Tag Archives: Edhie Baskoro Yudhoyono

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (3)

FENOMENA Jakarta tahun 1970-an seakan mengalami perulangan pada tahun 2000-an. Tampaknya, setiap kelahiran dan tumbuhnya rezim baru selalui ditandai pula oleh korupsi-korupsi baru. Adanya korupsi-korupsi baru itu tercermin dengan munculnya kelompok dan keluarga kaya baru dari waktu ke waktu dengan segala kelakuan eksesifnya. Kedatangan Dewi Fortuna membawakan kekayaan yang mendadak, cenderung mendorong meningkatnya hasrat konsumtif dan ketidaksabaran untuk bermewah-mewah. Anehnya, makin tidak halal sumber kekayaan itu, justru makin tinggi pula hasrat konsumtif dan sikap bermewah-mewah itu, sehingga pada gilirannya bisa menjadi indikator adanya perbuatan korupsi.

SBY, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. "Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi". (youtube)
SBY, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. “Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi”. (youtube)

Munculnya kelompok dan keluarga-keluarga kaya baru di Jakarta pada tahun 1970-an itu merupakan fenomena yang mengiringi kebangkitan ekonomi Indonesia melalui pembangunan fisik kala itu. Dan fenomena itu diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak, pasti terkait dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu bersamaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masa itu tidak terbantahkan, meskipun juga tidak kunjung terbuktikan secara nyata –karena memang tak ada effort yang cukup untuk itu. “Meski seperti angin yang dapat dirasakan, namun tak dapat dipegang, korupsi itu jelas ada. Menurut logika bagaimana mungkin seorang pejabat tingkat biasa saja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup dengan standar kelayakan normal, bisa memiliki rumah-rumah mewah beserta mobil-mobil mewah yang bila diperhitungkan takkan mungkin dibelinya dengan gaji yang diakumulasikan dalam lima puluh tahun sekalipun. Korupsi dan menjadi kaya karenanya, tidak perlu lagi membuat para pelakunya tampil malu-malu seperti di zaman Orde Lama Soekarno”, demikian dituliskan dalam buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Mari kita bandingkan dengan fenomena tahun 2000-an, khususnya di masa kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputeri dan kemudian di hampir dua periode kepresiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Bila di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid gerakan pemberantasan korupsi melalui Kejaksaan Agung masih gencar, maka di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri gerakan itu mendadak gembos. Sebaliknya, terasa bahwa tindakan korupsi baru pasca Soeharto justru lebih melaju. Menjadi benar peringatan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang menjabat di masa Abdurrahman Wahid, bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tak berakhir bersama berakhirnya kekuasaan Soeharto. Sementara kasus korupsi dan kejahatan keuangan lainnya dari masa lampau belum tuntas tertangani, ujarnya, korupsi-korupsi baru pun terjadi terus.

Dari masa Megawati, kita bisa mencatat adanya kasus-kasus penjualan beberapa BUMN strategis dan kasus penjualan ulang tanker raksasa Pertamina. Bersamaan dengan itu, bertiup sejumlah rumor yang mengaitkan suami sang Presiden dengan berbagai kasus. Diceritakan bahwa sewaktu masih menjadi Presiden, Abdurrahman Wahid secara khusus pernah meminta Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk menangkap Taufiq Kiemas –suami Wakil Presiden– dengan tuduhan korupsi. Marzuki tak segera memenuhi permintaan itu, dan mengatakan tak bisa melakukannya “sebelum kita memiliki bukti kuat”. Perintah penangkapan dengan tuduhan yang sama juga pernah disampaikan Presiden kepada Jaksa Agung, untuk beberapa nama lain seperti pengusaha Arifin Panigoro, mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier yang memberikan pembebasan pajak mobil Timor dan terhadap politisi Golkar Akbar Tandjung. Entah ada hubungannya atau tidak, selang beberapa waktu kemudian Marzuki Darusman dilepas dari jabatan Jaksa Agung. Menurut cerita di balik berita, saat mengangkat Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung, Presiden mensyaratkan penangkapan bagi 4 tokoh tersebut. Tetapi Baharuddin Lopa hanya sempat menduduki jabatan itu dalam hitungan minggu. Tak terjadi penindakan terhadap 4 tokoh. Hanya Akbar Tandjung yang kemudian pernah diajukan ke pengadilan dengan tuduhan korupsi dana Bulog pada masa kepresidenan berikutnya, namun bebas di tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang saat itu dipimpin Bagir Manan.

Para pelaku korupsi masih lebih unggul. Pada dua masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, kendati retorika pemberantasan korupsi terus menerus didengang-dengungkan, dalam kenyataan perbuatan korupsi tetap saja terus melaju. Komisi Pemberantasan Korupsi tunggang langgang dibuatnya. Sungguh ironis bahwa Partai Demokrat yang menjadi pilar utama kekuasaan Presiden SBY, justru termasuk di antara yang paling disorot karena perilaku korupsi sejumlah kadernya. Melalui iklan, terhadap korupsi, Partai Demokrat menganjurkan “Gelengkan Kepala dan Katakan Tidak”, “Abaikan Rayuannya dan Katakan Tidak”, “Tutup Telinga dan Katakan Tidak” ditutup dengan “Katakan Tidak Kepada Korupsi”. Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi. Kecuali bila dalam waktu ringkas yang tersisa dari masa kepresidenannya ini diisi dengan gebrakan kejutan. Tapi, sebagai harapan, it’s too good to be true. Namun, merupakan juga kenyataan bahwa bersama Partai Demokrat, nyaris tak satupun partai yang luput dari sorotan korupsi para kadernya. Sejumlah anggota DPR maupun menteri, gubernur dan bupati/walikota telah menjadi ujung tombak pemburu dana politik, sebagian (kecil) untuk partai masing-masing, sebagian (besar) untuk kepentingan sendiri. Korupsi pun bukan lagi mengintai di tikungan menunggu kesempatan, tetapi sudah dirancang, mulai dari menciptakan proyek sampai bagaimana teknik menggerogotinya.

Dan yang istimewa dalam masalah korupsi ini, Jakarta tak lagi satu-satunya locus delicti peristiwa korupsi besar-besaran. Hampir seluruh daerah telah mencatatkan nama dalam daftar korupsi nasional yang beberapa di antaranya berkategori spektakuler. Bagaimana dengan gerakan pemberantasan korupsi? Sejauh ini, tanpa mengecilkan prestasi KPK –khususnya pada periode terbaru di bawah lima sekawan Abraham-Bambang-Busyro-Adnan-Zulkarnaen– harus diakui bahwa kaum koruptor masih lebih unggul dalam mengorganisir pertahanan dan serangan balik. Keadaan ini mengindikasikan betapa kuatnya kaum korup dalam kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik.

Seberapa sulitkah memberantas korupsi? Marzuki Darusman menulis, “Tatkala menjadi Jaksa Agung dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, saya mengalami betapa sulitnya untuk menindaki kejahatan-kejahatan terhadap kekayaan negara itu”. “Selain kelemahan-kelemahan internal kalangan penegak hukum –yang harus saya akui memiliki kelemahan teknis dan ketidakkebalan terhadap aneka godaan– kendala-kendala luar biasa juga datang dari arah eksternal, termasuk dari sesama kalangan pemerintahan dan dari kalangan politik”. “Para pelaku kejahatan selalu mendalihkan penindakan atas dirinya bernuansa politis. Maka, tak jarang gerakan-gerakan politik dikerahkan melalui dan oleh pelbagai LSM sebagai alat pembelaan diri. Seringkali para pelaku kejahatan keuangan ini mendadak ditampilkan sebagai ‘pahlawan’ yang sedang ditindas, sedang teraniaya oleh balas dendam politik”.

Sepuluh tahun kemudian, giliran KPK yang menghadapi kesulitan dari kalangan politik. Terjadi upaya merevisi Undang-undang KPK melalui DPR, dengan penghilangan beberapa wewenang khusus lembaga tersebut, yang tidak bisa tidak harus ditafsirkan sebagai usaha pelemahan KPK. “Kalau KPK tak lagi superbody, saya berpikir-pikir untuk tidak melanjutkan tugas”, ujar Abraham Samad kala itu. Selain kesulitan dari kalangan politik, KPK juga mengalami benturan-benturan keras dari sesama kalangan penegak hukum, selain beraneka macam pengerahan massa yang diorganisir para tersangka korupsi.

Politik kotor dan korupsi, merupakan sumber bahaya kegagalan bahkan kehancuran Indonesia. Pada praktek politik yang kotor, korupsi menjadi cara menghimpun dana paling efektif. Sebaliknya, dengan perilaku korupsi, politik menjadi lebih kotor dan lebih busuk lagi. Tak ada kemenangan politik besar bisa terjadi per saat ini tanpa biaya dengan angka besar. Dalam keadaan Indonesia belum punya tradisi publik berkontribusi bersama membiayai tokoh atau kelompok yang didukungnya, tak bisa tidak, biaya politik dihimpun dengan menghisap uang negara melalui korupsi APBN. Di sini berlaku dalil bahwa di belakang angka-angka besar –baik angka biaya maupun angka kemenangan yang diperoleh– ada kejahatan.

“Dia yang kaya, kita yang mati”. Demikian pula dalam kehidupan ekonomi Indonesia saat ini, seluruh keberhasilan memperoleh dana dan keuntungan besar, juga lekat kepada kecurangan, ketidakadilan dan konspirasi, di atas penderitaan kalangan akar rumput. Sebuah ungkapan dalam kampanye anti rokok –yang ditujukan kepada industrialis rokok– mungkin bisa dipinjam, “dia yang kaya, kita yang mati”. Dalam penegakan dan pemerataan keadilan ekonomi, hingga sejauh ini, tak satu pun di antara para pemegang mandat rakyat, telah menunjukkan keberhasilan. Terbanyak malah menjadi perencana dan pelaku korupsi, menghasilkan situasi “mereka yang kaya, rakyat yang mati”.

Hanya satu bentuk pemerataan yang berhasil dilakukan secara nasional, dari Jakarta sampai seluruh pelosok tanah air, tak lain, pemerataan penderitaan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Negara Islam Indonesia di Ladang Permainan Intelejen (2)

SALAH satu ‘sempalan’ gerakan NII (Negara Islam Indonesia) yang mendapat perhatian Polri dan kalangan intelejen Indonesia, adalah Jama’ah Islamiyah yang saat ini dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Menurut sebuah pemaparan dalam Simposium Nasional ‘Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme’ di Jakarta 27-28 Juli 2010, dalam dinamika pergerakannya JI yang adalah sempalan memiliki perbedaan yang cukup besar dengan NII, sang induk. NII masih memegang teguh proklamasi dan bai’at yang dilakukan pimpinan pendirinya, SM Kartosoewirjo, “yang intinya menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, sehingga hubungannya hanya pada kelompok-kelompok pendukungnya di Indonesia”.

Saat NII tetap bertahan bermain di ladang ‘perjuangan’ dalam negeri, Jama’ah Islamiyah dalam pada itu sudah berafiliasi dengan kelompok internasional yang tujuannya mendirikan Daulah Islamiyah Internasional. Tapi, menurut penilaian NII, banyak anggota JI sekarang kurang militan dan cengeng, yang menurut mereka sangat berbeda dengan anggota NII pada masa lalu. Sebaliknya, meskipun NII dianggap memiliki militansi yang lebih tinggi, namun mereka pada umumnya sudah tua dan mengalami ketertinggalan ilmu pengetahuan serta tidak banyak berkiprah di lingkungan pesantren. Dalam realita, anak-anak anggota NII yang masih muda saat ini banyak dididik oleh alumnus pesantren tertentu yang lebih banyak dikendalikan oleh anggota Jama’ah Islamiyah. “Hal ini menyebabkan anak-anak anggota NII sekarang dan masa berikuitnya akan memiliki pemikiran dan prinsip yang sama dengan yang dianut oleh Jama’ah Islamiyah. Intinya adalah proses rekrutmen oleh Jama’ah Islamiyah terhadap generasi baru NII akan terus berlangsung untuk menambah kekuatan Jama’ah Islamiyah di masa depan”.

Menurut pemaparan itu lebih jauh, rekrutmen yang dilakukan oleh anggota Jama’ah Islamiyah memang diutamakan bagi personel yang berasal dari keluarga NII khususnya yang akan melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Akan tetapi khusus rekrutmen untuk kelaskaran, Jama’ah Islamiyah banyak merekrut orang-orang dari berbagai latar belakang seperti preman, mahasiswa, bahkan terdapat indikasi kecenderungan merekrut aparat pemerintah dan aparat keamanan. Dalam pelatihan di Aceh terlibat beberapa oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan.

OSAMA BIN LADEN, DEAD PERSON OF THE YEAR. “USD 30,000 dari jumlah itu berasal dari Al Qaeda, dibawa sang kurir dari Pakistan dan diserahkan kepada Hambali”. Source: politicaljoke.

Hubungan-hubungan JI dengan pihak luar negeri cukup luas dan banyak di antaranya telah berlangsung belasan tahun lamanya, seperti misalnya dengan jaringan teroris di Malaysia dan jaringan Islam militan di Filipina Selatan. Sekitar tahun 1987-an sejumlah anggotan NII ‘hijrah’ ke Malaysia. Termasuk di antara yang pernah mukim di Malaysia adalah Abu Bakar Ba’asyir. Sebaliknya, setidaknya dua tokoh teroris Malaysia datang beroperasi di Indonesia, yakni Dr Azahari dan Nurdin M. Top. Hingga kini masih banyak anggota NII maupun Jamaah Islamiyah yang tinggal di Malaysia dan menjadi contact person penting antara JI di Indonesia dengan jaringan teroris internasional. Jaringan di Malaysia memiliki kelas dan pengakuan tersendiri di kalangan Jama’ah Islamiyah yang sering digambarkan sebagai bagian inti dari Tanzim Lama. Sementara itu, pada waktu yang sama tak sedikit anggota JI yang pernah mengalami pelatihan militer di Filipina Selatan. Terdapat beberapa daerah sumber yang memiliki hubungan khusus dalam pengiriman laskar dari Indonesia ke sana, yakni kelompok Solo, Tasikmalaya, Lampung, Poso dan Makassar.

Jama’ah Islamiyah juga telah menjalin hubungan dengan gerilyawan pemberontak Islam di Thailand Selatan. Setidaknya ada 25 ustadz dari Jama’ah Islamiyah menjadi tenaga pengajar inti di beberapa pondok pesantren di Thailand Selatan. Para ustadz itu berasal dari kelompok Jawa Timur, Solo, Tasikmalaya, Lampung dan Medan.

Paling aktual dan istimewa, tentu saja hubungan Jama’ah Islamiyah dengan jaringan Al Qaeda dan Taliban di Afghanistan. Beberapa anggota Jama’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa saat berlangsungnya pendidikan anggota Jama’ah Islamiyah Angkatan I pada ‘akademi militer’ di Afghanistan, tokoh Jama’ah Islamiyah ber-bai’at kepada Osama bin Laden, sekaligus membicarakan bantuan yang dapat diberikan kepada anggota laskar dari Indonesia. Tempat pelatihan militer di sana yang dikenal sebagai kamp Farouk dibangun dengan biaya Osama bin Laden tahun 1984. Realisasi bantuan Osama kepada laskar asal Indonesia kemudian diberikan dalam bentuk pembangunan asrama yang lebih layak, air bersih dan penerangan pada malam hari yang kemudian bisa dinikmati Angkatan II. “Dalam beberapa kejadian teror di Indonesia terungkap hubungan antara Jama’ah Islamiyah dan Al Qaeda  melalui Hambali, Al Farouq dan Parlindungan Siregar”.

Hambali ini pada pertengahan tahun 2000 mendampingi Ba’asyir memimpin sebuah pertemuan di Kuala Lumpur, yang antara lain memutuskan kesepakatan untuk lebih memperhatikan Filipina. Diyakini bahwa penyerangan bom ke Kedutaan Filipina di Jakarta, Agustus 2000, adalah pelaksanaan hasil putusan pertemuan itu. Ongkos pertemuan itu, menurut Ken Conboy dalam Intel, ditanggung oleh Jama’ah Islamiyah. Pertemuan itu diikuti oleh perwakilan kaum radikal dari setidaknya 6 negara, yakni Malaysia, Filipina, Burma, Singapura, Thailand dan Indonesia. Dari Indonesia hadir unsur-unsur radikal dari Aceh, Jawa dan Sulawesi. Suatu pertemuan lanjutan pada kwartal akhir tahun 2000, di Trolak Country Resort, Perak, Malaysia, lebih ambisius lagi. Pertemuan yang dihadiri perwakilan kelompok radikal 15 negara, merencanakan sejumlah aksi teror, termasuk pemboman atas target-target Amerika Serikat dan Israel di wilayah Asia Tenggara.

Hambali alias Nurjaman Riduan Isamuddin alias Ecep, lahir tahun 1966 dari sebuah keluarga dengan usaha peternakan di lingkungan masyarakat muslim yang saleh, di Sukamanah, Jawa Barat. Sebelum pertemuan Perak, Hambali sudah malang melintang di Malaysia dan Afghanistan. Saat Hambali masih di Afghanistan tahun 1988, Osama bin Laden juga berada di sana dan mendirikan Al Qaeda. Hambali sudah beberapa kali bertemu dengan Osama. Tahun 1990 Hambali kembali ke Malaysia, bermukim di Sungai Manggis, sebuah daerah dengan masyarakat berpendapatan rendah, satu jam berkendara dari Kuala Lumpur. Bersama isteri barunya, ia menyewa sebuah gubuk kayu yang kecil. Dalam periode ini pula lah Hambali seringkali melakukan kontak dengan Abdullah Sungkar dan dengan orang kedua kelompok militan Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir. Ketiganya memiliki kebersamaan dalam pengabdian berdasarkan ajaran Wahhabi yang puritan. Wahhabisme adalah salah satu gerakan fundamentalisme, bersama Salafisme, yang ingin mengembalikan Islam ke ajaran awal lahirnya Islam. Menurut Dr Adlin M. Sila, “Wahhabisme berasal dari pelopornya Abdul Wahhab, yang menyuruh untuk kembali ke Al-Qur’an dan Al-Hadits”.

Tak lama setelah pertemuan di Perak ini, Hambali menyusup masuk ke Indonesia. Ternyata ia datang untuk mengorganisir persiapan rangkaian pemboman dengan target 7 gereja di Jakarta, untuk ‘menyambut’ perayaan Natal. Setelah menugaskan Edi Setiono alias Abas alias Usman untuk menangani proyek Natal di Jakarta itu, Hambali ke Bandung untuk merekrut sejumlah pelaku pengeboman. Sesuai dengan rencana, dalam menit-menit yang hampir bersamaan, terjadi ledalan bom di 12 gereja di 9 kota Indonesia saat perayaan Natal. Hanya saja, pengeboman di Bandung gagal, karena 4 calon pelaku pemboman tewas saat mempersiapkan bom di tempat sewa mereka dan satu lainnya tewas ketika bom di boncengan sepeda motornya meledak sendiri saat dalam perjalanan menuju target. Menurut pengakuan kurir JI bernama Marsan Arshad, Proyek Natal itu dipersiapkan dengan biaya USD 50,000 dan USD 30,000 dari jumlah itu berasal dari Al Qaeda, dibawa sang kurir dari Pakistan dan diserahkan kepada Hambali.

Dalam rangka proyek Bom Natal tahun 2000 itu, Hambali bertemu dan merekrut militan muda bernama Imam Samudra untuk membantunya. Imam Samudra biasanya bertugas meramu bahan eksplosif dan menyiapkan detonator. Salah satu bom dimasukkan ke dalam kotak donat. Setelah itu, Imam Samudra terlibat beberapa kali proyek pemboman, antara lain pemboman di Atrium Plaza dekat Pasar Senen. Terakhir, terlibat rangkaian pemboman di Bali yang membuatnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Disamping hubungan dengan Al Qaeda, sebagian laskar Indonesia memiliki hubungan yang dekat dengan para petinggi Taliban. Seorang anggota JI alumnus Afghanistan sempat menjadi pengemudi terpercaya pemimpin Taliban, Golbuddin Hekhmatyar. “Meskipun Golbudin Hekhmatyar tak pernah ber-bai’at kepada Osama bin Laden, namun laskar Taliban memiliki hubungan erat dengan anggota Al Qaeda. Menurut beberapa informasi intelejen, hingga saat ini orang tersebut masih memiliki peranan penting dalam menghubungkan laskar dan mahasiswa dari Indonesia di Pakistan dengan kelompok Taliban melalui mediasi jaringannya di Malaysia”. JI juga menjalin hubungan dengan kelompok radikal di Yaman. “Hubungan lain yang menonjol antara jaringan Jama’ah Islamiyah dengan jaringan internasional adalah melalui yayasan-yayasan donatur yang memberikan bantuan dana kepada pendukung Jama’ah Islamiyah di Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur”.

SUNGGUH menarik bahwa di masa lampau, intelejen di bawah Ali Moertopo, Opsus khususnya yang ‘dilebur’ dalam koordinasi Deputi III Bakin (Badan Koordinasi Intelejen), melalui perwira-perwira seperti Aloysius Sugiyanto, Pitut Suharto dan lain-lain, bisa menyusup ke mana-mana, baik ke tubuh NII maupun ke lingkaran eks PKI, eks PNI Asu, maupun eks PRRI/Permesta. Bahkan, dalam saat tertentu bisa ‘mengendalikan’ mereka untuk berbagai kepentingan politik, yang beberapa diantaranya mungkin saja bukan untuk kepentingan langsung pemerintah dan atau negara. Tubuh kepengurusan partai dan kekuatan politik lainnya semasa kekuasaan Soeharto juga banyak ‘disusupi’ dalam rangka pengendalian. Salah satu contoh, apa yang dialami Parmusi menjelang Pemilihan Umum 1971, saat terjadi benturan antara kubu Djarnawi Hadikusumo-Lukman Harun versus John Naro-Imran Kadir. Permainan intelejen juga menandai kericuhan di tubuh PDI yang melahirkan PDI-P. Di belakang kubu Drs Surjadi maupun kubu Megawati Soekarnoputeri, masing-masing berdiri sejumlah jenderal dengan pengalaman intelejen. Belum lagi di tubuh Golkar.

Bagaimana sekarang, masih adakah permainan intelejen di ladang politik dan permainan kekuasaan? Dalam persoalan pemberantasan terorisme, penanganan Polri sejauh ini dianggap tidak terlalu jelek, beberapa kali ada prestasi. Tapi tampaknya, di sana sini terjadi juga situasi kedodoran yang menciptakan berbagai lubang. Di saat publik tengah dibanjiri berita rekrutmen paksa ala NII dan tewasnya Osama bin Laden, setelah selingan intermezzo the singing cop Briptu Norman Kamaru, ada berita penyusupan dari gedung DPR. Seorang bernama Imam Supriyanto yang konon pernah menjadi menteri NII Komandemen Wilayah 9, menuturkan kepada Wakil Ketua DPR-RI Priyo Budi Santoso, bahwa Partai Demokrat dan Partai Golkar disusupi kader NII, termasuk di lembaga-lembaga legislatif. Kalau sikap mendukung dimasukkannya (lagi) Piagam Jakarta –yang secara formal sudah final sejak 18 Agustus 1945– dijadikan petunjuk, memang cukup banyak tokoh partai politik dan anggota legislatif bisa dikategorikan pengikut NII.

Sementara itu, tokoh Partai Demokrat Ahmad Mubarok, pada waktu yang sama memerlukan memberi pembelaan kepada pimpinan pesantren Al Zaytun, Panji Gumilang, yang sedang disorot. Akhir Maret lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Sekjen Edhie Baskoro Yudhoyono, berkunjung dan memberi bantuan kepada Al Zaytun. Panji Gumilang yang dikabarkan punya simpanan 250 milyar di Bank Century yang bermasalah, menurut Mubarok adalah anggota NII yang berbeda dengan NII Kartosoewirjo. “Bahkan, dia didukung intelejen dengan tujuan melawan NII Kartosoewirjo”, ujar Mubarok. “Dia berpikir NII harus dilawan dengan mencerdaskan dan memakmurkan rakyat, dan itu yang dilakukannya melalui Al Zaytun”. Apakah sering berkunjungnya mantan Kepala BIN Letnan Jenderal AM Hendropriyono dapat dianggap konfirmasi bagi penyampaian Mubarok? Dan bahwa dukungan intelejen itu terus berlanjut sampai masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono?