama kalangan pemerintahan dan kalangan politik. Ini pasti berlaku untuk semua kalangan penegak hukum. Sementara itu mantan Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo Sutjipto menyebut ruang pengadilan kini lebih megah namun kehilangan ‘aura’, menandakan wibawa yang lenyap. Tak lain karena perilaku para hakim sendiri: Ada hakim yang memutus perkara berbau kontroversial, ada pula yang menafsirkan hukum tanpa mengindahkan rambu-rambu sehingga putusannya membingungkan dan terkesan tak adil. Dan tentu perlu ditambahkan, melakukan penyimpangan karena uang.
Independensi hakim rupanya telah dimanfaatkan banyak kalangan hakim sebagai komoditi bernilai komersial tinggi. Dengan independensi hakim, teoritis tak mudah seorang atasan mencampuri perkara. Akan menjadi lebih parah, bila memang benar fenomena gunung es itu merupakan fakta, sehingga seorang atasan pun belum tentu terjamin integritasnya. Pengawasan? Tanda tanya.
SEBAGAI penutup, kita ulangi pertanyaan yang juga pernah disampaikan di sini. Bila semua jalan sudah terasa buntu, apakah berarti semua orang harus siap ditindas melalui hukum yang bisa dibeli? Jangan pernah melawan kaum (yang lebih) kaya melalui jalan hukum. Lalu jalan apa yang bisa dipilih? Jalan politik? Tapi, wealth driven politic sebagai turunan dari wealth driven economy dengan segala derivatenya –wealth driven government dan wealth driven law– sudah lebih dulu tertanam kuat sebagai realita sehari-hari.
Lalu ? Mari melawan secara benar, di jalan kebenaran. Kita cari jalannya. (socio-politica.com).
PERDEBATAN mengenai penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu hingga sejauh ini masih terbelenggu oleh dua pilihan, khususnya dalam konteks perpolitikan Indonesia dan pergulatan kekuasaan segitiga –Soekarno, TNI-AD dan PKI– yang penuh kekerasan sepanjang 1960-1965 dan sesudahnya. Situasinya hingga kini juga masih mendua, apa melalui jalan yudisial atau jalan non-yudisial. Semua masih terjebak dalam perdebatan seperti itu. Ini menjadi semacam awan gelap yang menggelantung di atas kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah-olah tak ada alternatif lain.
Pilihan pertama, menyelesaikan secara yudisial, dengan mengambil beberapa perkara lalu itu dianggap mewakili semua perkara yang sudah terjadi. Padahal, masalahnya begitu kompleks. Bila ini yang dilakukan, malah akan menimbulkan ketidakadilan baru. Atau, pilihan kedua, menyelesaikannya secara non-yudisial, yang sampai saat ini rumusannya belum ditemukan.
Tetapi sebenarnya, selain dua pilihan di atas, masih ada pilihan lain. Pilihan lain itu, menurut tokoh pegiat HAM internasional Dr Marzuki Darusman–yang saat ini menjadi Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk masalah Rohingya– adalah penciptaan Narasi Kebenaran. Berupa suatu uraian yang mandat penulisannya diserahkan kepada suatu lembaga.
DEMO TOLAK PKI. “Situasinya hingga kini juga masih mendua, apa melalui jalan yudisial atau jalan non-yudisial. Semua masih terjebak dalam perdebatan seperti itu. Ini menjadi semacam awan gelap yang menggelantung di atas kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Dalam alam keterbukaan dan demokrasi serta HAM, begitu narasi itu ditulis dan selesai, sekurang-kurangnya satu generasi akan bertahan dengan uraian itu. Kalau tidak ada uraian kontra, maka uraian itu yang akan dipegang, sehingga akhirnya yang bertahan menolak narasi juga mencari jalan lain untuk menjelaskan posisi mereka secara argumentatif. Kalau itu sudah terjadi, maka suasana akan menjadi lebih sehat dan jernih.
Uraian naratif itu tentu ada syarat-syaratnya, tidak mengandalkan analisa semata-mata mengenai kejadian atau fakta, tetapi mencari makna. Narasi itu berpusat kepada makna, efek dari kejadian itu dalam bentuk kekerasan dan pengaruhnya kepada kehidupan bangsa saat ini. Menjadi pengetahuan bersama yang tak sulit untuk diterima, Peristiwa 30 September 1965, memiliki pertalian sebab-akibat. Baik ke masa sebelumnya, katakanlah minimal antara 1960-1965, maupun ke masa sesudahnya. Perseteruan komunis dan non komunis ditandai perilaku kekerasan di semua pihak.
Tulang punggung penyusunan narasi. Agar netral, yang ideal adalah bahwa itu mempunyai keabsahan kenegaraan, bukan keabsahan pemerintahan. Dan satu-satunya yang bisa secara formal adalah lembaga Komnas HAM, terlepas dari ada tidaknya kesangsian terhadap sepak terjang lembaga ini pada beberapa tahun terakhir. Tidak perlu harus anggota Komnas HAM yang sekarang, karena Komnas bisa menyusun satu tim dari kalangan yang dianggap kompeten, mempunyai kualifikasi, dan untuk ini harus diuraikan kualifikasi apa yang diperlukan. Misalnya, sejarawan, sosiolog, ahli politik, ahli militer dan sebagainya. Ini harus dipikirkan, tapi semua harus bernaung di bawah lembaga kenegaraan. Dan ini dibentuk Komnas dengan konsultasi yang luas, yaitu dengan orang-orang yang punya latar belakang dan pengetahuan yang bisa dikontribusikan.
Penyusunan narasi ini setidaknya memerlukan waktu, katakanlah enam bulan hingga setahun. “Saya sempat berbicara dengan beberapa orang di Komnas beberapa waktu lalu, agar bisa menangani,” tutur Marzuki Darusman. “Saya katakan, lupakan perkara-perkara yang sudah diperiksa. Tidak bisa. Bukti-buktinya juga tidak lengkap. Tak mungkin ditangani secara yudisial. Tapi memang diperlukan topangan dari negara, misalnya ada keputusan Presiden, bukan untuk mengakui lembaga ini, tetapi memerintahkan TNI membuka semua arsip untuk tim narasi. TNI, polisi, semua instansi pemerintah di pusat dan daerah diharuskan memberikan akses terhadap sumber informasi yang diperlukan. Dan ada sanksi-sanksinya jika ada tindakan-tindakan penghancuran informasi atau dokumentasi. Penyelesaiannya non-yudisial, karena untuk penyelesaian yudisial bagaimana cara dan kemungkinannya?”
Lalu bagaimana dengan solusi melalui Komisi Kebenaran? Adalah memang menarik bahwa sejauh ini di dunia internasional pencarian kebenaran telah melahirkan ‘industri’ komisi kebenaran. Sejak tahun 1970-an sudah ada 30-an dan hampir mencapai 40 komisi kebenaran di dunia ini, yang ditumpang-tindih dengan penyelidikan mengenai perkembangan kapitalisme. Titik puncak dari anjuran pembentukan komisi-komisi kebenaran di negara-negara yang mengalami transisi politik –terutama di negara-negara Latin dan Afrika– berkorelasi dengan bangkitnya neo-liberalisme. Bahwa neo-liberalisme –termasuk penyesuaian struktural dari IMF, intervensi dalam politik-ekonomi nasional, dominasi World Bank dan IMF– adalah kebutuhan dari perluasan ideologi neo-liberalisme.
Dalam praktek, perkembangan lanjut kapitalisme dan bangkitnya neo-liberalisme melahirkan kekerasan dalam masa kekuasaan otoriter di setiap negara tersebut. Kekerasan itu berlanjut dan berintegrasi dengan kekerasan struktural ekonomi neo-lib. Tepatnya, ia menyelinap di balik kekerasan struktural politik ekonomi neo-lib ini, tetapi di depannya dilekatkan retorika negara demokratis. ‘Transisi demokrasi’ diperlukan dan dipercepat, tak lain sebenarnya bertujuan agar kapitalisme mendapatkan wilayah baru bagi operasinya setelah mengalami krisis dan kejenuhan produksi industri yang tak bisa dipasarkan lagi. Kecuali, ada negara-negara yang dibangkitkan daya belinya untuk membeli barang-barang produksi negara-negara maju.
Negara-negara sasaran ini tadinya dikuasai kelompok fasis-otoriter –yang di belakangnya adalah kekuatan kapitalisme. Negara-negara ini berubah karena proses demokratisasi –dengan antara lain memanfaatkan retorika hak azasi manusia. Kapitalisme itu tidak lagi memiliki bangunan, maka ia harus membuat bangunan baru. Neo-lib ini yang menjadi sarananya. Untuk menegakkan neo-lib diperlukan proses transisi yang dipercepat. Sedangkan proses transisi yang dipercepat ini hanya bisa dilakukan dengan ‘industri’ komisi-komisi kebenaran. Sayangnya selama ini umumnya orang tidak terlalu jeli melihat bahwa semua ini dibuat dalam satu jalinan yang menyebabkan suatu situasi yang serba salah tentang kebenaran itu sendiri.
Karena terjun menangani berbagai urusan internasional, “saya mendapat kesempatan terbuka untuk melihat korelasi antara ‘industri’ komisi-komisi kebenaran dengan kekerasan struktural yang sekarang ini menciptakan kemiskinan. Sebagian kecil orang menjadi makin kaya, sementara sebagian terbesar lainnya makin miskin,” demikian Marzuki. Sayang sekali, adalah karena itu, belakangan ini keberadaan komisi-komisi kebenaran di berbagai belahan dunia makin diragukan efektivitasnya. Maka harus lebih pandai memilah-milah antara kebenaran itu sendiri dengan ‘komisi kebenaran’ yang dalam praktek banyak dibelokkan arahnya dan menjadi sepuhan untuk transisi dengan tendensi kepentingan khusus.
Dengan demikian, tampaknya solusi melalui penciptaan Narasi Kebenaran lebih bisa diharapkan. Termasuk untuk Indonesia, khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan segala ikutannya…. (socio-politica).
MENJELANG 52 tahun Peristiwa 30 September 1965, banyak disebutkan tentang gejala neo-komunisme. Apakah ideologi itu masih ada dan akan tumbuh kembali dalam berbagai wujud baru? Secara spesifik untuk konteks Indonesia bahkan mengemuka diskursus tentang kemungkinan bangkitnya kembali PKI. Selasa malam 19 September 2017, melalui tvOne, Indonesia Lawyers Club memilih tema pembahasan yang mempertanyakan apakah PKI itu nyata atau hantu?
Ada yang menyatakan PKI itu adalah hantu yang sekaligus juga nyata. Namun –seperti halnya diskursus yang berlangsung di masyarakat beberapa tahun terakhir– ada juga yang menyebutkan komunisme adalah ideologi yang sudah rontok. Salah satunya, budayawan Goenawan Mohammad. Dalam sebuah wacananya ke publik ia menggambarkan ‘kematian’ komunisme dengan mengutip Alexander Solzhenitsyn, “Bagi kami di Rusia, komunisme itu anjing yang mati.”
MARZUKI DARUSMAN. “Kita tidak terampil menanggapi dimensi-dimensi baru ideologi, khususnya yang terkait dengan komunisme.”
Betulkah komunisme sudah mati? Rontok dalam kekuasaan, mungkin, ditandai oleh bubarnya Uni Sovyet, kembali menjadi keping-keping banyak negara seperti semula. Tapi bisakah ideologi mati begitu saja? Di China daratan, meski sepak terjang dalam kehidupan ekonominya sudah kapitalistis, tetapi ideologi politiknya tidak ikut mati.
Terlepas dari itu semua, kelihatannya tak banyak orang mengikuti wacana yang terbuka di dunia internasional tentang perkembangan komunisme, mengenai ideologi, maupun mengenai kapitalisme dan sebagainya. “Ini membuat kita tidak terampil menanggapi dimensi-dimensi baru ideologi,” kata Marzuki Darusman dalam suatu percakapan, “khususnya yang terkait dengan komunisme.”
Sebenarnya terdapat informasi dan pengetahuan baru bahwa komunisme sebagai ideologi saat ini sedang mencari penjelmaan baru melalui tokoh-tokoh cendekiawan dunia seperti Slavoj Žižek, peneliti senior sosiologi di Universitas Ljubljana, Slovenia.
Žižek mencanangkan suatu masa depan dengan ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau. Ia menggunakan filsafat Marxis kontemporer dengan pendekatan kultural, dan menjabarkan diri sebagai kiri radikal yang mengkritisi neo liberalisme. Jadi, memang ada upaya untuk merehabilitasi komunisme di lingkungan cukup terpandang di kalangan intelektual dunia sekarang. Akan tetapi bila kita tak mengikuti prosesnya dengan cermat, kita tak akan mengerti bahwa proses pencarian itu bukan serta merta merupakan tiruan ideologi komunisme masa lalu.
“Karena kaitan tugas di PBB, saya misalnya juga harus mengamati perkembangan di Korea Utara. Negara itu tidak mengklaim dirinya sebagai negara dengan sistem sosialis apalagi komunis. Mereka mengklaim dirinya sebagai negara dengan ideologinya sendiri, dan tidak lagi menggunakan label komunisme,” kata Marzuki Darusman. Tapi sistem yang diterapkan di Korea Utara selama ini adalah sistem yang ekstrim, yang sama dengan sistem Stalinis di Rusia masa lampau. Katakanlah, komunisme dengan Stalinisme. Tapi, tidak persis seperti itu sebenarnya. Sistem totaliter yang dulu diterapkan di Uni Soviet, lebih tepat disebut sebagai Stalinisme –yang kini sudah runtuh. Stalinisme adalah bentuk komunisme yang degeneratif, yaitu komunisme yang menjelma menjadi terpusat pada kultus personalitas. Sepuhannya kala itu mungkin komunisme, tapi hakekatnya adalah Stalinisme, sama dengan Maoisme di China.
SLAVOJ ZIZEC. “Ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau.”
Perlu mencoba membuka ufuk pemikiran baru, untuk lebih mewacanakan secara tenang dan tidak tergopoh-gopoh bertindak menghadapi fenomena baru itu. Apakah itu untuk mencegah atau untuk membela diri, karena kedua-duanya sama-sama tidak menyelesaikan soal. Lebih penting sekarang dalam konteks Indonesia adalah bagaimana bisa melakukan hal-hal berharga untuk ke depan ini. Bukan sebatas berslogan mencegah terjadinya pengulangan dari peristiwa seperti yang terjadi pada September 1965. Untuk itu harus kritis. Sama pentingnya tentu adalah jangan sampai terjadi pengulangan masa Soekarno tahun 1960-1965 maupun pengulangan Orde Baru.
Menyikapi fenomena ideologis tidak bisa hanya dengan sikap marah-marah, melainkan dengan membangun barikade pemikiran yang bersumber pada ideologi nasional, yaitu Pancasila. Di sinilah agaknya kita tertinggal, sehingga seringkali menghadapi komunisme semata-mata sebagai hantu. Tidak sebagai suatu tantangan dalam konteks ideologi bangsa, misalnya dalam kaitan berkembangnya filsafat Marxis kontemporer. Salah seorang tokoh penggagas pembaharuan politik Indonesia Dr Midian Sirait (almarhum), melalui bukunya yang diterbitkan bertepatan dengan usianya 80 tahun, pernah mengajukan perlunya revitalisasi Pancasila. Tapi mungkin, jalan yang lebih tepat lagi, seperti diajukan Marzuki Darusman, adalah ideologisasi lanjut dari Pancasila. Meski, proses itu tidak bisa berlangsung sekejap dan instan. Memerlukan waktu, dan memerlukan juga proses kecendikiawanan (socio-politica).
HINGGA 52 tahun setelah berlalunya Peristiwa 30 September 1965, polemik tentang kebenaran di seputar peristiwa belum tuntas di tengah masyarakat. Pasca Soeharto, pada satu sisi sekelompok masyarakat yang merasa menjadi korban kekerasan tentara dalam penumpasan PKI segera setelah peristiwa hingga beberapa tahun berikutnya, menuntut rehabilitasi dan permintaan maaf dari pemerintah. Bersamaan dengan itu muncul gugatan terhadap Orde Baru Soeharto. Tetapi pada sisi lain, kelompok masyarakat yang meyakini bahwa PKI telah melakukan pemberontakan yang mengambil korban jiwa sejumah jenderal dan perwira lainnya, menganggapnya dosa tak terampuni. Dan di tengah itu ada generasi lebih muda yang untuk sebagian ikut terbelah karena memperoleh narasi berbeda tentang kebenaran dari peristiwa itu, khususnya dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu –sebelum dan sesudah peristiwa.
BUKU TENTANG PKI DAN PERISTIWA 30 SEPTEMBER 1965 . “Bila yang dilakukan adalah terus mencari kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah, persoalannya hanya menjadi siapa mengampuni siapa dan siapa memaafkan siapa. Padahal kita harus berbuat melampaui itu.”
Tak kurang dari 32 tahun lamanya rezim Orde Baru menjaga bahwa yang dilakukan Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto saat menghadapi PKI dalam Peristiwa 30 September 1965 adalah tindakan berdasar kebenaran. Urutan kejadian tersusun sedemikian rupa dan selama tiga dekade ada dalam posisi tak tergugat. Sedikit saja kesangsian berhasil dimunculkan, akan menyentuh legitimasi Orde Baru selama 30 tahun. Dalam situasi adanya kesangsian, esensi tegaknya Orde Baru tak bisa lagi diidealisir sebagai perlawanan terhadap upaya PKI menegakkan ideologi komunis, melainkan dituduh sekedar suatu perebutan kekuasaan. Seluruh bagian Orde Baru yang masih ada dan yang mempunyai hubungan sejarah, termasuk peranan TNI Angkatan Darat, akan mengalami delegitimasi. Untuk sebagian itu telah terjadi pasca Soeharto dalam 19 tahun terakhir.
Dalam konteks terjadinya proses delegitimasi, ke depan tak bisa lain perlu ada evaluasi kritis terhadap Orde Baru. Evaluasi itu perlu, sebagaimana diperlukan pula evaluasi kritis mengenai apa yang pernah dilakukan PKI sebagai bagian dari satu periode dalam sejarah yang penuh kekerasan. Mulai dari aksi-aksi sepihak sebelum tahun 1965 hingga Peristiwa 30 September 1965. Periode masa lalu ini bagaimana pun tidak bisa dipisahkan dari masa 52 tahun politik yang terakhir ini.
Penyelesaian satu nafas. Penyelesaian peristiwa yang membelah masyarakat selama 52 tahun ini mesti dalam satu nafas, dan tak boleh terpukau dalam penggalan-penggalan kejadian. Harus ada suatu kritik tematik terhadap masa 30 tahun sampai 60 tahun lalu. Tak bisa sekedar mengeritik dan menyesali peristiwa. Justru di sini, meminjam pandangan Marzuki Darusman –mantan Jaksa Agung RI dan pegiat HAM hingga tingkat internasional– kita semua telah mandeg dalam keterpukauan peristiwa. Terbelenggu oleh peristiwa, terperangkap rasa benci dan hasrat balas dendam. “Tentu tidak bisa demikian. Selama kita semua tak keluar dari kubangan ini, kita takkan bisa menyelesaikan persoalan. Karena, yang ada bukan perspektif sejarah, tetapi perspektif masa lalu. Dan perspektif masa lalu ini ternyata telah menjadi lebih dominan daripada perspektif sejarah yang kita perlukan.” Di sini, kaum cendekiawan, khususnya cendekiawan sejarah belum berperan sebagaimana yang diharapkan untuk bisa memberi suasana pemikiran publik yang lebih sehat dan lebih objektif.
Selama tidak ada perspektif sejarah yang menghubungkan 30 tahun masa Orde Baru dengan peristiwa tersebut, semua akan terpaku pada perspektif peristiwa masa lalu yang terbelenggu pada peristiwa. Ini yang terus menerus dicerna selama ini, sehingga tidak bisa diperoleh kebenaran di situ. Semua pihak hanya mencari kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah. Mereka yang terkait dengan PKI tak henti-hentinya menampilkan diri dan partai mereka sebagai korban kekerasan dan untuk itu negara perlu meminta maaf. Sementara pada pihak lain, timbul pertanyaan, lalu siapa yang harus minta maaf mengenai pembunuhan para jenderal dalam peristiwa tanggal 30 September menuju 1 Oktober 1965?
Bila yang dilakukan adalah terus mencari kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah, persoalannya hanya menjadi siapa mengampuni siapa dan siapa memaafkan siapa. Padahal kita harus berbuat melampaui itu. Mengambil perbandingan dengan beberapa negara lain yang juga mengalami hal yang sama, jalan keluar yang ditempuh adalah kembali ke tema mencari dan mendekati kebenaran sedekat-dekatnya untuk sedapat-dapatnya mencapai keadilan sebanyak-banyaknya. Tidak bisa dibalik.
Narasi Kebenaran. Sekarang memang mulai disadari bahwa kebenaran pun mempunyai keterbatasan untuk penyelesaian peristiwa sejarah yang lalu. Dalam konteks penyelesaian, yang lebih diutamakan sekarang adalah akibat dari peristiwa itu. Apa akibat peristiwa itu terhadap kehidupan bangsa ini. Dari analisa mengenai akibat, selalu keluar kesimpulan bahwa yang perlu diselesaikan adalah masalah kekerasan. Dan kalau kita sepakat dengan itu, maka kita harus mengakui kekerasan itu ada di kedua belah pihak, pada semua pihak yang melakukan.
Di sini, ada fenomena mengenai kekerasan yang tak terkendali di semua pihak. Itu masalahnya. Untuk itu, diperkirakan bahwa yang bisa menjadi jalan keluar adalah suatu narasi yang menyeluruh. Dan temanya tak lain adalah menggeluti atau menanggapi apa yang menjadi konsekuensi-konsekuensi dari kekerasan-kekerasan balas berbalas di masa lalu tersebut. Selama itu tidak bisa diselesaikan maka kekerasan akan terpendam terus menerus dan selalu muncul dari waktu ke waktu, dan dengan sendirinya mempengaruhi naluri serta tingkat kekerasan dalam masyarakat. Tercipta potensi pengulangan. Jadi, itu dulu yang perlu kita sepakati (socio-politica.com).