Tag Archives: Partai Katolik

11 Maret 1966: Pemimpin Partai, Seorang Waperdam, Tiga Jenderal

HARI-HARI menjelang 11 Maret 1966, ditandai benturan fisik yang tak henti-hentinya antara mahasiswa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan massa Front Marhaenis dari PNI Ali-Surachman. Sayap PNI Ali Surachman ini dikenal sangat kiri pada masa Nasakom Soekarno karena berhasilnya penyusupan kader PKI di tubuhnya. Salah satunya yang paling terkemuka adalah Ir Surachman, kader PKI yang berhasil diposisikan sebagai Sekretaris Jenderal PNI.

PNI (Partai Nasinal Indonesia) didirikan Ir Soekarno. Di masa Soeharto, ia dilebur bersama beberapa partai nasionalis lainnya plus Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia, menjadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia). PNI adalah unsur dominan dalam PDI. Belakangan melalui pertikaian internal, terbelah menjadi dua, untuk akhirnya menjelma sebagai PDI Perjuangan, yang hingga kini bagi khalayak de facto adalah partai milik Megawati Soekarnoputeri.

Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. Sumber utama tulisan ini dan beberapa tulisan lain di socio-politica.com – (Bagi yang ingin memperoleh buku ini, bisa memesan pada: tokopedia.com/bukubria)

Kisah seorang pemimpin partai. Keberadaan kader PKI seperti Ir Surachman sebagai pimpinan PNI mendampingi Ali Sastroamidjojo SH –perancang Konperensi Asia Afrika 1955– menjadi salah satu peristiwa ‘mengherankan’ penuh tanda tanya dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Betapa tidak, karena Ali adalah tokoh yang pada tahun 1956 menolak mengajak PKI sebagai salah satu peraih suara besar dalam Pemilihan Umum 1955 ke dalam koalisi pemerintahan parlementer. Ia lebih memilih berkoalisi dengan partai-partai lain, minus PKI. Tapi, di masa Nasakom ia tampaknya terfaitaccompli berada dalam satu periuk dengan unsur-unsur komunis.

Tanggal 16 Maret 1956 ketika menghadap Presiden Soekarno –selaku formatur kabinet baru– untuk melaporkan hasil penyusunan kabinet koalisi, ia dimarahi Soekarno. “Saudara sebagai formatur bersikap tidak adil terhadap PKI. Mengapakah suatu partai besar yang mendapat suara dari rakyat lebih dari 6 juta itu, tidak kau sertakan dalam kabinet baru?! Ini tidak adil.” Ketika Ali memberi argumentasi atas tindakannya, Soekarno membentaknya. “Mendengar bentakan itu, saya kehilangan kesabaran dan menjawab dengan keras pula, bahwa kalau Presiden tidak menyetujui susunan kabinet baru yang saya ajukan itu, sebaiknya dinyatakan dengan tegas, dan mencabut mandat yang diberikan kepada saya. Dan presiden dapat segera mengangkat formatur baru.” Ali Sastroamidjojo juga menegaskan kepada Soekarno takkan merubah susunan kabinet itu sedikitpun. Selama kurang lebih seminggu Soekarno mencoba berbagai upaya memasukkan PKI dalam kabinet. Tapi gagal. Satu dan lain sebab, karena Soekarno menghadapi keteguhan sikap dan pendirian para pemimpin partai menolak keikutsertaan PKI dalam koalisi. Dan akhirnya pada 20 Maret 1956 kabinet itu diumumkan, tetap tanpa PKI di dalamnya. Demikian catatan Ali Sastroamidjojo dalam memoarnya, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Penerbit PT Kinta 1974.

Sepuluh tahun kemudian, 10 Maret 1966, Presiden Soekarno memanggil para pemimpin partai-partai Nasakom –PNI, partai-partai kelompok Agama dan beberapa partai lainnya– untuk menghadap ke Istana. Berbeda dengan yang terjadi Maret 1956, partai-partai yang ada dalam struktur Nasakom kala itu menampilkan perilaku opportunistik dan akrobatik di hadapan Soekarno. Mereka mengikuti perintah Presiden Soekarno untuk mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan pelajar serta pemuda pada hari-hari belakangan saat itu. Sementara itu, perilaku kekerasan yang ditampilkan massa PNI Ali-Surachman dalam penamaan Barisan Soekarno, tak tersentuh dalam kecaman. (Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Penerbit Kata Hasta, 2006).

            Kisah seorang Wakil Perdana Menteri. Keesokan harinya, 11 Maret 1966, di Istana Merdeka berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak pagi-pagi, mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi pengempesan ban mobil untuk memacetkan jalan. Bersamaan dengan itu terjadi pula efek kejut yang ditimbulkan oleh berita kemunculan pasukan tak dikenal yang akan mengepung istana. Sebenarnya, pasukan itu adalah sebuah satuan militer Angkatan Darat yang digerakkan di bawah komando Brigadir Jenderal Kemal Idris. Dengan dua peristiwa pagi hari itu, Soekarno tiba pada suatu posisi psikologis tertentu dan mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno dengan tergesa-gesa meninggalkan istana menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.

MENGENAI peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, bekas Waperdam I, Dr Soebandrio mempunyai versi sendiri. Sebagian bersesuaian dengan narasi lain yang ada, tetapi sebagian lainnya, terkesan fiktif. Ia menuliskan versinya itu dalam sebuah naskah –yang kemudian hari diterbitkan sebagai sebuah buku tipis Kesaksianku Tentang G30S, Jakarta 2000. Antara lain ia menuturkan, “di beberapa buku disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Saboer, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu, mungkin karena kegerahan duduk lama menunggu, tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu”.

Lebih jauh, Soebandrio menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang –sesuatu yang tak pernah dinarasikan oleh siapa pun, kecuali oleh Soebandrio– ia merasa bingung, akan ke mana ? “Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil semua menteri, sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk pikuk di sekitar istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan”. Soebandrio mengaku sepedanya meluncur terus ke selatan sampai bundaran Bank Indonesia. Tetapi ia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa hingga ujung jalan Thamrin. Ia ragu apakah bisa lolos.  Maka ia mengayuh sepeda kembali ke istana –dan ‘hebatnya’, menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966– dia sampai di istana tanpa diketahui para demonstran.

“Begitu tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak tahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah, ketika berlari menuju heli tanpa sepatu, saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor”.  

Tiga de Beste Zonen van Soekarno. Tiga jenderal yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu wilayah yang abu-abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan karakter yang juga berbeda. Tokoh pertama adalah  Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai Menteri Perindustrian Ringan. Tokoh kedua, Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Terakhir, tokoh yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya.

Mereka bertiga mempunyai posisi khusus terhadap Soekarno, dan kerapkali digolongkan sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa bertemu Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Namun pada sisi lain, sebagai sesama jenderal angkatan darat, mereka pun bisa berkomunikasi dengan Jenderal Soeharto dan menjalin hubungan yang lebih baik segera setelah Peristiwa 30 September terjadi, melebihi hubungan di masa lampau.

Ketiga jenderal ini mempunyai persamaan, yakni bergerak di suatu wilayah abu-abu dalam proses silang politik dan kekuasaan aktual yang sedang terjadi saat itu. Persamaan lain, adalah bahwa ketiganya tidak punya jalinan kedekatan –dan memang tampaknya tidak menganggapnya sebagai suatu keperluan– dengan mahasiswa pergerakan 1966. Bila bagi Muhammad Jusuf dan Basuki Rachmat ketidakdekatan itu adalah karena memang tidak dekat saja, maka bagi Amirmahmud ketidakdekatan itu kadang-kadang bernuansa ketidaksenangan sebagaimana yang terlihat dari beberapa sikap dan tindakan kerasnya terhadap mahasiswa di masa lampau dan kelak di kemudian hari.

Namun, dalam suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga jenderal, sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan kekuasaan di tahun 1966 itu, melalui dua momentum penting. Mahasiswa berperan dalam pendobrakan awal dalam nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang idealistik, sedang tiga jenderal berperan dalam titik awal suatu pengalihan kekuasaan yang amat praktis. Hanya bedanya, kelompok mahasiswa pergerakan 1966 bekerja dalam suatu pola sikap yang lebih hitam putih terhadap Soekarno dan Soeharto, sedangkan tiga jenderal Super Semar berada di wilayah sikap yang abu-abu terhadap kedua tokoh kekuasaan faktual di tahun 1966 yang ‘bergolak’ itu. Tetapi pada masa-masa menjelang Sidang Istimewa MPRS 1967, Muhammad Jusuf melakukan juga persentuhan dengan sejumlah eksponen mahasiswa pergerakan 1966, terutama kelompok-kelompok asal Sulawesi Selatan yang sedang kuliah di Jakarta dan Bandung. Jusuf meminta mereka untuk meninggalkan jalur ekstra parlementer dan memilih jalur konstitusional melalui dukungan kepada proses politik di MPRS. Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf memberi arah untuk mendukung Soeharto, namun hendaknya terhadap Soekarno diberikan jalan mundur yang terhormat (socio-politica.com).

PKS: Korupsi dan Retorika Pengatasnamaan Agama (2)

JAUH sebelum Nurcholish Madjid, sejumlah elite Indonesia tahun 1930-an  telah melontarkan kekuatiran bahwa agama dan politik bisa saling menodai bila dicampuradukkan. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Dr Ahmad Syafii Maarif, menulis (Kompas, 6 Februari 2013) bahwa pada tahun 1930-an itu telah terjadi perdebatan panjang mengenai hubungan politik dan agama, antara elite santri nasionalis dengan elite nasionalis non-santri.

“Non-santri bersikukuh, politik itu selamanya kotor sehingga agama yang suci jangan dibawa-bawa ke dalamnya. Santri lalu membalik formulanya, justru karena politik itu kotor perlu dibersihkan dengan agama”. Gaung perdebatan ini masih dirasakan sampai tahun 1950-an, apalagi nyatanya sejumlah elite Islam pun bersikukuh untuk tetap terjun ke dalam politik dengan membawakan idiom-idiom agama. Menurut Syafii Maarif, dalam sejarah perpolitikan Indonesia dikenal dua partai moralis, yakni Masyumi dan Partai Katolik. “Jika dulu tokoh santri sangat menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi oleh politik yang kotor, sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang dalam lumpur politik yang kotor itu”.

PERUMAHAN MEWAH PETINGGI PKS. Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. (download tribunnews)
PERUMAHAN MEWAH PETINGGI PKS. Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. (download tribunnews)

Tetapi sebenarnya, sepanjang yang bisa dicatat, bahkan partai moralis seperti Masjumi pun ternyata tak selalu sepenuhnya berhasil menjaga diri agar tak terkontaminasi oleh kekotoran politik. Begitu pula dengan Partai Katolik. Sewaktu tokoh PSI Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi Menteri Perdagangan dalam Kabinet Natsir –seorang tokoh Masjumi– di tahun 1950-1951, ia menjalankan suatu program pemberian fasilitas berupa lisensi khusus perdagangan kepada pengusaha nasional tertentu. Tujuannya, untuk membantu pengusaha-pengusaha nasional tersebut bangkit bersaing. Tetapi sayangnya, lebih banyak di antara pengusaha nasional itu ternyata menjadi sekedar pengusaha akten-tas yang memperjual-belikan lisensinya kepada pengusaha keturunan. Muncul istilah Ali-Baba. Beberapa pengusaha Masjumi ikut menikmati fasilitas tersebut dan menjadi pengusaha akten-tas Ali-Baba. Para pengusaha Masjumi ini menjadi salah satu sumber utama keuangan partainya pada masa itu.

Dan ketika tokoh Masjumi Jusuf Wibisono menjadi Menteri Keuangan  dalam Kabinet Sukiman-Suwiryo (1951-1952), ia juga melanjutkan membantu beberapa pengusaha nasional. Termasuk di antara yang dibantu, adalah para pengusaha Masjumi sendiri, dengan memberikan fasilitas agar menghasilkan dana untuk partai. Tapi apa yang dilakukan Jusuf Wibisono mendapat kecaman keras secara terbuka dari kawan separtainya sendiri, Sjafruddin Prawiranegara, yang menganggapnya suatu pelanggaran. Namun sungguh menarik bahwa ketika Syafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan sebelum Jusuf Wibisono, yakni pada Kabinet Natsir (1950-1951), ia pernah membantu pengusaha TD Pardede dari PNI. Di kemudian hari TD Pardede bercerita kepada Profesor Deliar Noor, bahwa setelah usahanya menjadi besar dan sukses, ia mendatangi Sjafruddin dan tokoh Masjumi lainnya M. Sanusi yang menjadi petinggi di Kementerian Perdagangan, untuk berterima kasih. Pardede membawa ‘amplop’ sebagai tanda terima kasih. Tetapi Sjafruddin dan Sanusi, dengan cara baik-baik dan menyenangkan menolak pemberian tersebut. Kedua tokoh tersebut, meski tak sanggup menjaga moral untuk keseluruhan partainya, masih mampu menjaga etika dan moral pribadi mereka masing-masing.

Dengan Sjafruddin sebagai pengecualian, setidaknya ada pembuktian bahwa sulit menghindari uang sebagai faktor dalam politik. Bahkan Masjumi yang disebut Syafii Maarif sebagai salah satu partai moralis, pun sulit mengelak terhadap faktor yang satu itu.

Partai moralis lainnya, Partai Katolik, bukannya tanpa masalah. Ketika menjadi Menteri Perkebunan di masa Soekarno, tokoh Partai Katolik Frans Seda sempat mengecewakan kawan-kawan separtainya dengan sikap yang terlampau sayang pada jabatan dan percaya berlebihan terhadap Soekarno. Dua hari sebelum Peristiwa 30 September 1965, dua tokoh Partai Katolik IJ Kasimo dan Harry Tjan datang mengingatkan bahwa Soekarno terlalu memberi angin kepada PKI, dan bahwa partai ini akan melakukan makar. Seda bersikeras membela Soekarno, dan malah balik mengingatkan agar kedua rekannya itu jangan ikut menjadi komunisto phobia.

Tokoh Lembaga Pembela HAM, HJC Princen, Februari 1970, bertanya kepada Jaksa Agung Sugih Arto dan Jaksa Agung Muda Ali Said, tentang masa lalu Seda di zaman Soekarno. “Dari mana Frans Seda, Menteri Perkebunan di masa Soekarno mengambil uang 3 juta dollar untuk biaya pesta pora Soekarno di Italia?”, demikian ia menanyakan. Sedang di masa Soeharto, Frans Seda selaku Menteri Perhubungan pernah diberitakan oleh Harian Operasi (19 Juni 1969) melakukan pembiaran terhadap pembelian 6 tanker oleh Pertamina dengan harga tinggi yang nyata-nyata diketahui tidak wajar karena mark-up.

Baik pada masa Soekarno maupun pada masa Soeharto posisi Kementerian Agama seringkali diserahkan ke tangan tokoh-tokoh partai Islam. Tapi itu tidak menjadi jaminan moral. Kehadiran tokoh-tokoh partai Islam itu di Kementerian Agama hampir selalu identik dengan hadirnya perilaku korupsi. Pasca Soeharto, ada mantan Menteri Agama diadili karena korupsi. Belakangan ini, di masa SBY, kembali Kementerian tersebut yang dipimpin tokoh Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, disorot karena berbagai masalah korupsi, dengan pelaku yang bisa berasal dari lintas partai. Kementerian lain yang lazim dibagikan kepada partai-partai politik Islam adalah Kementerian Sosial. Tetapi di masa Soeharto kementerian itu pernah pula diserahkan kepada Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Di masa Susilo Bambang Yudhoyono, setiap partai yang tergabung dalam koalisi –PAN, PKB, PKS, PPP, dan Partai Golkar, selain Partai Demokrat sendiri– mendapat kementerian-kementerian yang bisa ‘diolah’. Masing-masing kementerian bisa menjadi wilayah pengumpulan dana politik yang memadai. Dan sejauh ini, dengan sedikit pengecualian, hampir tak satupun dari kementerian tersebut luput dari cerita dan berita korupsi.

Kekuatiran tahun 1930-an dengan demikian menjadi fakta. Percampuran politik dan agama ternyata memang terbukti cenderung saling menodai. Tapi hingga kini tetap saja pencampuran politik dan agama dilakukan. Persekongkolan korupsi memang eksotis. Sebagai lumpur politik, ia menjadi tempat mengasyikkan untuk berkubang. Meniru ‘kebahagiaan’ kerbau Meminjam sekali lagi penggambaran Syafii Maarif, “sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang dalam lumpur politik yang kotor itu”. Dalam konteks permainan berlumpur itu, idiom-idiom agama dan berbagai pengatasnamaan agama menjadi salah satu senjata andalan yang banyak digunakan. Baik dalam retorika politik offensif maupun sebagai bagian penting dalam mekanisme defensif manakala mendapat serangan.

Pada hari pertama pasca penetapan Luthfi Hasan Ishaaq, misalnya, retorika agama digunakan secara emosional oleh para kader PKS untuk membela dan menyangkal tuduhan yang menimpa sang pemimpin. Tetapi dengan berjalannya waktu, bersamaan dengan kemajuan penyidikan KPK dalam pengumpulan saksi dan bukti, reaksi emosional itu pun mereda.

Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. Ketua Majelis Syura PKS KH Hilmi Aminuddin memiliki kompleks villa mewah di areal 5000 meter persegi yang terletak di perbukitan kampung Babakan Bandung, Pagerwangi, Lembang, 15 kilometer di utara kota Bandung melalui Jalan Ir Juanda-Dago. Ia juga memiliki perkebunan seluas 5 hektar di wilyah tersebut. Sementara itu di kawasan Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, terdapat sebuah kompleks perumahan mewah di atas areal 4000 meter persegi yang terdiri dari 7 rumah mewah, yang dihuni para petinggi PKS tingkat pusat. Kompleks hanya memiliki 1 pintu yang dijaga ketat dan tak bisa dimasuki sembarang orang. Suatu situasi kesejahteraan yang mungkin semula tak terpikirkan masyarakat untuk dikaitkan dengan PKS yang secara retoris disebutkan sebagai partai dakwah.

Retorika agama juga digunakan Aceng Fikri –Bupati Garut penyandang kasus nikah siri dengan anak perempuan baru gede yang berakhir dengan ‘talak’ sepihak 4 hari kemudian. Bersama para pengacaranya, Aceng Fikri memperhadapkan Mahkamah Agung dengan hukum agama yang disebutnya lebih tinggi dari hukum negara. Dari dua contoh aktual itu, kita melihat betapa berani dan nekad sejumlah orang mengatasnamakan Tuhan dan Agama untuk membela perbuatan korupsi atau sekedar urusan pribadi yang asal mulanya menyangkut soal sejengkal di bawah pusar.

Di belakang angka-angka besar, ada kejahatan. Pengalaman empiris Indonesia menunjukkan, sepanjang menyangkut dana politik terkait kepartaian, tak mungkin menghindarkan diri dari sumber-sumber keuangan yang tidak halal. Dalam iklim dan kebiasaan berpartai di Indonesia selama ini, mustahil mengandalkan sumber pendapatan halal dari cara semacam mengumpulkan iuran anggota.

Tak ada pula partai yang resmi memiliki badan usaha sebagai sumber keuangan sah, seperti halnya yang dilakukan beberapa partai di negara demokrasi maju. Satu-satunya cara, adalah jalan pintas, melalui korupsi atau setidaknya memanfaatkan wealth driven economy dan wealth driven politic –yang berarti menyerahkan kendali kepada persekongkolan politisi busuk dengan mereka yang menguasai akumulasi uang yang lazimnya diperoleh dengan cara kotor.

Untuk negara seperti Indonesia masih berlaku adagium: di belakang angka-angka (dana maupun angka pencapaian politik) yang besar hampir pasti ada kejahatan.

Jadi, kalau ada yang membawa idiom-idiom agama dan nama Tuhan ke dalam kancah politik, pada hakekatnya berarti memasuki proses mengotori agama dan nama Tuhan. Saatnya memikirkan ulang untuk menempatkan kembali agama di tempat yang layak dan mulia sesuai hakekat yang digariskan olehNya.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Dilema Aksi Unjuk Rasa: Jalan Demokrasi atau Anarki?

AKSI unjuk rasa sebagai bagian gerakan ekstra parlementer, adalah cara yang sah dalam demokrasi. Dulu kala, di tahun 1966 dan 1973-1974 aksi menyampaikan aspirasi itu lebih dikenal dalam terminologi “demonstrasi” atau gerakan parlemen jalanan. Kehadiran parlemen jalanan mengandung konotasi bahwa parlemen resmi di Gedung DPR tak lagi cukup dipercaya atau tak lagi dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat. Bahkan, kemungkinan besar untuk sebagian besar DPR memang tak lagi mewakili kepentingan rakyat, karena dalam kenyataan anggota-anggotanya lebih mewakili kepentingan pribadi dan partainya.

Dalam situasi DPR makin tak dipercaya mewakili kepentingan rakyat, khususnya seperti yang menjadi pengalaman pada tahun-tahun terakhir ini, mekanisme unjuk rasa melalui cara ekstra parlementer menjadi pantas sebagai pilihan utama masyarakat untuk menyampaikan kritik dan keresahannya. Namun, pilihan utama itu bukannya tanpa risiko, karena dengan sedikit salah langkah –apalagi dibarengi salah persepsi– aksi unjuk rasa yang sebenarnya sah menurut demokrasi dengan mudah berubah menjadi anarki.

Unjuk rasa yang anarkis, akan menciptakan antipati, padahal tujuan utama suatu unjuk rasa sebenarnya adalah untuk mencari perhatian, simpati dan dukungan. Kecuali bila suatu gerakan memang didisain untuk menciptakan chaos dengan suatu tujuan politik tertentu –misalnya niat menjatuhkan suatu rezim– melalui kamuflase unjuk rasa demokratis. Pun bisa suatu gerakan ekstra parlementer bertujuan ideal dan digunakan karena tak ada jalan lain, namun berhasil dibelokkan secara cerdik oleh pihak tertentu untuk kepentingan khas. Bisa pula, suatu unjuk rasa berubah anarkis karena terpancing dan terpicu oleh sikap arogan maupun cara-cara kekerasan yang digunakan aparat negara ketika menghadapi aksi unjuk rasa tersebut. Sebagaimana juga mungkinnya aksi kekerasan pihak aparat terjadi justru karena terpancing oleh perilaku sejumlah pelaku unjuk rasa yang sengaja dilakukan untuk menimbulkan amarah petugas keamanan. Keadaan kini sudah cenderung serba campur aduk, karena tatkala aksi unjuk rasa sudah menjadi pula bagian dari taktik politik, maka sudah sulit untuk memilah mana unjuk rasa yang murni memperjuangkan kebenaran dan mana unjuk rasa yang bertendensi politik praktis. Dalam situasi seperti sekarang ini, seringkali mayoritas masyarakat bingung untuk menentukan dukungan.

HANYA sehari setelah terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965, masih pada 1 Oktober, sejumlah tokoh mahasiswa Bandung dengan cepat menyatakan penolakan terhadap Dewan Revolusi yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Pada 5 Oktober, saat di Jakarta berlangsung upacara pemakaman 6 jenderal dan 1 perwira pertama korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965, mahasiswa Bandung atas prakarsa tokoh-tokoh mahasiswa seperti Alex Rumondor, Rahman Tolleng, Sugeng Sarjadi dan beberapa mahasiswa lainnya melakukan apel berkabung. Pada siang hari, apel dilanjutkan unjuk rasa keliling kota, yang berakhir dengan aksi pendudukan sebuah kantor suratkabar pro PKI dan kantor-kantor milik PKI dan ormas onderbouwnya. Dalam aksi-aksi itu tak terjadi kekerasan berdarah. Dua hari kemudian, 7 Oktober, KAP Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh) melakukan aksi serupa di Jakarta, juga tanpa kekerasan fisik yang berdarah. KAP Gestapu dipelopori pembentukannya oleh dua tokoh dengan kombinasi latar belakang yang unik, yakni Harry Tjan Silalahi eks tokoh PMKRI yang sudah menjadi fungsionaris Partai Katolik, dan Subchan ZE tokoh muda Nahdlatul Ulama.

Tetapi setelah itu, dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti yang bisa dibaca dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly, Penerbit Kata Hasta Pustaka, 2006) terjadi gelombang pembalasan terhadap PKI. Pembalasan itu, “berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah”. “Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis”.

Aksi-aksi mahasiswa, pemuda, pelajar dan kaum cendekiawan dalam gerakan 1966 –khususnya sejak pencetusan Tritura 10 Januari 1966 sampai 10 Maret 1966– selalu dijaga sendiri oleh para peserta aksi parlemen jalanan, untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat, melalui cara dan argumentasi menggunakan akal sehat. Apalagi ketika korban di kalangan mahasiswa jatuh bertumbangan oleh peluru dan bayonet aparat kekuasaan. Begitu pula gerakan-gerakan mahasiswa 1973 sampai awal 1974. Gerakan-gerakan itu berhasil mendapat simpati dan dukungan masyarakat. Menjadi pemandangan yang lazim, setiap kali demonstran turun berbaris ke jalan menyampaikan tuntutan-tuntutan, kaum ibu juga turun ke jalan dengan sukarela membagi-bagikan nasi bungkus dan minuman kepada peserta demonstran. Dalam berbagai demonstrasi pada beberapa tahun terakhir, ada juga pembagian nasi bungkus, yang kemudian ditambah dengan pemberian amplop langsung atau melalui koordinator pengerah massa, sehingga nuansa dan konotasinya menjadi samasekali berbeda. Gejala yang disebut terakhir ini, terutama terkait dengan aksi unjuk rasa yang merupakan kontra demo yang disponsori pendukung kelompok kekuasaan, atau demo-mendemo dalam hubungan pilkada.

PARA senior pergerakan mahasiswa, seringkali memberi saran, lebih gunakan otak daripada otot. Memang sedikit mengherankan kenapa, para pengunjuk rasa pada sepuluh terakhir ini, termasuk mahasiswa, lebih sering memilih cara penggunaan otot yang suka atau tidak suka pada akhirnya memberi nuansa kekerasan. Beberapa aktivis mahasiswa mencoba menjelaskan, bahwa seringkali kekerasan, atau cara-cara fors lainnya, termasuk memblokkir jalan dan atau memacetkan lalu lintas, terpaksa dilakukan untuk menarik perhatian, karena cara-cara yang santun dan tertib ala mahasiswa zaman dulu sudah tidak diperhatikan. Maka diciptakanlah berbagai cara baru untuk menarik perhatian. Selain itu, pers atau media, juga ikut membentuk cara dan bentuk aksi unjuk rasa, dengan hanya memberi porsi pemberitaan kepada aksi-aksi yang ‘spektakuler’ dan menghebohkan. Di mata pers masa kini, pernyataan-pernyataan keras dan ‘vulgar’ mengalahkan pernyataan-pernyataan yang betapa pun tajam dan nalarnya tapi tidak heboh.

MENJEBOL PAGAR DPR 12 JANUARI 2012. “Biasanya pintu yang dirobohkan, kali ini pagar samping. Tetapi cukup menarik, bahwa setelah pagar bobol, massa tidak terus menerobos jauh ke dalam, karena dicegah oleh sejumlah pengatur gerakan, bukan karena halauan aparat keamanan”. (Foto download kompas.com)

Aksi kaum pekerja dari Bekasi baru-baru ini yang memblokkir jalan tol, mendapat tempat dalam pemberitaan, sekalipun juga mendapat sumpah serapah dari publik pengguna jalan. Begitu pula, aksi kaum tani dalam unjuk rasa mengenai keagrariaan 12 Januari baru lalu di depan gedung DPR, mendapat rating karena membobol pagar gedung perwakilan rakyat. Biasanya pintu yang dirobohkan, kali ini pagar samping. Tetapi cukup menarik, bahwa setelah pagar bobol, massa tidak terus menerobos jauh ke dalam, karena dicegah oleh sejumlah pengatur gerakan, bukan karena halauan aparat keamanan.

PENGAMANAN internal suatu gerakan juga suatu persoalan tersendiri. Apa yang dialami mahasiswa Jakarta pada awal 1974, perlu dijadikan pelajaran. Pada 15 Januari 1974, mahasiswa tak cukup siap dalam pengamanan internal gerakan. Ketika mahasiswa berbaris dari kampus Trisakti kembali ke kampus UI, orang-orang yang bekerja untuk Ali Moertopo –salah seorang jenderal yang terlibat persaingan internal di lingkungan ‘pendukung’ Soeharto– berhasil mengoorganisir peletupan aksi perusakan anarkis di Jalan Pecenongan dan Senen Raya. Dengan mudah kemudian, mahasiswa dikambinghitamkan telah melakukan makar melalui Peristiwa 15 Januari 1974 yang diberi penamaan Malari (Malapetaka Limabelas Januari) dengan mengobarkan kerusuhan. Jenderal Soemitro yang dituding berada di belakang gerakan mahasiswa, dengan gampang disapu, terlebih karena sang jenderal justru menunjukkan sikap ragu membela mahasiswa di saat terakhir.

Para mahasiswa yang kini bergerak masih dengan tujuan ideal dalam mengkritisi ketidakadilan, perlu mengkaji ulang ‘keamanan’ gerakan-gerakan mereka. Mereka masih perlu menjaga agar gerakan-gerakan mereka mendapat simpati dan dukungan masyarakat, dengan menghindari sikap-sikap kontra produktif, seperti merusak fasilitas umum, sengaja menimbulkan kekacauan lalu lintas dan sebagainya, sehingga menimbulkan antipati. Apa memang mau berjuang sendirian, yang bukan untuk kepentingan rakyat?

Aspek pengamanan internal lainnya, yang tak kalah pentingnya, baik itu gerakan mahasiswa maupun gerakan pekerja atau petani, adalah mengenai terdapatnya peran ‘event organizer’ di balik gerakan. Tak selalu massa peserta gerakan mengetahui adanya pemain belakang layar ini, yang memanfaatkan aspirasi murni suatu gerakan. Para pelaksana atau ‘event organizer’ ini akan memprovokasi dan membiayai gerakan, lalu di belakang layar menguangkan peristiwa aksi dengan menegosiasi calon sasaran dan atau siapapun yang berkepentingan dengan “ada” atau “tidak”nya gerakan. Itu sebabnya, suatu aksi bisa maju-mundur, seperti layaknya bidak-bidak dalam permainan catur saja, karena disesuaikan dengan negosiasi ‘komersial’. Tentu saja masih ada gerakan-gerakan murni dan spontan dengan latar belakang idealisme, tetapi tak bisa disangkal adanya permainan kotor di balik ini semua. Itu sebabnya, banyak kalangan kekuasaan yang tak terlalu peduli dan tak terlalu memandang aksi unjuk rasa sebagai sesuatu yang luar biasa. Penguasa juga merasa, sewaktu-waktu toh mereka bisa melakukan gerakan kontra yang tak kalah kotornya. Paling tidak, merasa bahwa tuntutan-tuntutan yang diajukan pengunjuk rasa tak mewakili keinginan rakyat yang sesungguhnya.

PARA aktivis idealis, harus bersikap lebih serius menghadapi fenomena belakang layar ini, karena bila dibiarkan berlanjut pada akhirnya membuat semua gerakan unjuk rasa takkan ada harganya lagi samasekali sebagai jalan demokrasi….. Dan bila semua unjuk rasa tak berharga lagi, tak ada lagi kanal menyampaikan kritik dan keresahan, maka pada akhirnya suatu saat mendadak tanpa terkendali lagi, bisa terjadi gerakan yang tiba-tiba revolusioner. Dan kemungkinan besar, akan bersifat anarkis.

The Stories Ever Told: Soeharto dan Para Presiden Indonesia (1)

BEBERAPA kisah berikut ini mungkin tidak baru dan tak selalu berkategori untold seperti halnya cerita-cerita dalam sebuah buku baru Pak Harto, The Untold Stories, penuturan 113 narasumber dengan editor Arissetyanto Nugroho. Buku baru ini  praktis terisi kenangan serba manis –yang ditandai dan dipastikan dengan kehadiran puteri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti, dalam acara peluncurannya– yang dengan pas mengisi momentum re-start pemugaran nama Soeharto yang menurut hasil survey Indo Barometer (25 April – 4 Mei) number one di mata publik. Soeharto mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono (urutan kedua) dan Soekarno (urutan ketiga).

Suatu survey tentang pendapat publik tentu hanya mampu memotret situasi dalam periode tertentu saja (contemporary). Pendapat publik bukan menunjukkan atau mengesahkan kebenaran fakta sejarah. Pencatatan fakta sejarah berdasarkan disiplin ilmu yang objektif, mampu melihat secara menyeluruh mendekati kebenaran, termasuk mengenai kebenaran atau ketidakbenaran seorang pemimpin dari waktu ke waktu. Dalam rangka pencitraan, mungkin saja terjadi kesengajaan memalsukan. Namun pemalsuan sejarah pada umumnya tak mampu bertahan seterusnya.

Sebenarnya, bila berbicara tentang tokoh pemimpin, kebenaran sejarah mengenai 5 dari 6 Presiden yang pernah memimpin Indonesia, sudah kita miliki catatannya. Dengan demikian, kelebihan dan kelemahan mereka, keberhasilan maupun kegagalan mereka, sudah dapat dijadikan pelajaran. Hanya tentang Presiden yang ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, belum ada catatan finalnya, karena masih ada setidaknya tiga tahun waktu yang harus dijalaninya ke depan. Tetapi saat ini, memasuki tahun ketujuh masa kekuasaannya, ia sungguh direpotkan oleh tanda-tanda pembusukan yang terjadi di lingkungan pemerintahannya maupun di internal partai pendukung utamanya, Partai Demokrat. Aroma ‘pembusukan’ internal Partai Demokrat menguat setelah terkuaknya kasus suap Sesmenpora yang antara lain dikaitkan dengan Bendahara partai, Muhammad Nazaruddin dan anggota DPR Angelina Sondakh. Ini menambah catatan publik tentang partai ini, setelah kasus John Allen Marbun yang tak kunjung ada kejelasannya hingga kini.

Menurut survey terbaru LSI, publik meyakini bahwa ada keterlibatan yang cukup signifikan dari kader-kader Partai Demokrat. Lakon dan komentar para petinggi partai itu yang untuk sebagian serba tak masuk akal, sekaligus bernuansa ancam mengancam untuk buka-bukaan, hanya akan memperkuat dugaan adanya ketidakberesan di tubuh partai. Apa yang dilakukan SBY tiga tahun ke depan akan menentukan, apakah penilaian tentang kegagalan yang sejauh ini telah mulai dijatuhkan atas dirinya, masih bisa diperbaiki atau tidak?

Berakhir dengan lembaran hitam. PADA hakekatnya, seluruh Presiden yang pernah memimpin Indonesia, senantiasa memulai kepemimpinan dan masa kepresidenannya dengan baik, namun mengakhirinya dengan lembaran hitam atau setidaknya tersudut dalam posisi jauh dari cemerlang. Tak ada yang berakhir dengan manis, tetapi cenderung asin dan pahit.

SOEKARNO, SOEHARTO, UNTUNG. “Lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dilalui nyaris sepenuhnya sebagai seorang diktator dalam masa suram Nasakom, dengan situasi ekonomi yang praktis hancur lebur, ditutup dengan malapetaka politik Peristiwa 30 September 1965”. Foto reproduksi.

Lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dilalui nyaris sepenuhnya sebagai seorang diktator dalam masa suram Nasakom, dengan situasi ekonomi yang praktis hancur lebur, ditutup dengan malapetaka politik Peristiwa 30 September 1965. Dasawarsa pertama masa kepresidenan Soeharto ditandai harapan kebangkitan melalui pembangunan ekonomi dan pembangunan politik. Tetapi sepanjang dasawarsa kedua, ternyata pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak disertai dengan keberhasilan pemerataan dan keadilan sosial-ekonomi. Kue hasil pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang, dan menurut Prof Soemitro Djojohadikoesoemo terjadi kebocoran anggaran pembangunan sampai 30 persen. Pada waktu yang sama, makin ternyata bahwa Soeharto dan para jenderalnya memerintah dengan kecenderungan otoriter.

Dua kecenderungan ini makin menguat pada dasawarsa ketiga. Kolusi, korupsi dan nepotisme makin menonjol. Nepotisme bukan hanya merambah kehidupan ekonomi, tetapi juga dalam penentuan posisi-posisi politik dan kekuasaan.  Tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Soeharto diisi dengan berbagai kekerasan kekuasaan, antara lain berupa penghilangan paksa terhadap aktivis-aktivis gerakan kritis, berpuncak pada kerusuhan Mei 1998, sehingga Soeharto terpaksa memilih lengser dari kekuasaan.

Tiga Presiden berikut pasca Soeharto, memerintah ‘seumur jagung’. BJ Habibie ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR. Abdurrahman Wahid mengisi masa kepresidenannya dengan upaya pengejaran pelaku KKN masa Soeharto, khususnya dalam kaitan kejahatan keuangan menyangkut BLBI, tapi pada waktu yang sama direpotkan oleh ‘ketidakserasian’ dengan Wapres Megawati Soekarnoputeri. Abdurrahman Wahid menutup masa kepresidenannya karena impeachment setelah mengeluarkan dekrit membubarkan DPR. Kalau Abdurrahman Wahid ‘jatuh’ karena dianggap berbuat melebihi yang seharusnya, Megawati sebaliknya tak terpilih kembali antara lain karena berbuat kurang dari seharusnya. Hanya dalam satu hal ia berbuat lebih dari dua presiden pasca Soeharto sebelumnya, yakni mengurangi jumlah BUMN strategis dengan menjualnya.

BERBEDA dengan presiden-presiden terbaru Indonesia, Soekarno dan Soeharto dalam masa tertentu memiliki kedekatan ‘istimewa’ dengan mahasiswa, bahkan secara historis, kelompok kekuatan mahasiswa menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dari sejarah bangun dan runtuhnya kepemimpinan maupun kekuasaan mereka berdua.

Soekarno boleh dikata mengawali sejarah pergerakannya menuju Indonesia merdeka secara bermakna tatkala menjadi mahasiswa Technische Hooge School (THS) te Bandoeng yang kemudian dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Sewaktu menjadi Presiden RI, dalam banyak kesempatan Soekarno selalu mengelu-elukan kekuatan mahasiswa sebagai salah satu kekuatan masa depan bangsa. Praktis, Soekarno dekat dengan mahasiswa segala golongan, namun pada masa Nasakom 1960-1965 kedekatannya itu menjadi lebih eksklusif, khususnya dengan GMNI onderbouw PNI dan CGMI onderbouw PKI. Tetapi kedekatannya dengan beberapa tokoh PMKRI yang kemudian menjadi tokoh Partai Katolik tetap terjalin. Di masa Nasakom, PKI dan organisasi-organisasi mantelnya menganiaya sebuah organisasi mahasiswa Islam, HMI, dengan leluasa. Soekarno  tidak terlalu mencegah penganiayaan terhadap organisasi mahasiswa yang sering dituding kontra revolusi itu, namun ketika ada usul untuk membubarkan HMI, Soekarno tidak setuju.

Menurut Dr Midian Sirait, yang menjadi Pembantu Rektor III ITB persis di masa transisi peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, setiap kali ada dies natalis organisasi mahasiswa, Soekarno selalu diundang. Dan bisa dipastikan Soekarno selalu hadir. Ia juga tak menampik bila dilibatkan langsung dalam acara-acara unik mahasiswa, yang sepertinya tak pernah dilakukan oleh presiden-presiden Indonesia lainnya. Suatu ketika pada sebuah acara khas mahasiswa ia diajak untuk turut serta dalam tanya-jawab saling uji yang santai. “Baik”, ujar Soekarno, “silahkan mulai bertanya”. Seorang mahasiswa tampil ke depan lalu bertanya kepada Soekarno, “Pak Presiden, sebutkanlah air terjun yang paling kuat di dunia”. Soekarno berpikir sejenak lalu menjawab, “Niagara Falls, di Kanada”. “Bukan pak”. “Kalau begitu, mungkin air terjun di Danau Victoria, Afrika”, kata Presiden Soekarno lagi. Sekali lagi dijawab, bukan. “Pak Presiden menyerah?”. Soekarno menjawab, “Ya, saya menyerah. Air terjun apa itu?”. Lalu sang mahasiswa memberi jawabannya, “Air ‘terjun’ itu, adalah air mata perempuan…. Terutama air mata seorang isteri. Tak ada yang lebih kuat dari itu”. Soekarno tertawa, “Aaaah, sekali ini saya kalah”.

Kelak, sejarah menunjukkan, bahwa Soekarno kembali mengalami kekalahan lainnya dari kekuatan mahasiswa melalui pergerakan mahasiswa tahun 1966. Setelah Peristiwa 30 September 1965, hubungan Soekarno dengan kelompok mahasiswa bukan kiri memang memburuk, sementara pada saat yang sama kelompok mahasiswa kiri porak poranda. Tak hanya sekali Soekarno menunjukkan keberangannya kepada para mahasiswa yang dituduhnya “tidak memahami revolusi” karena terperangkap oleh jalan pikiran barat.

Berlanjut ke Bagian 2.

Koalisi ala SBY: Pembaharuan Politik Yang Tersesat di Jalan Politik Pragmatis (2)

SEBENARNYA struktur politik Nasakom yang diintrodusir Soekarno setelah Dekrit 5 Juli 1959, sebagai ‘jawaban’  terhadap sistem multi partai dalam kehidupan demokrasi parlementer sebelumnya, pada hakekatnya juga mengarah kepada sistem kepartaian berkaki tiga. Dalam struktur Nasakom terjadi pengelompokan partai-partai berdasar ideologi nasionalisme, agama dan komunisme. Namun di luar struktur Nasakom sebagai kenyataan objektif terdapat kekuatan politik keempat, yakni ABRI di bawah Jenderal AH Nasution. Tetapi sebenarnya secara faktual, ABRI sebagai kekuatan politik kala itu tak lain hanyalah Angkatan Darat, karena angkatan yang lain cenderung tidak ber’politik’ namun pimpinan-pimpinannya adalah Soekarnois dan bahkan ada yang cenderung Soekarnois plus kiri. Angkatan Darat sendiri pun tidak sepenuhnya padu, antara lain oleh adanya penyusupan yang signifikan oleh Biro Khusus PKI dan atau adanya sejumlah jenderal akrobatik di sekitar Soekarno.

PENDERITAAN SOSIAL-EKONOMI DI GURUN POLITIK. Mengulangi kepahitan dalam lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dan berlanjut pada awal masa Soeharto, kini pun rakyat Indonesia seakan-akan masih merangkak dalam penderitaan sosial-ekonomi di tengah gurun politik……… (Karikatur 1967, T. Sutanto)

Dalam kelompok nasionalisme semestinya selain PNI ada partai-partai seperti IPKI dan Partindo, tetapi dalam praktek politik Nasakom praktis hanya PNI yang mewakili kelompok nasionalis, sedang Partindo lebih ke kiri dan berimpit dengan PKI. Dalam kelompok ideologi agama, selain partai-partai Islam NU, PSII, Perti ada partai-partai seperti Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katolik. Gabungan ini sewaktu-waktu memiliki masalah tersendiri, tetapi sejauh yang terlihat di masa Nasakom, perbedaan di antara partai-partai agama ini bisa teredam dengan adanya PKI sebagai ‘musuh’ bersama. Pasca Nasakom, ‘musuh’ bersama hilang, sehingga dalam penyederhanaan kepartaian ala Soeharto, Parkindo dan Partai Katolik digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Sementara itu dalam kelompok Kom dari Nasakom, semestinya Partai Murba (Chairul Saleh) yang sosialistis-kerakyatan ada di dalamnya, namun nyatanya ia ditempatkan PKI (DN Aidit) sebagai seteru yang cenderung dieliminasi.

Bentuk-bentuk sederhana kepartaian –terlepas dari apakah sudah tepat atau belum tepat menjawab kebutuhan kehidupan politik Indonesia– yang sudah tercapai di masa Soeharto, bahkan pada dasarnya juga sudah menjadi tendensi di masa Soekarno, ambruk begitu saja di masa pasca Soeharto. Berakar pada tradisi tumpas kelor dalam kultur kekuasaan Nusantara, berlaku teori pendulum yang seringkali dipinjam dan digunakan almarhum Jenderal Ali Moertopo untuk menggambarkan perilaku politik dan perilaku sosial manusia Indonesia. Orang Indonesia itu seringkali mengayun ke kiri dan ke kanan bagaikan pendulum dan tak pernah singgah di tengah. Ada these, ada antithese, tapi cenderung gagal menciptakan synthesis.

Saat Soekarno dijatuhkan, terjadi tumpas kelor lahir-batin, apa yang berbau Soekarno disapu sampai rata tanah. Dalam kultur Nusantara masa lampau, raja yang digulingkan akan dibasmi habis bersama seluruh keturunannya dan bahkan namanya tak boleh disebut-sebut lagi. Beberapa konsep bernegara masa Soekarno yang sebenarnya masih berkategori positif tertumpas bersama konsep-konsep ekses yang tercipta dalam praktek Nasakom. Sikap ‘ketat’ Soekarno terhadap pengaruh dan modal asing, ditukar dengan politik buka pintu total tanpa batas tanpa filter lagi di masa kekuasaan Soeharto. Tapi setelah Soeharto terpinggirkan, giliran sejumlah konsep dan langkah pembangunan yang masih berguna, ditinggalkan total, sehingga kontinuitas proses sosial-politik terputus dan bukannya sekedar dikoreksi.

Sampai-sampai, terminologi pembangunan enggan untuk digunakan. Pembangunan ekonomi misalnya diganti dengan pengembangan ekonomi. Tampaknya orang sedikit traumatis dengan pengalaman masa Soeharto, bahwa kata pembangunan tidak lagi sekedar bermakna pembangunan ekonomi atau pembangunan dalam makna development, melainkan sudah berkonotasi sebagai bagian penting pengokohan penegakan kekuasaan Jenderal Soeharto semata. Pendek kata istilah pembangunan tidak lagi digunakan sebagai kata padanan bagi kegiatan mengembangkan berbagai bidang kehidupan. Sistem GBHN yang sebenarnya berfaedah bila digunakan dengan tepat dalam kerangka perencanaan tujuan pembangunan, ditinggalkan, karena ia adalah istilah masa lampau. Padahal, rakyat perlu mengetahui program apa yang akan dilaksanakan pemerintah dalam jangka waktu tertentu, katakanlah per lima tahun, sehingga bisa ikut mengawasi apakah betul rencana atau program itu dijalankan ataulah tidak dilakukan perwujudannya.

Bahkan, Pancasila yang adalah ideologi negara, dimasukkan ke dalam lemari, dan baru belakangan ini digunakan kembali, diakui kebenaran nilai-nilai filosofis dan kegunaannya sebagai pegangan moral kehidupan bernegara. Upaya mengingatkan kembali pada Pancasila, dilakukan antara lain oleh tokoh Muhammadiyah Syamsul Ma’arif dan sejumlah akademisi. Tapi kalangan partai politik dan kekuasaan seakan tetap alergi menyebutnya, sementara perilaku sehari-harinya juga tak punya sentuhan dan sinergi apapun dengan ideologi negara itu. Boleh coba dihitung, sekedar sebagai contoh, berapa kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara mengenai Pancasila selama enam setengah tahun berkuasa. Coba hitung pula, sebagai contoh perilaku, berapa pemimpin pemerintahan dan institusi politik yang segera beristeri lebih dari satu (dan ada yang memaksimalkan sampai empat dengan memanfaatkan ajaran agama), sesuatu yang tak dimungkinkan oleh suatu peraturan pemerintah berdasarkan UU Perkawinan yang ketat di masa Soeharto.

Pembalikan yang luar biasa, pasca Soeharto, Indonesia kembali ke sistem multi partai, mengulangi pengalaman ‘buruk’ politik kepartaian tahun 1950an sekitar Pemilihan Umum tahun 1955. Lengkap dengan praktek politik parlementer di DPR dan Konstituante. Tidak belajar dari pengalaman masa lampau, segala ciri dan perilaku politik tahun 1950-1959 itu diulangi hampir seutuhnya dengan segala eksesnya. Ratusan partai baru terbentuk, meskipun untuk sebagian besar tidak keruan juntrungan masud dan tujuan perjuangannya, dan lebih banyak karena dorongan ingin memiliki partai sendiri, biar kecil asal nanti, siapa tahu, bisa jadi raja. Setiap pemilihan umum ‘masa reformasi’ diikuti puluhan partai peserta.

Dan bersamaan dengan itu, semakin banyak orang yang merasa mampu menjadi presiden, walau sebagian besar hanya sekedar berangan-angan. Tapi pada waktu yang sama, mencengangkan betapa kita mengalami krisis kepemimpinan berkualitas, dan selalu saja kita dihadapkan pada pilihan the bad among the worst, bukan best of the best. Alhasil, kita tak berkesempatan memperoleh yang terbaik di antara yang terbaik. Politik uang dan adu kuat otot (dalam bentuk kerumunan) serta politik pencitraan (yang sayangnya kerapkali penuh kebohongan) mendapat tempat seluas-luasnya.

Pada sisi lain, rakyat yang dari masa ke masa tidak pernah disentuh dengan upaya pencerdasan secara bersungguh-sungguh, tidak cukup memiliki kemampuan kualitatif memilih pemimpin dengan baik. Mengulangi kepahitan dalam lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dan berlanjut pada bagian awal masa Soeharto, kini pun rakyat Indonesia seakan-akan masih merangkak dalam penderitaan sosial-ekonomi di tengah gurun politik. Bagaimana bisa memilih dengan baik, jika berada dalam keadaan: Bodoh, lapar dan serba berkekurangan, setiap hari sesak nafas dalam situasi penuh kekerasan, merasa tak aman dalam persentuhan sehari-hari dalam relasi sosial maupun relasi dengan sesama yang seagama maupun tidak seagama, merasa terancam dan tak terlindungi oleh hukum dan keadilan, serta kelangkaan contoh panutan berbudi pekerti, berakumulasi sebagai timbunan menuju malapetaka sosiologis panjang yang entah kapan akan berakhir?

Berlanjut ke Bagian 3

Koalisi ala SBY: Pembaharuan Politik Yang Tersesat di Jalan Politik Pragmatis (1)

SEKILAS PINTAS, koalisi yang diintrodusir dan dijalankan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menopang kekuasaan dan pemerintahannya di periode kedua (2009-2014) ini, ada persamaannya dengan gagasan dwi group –yang diharapkan berproses lanjut menuju sistem dwi partai– yang dilontarkan Mayor Jenderal HR Dharsono bersama ‘rakyat’ Jawa Barat di kwartal pertama 1968. Tetapi dengan suatu telaah lanjut, akan segera terlihat, bahwa meskipun kedua gagasan itu bisa sama-sama menghasilkan suatu struktur politik baru yang lebih sederhana, terdapat sejumlah perbedaan esensial.

Gagasan dwi group (kemudian menjadi dwi partai) merupakan bagian dari gerakan pembaharuan struktur politik yang menggelinding masih pada bagian-bagian awal masa kekuasaan Soeharto –sejak ia masih menjabat sebagai Pejabat Presiden. Sejumlah kesatuan aksi yang baru saja usai dengan gerakan menurunkan Soekarno dari kekuasaannya –yang bermuara pada Sidang Istimewa MPRS 1967– beberapa bulan sebelumnya, di awal 1968 menuntut perombakan struktur politik Nasakom (Orde Lama), menuju “pola kehidupan politik baru yang lebih efisien dan berlandaskan program kesejahteraan rakyat”. Di antara penandatangan tercantum nama Rahman Tolleng yang waktu itu adalah Ketua Periodik Presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Pusat. Namun, gerakan perombakan struktur politik yang lebih deras, menggelinding lanjut di Jawa Barat, terutama melalui peranan Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono. Salah satu media utama pembawa tuntutan perombakan struktur politik waktu itu adalah Mingguan Mahasiswa Indonesia yang pemimpin redaksinya saat itu adalah Rahman Tolleng.

Gagasan dwi partai mengkristal pada Musyawarah Rakyat Jawa Barat III (7 Maret 1968). Menilai sistem multi partai telah gagal total, musyawarah memutuskan bahwa sistem dwi partai akan segera dilaksanakan di Jawa Barat. Untuk itu, terlebih dahulu akan disusun dua program dalam waktu secepat-cepatnya oleh suatu panitia yang akan dibentuk dalam waktu singkat. Selanjutnya, kedua program tersebut akan diajukan untuk dinilai dan dipilih oleh rakyat Jawa Barat, sehingga akan terbentuk dua kelompok yang berdasarkan program. Pengelompokan itu akan menuju ke arah dua partai (dwi partai). Musyawarah juga ‘menugaskan’ wakil-wakil rakyat yang mewakili Jawa Barat, menyuarakan gagasan itu di Sidang Umum ke-5 MPRS yang saat itu akan berlangsung di Jakarta. Tetapi gagasan dwi partai ini kandas pada akhirnya.

Konsep dwi partai menghadapi resistensi yang amat kuat dari partai-partai ideologi yang ada, ex struktur Nasakom minus PKI dan Partindo. Partai-partai ex Nasakom itu antara lain: PNI, NU, PSII, Perti, Murba, Parkindo, Partai Katolik dan IPKI. Di luar partai-partai ada Sekber Golkar yang terbentuk Oktober 1964. Ada juga ex Masjumi yang berusaha eksis kembali dan akhirnya ‘tersalurkan’ melalui pembentukan Parmusi yang kemudian bisa ikut Pemilihan Umum 1971. Di kalangan ABRI pun, kecuali di lingkungan Divisi Siliwangi, gagasan dwi partai untuk sebagian besar disambut dengan tanda tanya, dan bahkan ada yang serta merta menolaknya, terutama para jenderal di lingkaran Soeharto. Dua jenderal yang dikenal kedekatan idealismenya dengan Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono, yakni Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Mayor Jenderal Kemal Idris, walaupun tidak pernah menyatakan menolak gagasan tersebut, sangat membatasi diri dalam memberi tanggapan maupun menggunakan terminologi dwi partai –untuk tidak mengatakannya tak pernah menggunakan terminologi itu. Akan tetapi seperti halnya dengan Mayor Jenderal HR Dharsono, Sarwo dan Kemal, sama-sama senantiasa menyerukan perlunya pembaharuan politik di Indonesia.

Menurut Dr Midian Sirait, pada tahun 1969-1972, di medan kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Seperti yang dicatat di atas, dari KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) Bandung, sebelumnya (1968) muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Sedikit banyaknya gagasan ini berasal mula dari Rahman Tolleng juga. Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.

Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak dwi partai, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. “Semestinya, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut”, kata Dr Midian Sirait. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang”.

Sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan di sebuah forum di Bandung (Februari 1968) oleh tokoh ex Masjumi, Sjafruddin Prawiranegara. “Bubarkan semua partai”, kata Sjafruddin, lalu “Bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan satu partai netral”. Sjafruddin Prawiranegara tak mau menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral –dan hanya berkata, “ya, partai netral-lah”– tetapi para tokoh yang hadir di forum itu, antara lain Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Adam Malik, TB Simatupang dan Sultan Hamengku Buwono IX, menganalisa bahwa yang dimaksudkannya adalah partai sosialis, namun ia enggan menyebutkannya. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Hanya sayang bahwa dasar pengelompokan itu lebih ideologistis (kelompok ideologi politik Islam versus kelompok ‘gado-gado’ ideologi nasionalistis plus non Islam, dan di luar keduanya adalah kelompok kekaryaan. Bukan berdasar kepada orientasi program (pembangunan).

Berlanjut ke Bagian 2

Partai NU Bersama KH Idham Chalid di Suatu Masa (3)

“Bersama PPP, KH Idham Chalid tetap menjadi tokoh utama dan masih berkali-kali menduduki posisi dalam kabinet-kabinet Soeharto dalam beberapa periode. Itulah kelebihan KH Idham Chalid, yang bisa eksis dan berkibar bersama NU di masa ‘kediktatoran’ Soekarno maupun di masa otoritarian Soeharto”.

Harapan yang kandas

GOLKAR tampil sebagai pemenang dengan skor yang mencengangkan pada Pemilihan Umum 1971. Kemenangan ini memperkuat legitimasi kekuasaan Soeharto. Belum lagi DPR baru  hasil Pemilu 1971  dilantik dan berfungsi tetapi corak, langgam dan lalu lintas politik telah berubah. Dan terasa sekali betapa pemerintahan sudah menjadi ‘lebih kokoh’ dan lebih berkuasa segera setelah usainya pemilihan umum. Sebaliknya, partai-partai yang tidak menjadi pemenang, terpuruk dan kehilangan daya untuk melakukan bargaining position. Apalagi setelah pelantikan DPR hasil pemilihan umum, pada 28 Oktober 1971. Betapa tidak, Fraksi Karya Pembangunan yang mewakili Golkar berkekuatan 236 orang, ditambah dengan Fraksi ABRI dan anggota non ABRI yang diangkat sebanyak 100 orang, menjadi 336 orang dari 460 ‘wakil rakyat’, yang berarti memiliki mayoritas kerja sebesar 73 persen lebih.

Di balik kemenangan Golkar ini, sesungguhnya teronggok kekecewaan yang mendalam dari partai-partai politik ideologi Islam terhadap tentara. Tatkala ada dalam ‘kebersamaan’ dengan ABRI pada saat menghadapi kaum Komunis hingga tumbangnya Soekarno, sejumlah pemimpin partai politik Islam telah berharap bahwa cepat atau lambat mereka akan dipilih oleh ABRI untuk bermitra dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan pasca Soekarno. Harapan ini terutama dimiliki oleh para pemimpin NU, seperti KH Idham Chalid dan kawan-kawan, mengingat ‘besar’nya peranan massa NU, teristimewa Banser (Barisan Ansor Serba Guna), dalam pembasmian PKI yang berdarah-darah.

Lebih dari sekedar berharap, tokoh-tokoh partai Islam, sebelum Pemilihan Umum 1971, secara optimistik menghitung bahwa dalam Pemilu itu nanti, dengan tidak hadirnya lagi PKI dan melemahnya PNI, kemenangan dengan sendirinya jatuh ke tangan mereka. Mengacu kepada Pemilihan Umum 1955, secara kumulatif partai-partai Islam memperoleh 119 kursi parlemen dari 272 kursi hasil pemilu, yang berarti 43,75 persen. Dua besar partai Islam, Masjumi memperoleh 60 kursi dan NU 47, sisanya dari Perti dan PSII. Sementara itu, PNI memperoleh 58 kursi dan PKI 32 kursi di luar 7 orang yang dicalonkan PKI dan masuk ke parlemen sebagai Fraksi Pembangunan. Dibubarkannya PKI dan melemahnya PNI, diperhitungkan setidak-tidaknya memberi peluang tambahan kursi dan atau peluang berupa prosentase besar dari kursi 1971, diyakini akan bisa melampaui 50 persen. Dengan demikian keikutsertaan dalam pengendalian pemerintahan pasca 1971 bisa dalam genggaman.

Harapan dan perhitungan tersebut, membuat partai-partai Islam lebih antusias untuk diselenggarakannya suatu pemilihan umum yang lebih cepat setelah Soekarno jatuh. Sementara sebaliknya, kelompok independen, partai-partai non ideologi Islam dan juga tentara, meskipun sama-sama menghendaki pemilihan umum, cenderung untuk tidak terburu-buru. Suatu pemilihan umum yang lebih cepat dan terburu-buru dianggap hanya akan menguntungkan partai-partai ideologistis yang berasal dari struktur politik lama warisan Orde Lama dalam sistim Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

Tetapi sebenarnya sebelum Pemilu 1971, bukannya tak pernah muncul sejumlah kekecewaan di kalangan politisi partai Islam. Kekecewaan pertama sebenarnya telah sempat menyentak kelompok politik Islam, tatkala pada Desember 1966 pihak militer –melalui pernyataan salah seorang jenderal utama–  mengeluarkan penilaian yang sama dengan ‘vonnis’ yang pernah dijatuhkan Soekarno, bahwa Masjumi adalah partai terlarang dan termasuk partai yang menyimpang dari Pancasila. Pada waktu-waktu berikutnya, makin jelas bahwa tentara menghalangi kembali tampilnya Masjumi. Melalui liku-liku proses yang berkepanjangan dan penuh trik dan intrik yang berlaku timbal balik, titik kompromi tercapai. Dikeluarkan persetujuan berdiri bagi satu partai Islam yang ‘seolah-olah’ untuk menyalurkan pengikut-pengikut Masjumi, namun dengan syarat tak boleh menampilkan tokoh-tokoh utama Masjumi seperti Mohammad Roem dan kawan-kawan dalam kepengurusan dan struktur partai. Sehingga, roh Masjumi tidak dapat melakukan reinkarnasi sempurna. Tokoh kompromi yang muncul memimpin partai baru yang bernama Parmusi itu adalah Mintaredja SH.

Salah seorang Jenderal yang dianggap penasehat politik utama Soeharto yang sangat menentang comebacknya Masjumi adalah Mayjen Ali Moertopo. Penulis-penulis Barat seperti Richard Robinson dan Robert Heffner, menggambarkan Ali Moertopo yang merupakan seorang pembantu terdekat Soeharto pada tahun-tahun pertama Orde Baru, sebagai tokoh kekuasaan anti partai politik Islam. Ali Moertopo yang “berhubungan erat dengan masyarakat Indonesia-Tionghoa dan Katolik” adalah tokoh “teknokrat militer yang berpandangan politik nasional sekuler”, sehingga sikapnya itu tidak mengherankan. Moertopo berpandangan bahwa untuk membatasi pengaruh politisi Islam dan peran partai ideologis lainnya, harus dicegah terulangnya persaingan politik yang sengit dan menggoyahkan kehidupan bernegara seperti pada tahun 1950-an. Menurut uraian para penulis asing ini, Ali Moertopo dan para petinggi rezim Soeharto yang lain sepenuhnya yakin bahwa Indonesia akan mencapai kestabilan hanya bila politik dijalankan untuk dan berdasarkan keterwakilan kepentingan yang rasional, dan bukannya kepentingan emosional berdasarkan sentimen agama atau kesukuan yang primordial.

Namun dapat dicatat bahwa sikap Ali Moertopo ini, dalam perkembangan situasi berikutnya, tampak mengalami perubahan karena pertimbangan taktis. Setelah beberapa kegagalan dalam mengantisipasi Pemilihan Umum 1971, kelompok militan Islam mulai tidak sabar untuk mengambil alih permainan dan muncul dengan gerakan-gerakan sistimatis yang kelihatannya bisa semakin membahayakan rezim. Adalah menarik bahwa KH Idham Chalid tetap berhasil menjaga jarak dengan kelompok militan Islam, sehingga NU tak pernah ‘terlalu’ dimusuhi oleh kalangan kekuasaan, khususnya tentara. Namun, pada sisi sebaliknya NU tetap diterima dengan baik sebagai kawan sebarisan oleh kekuatan politik Islam lainnya, meskipun memilih berdiri di bagian belakang.

Menyadari bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi jangka panjang rezim Soeharto adalah dari kelompok Islam yang menurut jumlahnya adalah mayoritas, maka pilihannya adalah merangkul kalau tidak mungkin ‘dihancurkan’. Atau bisa juga, merangkul di sisi kiri dan menghancurkan di sisi kanan. Apalagi, kelompok politik dan kepentingan yang membawakan nama Islam pun sebenarnya terbelah antara mereka yang bergaris keras dan mereka yang bergaris lunak. Dengan cerdik Ali Moertopo bersama Jenderal Benny Moerdani memanfaatkan keadaan. Pada satu sisi mereka merekrut kelompok Islam garis keras yang sebelumnya terpinggirkan dan terlibat kasus DI-TII (Darul Islam-Tentara Islam Indonesia), dan memunculkan gerakan Komando Jihad, yang menciptakan opini negatif terhadap gerakan Islam garis keras. Pada sisi yang lain mereka merekrut tokoh-tokoh politik Islam yang moderat maupun yang opportunis ke dalam jaringan-jaringan. Dalam hal ini NU terbilang. Sejak Ali Moertopo, dengan posisi sebagai Aspri (Asisten Pribadi) Presiden dan pimpinan Opsus (Operasi Khusus), semakin kuat dan semakin masuk ke jalur kendali eksekutif, polarisasi kekuasaan di sekitar Soeharto mulai tampak makin menajam.

Dengan CSIS (Centre for Strategic & International Studies) –pusat studi dan kajian strategis yang didirikan pada tahun 1971– Ali Moertopo dan kelompoknya makin tajam dalam membaca dan merancang situasi, sehingga Opsus bahkan mulai menggeser fungsi Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang dipimpin Mayor Jenderal Sutopo Juwono. Kelompok Ali menjadi amat unggul dalam mengembangkan isu-isu pengarah maupun pemancing ke arah perubahan situasi yang dikehendaki dalam skenario politik. Golkar menjadi salah satu bagian dalam rancangan skenario politik Ali Moertopo kala itu.

Keluhan utama yang secara klasik disampaikan para politisi partai Islam, khususnya kelompok seaspirasi dengan ex Masjumi, adalah bahwa sepak terjang mereka dihambat dengan cara-cara curang oleh tentara. Tokoh-tokoh NU, terutama KH Idham Chalid, bersikap lebih adem ayem. Tudingan terhadap tentara ini sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Tetapi tudingan ini seakan mendapat pembenaran, dibelakang hari, ketika setelah pensiun, mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, pernah dikutip oleh Adam Schwarz (buku ‘A Nation in Waiting’) penilaiannya mengenai kemenangan Golkar tahun 1971 bahwa “kalau mengandalkan kepada kemampuan Golkar sendiri, tanpa topangan dari ABRI, maka partai-partai Islam lah yang akan menang”. “Saya dapat memastikan itu”. Sekali lagi, tentu hal ini masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi terlepas dari itu, nyatanya memang partai-partai politik berideologi Islam tersebut, mengalami pencapaian yang di luar harapan mereka sendiri. NU yang pada tahun 1955 memperoleh 47 kursi, pada pemilu 1971 memperoleh 58 kursi, tapi jelas sangat berbeda posisinya karena pada tahun 1971 itu kursi DPR adalah 460. Jadi NU hanya memperoleh 12,6 %. Bandingkan dengan tahun 1955 yang sebesar 17,28%. Sementara itu Parmusi yang dianggap penjelmaan Masjumi hanya memperoleh 24 kursi (5,21%), sedangkan Masjumi tahun 1955 memperoleh perwakilan 22,05%, karena perolehan kursi 60 dan berada pada tempat teratas melebihi PNI yang memperoleh 58 kursi.

Sederhana, namun tak alamiah

SEBENARNYA, harapan partai-partai Islam untuk unggul setelah jatuhnya Soekarno, sehingga bisa bermitra dalam kekuasaan negara dengan tentara, memang tidak terlalu realistis. Memang benar menurut statistik sekitar 90% rakyat Indonesia tercatat beragama Islam. Tetapi, mereka yang beragama Islam itu tidak dengan sendirinya seluruhnya setuju dengan dibawa-bawanya nama Islam dalam politik untuk memperebutkan kekuasaan yang duniawi. Kalangan cendekiawan Islam sendiri misalnya, tak kurang banyaknya yang menyerukan keberatan terhadap pengatasnamaan Islam ini dalam berpolitik. Selain itu, harus disadari juga adanya kaum abangan dalam struktur masyarakat Indonesia, yang biasanya lebih bersimpati kepada kekuatan politik yang beraliran nasionalis tanpa membawa embel-embel agama dan sikap-sikap fanatis. Setelah terjadi Peristiwa G30S, merupakan fakta yang berkaitan untuk dicatat, bahwa pengikut-pengikut atau simpatisan PKI dan demikian pula simpatisan PNI Asu (Ali Surachman), yang untuk sebagian juga beragama Islam ternyata melakukan eksodus dalam rangka mencari perlindungan baru, berpindah agama menjadi Kristiani, ditambah sedikit Hindu dan Budha. Jelas, tidak tampilnya PKI dan PNI Asu dalam pemilihan umum 1971, bukan berarti partai-partai Islam akan mendapat benefit, kecuali bahwa jumlah pesaing menurut kuantita kepartaian berkurang.

Dengan pengutamaan kekuasaan demi kekuasaan, seluruh kekuatan politik yang ada harus disesuaikan untuk fungsi penopang bagi kekuasaan di bawah Jenderal Soeharto. Setelah pemilihan umum 1971 usai, dilakukan penyederhanaan kepartaian. Sebenarnya, dengan hasil pemilihan umum, secara alamiah melalui suatu proses yang wajar terbuka pintu bagi terjadinya penyederhanaan dengan sendirinya akibat ‘paksaan keadaan objektif’. Partai-partai berideologi Islam tidak berhasil memperoleh suara yang signifikan untuk mendapat share dalam kekuasaan pemerintahan. Dengan kumulatif 94 kursi, secara objektif mereka tak ‘dibutuhkan’ dalam kekuasaan pemerintahan oleh Golkar dan ABRI yang memiliki 336 kursi dari 460 kursi di DPR. Kalau mereka tidak diajak, mau tak mau mereka berada di luar, dan mungkin mereka merasa perlu bergabung satu sama lain. Setidak-tidaknya bagi Perti yang hanya memperoleh 2 kursi dan PSII yang hanya memperoleh 10 kursi, tentu harus berpikir untuk menggabungkan diri kalau tidak mau hilang dari peta politik. Tidak selalu  harus bergabung berdasarkan persamaan ideologi Islam. Hal yang sama bagi partai-partai lain, IPKI dan Murba yang tak memperoleh kursi DPR samasekali. Keharusan penggabungan secara objektif pun harus dipertimbangkan oleh PNI yang mendapat hanya 20 kursi dan oleh partai-partai Kristen yang juga kebagian sedikit saja kursi, Partai Katolik 3 kursi dan Partai Kristen Indonesia yang memperoleh 7 kursi.

Namun sayangnya, Soeharto yang sudah lebih kokoh kekuasaannya, memilih melakukan penyederhanaan yang artifisial dan ‘dipaksakan’, setidaknya bukan sepenuhnya karena keikhlasan, melahirkan PPP sebagai gabungan partai-partai ideologi Islam dan Partai Demokrasi Indonesia untuk sisanya yang campur aduk antara kaum nasionalis dan Kristen. Suatu pengelompokan yang kala itu betul-betul debatable –namun perdebatan berlangsung di bawah permukaan saja. Terlihat bahwa dalam tubuh PPP bagaimanapun yang dominan adalah unsur-unsur NU mengatasi unsur lainnya, khususnya unsur ex Parmusi. Bersama PPP, KH Idham Chalid tetap menjadi tokoh utama dan masih berkali-kali menduduki posisi dalam kabinet-kabinet Soeharto dalam beberapa periode. Itulah kelebihan KH Idham Chalid, yang bisa eksis dan berkibar bersama NU di masa ‘kediktatoran’ Soekarno maupun di masa otoritarian Soeharto.

Partai NU Bersama KH Idham Chalid di Suatu Masa (2)

“Pada masa itu, tak ada lagi ‘azab’ dunia yang lebih berat selain dari dituduh kontra revolusioner. Kendati para tokoh partai Islam menaruh harapan kepada Angkatan Darat yang resisten terhadap PKI, mereka tak berani menunjukkan sikap cukup ‘berharga’ –jangankan berupa dukungan, menunjukkan kedekatan sekecil apapun, mereka takut. Pengecualian hanya berlaku bagi sejumlah tokoh eks Masjumi yang kala itu berstatus partai terlarang –seperti juga eks PSI yang bersikap anti PKI–  dan mungkin sedikit tokoh Islam lainnya seperti misalnya Subchan Zaenuri Erfan, seorang tokoh muda NU”.

PADA akhir tahun, enam bulan setelah Dekrit, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13, tanggal 31 Desember 1959, tentang pembentukan Front Nasional. Sepanjang tahun 1960 terlihat betapa wadah yang dimaksudkan untuk menghimpun seluruh kekuatan nasional tersebut secara pasti makin didominasi oleh PKI. Bagaimanapun, Soekarno membutuhkan partai yang militan seperti PKI itu dan rapih pengorganisasiannya melebihi tiga partai lainnya dalam deretan 4 besar hasil Pemilihan Umum 1955, dalam rangka balancing power –diantara partai-partai dan dengan militer.

Dukungan militer terhadap Soekarno menjadi penentu tegaknya kekuasaan luar biasa dari Soekarno, sejak dekrit hingga setidaknya hingga tahun 1965. Dengan dua kaki, PKI dan PNI di satu belah kaki dan tentara pada belah yang lain, dengan sendirinya kekuasaan Soekarno menjadi begitu kokoh, suatu keadaan yang belum pernah diperolehnya sebelum ini. Kekuatan bawah tanah penentang Soekarno di kalangan politik Islam –yang datang dari eks Masjumi (Majelis Sjura Muslimin Indonesia) yang telah menjadi partai terlarang bersama PSI (Partai Sosialis Indonesia) di era pemberontakan bersenjata PRRI dan Permesta– dapat diimbangi dengan adanya dukungan kelompok Islam lainnya yang terutama berasal dari NU (Nahdatul Ulama) yang kala itu berbentuk partai politik. NU ini memang memiliki sejarah, karakter dan tradisi pilihan untuk selalu berada sebagai pendukung kekuasaan negara ketimbang di luar lingkungan kekuasaan. Sikap seperti ini memang amat menonjol pada NU, dengan pengecualian pada masa kepemimpin Abdurrahman Wahid, di mana NU bisa bergerak cepat berpindah dari kutub kekuasaan dan kutub anti kekuasaan, vice versa.

Dalam perjalanan waktu, secara menyeluruh terlihat bahwa semua partai politik di Indonesia sangat kuat berorientasi kepada kekuasaan daripada tujuan-tujuan ideal yang seharusnya dimiliki sebuah partai. Bila tak berhasil memperoleh kekuasaan dengan kekuatan sendiri, akan diupayakan memperolehnya dengan pendekatan kepada pemegang kekuasaan untuk mendapatkan tetesan distribusi kekuasaan. Kehidupan politik masa kekuasaan Soekarno 1959-1965 dan masa kekuasaan Soeharto sejak 1967 hingga 1998, mencerminkan dengan jelas watak dan perilaku seperti itu. Bahkan itu terjadi lagi pada tahun-tahun belakangan ini di masa kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak terkecuali Partai Keadilan Sejahtera yang tadinya dianggap memiliki karakter. PKB sebagai partai yang dianggap penjelmaan NU di dunia politik saat ini, tanpa Gus Dur –tepatnya setelah menyingkirkan Gus Dur– meneruskan tradisi Partai NU masa lampau, khususnya saat dipimpin oleh KH Idham Chalid. Kekuatan politik di Indonesia memang tidak memiliki kultur oposisi yang konsisten.

PNI, Partai Nasional Indonesia yang menjadi representan utama dari unsur Nasional, antara 1959 hingga 1965, pada hakekatnya hanyalah partai ‘milik’ Soekarno yang tak punya kemauan dan sikap politik mandiri karena tak bisa keluar dari lindungan bayang-bayang kharisma pribadi Soekarno. Selain itu, suatu ‘penyusupan’ yang amat signifikan terjadi atas dirinya, terutama dari unsur komunis, yang tercermin antara lain dari didudukinya posisi Sekertaris Jenderal partai oleh Ir Surachman yang berhaluan kiri dan lebih patuh kepada PKI. Ali Sastroamidjojo, sang Ketua Umum, tersandera dalam rangkaian kebimbangan antara suara arus bawah dari sebagian warga kepala banteng itu yang menyuarakan keinginan keterbebasan dan pengambilan inisiatif peran politik disatu sisi, dan pada sisi lain ‘keharusan’ patuh terhadap pemikiran dan tindakan politik Soekarno yang begitu dekat dengan PKI. Pada masa demokrasi terpimpin 1959-1965 itu, dengan demikian setidaknya ada dua kelompok yang berseteru di dalam tubuh PNI, antara yang setuju dan yang tidak setuju dengan kecenderungan politik kiri serta kehadiran unsur komunis di tubuh partai. Mereka yang tidak berkenan dengan pengaruh komunis di tubuh partai, ada pada posisi minor, karena terdesak oleh dominasi kelompok kiri bersamaan dengan kuatnya kecenderungan oportunistik secara internal. Pengelompokan itu melajur hingga lapisan terbawah partai, sehingga melumpuhkan insiatif politik partai di berbagai tingkat dan di berbagai daerah.

Sementara itu, barisan partai-partai politik berideologi agama –Islam maupun Kristen dan Katolik– juga secara de facto menjadi unsur yang cukup lemah dalam konstelasi politik Nasakom. Parkindo dan Partai Katolik, terkendala oleh ‘kompleks’ dan konotasi minoritas mereka, kendatipun cukup terdapat pemikiran politik maju, ‘radikal’ dan progresif di dalam diri mereka. Partai Katolik bahkan adalah partai yang kendati memiliki postur tubuh yang tidak besar, menyimpan dalam dirinya think tank dengan performa tinggi dan mengesankan, serta memiliki pengorganisasian kepartaian yang signifikan sehingga cukup tangguh. Ketangguhan ini akan terbukti kelak melalui kader-kadernya dalam suatu proses perubahan politik yang terjadi beberapa tahun kemudian, mampu berperan bagaikan mayoritas pada posisi pijakan minoritas. Bersama Ali Moertopo, sebagian dari kader-kader Katolik ini, ditambah suatu peran khusus kisah ‘belakang layar’ yang dijalankan Pater Joop Beek yang seorang rohaniwan Katolik, hampir-hampir menjadi legenda dalam pengendalian kekuasaan politik dalam satu kurun waktu tertentu kala itu. Sedangkan partai ideologi Islam terbesar NU –setelah dinyatakannya Masjumi sebagai partai terlarang, 17 Agustus 1960– lebih memilih bersikap mempertahankan status quo, terutama karena kebutuhannya untuk selalu berada sejajar berdampingan dengan kekuasaan, agar selalu disertakan dalam posisi-posisi pada pemerintahan, dalam posisi sekunder sekali pun. Jatah tradisional mereka dalam pemerintahan adalah Departemen Agama, ditambah pengikutsertaan rutin tokoh NU KH Idham Chalid selama beberapa tahun dalam kabinet Soekarno maupun selaku unsur pimpinan MPRS.

Partai-partai Islam lainnya, pun cenderung memilih jejak langkah ‘taktis’ NU yang terbukti aman. Bagi partai-partai ini dan sejumlah partai lain di luar PKI dan ‘separuh’ PNI, berlaku adagium ‘kalau tak mampu memukul lawan, rangkullah lawan itu’. Adalah beberapa di antara tokoh-tokoh unsur A ini yang berperan dalam akrobat politik, seperti misalnya penganugerahan gelar Waliyatul Amri untuk Soekarno. Sementara itu, penetapan Soekarno sebagai Presiden “seumur hidup” adalah akrobat politik lainnya lagi yang dilakukan beramai-ramai oleh setiap kekuatan politik dalam konstelasi Nasakom.

Situasi perilaku para pemimpin politik umat ini sebenarnya paradoksal dengan kenyataan bahwa pada tahun-tahun 1963, 1964 hingga pertengahan 1965, di berbagai daerah di tingkat bawah, pendukung partai-partai Islam ini, khususnya NU, menjadi sasaran utama aksi-aksi sepihak PKI, terutama dalam masalah pertanahan. Karena elite partai-partai Islam ini tak mampu, untuk tidak menyebutnya tak berani, terang-terangan membela akar rumputnya –dengan beberapa pengecualian– maka tercipta ‘api dalam sekam’ berupa kebencian terpendam dari mereka yang teraniaya dan secara tragis sekaligus tak terlindungi oleh para pemimpinnya. Suatu ketika, semua ini meledak dalam bentuk pelampiasan dendam yang tak terduga-duga kedahsyatannya.

PKI ini adalah satu partai di antara partai yang ada, yang memberi dukungan terkuat pada sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno, setara dengan dukungan tentara terhadap Dekrit 5 Juli 1959, dan mencipta segitiga kekuasaan masa itu. Namun dalam perjalanan waktu, setapak demi setapak, posisi Angkatan Darat melemah dalam segitiga kekuasaan melalui proses perseteruan akrobatik yang panjang selama beberapa tahun. Kemampuan berseteru yang tersisa pada para perwira militer dan pimpinan Angkatan Darat, dari waktu ke waktu digunakan dengan sangat taktis dan seringkali makin tersamar, karena juga didera ketakutan akan pengenaan aneka stigma, terutama tudingan spesifik untuk para jenderal, yakni kapbir akronim untuk kapitalis birokrat dan sesekali julukan ‘jenderal burjuis’. Selain itu, Angkatan Darat –yang dipimpin kelompok perwira anti komunis, yang mewarisi perseteruan turun temurun dengan kaum komunis terutama sejak 1948 – praktis sebenarnya kehilangan salah satu ‘posisi-istimewa’nya sudah sejak Soekarno menghapuskan SOB pada 19 Nopember 1962 secara berangsur hingga paripurna pada 1 Mei 1963.

Partai-partai ideologi Islam dalam konstelasi politik Nasakom yang semestinya berhadap-hadapan langsung dengan PKI yang menunjukkan sikap memusuhi agama Islam secara terang-terangan, memilih diam dan membiarkan Angkatan Darat ‘bertarung’ sendirian selama bertahun-tahun. Mereka tak mau dimasukkan sebagai sasaran utama tepat di tengah-tengah ladang pembunuhan karakter dan penganiayaan politik dengan tudingan-tudingan sebagai kekuatan kontrev (kontra revolusioner) karena menunjukkan sikap komunisto phobia. Apalagi, Soekarno dalam pidatonya 17 Agustus 1964 memperingatkan, “Siapa anti Nasakom, ia tidak progresip. Siapa anti Nasakom, ia sebenarnya adalah memincangkan revolusi, meninggalkan revolusi. Siapa anti Nasakom, ia tidak penuh revolusioner, ia bahkan adalah historis kontra revolusioner”.

Pada masa itu, tak ada lagi ‘azab’ dunia yang lebih berat selain dari dituduh kontra revolusioner. Kendati para tokoh partai Islam menaruh harapan kepada Angkatan Darat yang resisten terhadap PKI, mereka tak berani menunjukkan sikap cukup ‘berharga’ – jangankan berupa dukungan, menunjukkan kedekatan sekecil apapun, mereka takut. Pengecualian hanya berlaku bagi sejumlah tokoh eks Masjumi yang kala itu berstatus partai terlarang –seperti juga eks PSI yang bersikap anti PKI–  dan mungkin sedikit tokoh Islam lainnya seperti misalnya Subchan Zaenuri Erfan, seorang tokoh muda NU. Subchan menurut kesaksian Harry Tjan yang dekat dengannya karena memiliki sikap anti komunis yang sama, adalah tokoh yang tak segan-segan secara terbuka menunjukkan sikap dan kecamannya terhadap komunis di Indonesia, setidaknya pada tahun 1964-1965. Dalam suatu forum internasional di Kairo, Konferensi Asia Afrika untuk kerja sama ekonomi, Subchan ZE menegaskan Indonesia adalah negara Pancasila, tidak menganut faham Marxis-Leninis, dan menjalankan politik bebas aktif. Seorang tokoh NU lainnya, Imron Rosjadi, sempat pula di belakang layar mencoba mendorong AD untuk segera bertindak keras ‘mengakhiri’ PKI. Tapi secara umum, barulah pada pasca Peristiwa 30 September 1965, tatkala mulai terbaca perubahan angin politik, partai-partai peserta Nasakom ini dengan ‘bersemangat’ dan menggebu-gebu mendekati dan coba merapatkan barisan dengan Angkatan Darat, sebagian besar dengan Mayjen Soeharto dan sebagian dengan Jenderal Nasution.

Tentu saja, sikap-sikap lunak dan kompromistis semasa Nasakom, bukan semata milik partai-partai ideologi Islam, melainkan juga diidap sejumlah tokoh dari partai Nasakom lainnya. Harry Tjan menuturkan bahwa menjelang tengah malam, 28 September 1965, hanya dua hari sebelum peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira muda, bersama tokoh Partai Katolik IJ Kasimo ia menemui Frans Seda yang waktu itu adalah Ketua Umum Partai Katolik sekaligus Menteri Perkebunan. Kepada Frans Seda, Harry melaporkan “akan terjadi coup oleh PKI”. Frans menjawab, “Hal itu tidak betul”. Bahwa AURI melatih Pemuda Rakyat dan yang lain-lainnya, itu “adalah pembagian tugas” yang sudah diatur oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. “Janganlah khawatir, sebab semua itu dalam rangka revolusi ! Jangan ikut berpikir demikian, karena bisa dikatakan komunisto phobia”, demikian pesan Frans Seda.

Berlanjut ke Bagian 3

Tentara Dalam Kancah Politik 1952-1959 (4)

Tentara dalam masa SOB adalah tentara yang berkuasa. Eksesnya juga ada. Beberapa perwira tentara atau menjadi makin otoriter, atau menikmati benefit lainnya, atau sekaligus kedua-duanya. “Dari posisi-posisi di institusi ekonomi, tentara berhasil menghimpun dana-dana yang kemudian difaedahkan dalam berbagai aktifitas yang sesungguhnya tak lain adalah kegiatan politik praktis dan tak terlepas dari skenario kekuasaan, selain untuk ‘kenyamanan’ hidup bagi sejumlah perwira.

Pada kutub-kutub yang berbeda, dua besar lainnya dalam Pemilihan Umum 1955, juga tidak mencapai suara yang dominan. PNI memperoleh 58 kursi di DPR sedang PKI meskipun cukup mengejutkan, hanya memperoleh 32 kursi (ditambah beberapa kursi, 7 kursi, yang diperoleh oleh calon-calon afiliasinya). Kursi-kursi untuk PNI dipercayai terutama diperoleh di daerah-daerah pemilihan yang mayoritasnya adalah kaum abangan atau dibeberapa daerah tertentu dimana kaum bangsawan masih cukup kuat pengaruhnya, serta di kalangan non partisan namun merupakan pengagum pribadi Soekarno. Pada sejumlah rakyat di berbagai pelosok tanah air, Soekarno yang orator ulung yang seakan tak tertandingi siapa pun pada zaman itu, memang adalah tokoh nan mempesona dan nyaris menjadi legenda seumur hidup bila ia kemudian tak tertahan oleh suatu insiden sejarah.

Sementara itu PKI yang mendasarkan diri pada suatu ideologi internasional yang menggunakan retorika perjuangan kelas, memperolehnya di kalangan masyarakat yang merasa dirinya tak tercapai oleh keadilan sosial dan keadilan hukum –seperti perilaku tak menyenangkan dari aparat negara dan tentara yang pada masa itu mulai sangat gemar akan tindakan-tindakan kekerasan kepada rakyat kecil. Beberapa pihak juga menyebutkan bahwa pendukung PKI berasal pula dari mereka yang tidak memiliki hubungan baik atau karena tidak senang terhadap sikap tertentu dari kaum santri yang mencampuri kehidupan pribadi yang berkaitan dengan agama. Kelak memang terbukti bahwa dua hal yang paling dimusuhi PKI sebagai partai adalah kelompok tentara sebagai kekuatan politik de facto dan kelompok Islam sebagai kekuatan masyarakat –di antaranya para kyai dan haji-haji yang menguasai tanah-tanah luas di pedesaan– maupun sebagai kekuatan politik. Partai-partai Kristen dan Katolik memperoleh 9 dan 8 kursi, begitu pula PSI yang hanya menempatkan 5 anggota di DPR. Partai-partai lainnya di luar itu hanya memperoleh kursi yang bisa dihitung dengan jari pada satu tangan, bahkan banyak yang tak memperoleh kursi sama sekali di tingkat nasional untuk kemudian hilang dalam peta politik Indonesia seterusnya.

Pasca Pemilihan Umum 1955, tercatat peristiwa-peristiwa politik yang menyebabkan berlanjutnya krisis seperti yang dialami sebelumnya. Desember 1955 terjadi insiden internal menyangkut kepemimpinan di tubuh angkatan udara. Dan beberapa bulan setelah terbentuknya Kabinet Ali yang kedua, sebagai kabinet pertama yang terkait dengan hasil pemilihan umum, makin mencuat adanya perbedaan pandangan antara Mohammad Hatta dengan Soekarno yang berujung pada pengunduran diri Hatta sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Adalah juga pada bagian kedua tahun 1956 itu di masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo, bermunculan gerakan-gerakan yang berdasar kepada ketidakpuasan daerah terhadap pemerintahan pusat. Gerakan-gerakan daerah ini secara signifikan diperlopori oleh kalangan militer di daerah. Dalam reuni eks Divisi Banteng di Padang pada 20 Nopember, muncul inisiatif pembentukan Dewan Banteng yang diketuai oleh Komandan Resimen IV Tentara dan Teritorium (TT) I, Letnan Kolonel  Achmad Husein. Dewan ini menuntut otonomi daerah yang lebih luas.

Tatkala KASAD pada tanggal 9 Desember 1956 mengeluarkan larangan bagi perwira-perwira tentara melakukan kegiatan politik, reaksi balik yang muncul justru adalah meningkatnya ‘pembangkangan’. Achmad Husein pada 20 Desember malah mengambilalih pemerintahan dari tangan sipil, dari Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo. Berturut-turut terbentuk Dewan Gajah di Sumatera Utara di bawah pimpinan Panglima Tentara dan Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, Dewan Garuda di Sumatera Selatan di bawah pimpinan Panglima Tentara dan Teritorium II Letnan Kolonel Barlian serta Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Panglima Tentara dan Teritorium VII Letnan Kolonel Herman Nicolas ‘Ventje’ Sumual. Berbagai musyawarah yang diselenggarakan sepanjang tahun 1956, di antara para panglima tentara maupun antara tentara dan kalangan pemerintah pusat, tak berhasil menyelesaikan persoalan.

Ali Sastroamidjojo SH yang menghadapi masalah yang beruntun-runtun akhirnya memilih untuk mengembalikan mandatnya 14 Maret 1956 apalagi ada isyarat kuat dari Soekarno untuk pembentukan suatu kabinet baru. Tiga minggu sebelumnya Soekarno mengumumkan apa yang disebut “Konsepsi Presiden” yang menyatakan bahwa sistem demokrasi parlementer ala Barat tidak sesuai dengan Indonesia seraya memperkenalkan dan mengusulkan apa yang disebutnya Demokrasi Terpimpin. Untuk itu ia menyatakan perlu dibentuk kabinet baru yang bersifat gotong royong yang terdiri dari semua partai dan organisasi demi perimbangan dalam masyarakat. Ia menyebut Kabinet Kaki Empat yang ditopang terutama oleh 4 besar Pemilu 1955 yakni Masjumi, PNI, NU dan PKI. Presiden Soekarno juga mengintrodusir Dewan Nasional yang berisi wakil-wakil fungsional dalam masyarakat untuk membantu dan memberi nasehat kepada kabinet. Dua dari empat kaki yang diharapkan turut serta, yakni Masjumi dan NU bersama beberapa partai lain –PRI, Partai Katolik dan PSII– menolak konsep presiden itu, karena menganggap perubahan radikal seperti itu keputusannya hanya boleh diambil dalam Konstituante. Konsepsi presiden ini memberi efek meningkatnya pergolakan di daerah.

Hanya satu setengah jam setelah Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandat, Soekarno mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang. Kelak, beberapa bulan setelah itu, 17 Desember 1957,  keadaan itu ditingkatkan menjadi keadaan bahaya tingkat keadaan perang. Sejak saat itu Indonesia menjadi negara SOB (Staat van Oorlog en Beleg), suatu situasi yang memberi tentara begitu banyak keleluasaan yang konsesif dan mencipta satu sinergi kekuasaan dengan Soekarno setahap demi setahap pada masa-masa berikutnya. Kabinet Ali II kemudian diganti dengan Kabinet Karya yang dipimpin  Ir Juanda. Dua militer turut dalam kabinet, salah satunya Jenderal Mayor Nasution dan lainnya Kolonel Azis Saleh.

Peristiwa demi peristiwa itu membuka berbagai momentum dengan serba kemungkinan. Suatu momentum terbuka. Jenderal Nasution menjalankan peranan sebagai tentara pusat yang loyal kepada pemerintahan sipil Jakarta dan Soekarno, dan militer menjadi salah satu kaki yang tangguh penopang tegaknya kekuasaan Soekarno yang lebih besar. Apalagi ketika kemudian keadaan berkembang ke arah krisis dengan terjadinya Pemberontakan PRRI dan Permesta, di Sumatera dan Sulawesi. Namun pada saat yang bersamaan kancah tersebut telah melahirkan bintang baru bernama Ahmad Yani yang dikenal tidak dekat dengan Nasution, namun punya kedekatan hubungan pribadi yang lebih erat dengan Presiden Soekarno. Ahmad Yani yang terjun ke daerah-daerah operasi penumpasan dengan pangkat Letnan Kolonel menjadi ‘bintang’ baru yang meluncur karirnya hingga jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat. Ia berada di posisi puncak itu dengan pangkat Letnan Jenderal, hingga 1 Oktober 1965.

Tentara dalam masa SOB adalah tentara yang berkuasa. Eksesnya juga ada. Beberapa perwira tentara atau menjadi makin otoriter, atau menikmati benefit lainnya, atau sekaligus kedua-duanya. Di akhir tahun 1957 terjadi pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda dan dinasionalisir menjadi badan-badan usaha milik negara. Tentara yang dianggap mempunyai sumber daya manusia yang lebih siap, masuk mengambil posisi-posisi penting penanganan badan-badan ekonomi eks Belanda itu. Peran dadakan itu menimbulkan banyak ekses. Salah satu eksesnya adalah terjunnya para perwira ke dalam dunia uang dan bisnis, dan saat itu menjadi awal keterlibatan mereka dalam dunia korupsi. Ekses lain, terjadi saling intrik karena perebutan posisi, di antara para perwira itu sendiri.

Para perwira ini ternyata gagal menjalankan institusi-institusi ekonomi tersebut dengan baik diukur berdasarkan skala kepentingan umum. Namun pada sisi lain yang pragmatis, harus diakui bahwa dari posisi-posisi di institusi ekonomi itu, tentara berhasil menghimpun dana-dana yang kemudian difaedahkan dalam berbagai aktifitas yang sesungguhnya tak lain adalah kegiatan politik praktis dan tak terlepas dari skenario kekuasaan, selain untuk ‘kenyamanan’ hidup bagi sejumlah perwira. Salah satu institusi yang paling strategis ialah sektor perminyakan. BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) diambil alih dan diserahkan kepada perwira-perwira tentara dan akhirnya menjadi cikal bakal Pertamina (Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional) –yang merupakan hasil peleburan Pertamin dan Permina. Hingga masa awal Orde Baru di bawah Soeharto Pertamina disorot sebagai tempat yang subur bagi praktek korupsi, namun nyaris tanpa pernah ada penindakan tuntas, yang menunjukkan bahwa pembagian rezeki dari perusahaan negara tersebut telah mencapai dan merasuk hingga puncak-puncak kekuasaan di negara ini. Tokoh yang paling legendaris di Pertamina dan di dunia perminyakan Indonesia adalah Ibnu Sutowo, seorang dokter medis yang menjadi tentara dan mencapai pangkat tertinggi Letnan Jenderal. Paling disorot pasca Soekarno, namun nyaris tak tersentuh, termasuk ketika ia telah dipensiunkan. Ketika meninggal dunia, masih di zaman Soeharto, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Bila yang di atas membiarkan kejahatan yang diketahuinya terjadi di bawah, ia dengan demikian menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri.

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (3)

“Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi ‘tak mau’ dan ‘tak bisa’ diklarifikasi, adalah apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam setting sebelumnya?”. “Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan persoalan lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir”.

Istana Bogor, 11 Maret 1966, pukul 13.00. Tiga jenderal AD tiba di sana dengan berkendaraan sebuah jeep yang dikemudikan sendiri oleh Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Menteri Perindustrian Ringan. Dua lainnya adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran dan Demobilisasi, serta Brigadir Jenderal Amirmahmud, Panglima Kodam Jaya. Keputusan berangkat ke Bogor menemui Soekarno diambil setelah Basuki Rachmat dan Jusuf mendengar detail persoalan tentang kenapa Soekarno tergesa-gesa berangkat ke Bogor dengan helikopter. Meskipun hadir dalam rapat kabinet, kedua menteri itu tak tahu persis mengenai adanya pasukan tak kenal mendekati istana dan tak terlalu mengetahui ketegangan yang tercipta oleh Brigjen Saboer dan Brigjen Amirmahmud.

Sebelum berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini menemui Jenderal Soeharto di kediaman Jalan Haji Agus Salim dan diterima di kamar tidur Soeharto yang waktu itu digambarkan sedang demam. Soeharto menyetujui keberangkatan mereka bertiga ke Bogor, dan menurut Jusuf, Soeharto menitipkan satu pesan yang jelas dan tegas –berbeda dengan beberapa versi lain yang diperhalus– yaitu bahwa Soeharto “bersedia memikul tanggungjawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura”.

Soekarno yang pada pagi harinya sempat panik di Jakarta dan tergesa-gesa berangkat ke Bogor, sempat meneruskan istirahat siangnya dan membiarkan tiga jenderal itu menunggu sampai pukul 14.30 sebelum menerima mereka. Soekarno bisa tampil cukup ‘tenang’ tatkala pesan Jenderal Soeharto disampaikan padanya, namun menurut gambaran Muhammad Jusuf terjadi “dialog yang begitu berat dan kadang-kadang tegang”. Tidak seperti pada masa-masa sebelumnya, dimana dalam setiap pembicaraan Soekarno selalu dituruti, kali ini para jenderal itu lebih berani berargumentasi. Ini ada dampaknya terhadap Soekarno yang terbiasa diiyakan, yakni Soekarno merasa sedikit tertekan oleh para jenderal itu. Soekarno akhirnya menyetujui suatu pemberian kewenangan kepada Soeharto. Penyusunan konsepnya memakan waktu cukup lama dan berkali-kali mengalami perubahan. Menurut para jenderal itu kemudian, perubahan atas konsep juga termasuk oleh tiga Waperdam yang datang kemudian, lalu mendampingi Soekarno dalam pembicaraan.

Dalam ingatan Jusuf, coretan-coretan perubahan dari Soebandrio dan Chairul Saleh, mengecilkan kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Dalam catatan Jenderal Nasution, butir yang berasal dari Soebandrio adalah tentang keharusan Menteri Panglima AD untuk berkoordinasi dengan para panglima angkatan lainnya dalam pelaksanaan perintah. Sementara itu, menurut Soebandrio sendiri, sewaktu dirinya bersama dua waperdam lainnya bergabung, pertemuan sudah menghasilkan suatu konsep. Soebandrio menuturkan, ”Saya masuk ruang pertemuan, Bung Karno sedang membaca surat”. Basuki Rachmat, Amirmahmud dan Muhammad Jusuf duduk di depan Soekarno. ”Lantas saya disodori surat yang dibaca Bung Karno, sedangkan Chairul Saleh duduk di samping saya. Isi persisnya saya sudah lupa. Tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan kepada presiden atas semua tindakan yang dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan presiden serta seluruh keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno. Soal urutannya, mungkin terbalik-balik, namun intinya berisi seperti itu”.

Lebih jauh, Soebandrio menuturkan –dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’– bahwa Soekarno bertanya kepadanya, “Bagaimana, Ban? Kau setuju?”. Beberapa saat Soebandrio diam. ”Saya pikir, Bung Karno hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Padahal, dalam hati saya tidak setuju”. Soebandrio yang agaknya terkejut oleh peristiwa di Jakarta pagi dan siangnya, masih belum pulih semangatnya, meskipun ia tak mengakui dirinya takut, termasuk ketika ia berkali-kali merasa dipelototi oleh para jenderal itu. “Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat ‘Mengamankan pribadi presiden dan keluarganya’. Artinya keselamatan presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan”. Lama terdiam, akhirnya Soebandrio ditanyai lagi oleh Soekarno, “Bagaimana, Ban? Setuju?”. Soebandrio menjawab, “Ya, bagaimana. Bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami”, yang dipotong Soekarno, “Tapi, kau setuju?”. Soebandrio menjawab lagi, “Kalau bisa perintah lisan saja”. Soebandrio melirik, “tiga jenderal itu melotot ke arah saya. Tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya terakhir”. Lantas Amirmahmud menyela, “Bapak Presiden  tanda tangan saja. Bismillah saja, pak”. Soebandrio menduga Soekarno sudah ditekan oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi. “Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken”.

Seingat Hartini Soekarno, sebelum menandatangani Surat Perintah 11 Maret itu, Soekarno sempat bertanya kepada Leimena, yang dijawab dalam bahasa Belanda, “Tak ada komentar, saya serahkan sepenuhnya kepada anda”. Sedang dari Chairul Saleh ada anjuran untuk berdoa dulu memohon petunjukNya. Terakhir dari Soebandrio ada komentar, juga dalam bahasa Belanda, “Kalau anda menandatanganinya, sama saja masuk perangkap”. Pukul 20.30 para jenderal itu kembali ke Jakarta dengan membawa Surat Perintah 11 Maret yang sudah ditandatangani Soekarno. Satu tembusan karbonnya diambil Brigjen Jusuf dari Saboer, sementara Saboer sendiri menyimpan tembusan lainnya, yang kesemuanya tanpa tanda tangan Soekarno.

Belakangan, terutama setelah lengsernya Soeharto dari kekuasaannya, terjadi kesimpangsiuran mengenai Surat Perintah 11 Maret ini. Terutama karena dokumen asli yang ditandatangani Soekarno dinyatakan hilang. Dikabarkan bahwa naskah dokumen asli ada di tangan Jenderal Jusuf. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin dokumen asli itu bisa ada di tangan Jusuf, karena dokumen itu sudah diserahkan langsung oleh ketiga jenderal itu ke tangan Jenderal Soeharto di kamar tidur sang jenderal di Jalan Haji Agus Salim. Jusuf sendiri, hanya memegang tembusan karbon surat perintah itu yang tanpa tanda tangan Soekarno. ‘Hilangnya’ dokumen asli itu menimbulkan tuduhan bahwa ada manipulasi atas Surat Perintah 11 Maret, yaitu dengan ‘memotong’ bagian batas waktu berlaku Surat Perintah tersebut, kemudian dicopy lalu aslinya disembunyikan, yang kesemuanya dilakukan atas ‘perintah’ Soeharto.

Menurut Sudharmono SH yang pernah menjadi Wakil Presiden dan dekat dengan Soeharto, dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965’) mengatakan hilangnya dokumen itu adalah karena terselip dan sepenuhnya kealpaan manusiawi dari Soeharto sendiri. Tetapi sepanjang pokok-pokok Surat Perintah 11 Maret sebagaimana yang diingat Soebandrio tampaknya tak ada perbedaan esensial dari yang ada dalam versi Sekretariat Negara dan versi Jenderal Jusuf. Versi yang ada dalam buku ‘memoar’ Jenderal Jusuf yang disusun oleh Atmadji Sumarkidjo, ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (2006, Penerbit Kata Hasta) adalah sebagai berikut ini. Untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto dapat (1) Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggungjawabnya  seperti tersebut di atas. Sampai meninggal dunia 7 September 2004, Jenderal Jusuf tak pernah memberikan penegasan mengenai isu tentang keberadaan dokumen asli Surat Perintah 11 Maret maupun mengenai tembusan karbon yang ada di tangannya.

Dalam memoar Jenderal Jusuf yang diterbitkan di tahun 2006 itu, soal dokumen asli itu maupun soal manipulasi isi surat perintah tersebut –bahwa surat perintah itu punya jangka waktu masa berlaku– tak dapat ditemukan pemaparannya. Kalau ada soal, kenapa Jenderal Jusuf  tetap menyimpannya rapat-rapat ? Seakan-akan masalah itu tersimpan dalam satu kotak Pandora, yang akan menyebarkan ‘malapetaka’ dan ‘kejahatan’ bila dibuka. Sementara itu, tokoh Partai Katolik Harry Tjan Silalahi yang dekat dengan Ali Moertopo, menyatakan bahwa ia sempat melihat sendiri asli Surat Perintah 11 Maret itu, terdiri dari dua halaman, dan bersaksi bahwa sepanjang yang ia ketahui tak pernah ada manipulasi. Bahwa dokumen asli surat itu hilang, ia menunjuk pada kenyataan buruknya kebiasaan dalam administrasi pengarsipan di Indonesia, karena naskah asli Pembukaan UUD 1945 pun hilang tak diketahui sampai sekarang (Wawancara, Rum Aly).

Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi ‘tak mau’ dan ‘tak bisa’ diklarifikasi, adalah apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu adalah by accident terjadi karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada semacam setting sebelumnya? Pertanyaan ini muncul, karena menurut Soeripto SH, yang kala itu berkecimpung di lingkungan intelijen –dan berkomunikasi intensif dengan Yoga Sugama, Asisten I di Kostrad– pada tanggal 10 Maret pukul 21.00 malam mendengar dari seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat bahwa esok hari Soekarno akan menyerahkan kekuasaan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Artinya fakta kehadiran dari apa yang disebut sebagai pasukan tak dikenal di depan istana, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebenarnya yang merupakan persoalan lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir.

Berlanjut ke Bagian 4