Tag Archives: Kejaksaan Agung

Fenomena Gunung Es ‘Wealth Driven Law’

SEBUAH pertanyaan, apakah peristiwa ‘tangkap tangan’ Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara oleh KPK Kamis 6 Oktober 2017 merupakan bagian dari fenomena gunung es suap dan korupsi di lembaga peradilan Indonesia? Persoalannya, dalam dua tahun terakhir ini ada belasan –dan sedikit lagi memasuki nominal puluhan– praktek suap dan korupsi terungkap secara nyata di berbagai tingkat lembaga peradilan kita. Dan di bawah permukaan, melalui berbagai keluhan para pencari keadilan, atau percakapan di kalangan pengacara maupun di tengah masyarakat sehari-hari, praktek suap dan korupsi di lingkungan peradilan, menjadi rahasia umum keberadaannya. Maka, terkait suap dan korupsi, seakan-akan memang ada fenomena gunung es pengendalian uang terhadap proses hukum.

          Tentu perlu penelusuran lanjut semua pihak untuk memastikan apakah fenomena gunung es wealth driven law itu nyata ada atau sekedar prasangka atau asumsi akibat kekecewaan pihak-pihak yang kalah berperkara. Tapi terlepas dari itu, dalam asumsi fenomena gunung es –bahwa gunung es itu hanya tampak 10 persen di atas permukaan– praktek suap dan korupsi di dunia peradilan yang belum terungkap sebenarnya jauh lebih besar.

WAJAH KETUA PENGADILAN TINGGI SULAWESI UTARA DALAM KARIKATUR INILAH.COM. “Independensi hakim rupanya telah dimanfaatkan banyak kalangan hakim sebagai komoditi bernilai komersial tinggi.”

          Pengacara yang kini non aktif karena menjadi anggota DPR-RI, Henry Yosodiningrat dalam salah satu acara ‘Mata Najwa’ –kini sudah berakhir di Metro TV– Agustus dua tahun lalu, menyebut separuh hakim di Indonesia tidak bersih. “Suap menyuap di peradilan dimainkan hakim dan pengacara.” Henry mengaku pernah ditawari memenangkan perkara dengan menyogok hakim. Seorang pengacara lain, Elza Sjarief juga mengaku pernah ditawari Panitera membayar 30 juta rupiah jika ingin memenangkan sebuah kasus warisan. Namun, berdasarkan pengamatan Imam Anshori Saleh –selaku Komisioner Komisi Yudisial kala itu– yang disampaikannya juga dalam ‘Mata Najwa’, sejak gaji hakim naik tahun 2003 angka suap juga naik, mencapai skala miliaran rupiah (Baca: https://socio-politica.com/2015/08/12/hakim-dan-fenomena-wealth-driven-law/).

SEORANG pengacara muda menceritakan pengalamannya ketika beberapa waktu lalu mendampingi seorang klien –pengurus suatu yayasan sosial– di sebuah instansi penyidik terkait ‘sengketa’ tanah berharga sekitar 800 milyar rupiah. Mestinya, lebih tepat bila kasus itu ditangani di pengadilan perdata saja. Seraya menganjurkan agar sertifikat hak milik tanah yang dipersoalkan itu –dalam kaitan hibah yang tak sah dan dibatalkan– diserahkan saja kepada pihak pelapor pidana, salah seorang penyidik kurang lebih mengatakan, “pelapor adalah orang terkaya Indonesia ke(sekian) lho….” Tentu timbul pertanyaan, memangnya kenapa? Apakah seorang yang tergolong terkaya dengan sendirinya adalah pemegang kebenaran? (Baca: https://socio-politica.com/2015/10/06/keunggulan-korporasi-dan-kaum-kaya-dalam-kendali-hukum/)

Apa yang selanjutnya terjadi? Setelah dari Polri, kasus berpindah ke Kejaksaan Agung dan proses berlangsung dengan begitu cepat. Terjadi penetapan tersangka disertai penahanan di Kejaksaan Negeri dan pelimpahan ke Pengadilan Negeri. Sejak itu tercatat bahwa baik pidana maupun perdata terus menerus dimenangkan oleh orang terkaya kesekian itu, sampai tingkat Mahkamah Agung. Kecuali di tingkat banding Pengadilan Tinggi.

          Sebenarnya, dalam persepsi publik bukan suatu keanehan kalau yang tak punya atau hanya sedikit uangnya hampir bisa dipastikan kalah dalam berperkara. Lebih aneh dan langka adalah bila terjadi sebaliknya. Seorang praktisi hukum pernah menyampaikan, bahwa menurut pengamatannya rakyat kecil selalu kalah dalam berperkara bila menghadapi mereka yang banyak uang.

          Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan para penegak hukum mengalami kendala luar biasa, dari arah internal berupa kelemahan teknis dan ketidak-kebalan iman terhadap aneka godaan, maupun dari arah eksternal dari sesama kalangan pemerintahan dan kalangan politik. Ini pasti berlaku untuk semua kalangan penegak hukum. Sementara itu mantan Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo Sutjipto menyebut ruang pengadilan kini lebih megah namun kehilangan ‘aura’, menandakan wibawa yang lenyap. Tak lain karena perilaku para hakim sendiri: Ada hakim yang memutus perkara berbau kontroversial, ada pula yang menafsirkan hukum tanpa mengindahkan rambu-rambu sehingga putusannya membingungkan dan terkesan tak adil. Dan tentu perlu ditambahkan, melakukan penyimpangan karena uang.

Independensi hakim rupanya telah dimanfaatkan banyak kalangan hakim sebagai komoditi bernilai komersial tinggi. Dengan independensi hakim, teoritis tak mudah seorang atasan mencampuri perkara. Akan menjadi lebih parah, bila memang benar fenomena gunung es itu merupakan fakta, sehingga seorang atasan pun belum tentu terjamin integritasnya. Pengawasan? Tanda tanya.

          SEBAGAI penutup, kita ulangi pertanyaan yang juga pernah disampaikan di sini. Bila semua jalan sudah terasa buntu, apakah berarti semua orang harus siap ditindas melalui hukum yang bisa dibeli? Jangan pernah melawan kaum (yang lebih) kaya melalui jalan hukum. Lalu jalan apa yang bisa dipilih? Jalan politik? Tapi, wealth driven politic sebagai turunan dari wealth driven economy dengan segala derivatenya –wealth driven government dan wealth driven law– sudah lebih dulu tertanam kuat sebagai realita sehari-hari.

Lalu ? Mari melawan secara benar, di jalan kebenaran. Kita cari jalannya. (socio-politica.com).

‘Retorika’ Jusuf Kalla, Persoalan Kekayaan dan Korupsi

DI TENGAH hiruk pikuk penuh sorotan tentang ‘rekening gendut’ yang dimiliki sejumlah gubernur dan bekas gubernur, serta beberapa kepala daerah, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla tampil dengan sebuah ‘retorika’ bernada pembelaan. Sejumlah media mengutip pernyataannya (19/12) bahwa “tak bisa menafsirkan semua yang punya uang banyak itu koruptor.” Dan ia memerlukan memberi saran kepada Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Kejaksaan Agung untuk tidak terlalu menanggapi laporan mengenai rekening gendut sejumlah pejabat dan mantan pejabat, yang disampaikan PPATK beberapa waktu sebelumnya. Dalam laporan itu tercantum 10 nama kepala daerah dan mantan kepala daerah.

            Dari Okezone, lebih jauh bisa dipinjam sejumlah kutipan ucapan Jusuf Kalla lainnya. Jika PPATK terus menerus menyisir satu per satu rekening kepala daerah, kata sang Wakil Presiden, sama saja PPATK menuduh seorang melakukan korupsi. Menurut JK tidak semua kepala daerah melakukan tindakan korupsi, karena bisa saja kepala daerah tersebut memang keturunan ningrat atau pun berlatar belakang sebagai seorang pengusaha.

            Nasehat dan adagium. Terbaik di sini adalah apabila pernyataan Jusuf Kalla tersebut dimaksudkan sekedar sebagai sebuah nasehat yang bermakna jangan gampang berprasangka buruk kepada seseorang semata-mata karena memiliki sejumlah kekayaan. Nasehat seperti itu, bila ditujukan kepada publik, tentu tidak salah dalam konteks mengajarkan cara beropini yang sehat. Ketika nasehat itu ditujukan kepada KPK dan Kejaksaan Agung, terbaca semacam tanda kekuatiran Jusuf Kalla jangan-jangan penegakan hukum berubah menjadi penghancuran kehormatan seseorang.  

JUSUF KALLA DAN JOKOWI DALAM SALAH SATU COVER TEMPO. "Namun ketika nasehat itu disertai anjuran untuk tidak terlalu menanggapi laporan PPATK, terasa adanya sedikit keganjilan yang menimbulkan tanda tanya. Apakah tokoh nomor dua dalam kekuasaan negara tersebut sedang menyatakan ketidaksetujuan terhadap penggunaan indikator kekayaan seseorang –melalui penelusuran oleh PPATK– sebagai salah satu pintu masuk ke dalam penyelidikan tindak pidana korupsi?"
JUSUF KALLA DAN JOKOWI DALAM SALAH SATU COVER TEMPO. “Namun ketika nasehat itu disertai anjuran untuk tidak terlalu menanggapi laporan PPATK, terasa adanya sedikit keganjilan yang menimbulkan tanda tanya. Apakah tokoh nomor dua dalam kekuasaan negara tersebut sedang menyatakan ketidaksetujuan terhadap penggunaan indikator kekayaan seseorang –melalui penelusuran oleh PPATK– sebagai salah satu pintu masuk ke dalam penyelidikan tindak pidana korupsi?”

Namun ketika nasehat itu disertai anjuran untuk tidak terlalu menanggapi laporan PPATK, terasa adanya sedikit keganjilan yang menimbulkan tanda tanya. Apakah tokoh nomor dua dalam kekuasaan negara tersebut sedang menyatakan ketidaksetujuan terhadap penggunaan indikator kekayaan seseorang –melalui penelusuran oleh PPATK– sebagai salah satu pintu masuk ke dalam penyelidikan tindak pidana korupsi?

            UNGKAPAN menarik lainnya yang dilontarkan Jusuf Kalla adalah “Bahaya itu, kalau punya duit masa’ dibilang penjahat? Bahaya benar itu.” Memiliki kekayaan tentu saja bukanlah suatu kejahatan. Makanya, tak ada undang-undang yang melarang orang menjadi kaya, kecuali di beberapa negara sosialis di masa lampau. Namun, menjadi kaya melalui kejahatan merupakan satu permasalahan hukum yang serius. Memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu pun tapi tidak memenuhi kewajiban sosial melalui pajak negara, juga ada sanksinya. Pun tak ada agama yang melarang manusia menjadi kaya, tetapi agama-agama mengajarkan, bahkan mengatur, sejumlah cara untuk berbagi kepada sesama. Kekayaan juga tak terlepas dari nilai kepantasan sosial yang sendi utamanya adalah aspek keadilan dalam idealisme kebersamaan mencapai kemakmuran.

            Dalam paham keadilan dan fakta kemiskinan yang meluas di berbagai penjuru dunia, sikap kritis dan penuh gugatan selalu terarah kepada kepemilikan kekayaan. Apalagi merupakan fakta kehidupan dari masa ke masa, banyak kekayaan sekelompok kecil manusia tercipta melalui tindakan-tindakan memiskinkan kelompok besar manusia lainnya –khususnya terhadap kelompok akar rumput di masyarakat. Meminjam tulisan Honoré de Balzac dalam Revue de Paris tahun 1834, Mario Puzo –penulis novel termasyhur The Godfather– 1969 menyampaikan semacam adagium “Behind every great fortune there is a crime.

Untuk konteks pengalaman Amerika, Frank P. Walsh, chairman dari komisi federal untuk hubungan industri, kemudian mempertajam formulasi adagium tersebut. “Every great fortune is a fundamental wrong” –Setiap keberuntungan yang luar biasa, fundamental salah. Dan, “every man with a fortune must at some time have crossed the line of ethics and of criminal law” –setiap orang dengan ‘keberuntungan’ suatu waktu pasti melanggar garis batas etik dan hukum kriminal. Tapi, adalah menurut Honoré de Balzac juga, “Le secret des grandes fortunes sans cause apparente est un crime oublié, parce qu’il a été proprement fait.” Dalam versi terjemahan Inggeris, di tahun 1900, “The secret of a great fortune made without apparent cause is soon forgotten, if the crime is committed in a respectable way.” Bermakna kurang lebih bahwa rahasia busuk pencapaian keberuntungan luar biasa akan segera terlupakan bila aspek kejahatan di baliknya mampu disamarkan dengan cara dan citra yang tampak terhormat.

            Konglomerasi Amerika tumbuh dalam gelimang kejahatan terselubung. Korbannya bukan hanya rakyat di negara itu, melainkan juga rakyat di negara lain. Skandal subprime mortgage Amerika Serikat 2007-2009 terkait kredit perumahan, menyebabkan krisis finansial yang luas di dunia. Semua jenis setan terlibat di sini, tulis Bethany McLean dan Joe Nocera dalam buku “All the Devils Are Here”. Mereka mengungkapkan sejumlah nama yang disebutnya sebagai the men who bankrupted the world. Dalam kejahatan keuangan itu terlibat sejumlah besar nama terhormat kaum kaya, dari bankir dan lembaga keuangan ternama hingga konsultan keuangan, birokrat pemerintahan, para lawyer, kalangan penegak hukum maupun politisi terhormat.

            Rusia pasca Uni Soviet, ditandai oleh munculnya konglomerat-konglomerat yang sebagian besar di antaranya berhasil menghimpun akumulasi kekayaan yang fantastis dengan cara-cara kotor. Jalan menuju akumulasi kekayaan itu dipenuhi kejahatan seperti perebutan properti melalui taktik gangster lengkap dengan pembunuhan-pembunuhan, pencurian massive, penjarahan sumber-sumber kekayaan negara, maupun perdagangan ilegal. Menurut Professor James Petras, dengan cara-cara tersebut puluhan orang kaya Rusia ini berhasil menguasai aset dalam skala triliunan dollar.

            Secara keseluruhan, dari sekitar 1000 orang terkaya dunia pada satu dekade terakhir, separuh lebih di antaranya berasal dari hanya tiga negara, yakni Amerika Serikat (400-500 orang), Jerman (50-60) dan Rusia (50-60 orang). Seribu orang ini, secara global menguasai bagian terbesar kekayaan dunia, sementara bagian terbesar manusia penghuni bumi lainnya, khususnya kalangan akar rumput, berjejal ‘menikmati’ bagian terkecil yang tersisa. Tapi sayangnya, kata Petras, 35 persen dari super minoritas itu tumbuh menjadi orang terkaya melalui spekulasi dan manipulasi terhadap pasar, real estate dan komoditas perdagangan daripada berkiprah dalam inovasi teknologi atau setidaknya investasi pada industri yang menciptakan pekerjaan atau hal-hal lain yang menguntungkan masyarakat. Kenyataannya, dunia memang belum pernah berhasil memiliki model keadilan sosial dan pemerataan kekayaan yang cukup ideal untuk mengatasi persoalan jurang sosial ekonomi yang dalam.

Sementara itu, dua negara yang dalam dekade terakhir ini bertumbuh ekonominya secara menakjubkan, yaitu China dan India, pun tak luput dari fenomena kekayaan yang bertumpu pada pola dengan adagium “behind every great fortune there is a crime”. Sejak tahun 2006, India dan China menjadi dua negara yang ‘melahirkan’ puluhan orang-orang terkaya di Asia dan sebentar lagi akan terbilang di pentas global. Bagaimana dengan Indonesia? Negara ini bukan suatu pengecualian, melainkan ada dalam lingkup berlakunya adagium yang sama.

Indonesia. DALAM kultur Jawa maupun dalam kultur Nusantara secara keseluruhan, kekayaan mencipta citra kemuliaan. Dalam kekuasaan negara melekat aspek penting kekayaan dalam berbagai wujud. Dalam tatanan yang secara umum sangat patriarkis, seorang tokoh penguasa maupun para tokoh ikutan dalam kekuasaan, memiliki kekayaan yang lengkap, yakni tahta –dan jabatan sekitar tahta untuk para tokoh ikutan– beserta harta dan wanita. Selain itu ada pelengkap berupa curiga (keris sebagai simbol alat kekuasaan), kukila (burung untuk tambahan kesenangan) dan sekali lagi wanita (tambahan selain perempuan utama yang sudah dimiliki). Perubahan bentuk negara, saat Nusantara menjadi Negara Republik, tidak serta merta merubah kultur itu, tetapi hanya merubah bungkus luar dan cara mempraktekkannya.

SELAMA 69 tahun menuju 70 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini telah melalui pengalaman jatuh bangun antara kemuliaan dan keburukan sistem nilai terkait kekuasaan dan kekayaan. Dan pada akhirnya tiba pada suatu situasi menguatnya aspek kepemilikan kekayaan sebagai faktor pembentukan prestise dan hegemoni baru. Posisi kaum feodal lama dan kelompok bumper vreemde osterlingen sebagai para pemilik akumulasi kekayaan zaman kolonial tergusur. Posisinya berangsur-angsur diganti oleh kaum kaya baru yang terdiri dari para birokrat dan keluarganya serta kelompok pengusaha dalam Indonesia merdeka yang berhasil mengelola hubungan menguntungkan dengan kalangan penguasa.

Perlahan namun pasti, populasi kalangan penguasa (birokrat) jujur dan berdedikasi, maupun kalangan usahawan sejati yang berdagang dengan cara (relatif) bersih, semakin langka. Pola hubungan antara kalangan pemerintahan dan kekuasaan dengan dunia usaha menjadi tidak sehat, makin bercorak koruptif, kolutif dan nepotis. Dunia usaha makin politis, dalam pengertian khusus, makin mengandalkan kekuatan politik. Sebaliknya dunia politik dan kenegaraan makin beraroma bisnis, dalam pengertian menjadi alat dan sarana mengakumulasi dana dengan ‘bantuan bersyarat’ dunia usaha. Dalam bahasa tahun 1950-an disebut TST –tahu sama tahu– dan di masa berikutnya bernama KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Lalu, dalam kurun waktu terbaru tampil sebagai permainan ‘politik uang’.

Batas antara politik dan bisnis semakin hari semakin samar. Politik kini adalah bisnis, dan bisnis juga adalah politik. Pola rekrutmennya juga vice-versa atau bahkan rangkap. Tak jarang, suatu penempatan diperebutkan, seperti misalnya posisi-posisi di Komisi-komisi DPR karena bisa dimanfaatkan. Jabatan di Komisi III misalnya bisa digunakan untuk ‘mempengaruhi’ kalangan penegak hukum dalam penanganan kasus. Begitu pula posisi-posisi di Komisi-komisi DPR yang membidangi ekonomi, keuangan, industri, energi, migas dan sebagainya.

Setiap rezim pemerintahan, telah dan akan memperlihatkan model permainannya sendiri. Dalam hal pengadaan BBM misalnya, setiap rezim pemerintahan memiliki dan memilih pemasoknya sendiri. Penentuannya tidak dengan sendirinya berdasarkan kriteria paling murah atau paling menguntungkan negara, atau berbagai kriteria objektif lainnya. Begitu pula untuk berbagai bidang pengadaan yang lain, dan pola itu melajur di setiap kementerian.

Maka mata KPK harus lebih awas untuk mengawasi penciptaan baru “behind every great fortune there is a crime” karena harus diakui adagium tersebut ternyata berlaku juga di Indonesia. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) mendapat beberapa amanat dalam UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. PPATK diberi fungsi analisis/pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana lain, terutama korupsi tentunya. Maka PPATK selalu perlu menelusuri berbagai rekening yang mencurigakan entah karena angka-angkanya yang melonjak atau tak biasanya, termasuk rekening milik para pejabat. Dan dalam UU yang sama, PPATK berkewajiban menyampaikannya ke berbagai institusi yang terkait dengan penegakan hukum. Maka, mengapa KPK dan Kejaksaan Agung misalnya diminta tak perlu terlalu menanggapi laporan PPATK? (socio-politica.com)        

Lakon Partai Demokrat: Ada Sengkuni, Tak Ada Pandawa (3)

MEMANG tak mungkin Anas Urbaningrum menerima “serupiah saja” atau “hanya serupiah”. Dalam medan rumor saat ini, terutama di media sosial, Anas tergambarkan telah memperoleh uang dalam skala belasan dan bahkan mungkin puluhan milyar dari kasus Hambalang. Apa benar atau tidak, tentu masih harus menunggu pemeriksaan KPK.

Tanpa menunggu pengungkapan KPK lebih jauh lagi, sejumlah media sosial dan media online lainnya sudah melaju ‘menguliti’ Anas. Beberapa media tersebut mengungkap, setelah meninggalkan KPU 2005 dan terjun menjadi politisi, kekayaan Anas yang semula menurut data KPK hanya 2,2 milyar rupiah, berkembang menjadi 4-5 trilyun rupiah. Terakhir, bahkan mencapai 8 trilyun rupiah. Angka ini mungkin terlalu fantastis sebagai satu kebenaran, tetapi menurut pengetahuan umum, Anas kini memang kaya raya. Tetapi jangankan Anas, beberapa orang yang sehari-hari memiliki kedekatan dengan mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut, terlihat bisa hidup mewah. Tetangga-tetangga orang seperti ini saja bisa bercerita tentang kehidupan wah kelompok periphery Anas ini, semisal saat menyelenggarakan acara kawinan. Uang yang banyak kadangkala tak pandai bersembunyi di tangan kaum dadakan.

ANAS DAN IBAS. "Apakah nanti, di akhir lakon Partai Demokrat ini, Anas Urbaningrum akan meniru Abimanyu, yang mampu mengerahkan tenaga terakhirnya, menusuk jantung Lesmono Mandrakumara sang putera raja?" (download antaranews)
ANAS DAN IBAS. “Apakah nanti, di akhir lakon Partai Demokrat ini, Anas Urbaningrum akan meniru Abimanyu, yang mampu mengerahkan tenaga terakhirnya, menusuk jantung Lesmono Mandrakumara sang putera raja?” (download antaranews/tempo)

Citizen reporter Iwan Piliang, meminjam Said Didu –mantan Sekjen Kementerian BUMN– menyebut proyek Hambalang sebagai “rekayasa maha sempurna”. Proyek itu digambarkan lahir dari niat sejumlah pihak tertentu untuk menyamun dana APBN, dengan tujuan menyunat sebanyak-banyaknya uang negara. Mereka merancang menang-tenderkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan perusahaan terbuka. Tapi sub kontraktor sudah ditentukan, untuk menangguk keuntungan lebih.

Mengapa para pimpinan BUMN itu mau? Selain kepentingan memperoleh komisi hasil kolusi, menurut Iwan, juga ada urusan ego libido perorangan untuk naik posisi dari level menejer ke direksi, bahkan hingga Dirut. “Semuanya butuh koneksi dan uang. Khususnya koneksi di DPR.”

Dalam proses pemenangan tender proyek Hambalang, 4 BUMN –Nindya Karya, Hutama Karya, Waskita Karya– dipimpin PT Adi Karya mengatur harga, bersama konsultan perencana, yang juga BUMN yakni PT Yodia Karya. “Di belakang itu semua, ada oknum terindikasi memainkan peran, bernama Mahfud Suroso. Ia berada di PT Dutasari Citra Laras (DCL), sebagai sub kontraktor. Apa kesaktian Mahfud? Ia dibayar oleh PT Adhi Karya paling awal di nilai kontrak Rp 295 milyar, untuk pekerjaan Mechanical Electrical (ME).” Padahal, di mana-mana pekerjaan ME lazimnya selalu dibayarkan paling akhir. Di PT Dutasari Citra Laras, duduk Attiya Laila isteri Anas Urbaningrum. Benang merah ini selalu dibantah Anas.

Iwan Piliang mengungkap, unsur mark-up dalam proyek Hambalang, sangat tajam. Mengutip data audit BPK, Iwan memberi beberapa contoh. “Dalam pengadaan ME transformator Oil 1600 kva negara membayar ke PT Adhi Karya dan Dutasari Citra Laras Rp 358 juta, padahal harga satuan di subkontraktor hanya Rp 148 juta, mark-up 140 persen. Diesel genset 2000 kva harga beli negara Rp 5 miliar, dari subkontraktor hanya Rp 2 miliar, mark-up 150 persen. Panel 3 masjid, harga yang dibayar negara Rp 55 juta, padahal dari subkontraktor hanya Rp 1,4 juta, mark-up 3.600 persen. Untuk back-up battery negara membayar Rp 17 juta, sedang dari subkontraktor Rp 372 ribu, mark-up 4.700 persen. Itu sekadar sedikit cuplikan angka.”

Menusuk jantung putera sang raja. PADA arah sebaliknya, dalam ‘serangan balik’ kubu Anas, muncul pula ungkapan-ungkapan yang untuk sementara sudah cukup mengungkapkan betapa luasnya keterlibatan sejumlah orang termasuk dari kalangan kekuasaan dalam kasus Hambalang. Dengan penyebutan nama Ibas Yudhoyono, seakan nama Susilo Bambang Yudhoyono pun terserempet. Nama Ibas menurut Anas, pertama kali disebut dalam kaitan kasus Hambalang oleh Muhammad Nazaruddin. Sebelum ‘lari’ ke Singapura sekitar setahun lebih yang lalu, Anas membawa bekas Bendahara Partai Demokrat itu menghadap SBY di Cikeas. Dalam pertemuan yang ikut dihadiri Amir Syamsuddin tersebut, saat Nazaruddin menyebut Ibas ikut menerima dana, diceritakan bahwa SBY sampai menggebrak meja.

Luasnya pendistribusian dana dalam kasus Hambalang ini tidak berbeda dengan kasus korupsi simulator SIM Ditlantas Polri dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo. Dalam kasus yang disebut terakhir ini, sepanjang pengungkapan KPK, dana hasil korupsi tersebut sudah mengalir ke mana-mana. Ke para jenderal maupun sejumlah anggota DPR. Sang jenderal sendiri, memiliki kekayaan dengan jumlah menakjubkan. Duapuluh rumah mewah dan harta lain sang jenderal telah disita KPK.

Bahwa sang jenderal juga memiliki lebih dari satu isteri, itu sebenarnya merupakan hal yang terlalu pribadi untuk diceritakan. Namun, ke depan KPK barangkali perlu membaca indikasi bahwa bila seorang pejabat pemerintah maupun tokoh penguasa politik memiliki 2-3 isteri atau lebih, ada kemungkinan ia juga adalah pelaku korupsi. Kini, memiliki banyak isteri, menjadi simbol atau pertanda kemewahan. Dan kemewahan yang tak wajar, adalah saudara kembar perilaku korupsi. Data empiris sejauh ini menunjukkan, sejumlah pelaku korupsi yang sudah diringkus KPK atau Kejaksaan Agung memiliki 2-3 isteri, atau paling tidak memiliki affair dengan lebih dari satu perempuan lain. Tapi, Anas sejauh ini diketahui hanya memiliki satu isteri, yakni Attiyah Laila.

Kenapa Anas belum segera menyebut berapa, kapan dan di mana Ibas menerima dana eks Hambalang? Ia menganggap Amir Syamsuddin lah yang tepat untuk menceritakannya. Kecuali Amir Syamsuddin tidak mau menjelaskan, “ya nanti pemain penggantinya ya saya lah,” ujar Anas kepada RCTI (27/2). Perlu untuk menunggu janji Anas yang satu ini. Kalau ternyata ia tidak berani, terpaksa menunggu KPK menyelesaikan kasus ini.

Seraya menunggu, mari membaca lakon pewayangan berikut ini. Tentang kematian Raden Abimanyu putera Raden Arjuna dan Raden Lesmono Putera Mahkota Raja Astina Suyudono (Duryadana) di medan Tegal Kurusetra dalam Perang Baratayudha. Pada lakon ini tampil peran Bengawan Durna dan Aria Sengkuni.

Pada hari Raden Abimanyu putera Pandawa turun ke medan perang, balatentara Kurawa Kerajaan Astina dari pagi sampai siang terdesak. Banyak Kurawa yang tewas di tangan Abimanyu. Bengawan Durna yang berpihak kepada Kurawa memanggil Aria Sengkuni dan berkata, “Balatentara kita terdesak, bila dibiarkan kita akan kalah. Kita harus menggunakan akal muslihat. Bagaimana menurutmu ?” ucapnya. Ia lalu membisikkan rencananya kepada Sengkuni. “Sebenarnya, apapun muslihatmu, tak usah tanyakan lagi padaku, pasti aku setuju,” jawab Sengkuni.

Lalu mereka berdua memanggil Adipati Karna. Durna bertanya kepada Karna, “Maukah engkau berjanji menolong negaramu ini?” Adipati Karna yang enggan menolak, menyanggupi. Kepada Karna, Bengawan Durna memaparkan rencananya, bahwa Sengkuni akan mengibarkan bendera putih sehingga pertempuran dengan sendirinya terhenti. “Saat itu, aku meminta engkau maju mendekat dan merangkul Abimanyu. Sampaikan kekagumanmu akan keperkasaannya.” Kala Karna merangkul Abimanyu, demikian rencana Durna dan Sengkuni, Jayadrata yang mahir memanah selain bermain gada, akan memanah Abimanyu.

Demikianlah, Sengkuni maju mengibarkan bendera putih. Meskipun terheran-heran, semua pihak yang sedang berlaga menghentikan pertempuran. Adipati Karna lalu maju mendekati Abimanyu seraya berkata, “Sudahlah anakku… Engkau sudah membuktikan keperkasaanmu, menghancurleburkan bala Astina.” Ia merangkul Abimanyu yang tak punya syak wasangka apapun terhadap Adipati Karna, sang paman yang dikenalnya sebagai seorang yang berjiwa ksatria. Namun, di saat itu pulalah Jayadrata melesatkan anak panahnya tepat ke punggung Abimanyu. Satria muda itu segera tersungkur dalam pelukan Karna. Sang paman yang tak tega melihat keadaan Abimanyu, lalu meninggalkan tempat itu. Kepada Durna dan Sengkuni, ia berkata, aku tak ingin turut campur lagi lebih lanjut. Saat itulah terdengar aba-aba pengeroyokan dari Sengkuni.

Abimanyu dihujani anak panah, lalu diterjang para Kurawa dengan tebasan dan tusukan pedang di sekujur tubuhnya. Namun ia tetap melawan, dan masih sempat menjatuhkan korban di kalangan Korawa. Akhirnya ia tersungkur ke bumi.

Tatkala melihat Abimanyu sudah tersungkur, Raden Lesmono Mandrakumara, putera Prabu Suyudono maju ke medan perang, setelah berhasil membujuk ibundanya untuk memberi izin. Anak ini, seorang yang manja, dan sebenarnya penakut, tidak tangkas ilmu perang tapi berambisi. Ia ingin mengambil kesempatan mengakhiri Abimanyu di tangannya sendiri, sehingga dengan demikian ia akan mendapat pujian sebagai pahlawan dari ayahandanya. Diiringi dua pengawalnya, ia mendekati tempat Abimanyu tersungkur, seraya melontarkan berbagai ejekan dan cercaan. Ia menghunus kerisnya, dan berkata “Aku akan memotong lehermu dengan keris ini.” Ia yakin bisa mengakhiri Abimanyu yang sudah tak berdaya. Tapi di luar dugaannya, dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, Abimanyu malah mendahului menusuk dada Lesmono, tembus hingga jantung. Lesmono tewas seketika, disusul Abimanyu yang telah kehabisan darah.

Tak syak lagi, kematian Lesmono sungguh menghancurkan hati Prabu Suyudono.

Apakah nanti, di akhir lakon Partai Demokrat ini, Anas Urbaningrum akan meniru Abimanyu, yang mampu mengerahkan tenaga terakhirnya, menusuk jantung Lesmono Mandrakumara sang putera raja?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (3)

FENOMENA Jakarta tahun 1970-an seakan mengalami perulangan pada tahun 2000-an. Tampaknya, setiap kelahiran dan tumbuhnya rezim baru selalui ditandai pula oleh korupsi-korupsi baru. Adanya korupsi-korupsi baru itu tercermin dengan munculnya kelompok dan keluarga kaya baru dari waktu ke waktu dengan segala kelakuan eksesifnya. Kedatangan Dewi Fortuna membawakan kekayaan yang mendadak, cenderung mendorong meningkatnya hasrat konsumtif dan ketidaksabaran untuk bermewah-mewah. Anehnya, makin tidak halal sumber kekayaan itu, justru makin tinggi pula hasrat konsumtif dan sikap bermewah-mewah itu, sehingga pada gilirannya bisa menjadi indikator adanya perbuatan korupsi.

SBY, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. "Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi". (youtube)
SBY, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. “Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi”. (youtube)

Munculnya kelompok dan keluarga-keluarga kaya baru di Jakarta pada tahun 1970-an itu merupakan fenomena yang mengiringi kebangkitan ekonomi Indonesia melalui pembangunan fisik kala itu. Dan fenomena itu diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak, pasti terkait dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu bersamaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masa itu tidak terbantahkan, meskipun juga tidak kunjung terbuktikan secara nyata –karena memang tak ada effort yang cukup untuk itu. “Meski seperti angin yang dapat dirasakan, namun tak dapat dipegang, korupsi itu jelas ada. Menurut logika bagaimana mungkin seorang pejabat tingkat biasa saja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup dengan standar kelayakan normal, bisa memiliki rumah-rumah mewah beserta mobil-mobil mewah yang bila diperhitungkan takkan mungkin dibelinya dengan gaji yang diakumulasikan dalam lima puluh tahun sekalipun. Korupsi dan menjadi kaya karenanya, tidak perlu lagi membuat para pelakunya tampil malu-malu seperti di zaman Orde Lama Soekarno”, demikian dituliskan dalam buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Mari kita bandingkan dengan fenomena tahun 2000-an, khususnya di masa kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputeri dan kemudian di hampir dua periode kepresiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Bila di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid gerakan pemberantasan korupsi melalui Kejaksaan Agung masih gencar, maka di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri gerakan itu mendadak gembos. Sebaliknya, terasa bahwa tindakan korupsi baru pasca Soeharto justru lebih melaju. Menjadi benar peringatan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang menjabat di masa Abdurrahman Wahid, bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tak berakhir bersama berakhirnya kekuasaan Soeharto. Sementara kasus korupsi dan kejahatan keuangan lainnya dari masa lampau belum tuntas tertangani, ujarnya, korupsi-korupsi baru pun terjadi terus.

Dari masa Megawati, kita bisa mencatat adanya kasus-kasus penjualan beberapa BUMN strategis dan kasus penjualan ulang tanker raksasa Pertamina. Bersamaan dengan itu, bertiup sejumlah rumor yang mengaitkan suami sang Presiden dengan berbagai kasus. Diceritakan bahwa sewaktu masih menjadi Presiden, Abdurrahman Wahid secara khusus pernah meminta Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk menangkap Taufiq Kiemas –suami Wakil Presiden– dengan tuduhan korupsi. Marzuki tak segera memenuhi permintaan itu, dan mengatakan tak bisa melakukannya “sebelum kita memiliki bukti kuat”. Perintah penangkapan dengan tuduhan yang sama juga pernah disampaikan Presiden kepada Jaksa Agung, untuk beberapa nama lain seperti pengusaha Arifin Panigoro, mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier yang memberikan pembebasan pajak mobil Timor dan terhadap politisi Golkar Akbar Tandjung. Entah ada hubungannya atau tidak, selang beberapa waktu kemudian Marzuki Darusman dilepas dari jabatan Jaksa Agung. Menurut cerita di balik berita, saat mengangkat Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung, Presiden mensyaratkan penangkapan bagi 4 tokoh tersebut. Tetapi Baharuddin Lopa hanya sempat menduduki jabatan itu dalam hitungan minggu. Tak terjadi penindakan terhadap 4 tokoh. Hanya Akbar Tandjung yang kemudian pernah diajukan ke pengadilan dengan tuduhan korupsi dana Bulog pada masa kepresidenan berikutnya, namun bebas di tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang saat itu dipimpin Bagir Manan.

Para pelaku korupsi masih lebih unggul. Pada dua masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, kendati retorika pemberantasan korupsi terus menerus didengang-dengungkan, dalam kenyataan perbuatan korupsi tetap saja terus melaju. Komisi Pemberantasan Korupsi tunggang langgang dibuatnya. Sungguh ironis bahwa Partai Demokrat yang menjadi pilar utama kekuasaan Presiden SBY, justru termasuk di antara yang paling disorot karena perilaku korupsi sejumlah kadernya. Melalui iklan, terhadap korupsi, Partai Demokrat menganjurkan “Gelengkan Kepala dan Katakan Tidak”, “Abaikan Rayuannya dan Katakan Tidak”, “Tutup Telinga dan Katakan Tidak” ditutup dengan “Katakan Tidak Kepada Korupsi”. Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi. Kecuali bila dalam waktu ringkas yang tersisa dari masa kepresidenannya ini diisi dengan gebrakan kejutan. Tapi, sebagai harapan, it’s too good to be true. Namun, merupakan juga kenyataan bahwa bersama Partai Demokrat, nyaris tak satupun partai yang luput dari sorotan korupsi para kadernya. Sejumlah anggota DPR maupun menteri, gubernur dan bupati/walikota telah menjadi ujung tombak pemburu dana politik, sebagian (kecil) untuk partai masing-masing, sebagian (besar) untuk kepentingan sendiri. Korupsi pun bukan lagi mengintai di tikungan menunggu kesempatan, tetapi sudah dirancang, mulai dari menciptakan proyek sampai bagaimana teknik menggerogotinya.

Dan yang istimewa dalam masalah korupsi ini, Jakarta tak lagi satu-satunya locus delicti peristiwa korupsi besar-besaran. Hampir seluruh daerah telah mencatatkan nama dalam daftar korupsi nasional yang beberapa di antaranya berkategori spektakuler. Bagaimana dengan gerakan pemberantasan korupsi? Sejauh ini, tanpa mengecilkan prestasi KPK –khususnya pada periode terbaru di bawah lima sekawan Abraham-Bambang-Busyro-Adnan-Zulkarnaen– harus diakui bahwa kaum koruptor masih lebih unggul dalam mengorganisir pertahanan dan serangan balik. Keadaan ini mengindikasikan betapa kuatnya kaum korup dalam kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik.

Seberapa sulitkah memberantas korupsi? Marzuki Darusman menulis, “Tatkala menjadi Jaksa Agung dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, saya mengalami betapa sulitnya untuk menindaki kejahatan-kejahatan terhadap kekayaan negara itu”. “Selain kelemahan-kelemahan internal kalangan penegak hukum –yang harus saya akui memiliki kelemahan teknis dan ketidakkebalan terhadap aneka godaan– kendala-kendala luar biasa juga datang dari arah eksternal, termasuk dari sesama kalangan pemerintahan dan dari kalangan politik”. “Para pelaku kejahatan selalu mendalihkan penindakan atas dirinya bernuansa politis. Maka, tak jarang gerakan-gerakan politik dikerahkan melalui dan oleh pelbagai LSM sebagai alat pembelaan diri. Seringkali para pelaku kejahatan keuangan ini mendadak ditampilkan sebagai ‘pahlawan’ yang sedang ditindas, sedang teraniaya oleh balas dendam politik”.

Sepuluh tahun kemudian, giliran KPK yang menghadapi kesulitan dari kalangan politik. Terjadi upaya merevisi Undang-undang KPK melalui DPR, dengan penghilangan beberapa wewenang khusus lembaga tersebut, yang tidak bisa tidak harus ditafsirkan sebagai usaha pelemahan KPK. “Kalau KPK tak lagi superbody, saya berpikir-pikir untuk tidak melanjutkan tugas”, ujar Abraham Samad kala itu. Selain kesulitan dari kalangan politik, KPK juga mengalami benturan-benturan keras dari sesama kalangan penegak hukum, selain beraneka macam pengerahan massa yang diorganisir para tersangka korupsi.

Politik kotor dan korupsi, merupakan sumber bahaya kegagalan bahkan kehancuran Indonesia. Pada praktek politik yang kotor, korupsi menjadi cara menghimpun dana paling efektif. Sebaliknya, dengan perilaku korupsi, politik menjadi lebih kotor dan lebih busuk lagi. Tak ada kemenangan politik besar bisa terjadi per saat ini tanpa biaya dengan angka besar. Dalam keadaan Indonesia belum punya tradisi publik berkontribusi bersama membiayai tokoh atau kelompok yang didukungnya, tak bisa tidak, biaya politik dihimpun dengan menghisap uang negara melalui korupsi APBN. Di sini berlaku dalil bahwa di belakang angka-angka besar –baik angka biaya maupun angka kemenangan yang diperoleh– ada kejahatan.

“Dia yang kaya, kita yang mati”. Demikian pula dalam kehidupan ekonomi Indonesia saat ini, seluruh keberhasilan memperoleh dana dan keuntungan besar, juga lekat kepada kecurangan, ketidakadilan dan konspirasi, di atas penderitaan kalangan akar rumput. Sebuah ungkapan dalam kampanye anti rokok –yang ditujukan kepada industrialis rokok– mungkin bisa dipinjam, “dia yang kaya, kita yang mati”. Dalam penegakan dan pemerataan keadilan ekonomi, hingga sejauh ini, tak satu pun di antara para pemegang mandat rakyat, telah menunjukkan keberhasilan. Terbanyak malah menjadi perencana dan pelaku korupsi, menghasilkan situasi “mereka yang kaya, rakyat yang mati”.

Hanya satu bentuk pemerataan yang berhasil dilakukan secara nasional, dari Jakarta sampai seluruh pelosok tanah air, tak lain, pemerataan penderitaan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (2)

SELAIN Ali Sadikin, ada 12 orang lainnya plus Jokowi yang pernah memimpin Jakarta, sebagai gubernur atau sebagai walikota, sejak tahun 1947. Fauzi Bowo menjadi orang ke-13, sedang Jokowi menjadi yang ke-14. Sementara itu, antara 1916-1947, pemerintahan kolonial Belanda pernah menampatkan 5 orang walikota untuk memimpin Batavia. Dan tak satupun yang sejauh ini, dalam jangka waktu 97 tahun, berhasil menuntaskan masalah banjir. Entah mengapa, untuk banjir Jakarta, teknologi seakan tak mampu didayagunakan sebagai solusi, karena seakan memang tak ada political will untuk itu. Pemerintah pusat terkesan seperempat hati membantu, dan membiarkannya menjadi urusan Pemerintah DKI saja.

MOBIL MEWAH TERJEBAK BANJIR JAKARTA. "Kini, sejumlah kalangan pengacara kelas atas –yang sebagian pernah marah-marah oleh sentilan Wakil Menteri Kumham Denny Indrayana sebagai penikmat uang hasil korupsi– serta anggota DPR, kalangan pengusaha, maupun selebriti ‘pembobol’ bank, bebas berseliweran mengendarai mobil-mobil mewah semacam Bentley, Ferrari, atau Porsche di jalan-jalan Jakarta. Mereka betul-betul berhasil menikmati pertumbuhan ekonomi –yang dibarengi pertumbuhan segala macam. Hanya ‘polisi tidur’, dan tentu saja banjir, yang bisa menganggu kenyamanan mereka para pengendara mobil mewah". (foto download andalan.com)
MOBIL MEWAH TERJEBAK BANJIR JAKARTA. “Kini, sejumlah kalangan pengacara kelas atas –yang sebagian pernah marah-marah oleh sentilan Wakil Menteri Kumham Denny Indrayana sebagai penikmat uang hasil korupsi– serta anggota DPR, kalangan pengusaha, maupun selebriti ‘pembobol’ bank, bebas berseliweran mengendarai mobil-mobil mewah semacam Bentley, Ferrari, atau Porsche di jalan-jalan Jakarta. Mereka betul-betul berhasil menikmati pertumbuhan ekonomi –yang dibarengi pertumbuhan segala macam. Hanya ‘polisi tidur’, dan tentu saja banjir, yang bisa menganggu kenyamanan mereka para pengendara mobil mewah”. (foto-foto download andalan.com)

Bukan satu-satunya masalah. Proyek dan gedung-gedung tinggi yang megah berbiaya besar dibangun dan dirancang terus, termasuk hasrat menggebu membangun Pusat Pendidikan Olahraga Hambalang dan gedung baru DPR bernilai trilyunan rupiah yang semestinya tak berada di urutan atas skala prioritas berdasarkan urgensinya. Namun, bila itu menyangkut proyek penanggulangan banjir yang lebih tinggi tingkat emergencynya, penganggarannya mendadak tersendat seperti yang dialami dalam pembangunan banjir kanal timur. Jokowi yang bersemangat untuk membangun terowongan multiguna, untuk ikut menjadi solusi banjir dan mengurangi kemacetan lalu lintas, menjadi titik harapan terbaru.

Tetapi sebenarnya, banjir bukan satu-satunya masalah yang tak kunjung terselesaikan di Jakarta. Masih ada sejumlah persoalan laten lainnya yang mengharu-biru selama belasan bahkan puluhan tahun hingga kini, yang mungkin masih akan menjadi masalah 5 hingga 15 tahun ke depan. Dua di daftar teratas, di samping banjir, adalah kerumitan lalu lintas yang sedikit lagi macet total setiap hari, dan masalah kesenjangan sosial-ekonomi di antara masyarakat penduduk ibukota. Dua masalah ini tampaknya juga akan menjadi titik-titik krisis di berbagai kota besar lainnya. Masalah yang tak kalah genting lainnya adalah terciptanya lubang-lubang peluang korupsi di sela-sela cara pengelolaan pemerintahan sehari-hari, yang sekaligus merupakan fenomena nasional. Fenomena ini melajur sejak dari tingkat pemerintahan pusat sampai pada tingkat terbawah dalam pemerintahan yakni di tingkat kecamatan dan desa. Suatu fenomena yang terkait erat dengan kehidupan politik dan kepartaian yang korup, dengan gejala wealth driven economic yang menjalar menjadi gejala wealth driven politic.

Menyaingi masalah korupsi uang dan korupsi kekuasaan yang menjalar dari atas ke bawah, adalah sejumlah penyakit masyarakat yang menjalar dari bawah ‘membakar’ ke atas dan ke samping yang terpicu oleh suasana kemiskinan. Wujudnya berupa kejahatan jalanan, mengemis dengan paksaan, pencurian, pemerasan, kejahatan seksual, pelacuran dengan segala akibatnya, sampai kepada berbagai aksi kekerasan individual maupun massal yang kadangkala dipicu oleh masalah sepele saja. Bersamaan dengan itu, Jakarta menjadi medan perdagangan dan peredaran narkotika dan obat terlarang yang mungkin terbesar di Indonesia, dengan korban dari kalangan bawah sampai kalangan atas.

Bagaimana cara penguasa ibukota dan penguasa republik yang memerintah dari Jakarta menangani persoalan-persoalan yang nyata di depan mata selama bertahun-tahun itu? Tak berbeda dengan kegagalan menuntaskan soal banjir, penanganan berbagai masalah tersebut, lebih banyak gagalnya daripada keberhasilannya.

DALAM menghadapi soal kemacetan lalu lintas yang daya pelumpuhannya terhadap ekonomi dan kegiatan sosial warga kota, penguasa Jakarta sudah perlu dinyatakan sepenuhnya tak berdaya. Sementara penguasa pemerintahan pusat bersikap bagai burung onta. Begitu putus asanya para petugas, seringkali bila terjadi kemacetan lalu lintas total, para petugas memilih untuk setengah menonton setengah mengatur, bahkan menghilang. Para pengguna jalan pun terpaksa berjuang sendiri dengan segala cara meloloskan diri dari jebakan kemacetan selama berjam-jam dalam frustrasi. Pada saat dan situasi seperti itu terasa bahwa negara tak lagi punya pemerintah. Para demonstran yang lebih memilih secara permanen demokrasi jalanan, ikut berkontribusi memperparah kemacetan lalu lintas yang pada hari-hari biasa saja sudah luar biasa macetnya. Lebih ironis, sebagian besar aksi unjuk rasa yang tak henti-hentinya terjadi itu bukan lagi berdasarkan suatu idealisme yang pantas untuk diperjuangkan, melainkan lebih merupakan senjata politik bayaran untuk saling tekan. Rasanya, sudah lama masyarakat tak percaya dan tak menghargai aksi unjuk rasa sebagai alat perjuangan. Bagaimana tidak, kalau para koruptor saja bisa mengorganisir demonstrasi untuk menteror penegakan hukum? Fenomena ini telah menjadi pengalaman Kejaksaan Agung saat gencar menjalankan pemberantasan korupsi di masa-masa awal masa reformasi, dan juga menjadi pengalaman nyata KPK dalam beberapa tahun belakangan ini.

Kemacetan lalu lintas yang makin parah menuju kelumpuhan di Jakarta, dipacu oleh dua hal. Di satu pihak laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang luar biasa pesat, dan pada pihak lain nyaris tak adanya pertambahan jalan baru. Berbagai gagasan maupun kebijakan pernah dilontarkan pemerintah untuk mengatasi pertumbuhan populasi kendaraan bermotor. Untuk pengendalian pertambahan kendaraan bermotor roda empat, pernah ditetapkan pembatasan merek kendaraan bermotor. Disusul pelarangan impor mobil mewah. Tetapi ini menghilang dengan sendirinya karena kuatnya lobi pemodal dalam pemasaran dan industri otomotif ini, serta ampuhnya alasan anti monopoli.

Kebijakan penerapan penumpang kendaraan three in one di jalan protokol utama, lebih bersifat memindahkan kemacetan saja ke tempat lain. Introduksi tergesa-gesa penggunaan jalur busway lebih banyak menambah kemacetan di luar jalur khusus itu, karena pada waktu yang sama masih ada jalur bus umum lainnya di jalan yang sama. Lain soal mungkin, bila bus umum lainnya diintegrasikan pada jalur busway. Entah bagaimana nanti hasil kebijakan penggunaan bergilir jalanan antara mobil bernomor (polisi) ganjil dengan yang bernomor genap sebagaimana diwacanakan belakangan ini.

Pernah pula ada gagasan pengenaan pajak tinggi bagi kepemilikan mobil kedua dan seterusnya. Tapi bagaimana mungkin ini berjalan, karena justru orang-orang yang menjadi penentu dalam pemerintahan maupun kalangan berduit yang ikut mempengaruhi kebijakan, menjadi orang-orang pengikut mode sebagai ‘kolektor’ mobil. Sekali lagi, wealth driven economic dan wealth driven politic. Di Jakarta, hanya ada dua mobil di satu rumah adalah hal yang sangat lumrah, karena yang menjadi trend adalah memiliki 5 sampai 9 mobil mewah. Kadangkala, jumlah mobil lebih banyak dari jumlah penghuni yang ada di satu rumah.

Pertengahan tahun 1970-an, Direktur Utama Pertamina Dr Ibnu Sutowo, nekad memasukkan Rolls Royce ke Indonesia. Tapi mobil prestisius berwarna putih itu akhirnya hanya menjadi pajangan di rumahnya di Jalan Tandjung Menteng, karena adanya larangan penggunaan mobil mewah di jalan raya yang dikeluarkan atas perintah Presiden Soeharto. Saat itu sikap dan model hidup mewah menjadi sorotan publik, terutama oleh kalangan mahasiswa, yang kemudian melahirkan slogan hidup sederhana. Kini, sejumlah kalangan pengacara kelas atas –yang sebagian pernah marah-marah oleh sentilan Wakil Menteri Kumham Denny Indrayana, sebagai penikmat uang hasil korupsi– serta anggota DPR, kalangan pengusaha, maupun selebriti ‘pembobol’ bank, bebas berseliweran mengendarai mobil-mobil mewah semacam Bentley, Ferrari, atau Porsche di jalan-jalan Jakarta. Mereka betul-betul berhasil menikmati pertumbuhan ekonomi –yang dibarengi pertumbuhan segala macam. Hanya ‘polisi tidur’, dan tentu saja banjir, yang bisa menganggu kenyamanan mereka para pengendara mobil mewah. Dan satu lagi ‘pengganggu’ kenikmatan, yakni barisan pengendara sepeda motor yang bertemperasan bagaikan lipas memenuhi seluruh permukaan jalan. Para produsen dan penjual sepeda motor memang tak kalah galaknya memasarkan produk mereka dengan segala cara, mengisi ‘kekosongan’ kemampuan pelayanan memadai dari transportasi umum.

Para pengguna kendaraan bermotor roda dua ini, umumnya adalah kalangan menengah dan bawah yang memperoleh alat transportasinya melalui cara mencicil. Rata-rata mereka menggunakan 20-40 persen penghasilan perbulan untuk keperluan itu selama 2 sampai 5 tahun. Gagal sedikit dalam mencicil, motor disita. Di musim banjir seperti sekarang ini, mereka melengkapi ‘penderitaan’ hidupnya dengan banjir yang menenggelamkan pemukiman mereka. Tapi agak saru juga bila ada rumah mewah dengan deretan mobil mewah di garasi dan pekarangannya, terendam banjir, saat air bah tak mengenal batasan kaya-miskin.

Kesenjangan dari ketidakadilan sosial-ekonomi. Pembandingan antara mereka para pengguna mobil mewah dan mereka para pengguna sepeda motor cicilan, sekaligus merupakan pembandingan tingkat kehidupan antar lapisan masyarakat. Faktanya, di satu pihak ada segelintir kalangan ekonomi kuat dan pada pihak lain ada mayoritas miskin kalangan akar rumput ibukota dari suatu negara yang pada pembukaan konstitusinya mencantumkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Namun, selama 68 tahun Indonesia merdeka, cita-cita itu tak kunjung berhasil tercapai.

Kita ingin meminjam sebuah pertanyaan mengenai Indonesia di awal masuk ke dalam gerak pembangunan ekonomi akhir 1960-an dan awal 1970-an: “Bagaimana cara dan di mana bisa melihat tanda-tanda meningkatnya kemakmuran untuk sebagian kecil rakyat Indonesia?”. Jawabannya: “Etalase besarnya adalah Jakarta”. Pertanyaan lanjutnya: “Dan, bagaimana bila ingin melihat terciptanya jurang kesenjangan sosial yang makin melebar?”. Dan jawabannya adalah: “Ada di balik dinding etalase besar yang bernama Jakarta itu. Fenomena Jakarta tahun 1970-an sungguh memperlihatkan itu semua. Sebenarnya, fenomena serupa dalam bentuk lebih kecil, namun dalam esensi yang sama, juga bisa disaksikan di beberapa kota besar lainnya di Indonesia”.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)Berlanjut ke Bagian 3.

Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)

‘KEGIGIHAN’ Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengungkap berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia dari waktu ke waktu, dalam banyak hal sebenarnya layak diapresiasi. Namun, ketika lembaga itu menjadi tidak cermat dan tergelincir menjadi sangat subyektif dan terkesan melakukan perpihakan berkadar tinggi dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam kaitan Peristiwa 1965-1966, lembaga tersebut saatnya untuk dipertanyakan. Apakah lembaga tersebut, khususnya, pada periode yang baru lalu terdiri dari sekumpulan manusia jujur dan punya integritas serta kapabilitas untuk menangani persoalan HAM di Indonesia? Dan bagaimana pula di masa mendatang ini?

JENDERAL SOEHARTO DI LUBANG BUAYA 6 OKTOBER 1965. “Perwira-perwira penerangan Angkatan Darat di Mabes AD menjalankan peran untuk mempertajam kemarahan rakyat melalui dramatisasi artifisial kekejaman Gerakan 30 September 1965 dalam peristiwa penculikan dan pembantaian para jenderal di Lubang Buaya dinihari 1 Oktober 1965. Penggambaran berlebihan tentang kekejian anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lubang Buaya itu, di luar dugaan para perwira itu sendiri berhasil menyulut kemarahan masyarakat yang begitu dahsyat. Tetapi pada sisi lain, merupakan pula fakta bahwa kekerasan dan pembunuhan atas para perwira Angkatan Darat itu memang terjadi, di ibukota maupun di Yogyakarta”. Foto AP.

Beberapa hari yang lalu, rekomendasi dan laporan penyelidikan Komnas HAM periode 2007-2012 tentang kejahatan HAM dalam Peristiwa 1965-1966 dan Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Laporan mengenai Penembakan Misterius 1982-1985 dituangkan dalam sebuah ringkasan eksekutif 12 Juli 2012 yang ditandatangani oleh Ketua Tim Ad Hoc Josep Adi Prasetyo. Sementara laporan 23 Juli 2012 mengenai pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965-1966 ditandangani Ketua Tim Ad Hoc Nur Kholis SH, MH. Komisioner yang disebut terakhir ini, ikut terpilih kembali sebagai anggota Komnas HAM 2012-2017. Belum kita ketahui, apakah serta merta 13 komisioner baru periode 2012-2017 secara keseluruhan akan melanjutkan kesimpulan dan rekomendasi 23 Juli 2012 sebagai sikap yang Continue reading Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)

Kisah Korupsi Para Jenderal (5)

Korupsi di masa ‘supremasi sipil’. SETIDAKNYA pada dua masa kepresidenan terakhir, yakni pada pemerintahan Megawati Soekarnoputeri dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang adalah seorang jenderal purnawirawan– kasat mata titik berat korupsi beralih ke partai-partai politik. Meski, itu bukan berarti, kalangan tentara telah bersih dari perilaku korupsi. Sejalan dengan makin menyusutnya peranan tentara dalam kehidupan politik dan kekuasaan di masa pasca Soeharto, kesempatan korupsi juga sedikit menyusut. Tentara menjadi tidak menonjol lagi dalam urusan ini, karena tenggelam oleh hingar bingar korupsi yang dilakukan kaum sipil yang menjadi pelaku-pelaku baru dalam kekuasaan negara. Tetapi sebaliknya, berbeda dengan tentara, kepolisian justru makin masuk dalam sorotan, bersamaan dengan makin berperannya institusi tersebut dalam era supremasi sipil, seakan menggantikan peran dan posisi tentara di masa dwifungsi ABRI.

‘HUBUNGAN SIPIL-MILITER’. “Tepatnya, mereka terlepas keluar dari pusat hegemoni kekuasaan, sehingga mereka pun terlepas dari arus utama korupsi kekuasaan. Padahal dalam hegemoni masa dwifungsi, tentara seakan menjadi putera-putera terbaik yang selalu berada di urutan pertama berbagai kesempatan, sampai-sampai dalam kehidupan sosial menjadi idola, termasuk sebagai idaman kaum perempuan. Sebenarnya, bisa saja ini menjadi semacam blessing indisguise bagi militer generasi baru, untuk menempuh karir sebagai militer profesional, bukan militer politik”. Karikatur Harjadi S, 1967.

Wewenang ‘baru’ polisi untuk ikut menangani perkara korupsi –sebagai pidana khusus– yang tadinya dibatasi hanya menjadi wewenang Kejaksaan Agung, menimbulkan fenomena baru: korupsi dalam penanganan masalah korupsi. Di sini, korupsi oleh kaum sipil menjadi peluang para perwira dan penyidik kepolisian yang tak kuat iman untuk mengais rezeki di jalan yang tak halal. Sejumlah perwira kepolisian, dari perwira pertama, perwira menengah sampai perwira tinggi, telah tersandung dalam ekses yang satu ini. Salah satunya, sebagai contoh, adalah Kabareskrim, Komisaris Jenderal Suyitno Landung, yang tahun 2005 tersandung saat menangani kasus pembobolan 1,2 trilyun rupiah Bank BNI oleh pengusaha Adrian H. Waworuntu dan kawan-kawan. Bersama Suyitno Landung, terseret pula Brigjen Polisi Samuel Ismoko bersama sejumlah perwira bawahan. Kedua jenderal polisi ini diadili dan mendapat hukuman penjara di tahun 2006. Continue reading Kisah Korupsi Para Jenderal (5)

Anas Urbaningrum: Halusinasi dan Kreativitas Seorang Politisi

HAMPIR setahun lalu, melalui Blackberry Messenger dan media sosial lainnya di internet, beredar sebuah gambar adegan rekayasa, Anas Urbaningrum mencium tangan Nazaruddin seraya mohon maaf lahir batin. Meminjam istilah ‘terbaru’ yang digunakan politisi Partai Demokrat itu, sejauh ini adegan tersebut ternyata masih ber’status’ halusinasi. Lebaran berikut, tahun ini, sudah dekat, tapi mana mungkin Anas Urbaningrum tiba-tiba mengaku bersalah dan minta maaf. Bisa-bisa dia digiring ke Monas kan? Seusai diperiksa KPK pertengahan pekan ini (27 Juni), Anas ‘konsisten’ bersikeras mempertahankan diri menolak semua persangkaan yang ditujukan pada dirinya, khususnya dalam kasus Hambalang.

GAMBAR ‘HALUSINASI’ ANAS URBANINGRUM MINTA MAAF DI MEDIA SOSIAL. “Tak mengherankan, bila para politisi dan pejabat politik terseret kasus korupsi, kehebohannya menjadi luar biasa. Terjadi tarik ulur yang dahsyat, saat halusinasi tentang diri yang bersih, kesetiakawanan sempit dan upaya menutup jejak bercampur aduk dalam kreativitas membela diri. Pertarungan melebar sampai ke luar pagar proses hukum –di lembaga penegakan hukum dan peradilan– dan seringkali berubah menjadi pertarungan politik. Pertarungan ini seringkali melibatkan begitu banyak pihak, dari sesama partai, dari kubu-kubu pengacara yang bisa membawa pindah ‘proses’ peradilan ke ranah publik, dan mungkin juga sesama koruptor untuk menutupi keterlibatan masing-masing”.

Sewaktu menghadapi tudingan korupsi, Anas ‘kreatif’ menggunakan berbagai kata-kata dan kalimat tangkisan. Ketika mantan Bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin, mulai menuding dirinya terlibat bahkan merencanakan kasus Hambalang, Anas menjawab, “Serupiah saja Anas korupsi, gantung Anas di Monas”. Selain sumpah gantung di Monas, waktu itu kepada KPK, Anas memberi nasihat, “Saya tegaskan, ya, KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot”. Namun bagi ahli psikologi politik Hamdi Muluk, jawaban Anas itu pun tak lebih nilainya dari sebuah ocehan. Janji siap digantung di Monas, dianggap tak beda dengan sumpah pocong Julia Perez.

Akan tetapi, rupanya gagasan ‘digantung di Monas’, bukan orisinal Anas. Teman separtainya, Ruhut Sitompul mengklaim soal gantung menggantung di Monas itu sebagai Continue reading Anas Urbaningrum: Halusinasi dan Kreativitas Seorang Politisi

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (4)

Realistis dan tidak realistis. TATKALA isu percukongan menghangat, akhirnya Presiden Soeharto pun ikut berbicara. Bagi Presiden Soeharto tak ada perbedaan pribumi dan non pribumi dalam pemanfaatan modal untuk pembangunan. “Tanpa pengerahan semua modal dan kekayaan yang ada dalam masyarakat, tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan-pembangunan seperti yang kita lakukan dewasa ini”. Ia meneruskan “Kita tahu, bahwa kekayaan dan modal-modal yang ada dalam masyarakat sebagian besar tidak berada di tangan rakyat Indonesia asli atau pribumi. Bukannya pemerintah tidak tahu, tapi bahkan menyadari resiko dan bahaya penggunaan modal-modal non pribumi dan asing. Tetapi, keinginan membangun hanya dengan mengerahkan potensi-potensi nasional pribumi saja, yang kita ketahui keadaannya memang belum mampu, tidaklah mungkin dan tidak realistis”.

MENGIRINGI LIEM SOEI LIONG DI PERJALANAN AKHIR. “Apapun yang telah terjadi, Liem Soei Liong telah pergi meninggalkan Indonesia 1998, dan kini takkan mungkin kembali lagi. Tahun 2012, Giam Lo Ong (malaikat pencabut nyawa dalam kepercayaan China) telah menunaikan tugas penjemputan, dan kini ia sudah membumi dalam artian sesungguhnya. Namun Liem Soei Liong, bagaimanapun juga telah memberi pelajaran berharga bagi para penguasa Indonesia, tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan para konglomerat”. (foto download reuters)

Selama seperempat abad sesudah 1970, Soeharto ‘membuktikan’ bahwa mengandalkan potensi pribumi saja memang ‘tidak realistis’. Maka, sejak 1970 itu ia tetap meneruskan mengandalkan usahawan non-pribumi untuk ‘pertumbuhan’ ekonomi. Entah karena hasil persaingan alamiah, entah karena topangan kebijakan Soeharto, terbukti dalam realitas bahwa pada tahun 1996 dari 25 konglomerasi pemuncak di Indonesia, 20 di antaranya milik pengusaha non-pri. Dari 5 yang tersisa, 2 adalah kepemilikan campuran pri-non pri, dan 3 pri. Dua dari tiga yang disebut terakhir adalah Group Humpuss milik Hutomo Mandala Putera, dan Group Bimantara milik Bambang Trihatmodjo-Indra Rukmana, dan satunya lagi Group Bakrie sebagai pribumi satu-satunya yang non-cendana. Sedang kepemilikan campuran, adalah Group Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (4)

Monas-Istana Complex

TENTU mustahil untuk menggantung Anas Urbaningrum –Ketua Umum DPP Partai Demokrat– di Monas, sekalipun ia nanti terbukti pernah menikmati satu rupiah dari kasus Hambalang. Hukum gantung tak dikenal di Indonesia, apalagi di Monas yang menjadi pusat wilayah simbol negara. Dan kalaupun ia ternyata terlibat dalam kasus percaloan proyek pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Sentul City, seperti yang ditudingkan Muhammad Nazaruddin ‘mantan’ koleganya di DPP partai penguasa itu, maka nominalnya takkan hanya serupiah melainkan dalam skala miliaran rupiah.

Tetapi kenapa untuk menepis tudingan-tudingan Nazaruddin, Anas harus ‘melibatkan’ Monas dengan mengatakan “Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas”? Sehingga, seorang pengamat politik, Hanta Yudha, sampai berspekulasi dengan satu analisa bahwa sebenarnya Anas justru sedang mengirim pesan ke seberang sana Monas. Di seberang sana Monas, berkantor Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

MONAS.”…sebenarnya Anas justru sedang mengirim pesan ke seberang sana Monas. Di seberang sana Monas, berkantor Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono”. (foto download).

Apa makna pesan Anas sebenarnya? Dalam penafsiran awam di tengah publik –yang mungkin berbeda dengan analisa Hanta Yudha– Anas sedang mengingatkan agar SBY jangan membiarkan dirinya terpojok sendirian dan harus turun tangan menyelamatkan dirinya. Bagaimana bisa Anas memaksa Ketua Dewan Pembinanya turun tangan melakukan penyelamatan? Beberapa pengamat menyebutkan, karena Anas punya sejumlah kartu truf. Jadi, Anas sebenarnya masih cukup kuat dan bisa menyelamatkan diri. Kalau tidak diselamatkan, deretan domino akan rubuh secara berantai? Sementara itu, beberapa lama setelah tertangkap, Nazaruddin pernah mengatakan bahwa bila kasus-kasus yang diketahuinya dibuka semua, bisa “bubar republik ini”.

Untuk membuktikan apa yang dikatakannya, Nazaruddin langkah demi langkah, mulai membuka cerita tentang berbagai kasus permainan dengan sasaran uang negara. Nama demi nama disebutkan. Anas Urbaningrum dan beberapa tokoh Partai Demokrat yang lain, menyebutnya sebagai ocehan belaka. Maka Anas menasehati “KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot”. Tokoh Partai Demokrat lainnya, Gede Pasek Suardika, menyamakan Nazaruddin sebagai celeng hutan yang terluka dan kalap menabrak ke sana kemari. Ada ungkapan yang sebenarnya bisa dipinjam Pasek untuk ini, yakni membabi-buta.

Nazaruddin nampaknya memang terluka, merasa akan dikorbankan sendirian. Maka ia menggapai-gapai kian kemari. Ia lalu menyebutkan serentetan nama dalam libatan mempermainkan uang negara: Mulai dari Angelina Sondakh, Mirwan Amir sampai Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang adalah kawan separtai dan I Wayan Koster dari PDIP. Menyusul, Didi Irawadi dan terbaru Gede Pasek Suardika. Lalu, merembet pula ke tokoh Golkar, Azis Syamsuddin yang namanya disebutkan oleh Mindo Rosalina Manullang dalam kaitan proyek di Kejaksaan Agung. Dalam ruang dan waktu yang sama, terkait atau tidak terkait Nazaruddin, sejumlah nama tokoh Partai Demokrat pun berada dalam sorotan pers dalam tali temali berbagai kasus, yakni Ahmad Mubarok, Sutan Bathugana maupun Johnny Allen Marbun yang belum juga tertuntaskan masalahnya. Tapi jangankan mereka, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat pun tak luput dari sorotan, seperti misalnya yang pernah dilansir oleh dua koran Australia, The Age dan The Sydney Morning Herald, selain sorotan melalui berbagai rumor politik. Sorotan-sorotan terhadap diri dan partainya sungguh merepotkan SBY. “Tragis bagi bangsa ini, presidennya lebih dari dua tahun tidak mengurus rakyat tetapi hanya sibuk bela diri, keluarga, kelompok dan partainya”, ujar Chris Siner Key Timu. Tokoh kritis terhadap kekuasaan ini, memberi nasehat, “Adalah tidak patut menyimpan sampah, karena seharusnya dicampakkan”.

Terhadap sorotan dan serangan-serangan ke arah Partai Demokrat dan para tokohnya ini, belakangan para petinggi partai mulai gencar memberikan jawaban-jawaban. Tetapi, dibolak-balik, jawaban-jawaban itu tak cukup berhasil meyakinkan publik, karena miskin argumentasi yang masuk akal. Sebaliknya, meskipun pada mulanya penyampaian-penyampaian Nazaruddin kerapkali dikategorikan sebagai sampah atau ocehan belaka, namun dengan berjalannya waktu, banyak juga yang masuk akal dan mampu mengkonfirmasi persepsi publik selama ini mengenai korupsi di kalangan kekuasaan. Nyatanya pula, meskipun penanganan KPK beringsut-ingsut bagaikan keong, toh akhirnya bisa ditetapkan lebih dari satu tersangka. ‘Ocehan’ Nazaruddin mulai juga ada buktinya. Ada asap, dan mulai ada apinya.

NAMUN agaknya terdapat sejumlah persoalan baru, berupa munculnya kejanggalan-kejanggalan dalam penanganan kasus Nazaruddin maupun pengembangan lanjut dari kasus-kasus berkaitan. Ini terjadi di segala tingkat, mulai dari proses penyidikan di KPK (khususnya di masa kepemimpinan KPK jilid 2) hingga proses persidangan di Pengadilan Tipikor. Mungkin saja kita –dan publik pada umumnya– terbawa sikap apriori, tetapi tidak salah rasanya kalau mengatakan bahwa sekali ini KPK tak bekerja cukup tuntas, banyak yang tak di’kejar’ dalam upaya pengungkapan fakta, untuk tidak menyebutnya ada yang ditutup-tutupi. Penasehat hukum Nazaruddin, Hotman Paris Hutapea sampai mendefinitifkan bahwa KPK –khususnya di masa setahun kepemimpinan Busyro Muqoddas plus Chandra Hamzah cs– dikendalikan oleh kekuatan ‘luar’ KPK. Tak bisa tidak, yang dimaksudkan adalah penguasa incumbent dan partai penguasa. Kejanggalan-kejanggalan yang sama terlihat pada cara kerja LPSK dan dalam persidangan Pengadilan Tipikor. Terkesan para hakim aktif membatasi bilamana tanya jawab dalam persidangan mengarah ke tokoh-tokoh kekuasaan. Tadinya publik berharap, ada ‘bonus’ ekstra berupa bukti-bukti baru dihasilkan persidangan ini yang akan bisa meringankan tugas KPK nantinya bila memang diinginkan penuntasan pembongkaran kasus suap yang dibayang-bayangi dengan kuat oleh aroma politik ini. Ternyata tidak. Persidangan ini mengingatkan publik kepada persidangan kasus Antasari Azhar yang juga terasa serba penuh ‘pengaturan’.

Bisa diperkirakan, betapa peradilan ini sudah jelas tujuan khususnya. Mungkin nanti, Angelina Sondakh akan menjadi terdakwa terakhir yang akan digiring ke pengadilan. Itupun belum tentu bisa terjadi. Kecuali ada kawalan yang kuat dari publik anti korupsi. Sembilan dari sepuluh kemungkinan, Anas Urbaningrum takkan pernah sampai ke depan meja hijau Pengadilan Tipikor. Diperiksa di KPK pun belum tentu bisa kejadian, meski KPK melalui jurubicaranya Johan Budi (14/3) ‘menjanjikan’ Anas akan diperiksa dalam kasus Hambalang. Ada analisa, sulit menyentuh Anas, tanpa menyentuh lebih jauh ke atas. Bukankah bisa bubar republik ini, bila Monas-Istana Complex tak berhasil dijaga citra ‘keasrian’nya?

Adalah sebaliknya, bila citra penguasa diganggu secara langsung, akan mudah ada penangkapan polisi, seperti yang dialami 6 mahasiswa BEM dari Bandung Rabu 14 Maret ini yang karena emosi, ‘membalikkan’ dan ‘membiarkan’ gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jatuh berantakan di Gedung DPR, saat menyampaikan Trituma (Tiga Tuntutan Mahasiswa). Mahasiswa kecewa kepada Wakil Ketua DPR-RI Pramono Anung yang tak menyetujui tuntutan ketiga “turunkan SBY sekarang juga, turunkan Budiono sekarang juga”.