LANTAS, siapa yang dimaksud dengan Wahabi tulen di Indonesia? Dengan mengutip Abu Abdirrahman Ath-Thalibi yang menulis Dakwah Salaf Dakwah Bijak, kelompok yang diidentifikasi Nur Khalik Ridwan sebagai kelompok Wahabi tulen di Indonesia adalah mereka yang disebut dengan Salafi Yamani, merujuk kepada murid-murid Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, yang memimpin Ma’had Darul Hadits di daerah Dammaj, Sha’dah, Yaman. Menurut intelijen, kelompok ini memang termasuk suka menyerang kelompok lain yang dianggap berbeda paham.
Pada waktu terjadi konflik beragama beberapa tahun yang lalu, kelompok Salafi Yamani di Indonesia mendirikan FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah), dan mengirim Laskar Jihad yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib ke wilayah konflik di Ambon dan juga di Poso, Sulawesi Tengah. Namun, setelah munculnya fatwa-fatwa syaikh Salafi di Arab Saudi, menyusul berbagai penyimpangan yang terjadi dalam Laskar Jihad, FKAWJ dibubarkan, dan Ja’far Umar Thalib dipulangkan. Sejak saat itu, Ja’far Umar Thalib memusuhi kelompok Salafi Yamani dan membelot dari mereka. Kelompok Salafi Yamani sendiri, setelah pembubaran FKAWJ, mengembalikan seluruh fokus aktifitas mereka di sejumlah pesantren dan masjid di berbagai daerah di Indonesia. Berbeda dari sebelum pembubaran itu, mereka sekarang berkembang ke hampir tiap propinsi di Indonesia. Di kota-kota besar Indonesia, dakwah mereka dapat kita temui dengan mudah.

Pada pihak lain, Ketua FPI, Muhammad Rizieq Shihab, juga alumni LIPIA, walaupun tidak menjadi Wahabi, dan bukanlah penganjur Wahabi tulen, tampaknya telah mengadopsi mentalitas Wahabisme Saudi dari tempatnya belajar, dan Universitas Ibnu Sa’ud di Riyadh. Jika kolega-kolega Wahabinya mengambil bentuk permusuhan terhadap musuh-musuh alamiah Wahabi, maka Rizieq Shihab menampilkan model Islam konfrontatifnya terhadap apa yang ia pandang maksiat atau kesesatan.
Di Indonesia sendiri, banyak sekali kalangan Salafi, termasuk Salafi dakwah, atau Salafi sururi (suriyah) yang tidak menampilkan identitasnya, sebenarnya mempunyai pandangan yang berbeda dengan kalangan Salafi Wahabi puritan yang memilih berdakwah dengan cara kekerasan tersebut. Oleh karena modus pengembangan mereka yang berbasis pesantren, maka gerakan Salafi Wahabi di Indonesia umumnya bertabrakan langsung dengan konstituen Nahdlatul Ulama (NU), yang paling sering disebut sebagai biang bid’ah, selain kelompok Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi musuh besar mereka. Hal ini sudah terjadi di NTB, di mana sejumlah konflik terbuka berlangsung karena NU pun mau “main keras” bila dipaksa.
Jihad ke Afganistan, bukan ke Palestina
Dalam buku Sholeh Al-Wardani, penulis asal Mesir, berjudul Fatwa-fatwa bin Baz mengkritisi Juru Fatwa Agung (Grand Mufti) Saudi Arabia Abdul Aziz bin Baz yang mengeluarkan fatwa untuk berjihad ke Afghanistan. Yang menjadi tanda tanya besar, adalah: “Mengapa fatwa itu memerintahkan berjihad ke Afghanistan, dan tidak ke Palestina?”. Sepertiya betul kesimpulan Sholeh Al-Wardani, yang mengatakan bahwa, ada tangan-tangan tertentu yang menunjuk dan mengarahkan fatwa jihad Wahabi itu. Kader-kader Wahabi yang berjihad ke Afghanistan itu sebenarnya hasil rekayasa intelijen Eropa Barat untuk menghabisi pengaruh komunisme Eropa Timur di Afghanistan demi kepentingan mereka (http://www.didiksugiarto.com/2011/01/sejarah-gerakan-wahabi.html).
Brahma Chellaney, guru besar studi strategis pada Center for Policy Research di New Delhi, dan penulis Asian Juggernaut dan Water Asia’s New Battleground, dalam sebuah artikelnya menuliskan bahwa Saudi yang menerapkan Islam Wahabi, dikenal sebagai sumber fundamentalisme modern Islam yang mengekspor bentuk keyakinan tidak terkendali dengan mendukung kelompok-kelompok muslim ektremis di negara lain, yang lambat-laun mematikan tradisi Islam yang lebih liberal. Yang menjadi pertanyaan, mengapa yang menjadi sasaran jihad mereka adalah negara-negara yang bermasalah dengan Amerika Serikat.
Hubungan Saudi dengan Amerika sudah terjalin lama sejak akhir Perang Dunia Kedua, dengan terbukanya hubungan bisnis minyak yang menguntungkan. Namun, kerja sama politik mulai dikukuhkan pada tahun 1980-an, ketika pemerintahan Ronald Reagan menggunakan Islam sebagai alat ideologis untuk mendorong perlawanan bersenjata melawan tentara pendudukan Soviet di Afganistan. Pada 1985, dalam suatu upacara di Gedung Putih yang dihadiri beberapa orang pemimpin Mujahidin –pejuang-pejuang jihad yang kelak berkembang menjadi Taliban dan Al Qaeda– Reagan menoleh ke arah para tamunya dan berkata, “Tuan-tuan, ini merupakan cerminan moral dari bapak-bapak pendiri Amerika” (Koran Tempo, 23 November 2011).
Setelah Soviet keluar dari Afganistan, dukungan internasional untuk jihad mulai meredup dan para mujahidin kembali ke negara masing-masing. Osama bin Laden pun kembali ke Saudi. Namun, pada tahun 1990, ketika Irak menyerang Kuwait yang mengakibatkan ketakutan pada pemerintah Saudi, Osama melakukan pendekatan pada Raja Fahd, dan menawarkan bantuan untuk mempertahankan kerajaan, dengan membangun benteng pertahanan dan bantuan pasukan Mujahidin yang pernah dibinanya. Namun, Raja Fahd menolak. Osama jadi sakit hati, karena Raja Fahd ternyata lebih percaya kepada Amerika sebagai penyelamat negerinya. Masalahnya, Raja Fahd tak cukup yakin apakah kelompok Osama akan mampu menahan gempuran pesawat tempur Irak. Saran yang diberikan Osama pada Raja Fahd rupanya tak cukup meyakinkan, karena itu Raja Fahd minta bantuan kepada Amerika dan negara barat lainnya untuk melindungi kerajaan Saudi dari serbuan tentara Irak.
Menurut Osama, undangan Saudi terhadap Amerika sama artinya dengan penghinaan terhadap negara Islam. Sebab menurut Osama segala kerusakan yang ada di negara-negara Islam pada umumnya disebabkan oleh negara-negara kafir yang superpower. Menurut Osama, dengan mengundang Amerika ke Saudi, sama artinya dengan meminta dihancurkan oleh negara kafir. Merasa tak sejalan lagi dengan pemerintah, Osama dan para pengikutnya keluar dari Saudi. Mereka membangun jaringan Al Qaeda untuk menyerang Barat. Pada tahap pertama, Osama dan pengikutnya pindah ke Sudan (1992-1994), ke Pakistan (1994), dan akhirnya bergabung dengan Taliban di Afganistan. Jelaslah, sejak tahun 1992 kepemimpinan Al Qaeda telah berhijrah dan membangun pergerakan jihad dalam skala global dalam rangka menghancurkan hegemoni Barat.
Tempat-tempat latihan dibangun di berbagai lokasi di Afganistan, demikian juga dengan jaringan yang berskala internasional. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menyerang Barat. Dalam programnya, Al Qaeda memasukkan upaya untuk konsolidasi organisasi jihad, memproduksi video rekaman dengan resolusi tinggi, dan melibatkan dunia publik. Pada 1996 dan 1998 Osama mendeklarasikan perang melawan Amerika atas nama Al Qaeda. Deklarasi ini diikuti dengan serangan bom ke kedutaan Amerika di Tanzania dan Kenya. Konon, jaringan Al Qaeda itu pun menyebar sampai ke Indonesia yang muncul dengan kasus teroris yang sampai sekarang masih bergerak di bawah tanah, dengan pemain baru.
Mencegah lebih baik daripada harus memeranginya!
Sekarang ini, sebenarnya ada tiga kelompok yang menyikapi kehadiran gerakan Wahabi di Indonesia. Kelompok pertama, adalah mereka yang menerima dakwah Wahhabiyah, namun melakukan usaha modifikasi, baik sedikit, separuh, atau sebagian besar. Bahkan, di antaranya, ada pula yang hanya mengambil ruh semangatnya tanpa perlu konsisten dalam menerapkan pesan dakwah tersebut. Kelompok kedua, adalah orang-orang yang merespon positif dakwah tersebut dan menerima secara bulat tanpa usaha memodifikasinya. Mereka menerima dakwah dan berusaha menyebarkannya di lingkungan-lingkungan mereka. Dan kelompok ketiga, adalah orang-orang yang menolak mentah-mentah dakwah tersebut. Bagi mereka, dakwah yang diserukan oleh kelompok Wahhabiyah itu tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang sudah memiliki tradisi keislaman tersendiri. Dakwah tersebut tidak cocok, karena itu mereka tolak secara mutlak.
Dua kelompok pertama, di tengah masyarakat kita, kerap disebut sebagai orang-orang Wahabi. Terlepas dari mereka suka atau tidak penamaan tersebut, media-media dan sejumlah pengamat dari luar atau dalam negeri tetap menamai mereka dengan sebutan itu. Karena itu, tiap kali media mengangkat atau menyinggung kelompok Wahabi dalam pemberitaan, selalu yang dimaksud adalah salah satu kelompok dalam dua kelompok tersebut. Masalahnya, mengapa pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, tidak mengambil sikap yang jelas mengenai kelompok Wahabi yang mengusung kekerasan atas nama agama ini. Atau, kita dipaksa dihadapkan pada dua pilihan; menjadi Salafi Wahabi atau menjadi kelompok sesat…
*Ditulis untuk sociopolitica, oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.