EMPAT puluh tahun waktu berlalu setelah Peristiwa 15 Januari 1974, dan Indonesia awal 2019 masih tetap menghadapi beberapa titik persoalan ekonomi dan politik yang serupa. Dalam dua momen, amat menonjol kritik tajam tentang dominasi modal dan bantuan asing. Menjelang tahun 1974 Indonesia menjadi bagian dari protes luas atas dominasi (ekonomi) Jepang di regional Asia Tenggara. Sementara saat ini, pada tahun-tahun ini, Indonesia dipenuhi diskursus tajam mengenai dominasi ekonomi Republik Rakyat Tiongkok melalui tali temali hutang.
Bedanya, pada 45 tahun lalu titik kulminasi protes tercapai dan di Indonesia meletus pada akhirnya sebagai Peristiwa 15 Januari 1974. Terjadi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran yang oleh kalangan kekuasaan kala itu diberi akronim Malari atau ‘Malapetaka Limabelas Januari’ yang berkonotasi buruk dalam bingkai makar. Jenderal Soeharto sebenarnya nyaris tumbang, namun berhasil mendayung keluar di antara gelombang persaingan internal para jenderal maupun teknokrat di bawahnya.
Peking-Tokyo-Beijing
Protes besar-besaran anti Jepang di Asia Tenggara sebenarnya dimulai di Bangkok., berupa gerakan mahasiswa ‘Anti Japanese Goods’. Merambat ke Indonesia. Kala itu, bipolarisme dunia –akibat masih berlangsungnya Perang Dingin– masuk ke dalam lingkup nasional semua negara. Di Indonesia simbol pertarungannya adalah antara Ali Murtopo-Soedjono Hoemardani-CSIS-Jepang-Amerika versus Jenderal Soemitro-Hariman Siregar-Sjahrir –bersama maupun terpisah– sebagai kelompok kritis progressif. Continue reading 45 Tahun Peristiwa 15 Januari 1974: Peking-Tokyo-Beijing→
DALAM edisi hanya beberapa hari menjelang pecahnya Peristiwa 15 Januari 1974, yakni terbitan kedua sebelum dibreidel, Mingguan Mahasiswa Indonesia menurunkan sebuah berita ulasan di halaman pertama, “Kisah Di Belakang Issue”, dihiasi gambar Mayor Jenderal Ali Moertopo. Dalam berita itu Jenderal Soemitro menyebut adanya issue pergantian kepemimpinan nasional mulai 1 April 1974 dan upaya adu domba antara dirinya dengan beberapa jenderal dalam kekuasaan kala itu. Headline pada edisi yang sama berjudul ‘Api Bagi Penjual Bangsa’, dengan sub-judul ‘Dulu Haji Peking, Sekarang Haji Tokyo’. Lalu ada berita tentang tirakatan mahasiswa Yogya, ‘Tuhan Limpahkan Nistamu’. Sementara itu di kolom pojok Corat Coret dengan penjaga gawang Kontrolir, tertulis dalam empat baris, “Teka-teki awal tahun: Asap sudah mengebul. Tapi mana apinya?! Cari di eselon atas.”
ALI MOERTOPO DALAM ‘KISAH DI BALIK ISSUE’. “Bahwa meskipun yang lebih menonjol dari peristiwa tersebut adalah rivalitas Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo, sebenarnya yang terjadi adalah bahwa pertarungan kekuasaan kala itu adalah persaingan segi banyak. Diikuti oleh banyak kelompok dalam kekuasaan dengan kepentingan, tujuan dan taktik yang berbeda-beda.” (repro MI)
Sebenarnya, bila diukur dan dibaca dengan kacamata kebebasan seperti yang kini dinikmati pers, seluruh tulisan dan ulasan di atas, berkategori biasa-biasa saja. Tapi untuk kurun 40 tahun lampau itu, berita, sentilan dan ulasan semacam ini tak disenangi penguasa. Ketidaksenangan seperti itulah yang mungkin antara lain menjadi salah satu pemicu pembreidelan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Kopkamtib) maupun pencabutan Surat Izin Terbit media generasi muda itu oleh Departemen Penerangan. Formulasinya saat itu, melakukan penghasutan hingga penerbitannya yang terakhir dan mencampuri urusan politik tingkat tinggi.
Berita ulasan itu, selengkapnya adalah sebagai berikut.
TERASA datang begitu mendadak, tanpa angin tanpa hujan. Ibarat ‘curve’ dengan garis yang sedang menanjak, pernyataan Jenderal Soemitro di tanggal 2 Januari 1974 bagaikan membentuk garis patah, tiba-tiba. Dan terlepas dari ada atau tidaknya spekulasi yang melalui pernyataannya yang dramatis itu coba untuk dihapuskan, kejadian itu sendiri telah melahirkan spekulasi-spekulasi baru. “Kemarin kita semua dikejutkan dengan berita berisi ucapan-ucapan yang keras bernada peringatan tajam dari Wapangab/Wapangkopkamtib Jenderal Soemitro. Disertai dengan foto menunjukkan gaya dan wajah keberangan. Cucu-cucu pada bertanya kenapa justru Mayor Jenderal Ali Moertopo yang ada di sampingnya, wajahnya kelihatan senyum-senyum saja?,” demikian misalnya tertulis dalam Pojok Harian Muslim ‘Abadi’ (5/1).
Memang sangat mengejutkan. Dengan sendirinya orang bisa bertanya-tanya, ada apa sesungguhnya telah terjadi? Namun mereka yang cukup cermat, semestinya telah dapat membaca ‘perkembangan’ ini beberapa hari sebelumnya. Aspri Presiden, Ali Moertopo, yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang kerap ‘bertuah’ itu, setelah sekian lama boleh dikata berdiam diri saja, di penghujung tahun lalu tiba-tiba memberikan isyaratnya. Lewat wawancara persnya ia antara lain melontarkan semacam ramalan bahwa aksi-aksi mahasiswa sudah mereda di tahun 1974.
Kebetulan atau tidak, kemudian memang dapat disaksikan bahwa usaha-usaha untuk meredakan aksi-aksi mahasiswa di sekitar akhir tahun 1973, sesungguhnya sedang berjalan! Contoh yang terbuka adalah apa yang dialami Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (Baca MI 392, Minggu 1 Januari 1974). Postdam Hutasoit dan kawan-kawan yang kesemuanya adalah fungsionaris DMUI, menuduh kegatan-kegiatan Ketua DMUI Hariman Siregar sebagai pengkhianatan, manipulasi, dan mereka menyatakan tidak percaya lagi kepemimpinan Hariman. Suasana perpecahan masih meliputi UI waktu ini, namun agaknya dukungan terbesar tetap kepada Hariman Siregar.
Tak hanya sampai kepada ramalan meredanya aksi-aksi mahasiswa di tahun 1974, Ali Moertopo pun bicara lebih jauh. Jika dalam koran-koran yang berbahasa Indonesia, ia hanya membatasi diri dengan gejolak-gejolak sosial yang ditimbulkan oleh aksi-aksi mahasiswa, maka lewat koran ibukota berbahasa Inggeris The New Standard ia menyinggung masalah pimpinan nasional. Dan yang menarik, itu adalah edisi tanggal 31 Desember 1973. ”Janganlah ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan mengganti kepemimpinan nasional –nationalleadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Fikiran-fikiran demikian adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah berhasil.” Seraya itu ia memberikan contoh dari sejarah. “Runtuhnya banyak kerajaan-kerajaan dalam sejarah kita sendiri adalah disebabkan oleh kepemimpinan yang goyah dan dengan selalu mengingat pelajaran dari sejarah itu, tidak ada pilihan lain daripada memperkuat kepemimpinan nasional kita.”
Ke alamat siapa peringatan itu ditujukan Ali Moertopo, tentu saja tidak dikemukakan. Tapi yang jelas, posisi Jenderal Ali Moertopo di sini adalah sebagai pihak yang memberi peringatan.
Menarik pula untuk dicatat bahwa koran berbahasa Inggeris tersebut pada hari yang sama memuat juga sebuah berita “Pak Harto makes minor reshuffle” –Pak Harto akan melakukan reshuffle kecil. Dengan memuat gambar Laksamana Soedomo, berita itu ‘meramalkan’ bahwa Presiden Soeharto akan menjalankan tour of duty kecil di dalam eselon militer tertinggi. Laksamana Soedomo yang kini menjabat sebagai Wakil Panglima Kopkamtib akan diberi kedudukan yang lebih penting dari jabatannya sekarang. Jabatan apakah itu, hanya bisa direka-reka, karena berita itu sendiri tidak mengungkapkan lebih jauh. Namun, kiranya semua orang gampang mengetahui bahwa jabatan yang lebih penting daripada Wapangkopkamtib di lingkungan Hankamnas bisa dihitung dengan jari.
Pertemuan Terpisah. Maka datanglah pernyataan yang sangat mendadak itu dari Jenderal Soemitro, beda beberapa hari saja. Tapi bagi mereka yang mengikuti dapat mengetahui bahwa isi pernyataan tersebut adalah sama dengan peringatan Ali Moertopo dalam The New Standard. Hanya saja pernyataan Soemitro lebih terbuka, disertai dengan latar belakang ada issue pergantian pimpinan nasional mulai 1 April 1974 (Baca MI 392 pekan lalu) yang diramu dan diperkembangkan dari sadapan waktu yang lalu. Seraya itu disebut-sebutnya ada usaha adu domba antara dirinya dengan Ali Moertopo, antara dirinya dengan Sutopo Joewono dan antara Soetopo Joewono dengan Ali Moertopo. Seperti Ali Moertopo, Jenderal Soemitro pun menyitir pengalaman sejarah. “Yang ingin, tidak dikasih. Yang dipersiapkan gagal. Yang merasa akan jadi, bubar.”
Tidak boleh tidak kesan yang timbul adalah bahwa pernyataan itu bermata dua. Yakni, sebagai peringatan bagi penyebar issue tersebut dan sekaligus sebagai suatu bantahan bahwa tidak benar akan ada pergantian pimpinan nasional mulai 1 April.
Pernyataan Jenderal Soemitro ini disampaikan kepada pers tatkala Sang Jenderal baru saja bertemu dengan Presiden Soeharto bersama Mayor Jenderal Ali Moertopo dan Letnan Jenderal Soetopo Joewono, di ‘Istana’ Cendana selama kurang lebih 1 jam. Tapi beberapa hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 31 Desember 1973, Senin pagi, ada pertemuan lebih luas yang diikuti oleh ketiga jenderal tersebut beserta Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo, Menteri Sekertaris Negara Sudharmono, Aspri Presiden Soedjono Hoemardani dan Aspri Presiden Tjokropranolo.
Dua pertemuan –di Istana Merdeka lalu ‘Istana’ Cendana– itu nampaknya memang dimaksudkan agar diketahui oleh masyarakat, sebagaimana hal itu kemudian diungkapkan oleh pers. Namun apa yang dibicarakan tidak diperincikan, melainkan hanya digambarkan samar-samar dengan kesan ‘penting’. Tetapi suatu hal menarik, yang nyaris tak terbetik beritanya ialah bahwa mendahului pertemuan antara Aspri-aspri dan Kopkamtib dengan Presiden, ada pertemuan terpisah antara Presiden dengan Aspri-aspri dan para teknokrat pemerintah. Salah satu koran ibukota Kompas akhir pekan lalu, sebenarnya pernah menyinggung sedikit adanya pertemuan tersebut tanpa menyebut waktunya yang pasti dan di mana berlangsungnya. Seraya itu diberikan komentar “Bukan rahasia lagi sampai beberapa waktu yang lalu ada juga ketakserasian antara para menteri teknokrat dan sementara Aspri.”
Dalam ‘pergunjingan’ politik di ibukota, banyak disebutkan bahwa pertemuan antara teknokrat, Aspri-aspri dengan Presiden Soeharto itu berlangsung tidak di Jakarta dan waktunya adalah kurang lebih sebelum akhir tahun. Konon, dalam pertemuan ini dari kalangan para teknokrat hadir para tokoh Bappenas, Rahmat Saleh dari Bank Indonesia dan Barli Halim dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing.
Hikayat Daoed Jusuf. Syahdan pula, dalam pertemuan dengan para teknokrat dan kelompok Aspri tersebut –seperti halnya dalam pertemuan Presiden dengan Aspri dan Kopkamtib– Presiden Soeharto telah bertindak seakan-akan ‘moderator’ untuk menyatukan pandangan-pandangan antara satu dengan yang lainnya. Bersamaan dengan itu, konon Presiden menggariskan pula beberapa kebijaksanaan, antara lain tentang akan diadakannya semacam badan yang mirip Dewan Stabilisasi Ekonomi di bidang politik. Agaknya atas dasar penggarisan itulah maka Mayor Jenderal Ali Moertopo mengutarakan dalam The NewStandard bahwa Presiden Soeharto berniat untuk membentuk suatu dewan Stabilisasi Sosial Politik dan juga akan mengadakan pertemuan rutin sekali seminggu dengan dewan ini sebagaimana halnya dilakukannya dengan Dewan Stabilisasi Ekonomi.
Adalah pula dalam pertemuan dengan teknokrat dan Aspri itu, kabarnya Presiden menegaskan kembali tentang hak prerogatifnya untuk menggunakan Aspri (Asisten Pribadi). Dan yang terpenting dari rangkaian ini, ialah bahwa urusan pembinaan sosial politik tetap akan dipercayakan kepada Aspri bidang politik Mayor Jenderal Ali Moertopo.
Apakah dalam pertemuan itu juga diperbincangkan soal reshuffle eselon tertinggi di bidang Hankamnas, sebagaimana diberitakan The New Standard, tidak diketahui dengan pasti. Tapi pemuatan berita yang sebenarnya sangat peka itu tentulah bukan tanpa ada dasarnya. Dalam berita reshuffle tersebut disebutkan pula tentang ‘a qualified young man’ –seorang muda yang berkualitas– akan dimasukkan dalam kabinet. Siapakah orangnya? Dalam bursa politik disebut-sebut nama Dr Daoed Joesoef, seorang ekonom yang dikatakan brilian dan kini bekerja pada Yayasan Proklamasi, sebuah lembaga studi di lingkungan Golkar.
Sejauh mana ramalan-ramalan itu akan terbukti, proses perkembangan selanjutnyalah yang akan menentukan.Yang jelas, pernyataan Jenderal Soemitro yang mengagetkan itu dalam dirinya telah melahirkan suatu teka-teki. Apakah pernyataan itu adalah akhir dari sebuah lakon –yang diangan-angankan atau sengaja diciptakan oleh sementara pihak– ataukah ia baru merupakan akhir dari suatu permulaan suatu proses yang sedang dan masih terus akan berjalan? Sebab, sementara itu, terjadinya gejolak-gejolak dalam masyarakat agaknya adalah suatu objektivitas yang berdiri sendiri, yang menuntut adanya perubahan-perubahan. Dalam hal ini, perubahan berupa perbaikan-perbaikan dalam kehidupan bernegara, tidak perlu harus berarti pergantian pimpinan nasional. Pernyataan akhir tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) agaknya mencerminkan objektivitas tersebut. Sambil menyatakan tetap mempercayai kepemimpinan Presiden Soeharto –meskipun katanya ada fenomena di masyarakat yang menyatakan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Soeharto– HMI meminta Presiden mengadakan penyegaran di kalangan pembantu-pembantunya.
TAK lebih dari sepekan setelah ulasan mingguan generasi muda itu, pecah peristiwa yang oleh penguasa diberi akronim Malari. Ada beberapa hal yang ditunjukkan oleh Peristiwa 15 Januari 1974. Bahwa meskipun yang lebih menonjol dari peristiwa tersebut adalah rivalitas Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo, sebenarnya yang terjadi adalah bahwa pertarungan kekuasaan kala itu adalah persaingan segi banyak. Diikuti oleh banyak kelompok dalam kekuasaan dengan kepentingan, tujuan dan taktik yang berbeda-beda. Jenderal Soeharto sendiri –yang kala itu sesungguhnya memiliki dukungan yang sudah lebih melemah di kalangan militer maupun teknokrat dibanding tahun-tahun sebelumnya– adalah satu faktor. Kaum teknokrat, Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan, adalah salah satu faktor lainnya, di samping keikutsertaan para jenderal seperti Laksamana Soedomo dan sejumlah jenderal yang lain sebagai faktor dalam permainan kekuasaan.
Peristiwa 15 Januari 1974 menjadi blessing indisguise bagi Jenderal Soeharto. Pasca peristiwa ia masih bertahan dalam kekuasaan negara selama 24 tahun lagi ke depan.
Setelah peristiwa, aksi-aksi mahasiswa berhasil dipaksa mereda. Diganti dengan berbagai tindakan represi ke dalam kampus untuk mencegah kelompok mahasiswa kembali menjadi faktor. Tapi tak urung, mahasiswa bisa terkonsolidasi kembali. Muncul Angkatan 1978, dengan Buku Putih, yang dengan lebih terbuka meminta Jenderal Soeharto turun dari kekuasaan. Tapi masih butuh waktu 20 tahun lagi sebelum Soeharto lengser dari kekuasaannya.
Laksamana Soedomo menjadi Pangkopkamtib. Pada masa-masa berikutnya dalam masa kekuasaan Soeharto, ia masuk kabinet sebagai Menteri Tenaga Kerja lalu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Ali Moertopo masuk kabinet sebagai Menteri Penerangan menggantikan Mashuri SH.
Dan adapun Dr Daoed Joesoef memang akhirnya masuk ke kabinet Soeharto sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam posisi itu ia berada dalam peran dilematis, antara tugas-tugas represif terhadap kampus yang diinginkan kalangan militer dalam kekuasaan atau upaya-upaya mempertahankan keberadaan studentgovernment meskipun dalam porsi ‘minimal’ di kampus-kampus. Kelompok militer dalam kekuasaan Jenderal Soeharto menginginkan total tak ada lagi student government. Daoed Jusuf mencoba ‘jalan tengah’ dengan melahirkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kegiatan Kemahasiswa). Dan atas pilihannya itu, mau tak mau ia dimusuhi banyak orang, tak henti-hentinya ia harus menerima terpaan badai kecaman…… Hanya sedikit yang mencoba memahami bahwa apa yang dilakukannya itu mungkin adalah pilihan the bad among the worst. (socio-politica.com)
PERISTIWA 15 Januari 1974 oleh kalangan penguasa selalu disebut Malari –akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari– yang bertujuan untuk menekankan konotasi buruk dari peristiwa tersebut. Kata malapetaka yang bermakna sebagai suatu bencana, jauh dari pengertian perjuangan berdasarkan idealisme. Dengan demikian penggunaan kata malapetaka mematahkan citra idealis yang selalu dilekatkan kepada gerakan-gerakan mahasiswa, setidaknya sejak sekitar tahun 1966-1967 saat gerakan mahasiswa menjadi salah faktor penentu dalam menjatuhkan kekuasaan otoriter Soekarno. Sementara itu, Jopie Lasut, wartawan yang pernah bekerja untuk Harian Sinar Harapan dan berbagai media lainnya, menyebut bahwa akronim Malari itu diasosiasikan oleh penguasa dengan penyakit Malaria.
GUNTINGAN BERITA DEMONSTRASI MENGGELINDING KE SOEHARTO. “Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto”. (repro MI, Desember 1973)
Tetapi kenapa peristiwa di awal tahun 1974 itu masih lebih diingat daripada peristiwa pencetusan Tritura 10 Januari 1966? Selain karena ‘usia’ pencetusan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) lebih ‘tua’ 8 tahun, juga karena para pelaku Peristiwa 15 Januari 1974 –Hariman Siregar dan kawan-kawan– memang lebih rajin melakukan upacara peringatannya. Tak ada tahun yang lewat sejak Hariman cs keluar dari tempat penahanan, tanpa acara peringatan. Namun sesungguhnya yang tak kalah penting adalah sejak masa reformasi, Soeharto lebih banyak dihujat, sementara ‘kesalahan’ Soekarno terkait Peristiwa 30 September 1965 cenderung coba mulai dilupakan dan serenta dengan itu fokus sorotan beralih ke isu kejahatan kemanusiaan 1965-1966.
Buku ‘Hariman & Malari’ –dengan editor Amir Husin Daulay dan Imran Hasibuan– yang menempatkan figur Hariman Siregar sebagai tokoh sentral dalam Peristiwa 15 Januari 1974, agaknya tak begitu mempersoalkan konotasi buruk akronim Malari, dan tetap memilihnya sebagai penyebutan bagi peristiwa tersebut. Mungkin di sini, Malari dianggap akronim bagi Lima Belas Januari. Peristiwa itu sendiri disebutkan sebagai “tonggak penting dalam gerakan perlawanan mahasiswa dan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan rezim Orde Baru dan belitan modal asing dalam strategi pembangunan”. Tema anti modal asing ini lalu ditonjolkan sebagai sub-judul “Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing”.
Titik pertemuan berbagai peristiwa politik. Sebenarnya, aksi-aksi mahasiswa yang berpuncak pada tanggal 15 Januari 1974 tersebut –setidaknya dalam versi mahasiswa Jakarta– diakui atau tidak, tujuan utamanya adalah menjatuhkan kekuasaan Soeharto. Tema anti modal asing, khususnya anti modal Jepang, hanyalah jembatan isu dan kebetulan pula PM Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia pada 14 Januari 1974. Lebih dari itu, Peristiwa 15 Januari 1974, tidak sepenuhnya merupakan puncak dari sekedar suatu gerakan mahasiswa, melainkan pertemuan dari berbagai peristiwa politik pada satu titik. Mahasiswa ada dalam garis peran, mulai dari ‘penyambutan’ Tanaka pada 14 Januari sampai longmarch dari kampus Universitas Indonesia ke kampus Universitas Trisakti dan kembali lagi ke kampus UI. Peran dan keterlibatan mahasiswa sebagai satu kelompok berakhir sampai di situ. Saat kerusuhan dan aksi anarkis mulai berkobar di Pecenongan sampai Senen-Kramat Raya, sejak 15 Januari sore, peranan sepenuhnya beralih ke tangan massa bayaran dan massa marginal dalam suatu bingkai skenario penciptaan situasi. Rancangan peristiwanya melibatkan sejumlah jenderal maupun tokoh non-militer dengan kepentingan tertentu dalam konteks pertarungan kekuasaan.
SAAT kekuasaan rezim militer di bawah Jenderal Soeharto menjadi kokoh setelah kemenangan besar Golkar dalam Pemilihan Umum 1971, makin mengerucut pula ‘pembelahan’ berdasarkan kepentingan khas yang berwujud faksi-faksi di tubuh rezim. Mulanya, terciptanya faksi, terutama terkait pada soal porsi dalam posisi kekuasaan dan porsi benefit ekonomi. Pada tahun 1973, keberadaan faksi-faksi lalu juga terkait dengan soal siapa tokoh yang akan menjadi pengganti Soeharto di posisi nomor satu bila saatnya tiba.
Untuk soal yang disebut terakhir ini, setidaknya tercatat kelompok Jenderal Ali Moertopo di satu pihak dan kelompok Jenderal Soemitro pada pihak lain. Dalam kelompok Ali Moertopo bergabung para Aspri Presiden dan sejumlah jenderal non Mabes ABRI, selain sejumlah kaum sipil dengan kualitas analisa, taktik dan perencanaan yang handal (CSIS). Sementara dalam kelompok Jenderal Soemitro yang menjabat sebagai Wapangab/Pangkopkamtib bergabung jenderal-jenderal Mabes ABRI. Namun bisa dicatat bahwa dalam tubuh jenderal-jenderal Mabes ABRI sering pula terdapat perbedaan-perbedaan aroma kepentingan yang membuat kelompoktersebut kurang solid, misalnya antara Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean dengan Jenderal Soemitro. Masih pula bisa dicatat keberadaan Jenderal Soerono yang juga diketahui punya keinginan menjadi pengganti Jenderal Soeharto pada suatu waktu.
Di luar dua kelompok yang disebutkan di atas, tentu saja masih terdapat beberapa kelompok lain, seperti kelompok teknokrat maupun kelompok-kelompok yang mampu membangun kedekatan tersendiri secara langsung dengan Jenderal Soeharto. Pada saatnya, mereka ini bermanfaat ketika Soeharto harus ‘menghadapi’ resultante dari pertarungan antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro akhir 1973 dan awal 1974. (Lebih jauh tentang pertarungan antara Jenderal Ali Moertopo dengan Jenderal Soemitro sejak pertengahan 1973 sampai awal Januari 1974, baca, Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? /Bagian 2 dan 3, di socio-politica.com).
Melekatkan label anarki. Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto. Tuduhan terhadap Jenderal Soemitro ini menguat, karena salah satu topik kritik mahasiswa adalah dominasi modal asing di Indonesia, dengan menempatkan modal Jepang sebagai sasaran utama. Ini dianggap serangan langsung, karena selama ini salah satu Aspri Presiden yang merupakan anggota kelompok Ali Moertopo, yakni Jenderal Soedjono Hoemardani dikenal sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemodal Jepang di Indonesia.
Dengan tangkas dan cerdik, kelompok Ali Moertopo mengerahkan massa bayaran untuk meletuskan aksi anarkis pada sore hari 15 Januari 1974, saat barisan demonstran mahasiswa sedang berbaris kembali dari kampus Trisakti ke kampus Universitas Indonesia. Salah satu titik tempat meletupkan aksi anarkis adalah Jalan Pecenongan dan kemudian daerah sekitar Proyek Senen. Dengan cepat aksi anarkis ini menjalar ke berbagai penjuru ibukota, saat kelompok-kelompok masyarakat marginal ibukota turut serta melakukan aksi perusakan, terutama terhadap mobil-mobil buatan Jepang. Aksi penjarahan juga tak terhindarkan karena kala itu himpitan beban ekonomi sangat terasa bagi kalangan akar rumput di Jakarta. Bahkan sebagian mahasiswa malah ikut terpancing dan terlarut dalam aksi yang dianggap heroik padahal anarkis, misalnya di sekitar Jalan Thamrin-Sudirman.
Pada hari yang sama, sebenarnya kelompok Jenderal Soemitro juga mempersiapkan pengerahan massa. Massa ini direncanakan akan bergerak ‘membantu’, bila massa mahasiswa mendekati wilayah Istana di Jalan Merdeka Utara. Beberapa orang bukan mahasiswa –yang sebagian diidentifikasi sebagai orang-orang suruhan Jenderal Soemitro– diketahui mencoba mendorong mahasiswa maju hingga Jalan Merdeka Utara. Seandainya mahasiswa maju sampai ke depan Istana, kemungkinan besar takkan bisa dihindari terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan pengawal Presiden. Namun, para pimpinan mahasiswa pada momen itu memilih untuk berbelok dari Jalan Merdeka Barat ke Jalan Museum menuju Kampus Trisakti.
Ketika massa mahasiswa melewati Tanah Abang III, hampir saja kantor Golkar dan kantor-kantor kelompok Ali Moertopo yang ada di jalan tersebut diserbu mahasiswa. Bila ini dilakukan, maka tuduhan bahwa mahasiswa Jakarta ada dalam pengaruh Jenderal Soemitro untuk menjalankan makar, akan menguat dan seakan mendapat pembuktian.
Berhasilnya massa yang dikerahkan kelompok Ali Moertopo menciptakan gerakan anarki, menempatkan mahasiswa sebagai sasaran empuk untuk dituduh melakukan anarki dan gerakan makar. Dan karena berhasil disodorkan anggapan bahwa Jenderal Soemitro berada di belakang gerakan mahasiswa, maka ia pun dengan mudah dijadikan tertuduh. Dan akhirnya memang Jenderal Soemitro tak bisa ‘meloloskan’ diri, lalu memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan-jabatan militernya yang sangat strategis, terutama selaku Panglima Kopkamtib.
Tidak menjadi catatan sejarah. Banyak pihak yang menganalisis, seandainya Jenderal Soemitro lebih cerdik dan punya sedikit keberanian, selaku Panglima Kopkamtib ia bisa melakukan penangkapan terhadap Ali Moertopo dan kawan-kawan dengan tuduhan mengerahkan massa liar untuk menciptakan kekacauan. Tapi itu tidak dilakukan. Mungkin ia gamang. Ada anggapan, bahwa Jenderal Soemitro ragu karena memperhitungkan faktor Laksamana Soedomo selaku Kepala Staf Kopkamtib yang belum jelas perpihakannya. Nyatanya, Laksamana Soedomo adalah orang yang dikenal sangat patuh kepada Soeharto (Baca, Laksamana Soedomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto’, di socio-politica.com).
Namun, terlepas dari itu semua, ada satu analisa yang bersumber dari kalangan teknokrat, bahwa seandainya mahasiswa lebih hati-hati dalam menjalankan aksi-aksinya, dan lebih mampu mengamankan internal gerakan-gerakannya sehingga aksi mereka pada 15 Januari 1974 tak bisa diperosokkan sebagai peristiwa anarkis, Soeharto akan jatuh dengan sendirinya. Per Desember 1973, Presiden Soeharto, sebenarnya secara signifikan telah kehilangan dukungan di kalangan ABRI maupun di kalangan teknokrat. Begitu pula, dukungan Golkar sudah jauh merosot saat itu. Tetapi analisa adalah analisa. Bila tak terjadi, ia hanyalah suatu pengandaian, tidak menjadi catatan sejarah. Faktanya, dengan Peristiwa 15 Januari 1974, Soeharto secara bertahap berhasil mengeliminasi satu per satu orang-orang yang ber’mimpi’ menjadi presiden di masanya.
SETELAH peristiwa gebrak meja di Cendana itu, tercipta jarak secara psikologis antara Jenderal M. Jusuf dengan Jenderal Soeharto. Diceritakan bahwa sejak itu, Jusuf tak pernah ‘mau’ hadir dalam rapat kabinet yang dipimpin Soeharto. Dalam beberapa rapat di Bina Graha, M. Jusuf meminta Panglima Kopkamtib/Wakil Pangab Laksamana Sudomo hadir mewakili dirinya. Beberapa persoalan yang dianggap perlu dikomunikasikan, pun dilakukan melalui Sudomo. Agaknya berkomunikasi melalui Sudomo, dianggap lebih ‘nyaman’ baik oleh Jusuf maupun Soeharto. Hanya satu dua kali keduanya bertemu. Sebelumnya bila Jenderal Jusuf akan pergi berkeliling ia selalu terlebih dahulu memerlukan menghadap kepada Presiden Soeharto, dan di tempat tujuan, ia selalu menyampaikan salam Presiden Soeharto. Tapi setelah gebrak meja, menurut Atmadji Sumarkidjo, kedua hal itu tak pernah lagi dilakukan Jenderal Jusuf.
LAKSAMANA SOEDOMO. “Adalah jelas bahwa waktu itu Laksamana Sudomo sedang berada di antara dua tokoh dari kubu yang berseteru untuk kepentingannya masing-masing, sementara ia sendiri berada di situ dalam posisi untuk kepentingan Jenderal Soeharto. Meskipun, bisa pula dianalisa bahwa bagaimanapun, sedikit atau banyak ia masih punya posisi cadangan bila kemudian Jenderal Soemitro yang menjadi pemenang pertarungan”. (foto download Antara)
Tak lama setelah itu, masih pada bulan pertama tahun 1983, Jenderal Soeharto selaku Panglima Tertinggi ABRI, memberitahu Jenderal Jusuf bahwa tempatnya selaku Panglima ABRI akan diserahkan kepada Letnan Jenderal LB Moerdani pada bulan Maret. Jenderal Soeharto masih menawarkan jabatan Menteri Hankam –karena kedua jabatan yang tadinya dirangkap Jusuf akan dipisahkan, untuk mencegah lahirnya kembali tokoh yang powerful seperti Jusuf– tapi Jenderal Jusuf menolak dengan mengucapkan “terima kasih”. Jabatan Menteri Pertahanan Keamanan akhirnya diberikan kepada Jenderal Poniman (1983-1988). Nanti, usai menjabat Panglima ABRI, Jenderal LB Moerdani, diberi posisi sebagai Menteri Hankam (1988-1993). M. Jusuf sendiri di tahun 1983 itu terpilih sebagai Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Sedang Laksamana Sudomo mendapat posisi Menteri Tenaga Kerja (1983-1988) sebelum akhirnya menjadi Menko Polkam (1988-1993). Sesudah itu, Laksamana Sudomo masih panjang kebersamaannya dengan Jenderal Soeharto dalam kekuasaan, karena pada 1993-1998 ia dijadikan oleh Presiden Soeharto sebagai Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) –suatu jabatan yang tidak lagi sehebat jabatan-jabatan sebelumnya, tetapi tetap terjaga kedekatannya dengan sang penguasa puncak itu. Continue reading Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (3)→
KASUS tempeleng dan tendang oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dan rombongan sidaknya terhadap sipir-sipir LP Pekanbaru Riau 3 April dinihari, selain menimbulkan polemik, juga menguak ingatan terhadap perilaku kekerasan serupa yang dilakukan para petinggi negara di masa lampau. Bedanya, dulu perbuatan semena-mena oleh para petinggi dalam kekuasaan tak berani dipersoalkan secara terbuka. Kini, tindakan serupa pasti menjadi sorotan publik dan pers, serta menghadapi tuntutan untuk dituntaskan.
WAJAH KARIKATURAL INDRAYANA DALAM THE JAKARTA HERALD. “Satu kali tepuk, sang Wakil Menteri telah melanggar dua hal yang menopang nama Kementerian yang ikut dipimpinnya, yakni Hukum dan Hak Azasi Manusia”.
Tak kurang dari Jenderal Soeharto di masa puncak kekuasaannya, berkali-kali melontarkan ancaman akan bertindak keras terhadap mereka yang mengecam diri atau keluarganya. Antara lain, saat peranan Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto disorot dalam kaitan proyek Taman Mini Indonesia Indah. Sewaktu tokoh kesatuan aksi 1966, Adnan Buyung Nasution dalam suatu pertemuan 13 Juni 1967 mengecam ABRI rakus, Jenderal Soeharto berang. Kontan pada pertemuan itu juga, Soeharto mengatakan “Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempeleng…”. Soeharto tak pernah betul-betul menempeleng Buyung, namun sesudah Peristiwa Malari atau Peristiwa 15 Januari 1974, tokoh kritis ini termasuk di antara mereka yang ditangkap selain Rahman Tolleng dan Hariman Siregar.
Sebaliknya, Jenderal Soeharto pernah diceritakan ‘kena tangan’ Jenderal Ahmad Yani, terkait kasus dump truck dan penyelundupan untuk tujuan dana di lingkungan Kodam Diponegoro yang dianggap melibatkan Soeharto yang kala itu menjabat Panglima, bersama Lim Soei Liong. Jenderal AH Nasution mengajukan surat pemecatan Jenderal Soeharto, dan surat itu sudah tiba di meja Presiden Soekarno. Tetapi Jenderal Gatot Soebroto, memenuhi permintaan tolong ibu Tien Soeharto, berhasil membujuk Soekarno untuk tidak memecat Soeharto.
Tempelengan yang betul-betul telak pernah hinggap di pipi seorang sopir bus di ibukota. Penempelengnya tak lain Gubernur DKI Ali Sadikin, yang seorang Letnan Jenderal Marinir. Sang Gubernur kesal oleh perilaku ugal-ugalan sang sopir di jalanan. Banyak yang memberi pembenaran atas tindakan Ali Sadikin, karena memang waktu itu para pengemudi bus sering berperilaku bagai setan jalanan. Continue reading Kisah Aksi Tempeleng, Tendang dan Tembak Oleh Petinggi Negara→
AKSI unjuk rasa sebagai bagian gerakan ekstra parlementer, adalah cara yang sah dalam demokrasi. Dulu kala, di tahun 1966 dan 1973-1974 aksi menyampaikan aspirasi itu lebih dikenal dalam terminologi “demonstrasi” atau gerakan parlemen jalanan. Kehadiran parlemen jalanan mengandung konotasi bahwa parlemen resmi di Gedung DPR tak lagi cukup dipercaya atau tak lagi dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat. Bahkan, kemungkinan besar untuk sebagian besar DPR memang tak lagi mewakili kepentingan rakyat, karena dalam kenyataan anggota-anggotanya lebih mewakili kepentingan pribadi dan partainya.
Dalam situasi DPR makin tak dipercaya mewakili kepentingan rakyat, khususnya seperti yang menjadi pengalaman pada tahun-tahun terakhir ini, mekanisme unjuk rasa melalui cara ekstra parlementer menjadi pantas sebagai pilihan utama masyarakat untuk menyampaikan kritik dan keresahannya. Namun, pilihan utama itu bukannya tanpa risiko, karena dengan sedikit salah langkah –apalagi dibarengi salah persepsi– aksi unjuk rasa yang sebenarnya sah menurut demokrasi dengan mudah berubah menjadi anarki.
Unjuk rasa yang anarkis, akan menciptakan antipati, padahal tujuan utama suatu unjuk rasa sebenarnya adalah untuk mencari perhatian, simpati dan dukungan. Kecuali bila suatu gerakan memang didisain untuk menciptakan chaos dengan suatu tujuan politik tertentu –misalnya niat menjatuhkan suatu rezim– melalui kamuflase unjuk rasa demokratis. Pun bisa suatu gerakan ekstra parlementer bertujuan ideal dan digunakan karena tak ada jalan lain, namun berhasil dibelokkan secara cerdik oleh pihak tertentu untuk kepentingan khas. Bisa pula, suatu unjuk rasa berubah anarkis karena terpancing dan terpicu oleh sikap arogan maupun cara-cara kekerasan yang digunakan aparat negara ketika menghadapi aksi unjuk rasa tersebut. Sebagaimana juga mungkinnya aksi kekerasan pihak aparat terjadi justru karena terpancing oleh perilaku sejumlah pelaku unjuk rasa yang sengaja dilakukan untuk menimbulkan amarah petugas keamanan. Keadaan kini sudah cenderung serba campur aduk, karena tatkala aksi unjuk rasa sudah menjadi pula bagian dari taktik politik, maka sudah sulit untuk memilah mana unjuk rasa yang murni memperjuangkan kebenaran dan mana unjuk rasa yang bertendensi politik praktis. Dalam situasi seperti sekarang ini, seringkali mayoritas masyarakat bingung untuk menentukan dukungan.
HANYA sehari setelah terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965, masih pada 1 Oktober, sejumlah tokoh mahasiswa Bandung dengan cepat menyatakan penolakan terhadap Dewan Revolusi yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Pada 5 Oktober, saat di Jakarta berlangsung upacara pemakaman 6 jenderal dan 1 perwira pertama korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965, mahasiswa Bandung atas prakarsa tokoh-tokoh mahasiswa seperti Alex Rumondor, Rahman Tolleng, Sugeng Sarjadi dan beberapa mahasiswa lainnya melakukan apel berkabung. Pada siang hari, apel dilanjutkan unjuk rasa keliling kota, yang berakhir dengan aksi pendudukan sebuah kantor suratkabar pro PKI dan kantor-kantor milik PKI dan ormas onderbouwnya. Dalam aksi-aksi itu tak terjadi kekerasan berdarah. Dua hari kemudian, 7 Oktober, KAP Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh) melakukan aksi serupa di Jakarta, juga tanpa kekerasan fisik yang berdarah. KAP Gestapu dipelopori pembentukannya oleh dua tokoh dengan kombinasi latar belakang yang unik, yakni Harry Tjan Silalahi eks tokoh PMKRI yang sudah menjadi fungsionaris Partai Katolik, dan Subchan ZE tokoh muda Nahdlatul Ulama.
Tetapi setelah itu, dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti yang bisa dibaca dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly, Penerbit Kata Hasta Pustaka, 2006) terjadi gelombang pembalasan terhadap PKI. Pembalasan itu, “berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah”. “Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis”.
Aksi-aksi mahasiswa, pemuda, pelajar dan kaum cendekiawan dalam gerakan 1966 –khususnya sejak pencetusan Tritura 10 Januari 1966 sampai 10 Maret 1966– selalu dijaga sendiri oleh para peserta aksi parlemen jalanan, untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat, melalui cara dan argumentasi menggunakan akal sehat. Apalagi ketika korban di kalangan mahasiswa jatuh bertumbangan oleh peluru dan bayonet aparat kekuasaan. Begitu pula gerakan-gerakan mahasiswa 1973 sampai awal 1974. Gerakan-gerakan itu berhasil mendapat simpati dan dukungan masyarakat. Menjadi pemandangan yang lazim, setiap kali demonstran turun berbaris ke jalan menyampaikan tuntutan-tuntutan, kaum ibu juga turun ke jalan dengan sukarela membagi-bagikan nasi bungkus dan minuman kepada peserta demonstran. Dalam berbagai demonstrasi pada beberapa tahun terakhir, ada juga pembagian nasi bungkus, yang kemudian ditambah dengan pemberian amplop langsung atau melalui koordinator pengerah massa, sehingga nuansa dan konotasinya menjadi samasekali berbeda. Gejala yang disebut terakhir ini, terutama terkait dengan aksi unjuk rasa yang merupakan kontra demo yang disponsori pendukung kelompok kekuasaan, atau demo-mendemo dalam hubungan pilkada.
PARA senior pergerakan mahasiswa, seringkali memberi saran, lebih gunakan otak daripada otot. Memang sedikit mengherankan kenapa, para pengunjuk rasa pada sepuluh terakhir ini, termasuk mahasiswa, lebih sering memilih cara penggunaan otot yang suka atau tidak suka pada akhirnya memberi nuansa kekerasan. Beberapa aktivis mahasiswa mencoba menjelaskan, bahwa seringkali kekerasan, atau cara-cara fors lainnya, termasuk memblokkir jalan dan atau memacetkan lalu lintas, terpaksa dilakukan untuk menarik perhatian, karena cara-cara yang santun dan tertib ala mahasiswa zaman dulu sudah tidak diperhatikan. Maka diciptakanlah berbagai cara baru untuk menarik perhatian. Selain itu, pers atau media, juga ikut membentuk cara dan bentuk aksi unjuk rasa, dengan hanya memberi porsi pemberitaan kepada aksi-aksi yang ‘spektakuler’ dan menghebohkan. Di mata pers masa kini, pernyataan-pernyataan keras dan ‘vulgar’ mengalahkan pernyataan-pernyataan yang betapa pun tajam dan nalarnya tapi tidak heboh.
MENJEBOL PAGAR DPR 12 JANUARI 2012. “Biasanya pintu yang dirobohkan, kali ini pagar samping. Tetapi cukup menarik, bahwa setelah pagar bobol, massa tidak terus menerobos jauh ke dalam, karena dicegah oleh sejumlah pengatur gerakan, bukan karena halauan aparat keamanan”. (Foto download kompas.com)
Aksi kaum pekerja dari Bekasi baru-baru ini yang memblokkir jalan tol, mendapat tempat dalam pemberitaan, sekalipun juga mendapat sumpah serapah dari publik pengguna jalan. Begitu pula, aksi kaum tani dalam unjuk rasa mengenai keagrariaan 12 Januari baru lalu di depan gedung DPR, mendapat rating karena membobol pagar gedung perwakilan rakyat. Biasanya pintu yang dirobohkan, kali ini pagar samping. Tetapi cukup menarik, bahwa setelah pagar bobol, massa tidak terus menerobos jauh ke dalam, karena dicegah oleh sejumlah pengatur gerakan, bukan karena halauan aparat keamanan.
PENGAMANAN internal suatu gerakan juga suatu persoalan tersendiri. Apa yang dialami mahasiswa Jakarta pada awal 1974, perlu dijadikan pelajaran. Pada 15 Januari 1974, mahasiswa tak cukup siap dalam pengamanan internal gerakan. Ketika mahasiswa berbaris dari kampus Trisakti kembali ke kampus UI, orang-orang yang bekerja untuk Ali Moertopo –salah seorang jenderal yang terlibat persaingan internal di lingkungan ‘pendukung’ Soeharto– berhasil mengoorganisir peletupan aksi perusakan anarkis di Jalan Pecenongan dan Senen Raya. Dengan mudah kemudian, mahasiswa dikambinghitamkan telah melakukan makar melalui Peristiwa 15 Januari 1974 yang diberi penamaan Malari (Malapetaka Limabelas Januari) dengan mengobarkan kerusuhan. Jenderal Soemitro yang dituding berada di belakang gerakan mahasiswa, dengan gampang disapu, terlebih karena sang jenderal justru menunjukkan sikap ragu membela mahasiswa di saat terakhir.
Para mahasiswa yang kini bergerak masih dengan tujuan ideal dalam mengkritisi ketidakadilan, perlu mengkaji ulang ‘keamanan’ gerakan-gerakan mereka. Mereka masih perlu menjaga agar gerakan-gerakan mereka mendapat simpati dan dukungan masyarakat, dengan menghindari sikap-sikap kontra produktif, seperti merusak fasilitas umum, sengaja menimbulkan kekacauan lalu lintas dan sebagainya, sehingga menimbulkan antipati. Apa memang mau berjuang sendirian, yang bukan untuk kepentingan rakyat?
Aspek pengamanan internal lainnya, yang tak kalah pentingnya, baik itu gerakan mahasiswa maupun gerakan pekerja atau petani, adalah mengenai terdapatnya peran ‘event organizer’ di balik gerakan. Tak selalu massa peserta gerakan mengetahui adanya pemain belakang layar ini, yang memanfaatkan aspirasi murni suatu gerakan. Para pelaksana atau ‘event organizer’ ini akan memprovokasi dan membiayai gerakan, lalu di belakang layar menguangkan peristiwa aksi dengan menegosiasi calon sasaran dan atau siapapun yang berkepentingan dengan “ada” atau “tidak”nya gerakan. Itu sebabnya, suatu aksi bisa maju-mundur, seperti layaknya bidak-bidak dalam permainan catur saja, karena disesuaikan dengan negosiasi ‘komersial’. Tentu saja masih ada gerakan-gerakan murni dan spontan dengan latar belakang idealisme, tetapi tak bisa disangkal adanya permainan kotor di balik ini semua. Itu sebabnya, banyak kalangan kekuasaan yang tak terlalu peduli dan tak terlalu memandang aksi unjuk rasa sebagai sesuatu yang luar biasa. Penguasa juga merasa, sewaktu-waktu toh mereka bisa melakukan gerakan kontra yang tak kalah kotornya. Paling tidak, merasa bahwa tuntutan-tuntutan yang diajukan pengunjuk rasa tak mewakili keinginan rakyat yang sesungguhnya.
PARA aktivis idealis, harus bersikap lebih serius menghadapi fenomena belakang layar ini, karena bila dibiarkan berlanjut pada akhirnya membuat semua gerakan unjuk rasa takkan ada harganya lagi samasekali sebagai jalan demokrasi….. Dan bila semua unjuk rasa tak berharga lagi, tak ada lagi kanal menyampaikan kritik dan keresahan, maka pada akhirnya suatu saat mendadak tanpa terkendali lagi, bisa terjadi gerakan yang tiba-tiba revolusioner. Dan kemungkinan besar, akan bersifat anarkis.
SETELAH Peristiwa Bom Bali, Abu Bakar Ba’asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo (14 Oktober 2002), dan mengatakan bahwa peristiwa ledakan di Bali tersebut merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Markas Besar Polri melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia itu (17/10), namun Ba’asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME. Namun, berdasarkan pengakuan Al Faruq –sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali– yang diterima tim Mabes Polri di Afganistan, Ba’asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI (18/10).
Kemudian, Ba’asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003, dan divonis 2,6 tahun penjara (3 Maret 2005). Ia dibebaskan pada 14 Juni 2006. Namun, Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaeda di Aceh (9 Agustus 2010). Walaupun banyak kontroversi yang terjadi selama masa persidangan, Ba’asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (16 Juni 2011) setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.
Belum banyak terungkap dari aktivitas NII Ada dua kejadian yang berujung pada pelabelan Abu Bakar Ba’asyir sebagai biang teroris di Indonesia, yaitu aktivitas NII dan kegiatan intelijen internasional yang berimpit kepentingan memerangi kelompok Islam radikal. Menurut AM Fatwa, tokoh aktivis dakwah yang dituduh terlibat dalam kerusuhan Tanjung Priok (1984) dan dihubungkan dengan aksi Komando Jihad –sekarang Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD)– di balik aksi NII berupa pemboman yang terjadi pada waktu dulu, ada peran Ali Moertopo, petinggi militer Indonesia, sebagai aktor penting yang bermain di balik aksi radikal tersebut. “Dia mengadopsi konsep komando jihad Abdul Kadir Jaelani,” ungkapnya di tempat kerja, Kamis (28/4). Komando jihad Abdul Kadir dinilainya tidak masalah karena merangkul anak muda untuk melakukan aksi-aksi positif, mengaktualisasikan potensi diri, dan mengembangkan minat, dan bakat. Sedangkan, komando jihad bentukan Ali, cenderung mengarah kepada aksi-aksi radikal yang meresahkan, bahkan mengancam keamanan dan pertahanan negara. Fatwa menyebutkan, mendiang Ali Moertopo merekrut mantan pejuang DI/TII yang kini dinamakan Negara Islam Indonesia (NII) untuk melakukan aksi-aksi radikal. (Republika.co.id, Jakarta, Kamis, 28 April 2011).
Awalnya, dengan dihapuskannya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang sila Ketuhanan dalam Piagam Jakarta, terjadi perdebatan panjang antara golongan Islam dan golongan nasionalis. Mohammad Natsir, wakil golongan Islam dari Masyumi, menyatakan dengan tegas bahwa Islam harus menjadi dasar negara Indonesia. Dengan kekalahanan Masyumi dalam Pemilu 1955, namun dengan perolehan suara 45,2% yang menggambarkan realitas kekuatan umat Islam, menyebabkan kelompok Islam kembali menuntut agar naskah asli Piagam Jakarta diakui sebagai kaidah dasar negara dan peraturan perundangan. Untuk meredam perdebatan ini, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan setahun kemudian, ia memperkenalkan ideologi Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) sebagai upaya untuk menyatukan ketiga ideologi dominan dalam masyarakat. Tidak lama kemudian, untuk meredam kembali munculnya isu negara Islam, Soekarno meminta Masyumi membubarkan diri, dan menyingkirkannya dari DPRGR yang dibentuk Soekarno setelah dibubarkannya parlemen hasil Pemilu 1955. Setelah mengalami penekanan yang dilakukan oleh Soekarno kepada golongan Islam yang mendukung pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar negara (Masyumi dan DI/TII) tersebut, jatuhnya Orde Lama dan berkuasanya Orde Baru adalah sebuah harapan baru bagi mereka. Tetapi, di awal pemerintahannya, Soeharto ternyata menunjukkan sikap antipatinya terhadap golongan Islam jalur keras tersebut dan mulai merangkul golongan sosialis. Pemerintah Orde Baru menjuluki PKI sebagai “ekstrim kiri” dan Islam mendapatkan julukan “ekstrim kanan”. Berbagai sumber menyatakan, sikap Soeharto ini merupakan perwujudan dari paranoia pada ancaman kekuatan Islam terhadap kekuasaannya. Bagaimanapun, kelompok Islam radikal itu memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno, selain karena kenyataannya bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam.
JENDERAL ALI MOERTOPO. “Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif”. (Foto Tempo/Syahrir Wahab)
Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal tersebut, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif.
Puncak dari sikap represif Orde Baru tercermin dalam SU-MPR 1978 dan UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pengaturan mengenai Partai Politik dan Golkar tersebut, Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan. Tentu saja kebijakan Pemerintah tersebut mendatangkan polemik di berbagai ormas Islam. Namun, pada akhirnya, ormas-ormas Islam memilih untuk berdamai dengan Pemerintah dan menjadikan Pancasila sebagai anggaran dasar ormas-ormas tersebut. Berbanding terbalik dengan ormas-ormas Islam tersebut, para aktivis dakwah kampus menolak keras Pancasila. Menurut mereka, menerima Pancasila berarti melakukan tindakan syirik. Selain itu, konsep nasionalisme menurut mereka sama dengan paham ashobiyah (kesukuan) dalam bentuk baru.
Namun, permainan yang dijalankan Ali Moertopo itu tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro dan didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.
Motif perang Amerika Serikat melawan kelompok Islam radikal Pada pihak lain, dengan runtuhnya imperium Uni Soviet pada tahun 1989, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adikuasa (super-power) di dunia. Tidak heran, bila Amerika Serikat berusaha mempertahankan dan meningkatkan perannya sebagai pemimpin dunia, yang dipandang “lebih efektif ketimbang pemimpin Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)”. Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush yang disampaikan di depan Kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 September 2002, di dalam dokumen sebanyak 31 halaman dengan judul “The National Security Strategy of United States of Amerika”. Amerika Serikat menurut doktrin itu harus meningkatkan upaya memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke seluruh kawasan Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya ada di 120 negara, diperluas menjadi 160 negara. Tujuannya, untuk menjamin kedudukan dan peran White Americana, sebagai pemelihara perdamaian dunia di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Untuk mengamankan kepentingan itu, Amerika Serikat membentuk sebuah organisasi super-intelligence bernama “Proactive Pre-Emptiv Organization Group” (P2OG), dengan tugas melakukan operasi-operasi intelijen atas dasar “pukul dahulu urusan belakang”.
Prinsip ini sesuai dengan ancaman Presiden Bush kepada semua negara, “if you âre not with us, you âre against us” (kalau tak mendukung kami, anda adalah musuh kami). Serangan Bom Bali (12 Oktober 2002) dan Makassar (6 Desember 2002) merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang baru dari Amerika Serikat. Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Donald Rumfield, operasi semacam itu ditujukan untuk memancing keluarnya “tikus-tikus muslim radikal dari sarangnya.” Karena itu, jelaslah motif Amerika Serikat memerangi kelompok Islam radikal, yang ditampilkan sebagai sosok Al Qaeda, untuk sebagian merupakan wujud arogansi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia. Padahal, menurut Brahma Chellaney, Guru Besar Studi Strategi pada Center for Policy Research di New Dehli, pengarang buku “Asian Juggernaut” dan “Water Asia’s New Battleground”, pada tahun 1980-an pemerintah Reagan menggunakan Islam sebagai alat ideologis untuk mendorong perlawanan bersenjata melawan tentara pendudukan Soviet di Afganistan. Pada 1985, dalam sebuah upacara di Gedung Putih yang dihadiri beberapa orang pemimpin mujahidin –pejuang-pejuang jihad yang kelak berkembang menjadi Taliban dan Al Qaeda– Reagan menoleh ke arah tamunya dan berkata, “Tuan-tuan, ini merupakan cerminan moral dari bapak-bapak pendiri Amerika” (Koran Tempo, 23 November 2011).
Pelajaran yang bisa ditarik dari upaya pemerintah Obama sekarang untuk berdamai dengan Taliban, yang tidak menghiraukan pengalaman Amerika Serikat akibat mengikuti kepentingan sesaat, adalah pentingnya fokus pada tujuan jangka panjang. Pelajaran kedua, perlu keberhati-hatian dalam melatih pejuang-pejuang Islamis dan mengucurkan senjata-senjata yang mematikan kepada mereka guna membantu menggulingkan suatu rezim. “Upaya melawan terorisme Islamis hanya bisa berhasil jika negara-negara tidak memperkuat bentuk-bentuk fundamentalisme Islamis yang menganjurkan kekerasan atas nama negara”, tulis Brahma. Sayangnya, dengan pelajaran dari masa lalu yang tidak dihiraukan Amerika Serikat itu, sekali lagi kelompok-kelompok ekstremis tersebut siap memberi pukulan pada mereka.
Namanya masih disebut-sebut pada setiap aksi teroris Melihat situasi sekarang, nampak kecenderungan gerakan radikal sempalan NII, seperti JI (Jamaah Islamiyah), yang tidak lagi mau berjihad, walaupun tetap melihat jihad sebagai sesuatu yang penting, atau mungkin sudah merasa kekuatan mereka tidak cukup lagi mampu untuk menghadapi musuh. Menurut Sidney Jones, penasehat senior International Crisis Group (ICG) yang juga pengamat terorisme, “Sekarang mereka melihat jihad terlalu lemah dan juga sangat kontra produktif” (Koran Jakarta,1 Mei 2011).
Menurut laporan International Crisis Group tentang terorisme di Indonesia yang berjudul “Small Groups Big Plans” April 2011, setelah organisasi JI melemah, terlihat gejala munculnya kelompok-kelompok kecil berjejaring lokal yang lebih longgar dalam mengakomodasi individu yang ingin “berjihad” dengan biaya lebih rendah. Kelompok-kelompok kecil itu beririsan dengan kelompok Aman Abdurahman (bom Cimanggis), Tim Hisbah (bom Cirebon) dan Jamaah Anshorut Tauhid (Kompas, 27 Desember 2011). Nama Ba’asyir masih selalu disebut-sebut.
Masalah kita, mengapa pemerintah sepertinya masih membiarkan aksi gerakan radikal ini terus berlanjut?
–Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam –mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
JENDERAL SJARIF THAYEB DAN DM-UNPAD. Mulanya bagaikan bapak dengan anaknya. Tapi akhirnya, sang bapak membawa berbagai bentuk supresi masuk ke kampus-kampus.
SETELAH Peristiwa 15 Januari 1974, memang terbuka jalan bagi rezim Soeharto untuk ‘menindaki’ kampus yang selama ini menjadi sarang kebebasan dan gerakan kritis. Sejumlah tindakan supresi diterapkan di kampus-kampus. Selain oleh tentara, tindakan supresi itu terutama adalah melalui tangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diangkat setelah Peristiwa 15 Januari oleh Soeharto, yakni Dr Sjarif Thajeb.
MAHASISWA BARU, SUMBER ASPIRASI BARU. 1974. Kampus perguruan tinggi adalah ibarat sebuah sungai, airnya tak pernah berhenti mengarus. Selalu ada pembaruan.
Semula, Dr Sjarif Thajeb, yang pernah duduk sebagai Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan di kabinet transisi Soekarno pada tahun 1965-1966, sempat menjadi ‘harapan’ bagi para mahasiswa, mengingat trackrecordnya sebagai orang yang ikut menyokong lahirnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) –yang pada akhirnya menjadi ujung tombak penggulingan rezim Soekarno.
BUKU ‘MENYILANG JALAN KEKUASAAN MILITER OTORITER’. Dalam buku ini digambarkan bahwa Peristiwa 15 Januari 1974 adalah hasil dari pertarungan kelompok-kelompok internal kekuasaan. Di satu pihak ada kelompok Jenderal Soemitro yang kala itu digambarkan berambisi menjadi RI-1, dan pada sisi lain ada kelompok Aspri di bawah Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani. Kelompok Aspri ini dianggap ‘mewakili’ kepentingan ekonomi Jepang di Indonesia. Tidak heran bila cetusan pertama menuju Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) berawal pada demonstrasi mahasiswa Jakarta di bawah Hariman Siregar cs menentang kedatangan PM Kakuei Tanaka ke Jakarta 14 Januari. Hariman dianggap punya kedekatan khusus dengan Jenderal Soemitro. Tetapi sebaliknya, kelompok Ali Moertopo mengklaim bahwa Hariman adalah tokoh binaan mereka. Anti modal asing, dengan demikian, tidak berada pada urutan pertama tujuan gerakan, melainkan sebagai bagian ‘serangan’ kepada Jenderal Ali Moertopo cs oleh Jenderal Soemitro. Namun, kelompok Ali Moertopo yang sarat permainan dan pengalaman intelijen, bisa membelokkan gerakan mahasiswa menjadi huru-hara sehingga akhirnya mendapat cap makar.
Akan tetapi, kata-kata baiknya yang senantiasa dilontarkannya dalam pertemuan-pertemuan dengan para mahasiswa, ternyata terbukti omong kosong belaka, karena bahkan ia menjadi salah satu mata pedang tindakan supresi di kampus-kampus. Belakangan ia sering melontarkan kata-kata keras yang menekan mahasiswa dalam pelbagai pertemuan. Karena itu, berkali-kali ia sempat bersitegang dengan para mahasiswa. Bahkan tidak ada yang bisa menduga suasana pertemuan bapak-anak yang pernah terjadi pada mulanya, di kemudian hari hampir berkembang jadi duel adu jotos tatkala ia ingin memaksakan kehendaknya.
Tapi kampus memang tak pernah benar-benar bisa ditundukkan oleh kekuasaan semata. Gerakan-gerakan kritis mahasiswa dengan berbagai cara tetap saja bisa berlangsung, diantaranya dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi ‘ilmiah’ di bawah payung Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sementara itu, sumber (daya) manusia bagi kampus tak pernah habis, setiap tahun kampus memperoleh ‘darah segar’ berupa mengalir masuknya mahasiswa baru yang pada waktunya membawakan lagi aspirasi-aspirasi baru. Kampus perguruan tinggi adalah bagaikan sebuah sungai, airnya tak pernah berhenti mengalir. Suatu proses yang tak kenal henti.
Sejarah mencatat, bahwa setelah gerakan-gerakan kritis mahasiswa 1970-1974, kemudian muncul lagi gerakan perlawanan mahasiswa 1978 dan berikutnya gerakan mahasiswa 1998 yang menjadi penyulut utama kejatuhan Soeharto. Entah kenapa hal seperti itu selalu terjadi. Hati nurani bangsa ini tampaknya memang ada pada gerakan-gerakan mahasiswa ini. Dan entah sampai kapan.
Namun, ada satu hal yang jelas, semakin penguasa mengambil tempat berjauhan dengan gerakan mahasiswa, maka itu berarti umut kekuasaan di tangan sang penguasa –siapa pun dia, dalam kurun waktu yang mana pun juga– telah semakin pendek. Kita bisa mencatat, dua presiden Indonesia terakhir, Megawati Soekarnoputeri dan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak memiliki kedekatan dengan mahasiswa, dan selalu menjadi sasaran demonstrasi.
*Diolah kembali dari Esei Bergambar dalam buku Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004.
ANTARA BANDUNG DAN JAKARTA. Tidak selalu harmonis: Hatta Albanik (DM-UNPAD), Hariman Siregar (DM-UI) dan Komarudin (DM-ITB).
Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, setelah Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, aktivitas mahasiswa yang berbasis kampus makin meningkat. Banyak pertemuan antar kampus dilakukan. Baik itu di antara kampus-kampus Bandung sendiri, maupun dengan kampus-kampus kota lain seperti Surabaya, Yogya, Bogor dan Jakarta. Selain mahasiswa, kerap hadir eksponen-eksponen gerakan kritis lainnya yang ada di masyarakat, baik itu kalangan budayawan maupun kaum intelektual.
Satu diantara pertemuan yang mendapat perhatian kalangan penguasa adalah pertemuan di kampus ITB yang diberitakan pers sebagai ‘Pertemuan Orang-orang Tidak Puas’. Pertemuan mahasiswa lainnya yang diamati kalangan kekuasaan adalah pertemuan-pertemuan menjelang Peristiwa 15 Januari 1974, di kampus Universitas Padjadjaran, yang dihadiri oleh pimpinan dewan-dewan mahasiswa yang sangat tidak diharapkan penguasa untuk ‘terkonsolidasi’ yakni ITB, UI dan Unpad. Dalam pertemuan itu hadir Hariman Siregar dari DM-UI, Komarudin dari DM-ITB dan Hatta Albanik dari DM-Unpad selaku tuan rumah. Hadir pula beberapa pimpinan DM lainnya dari Bandung maupun luar Bandung. Namun yang paling diamati kalangan intelejen adalah tiga orang itu.
MAHASISWA 1974 DAN JENDERAL SOEHARTO. Guntingan berita foto Suara Karya, pertemuan mahasiswa se-Indonesia dengan Presiden Soeharto, 11 Januari 1974.
Pada dasarnya seluruh kegiatan kritis mahasiswa itu digerakkan oleh suatu idealisme yang sama. Karena itu, gerakan mahasiswa di satu kota dengan cepat diapresiasi oleh mahasiswa dari kota lain dalam bentuk gerakan serupa. Tetapi perilaku dan perlakuan dari para penguasa militer di setiap kota seringkali tidak sama. Semakin jauh dari Jakarta, semakin represip.
Gerakan-gerakan mahasiswa kerapkali diekspresikan oleh gerakan mahasiswa di Jakarta sebagai mengandung nuansa politik praktis, yang di masa lalu sering diartikan sebagai powerstruggle di antara elite politik nasional. Gerakan mahasiswa di Bandung lebih terlihat mengandung muatan politik praktis yang berkadar lebih rendah dibandingkan dengan gerakan mahasiswa di Jakarta yang karena kedudukan mereka di ibukota dengan mudah diberikan cap sebagai gerakan politik praktis. Umumnya gerakan mahasiswa yang dianggap berhasil menumbangkan rezim kekuasaan, adalah bilamana gerakan mahasiswa itu memadukan gerakan-gerakan mahasiswa powerstruggle praktis di Jakarta dengan kekuatan-kekuatan pemikiran dan idealisme yang biasanya dilahirkan gerakan mahasiswa di Bandung.
GERAKAN MAHASISWA YANG TERGELINCIR MENJADI KERUSUHAN. Headline terakhir Mingguan Mahasiswa Indonesia mengenai Peristiwa 15 Januari 1974, menjelang pembreidelan oleh penguasa.
Penguasa sebenarnya justru sangat memahami hal ini, sehingga selalu berusaha meruntuhkan jalinan rantai yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta. Kota-kota perguruan tinggi lainnya seperti Yogya, Surabaya, Medan, Makassar dan Bogor dengan sendirinya juga memiliki ciri-ciri tertentu yang bila berhasil dihubungkan dengan poros Jakarta-Bandung, juga akan menjadi kekuatan dahsyat yang mampu merobohkan kekuatan kekuasaan manapun yang menghalangi idealisme mahasiswa.
Kegagalan gerakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 di Jakarta untuk mengganti kekuasaan Soeharto terjadi karena putusnya jalinan rantai yang menghubungkan gerakan mahasiswa Jakarta dan Bandung, sehingga dengan sendirinya memutuskan pula hubungan dengan gerakan mahasiswa kota-kota utama perguruan tinggi lainnya. Satu dan lain hal, itu terjadi karena timbulnya ‘kecurigaan’ yang besar terhadap figur Hariman Siregar yang ‘permainan’ politiknya seringkali membingungkan pihak lawan maupun kawan. Timbul pertanyaan atas dirinya: Bermain untuk siapakah dia ? Kesan seperti ini yang tampaknya melatarbelakangi sikap tokoh-tokoh mahasiswa Bandung, Hatta Albanik dan kawan-kawan di Bandung dan luar Jakarta, tak terkecuali Muslim Tampubolon (Ketua Umum DM-ITB) yang terkesan tidak selalu ‘harmonis’ dengan Hatta. Menarik bahwa saat itu, Ketua DM-ITB Komarudin, lebih banyak mewakili DM-ITB dalam komunikasi maupun kegiatan bersama dengan DM-UNPAD dibandingkan Muslim Tampubolon.
Tidak bisa dipungkiri, pelbagai tuntutan mahasiswa Bandung, sangat mewarnai keputusan politik yang dibuat pemerintah, seperti misalnya pembubaran Aspri, kebijakan kredit untuk pengusaha dan investasi kecil, serta pembatasan gaya hidup mewah – seperti yang antara lain dijadikan sindiran kontingen mahasiswa Bandung tentang banyaknya bangunan tembok tinggi seperti penjara di Jakarta tetapi di dalamnya adalah istana, tatkala berlangsung pertemuan 11 januari 1974 dengan Presiden Soeharto di Bina Graha. Bahkan pemerintah Jepang sendiri pernah mengutus seorang pejabat dari OECF (OverseasEconomicCooperativeFund) untuk menemui Hatta Albanik dan kawan-kawan yang dianggap representan gerakan mahasiswa anti modal Jepang, guna memastikan bentuk bantuan dan kerjasama kebudayaan apa yang harus diberikan Jepang agar mengurangi kesan buruk ‘economicanimal’nya. Setelah penjajagan seperti itu, Jepang kemudian melahirkan program-program bantuan dan kerjasama kebudayaan Jepang-Indonesia. Bahkan program serupa kemudian diperluas, meliputi sejumlah negara Asean lainnya, terutama Philipina dan Thailand yang gerakan mahasiswanya juga kuat mengekspresikan sikap anti Jepang. Gerakan-gerakan anti Jepang memang berawal dari mahasiswa Bandung yang banyak menerima keluhan pengusaha-pengusaha tekstil di sekitar Bandung yang terpuruk oleh kehadiran modal Jepang. Gerakan ini kemudian diekspresikan dengan ekstrim, radikal dan cukup vulgar oleh mahasiswa Jakarta, sehingga terjadi huru hara besar 15 Januari 1974 –yang kemudian dijuluki sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari, terutama oleh kalangan penguasa.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa tangan-tangan kekuasaan ikut pula bermain dalam menciptakan situasi yang radikal dan ekstrim pada peristiwa itu. Apalagi dalam dimensi waktu dan ruang yang sama terjadi pertarungan internal unsur kekuasaan –terutama antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro. Provokasi dari kalangan kekuasaan yang terlibat pertarungan internal telah menyebabkan pecahnya kerusuhan (yang direncanakan) pada tanggal 15 Januari 1974. Jakarta hari itu dilanda huru hara besar. Peristiwa tersebut telah cukup menjadi alasan bagi penguasa untuk menindaki seluruh gerakan kritis, terutama yang dilancarkan para mahasiswa, sebagai gerakan makar yang berniat menggulingkan Presiden Soeharto dan pemerintahannya. Dan, pada masa-masa berikutnya penguasa ‘memiliki’ alasan menjalankan tindakan-tindakan supresi untuk menekan dan ‘menjinakkan’ kampus-kampus perguruan tinggi seluruh Indonesia. Penguasa ingin menjadikan kampus sekedar ‘campovaccino’ atau padang penggembalaan lembu, tempat memelihara mahluk yang berfaedah namun tak pandai melawan, layaknya para bangsawan Medici memperlakukan rakyatnya sesuai isi kitab Niccolo Machiavelli.
”Entah bagaimana pula dengan gagasan –lebih tepatnya disebut isu– tentang konfederasi partai, fusi atau asimilasi, yang belakangan di tahun 2010 ini banyak dilontarkan oleh sejumlah elite partai terkait dengan dinaikkannya ambang batas parliamentarythreshold. Entah pula dengan gagasan yang coba dimasukkan dalam RUU Kepartaian baru, yaitu bahwa partai ’baru’ tidak bisa serta merta ikut pemilihan umum kecuali sudah berusia sekurang-kurangnya 5 tahun”.
BEBERAPA bulan sebelum Peristiwa 15 Januari 1974, masih di tahun 1973, salah satu tanda awal perobahan perlakuan politik Soeharto terhadap Golkar, adalah dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Perkawinan di DPR-RI. Ratusan orang dari Tangerang datang ke DPR, membubarkan sidang pembahasan RUU tersebut di DPR, menginjak-injak meja pimpinan DPR. Setelah peristiwa itu, proses RUU diputar 180 derajat mengikuti usul PPP. Soeharto memerintahkan, benar atau tidak benar isinya, RUU itu harus disahkan segera menjadi UU. Panglima Kopkamtib Letnan Jenderal Soemitro datang ke DPR untuk melaksanakan perintah itu. Golkar ditinggalkan, FKP dipersalahkan dan diangap terlalu ngotot mempertahankan prinsip-prinsipnya, Soeharto merangkul PPP.
Kenapa Soeharto melakukan itu? Menurut analisa intelijen, gejala keresahan yang kala itu meningkat di kalangan mahasiswa di berbagai kampus, pada akhirnya akan bermuara pada suatu letupan –yang ternyata kemudian terbukti dalam wujud Peristiwa 15 Januari 1974 yang sering diringkas sebagai Malari. Ditakutkan bahwa gerakan generasi muda Islam, terutama terkait dengan RUU Perkawinan, bila dibiarkan tak terselesaikan akan bertemu dan membesar bersamaan dengan keresahan generasi muda dari kampus yang menggejala dan akan membesar pula. Faktanya, yang terjadi hanyalah Peristiwa Malari, yang dengan mudah dipotong melalui suatu skenario terancang baik, dengan tuduhan didalangi PSI.
Setelah Malari, Golkar ditetapkan harus dipegang ABRI. Jabatan Pelaksana Harian Dewan Pembina selalu dipegang oleh Panglima ABRI. Tubuh Golkar sendiri mengalami semacam pembersihan. Rahman Tolleng yang adalah fungsionaris Golkar ditangkap. Sejumlah orang yang dianggap teman-temannya mengalami ‘tekanan’. Tentang ini, kita kutip catatan Dr Midian Sirait berikut ini. ”Saya prihatin atas penangkapan Rahman Tolleng ini. Saya pun diisukan akan ditangkap, lalu ada kolega di Golkar ‘mengusulkan’ saya pergi dulu ke luar negeri. Tapi tidak saya lakukan, karena saya pikir itu akan menimbulkan kesan melarikan diri. Saya malah pergi menemui Ali Moertopo di kantor Bakin untuk menanyakan apakah betul saya akan ditangkap. Kalau memang mau ditangkap, tangkap saja di ruangan Ali Murtopo ini. Ali membantah. Lalu saya tanyakan mengapa Rahman Tolleng ditangkap. Ali menjawab dia itu difitnah. Tapi nyatanya ia ditahan terus. Tak lain karena telah dilontarkan opini artifisial bahwa PSI terlibat, sedangkan Rahman senantiasa dikaitkan dengan PSI, maka dia tetap tak dilepaskan. Pemikiran Rahman Tolleng sebenarnya tidak ada hubungan dengan ideologi PSI. Tapi persamaannya ada, sama-sama rasional. Kalau dia membaca ‘PerjuanganKita’ Sjahrir, ada pertemuan logika. Ada persamaan cita-cita mengenai pendidikan politik dan pembaharuan. Sjahrir pun dalam perjuangannya, memasukkan kesadaran berpolitik itu ke dalam lingkungan partainya. Tapi apakah persamaan-persamaan seperti itu membuat orang menjadi PSI?”.
”Rasionalitas dan kegairahan berpolitik seperti itu, terlepas dari konteks dan konotasi PSI yang dikait-kaitkan, saya lihat juga dimiliki oleh aktivis Bandung lainnya seperti Rachmat Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja atau Marzuki Darusman dan beberapa yang lain. Tidak menerima dan tidak terikat dengan emosional ideologi-ideologi seperti marhaenisme, islamisme apalagi marxisme. Saya menyetujui pikiran Rahman Tolleng, bahwa janganlah agama diideologikan. Ideologi dan teologi adalah dua hal yang berbeda. Ideologi adalah suatu sistem berpikir yang menjadi landasan bagi seluruh program aspek-aspek politik, ekonomi maupun sosial. Politik adalah susunan organisasi dan susunan kekuasaan yang sangat manusiawi. Sementara agama itu sendiri lebih merupakan penyerahan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pedoman moral pelaksanaan hidup kita sehari-hari, komitmen kita kepada sesama, solidaritas dan hubungan antara manusia, hubungan antara aturan dan hubungan antara manusia dengan alam”.
Banyak bagian dari rasionalitas –dan mungkin juga model kegairahan berpolitik– di tahun-tahun awal pasca Soekarno itu, seperti dituturkan di atas, kini hilang dan atau tidak ditemukan dalam euphoria kebebasan masa reformasi. Kini di era reformasi dan sesudahnya banyak orang menganggap keterikatan itu tidak boleh ada dalam demokrasi. Padahal kebebasan dan keterikatan selalu tarik menarik dalam kehidupan manusia, menuruti hukum alam. Tak mungkin hanya kebebasan tanpa keterikatan. Tetap harus ada aturan, tetap harus ada keterikatan hukum dan keterikatan akan norma-norma masyarakat yang beradab. Jangan membiarkan diri kita hidup tak berbudaya.
Kini, budaya parlemen –untuk menyebut satu contoh penting dalam kehidupan politik Indonesia– seakan-akan menjadi tak karuan lagi. ”Di Inggeris orang menyebut memberofparliament sebagai thehonourable, tapi di Indonesia bagaimana kita boleh menyebut terhormat lagi bila orang lebih mengutamakan urusannya sendiri saja lebih dulu? Jika tidak cermat menjaga harkat dan martabat, suatu waktu bisa saja menjadi horriblememberofparliament. Demokrasi memang membuka pintu bagi siapa pun untuk masuk parlemen, tapi itu tidak berarti tak perlu lagi ada kriterium kualitatif dalam aturan kehidupan politik mengenai siapa-siapa saja yang wajar untuk masuk parlemen. Di sini salah satu kekurangan dari reformasi ini. Boleh saja menghujat orde baru bila tidak memahami secara lengkap sejarah politik Indonesia dari waktu ke waktu, tetapi harus diakui bahwa bahkan di masa awal orde baru ada visi, setidaknya dalam konsep-konsep yang dilontarkan oleh kaum intelektual, seperti gagasan merubah dan memperbaharui struktur politik, dan ada proses institusionalisasi dari kepentingan infrastruktur maupun suprastruktur”. Proses merubah dan merombak dalam kehidupan politik dan ekonomi untuk beberapa lama berjalan dengan arah yang baik, sebelum kembali dilumpuhkan oleh ‘keberhasilan’ pemusatan kekuasaan di tangan satu orang karena dukungan-dukungan oportunistik terkait pengutamaan hasrat kekuasaan.
Ketika muncul, para pelopor reformasi tidak mempersiapkan visi. Tidak oleh perorangan tokoh, tidak oleh kelompok-kelompok pendukung reformasi, bersamaan dengan fakta bahwa reformasi sejauh ini hanyalah retorika. Tidak ada pembaharuan konsep moral dan penciptaan etika politik baru untuk mengganti konsep yang dianggap menyimpang di masa kekuasaan lampau. Setiap anggota parlemen menyebut diri mempunyai hak konstitusional. Yang paling buruk adalah setiap sidang paripurna penuh dengan interupsi. Semua ingin bicara tanpa aturan tata tertib lagi, seakan kehidupan liar di alam. Siapa yang ingin bicara, terus langsung interupsi, dan tak jarang terjadi interupsi terhadap interupsi. Bahkan interupsi atas interupsi atas interupsi.
Interupsi di DPR ini dimulai masih di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, yang dilakukan oleh Sabam Sirait dari PDI, saat Wahono menjadi Ketua DPR-RI. Itupun sebenarnya hanya untuk meminta jangan dulu diambil keputusan. Apa yang dilakukan Sabam waktu itu sudah dianggap berani. Sekarang, dianggap mode untuk berhebat-hebatan. Tentunya harus ada aturan, misalnya giliran fraksi per fraksi. Harus ada etika untuk bersedia mendengar dulu pendapat orang lain baru kemudian dikomentari. Sekarang, nyatanya bila ada yang sedang bicara, belum selesai sudah dipotong. Ketua bicara pun dipotong. ”Maka barangkali bisa difahami kenapa ada keengganan Presiden atau para eksekutif lainnya untuk memenuhi undangan DPR. Lembaga DPR itu sama kedudukannya dengan Presiden, namun ada fungsionalisasi dan semua fungsi sama pentingnya. Harus ada kemauan untuk saling menghormati, meski pun berbeda pendapat. Itulah demokrasi, sesungguhnya”.
Dan kini di bulan Juli 2010, sorotan baru untuk sesuatu yang sebenarnya ’penyakit’ lama, kembali diarahkan kepada para anggota DPR yang semestinya terhormat dan tidak untuk diperolok-olokkan. Para anggota dituding makin malas, banyak bolos dalam berbagai sidang paripurna maupun sidang-sidang penting lainnya. Kalaupun hadir, seperti yang secara ’jahil’ ditayangkan oleh sejumlah media televisi, mereka ketiduran saat sidang. Persis sama dengan ’musibah’ ngantuk dan ketiduran yang dialami sejumlah menteri Kabinet Bersatu II sekitar 30 jam setelah nonton bareng final sepakbola Piala Dunia dengan Presiden SBY di Puri Cikeas bulan lalu. Dengan perilaku para yang terhormat itu, olok-olok lama muncul kembali dalam versi remix baru, yakni DDT-D yang berarti Datang, Duduk, Tertidur tetapi tetap dapat Duit. Kalau para terhormat itu banyak bolos dan tertidur saat menjalankan ’tugas’, bagaimana para anggota DPR dan juga anggota Kabinet itu, bisa memenuhi kriteria Jujur-Adil-Tegas yang dituliskan aktor Pong Hardjatmo di atas kubah Gedung DPR-MPR?
Budaya aktual di parlemen ini, tentu bukan satu-satunya masalah yang saat ini dihadapi. Ada sejumlah masalah lain yang harus dibenahi, mulai dari penegakan supremasi hukum sampai kepada masalah bagaimana kebebasan pers bisa digunakan dengan baik hingga kepada masalah pembaharuan perilaku politik agar lebih berbudaya, serta masalah kebutuhan akan keluhuran seorang pemimpin.
Kita bisa bersama memberi catatan dan perhatian untuk masalah-masalah tersebut.
Penegakan supremasi hukum tetap harus dilanjutkan, tetapi bukan berarti untuk membuat orang senang berperkara. Di zaman Belanda dulu, menurut Dr Midian Sirait, hukum adat difungsikan, karena kenyataannya banyak hal yang bisa diselesaikan dengan baik dengan hukum adat. Pengadilan umum hanya untuk menyelesaikan apa yang tidak bisa diselesaikan hukum adat –meskipun tentu tidak terlepas dari kepentingan kolonial mereka– yaitu masalah hukum di antara penduduk bukan pribumi atau masalah-masalah politik yang melibatkan kaum pergerakan Indonesia. Dalam perkembangan pembangunan hukum di masa Indonesia merdeka, upaya penegakan supremasi hukum cenderung menghilangkan peranan hukum adat. Harus ada ruang untuk hukum adat, itu pertama. Kedua, supremasi hukum tidak boleh menghilangkan unsur positif dalam budaya kita. Orang Inggeris punya budaya yang melekat dengan cita-cita to be a gentleman. Orang Inggeris akan merasa tak berharga bila dikatakan “you are not gentle”. Orang Amerika menekankan “how to be a good citizen”, menekankan taat hukum dan karenanya konsisten menindaki semua yang melanggar hukum. Ingeris agak berbeda, termasuk negara yang paling sedikit memiliki undang-undang, tetapi punya banyak konvensi yang disepakati dan dipatuhi masyarakat secara luas. Indonesia sebenarnya bisa mencoba menghidupkan budaya konvensi, karena memiliki banyak konvensi yang baik dan berharga dalam adat di berbagai daerah. Di beberapa daerah, bila disebut sebagai tak tahu adat, itu betul-betul terhina, karena manusia dianggap ideal kalau tahu adat. Amerika Serikat memang tidak memiliki adat karena negara itu dibentuk oleh kaum imigran dari berbagai latar belakang budaya tempat asal.
Dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan politik serta kehidupan bernegara, kita makin kekurangan solidaritymakers seperti Adam Malik, Mohammad Hatta, IJ Kasimo, Mohammad Natsir ataupun type Soekarno bahkan Tan Malaka. Semua orang yang bergerak di kancah politik saat ini, bukan solidaritymaker –kalau tidak malah beberapa di antaranya adalah trouble maker. Kebanyakan hanya mampu menciptakan pertemanan atau solidaritas terbatas di kelompok kepentingannya. Bahkan dalam tubuh partai pun bisa terjadi solidaritas tidak utuh, karena adanya klik-klik kepentingan. ‘Pendidikan politik’ yang berlangsung bukan untuk kepentingan etis, tetapi lebih banyak untuk kepentingan kekuasaan sendiri semata-mata. Politik sekarang lebih banyak berkonotasi taktis, penuh perjuangan taktik, bukan perjuangan untuk tujuan-tujuan strategis dan luhur.
Pertemuan-pertemuan PDI-P dan Partai Golkar di tahun 2007 misalnya lebih banyak bernuansa taktis dan bukannya mengarah kepada suatu koalisi strategis. Dulu, semasa PDI dipimpin oleh Prof Sunawar Sukawati pernah ada gagasan lebih strategis yang muncul di tubuh PDI dan Golkar, untuk menyatukan keduanya karena sejumlah kesamaan aspek watak nasionalis. Tapi tidak diteruskan prosesnya. Entah bagaimana pula dengan gagasan –lebih tepatnya disebut isu– tentang konfederasi partai, fusi atau asimilasi, yang belakangan di tahun 2010 ini banyak dilontarkan oleh sejumlah elite partai terkait dengan dinaikkannya ambang batas parliamentarythreshold. Entah pula dengan gagasan yang coba dimasukkan dalam RUU Kepartaian baru, yaitu bahwa partai ’baru’ tidak bisa serta merta ikut pemilihan umum kecuali sudah berusia sekurang-kurangnya 5 tahun. Sepanjang titik beratnya tetap pada kepentingan memperkuat diri sendiri demi kekuasaan semata, tak banyak yang bisa diharapkan dalam konteks penyederhanaan partai. Konon pula pembaharuan kehidupan politik secara menyeluruh.
Sebagai penutup, kita kutip catatan berikut ini. ”Mungkin semua peristiwa politik yang telah kita hadapi, mengajarkan kita untuk kembali memulai proses dengan lebih baik dan cermat tanpa sikap ketergesa-gesaan yang tak terukur. Pulihkan nilai-nilai budaya yang baik yang kita miliki, membangun lanjut ekonomi dan politik dengan lebih baik dan cermat. Dalam konteks ini harus ditampilkan keluhuran para pemimpin. Feodalisme dalam bentuk kekuasaan dihilangkan, tetapi feodalisme dalam keluhuran dipertahankan. Partai-partai politik harus diatur lagi dulu –seperti saran seorang guru bangsa, Mohammad Natsir– dengan lebih baik, dengan menghindarkan pembatasan hak-hak”.