Tag Archives: Masyumi

PKS: Korupsi dan Retorika Pengatasnamaan Agama (2)

JAUH sebelum Nurcholish Madjid, sejumlah elite Indonesia tahun 1930-an  telah melontarkan kekuatiran bahwa agama dan politik bisa saling menodai bila dicampuradukkan. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Dr Ahmad Syafii Maarif, menulis (Kompas, 6 Februari 2013) bahwa pada tahun 1930-an itu telah terjadi perdebatan panjang mengenai hubungan politik dan agama, antara elite santri nasionalis dengan elite nasionalis non-santri.

“Non-santri bersikukuh, politik itu selamanya kotor sehingga agama yang suci jangan dibawa-bawa ke dalamnya. Santri lalu membalik formulanya, justru karena politik itu kotor perlu dibersihkan dengan agama”. Gaung perdebatan ini masih dirasakan sampai tahun 1950-an, apalagi nyatanya sejumlah elite Islam pun bersikukuh untuk tetap terjun ke dalam politik dengan membawakan idiom-idiom agama. Menurut Syafii Maarif, dalam sejarah perpolitikan Indonesia dikenal dua partai moralis, yakni Masyumi dan Partai Katolik. “Jika dulu tokoh santri sangat menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi oleh politik yang kotor, sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang dalam lumpur politik yang kotor itu”.

PERUMAHAN MEWAH PETINGGI PKS. Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. (download tribunnews)
PERUMAHAN MEWAH PETINGGI PKS. Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. (download tribunnews)

Tetapi sebenarnya, sepanjang yang bisa dicatat, bahkan partai moralis seperti Masjumi pun ternyata tak selalu sepenuhnya berhasil menjaga diri agar tak terkontaminasi oleh kekotoran politik. Begitu pula dengan Partai Katolik. Sewaktu tokoh PSI Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi Menteri Perdagangan dalam Kabinet Natsir –seorang tokoh Masjumi– di tahun 1950-1951, ia menjalankan suatu program pemberian fasilitas berupa lisensi khusus perdagangan kepada pengusaha nasional tertentu. Tujuannya, untuk membantu pengusaha-pengusaha nasional tersebut bangkit bersaing. Tetapi sayangnya, lebih banyak di antara pengusaha nasional itu ternyata menjadi sekedar pengusaha akten-tas yang memperjual-belikan lisensinya kepada pengusaha keturunan. Muncul istilah Ali-Baba. Beberapa pengusaha Masjumi ikut menikmati fasilitas tersebut dan menjadi pengusaha akten-tas Ali-Baba. Para pengusaha Masjumi ini menjadi salah satu sumber utama keuangan partainya pada masa itu.

Dan ketika tokoh Masjumi Jusuf Wibisono menjadi Menteri Keuangan  dalam Kabinet Sukiman-Suwiryo (1951-1952), ia juga melanjutkan membantu beberapa pengusaha nasional. Termasuk di antara yang dibantu, adalah para pengusaha Masjumi sendiri, dengan memberikan fasilitas agar menghasilkan dana untuk partai. Tapi apa yang dilakukan Jusuf Wibisono mendapat kecaman keras secara terbuka dari kawan separtainya sendiri, Sjafruddin Prawiranegara, yang menganggapnya suatu pelanggaran. Namun sungguh menarik bahwa ketika Syafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan sebelum Jusuf Wibisono, yakni pada Kabinet Natsir (1950-1951), ia pernah membantu pengusaha TD Pardede dari PNI. Di kemudian hari TD Pardede bercerita kepada Profesor Deliar Noor, bahwa setelah usahanya menjadi besar dan sukses, ia mendatangi Sjafruddin dan tokoh Masjumi lainnya M. Sanusi yang menjadi petinggi di Kementerian Perdagangan, untuk berterima kasih. Pardede membawa ‘amplop’ sebagai tanda terima kasih. Tetapi Sjafruddin dan Sanusi, dengan cara baik-baik dan menyenangkan menolak pemberian tersebut. Kedua tokoh tersebut, meski tak sanggup menjaga moral untuk keseluruhan partainya, masih mampu menjaga etika dan moral pribadi mereka masing-masing.

Dengan Sjafruddin sebagai pengecualian, setidaknya ada pembuktian bahwa sulit menghindari uang sebagai faktor dalam politik. Bahkan Masjumi yang disebut Syafii Maarif sebagai salah satu partai moralis, pun sulit mengelak terhadap faktor yang satu itu.

Partai moralis lainnya, Partai Katolik, bukannya tanpa masalah. Ketika menjadi Menteri Perkebunan di masa Soekarno, tokoh Partai Katolik Frans Seda sempat mengecewakan kawan-kawan separtainya dengan sikap yang terlampau sayang pada jabatan dan percaya berlebihan terhadap Soekarno. Dua hari sebelum Peristiwa 30 September 1965, dua tokoh Partai Katolik IJ Kasimo dan Harry Tjan datang mengingatkan bahwa Soekarno terlalu memberi angin kepada PKI, dan bahwa partai ini akan melakukan makar. Seda bersikeras membela Soekarno, dan malah balik mengingatkan agar kedua rekannya itu jangan ikut menjadi komunisto phobia.

Tokoh Lembaga Pembela HAM, HJC Princen, Februari 1970, bertanya kepada Jaksa Agung Sugih Arto dan Jaksa Agung Muda Ali Said, tentang masa lalu Seda di zaman Soekarno. “Dari mana Frans Seda, Menteri Perkebunan di masa Soekarno mengambil uang 3 juta dollar untuk biaya pesta pora Soekarno di Italia?”, demikian ia menanyakan. Sedang di masa Soeharto, Frans Seda selaku Menteri Perhubungan pernah diberitakan oleh Harian Operasi (19 Juni 1969) melakukan pembiaran terhadap pembelian 6 tanker oleh Pertamina dengan harga tinggi yang nyata-nyata diketahui tidak wajar karena mark-up.

Baik pada masa Soekarno maupun pada masa Soeharto posisi Kementerian Agama seringkali diserahkan ke tangan tokoh-tokoh partai Islam. Tapi itu tidak menjadi jaminan moral. Kehadiran tokoh-tokoh partai Islam itu di Kementerian Agama hampir selalu identik dengan hadirnya perilaku korupsi. Pasca Soeharto, ada mantan Menteri Agama diadili karena korupsi. Belakangan ini, di masa SBY, kembali Kementerian tersebut yang dipimpin tokoh Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, disorot karena berbagai masalah korupsi, dengan pelaku yang bisa berasal dari lintas partai. Kementerian lain yang lazim dibagikan kepada partai-partai politik Islam adalah Kementerian Sosial. Tetapi di masa Soeharto kementerian itu pernah pula diserahkan kepada Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Di masa Susilo Bambang Yudhoyono, setiap partai yang tergabung dalam koalisi –PAN, PKB, PKS, PPP, dan Partai Golkar, selain Partai Demokrat sendiri– mendapat kementerian-kementerian yang bisa ‘diolah’. Masing-masing kementerian bisa menjadi wilayah pengumpulan dana politik yang memadai. Dan sejauh ini, dengan sedikit pengecualian, hampir tak satupun dari kementerian tersebut luput dari cerita dan berita korupsi.

Kekuatiran tahun 1930-an dengan demikian menjadi fakta. Percampuran politik dan agama ternyata memang terbukti cenderung saling menodai. Tapi hingga kini tetap saja pencampuran politik dan agama dilakukan. Persekongkolan korupsi memang eksotis. Sebagai lumpur politik, ia menjadi tempat mengasyikkan untuk berkubang. Meniru ‘kebahagiaan’ kerbau Meminjam sekali lagi penggambaran Syafii Maarif, “sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang dalam lumpur politik yang kotor itu”. Dalam konteks permainan berlumpur itu, idiom-idiom agama dan berbagai pengatasnamaan agama menjadi salah satu senjata andalan yang banyak digunakan. Baik dalam retorika politik offensif maupun sebagai bagian penting dalam mekanisme defensif manakala mendapat serangan.

Pada hari pertama pasca penetapan Luthfi Hasan Ishaaq, misalnya, retorika agama digunakan secara emosional oleh para kader PKS untuk membela dan menyangkal tuduhan yang menimpa sang pemimpin. Tetapi dengan berjalannya waktu, bersamaan dengan kemajuan penyidikan KPK dalam pengumpulan saksi dan bukti, reaksi emosional itu pun mereda.

Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. Ketua Majelis Syura PKS KH Hilmi Aminuddin memiliki kompleks villa mewah di areal 5000 meter persegi yang terletak di perbukitan kampung Babakan Bandung, Pagerwangi, Lembang, 15 kilometer di utara kota Bandung melalui Jalan Ir Juanda-Dago. Ia juga memiliki perkebunan seluas 5 hektar di wilyah tersebut. Sementara itu di kawasan Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, terdapat sebuah kompleks perumahan mewah di atas areal 4000 meter persegi yang terdiri dari 7 rumah mewah, yang dihuni para petinggi PKS tingkat pusat. Kompleks hanya memiliki 1 pintu yang dijaga ketat dan tak bisa dimasuki sembarang orang. Suatu situasi kesejahteraan yang mungkin semula tak terpikirkan masyarakat untuk dikaitkan dengan PKS yang secara retoris disebutkan sebagai partai dakwah.

Retorika agama juga digunakan Aceng Fikri –Bupati Garut penyandang kasus nikah siri dengan anak perempuan baru gede yang berakhir dengan ‘talak’ sepihak 4 hari kemudian. Bersama para pengacaranya, Aceng Fikri memperhadapkan Mahkamah Agung dengan hukum agama yang disebutnya lebih tinggi dari hukum negara. Dari dua contoh aktual itu, kita melihat betapa berani dan nekad sejumlah orang mengatasnamakan Tuhan dan Agama untuk membela perbuatan korupsi atau sekedar urusan pribadi yang asal mulanya menyangkut soal sejengkal di bawah pusar.

Di belakang angka-angka besar, ada kejahatan. Pengalaman empiris Indonesia menunjukkan, sepanjang menyangkut dana politik terkait kepartaian, tak mungkin menghindarkan diri dari sumber-sumber keuangan yang tidak halal. Dalam iklim dan kebiasaan berpartai di Indonesia selama ini, mustahil mengandalkan sumber pendapatan halal dari cara semacam mengumpulkan iuran anggota.

Tak ada pula partai yang resmi memiliki badan usaha sebagai sumber keuangan sah, seperti halnya yang dilakukan beberapa partai di negara demokrasi maju. Satu-satunya cara, adalah jalan pintas, melalui korupsi atau setidaknya memanfaatkan wealth driven economy dan wealth driven politic –yang berarti menyerahkan kendali kepada persekongkolan politisi busuk dengan mereka yang menguasai akumulasi uang yang lazimnya diperoleh dengan cara kotor.

Untuk negara seperti Indonesia masih berlaku adagium: di belakang angka-angka (dana maupun angka pencapaian politik) yang besar hampir pasti ada kejahatan.

Jadi, kalau ada yang membawa idiom-idiom agama dan nama Tuhan ke dalam kancah politik, pada hakekatnya berarti memasuki proses mengotori agama dan nama Tuhan. Saatnya memikirkan ulang untuk menempatkan kembali agama di tempat yang layak dan mulia sesuai hakekat yang digariskan olehNya.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (2)

Syamsir Alam*

ADA dua ganjalan bagi tokoh politik yang mengusung isu Islam tersebut, yaitu pertama adalah tidak dicantumkannya syariat Islam sebagai dasar negara, bahkan dicoret dari yang sebelumnya disetujui termuat sebagai Piagam Jakarta dalam Mukadimah UUD 1945. Kedua, ada kelompok Islam yang terlatih militer dan berjasa dalam perang kemerdekaan, dikenal sebagai laskar rakyat atau Hizbullah, tidak dapat menerima penyeragaman menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga memilih untuk tetap sebagai Tentara Islam Indonesia (TII). Puncaknya, pada 3 Agustus 1949, S.M. Kartosuwiryo memproklamirkan Darul Islam (DI), atau disebut juga sebagai Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan tersebut diikuti oleh beberapa daerah, misalnya Aceh, yang kemudian menjadi stigma yang sulit dihilangkan.

MASSA PPP DENGAN LAMBANG KABAH. “Dari jauh, kelompok Islam memang nampak hijau subur dan bersatu, tetapi bila didekati, sebenarnya terjadi pergulatan sengit dari banyak kelompok-kelompok kepentingan untuk saling mendominasi. Bahkan, ada yang berusaha dengan cara apapun (fatwa, dukungan ulama, atau dalil hadits) untuk mendapatkan pecahan lahan kekuasaan yang semakin mengecil itu”. (foto download)

Hal itu, didorong pula oleh sikap penguasa yang memperlakukan kelompok Islam sebagai kelompok sosial dan keagamaan yang perlu diawasi, karena dianggap terus berusaha membentuk negara Islam, sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk ikut berperan secara wajar. Persepsi tersebut “diwarisi” dan melekat pada penguasa Belanda dari pengalaman mereka menghadapi perang “kemerdekaan” yang umumnya dilakukan oleh kelompok (kebetulan) Islam. Karena itu, baik Orde Lama maupun Orde Baru, terutama militer, menerapkan pola kebijaksanaan yang dipakai Belanda tersebut, yaitu bersikap toleran dan bersahabat terhadap Islam sebagai kelompok sosial dan keagamaan. Namun sikap itu segera berubah menjadi keras dan tegas ketika Islam mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai kekuatan politik, yang dianggap dapat menentang kehendak penguasa. Masyumi, salah satu partai Islam yang tidak ikut mengutuk DI-TII, mulai tersingkir dari pusat kekuasaan yang dipegang oleh Soekarno (Bung Karno).

Dengan semakin berkuasanya Bung Karno dengan jargon tiga pilar utama kubu nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang diisi oleh PNI, NU dan PKI, maka Masyumi semakin tersingkir, dan mendapat stigma Islam radikal anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terutama Continue reading PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (2)

PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (1)

Sejauh Anda merasa masih hijau, Anda akan terus tumbuh.Begitu Anda merasa sudah matang, Anda mulai membusuk”, Scott Horton.

 Syamsir Alam*

PARTAI Persatuan Pembangunan (PPP) dapat dikatakan sebagai salah satu fenomena ‘janggal’, karena partai Islam di negara yang menurut statistik berpenduduk mayoritas beragama Islam itu pada Pemilu 2009 yang lalu hanya mampu meraih 5,33 persen suara. Di bawah kepemimpinan Drs. Suryadharma Ali MSi, yang sekarang menjabat Menteri Agama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), terobsesi kembali menjadi rumah besar untuk menampung kepentingan politik Islam di Indonesia. Pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I PPP di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Selasa 21 Februari yang lalu, PPP berani menargetkan meraih suara minimal 10 persen dalam pemilu 2014.

SURYADHARMA ALI. “Di bawah kepemimpinan Drs. Suryadharma Ali MSi, yang sekarang menjabat Menteri Agama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), terobsesi kembali menjadi rumah besar untuk menampung kepentingan politik Islam di Indonesia”. (foto download berita-kendari).

Melihat hasil Pemilu 2009 lalu, bukan saja diratapi banyak orang karena amburadulnya DPT (daftar pemilih yang tercatat) yang mengkibatkan 40 juta pemilih kehilangan suara, tetapi, juga kian terpuruknya partai Islam termasuk PPP. Baru kali ini parpol Islam tidak mampu menembus tiga besar yang sejak pemilu 1955 selalu mereka tempati. Sebagai partai kecil, yang dari survei perilaku masyarakat sebuah lembaga survei independen nampak semakin turun pemilihnya, PPP bisa tereliminasi dari parlemen (DPR) bila ambang batas parlemen (parliamentary threshold) Pemilu 2014 mendatang jadi naik menjadi 5 persen. Untunglah, nilai ambang batas tersebut hanya menjadi 3,5 persen yang mungkin dapat dilewati PPP.

Persatuan rapuh yang dipaksakan

Sejak semula sudah terbayangkan, PPP yang dibentuk pada 5 Januari 1973 berdasarkan fusi atau penggabungan ‘paksa’ dari partai-partai Islam –Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)– nantinya akan pecah kembali menunggu peluang yang tepat. Kebijakan Continue reading PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (1)

NU, Kaum ‘Sarungan’ yang Gamang dalam Dunia Modern (2)

PESANTREN yang berkultur NU adalah  tipe pesantren kuno yang ada sejak era Walisongo, dengan ciri khas adanya ritual tahlilan. Ritual biasanya berlangsung malam Jum’at, shalat subuh dan paruh kedua tarawih memakai qunut, salat tarawih 20 raka’at dan mengaji kitab kuning. Pesantren NU tersebut sangat toleran dan akomodatif pada kultur lokal.

ABDURRAHMAN WAHID, CUCU PENDIRI NU. “Di bawah kepemimpinan Gus Dur –nama akrab KH Abdurrahman Wahid, cucu pendiri NU– pasca muktamar Situbondo, NU berkembang pesat dengan menampakkan jatidirinya yang baru. Dengan upaya pemberdayaan yang digencarkannya membuat kaum nahdliiyin tidak lagi dilihat sebagai kaum ‘sarungan’ dari pinggiran yang nyaris terbelakang”. (foto download).

Dari segi sistem, ada dua model pendidikan pesantren NU yaitu Pesantren Salaf dan Modern (Kholaf). Pesantren Salaf atau salafiyah –perlu dibedakan kata “salaf” atau “salafiyah” di sini yang bermakna tradisional atau kuno, dengan “Salafi” yang menjadi nama lain dari Wahabi– menganut sistem pendidikan tradisional ala pesantren dengan sistem pengajian kitab kuning dan madrasah diniyah. Contoh Pesantren salaf murni yang besar dan tua, adalah Ponpes Sidogiri Pasuruan, Pesantren Langitan, Pondok Lirboyo Kediri. Sedangkan pesantren modern, memprioritaskan pendidikan pada sistem sekolah formal dan penekanan bahasa Arab modern. Sistem pengajian kitab kuning, baik pengajian sorogan wetonan maupun madrasah diniyah, ditinggalkan sama sekali. Atau minimal kalau ada, tidak wajib diikuti. Walaupun demikian, secara kultural tetap mempertahankan ke-NU-annya seperti tahlilan, qunut, yasinan, dan tradisi belajar lainnya.

Di luar itu, ada juga pesantren NU yang menganut kombinasi sistem perpaduan antara modern dan salaf. Seperti Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang.

Karena berkembang dari tradisi Indonesia dengan basis di pesantren-pesantren itu, NU menampilkan sosok Islam yang moderat, toleran, selaras dengan tradisi lokal dan menghargai setiap perbedaan, yang sesuai dengan prinsip golongan tengah (ahlussunnah wal jamaah).

Terperangkap dalam dunia politik praktis

Sebagai organisasi tradisional dengan massa akar rumput, sebenarnya NU mempunyai pengaruh politik yang sangat kuat. Continue reading NU, Kaum ‘Sarungan’ yang Gamang dalam Dunia Modern (2)

Abu Bakar Ba’asyir, Kisah ‘Don Kisot’ dari Ngruki (2)

SETELAH Peristiwa Bom Bali, Abu Bakar Ba’asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo (14 Oktober 2002), dan mengatakan bahwa peristiwa ledakan di Bali tersebut merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Markas Besar Polri melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia itu (17/10), namun Ba’asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME. Namun, berdasarkan pengakuan Al Faruq –sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali–  yang diterima tim Mabes Polri di Afganistan, Ba’asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI (18/10).

Kemudian, Ba’asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003, dan divonis 2,6 tahun penjara (3 Maret 2005). Ia dibebaskan pada 14 Juni 2006. Namun, Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaeda di Aceh (9 Agustus 2010). Walaupun banyak kontroversi yang terjadi selama masa persidangan, Ba’asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (16 Juni 2011) setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.

Belum banyak terungkap dari aktivitas NII
Ada dua kejadian yang berujung pada pelabelan Abu Bakar Ba’asyir sebagai biang teroris di Indonesia, yaitu aktivitas NII dan kegiatan intelijen internasional yang berimpit kepentingan memerangi kelompok Islam radikal. Menurut AM Fatwa, tokoh aktivis dakwah yang dituduh terlibat dalam kerusuhan Tanjung Priok (1984) dan dihubungkan dengan aksi Komando Jihad –sekarang Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD)– di balik aksi NII berupa pemboman yang terjadi pada waktu dulu, ada peran Ali Moertopo, petinggi militer Indonesia, sebagai aktor penting yang bermain di balik aksi radikal tersebut. “Dia mengadopsi konsep komando jihad Abdul Kadir Jaelani,” ungkapnya di tempat kerja, Kamis (28/4). Komando jihad Abdul Kadir dinilainya tidak masalah karena merangkul anak muda untuk melakukan aksi-aksi positif, mengaktualisasikan potensi diri, dan mengembangkan minat, dan bakat. Sedangkan, komando jihad bentukan Ali, cenderung mengarah kepada aksi-aksi radikal yang meresahkan, bahkan mengancam keamanan dan pertahanan negara. Fatwa menyebutkan, mendiang Ali Moertopo merekrut mantan pejuang DI/TII yang kini dinamakan Negara Islam Indonesia (NII) untuk melakukan aksi-aksi radikal. (Republika.co.id, Jakarta, Kamis, 28 April 2011).

Awalnya, dengan dihapuskannya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang sila Ketuhanan dalam Piagam Jakarta, terjadi perdebatan panjang antara golongan Islam dan golongan nasionalis. Mohammad Natsir, wakil golongan Islam dari Masyumi, menyatakan dengan tegas bahwa Islam harus menjadi dasar negara Indonesia. Dengan kekalahanan Masyumi dalam Pemilu 1955, namun dengan perolehan suara 45,2% yang menggambarkan realitas kekuatan umat Islam, menyebabkan kelompok Islam kembali menuntut agar naskah asli Piagam Jakarta diakui sebagai kaidah dasar negara dan peraturan perundangan.
Untuk meredam perdebatan ini, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan setahun kemudian, ia memperkenalkan ideologi Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) sebagai upaya untuk menyatukan ketiga ideologi dominan dalam masyarakat. Tidak lama kemudian, untuk meredam kembali munculnya isu negara Islam, Soekarno meminta Masyumi membubarkan diri, dan menyingkirkannya dari DPRGR yang dibentuk Soekarno setelah dibubarkannya parlemen hasil Pemilu 1955.
Setelah mengalami penekanan yang dilakukan oleh Soekarno kepada golongan Islam yang mendukung pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar negara (Masyumi dan DI/TII) tersebut, jatuhnya Orde Lama dan berkuasanya Orde Baru adalah sebuah harapan baru bagi mereka. Tetapi, di awal pemerintahannya, Soeharto ternyata menunjukkan sikap antipatinya terhadap golongan Islam jalur keras tersebut dan mulai merangkul golongan sosialis. Pemerintah Orde Baru menjuluki PKI sebagai “ekstrim kiri” dan Islam mendapatkan julukan “ekstrim kanan”. Berbagai sumber menyatakan, sikap Soeharto ini merupakan perwujudan dari paranoia pada ancaman kekuatan Islam terhadap kekuasaannya. Bagaimanapun, kelompok Islam radikal itu memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno, selain karena kenyataannya bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam.

JENDERAL ALI MOERTOPO. “Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif”. (Foto Tempo/Syahrir Wahab)

Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal tersebut, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif.

Puncak dari sikap represif Orde Baru tercermin dalam SU-MPR 1978 dan UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pengaturan mengenai Partai Politik dan Golkar tersebut, Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan. Tentu saja kebijakan Pemerintah tersebut mendatangkan polemik di berbagai ormas Islam. Namun,  pada akhirnya, ormas-ormas Islam memilih untuk berdamai dengan Pemerintah dan menjadikan Pancasila sebagai anggaran dasar ormas-ormas tersebut. Berbanding terbalik dengan ormas-ormas Islam tersebut, para aktivis dakwah kampus menolak keras Pancasila. Menurut mereka, menerima Pancasila berarti melakukan tindakan syirik. Selain itu, konsep nasionalisme menurut mereka sama dengan paham ashobiyah (kesukuan) dalam bentuk baru.

Namun, permainan yang dijalankan Ali Moertopo itu tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro dan didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.

Motif perang Amerika Serikat melawan kelompok Islam radikal
Pada pihak lain, dengan runtuhnya imperium Uni Soviet pada tahun 1989, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adikuasa (super-power) di dunia. Tidak heran, bila Amerika Serikat berusaha mempertahankan dan meningkatkan perannya sebagai pemimpin dunia, yang dipandang “lebih efektif ketimbang pemimpin Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)”. Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush yang disampaikan di depan Kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 September 2002, di dalam dokumen sebanyak 31 halaman dengan judul “The National Security Strategy of United States of Amerika”. Amerika Serikat menurut doktrin itu harus meningkatkan upaya memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke seluruh kawasan Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya ada di 120 negara, diperluas menjadi 160 negara. Tujuannya, untuk menjamin kedudukan dan peran White Americana, sebagai pemelihara perdamaian dunia di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Untuk mengamankan kepentingan itu, Amerika Serikat membentuk sebuah organisasi super-intelligence bernama “Proactive Pre-Emptiv Organization Group” (P2OG), dengan tugas melakukan operasi-operasi intelijen atas dasar “pukul dahulu urusan belakang”.

Prinsip ini sesuai dengan ancaman Presiden Bush kepada semua negara, “if you âre not with us, you âre against us” (kalau tak mendukung kami, anda adalah musuh kami). Serangan Bom Bali (12 Oktober 2002) dan Makassar (6 Desember 2002) merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang baru dari Amerika Serikat. Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Donald Rumfield, operasi semacam itu ditujukan untuk memancing keluarnya “tikus-tikus muslim radikal dari sarangnya.”
Karena itu, jelaslah motif Amerika Serikat memerangi kelompok Islam radikal, yang ditampilkan sebagai sosok Al Qaeda, untuk sebagian merupakan wujud arogansi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia. Padahal, menurut Brahma Chellaney, Guru Besar Studi Strategi pada Center for Policy Research di New Dehli, pengarang buku “Asian Juggernaut” dan “Water Asia’s New Battleground”, pada tahun 1980-an pemerintah Reagan menggunakan Islam sebagai alat ideologis untuk mendorong perlawanan bersenjata melawan tentara pendudukan Soviet di Afganistan. Pada 1985, dalam sebuah upacara di Gedung Putih yang dihadiri beberapa orang pemimpin mujahidin –pejuang-pejuang jihad yang kelak berkembang menjadi Taliban dan Al Qaeda– Reagan menoleh ke arah tamunya dan berkata, “Tuan-tuan, ini merupakan cerminan moral dari bapak-bapak pendiri Amerika” (Koran Tempo, 23 November 2011).

Pelajaran yang bisa ditarik dari upaya pemerintah Obama sekarang untuk berdamai dengan Taliban, yang tidak menghiraukan pengalaman Amerika Serikat akibat mengikuti kepentingan sesaat, adalah pentingnya fokus pada tujuan jangka panjang. Pelajaran kedua, perlu keberhati-hatian dalam melatih pejuang-pejuang Islamis dan mengucurkan senjata-senjata yang mematikan kepada mereka guna membantu menggulingkan suatu rezim. “Upaya melawan terorisme Islamis hanya bisa berhasil jika negara-negara tidak memperkuat bentuk-bentuk fundamentalisme Islamis yang menganjurkan kekerasan atas nama negara”, tulis Brahma. Sayangnya, dengan pelajaran dari masa lalu yang tidak dihiraukan Amerika Serikat itu, sekali lagi kelompok-kelompok ekstremis tersebut siap memberi pukulan pada mereka.

Namanya masih disebut-sebut pada setiap aksi teroris
Melihat situasi sekarang, nampak kecenderungan gerakan radikal sempalan NII, seperti JI (Jamaah Islamiyah), yang tidak lagi mau berjihad, walaupun tetap melihat jihad sebagai sesuatu yang penting, atau mungkin sudah merasa kekuatan mereka tidak cukup lagi mampu untuk menghadapi musuh. Menurut Sidney Jones, penasehat senior International Crisis Group (ICG) yang juga pengamat terorisme, “Sekarang mereka melihat jihad terlalu lemah dan juga sangat kontra produktif” (Koran Jakarta,1 Mei 2011).

Menurut laporan International Crisis Group tentang terorisme di Indonesia yang berjudul “Small Groups Big Plans” April 2011, setelah organisasi JI melemah, terlihat gejala munculnya kelompok-kelompok kecil berjejaring lokal yang lebih longgar dalam mengakomodasi individu yang ingin “berjihad” dengan biaya lebih rendah. Kelompok-kelompok kecil itu beririsan dengan kelompok Aman Abdurahman (bom Cimanggis), Tim Hisbah (bom Cirebon) dan Jamaah Anshorut Tauhid (Kompas, 27 Desember 2011). Nama Ba’asyir masih selalu disebut-sebut.

Masalah kita, mengapa pemerintah sepertinya masih membiarkan aksi gerakan radikal ini terus berlanjut?

Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam –mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.