“Dan sebagai bagian dari hasrat anti demokrasi dari kalangan kekuasaan, selain sekedar pengekangan terhadap kampus-kampus sebagai salah satu sumber utama sikap kritis, maka kampus pun perlu ‘diobrak-abrik’. Alat yang paling tepat untuk itu tak lain dari operasi-operasi intelejen sampai ke dalam kampus”. “Sikap represif kalangan penguasa, memicu aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar dan lebih besar lagi”.
MASIH pada pertengahan 1974, suatu sorotan yang terkait dengan militer kembali muncul di kalangan perguruan tinggi Bandung mengulangi sorotan di tahun 1970 tentang hubungan sipil-militer dan 1973 mengenai ketidakberesan pelaksanaan Wajib Latih Mahasiswa (Walawa). Kali ini menyangkut Wajib Militer yang lebih dikenal dengan singkatan Wamil. Beberapa pers kampus menempatkan masalah tersebut sebagai fokus sorotan. ‘Aspirasi’ misalnya menempatkan judul “Wamil: Bhakti atau Momok ?”. Ketua DM ITB yang baru, Prasetyo Sunaryo (1974-1975) yang terpilih setelah berakhirnya kepengurusan DM ITB 1973-1974 yang dipimpin Muslim Tampubolon, menyoroti konsep Wajib Militer yang dijalankan saat itu “belum jelas dan belum matang”. Menurut Prasetyo, di ITB, pemanggilan untuk mengikuti Wajib Militer ditujukan langsung kepada individu. Ini menunjukkan belum tertibnya prosedur pemanggilan. Di perguruan tinggi lainnya, seperti di Universitas Padjadjaran, pemanggilan Wamil melalui pimpinan fakultas tanpa sepengetahuan pimpinan universitas. Prasetyo menyangsikan urgensi dari Wamil. Hal ini menurutnya dapat bersumber dari masalah apakah tepat seorang sarjana yang merasa tidak mampu berkarier militer, dipanggil untuk Wamil. Dalam bahasa seorang dokter lulusan Universitas Padjadjaran, “yang saya tidak setujui dari Wamil adalah cara pemanggilan yang berupa paksaan”. Hal lain yang diprotes adalah mengenai jenjang kepangkatan. Bisa terjadi bahwa seorang sarjana lulusan 1974 dan sudah menjadi mahasiswa sejak 1967, seperti dicontohkan dr Ridad Agus, dalam kesatuan militernya terpaksa harus memberi hormat karena kalah pangkat kepada seorang lulusan Akabri 1973 yang baru lulus SMA pada tahun 1969.
Sorotan terhadap masalah Wamil pada pertengahan 1974 ini, sebagaimana sorotan serupa pada Mei 1973, tidak mendapat solusi dan jawaban yang jelas dari kalangan kekuasaan. Hal ini tak lain menunjukkan bahwa selain terdapatnya begitu banyak perbedaan pandangan kalangan perguruan tinggi dengan kalangan kekuasaan, khususnya militer, penguasa memang tidak ‘menyenangi’ kritik. Bagi penguasa, kritik hanya akan merintangi hasrat ‘memenangkan’ keinginannya sendiri diatas keinginan pihak lain. Penguasa hanya butuh mobilisasi dukungan untuk makin memperkokoh kekuasaan. Hal serupa berlaku dalam berbagai pokok persoalan lainnya, termasuk ke dalam hal yang lebih serius seperti mengenai masalah demokrasi. Dan sebagai bagian dari hasrat anti demokrasi dari kalangan kekuasaan, selain sekedar pengekangan terhadap kampus-kampus sebagai salah satu sumber utama sikap kritis, maka kampus pun perlu ‘diobrak-abrik’. Alat yang paling tepat untuk itu tak lain dari operasi-operasi intelejen sampai ke dalam kampus. Bila sebelum 1974, operasi-operasi intelejen yang dilancarkan ke kampus-kampus masih cukup terselubung, maka pada masa-masa sesudah Malari operasi-operasi intelejen itu dilakukan secara lebih terbuka.
Perbedaan pandangan antara kalangan perguruan tinggi dengan kalangan militer yang mendominasi rezim Soeharto, bukan hanya mengenai pokok soal seperti soal Wamil, tetapi meluas dan memasuki wilayah yang lebih prinsipil yakni mengenai masalah demokrasi dan kemanusiaan. Begitu kuat tekanan yang diberikan penguasa, sehingga di dalam menjawab tekanan tak jarang para mahasiswa harus ‘memainkan’ taktik dan diplomasi yang berkadar cukup tinggi. Mereka pun harus ekstra hati-hati karena kerap kali pula kata-kata mereka dibuat ‘salah’ mengerti oleh pers tertentu sehingga melahirkan judul-judul berita yang memberi pengertian terbalik, tetapi cukup aneh bahwa kesalahan seperti itu serentak dilakukan dua atau tiga media pers ‘lunak’ dan atau dikenal sangat ‘tunduk’ kepada kekuasaan.
DM ITB misalnya pada bulan Nopember 1974 pernah ditampilkan dalam berita seolah-olah mempersalahkan para aktivis 1973-1974, bahwa adanya kesalahan yang mengakibatkan Peristiwa 15 Januari di Jakarta telah membawa pengaruh tidak kecil terhadap aktivitas mahasiswa di Indonesia. Lalu menurut berita itu Ketua DM ITB (1974-1975) yang baru terpilih, Prasetyo Sunaryo dan kawan-kawan –Joseph Manurung, AM Tomo, Sahala R. Rajagukguk, M. Ismirham dan Junus Situmorang– diberitakan atas nama seluruh mahasiswa berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang dilakukan rekan-rekannya beberapa bulan lalu itu. Dalam pemberitaan Kompas (19 Nopember 1974) yang lebih bisa dipercaya, justru para fungsionaris DM ITB itu diberitakan menyatakan di depan Komisi IX DPR kerisauan mereka “bahwa pembinaan generasi muda oleh pemerintah dewasa ini dirasakan menghambat kreativitas generasi muda itu sendiri”, misalnya dengan keharusan bergiat melalui wadah KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Seyogyanya segala kegiatan mahasiswa sejauh mencerminkan Tri Dharma Perguruan Tinggi –Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat– tidak dihambat atau dibatasi. Sebelumnya, para mahasiswa itu mengungkap bahwa Menteri P&K Sjarif Thajeb menyatakan kepada mereka kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar kampus diperbolehkan sejauh kegiatan itu mencerminkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan disetujui rektor.
Tapi berdasarkan pengalaman empiris setelah beberapa bulan ‘bersama’ Sjarif Thajeb, para mahasiswa menyadari, banyak hal dari ucapan sang Menteri pada akhirnya ternyata tak dapat dijadikan pegangan. Perlahan namun pasti, wujud penguasa di mata kalangan perguruan tinggi, adalah penguasa yang makin militeristik, anti demokrasi dan anti kemanusiaan. Setelah tercekam dalam supresi selama beberapa lamanya, mahasiswa perlahan-lahan bangkit dan makin meningkatkan sikap kritisnya secara lebih nyata hingga 1976. Setelah Pemilihan Umum 1977, sejumlah dewan dan senat mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Bandung, mencetuskan Memorandum Mahasiswa Bandung yang berisi tuntutan perbaikan tubuh MPR/DPR-RI. Memorandum itu mereka sampaikan tepat pada hari pelantikan anggota MPR/DPR baru hasil Pemilihan Umum 1977, tanggal 1 Oktober 1977. Sebelumnya, 13 September 1977, sejumlah mahasiswa ITB, IPB dan UI bahkan membentuk ‘Dewan Perwakilan Rakyat Sementara’ mengganti DPR yang sedang reses, untuk mengisi apa yang mereka anggap sebagai ‘kekosongan’ ketatanegaraan setelah ‘non aktif’nya DPR lama sementara DPR baru belum dilantik. Laksus Kopkamtibda Jaya merasa perlu untuk menahan 8 mahasiswa anggota ‘DPR Sementara’ ini, sebagai bagian dari tindakan represif yang tak dapat ditawar lagi. Sikap represif kalangan penguasa, memicu aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar dan lebih besar lagi. Dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1977, usai upacara peringatan, ribuan mahasiswa dan pelajar Bandung turun berbaris ke jalan-jalan kota Bandung dalam ‘kawalan’ panser tentara.
Suatu ketegangan baru telah terpicu. Tatkala kritik mahasiswa makin meningkat, kalangan kekuasaan yang merasa ‘berhasil’ dengan cara-cara keras dalam memadamkan Peristiwa 15 Januari 1974, kembali mengulangi sikap-sikap keras dengan kadar yang semakin tinggi.
Berlanjut ke Bagian 3