Tag Archives: Malaysia

Kasus Satinah: “Si Buah Malakama Dari Arab Saudi”

BERKALI-KALI sudah negara ‘sahabat’ yang ‘seiman-seagama’, Kerajaan Arab Saudi, menyodorkan ‘si buah malakama’ kepada kita orang Indonesia. Menyangkut berbagai soal, mulai dari masalah penyelenggaraan ibadah haji, ‘ekspor’ semangat pertikaian sektarian dan sikap fanatisme-radikal-militan kaum fundamental dari sana maupun dari negara Arab lainnya di sekitarnya, sampai kepada sikap dan perilaku perbudakan kepada tenaga kerja yang mencari nafkah di negara kerajaan tersebut. Dilema ‘si buah malakama’ terbaru dari sana, adalah kasus hukum mati qishas –terhadap perempuan asal Ungaran Jawa Tengah bernama Satinah– dengan kesempatan pemaafan melalui pembayaran uang darah (diyat) kepada keluarga korban. Sedikit lebih ‘ringan’ dari pilihan hukuman mati had ghillah (mutlak) yang tak mengenal mekanisme pengampunan.

HUKUM PANCUNG DI ARAB SAUDI. "Penegakan hukum di negara kerajaan itu, seperti kita ketahui bersama, dinyatakan adalah berdasarkan hukum Islam. Tapi kita mungkin harus lebih percaya bahwa banyak bagian dari penegakan hukum di kerajaan itu lebih mengakar pada tradisi kultur gurun Arabia abad pertengahan."
HUKUM PANCUNG DI ARAB SAUDI. “Penegakan hukum di negara kerajaan itu, seperti kita ketahui bersama, dinyatakan adalah berdasarkan hukum Islam. Tapi kita mungkin harus lebih percaya bahwa banyak bagian dari penegakan hukum di kerajaan itu lebih mengakar pada tradisi kultur gurun Arabia abad pertengahan.” (Daily Mail)

            Sebelum kasus Satinah, ada kasus terbaru kedua, yakni kasus Dasem, yang bisa di’selamat’kan nyawanya dengan diyat senilai 4,7 milyar rupiah. Tetapi diyat kali ini untuk Satinah, menjadi lebih fantastis, sebesar 21 milyar rupiah lebih. Ada kecenderungan bahwa dari waktu ke waktu uang darah itu makin berdarah-darah, berjalan dalam satu kurva menanjak, sebagai perpaduan pelampiasan dendam dengan perilaku pemerasan dalam keserakahan.

Penegakan hukum di negara kerajaan itu, seperti kita ketahui bersama, dinyatakan adalah berdasarkan hukum Islam. Tapi kita mungkin harus lebih percaya bahwa banyak bagian dari penegakan hukum di kerajaan itu lebih mengakar pada tradisi kultur gurun Arabia jauh sebelum abad pertengahan. Ketentuan “mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa” misalnya, begitu pula dengan hukum potong tangan, mustahil bila dikatakan itu merupakan jiwa ajaran Islam yang sesungguhnya.

Cendekiawan Islam modern, memiliki penafsiran-penafsiran baru yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur dan tidak emosional, namun masih selalu kalah oleh penafsiran fundamental buta yang tak mampu membaca perjalanan zaman. Term ‘potong tangan’ misalnya, tidak harus ditafsirkan harafiah. Saat seorang manusia memohon kepadaNya, ia akan menadahkan tangan ke atas. Secara filosofis, dengan demikian, tangan menjadi simbol hubungan manusia denganNya saat memohon kerahimanNya. Manusia yang melakukan pencurian milik orang lain, berarti menyalahgunakan tangan itu. Maka mereka yang melakukan pencurian itu telah ‘kehilangan’ satu alat isyarat komunikasi penting denganNya yang berguna untuk menyampaikan permintaan pertolongan kepadaNya. Telah ‘terpotong’ tangannya di mata Allah.

KENAPA peristiwa-peristiwa semacam kasus Dasem dan Satinah menjadi ibarat ‘si buah malakama’ bagi kita?

Kalau memang Dasem dan Satinah betul-betul melakukan pencurian dan pembunuhan seperti yang dituduhkan dan dijatuhi hukuman oleh ‘pengadilan’ Kerajaan Arab Saudi, lalu kita semua di tanah air bersatu mengumpulkan uang untuk membayar diyat, berarti beramai-ramai kita membebaskan seorang pembunuh. Ada informasi, bahwa setidaknya masih ada 200 orang lebih WNI di Arab Saudi yang menunggu hukuman mati, baik had ghillah maupun qishas. Jadi, sejumlah ‘si buah malakama’ masih akan menggelinding kepada kita. Dan uang diyat juga semakin meninggi sejalan dengan meningkatnya hasrat pelampiasan dendam dengan keuntungan materil. Manusia-manusia di dalam masyarakat Arab di sana juga sedang mengalami perubahan nilai tentang korelasi kedukaan karena kematian anggota keluarga dan kesukacitaan materi yang bisa dihasilkan dari kematian itu.

Pada sisi lain, bila membiarkan seorang terhukum mati qishas, dieksekusi begitu saja, bisa muncul ‘perasaan bersalah’ pada diri beberapa di antara kita, karena membiarkan seorang warganegara kita dihilangkan nyawanya padahal kita bisa bersama mengumpulkan uang untuk penyelamatan. Rasa bersalah itu –tepatnya tanggungjawab– terutama (semestinya) ada dalam diri kalangan kekuasaan (pemerintah) yang selama ini menikmati manfaat devisa yang dihasilkan para TKI/TKW. Dan, para pengusaha pengerah tenaga kerja yang menarik benefit dan menjadi kaya raya dari bisnis yang mengarah sebagai ‘perbudakan manusia’ di zaman modern itu.

Pemerintah Indonesia sejauh ini, menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, menyediakan dana 12 milyar rupiah. Tetapi Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan pemerintah tak bisa membantu membayar diyat yang terlalu mahal itu. Selain itu, pemerintah berusaha menghargai proses hukum negara lain. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sementara itu, kembali menyurati Raja Arab Saudi untuk sekali lagi menunda eksekusi Satinah. Dalam rapat kabinet Rabu 26 Maret, Presiden menegaskan keliru besar bila dikatakan pemerintah tak peduli nasib Satinah. “Semua sudah bekerja habis-habisan.” Memang terlihat betapa sejumlah tokoh –politik maupun pemerintahan– gamang bila diajak berpendapat mengenai kasus Satinah. Sangat berhati-hati, tak mau melawan arus opini, karena takut untuk dianggap tak membela Satinah.

ARUS sikap yang tampaknya kuat di masyarakat –sepanjang yang ditampilkan dan digambarkan oleh berbagai media– adalah ‘benar atau salah, itu sedulur kita’. Bagaimanapun Satinah sesama bangsa, wajib dibela. Bila ada orang yang membunuh sesama bangsa di dalam negeri, apalagi dengan cara-cara yang keji, semua orang geram. Lihat betapa geramnya publik terhadap pembunuhan keji terhadap Sisca Yofie di Bandung. Publik bahkan juga geram terhadap pihak kepolisian yang dicurigai menutup-nutupi sebagian fakta, khususnya terkait dengan dalang pembunuhan di belakang layar. Tetapi, bila warga negara kita membunuh di negara lain, ada kesepakatan tak tertulis, bila dihukum mati harus dibela. Khususnya menyangkut TKW atau TKI. Karena, diasumsikan mereka pasti ditindas sehingga membunuh dan atau diadili secara curang. Untuk sebagian besar, data empiris memperlihatkan bahwa tidak sedikit tenaga kerja Indonesia, khususnya kaum perempuan, memang ditindas di negara-negara seperti Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan Hongkong. Ekses yang terlihat, kalau tidak menjadi korban kekerasan dan bahkan ada di antaranya sampai meninggal, sebaliknya akan menjadi pelaku kekerasan dan atau pembunuhan terhadap kalangan majikan.

Dimensi lain yang muncul dari sikap kesediaan membayar diyat, adalah bahwa kita sepakat untuk menjadi sasaran pemerasan oleh warganegara satu bangsa lain terhadap diri kita sebagai suatu bangsa. Besarnya uang diyat, ke depan bisa dipastikan akan makin tinggi dan makin tinggi. Dan itu akan terjadi terus, selama kita masih mengirim TKI/TKW dengan kualifikasi pendidikan rendah seperti selama ini. Kualifikasi rendah pendidikan tenaga kerja yang dikirim Indonesia tak bisa dihindari akan selalu berbenturan dengan sikap merata masyarakat Arab Saudi yang masih menganggap tenaga kerja itu adalah budak (khadam) yang telah mereka tebus dengan uang (beli) dari para pengerah tenaga kerja (‘pedagang budak’). Karena para pencari kerja dari Indonesia dianggap ‘budak’ –bukan kaum profesional yang harus dihargai– maka perlakuan terhadap mereka juga adalah perlakuan semena-mena sebagaimana lazimnya harus diterima para budak dari waktu ke waktu.

Satu dan lain hal, terkenalnya Indonesia sebagai pemasok tenaga kerja dengan kualitas dan strata bawah, yang di beberapa negara tujuan diperlakukan bagaikan budak saja, melahirkan sikap menghina. Bila diakumulasikan, melahirkan persepsi sebagai ‘bangsa budak’. Banyak dari kita, bila berkunjung ke negara-negara tujuan tenaga kerja kasar Indonesia, mengalami sikap meremehkan dan merendahkan dari masyarakat setempat. Di Malaysia, ada julukan indon. Di Singapura, anda hanya dihormati bila anda menjadi pembelanja di shopping centre. Di Arab Saudi, tak usah diceritakan. Sedang menunaikan ibadah haji atau umroh sekalipun, anda bisa diperlakukan tidak sopan oleh orang setempat.

Tapi menyangkut TKW, jangankan di luar negeri, bangsa sendiri tak kalah buruknya memperlakukan mereka. Saat menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, mulailah cerita panjang pemerasan terhadap mereka. Bukan semata dilakukan para ‘preman’ tetapi juga para oknum petugas dari berbaga instansi.

SEBENARNYA hanya ada satu jawaban untuk melepaskan bangsa dan negara ini dari dilema ‘si buah malakama’ yang nyaris kronis, yakni dengan menghapuskan ekspor tenaga kerja berkualitas rendah. Kementerian Tenaga Kerja bisa mulai lebih fokus mempersiapkan dan mengintensifkan ekspor tenaga kerja profesional seperti perawat, penyelia dan lain sebagainya. Sudah tiba saatnya kalangan pemerintahan Indonesia –khususnya yang akan tersusun nanti setelah Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014– untuk lebih memperhatikan sumber-sumber devisa lainnya daripada sekedar ekspor tenaga kerja kualitas rendah. Penumbuhan aneka jenis industri, terutama agro industri, dan penumbuhan berbagai sektor jasa, dibutuhkan untuk memberi lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih luas sebagai pengganti. Tapi, jangan lupa, bukan hal mudah untuk menghapuskan ekspor TKW/TKI, karena di dalam bisnis itu secara menahun telah bersarang kepentingan-kepentingan khusus yang sebenarnya bukan lagi kepentingan bangsa dan negara. (socio-politica.com)

Indonesia, Seluruh Setan Memang Ada di Sini….

TANPA kedatangan ‘utusan setan’ sekalipun, segala jenis setan memang sudah ada di negeri kita ini. Solid dan terkonsolidasi. Kalau ada yang meneriakkan tentang ‘utusan setan’, tak lain karena seperti maling, setan pun bisa menggunakan taktik ‘setan teriak setan’. Paling cerdik dan culas di antara segala setan yang gentayangan di negeri ini, adalah setan yang menjadi mahaguru ilmu korupsi. Para manusia yang menjadi murid-muridnya –dan telah bermutasi sebagai setan korupsi– telah ikut mengisi sejarah Indonesia merdeka selama 66 tahun lebih. Tentang ‘utusan setan’, sekedar sebagai intermezzo, baca juga sebuah tulisan lain di blog ini, 28 Mei 2012. (https://sociopolitica.wordpress.com/2012/05/28/lady-gaga-semua-setan-juga-sudah-ada-di-sini/).

WAJAH SANG SETAN. “Tapi memang, setan bisa berbisik di mana saja dan kepada siapa pun juga”. (Download: 123RF)

Tentu operasi setan tak hanya terjadi di Indonesia. Penulis perempuan dengan jam terbang lebih 30 tahun, Bethany McLean, dan kolumnis bisnis Joe Nocera, 2010 menulis buku “All The Devils Are Here” (Penguin Book). Seperti tercermin pada subjudulnya, buku itu membuka kedok sejumlah tokoh dan lembaga internasional yang telah membangkrutkan dunia, melalui skandal keuangan maupun kebijakan. Beberapa nama di antaranya, tidak asing, atau setidaknya diketahui pernah bersentuhan dengan Indonesia.

Namun, dengan atau tanpa persentuhan dengan luar pun, para pelaku korupsi di Indonesia sudah cukup dahsyat. Dan sewaktu-waktu bisa membangkrutkan keuangan negara, sekaligus membangkrutkan moral bangsa.

Bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi misalnya, bisa menjadi komoditi kejahatan. BBM bersubsidi diselundupkan ke beberapa negara sekitar yang harga jual BBM-nya lebih tinggi. Bukan rahasia bahwa ikan dan kekayaan laut Indonesia lainnya, selalu dijarah habis-habisan oleh nelayan negara tetangga yang terorganisir, karena kelemahan kebijakan kelautan maupun lemahnya pengawasan dari TNI-AL yang kapalnya kurang banyak. Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri, mengutip data FAO tahun 2008, menyebutkan 1 juta ton Continue reading Indonesia, Seluruh Setan Memang Ada di Sini….

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (10)

PERMINTAAN Letnan Kolonel Untung akan dukungan kavaleri dari Siliwangi ini, tak pernah terpenuhi sampai terjadi peristiwa pada 1 Oktober dinihari. Namun merupakan suatu kebetulan yang menakjubkan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965, satu pasukan kavaleri dengan 30 buah tank dan kendaraan lapis baja dari Siliwangi –persis sama dengan yang diinginkan Letnan Kolonel Untung– betul-betul datang ke Jakarta dan bergabung ke bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.

Pertemuan terakhir, dilakukan tepat pada D-Day 30 September, di rumah Sjam, di Salemba Tengah. Pada pertemuan ini, barulah dimunculkan Brigjen Soepardjo, yang datang dari Pontianak sehari sebelumnya atas permintaan Sjam Kamaruzzaman. Pangkopur II ini menawarkan mendatangkan pasukan dari Kalimantan yang ada dalam komandonya, namun perwira lainnya menyatakan tak perlu, karena pasukan yang tersedia sudah mencukupi. Malam itu ditaklimatkan nama delapan jenderal yang akan dijemput, yakni Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soewondo Parman, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo dan Brigjen Ahmad Soekendro. Ada perubahan angka pasukan yang akan dikerahkan, dari satu kompi Tjakrabirawa menjadi satu batalion, dan 1 batalion dari Brigif I Kodam Jaya menjadi tiga batalion. Sehingga total pasukan yang akan dikerahkan menjadi sekitar 7000 orang.

Adalah menarik bahwa pada tengah malam, Aidit yang sebenarnya dijemput oleh perwira Tjakrabirawa dari rumahnya untuk dibawa ke Halim Perdanakusumah, pasca peristiwa –berdasarkan sebuah laporan intelijen–  digambarkan ikut sejenak hadir dalam pertemuan itu. Aidit lalu dipertemukan dengan Mayjen Pranoto di ruang lain di rumah pertemuan itu, sebelum akhirnya dibawa ke Halim Perdanakusumah. Letnan Kolonel Untung dikemudian hari dalam pengakuannya, menyebutkan dua tokoh tersebut sebagai ‘dua orang tak saya kenal’. Kehadiran Aidit di rumah Sjam malam itu, sedikit kurang jelas, karena setelah menghadiri acara di Senayan, dimana Soekarno berpidato, Aidit yang tidak menunggu acara sampai selesai, pulang kerumah dan menerima seorang tamu, Ketua CGMI Hardojo sampai menjelang tengah malam. Sekitar jam duabelas lewat, ia dijemput dari rumahnya di Pengangsaan Barat oleh dua perwira Tjakrabirawa yang menggunakan dua landrover AURI dan diminta ke Halim Perdanakusumah.

Acara di Istora Senayan, Musyawarah Nasional Teknik, 30 September malam, berlangsung hingga agak larut. Baru setelah pukul 22.00 Presiden Soekarno naik ke podium untuk berpidato. Sebelum itu, Soekarno sempat mendapat sepucuk surat, yang disampaikan melalui salah satu ajudannya, Kolonel Widjanarko. Setelah sejenak mengamati surat itu, memasukkan ke sakunya, Soekarno lalu meninggalkan tempat duduknya dan keluar menuju serambi gedung olahraga itu, diiringi oleh para perwira pengawalnya, Kolonel CPM Maulwi Saelan dan Komisaris Polisi Mangil, selain Kolonel Widjanarko. Mulanya, Soekarno menyempatkan diri ke kamar kecil. Di serambi Istora Senayan, Soekarno kemudian menyempatkan membaca surat tersebut. Lalu masuk kembali ke ruangan. Menurut kesaksian Widjanarko di kemudian hari, surat itu berasal dari Letnan Kolonel Untung yang disampaikan melalui seorang kurir. Setelah membaca surat itu, Soekarno mengangguk-angguk dan nampak bersemangat. Sikap bersemangat itu berkelanjutan ketika Soekarno kemudian menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itulah Soekarno menyampaikan sebuah kutipan dari dunia pewayangan, kisah Mahabharata, yang menggambarkan suatu ‘pelajaran’ untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan.

Bagian yang dipaparkan Soekarno malam itu adalah mengenai pertentangan antara Pandawa dari kerajaaan Amarta dengan Kurawa dari kerajaan Hastina, yang sebenarnya masih memiliki pertalian darah. “Dua negara ini konflik hebat. Tetapi pimpinan-pimpinan dan panglima-panglima Hastina itu sebenarnya masih keluarga dengan pemimpin-pemimpin dan panglima-panglima Pandawa”, demikian lanjutan pidato Soekarno setelah sejenak melihat jam yang telah mendekat pukul sebelas malam. “Arjuna yang harus mempertahankan negeri Pandawa, harus bertempur dengan orang-orang Hastina. Arjuna berat dia punya hati, karena ia melihat di barisan tentara Hastina itu banyak ipar-iparnya, karena isteri Arjuna itu banyak lho. Banyak ia punya oomoom sendiri, banyak ia punya tantetante sendiri. Lho memang di sana pun ada banyak wanita yang berjoang, saudara-saudara. Bahkan gurunya ada di sana, guru peperangan yaitu Durno, ada di sana. Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudaraku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh guruku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku sendiri, karena Suryoputro sebetulnya keluar dari satu ibu. Arjuna lemas. Kresna memberi ingat kepadanya. Arjuna, Arjuna, Arjuna, engkau ini ksatria. Tugas ksatria ialah berjuang. Tugas ksatria ialah bertempur jika perlu. Tugas ksatria ialah menyelamatkan, mempertahankan tanah airnya. Ini adalah tugas ksatria. Ya benar di sana ada engkau punya saudara sendiri, engkau punya guru sendiri. Mereka itu mau menggempur negeri Pandawa, gempur mereka kembali. Itu adalah tugas ksatria, karmane evadhi karaste maphalesu kadacana, kerjakan engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”.

Dalam konteks situasi yang dipahami orang per waktu itu, semestinya yang dimaksudkan bahwa yang dihadapi Arjuna –yang sepertinya dipersonifikasikan sebagai Soekarno dari Indonesia– adalah Malaysia yang serumpun. Namun, setelah peristiwa tanggal 30 September 1965, kelak analogi dari pewayangan yang disampaikan Soekarno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam peristiwa tersebut. Apalagi, Soekarno di bagian akhir pidatonya mengucapkan serentetan kalimat, “Saudara-saudara sekarang boleh pulang tidur dan istirahat sedangkan Bapak masih harus bekerja menyelesaikan soal-soal yang berat, mungkin sampai jauh malam nanti….”. Di kemudian hari, kalimat ini ditafsirkan terkait dengan surat yang diterimanya sebelum itu, yang berasal dari Untung, dan menjadi bagian dari analisa keterlibatan dirinya dalam perencanaan peristiwa yang beberapa jam lagi akan terjadi setelah ia mengucapkan pidatonya malam itu, 30 September menuju 1 Oktober 1965. Bahkan Soe-Hokdjin (Arief Budiman) pernah memberi catatan bahwa setahun sebelumnya, di depan para perwira Perguruan Tinggi Hukum Militer di Istana Bogor, Soekarno menterjemahkan ajaran Kresna, karmane evadhi karaste maphalesu kadacana, sebagai “kerjakan kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akibatnya”. Tetapi pada 30 September malam, Soekarno menterjemahkannya sebagai “kerjakan kau punya tugas kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi”. Apakah karena sebelum berpidato, ia telah menerima secarik surat dari Letnan Kolonel Untung?

PADA Jumat dinihari jam 04.00, 1 Oktober 1965, dimulailah gerakan ‘penjemputan’ para jenderal. Tapi ternyata, apa yang semula direncanakan sebagai ‘penjemputan’ untuk kemudian diperhadapkan kepada Presiden Soekarno setelah diinterogasi untuk memperoleh pengakuan akan melakukan kudeta, telah berubah menjadi peristiwa penculikan berdarah yang merenggut nyawa enam jenderal dan satu perwira pertama. Hanya Jenderal Abdul Harris Nasution yang lolos, dan Brigjen Soekendro ternyata tak ‘dikunjungi’ Pasopati.

SOEKARNO DI ATAS GULUNGAN KARPET. “Dalam suatu proses yang berlangsung 528 hari, karpet kekuasaannya yang telah menghampar selama 20 tahun, akhirnya tergulung seluruhnya……” (Repro Tony’s File)

Kenapa ‘penjemputan’ lalu berubah menjadi penculikan dengan kekerasan dan mengalirkan darah? Ternyata, tanpa sepengetahuan Brigjen Soepardjo dan Kolonel Abdul Latief, dua perwira yang paling tinggi pangkatnya dalam gerakan, Letnan Kolonel Untung mengeluarkan perintah kepada Letnan Satu Doel Arief, untuk menangkap para jenderal target itu “hidup atau mati”. Letnan Kolonel Untung menegaskan, “Kalau melawan, tembak saja”. Dan Doel Arief meneruskan perintah itu kepada regu-regu penjemput dalam bentuk yang lebih keras. Dalam kamus militer, terminologi “hidup atau mati”, cenderung berarti izin membunuh, dan umumnya yang terjadi para pelaksana memilih alternatif ‘mati’ itu bagi targetnya. Apalagi bila yang akan ditangkap itu melakukan perlawanan, hampir dapat dipastikan bahwa yang dipilih adalah alternatif ‘mati’ tersebut. Bilamana penjemputan para jenderal itu memang bertujuan menghadapkan mereka kepada Presiden Soekarno, seperti misalnya yang dipahami dan dimaksudkan oleh Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief, maka tak perlu ada perintah “hidup atau mati”. Faktanya, semua yang dijemput, memang mati terbunuh di tempat maupun kemudian di Lubang Buaya.

DARAH yang mengalir dalam peristiwa tanggal 30 September  menuju 1 Oktober 1965, menjadi awal dari proses tergelincirnya Soekarno dari kekuasaannya. Dalam suatu proses yang berlangsung 528 hari, karpet kekuasaannya yang telah menghampar selama 20 tahun, akhirnya tergulung seluruhnya……

Negara Islam Indonesia di Ladang Permainan Intelejen (2)

SALAH satu ‘sempalan’ gerakan NII (Negara Islam Indonesia) yang mendapat perhatian Polri dan kalangan intelejen Indonesia, adalah Jama’ah Islamiyah yang saat ini dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Menurut sebuah pemaparan dalam Simposium Nasional ‘Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme’ di Jakarta 27-28 Juli 2010, dalam dinamika pergerakannya JI yang adalah sempalan memiliki perbedaan yang cukup besar dengan NII, sang induk. NII masih memegang teguh proklamasi dan bai’at yang dilakukan pimpinan pendirinya, SM Kartosoewirjo, “yang intinya menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, sehingga hubungannya hanya pada kelompok-kelompok pendukungnya di Indonesia”.

Saat NII tetap bertahan bermain di ladang ‘perjuangan’ dalam negeri, Jama’ah Islamiyah dalam pada itu sudah berafiliasi dengan kelompok internasional yang tujuannya mendirikan Daulah Islamiyah Internasional. Tapi, menurut penilaian NII, banyak anggota JI sekarang kurang militan dan cengeng, yang menurut mereka sangat berbeda dengan anggota NII pada masa lalu. Sebaliknya, meskipun NII dianggap memiliki militansi yang lebih tinggi, namun mereka pada umumnya sudah tua dan mengalami ketertinggalan ilmu pengetahuan serta tidak banyak berkiprah di lingkungan pesantren. Dalam realita, anak-anak anggota NII yang masih muda saat ini banyak dididik oleh alumnus pesantren tertentu yang lebih banyak dikendalikan oleh anggota Jama’ah Islamiyah. “Hal ini menyebabkan anak-anak anggota NII sekarang dan masa berikuitnya akan memiliki pemikiran dan prinsip yang sama dengan yang dianut oleh Jama’ah Islamiyah. Intinya adalah proses rekrutmen oleh Jama’ah Islamiyah terhadap generasi baru NII akan terus berlangsung untuk menambah kekuatan Jama’ah Islamiyah di masa depan”.

Menurut pemaparan itu lebih jauh, rekrutmen yang dilakukan oleh anggota Jama’ah Islamiyah memang diutamakan bagi personel yang berasal dari keluarga NII khususnya yang akan melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Akan tetapi khusus rekrutmen untuk kelaskaran, Jama’ah Islamiyah banyak merekrut orang-orang dari berbagai latar belakang seperti preman, mahasiswa, bahkan terdapat indikasi kecenderungan merekrut aparat pemerintah dan aparat keamanan. Dalam pelatihan di Aceh terlibat beberapa oknum aparat pemerintah dan aparat keamanan.

OSAMA BIN LADEN, DEAD PERSON OF THE YEAR. “USD 30,000 dari jumlah itu berasal dari Al Qaeda, dibawa sang kurir dari Pakistan dan diserahkan kepada Hambali”. Source: politicaljoke.

Hubungan-hubungan JI dengan pihak luar negeri cukup luas dan banyak di antaranya telah berlangsung belasan tahun lamanya, seperti misalnya dengan jaringan teroris di Malaysia dan jaringan Islam militan di Filipina Selatan. Sekitar tahun 1987-an sejumlah anggotan NII ‘hijrah’ ke Malaysia. Termasuk di antara yang pernah mukim di Malaysia adalah Abu Bakar Ba’asyir. Sebaliknya, setidaknya dua tokoh teroris Malaysia datang beroperasi di Indonesia, yakni Dr Azahari dan Nurdin M. Top. Hingga kini masih banyak anggota NII maupun Jamaah Islamiyah yang tinggal di Malaysia dan menjadi contact person penting antara JI di Indonesia dengan jaringan teroris internasional. Jaringan di Malaysia memiliki kelas dan pengakuan tersendiri di kalangan Jama’ah Islamiyah yang sering digambarkan sebagai bagian inti dari Tanzim Lama. Sementara itu, pada waktu yang sama tak sedikit anggota JI yang pernah mengalami pelatihan militer di Filipina Selatan. Terdapat beberapa daerah sumber yang memiliki hubungan khusus dalam pengiriman laskar dari Indonesia ke sana, yakni kelompok Solo, Tasikmalaya, Lampung, Poso dan Makassar.

Jama’ah Islamiyah juga telah menjalin hubungan dengan gerilyawan pemberontak Islam di Thailand Selatan. Setidaknya ada 25 ustadz dari Jama’ah Islamiyah menjadi tenaga pengajar inti di beberapa pondok pesantren di Thailand Selatan. Para ustadz itu berasal dari kelompok Jawa Timur, Solo, Tasikmalaya, Lampung dan Medan.

Paling aktual dan istimewa, tentu saja hubungan Jama’ah Islamiyah dengan jaringan Al Qaeda dan Taliban di Afghanistan. Beberapa anggota Jama’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa saat berlangsungnya pendidikan anggota Jama’ah Islamiyah Angkatan I pada ‘akademi militer’ di Afghanistan, tokoh Jama’ah Islamiyah ber-bai’at kepada Osama bin Laden, sekaligus membicarakan bantuan yang dapat diberikan kepada anggota laskar dari Indonesia. Tempat pelatihan militer di sana yang dikenal sebagai kamp Farouk dibangun dengan biaya Osama bin Laden tahun 1984. Realisasi bantuan Osama kepada laskar asal Indonesia kemudian diberikan dalam bentuk pembangunan asrama yang lebih layak, air bersih dan penerangan pada malam hari yang kemudian bisa dinikmati Angkatan II. “Dalam beberapa kejadian teror di Indonesia terungkap hubungan antara Jama’ah Islamiyah dan Al Qaeda  melalui Hambali, Al Farouq dan Parlindungan Siregar”.

Hambali ini pada pertengahan tahun 2000 mendampingi Ba’asyir memimpin sebuah pertemuan di Kuala Lumpur, yang antara lain memutuskan kesepakatan untuk lebih memperhatikan Filipina. Diyakini bahwa penyerangan bom ke Kedutaan Filipina di Jakarta, Agustus 2000, adalah pelaksanaan hasil putusan pertemuan itu. Ongkos pertemuan itu, menurut Ken Conboy dalam Intel, ditanggung oleh Jama’ah Islamiyah. Pertemuan itu diikuti oleh perwakilan kaum radikal dari setidaknya 6 negara, yakni Malaysia, Filipina, Burma, Singapura, Thailand dan Indonesia. Dari Indonesia hadir unsur-unsur radikal dari Aceh, Jawa dan Sulawesi. Suatu pertemuan lanjutan pada kwartal akhir tahun 2000, di Trolak Country Resort, Perak, Malaysia, lebih ambisius lagi. Pertemuan yang dihadiri perwakilan kelompok radikal 15 negara, merencanakan sejumlah aksi teror, termasuk pemboman atas target-target Amerika Serikat dan Israel di wilayah Asia Tenggara.

Hambali alias Nurjaman Riduan Isamuddin alias Ecep, lahir tahun 1966 dari sebuah keluarga dengan usaha peternakan di lingkungan masyarakat muslim yang saleh, di Sukamanah, Jawa Barat. Sebelum pertemuan Perak, Hambali sudah malang melintang di Malaysia dan Afghanistan. Saat Hambali masih di Afghanistan tahun 1988, Osama bin Laden juga berada di sana dan mendirikan Al Qaeda. Hambali sudah beberapa kali bertemu dengan Osama. Tahun 1990 Hambali kembali ke Malaysia, bermukim di Sungai Manggis, sebuah daerah dengan masyarakat berpendapatan rendah, satu jam berkendara dari Kuala Lumpur. Bersama isteri barunya, ia menyewa sebuah gubuk kayu yang kecil. Dalam periode ini pula lah Hambali seringkali melakukan kontak dengan Abdullah Sungkar dan dengan orang kedua kelompok militan Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir. Ketiganya memiliki kebersamaan dalam pengabdian berdasarkan ajaran Wahhabi yang puritan. Wahhabisme adalah salah satu gerakan fundamentalisme, bersama Salafisme, yang ingin mengembalikan Islam ke ajaran awal lahirnya Islam. Menurut Dr Adlin M. Sila, “Wahhabisme berasal dari pelopornya Abdul Wahhab, yang menyuruh untuk kembali ke Al-Qur’an dan Al-Hadits”.

Tak lama setelah pertemuan di Perak ini, Hambali menyusup masuk ke Indonesia. Ternyata ia datang untuk mengorganisir persiapan rangkaian pemboman dengan target 7 gereja di Jakarta, untuk ‘menyambut’ perayaan Natal. Setelah menugaskan Edi Setiono alias Abas alias Usman untuk menangani proyek Natal di Jakarta itu, Hambali ke Bandung untuk merekrut sejumlah pelaku pengeboman. Sesuai dengan rencana, dalam menit-menit yang hampir bersamaan, terjadi ledalan bom di 12 gereja di 9 kota Indonesia saat perayaan Natal. Hanya saja, pengeboman di Bandung gagal, karena 4 calon pelaku pemboman tewas saat mempersiapkan bom di tempat sewa mereka dan satu lainnya tewas ketika bom di boncengan sepeda motornya meledak sendiri saat dalam perjalanan menuju target. Menurut pengakuan kurir JI bernama Marsan Arshad, Proyek Natal itu dipersiapkan dengan biaya USD 50,000 dan USD 30,000 dari jumlah itu berasal dari Al Qaeda, dibawa sang kurir dari Pakistan dan diserahkan kepada Hambali.

Dalam rangka proyek Bom Natal tahun 2000 itu, Hambali bertemu dan merekrut militan muda bernama Imam Samudra untuk membantunya. Imam Samudra biasanya bertugas meramu bahan eksplosif dan menyiapkan detonator. Salah satu bom dimasukkan ke dalam kotak donat. Setelah itu, Imam Samudra terlibat beberapa kali proyek pemboman, antara lain pemboman di Atrium Plaza dekat Pasar Senen. Terakhir, terlibat rangkaian pemboman di Bali yang membuatnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Disamping hubungan dengan Al Qaeda, sebagian laskar Indonesia memiliki hubungan yang dekat dengan para petinggi Taliban. Seorang anggota JI alumnus Afghanistan sempat menjadi pengemudi terpercaya pemimpin Taliban, Golbuddin Hekhmatyar. “Meskipun Golbudin Hekhmatyar tak pernah ber-bai’at kepada Osama bin Laden, namun laskar Taliban memiliki hubungan erat dengan anggota Al Qaeda. Menurut beberapa informasi intelejen, hingga saat ini orang tersebut masih memiliki peranan penting dalam menghubungkan laskar dan mahasiswa dari Indonesia di Pakistan dengan kelompok Taliban melalui mediasi jaringannya di Malaysia”. JI juga menjalin hubungan dengan kelompok radikal di Yaman. “Hubungan lain yang menonjol antara jaringan Jama’ah Islamiyah dengan jaringan internasional adalah melalui yayasan-yayasan donatur yang memberikan bantuan dana kepada pendukung Jama’ah Islamiyah di Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur”.

SUNGGUH menarik bahwa di masa lampau, intelejen di bawah Ali Moertopo, Opsus khususnya yang ‘dilebur’ dalam koordinasi Deputi III Bakin (Badan Koordinasi Intelejen), melalui perwira-perwira seperti Aloysius Sugiyanto, Pitut Suharto dan lain-lain, bisa menyusup ke mana-mana, baik ke tubuh NII maupun ke lingkaran eks PKI, eks PNI Asu, maupun eks PRRI/Permesta. Bahkan, dalam saat tertentu bisa ‘mengendalikan’ mereka untuk berbagai kepentingan politik, yang beberapa diantaranya mungkin saja bukan untuk kepentingan langsung pemerintah dan atau negara. Tubuh kepengurusan partai dan kekuatan politik lainnya semasa kekuasaan Soeharto juga banyak ‘disusupi’ dalam rangka pengendalian. Salah satu contoh, apa yang dialami Parmusi menjelang Pemilihan Umum 1971, saat terjadi benturan antara kubu Djarnawi Hadikusumo-Lukman Harun versus John Naro-Imran Kadir. Permainan intelejen juga menandai kericuhan di tubuh PDI yang melahirkan PDI-P. Di belakang kubu Drs Surjadi maupun kubu Megawati Soekarnoputeri, masing-masing berdiri sejumlah jenderal dengan pengalaman intelejen. Belum lagi di tubuh Golkar.

Bagaimana sekarang, masih adakah permainan intelejen di ladang politik dan permainan kekuasaan? Dalam persoalan pemberantasan terorisme, penanganan Polri sejauh ini dianggap tidak terlalu jelek, beberapa kali ada prestasi. Tapi tampaknya, di sana sini terjadi juga situasi kedodoran yang menciptakan berbagai lubang. Di saat publik tengah dibanjiri berita rekrutmen paksa ala NII dan tewasnya Osama bin Laden, setelah selingan intermezzo the singing cop Briptu Norman Kamaru, ada berita penyusupan dari gedung DPR. Seorang bernama Imam Supriyanto yang konon pernah menjadi menteri NII Komandemen Wilayah 9, menuturkan kepada Wakil Ketua DPR-RI Priyo Budi Santoso, bahwa Partai Demokrat dan Partai Golkar disusupi kader NII, termasuk di lembaga-lembaga legislatif. Kalau sikap mendukung dimasukkannya (lagi) Piagam Jakarta –yang secara formal sudah final sejak 18 Agustus 1945– dijadikan petunjuk, memang cukup banyak tokoh partai politik dan anggota legislatif bisa dikategorikan pengikut NII.

Sementara itu, tokoh Partai Demokrat Ahmad Mubarok, pada waktu yang sama memerlukan memberi pembelaan kepada pimpinan pesantren Al Zaytun, Panji Gumilang, yang sedang disorot. Akhir Maret lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Sekjen Edhie Baskoro Yudhoyono, berkunjung dan memberi bantuan kepada Al Zaytun. Panji Gumilang yang dikabarkan punya simpanan 250 milyar di Bank Century yang bermasalah, menurut Mubarok adalah anggota NII yang berbeda dengan NII Kartosoewirjo. “Bahkan, dia didukung intelejen dengan tujuan melawan NII Kartosoewirjo”, ujar Mubarok. “Dia berpikir NII harus dilawan dengan mencerdaskan dan memakmurkan rakyat, dan itu yang dilakukannya melalui Al Zaytun”. Apakah sering berkunjungnya mantan Kepala BIN Letnan Jenderal AM Hendropriyono dapat dianggap konfirmasi bagi penyampaian Mubarok? Dan bahwa dukungan intelejen itu terus berlanjut sampai masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono?

Sepakbola: Kenakalan ala Bukit Jalil Hingga Kenakalan ala Senayan

Jika Malaysia melakukan kenakalan laser di Bukit Jalil, PSSI tak kalah melakukan kenakalan ala Senayan. Harga tiket masuk Stadion Utama Bung Karno, tak henti-hentinya dinaikkan dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya, mumpung ada kesempatan dan sepakbola mania. Cara penjualan karcisnya pun ‘nakal’, tidak langsung diberi tiket tapi diberi voucher lebih dulu sehingga harus susah payah antri lagi di hari berbeda untuk menukarkannya dengan tiket asli. Berlaku pemeo “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”. Betul-betul kecenderungan perilaku korup dan sok kuasa”.

PERSEPAKBOLAAN Asia Tenggara kini diperkenalkan dengan suatu ‘kreasi’ baru, kenakalan ala Bukit Jalil dengan menggunakan laser untuk mengganggu tim ‘lawan’. Kenakalan semacam ini sebenarnya berakar pada suatu endapan kompleks rendah diri di dasar sanubari ras melayu namun kemudian bermutasi menjadi berbagai perilaku culas dalam konteks mekanisme defensif. Barat yang kolonial pada abad-abad lampau, memang kerapkali memberikan penilaian-penilaian buruk yang menjengkelkan tentang ras melayu –baik yang hidup di semenanjung Malaya, Kalimantan dan Sumatera maupun ‘derivat’nya di berbagai pulau di Nusantara– namun seringkali secara jujur harus diakui ada juga kebenarannya. Semestinya, manusia melayu baru yang telah tersentuh dengan baik oleh dunia pendidikan serta pergaulan dunia yang lebih terbuka dan modern, tidak perlu lagi mengidap kerak-kerak karakter buruk yang rupanya belum berhasil terbuang keluar.

Kolonial Barat menginventarisir sejumlah karakter buruk ras melayu yang kemudian sering dijadikan bahan penghinaan dan alat untuk memecah belah bumiputera di berbagai negeri, seperti sifat dengki, irihati, senang pamer, sok kuasa, curang, khianat, kejam, keji, pendendam, saling jegal, dungu dan bebal, selain latah dan peniru. Saat berada di bawah dalam kehidupan, menimbulkan belas kasihan, namun menjadi congkak dan pongah bila sedang berada di atas. Sejumlah tamsil dan pengibaratan melayu sendiri seringkali berhasil menggambarkan dengan tepat beberapa dari karakter buruk itu. Misalnya: lidah yang bercabang dan tidak bertulang, lain di mulut lain di hati, mulut manis hati pahit, menggunting dalam lipatan, menohok kawan seiring, tak segan menjadi musuh dalam selimut, lempar batu sembunyi tangan, menunduk tapi menanduk, menjilat ke atas menginjak ke bawah, lupa kacang akan kulitnya, licin bagai belut, musang berbulu ayam, dan sebagainya dan sebagainya. Tentu saja, sebagai manusia, ada pula banyak sifat-sifat baik yang dimiliki ras melayu, seperti ramah tamah, sopan santun, penuh senyum, penuh kekeluargaan, rendah hati, pokoknya sebaik-baik dunia Timur, truly Asia begitu.

NAMUN ada begitu banyak ketegangan dan ketidaknyamanan yang terlanjur telah tercipta di antara bangsa-bangsa melayu yang serumpun, khususnya yang menjadi penduduk dua negeri jiran, Indonesia dan Malaysia. Ketegangan dan ketidaknyamanan itu telah terjadi dalam kehidupan politik antar bangsa, hubungan perekonomian dan bahkan kebudayaan. Dalam tingkat dan kadar yang cenderung laten. (Lihat, tulisan lain di blog ini, Serumpun Dalam Duri: Indonesia-Malaysia). Celaka dua belas, hubungan berduri itu telah merambah pula ke dunia olahraga, yang semestinya menjadi ajang prestasi dan sportivitas, misalnya di SEA Games ataupun turnamen-turnamen olahraga bulu tangkis dan sepakbola. Dalam suatu final Thomas Cup antara China melawan Indonesia, publik Malaysia lebih memilih mendukung China daripada negara serumpun Indonesia, karena telah tersisih oleh Indonesia pada babak sebelumnya.

Terdorong oleh hasrat pembalasan atas kekalahan Tim Nasional Malaysia yang digelari Harimau Malaya dengan skor 1-5 pada babak semifinal AFF Cup di Jakarta, segala cara digunakan untuk bisa mengalahkan Tim Nasional Indonesia dalam final Leg 1 AFF Cup di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur Minggu 26 Desember kemarin. Tak cukup dengan sekedar tempik sorak, ‘publik’ pendukung Harimau Malaya sampai-sampai menggunakan ‘laser gun’ untuk mengganggu pemain-pemain Indonesia tatkala pertandingan berlangsung. Seperti yang terlihat di layar televisi, alatnya sebesar senapan berburu gajah, sehingga menimbulkan tanda tanya apakah alat itu bisa masuk atas inisiatif publik penonton, atau disediakan secara ‘resmi’ dan memang menjadi bagian dari strategi memenangkan pertandingan bagi tuan rumah? Setiap kali penjaga gawang Indonesia, Markus Harris Maulana, menghadapi tendangan-tendangan bebas, wajah dan matanya disorot sinar laser. Begitu pula bila pemain depan Indonesia, misalnya Firman Utina, akan melakukan tendangan pojok ia diganggu dengan cara yang sama. Puncaknya diawal babak kedua, mata Harris Maulana diserang dengan sinar laser, sehingga ia sekali lagi melakukan protes. Agaknya kejengkelannya sudah memuncak. Pertandingan dihentikan selama kurang lebih lima menit. Tentang gangguan sinar laser ini, dengan enteng seorang offisial Malaysia bilang, itu dilakukan oleh penonton asal Indonesia. Dan saat pertandingan dimulai kembali, konsentrasi pemain Indonesia buyar, dan mengalami kebobolan hingga tiga gol. Sewaktu merontokkan Vietnam 2-0 di Bukit Jalil, tim lawan ini juga mengalami gangguan serupa. Apa ini dilakukan oleh penonton asal Vietnam? Inilah kenakalan ala Bukit Jalil.

Tentu saja, gangguan sinar laser itu bukan satu-satunya yang harus dijadikan alasan kekalahan, karena harus diakui malam itu pemain-pemain Malaysia memang bermain baik, dan sebaliknya pemain-pemain Indonesia lebih kedodoran. Tampaknya pemain-pemain Indonesia berada dalam suatu tekanan beban psikologis. Mungkin ‘Tim Garuda di Dadaku’ terimbas oleh beban euphoria pasca kemenangan-kemenangan di kandang sendiri, yang menimpa sebagian publik yang haus keberhasilan di tengah paceklik prestasi dan menimpa para pengurus PSSI sendiri serta sejumlah kalangan lain yang ‘menumpang’i kemenangan Tim Nasional Indonesia. Meski pelatih Alfred Riedl telah menunjukkan kecemasan dan memberikan peringatan-peringatan terhadap dampak euphoria yang over dosis itu terhadap konsentrasi dan fokus para pemain yang akan berlaga di Bukit Jalil, euphoria tak terbendung. Para pemain, misalnya, dibawa sowan ke mana-mana oleh Ketua Umum PSSI Nurdin Khalid dkk, dari Istighosah sampai jamuan makan. Rupanya para pengurus PSSI menjalankan agenda ‘politik’nya sendiri, mumpung panen perhatian dan dielu-elukan, setelah sang Ketua Umum nyaris ‘dinobatkan’ sebagai kuncen Merapi menggantikan Mbah Maridjan. Bahkan hingga malam terakhir menjelang pertandingan ada inisiatif membawa Tim Nasional untuk jamuan makan malam bersama para menteri yang ramai-ramai datang ke Kuala Lumpur.

Jika Malaysia melakukan kenakalan laser di Bukit Jalil, PSSI tak kalah melakukan kenakalan ala Senayan. Harga tiket masuk Stadion Utama Gelora Bung Karno, tak henti-hentinya dinaikkan dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya, mumpung ada kesempatan dan sepakbola mania. Cara penjualan karcisnya pun ‘nakal’, tidak langsung diberi tiket tapi diberi voucher lebih dulu sehingga harus susah payah antri lagi di hari berbeda untuk menukarkannya dengan tiket asli. Berlaku pemeo “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”. Betul-betul kecenderungan perilaku korup dan sok kuasa. Publik penggemar sepak bola, lalu melakukan pembalasan tak kalah brutalnya. Kemarin, Minggu, setelah letih antri sejak pagi, mereka menyerbu masuk Stadion Utama dengan merusak pagar dan pintu, lalu menduduki lapangan sambil mencabut-cabuti rumput.

Kali ini, dalam pengelolaan penyelenggaraan pertandingan, melayu Malaysia di Bukit Jalil lebih bener daripada melayu Indonesia di Senayan. Harga tiket termahal di Bukit Jalil masih di bawah 200 ribu rupiah, sedang di Senayan hanya sebagian kecil berharga di bawah 200 ribu, dan sebagian besarnya berkisar 250 ribu rupiah hingga sejuta rupiah. Kalau tak ditegur pemerintah, harga tiket termurah yang 50 ribu rupiah di tribun paling atas sudah dinaikkan lagi menjadi 75 ribu rupiah. Cara penjualan tiket di Bukit Jalil lebih tertib dan teratur. Cara masuk stadion juga lebih tertib dan teratur. Tapi siapa sangka mereka bawa ‘laser gun’. Semoga saja publik Senayan tidak membalas dengan cara lebih brutal, bawa meriam sundut atau petasan besar-besar…….

Mahasiswa, Tentara dan Kekuasaan (1)

PADA Januari 2011 mendatang, sebagai kelaziman setidaknya ada dua peristiwa politik yang melibatkan peranan mahasiswa akan diperingati dengan berbagai cara, yakni peristiwa kelahiran Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) 10 Januari 1966 dan Peristiwa 15 Januari 1974. Peristiwa pertama menandai awal gerakan mahasiswa tahun 1966, yang kemudian mendapat penamaan sebagai Angkatan 1966, untuk ikut menjatuhkan rezim Soekarno. Sementara itu, peristiwa kedua, Peristiwa 15 Januari 1974, adalah gerakan mahasiswa tahun 1970-an yang melancarkan kritik keras terhadap penyimpangan rezim Soeharto dan para jenderalnya, namun berakhir sebagai suatu antiklimaks, karena peristiwa itu mendapat pencitraan makar saat dikaitkan dengan tali temali pertarungan internal rezim Soeharto antar kelompok jenderal di sekeliling Soeharto.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal ini, diperlukan pemaparan lanjut dalam suatu kesempatan tersendiri. Namun sebagai referensi mengenai pergerakan kritis mahasiswa Indonesia, berikut ini menarik untuk dikutip beberapa aspek mengenai pergerakan kritis mahasiswa di Indonesia, khususnya tentang pergerakan 1966 hingga tahun 1970-an. Dipinjam dari beberapa bagian tulisan Drs Hatta Albanik Mpsi yang pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Bandung 1973-1974, Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa. Tulisan tersebut merupakan referensi tema dalam buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Menentukan perubahan bangsa. SEJARAH Indonesia modern telah menunjukkan bahwa generasi muda hampir selalu tampil sebagai penentu perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan bangsa. George Mc’Turnan Kahin bahkan menggunakan penamaan ‘Revolusi Kaum Muda’ untuk menyebutkan pergerakan tokoh-tokoh yang mempelopori  terjadinya perubahan yang melahirkan bangsa dan negara Indonesia modern. Setelah Indonesia merdeka, tampaknya gerakan kaum muda itu analog dengan perjuangan intelektual yang terjadi pada awal abad 20, dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Perubahan yang terjadi senantiasa ditentukan oleh kalangan muda kampus: mahasiswa.

Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masa Indonesia merdeka, umumnya berupa upaya untuk merobohkan kekuasaan rezim-rezim totaliter dan kediktatoran yang membawa kehidupan bangsa jatuh pada kondisi kritis yang dapat membawa kehancuran. Sejarah mencatat bahwa perubahan-perubahan besar berupa hancurnya kekuatan-kekuatan totaliter Soekarno maupun Soeharto dilakukan oleh kekuatan-kekuatan mahasiswa sebagai penentu – namun  sayangnya kemudian diambilalih dalam proses-proses berikutnya oleh kekuatan pemegang kekuasaan baru yang berkecenderungan juga berkembang jadi totaliter dan kediktatoran.

Tak dapat dipungkiri bahwa konsentrasi kampus-kampus perguruan tinggi yang menjadi basis gerakan-gerakan mahasiswa di Indonesia terdapat di kota-kota besar yang lebih dekat dengan suasana kehidupan modern sehingga cenderung juga sekaligus menjadi pusat-pusat pemikiran avantgarde bagi kemajuan kehidupan bangsa Indonesia modern. Sangat menarik untuk diamati bahwa kampus sebagai pusat kekuatan modernisasi dan kemajuan kehidupan bangsa harus selalu bersilang pendapat dengan kalangan kekuasaan – yang tampaknya senantiasa menempatkan diri sebagai kekuatan konservatif yang selalu menolak gagasan pembaharuan untuk meningkatkan kehidupan serta kesejahteraan bangsa Indonesia. Persis seperti posisi yang diambil penjajah melawan kekuatan pergerakan kemerdekaan rakyat Indonesia dulu.  Bahkan biarpun individu-individu pemegang kekuasaan itu pada mulanya juga adalah berasal dari lingkungan gerakan cendekiawan kampus yang pernah seiring sejalan dalam upaya memperbaharui kehidupan bangsa. Serenta memegang kekuasaan negara, para tokoh itu lalu berubah perilaku menjadi berorientasi kekuasaan, bukan lagi berorientasi perjuangan bagi kepentingan bangsanya yang dulunya menjadi tema perjuangannya. Kekuasaan telah menelan perjuangannya.

Fenomena yang kita temukan sepertinya menunjukkan posisi gerakan-gerakan mahasiswa yang menyilang kekuasaan para penguasa itu, telah menjadi kekuatan koreksi yang membawakan hati nurani masyarakat yang ditindas oleh orientasi kekuasaan yang telah disalahgunakan bagi kepentingan pribadi-pribadi pemegang kekuasaan itu yang bukan lagi berorientasi pada kepentingan kemajuan bangsa.

Dalam kondisi seperti itulah gerakan mahasiswa Bandung menempati posisinya yang strategis di tengah-tengah pergolakan korektif terhadap penguasa yang menzalimi rakyatnya sendiri, semata-mata untuk hasrat dan kepentingan kekuasaan. Kekuatan gerakan mahasiswa Bandung pada umumnya terletak pada posisinya yang apolitis, tidak bertujuan untuk pencapaian kekuasaan. Selalu menjadi pembuka gagasan guna memecahkan kebekuan, menimbulkan keberanian dalam melakukan upaya-upaya koreksi menyilang kekuatan kekuasaan. Seringkali gerakan mahasiswa Bandung tidak memunculkan tokoh dan lebih mengandalkan pada kekuatan gagasan. Bahkan, mereka seringkali tidak memperdulikan apakah gagasan itu diambilalih oleh gerakan nasional mahasiswa yang kemudian ‘dipelintir’ oleh praktisi-praktisi politik sebagai amunisi mereka dalam kompetisi kekuasaan.

Menarik untuk dicermati  bahwa gerakan mahasiswa Indonesia berlangsung dari generasi ke generasi dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dengan tema dan tokoh yang berbeda-beda pula, namun seolah-olah memiliki suatu rentang garis benang merah. Garis benang merahnya sendiri selaku dekat dengan hati dan perasaan umumnya masyarakat dalam era dan zaman yang berbeda-beda itu. Sehingga, walaupun mungkin secara nyata tidak terjadi komunikasi fisik langsung, terbuka maupun tertutup, serta modus gerakan yang mungkin berbeda-beda, tetapi ide dan tujuannya pada dasarnya adalah: kepentingan dan keinginan masyarakat luas. Karenanya, selama gerakan mahasiswa berada dalam jalur benang merah yang sama, betapapun buruknya kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia, akan selalu dimungkinkan terjadinya perbaikan atau perubahan-perubahan untuk memperbaharui keadaan semacam itu.

Disemangati Gagasan ’Back to Campus’. MAHASISWA Bandung tahun 1970-an pada umumnya hidup dalam lingkungan suasana gagasan depolitisasi yang disemangati oleh gagasan back to campus. Setelah perjuangan mahasiswa 1966 yang berpartner dengan ABRI berhasil menggulingkan kekuasaan tirani Soekarno yang di ujung kekuasaannya membawa bangsa Indonesia ke dalam kondisi kesejahteraan sangat buruk, ekonomi yang collapse (membawa kebangkrutan) dan kelaparan di mana-mana –rakyat antri beras, minyak tanah dan tekstil kualitas rendah– banyak kalangan yang menuding bahwa kondisi itu terjadi akibat Orde Soekarno yang terlalu banyak bermain politik sehingga mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Lalu tumbuh semacam sikap yang menganggap politik sebagai biang keladi dari buruknya kondisi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Patut diingat bahwa pada zaman itu buruknya kondisi bangsa diindikasikan oleh mismanagement pemerintah dan korupsi yang merajalela (Pada waktu itu Indonesia sudah dianggap termasuk negara paling korup di dunia. Indonesia juga adalah negara pengimpor beras terbesar di dunia. Banyak dilanda bencana alam tanpa mampu diatasi dengan baik, dan mengalami berbagai hal buruk lainnya).

Dan yang dituding ketika itu sebagai kambing hitam, ialah terlampau dominannya pertimbangan-pertimbangan politik di atas pertimbangan-pertimbangan kesejahteraan rakyat, bahkan membahayakan keamanan negara. Indonesia berada dalam situasi konfrontasi yang tak ada habis-habisnya. Ke luar: Konfrontasi dengan Belanda, kemudian dengan Malaysia, Inggeris, Amerika dan seterusnya, yang disebut Nekolim. Ke dalam: Konfrontasi antar kekuatan-kekuatan politik yang berbasiskan konfrontasi kekuatan-kekuatan ideologi dan sara (suku, agama dan ras). Kepentingan-kepentingan politik itu seakan menjadi lebih penting daripada upaya mensejahterakan rakyat sebagai misi utama dari setiap negara yang ingin maju.

Politik dianggap sebagai panglima. Gagasan-gagasan back to campus juga muncul karena ada perasaan risih dari mainstream gerakan mahasiswa pada waktu itu akan kemungkinan terseretnya mahasiswa dalam arus politisasi yang mulai dienggani itu. Banyak tokoh-tokoh gerakan mahasiswa 1966 yang masuk dalam pusaran permainan politik sebagai imbas –mungkin juga sebagai hadiah atau reward atas keberhasilan mereka menumbangkan Orde Soekarno. Di satu pihak enggan terhadap politik sebagai panglima, di lain pihak terus terlibat dalam aktivitas politik.

Agar tidak menjadi korban politik, mahasiswa-mahasiswa di kampus-kampus terkemuka di Indonesia waktu itu tampak banyak yang terpesona pada fenomena yang dimunculkan oleh arus utama aspirasi mahasiswa Bandung dan Jakarta dengan gagasan back to campus-nya. Tetapi di kemudian hari banyak juga yang menyesalkan fenomena ini, karena tanpa disadari gagasan back to campus ternyata dimanfaatkan oleh partner terpercaya mahasiswa (baca: ABRI) dalam penggulingan Soekarno di tahun 1966, untuk menggiring mahasiswa kembali mengisi ruang-ruang aktivitas akademiknya di perguruan tinggi. Sehingga, memberikan kesempatan ABRI untuk dengan leluasa mengambil alih inisiatif kekuasaan pemerintahan bangsa dan negara secara monolit. Tidak terbersit sedikitpun pikiran pada waktu itu untuk mengasramakan kembali (back to barrack) ABRI dan menormalisasikan kekuasaan pemerintahan sipil negara. Orang seakan-akan melupakan bahwa masa Orde Soekarno untuk sebagian besar juga diisi oleh masa kekuasaan militeristis yang diintrodusir melalui pernyataan Soekarno (yang juga adalah Panglima Tertinggi ABRI) tentang negara dalam keadaan bahaya (SOB) yang pada hakekatnya adalah keadaan darurat militer. Melalui kondisi inilah sebagian besar fungsi-fungsi pemerintahan normal sipil diambil alih oleh kekuatan-kekuatan militer bersenjata. Pada waktu itu tanpa disadari mungkin Indonesia tercatat sebagai negara yang kabinetnya paling banyak diisi kalangan militer.

Berlanjut ke Bagian 2

Resep Naturalisasi Sepakbola sampai Polri dan KPK

“Walau masih setengah bergurau, kini muncul lontaran-lontaran ide, bagaimana kalau kepolisian dan kejaksaan kita, bahkan kalau perlu lembaga-lembaga peradilan kita, juga dinaturalisasi. Setidaknya menggunakan ‘pemain’ asing yang professional untuk mengisi pos-pos penting agar penegakan hukum menjadi lebih baik. Kalau KPK dalam setahun mendatang, setelah mendapat Ketua baru, Busyro Muqoddas, tetap saja tak berhasil, perlu dinaturalisasi juga. Malah ada gurauan ekstrim, bila perlu Number One dan Number Two juga menggunakan tokoh naturalisasi. Barrack Obama mau atau tidak ya, dinaturalisasi setelah purna tugas di AS?”

NATURALISASI pemain asing yang dilakukan beberapa negara kawasan ASEAN, ternyata menjadi resep ampuh bagi terpicunya kemajuan prestasi tim nasional sepakbola di negara-negara tersebut. ‘Pelopor’nya adalah Singapura, yang menaturalisasi sejumlah pemain asal Eropa, untuk menambah kekuatan dan kualitas tim nasional yang sering dijuluki Negeri Singa itu. Padahal, kecuali di kebun binatang, negara pulau (kota) itu tak pernah menjadi habitat binatang asli asal Afrika itu. ‘Singa’ satu-satunya yang asli Singapura adalah sebuah patung batu yang terletak di sebuah ‘taman’ kota.

Naturalisasi pemain sepakbola yang tidak tanggung-tanggung dilakukan oleh Filipina, setelah selama ini menjadi bulan-bulanan tim nasional negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, Myanmar, Singapura, Vietnam dan juga Indonesia. Kesebelasan nasional Indonesia pernah menghajarnya dengan 13-1. Tapi kini, setelah menaturalisasi tak kurang dari 8 pemain asal Eropa, Kesebelasan nasional Filipina telah menjelma sebagai kekuatan baru yang cukup menggentarkan. Hari ini Minggu 19 Desember Filipina akan menghadapi tim nasional Indonesia dalam pertandingan ‘tandang’nya di Jakarta. Pada pertandingan ‘home’ –tapi meminjam Jakarta sebagai domisili– Filipina dikalahkan 0-1 oleh Indonesia melalui suatu pertarungan yang tidak mudah.

Tim nasional Indonesia yang bertarung di Piala AFF kali ini, juga adalah sebuah kesebelasan yang ikut trend mode menggunakan pemain naturalisasi, salah satunya pemain asal Urugay, Christian Gonzales, yang mau menjadi WNI, antara lain karena faktor perkawinannya dengan seorang perempuan Indonesia, Eva Siregar. Pemain naturalisasi lainnya, Irfan Bachdim, pemain muda yang ada darah Indonesianya dan selama ini merumput di Belanda.

Kehadiran kedua pemain naturalisasi itu, menjadi semacam ‘blessing in disguise’, memicu motivasi para pemain natural untuk bersaing mendapat dan mempertahankan tempatnya di tim nasional. Dalam babak penyisihan group yang lalu, para pemain natural terlihat berupaya menampilkan permainan terbaiknya –lebih dari biasanya seperti yang terlihat selama ini– untuk memenangkan pertandingan-pertandingan. Apalagi, pelatihnya juga pelatih asing yang cukup berwibawa karena memang berkualitas.

MESKIPUN bagi banyak orang masih terasa agak saru, kenapa harus naturalisasi sebelum bisa ‘bicara’, namun dengan keberhasilan ‘mendadak’ seperti yang dicapai dalam turnamen Piala AFF kali ini, antusiasme dan kegembiraan cukup meluap. Semoga, hari Minggu 19 Desember ini, tim nasional bisa menang. Kalau kalah –yang sangat tidak diharapkan– akan menjadi anti klimaks. Publik tidak siap menerima suatu kekalahan hari ini. Ketua Umum PSSI Nurdin Khalid yang selama ini dicerca habis-habisan –termasuk karena track record keterlibatannya pada beberapa kasus korupsi– akan digempur lebih hebat.

Kemenangan beruntun tim nasional saat ini menjadi satu kegembiraan tersendiri. Presiden SBY dan para pengiringnya pun jadi rajin menonton di Senayan. Publik seakan-akan menemukan kembali harapan yang selama ini telah hilang, bukan hanya di bidang persepakbolaan tetapi juga bahkan hingga ke berbagai bidang kehidupan lain karena aneka keterpurukan. Bayangkan, PSSI selama ini tak mampu memilih belasan pemain yang bermutu terbaik di antara 220 juta rakyat, dan menciptakan satu kesebelasan nasional yang tangguh, padahal sepakbola adalah olahraga kecintaan rakyat. Kalah oleh sejumlah negara Afrika yang dalam banyak hal negaranya dianggap masih lebih terkebelakang dibanding Indonesia. Konon, ini semua terjadi, karena perilaku KKN juga sudah merasuk ke tubuh PSSI. Banyak bibit berbakat kandas, karena banyak klub yang juga sudah dirasuk perilaku KKN, selain bahwa PSSI memang belum berhasil menciptakan suatu iklim persepakbolaan yang baik dan bersih.

Naturalisasi pemain lalu menjadi obat penyembuh dalam suatu jalur pintas. Hasilnya, kok, bisa baik. Entah akan manjur untuk berapa lama. Tentu orang berharap, kali ini justru menjadi titik awal bagi kemajuan tim nasional hingga ke masa depan. Tetapi semua orang tampaknya bersepakat, yang lagi bagus sekarang ini adalah para pemainnya, dan pelatihnya, bukan PSSI-nya. Maka baju-baju kaus yang laris diborong publik adalah baju kau Timnas berwarna merah dengan logo Garuda di dada. Seorang tokoh dalam sebuah kartun di sebuah harian diprotes temannya karena memakai baju kaus dengan tulisan PSSI di dada. Di Stadion Utama Gelora Bung Karno, publik tetap meneriakkan “Nurdin Khalid turun!” sambil meneriakkan yel-yel mendukung tim nasional.

Kalau naturalisasi bisa manjur untuk membuat persepakbolaan lebih maju, demikian kata orang, kenapa tidak dilakukan naturalisasi di bidang lain? Dulu, di tahun 1980-an petugas Bea Cukai sempat dibangkucadangkan, dan tugasnya mengawal proses impor-ekspor pada gerbang-gerbang ekonomi-perdagangan, terutama di pelabuhan-pelabuhan, dikontrakkan kepada lembaga asing SGS dengan dibantu pemain lokal Sucofindo. Hasilnya ternyata bagus, ekspor-impor lancar, kebocoran berhasil disumbat, biaya siluman hilang.

Walau masih setengah bergurau, kini muncul lontaran-lontaran ide, bagaimana kalau kepolisian dan kejaksaan kita, bahkan kalau perlu lembaga-lembaga peradilan kita, juga dinaturalisasi? Setidaknya menggunakan ‘pemain’ asing yang professional untuk mengisi pos-pos penting agar penegakan hukum menjadi lebih baik. Kalau KPK dalam setahun mendatang, setelah mendapat Ketua baru, Busyro Muqoddas, tetap saja tak berhasil, perlu dinaturalisasi juga. Malah ada gurauan ekstrim, bila perlu Number One dan Number Two juga menggunakan tokoh naturalisasi. Barrack Obama mau atau tidak ya, dinaturalisasi setelah purna tugas di AS?

Tumbal Devisa Negara

“Tetapi, percayakah anda bahwa pemerintah sanggup untuk itu semua? Sekali lagi, 9 dari 10, tidak akan sanggup. Para TKI/TKW itu –yang umumnya ada dalam situasi to be or not to be dalam menghadapi ketidakpastian hidup di Indonesia ini, sehingga ‘berani’ menyerempet bahaya– akan masih melanjutkan peranannya sebagai penghasil devisa, namun dalam posisi sebagai tumbal devisa belaka”.

JIKA para guru diberi gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, maka tak kalah hebat para TKI dan TKW yang mencari nafkah di mancanegara, dijuluki sebagai pahlawan devisa. Semua itu gelar yang muluk-muluk saja, karena para guru tetap saja tak dihargai jasanya secara layak, dan para TKI/TKW hanyalah manusia-manusia korban. Tahun lalu, devisa yang dihasilkan dari Tenaga Kerja Indonesia, termasuk Tenaga Kerja Wanita, mencapai US$ 6,617,000,000. sehingga berada pada urutan kedua setelah penghasilan devisa dari sektor migas. Menurut angka terbaru November 2010, kiriman uang ke Indonesia dari 4,3 juta TKI/TKW sudah mencapai US$ 7,1 milliar setara dengan kurang lebih 63 trilliun rupiah. Pada awal pemerintahan SBY periode pertama, devisa dari TKI itu hanya US$ 1,8 milliar, yang berarti meningkat 4 kali lipat selama 6 tahun ini. Pantaslah kalau banyak yang mengelu-elukan para TKI/TKW itu sebagai pahlawan devisa. Suatu keberhasilan ekonomi?

Secara kuantitatif, bila sekedar menjadikan perolehan devisa sebagai ukuran, maka pencapaian dari hasil ekspor tenaga kerja ini barangkali dapat dikategorikan sebagai semacam keberhasilan ekonomi. Apalagi bila melihat bahwa dalam ekspor tenaga kerja ini, terdapat sejumlah tenaga yang berkategori sebagai teknisi menengah untuk proyek-proyek konstruksi seperti di Uni Emirat Arab, tenaga pekerja pembuatan jalan tol di Malaysia dan Filipina (tempo hari), atau tenaga-tenaga perawat medis ke beberapa negara. Tetapi sayang seribu kali sayang, mayoritas pekerja yang diekspor ke luar negeri itu (termasuk tenaga kerja illegal) adalah tenaga-tenaga kasar berkualitas minim. Ada pekerja kasar untuk memenuhi kebutuhan usaha perkebunan dan industri kecil di Malaysia Barat dan Timur, atau ke berbagai proyek di sejumlah negara Timur Tengah. Dan yang paling banyak adalah para pembantu rumah tangga, terutama ke Kerajaan Saudi Arabia dan negara-negara kerajaan Timur Tengah lainnya serta Kerajaan Malaysia. Di tempat-tempat yang disebut terakhir inilah masalah tak kunjung henti terjadi.

Pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga –yang biasa juga diberi nama lebih terhormat sebagai pramuwisma– sebenarnya bukanlah pekerjaan hina. Namun ada sejumlah faktor yang menyebabkan manusia Indonesia dengan profesi itu menjadi sumber ‘penghinaan’ dan penurunan harkat dan martabat Indonesia, ketika profesi itu dijadikan bagian dari komoditi ekspor tenaga kerja ke negara-negara di mana tata nilai feodalistik masih menjadi pegangan sebagian terbesar masyarakat setempat, seperti negara-negara kerajaan Timur Tengah dan Malaysia di Asia Tenggara. Di negara-negara tersebut, meskipun kemajuan ekonomi dan kelimpahan materi telah membawa masyarakat seakan-akan menjadi masyarakat modern secara lahiriah, tetapi dalam sanubari sebagian manusia-manusia warga kerajaan itu masih terdapat kerak-kerak endapan nilai-nilai tradisional yang tidak modern. Apalagi, di sebagian besar negara-negara itu, kemajuan ekonomi terjadi bukan terutama sebagai hasil kerja keras melainkan lebih karena berbagai keberuntungan, terutama dari minyak, yang menghadirkan sindrom orang kaya baru.

Bagi sebagian besar masyarakat di negara-negara kerajaan Timur Tengah itu –dengan segala hormat dan maaf harus dikatakan– para pemberi jasa sebagai pembantu rumah tangga adalah khadam atau budak. Saat mereka membayar sesuai kontrak dengan perusahaan jasa tenaga kerja (PJTKI), mereka cenderung merasa telah membeli khadam. Dalam konsep perbudakan, khadam menjadi milik yang bisa diperlakukan sekehendak hati. Tentu saja terdapat sejumlah pengecualian, tapi secara umum sikap mental masyarakat setempat adalah demikian. Ir Tati Sumiarno (almarhum), anggota DPR-RI tahun 1970-an hingga 1980-an, yang pernah mengadakan semacam penelitian khusus mengenai TKW di Saudi Arabia dan beberapa negara Timur Tengah, pernah bertemu dengan sejumlah lelaki setempat yang menyampaikan pandangan vulgar seraya mengutip sebuah ayat sebagai pembenaran, bahwa mereka bisa menggunakan budak perempuan untuk memenuhi hasrat ‘alamiah’ mereka. Pasti itu merupakan penafsiran sesat terhadap suatu ayat Al-Quran dalam Surat An’nisa (Perempuan-perempuan), yang berbunyi, “….. Tetapi jika kamu takut , bahwa tiada akan berlaku adil, kawinilah seorang saja, atau pakailah hamba sahaya…”.

Penegakan hukum di kerajaan-kerajaan Arab Timur Tengah tidak bisa diharapkan berpihak kepada para khadam, khususnya kaum perempuan. Banyak perempuan yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga dari waktu ke waktu –sehingga menjadi cerita yang sangat klasik– mengalami pelecehan seksual, kalau bukan oleh ayah yang menjadi kepala rumah tangga, oleh anak laki-laki atau laki-laki anggota keluarga lainnya di rumah itu. Sang isteri atau kalangan perempuan keluarga itu cenderung menutupi kesalahan sang suami atau anak laki-lakinya dan dalam pengaduan hukum yang dilakukan, selalu sang TKW yang disudutkan. Dipenjara dalam jangka waktu lama tanpa proses peradilan, atau kalau diadili juga, menjadi terdakwa tunggal. Paling kontroversial, pernah ada TKW yang dihukum sebagai pelaku perzinahan, tetapi pelaku lelaki pasangan zinahnya tak tersentuh hukum. Lalu dengan siapa sang TKW berzinah? Namun, yang paling banyak terjadi adalah bahwa bila ada TKW yang ketahuan melakukan hubungan badan dengan majikan lelakinya (atau lelaki lain di rumah itu), isteri dan anggota keluarga lainnya tidak memilih menyelesaikan secara hukum, melainkan menjalankan aksi balas dendam kepada sang TKW. Sang TKW dijadikan bulan-bulanan penyiksaan secara fisik dan batiniah dalam jangka waktu panjang. Gajinya dihentikan. Jika beruntung, bisa melarikan diri. Tetapi melarikan diri tak selalu berarti berakhirnya penderitaan.

Tak selalu masalah seksualitas menjadi pemicu terjadinya penyiksaan kepada seorang TKW. Beberapa majikan mengaku sangat kesal terhadap kebodohan dan ketidakbecusan kerja para pembantu rumah tangga dari Indonesia, sehingga khilaf melampiaskan kekesalan dengan tindak kekerasan. Para majikan itu melakukan ‘pembelaan’ diri bahwa mereka menjadi emosional karena para pembantu rumah tangga itu betul-betul berada di bawah standar kualitas yang dijanjikan oleh para agen tenaga kerja, padahal mereka sudah membayar uang jasa yang cukup tinggi. Mereka merasa tertipu. Dan pelampiasan kekesalan itu sepenuhnya tertumpah kepada sang TKW.

Para pengguna jasa pembantu rumah tangga di negara-negara kerajaan di Arab dan juga Malaysia secara umum adalah kelompok masyarakat setempat dengan strata ekonomi mampu, makanya mereka bisa membayar fee agen tenaga kerja yang cukup tinggi. Sebagai imbalannya mereka mengharapkan tenaga kerja yang cukup trampil. Bisa menggunakan alat-alat rumah tangga yang sudah cukup modern, seterika uap, mesin cuci, dapur dengan peralatan yang sedikit lebih canggih, electric cleaner dan berbagai peralatan rumah tangga cukup modern lainnya. Beberapa tenaga kerja yang pernah menjadi pembantu di rumah-rumah tangga di Jakarta dan kota besar lainnya, sudah cukup mampu dan terbiasa dengan peralatan-peralatan baru seperti itu. Tetapi sebagian besar perusahaan jasa pengerah tenaga kerja dari Indonesia, malah terbanyak mengirim tenaga-tenaga yang ‘tembak langsung’ dari wilayah-wilayah non urban yang masih gamang dengan peralatan rumah tangga yang sudah lebih canggih yang umumnya serba elektronik. Memang ada persyaratan, antara lain, berupa sertifikat pelatihan kerja, tetapi kebanyakan dipalsukan oleh para agen tenaga kerja itu untuk mengejar omzet. Jangankan itu, nama dan identitas lainnya pun sering dipalsukan. Bila para pengguna jasa kemudian merasa tertipu, bisa dipahami. Tapi yang menjadi korban adalah sang TKW.

Perilaku sebagian terbesar perusahaan jasa pengerah tenaga kerja seperti itu sangat tidak bertanggungjawab, dan semata-mata hanya mengejar keuntungan finansial. Dan ketika ada komplain atau bahkan ekses sebagai ekor dari perbuatan mereka yang tak bertanggungjawab itu, mereka cenderung tidak mau bertanggungjawab. Kadang-kadang kegiatan ekspor tenaga kerja secara tak bertanggungjawab itu, tak bisa lagi dibedakan dengan praktek human trafficking. Bedanya hanya bahwa perempuan-perempuan yang menjadi komoditi perdagangan manusia itu adalah untuk memasok keperluan dunia pelacuran, tapi yang ini memasok ‘domba-domba’ santapan kekejaman dan hasrat tak manusiawi para majikan di mancanegara. Seraya mengorbankan harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Para pemerintah di Indonesia yang sudah silih berganti beberapa kali, nyaris tak mungkin bisa diharapkan menghentikan ekspor TKI/TKW yang kerapkali sudah menyerupai human trafficking atau perdagangan manusia yang sesungguhnya. Devisa milliaran dollar, sangat menggiurkan, sayang untuk dibuang, bahkan demi harkat dan martabat manusia Indonesia sekalipun. Perilaku merendahkan, menghina, atau apapun lagi namanya dari rakyat dan pemerintah Saudi Arabia serta negara-negara Arab lainnya maupun Malaysia, terkait TKW ini rela ditelan saja. Para pemerintah, termasuk pemerintahan yang sekarang, lebih memilih untuk ‘memerangi’ eksesnya saja.

Menanggapi sejumlah ekses terbaru yang menimpa sejumlah TKW, Presiden SBY menyesali terlambatnya peristiwa-peristiwa itu diketahui, lalu mengajukan gagasan untuk melengkapi para TKW dengan telpon genggam. Umumnya para TKW sudah punya alat komunikasi itu, tetapi begitu masalah mulai timbul, para majikan menyita HP para pembantu rumah tangga itu. Namun terlepas dari itu, kalau peristiwa itu cepat bisa diketahui, pemerintah mau bikin apa? Buktinya, hampir dalam banyak peristiwa pemerintah tak bisa banyak berbuat. Para petinggi pemerintah kita hanya bisa acting marah-marah dan sedih-sedihan setiap kali ada manusia Indonesia yang diberantakkan di negeri orang atau dikirim kembali ke tanah air sebagai jenazah. Selain itu ‘lobby’ para pengusaha jasa pengerah tenaga kerja lebih kuat sehingga banyak ‘skandal’ tertutupi dan terhapus jejaknya. Jangankan menangani masalah jauh di negeri orang, menghadapi masalah pemerasan TKI/TKW yang pulang melalui Bandara Soekarno-Hatta saja, petugas pemerintah terseok-seok, kalau tidak malah terlibat.

APAKAH pengiriman TKI/TKW sebagai komoditi ekspor dihentikan saja? Sewaktu anggota DPR-RI Tati Sumiarno dan kawan-kawan maju menyampaikan usulan perbaikan pengiriman TKI/TKW dan bila perlu menghentikannya jika tak mampu menangani dengan benar, Menteri Tenaga Kerja masa Presiden Soeharto kala itu, malah agak marah dan menganggap para anggota DPR itu kurang nasionalis dan tak mendukung pembangunan nasional. Siapa sebenarnya yang kurang nasionalis? Di lain pihak, seorang politisi partai politik Islam kala itu, mengkomplain pengungkapan kejahatan para majikan di Saudi Arabia terhadap TKW sebagai bagian dari sikap anti Islam. Memangnya orang Arab identik dengan Islam? Usulan serupa saat ini, 9 dari 10 bisa dipastikan akan ditolak pemerintah. Ketua Umum Partai Demokrat yang menjadi partai utama pendukung pemerintahan SBY saat ini, mengusulkan moratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI/TKW. Itupun bisa diperkirakan takkan dilakukan pemerintah. Kalau begitu, pilihannya adalah perbaikan-perbaikan saja? Baik, nomor satu tertibkan dulu para pengusaha jasa pengerah tenaga kerja agar berusaha dengan baik, benar dan manusiawi agar bisa dibedakan dengan praktek human trafficking. Menteri Tenaga Kerja diharap bisa memperbaiki diri dan jajarannya agar seluruh ketentuan yang untuk sementara ini sudah bisa dianggap memadai, termasuk mekanisme perlindungan hukum bagi para TKI/TKW, dijalankan dengan semestinya, sambil melakukan penyempurnaan untuk menciptakan barisan tenaga kerja Indonesia yang berkualitas sehingga layak untuk di-mancanegara-kan secara bermartabat.

Tetapi, percayakah anda bahwa pemerintah sanggup untuk itu semua? Sekali lagi, 9 dari 10, tidak akan sanggup. Para TKI/TKW itu –yang umumnya ada dalam situasi to be or not to be dalam menghadapi ketidakpastian hidup di Indonesia ini, sehingga ‘berani’ menyerempet bahaya– akan masih melanjutkan peranannya sebagai penghasil devisa, namun dalam posisi sebagai tumbal devisa belaka.

Lelucon Dalam Kehidupan Politik Lelucon

“KEHIDUPAN politik kini memang makin penuh canda dan kelucuan, selain penuh acting (namun minus action). Tidak percuma para komedian dan bintang acting masuk gelanggang politik dan pemerintahan”.

DALAM sebuah catatan keluhan penumpang sebuah perusahaan bus antar propinsi, ada komplain yang berbunyi: “Full AC, Full Music, WC Full”. Ada situasi tertentu dalam kehidupan politik masa kini sering dianalogikan dengan WC, yaitu dalam hal ‘bau’. Kalau seseorang baru masuk ke ruang khusus itu, ia dengan segera bisa mencium betapa tak nyamannya aroma udara di dalamnya. Tetapi setelah berapa lama di dalam, lama-lama bau itu takkan terendus lagi oleh indera penciuman. Banyak orang saat mengamati kehidupan politik dari luar, mengatakan politik itu ‘kotor’ –penuh tipu daya, manipulasi, menghalalkan segala cara sambil mengharamkan sifat-sifat altruistik. Namun begitu seseorang ‘terbawa’ atau membawa diri masuk ke dunia politik, lama-lama yang dianggap ‘kotor’ itu tidak lagi betul-betul kotor dan bahkan pada akhirnya sanggup dikerjakan dengan nyaman tanpa rasa bersalah lagi.

Kehidupan politik Indonesia 2010, selain penuh pertengkaran, juga dipenuhi oleh ejek mengejek, termasuk dalam bentuk lelucon-lelucon sindiran lewat media SMS, Facebook, Twitter dan yang semacamnya. Namun tak kalah sering, kehidupan politik itu sendiri hadir sebagai lelucon yang belum tentu selalu lucu.

KARENA sedang menjadi Presiden, tentu saja Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk tokoh yang paling sering jadi sorotan joke, sindiran sampai serangan politik. Dari yang agak enak sampai yang sangat tidak enak. Pasti SBY yang disasar ketika beredar luas sms tentang type kepemimpinan yang tidak mampu melakukan action namun hanya bisa acting. Katanya pemerintahan kita sekarang tidak sanggup menegakkan tata tertib melainkan hanya tata tutur.

Ada juga tudingan bahwa dalam soal TKW, pemimpin kita turun tangan, tapi soal Gayus Tambunan, lepas tangan. Lalu dalam soal Mafia Hukum cuci tangan. Ini tentu dihubungkan dengan hasil sidang kabinet beberapa hari lalu yang sangat memperhatikan masalah nasib TKW yang jadi korban penganiayaan di Arab (dan juga Malaysia). Mengenai soal Gayus jalan-jalan sampai ke Bali, Presiden memang menyuruh cari tahu siapa yang meloloskan dan untuk apa Gayus ke Bali, tapi ada pernyataan tambahan bahwa Presiden tidak dapat mencampuri urusan hukum.

Namun, dalam soal Gayus Tambunan yang bebas melenggang keluar tahanan Mako Brimob untuk jalan-jalan nonton ke Bali, tak pelak lagi Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yag dikenal sebagai Ical menjadi sasaran utama. Tampaknya sebagian pers giat mengarahkan bahwa kepergian Gayus ke Bali diatur oleh orang-orang Ical dan untuk bertemu dengan dirinya. Pasti dikaitkan dengan kecurigaan bahwa Ical akan merundingkan soal mafia pajak Gayus yang menyangkut penyelamatan perusahaan-perusahaannya. Padahal, perusahaan-perusahaan besar yang disebut-sebut terlibat skandal Gayus, bukan perusahaan Ical sendirian. Ada puluhan perusahaan yang juga disebut-sebut. Tetapi karena Ical adalah Ketua Umum Golkar, kesempatan emas ini digunakan beberapa politisi partai lain untuk memojokkan Ical. Pasti para politisi itu tahu bahwa keterlibatan Ical dengan Gayus sulit untuk dibuktikan. Bahkan tak mungkin sebagai pemilik perusahaan-perusahaan itu turun tangan sendiri mengurus soal pajak seperti itu. Kalau betul ada kejahatan pajak, pasti para eksekutif perusahaannyalah yang bertanggungjawab secara hukum. Bukan mustahil ‘pemilik’ samasekali tak mengetahui. Terkait pertemuan dengan Gayus di Bali, apakah pengusaha cerdas seperti Ical begitu bodoh turun tangan sendiri bertemu dengan Gayus? Tapi namanya politik, kapan lagi ada kesempatan seempuk ini untuk menghantam Golkar atau Ical pribadi?

Ada yang bilang sejumlah perusahaan besar yang namanya disebut-sebut terlibat, malah ikutan mendorong terjadinya serangan terhadap Aburizal Bakrie, mungkin untuk mengalihkan perhatian. Dalam suatu pertemuan, seorang politisi partai yang sudah disebut-sebut keterlibatannya dengan kasus gratifikasi/suap terkait skandal traveller cheque pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom, dengan berapi-api mengomentari kasus Aburizal-Gayus. ‘Mental’nya kuat juga. Dan kemungkinan besar kulitnya juga tebal. Untuk sementara, Ketua Umum Golkar itu harus rela mengurut dada saja. Foto Gayus dengan wig yang tertangkap kamera wartawan berdekatan dengan seorang perempuan berjilbab saat menonton tennis di Bali, disulap. Wajah sang perempuan diganti dengan wajah Aburizal Bakrie. Foto itu beredar luas via HP dan internet. Ada-ada saja.

Seorang politisi lain mengedarkan lelucon, bahwa sejak foto Gayus memakai wig beredar, angka penjualan wig merosot drastis di kalangan kaum perempuan, tetapi meningkat di kalangan waria. WIG juga menjadi akronim bagi berbagai ungkapan yang kebanyakan serba konyol. Mantan anggota Kabinet periode pertama SBY, Fahmi Idris, bahkan membuat sebuah pantun tentang Gayus dan dikutip pers. Dan soal Gayus menangis di depan persidangan pasca Bali Tour, banyak yang bilang, bukan karena menyesali perbuatannya, tetapi menangisi pengeluarannya yang ratusan juta tanpa ada after sales service berupa jaminan keamanan kerahasiaan. Tetapi kejadian sesungguhnya, katanya, adalah Gayus menyesali diri kenapa tidak berhasil memperoleh wig dan topi model Mbah Surip. Menarik perhatian, tetapi lebih sulit dikenali.

KEHIDUPAN politik kini memang makin penuh canda dan kelucuan, selain penuh acting (namun minus action). Tidak percuma para komedian dan bintang acting masuk gelanggang politik dan pemerintahan. Ada keberhasilan ‘pencerahan’ di dunia perlakonan.

Serumpun Dalam Duri: Indonesia-Malaysia (2)

Catatan pengantar: Lanjutan tulisan Serumpun Dalam Duri ini adalah tulisan yang dengan pertimbangan tertentu beberapa bulan yang lalu sengaja ditunda. Kini, dua bagian lanjutan akan disajikan, dengan beberapa perubahan, dengan tujuan bisa menjadi kontribusi pemikiran konstruktif dalam konteks penciptaan suatu hubungan yang lebih baik berdasar akal sehat antar kedua bangsa serumpun. Harus diakui kedua belah pihak selama ini terlihat sama buruknya dalam bersikap yang tampaknya tak terlepas dari kegagalan para pemimpin kedua bangsa dalam mendidik rakyatnya masing-masing menjadi bangsa yang rasional, beretika tanpa arogansi dan jauh dari nasionalisme sempit yang kuno. Inikah yang disebut sindrom melayu?

SEORANG tokoh negeri bekas jajahan di Asia, lebih dari 40 tahun lampau pernah menyampaikan suatu pernyataan yang terasa saru, bahwa negerinya beruntung dijajah Inggeris dan bukan oleh negara kolonial seperti Belanda atau Spanyol dan Portugis. Penjajahan oleh Inggeris, ujarnya, lebih baik daripada kolonialis lainnya, terutama Portugal yang menjajah dengan cara paling buruk. Tetapi penjajah tetap saja penjajah. Selama ia menjajah ia tetap buruk.

Negara-negara Asia yang pernah dijajah Inggeris antara lain adalah India-Pakistan, Ceylon, semenanjung Malaya, pulau Singapura dan beberapa wilayah di bagian utara Kalimantan. Wilayah bekas jajahan Belanda yang terbesar dan satu-satunya di Asia adalah Indonesia. Sedang Portugal sempat menancapkan kekuasaannya di wilayah-wilayah kecil semacam Goa di jazirah India, Macao di ujung kaki daratan Cina dan Timor Timur. Perancis pernah menguasai Vietnam dan beberapa wilayah Indochina lainnya, sementara Spanyol sudah lebih dahulu terlempar dari Asia ketika harus melepas Filipina.

Apakah Inggeris menjajah dengan cara lebih baik? Tak mudah mengatakan demikian, kecuali bahwa memang Ingeris punya sejarah melepaskan bekas jajahannya untuk merdeka dengan cara yang kurang atau tanpa pertumpahan darah. Kalau diperbandingkan, mungkin masih dapat dikatakan Inggeris memang lesser evil di deretan kolonialis tradisional. Setelah dimerdekakan Inggeris tahun 1957, sebagian terbesar rakyat semenanjung Malaya, terutama keturunan Melayu yang disebut bumiputera, berada di bawah garis kemiskinan. Inggeris dianggap lebih memanjakan etnis cina di semenanjung Malaya, dalam pendidikan maupun dalam pemberian kesempatan dalam kehidupan ekonomi. Tetapi terlepas dari itu, harus diakui bahwa etnis cina memang lebih ulet dan lebih bermotivasi dalam pergulatan  ekonomi serta lebih mampu memanfaatkan kesempatan pendidikan yang lebih baik bagi generasi muda mereka, bila dibandingkan dengan etnis Melayu.

Untuk mengejar ketertinggalan etnis Melayu, pemerintahan Persekutuan Tanah Melayu maupun kemudian Malaysia, melahirkan berbagai kebijakan yang lebih protektif dan penuh kemudahan bagi etnis Melayu. Kebijakan-kebijakan seperti ini tentu saja tidak menyenangkan bagi penduduk semenanjung lainnya yang berasal dari etnis cina atau keturunan hindu. Berkali-kali terjadi kerusuhan sosial yang berdarah karenanya. Hingga kinipun ketegangan antar etnis masih tetap mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Malaysia. Tetapi bagaimanpun juga, kebijakan yang memanjakan etnis Melayu, pada akhirnya memang berhasil menempatkan penduduk keturunan Melayu cukup unggul dalam kehidupan ekonomi dan kehidupan politik maupun pemerintahan. Bila dulu mereka hanya unggul secara kuantitatif, kini mereka bisa menyamai etnis cina secara kualitatif, meskipun tetap tak mampu melampaui dalam aspek keuletan maupun kekuatan motivasi. Maka, masih selalu tersisa duri dalam selimut kehidupan bersama mereka.

BUKAN hanya hidup dengan duri dalam selimut di negerinya sendiri, bangsa baru bernama Malaysia yang berintikan etnis Melayu ini pun seringkali hidup serumpun dalam duri dengan tetangganya yang sama-sama berasal dari etnis Melayu yakni Indonesia. Padahal tercatat dalam sejarah bahwa sebelum proklamasi Indonesia sebagai suatu negara merdeka 17 Agustus 1945, pernah ada cita-cita bersama para pemimpin Asia Tenggara, terutama di antara pemimpin-pemimpin Indonesia dan para pemimpin etnis-etnis di Semenanjung Malaya, untuk memerdekakan diri sebagai satu negara –dan tentunya pada akhirnya melebur diri sebagai satu bangsa.

Indonesia di bawah Soekarno adalah salah satu pendukung utama untuk kemerdekaan Malaya, lepas dari kolonialisme Inggeris, sejalan dengan semangat yang tercetus dalam Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Inggeris akhirnya memberi Malaya kemerdekaan pada 31 Agustus 1957. Kemerdekaan Malaya tercatat sebagai salah satu proses kemerdekaan yang paling damai di dunia. Hadiah kemerdekaan itu disertai ‘keterikatan’ Malaysia dengan Persemakmuran Inggeris. Tetapi terlepas dari itu, untuk setidaknya selama lima tahun masa awal kemerdekaannya, negara baru yang mencakup semenanjung Malaya dan pulau Singapura yang lebih dikenal sebagai Persekutuan Tanah Melayu itu, bisa menikmati hubungan baik dan bersahabat dengan Republik Indonesia yang penduduk mayoritasnya adalah serumpun dengan rakyat Melayu semenanjung. Tetapi munculnya gagasan Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggeris merubah keadaan.

Gagasan pembentukan Federasi Malaysia adalah bagian dari rencana Inggeris memenuhi permintaan untuk juga memerdekakan tiga koloninya, yaitu Sabah, Sarawak dan Brunei yang terletak di bagian Utara Kalimantan. Namun Inggeris mensyaratkan agar bekas koloninya itu setelah bergabung dalam Federasi Malaysia tetap menjadi anggota Negara-negara Persemakmuran, dan dengan demikian berada dalam payung perlindungan ekonomi dan keamanan dari Inggeris. Satu dan lain hal, ini semua masih terkait dengan suasana Perang Dingin antara blok Barat dengan blok Timur kala itu. Soekarno melontarkan tuduhan bahwa federasi itu adalah bentukan Inggeris dan tak lain merupakan proyek Nekolim (Neo Kolonialisme). Sebaliknya ada kecurigaan terhadap Soekarno bahwa pemimpin Indonesia itu punya obsesi untuk membangun satu negara Indonesia Raya yang juga mencakup semenanjung dan Kalimantan bagian utara.

Hanya selang sehari setelah pengumuman pembentukan Federasi Malaysia tanpa Brunei, 16 September 1963,  massa yang dipelopori kelompok politik kiri –namun diikuti pula oleh kelompok politik yang tak berpendirian jelas dan opportunistik, meskipun tidak merupakan barisan PKI dan onderbouwnya– melakukan demonstrasi besar-besaran ke Kedutaan Besar Inggeris dan Persekutuan Tanah Melayu. Kedutaan Besar Inggeris dirusak dan dibakar oleh massa demonstran yang betul-betul anarkis. Ada pembakaran bendera Inggeris dan Malaya, ada pembakaran boneka meniru Tunku Abdul Rahman, dan tentu tak ketinggalan kata-kata penghinaan. Hanya barangkali tak ada lemparan tinja manusia, seperti demonstrasi di depan Kedubes Malaysia beberapa hari yang lalu. Bersamaan dengan itu, Departemen Luar Negeri yang dipimpin Dr Soebandrio mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur (Persekutuan Tanah Melayu).

Soebandrio yang juga membawahi BPI (Badan Pusat Intelejen) adalah pendorong utama bagi Soekarno dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Beberapa kegiatan ‘bawah tanah’ yang dijalankan di bawah arahan Soebandrio, bekerjasama dengan kelompok politik kiri Indonesia dan kaum komunis di Malaya, Singapura, Brunai dan Serawak maupun Sabah, telah menutup peluang tercapainya suatu hasil ‘damai’ jangka panjang melalui diplomasi. Padahal suatu pembicaraan mengenai rencana Federasi Malaysia telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM) Tunku Abdul Rahman di Tokyo 31 Mei – 1Juni 1963 dan sebenarnya sempat menciptakan peredaan ketegangan. Pertemuan di Tokyo itu disusul pertemuan segitiga tingkat Menteri Luar Negeri antara Jakarta, Kuala Lumpur dan Manila (yang berkepentingan ada penyelesaian ‘damai’ karena mempunyai klaim terhadap Sabah) yang mencari solusi mengenai rencana Federasi Malaysia tersebut pada 7-11 Juni 1963 di Manila.

Manuver Soebandrio, berupa operasi intelejen dan sejumlah operasi bawah tanah lainnya yang dijalankan sejak awal 1963, tinggal menunggu waktu untuk menjadi batu sandungan, begitu manuver-manuver dan operasi intelejen itu yang mengarah sebagai subversi menurut sudut pandang Malaya, terungkap ke permukaan. Ketika manuver-manuver Soebandrio tetap melanjut  selama sebulan berikutnya, dan tercium, Tunku Abdul Rahman ‘membalas’ dalam bentuk tindakan menandatangani perjanjian awal dengan Inggeris di London tentang pembentukan Federasi Malaysia yang semula akan dilaksana 31 Agustus 1963 bertepatan dengan perayaan kemerdekaan Malaya yang keenam. Tindakan Tunku ini memicu kemarahan Soekarno yang baru saja di awal Juni berunding dengan pemimpin Malaya itu, “Saya telah dikentuti”, ujar Soekarno ketus tanpa menggunakan lagi istilah yang lebih ‘halus’. Setelah itu Soekarno mengumumkan Operasi Dwikora untuk apa yang waktu itu populer disebut sebagai Aksi Pengganyangan Malaysia.

Karena Operasi Dwikora antara lain mencakup penyusupan-penyusupan militer ke beberapa wilayah Malaysia, tentu saja tercipta sejumlah luka dalam hubungan antara dua bangsa serumpun. Namun luka-luka itu berangsur sembuh ketika bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno, Indonesia di bawah Jenderal Soeharto resmi menghentikan konfrontasi terhadap Malaysia yang dilanjutkan dengan berbagai proses pemulihan hubungan baik antara kedua negara dan kemudian disusul pembentukan Asean. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an sejumlah anak muda Malaysia datang ke Indonesia untuk mengenyam pendidikan tinggi pada berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Pada saat yang sama, sejumlah perguruan tinggi di Malaysia mendatangkan sejumlah tenaga pengajar yang berkualitas dari Indonesia, untuk membantu negara itu membangun perguruan-perguruan tingginya menjadi institusi pendidikan tinggi yang bisa diandalkan. Dan mereka berhasil. Sejumlah generasi muda Malaysia yang menamatkan pendidikan tingginya di berbagai kota Indonesia, sepulangnya ke tanah air tercatat berhasil menjadi pemimpin baru yang menempati berbagai posisi penting dalam pemerintahan Malaysia maupun berbagai sektor yang memacu kemajuan Malaysia menjadi satu negeri yang berjaya.

Meskipun sumberdaya manusia Malaysia yang menjadi tulang punggung bagi Malaysia yang berjaya, tak semata-mata lulusan perguruan tinggi di Indonesia, tetapi bagaimanapun jumlahnya amat signifikan. Semestinya menurut logika, generasi baru Malaysia alumni Indonesia itu akan menjadi jembatan emas saling pengertian yang mendalam antara kedua negara, sehingga bisa menjadi sepasang bangsa serumpun yang bahu membahu mencapai kemajuan bersama di kawasan ini.

Berlanjut ke Bagian 3