Tag Archives: SOB

Kisah Korupsi Para Jenderal (3)

Bukan kekebalan yang kebetulan. ‘Naas’ penindakan yang menimpa Jenderal Polisi Siswadji di paruh kedua tahun 1970-an itu bisa diterangkan dari beberapa arah pandang. Semestinya, sebagai jenderal lapis kedua di angkatannya, ia ikut memiliki ‘kekebalan’ tradisional para jenderal. Tetapi, ia telah melanggar suatu pakem penting di tubuh angkatan bersenjata kala itu, yang didominasi Angkatan Darat, yakni jangan ‘menggerogoti’ keuangan internal. Kalau ingin makanan ekstra di luar takaran, hendaknya jangan mengais di lumbung sendiri. Apalagi, saat itu lumbung anggaran Kepolisian sedang mengalami keterbatasan. Secara tradisional anggaran angkatan-angkatan di luar Angkatan Darat memang selalu lebih kecil dari pemegang hegemoni.

SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. “Di sisi lain, pada waktu yang sama, tak kurang dari Istana Presiden Soekarno sendiri yang menjadi pelopor pesta tari lenso di malam hari. Pesta yang dihadiri selain para menteri, juga dihadiri oleh para pengusaha dan dimeriahkan perempuan selebrities yang serba rupawan dan gemerlap”. “Di masa kekuasaan Jenderal Soeharto, konsep dwifungsi yang sebenarnya ideal untuk proses transisi bila dijalankan dengan baik dan benar oleh ABRI, justru menjadi jalan baru bagi tentara untuk tetap bertahan dalam posisi-posisi kekuasaan sekaligus payung pelindung bagi ekses kekuasaan yang terjadi”. (foto dokumentasi/download kaskus).

Maka, sebaiknya kreatif menciptakan rezeki melalui keleluasaan dalam wewenang yang dimiliki terhadap masyarakat –sekecil apapun wewenang itu. Asalkan, tidak mengganggu ladang angkatan lain, khususnya ladang angkatan darat, apalagi ladang milik para dewa dalam kekuasaan. Untuk yang disebut terakhir, yakni para dewa, kepolisian harus ekstra tutup mata. Hal lain yang membuat Siswadji naas dan terkena bala, karena ia melakukan korupsinya di masa Jenderal Muhammad Jusuf menjadi Menteri Hankam/Panglima ABRI –yang sangat antusias membangun citra ABRI yang manunggal dan tidak ingin ‘menyakiti’ hati rakyat.

Kepolisian Indonesia, sejak awal kemerdekaan didisain sebagai polisi profesional, sejak terbentuk di bulan September 1945. Di samping itu, berbeda dengan sejumlah besar negara lain, Kepolisian Indonesia pun dirancang sebagai polisi nasional dalam Negara Kesatuan RI, bukan polisi wilayah yang berada di bawah otoritas pemerintah daerah yang artinya dengan sendirinya juga berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Polisi Indonesia diletakkan langsung di bawah pimpinan pemerintah pusat cq Presiden. Konsep polisi nasional ini dikukuhkan 1 Juli 1946, yang hingga kini selalu dirayakan sebagai Hari Kepolisian atau Hari Bhayangkara. Ini diharapkan memperkuat profesionalitas Continue reading Kisah Korupsi Para Jenderal (3)

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (2)

*Hatta Albanik

PADA awalnya kekuatan mahasiswa masih menganggap sebagai suatu kewajaran bahwa kondisi kekacauan politik yang ditinggalkan pemberontakan G30S menimbulkan kondisi keamanan yang kurang memuaskan. Sehingga, banyak peluang dan dorongan bagi ABRI untuk mengisi kekosongan-kekosongan jabatan sipil yang tak mungkin segera ditempati karena belum berlangsungnya mekanisme demokrasi yang wajar sejak pemilihan umum pertama satu dasawarsa sebelumnya (pada tahun 1955).  Namun, hanya selang beberapa tahun pada tahun 1970-an kekuasaan tentara yang terlalu dominan di dalam panggung politik kenegaraan Indonesia dengan serta merta memunculkan ekses penyalahgunaan kekuasaan militer yang merekognisi kembali ingatan terhadap suatu pemerintahan darurat militer (SOB) yang pernah dialami oleh negara Indonesia dengan segala akibatnya.

IRONI PARTNERSHIP ABRI-MAHASISWA 1966. Usai perjuangan 1966, back to campus menjadi mainstream aktivitas mahasiswa. “Mahasiswa tetap mentabukan politik dan permainannya, sementara ABRI mulai asyik mengatur politik dan permainannya itu dalam menjalankan kekuasaan yang sudah dalam genggamannya. ABRI mengambil tempat sebagai panglima politik baru, dan pada waktu yang bersamaan memposisikan politik sebagai panglima –suatu hal yang selama ini selalu mereka lontarkan penuh sinisme sebagai seolah-olah ciri pemerintahan Orde Soekarno yang dikatakannya totaliter”. (Karikatur T. Sutanto 1967)

Ada tidaknya pengaruh dari semakin terbukanya wawasan dan komunikasi dengan dunia luar –khususnya dengan Amerika Serikat– yang pada era tersebut diramaikan oleh isu-isu gerakan hak-hak sipil warga negara, turut menggugah kesadaran kalangan terdidik ini terhadap hak-hak dasar manusia sebagai warga dari suatu negara. Keberhasilan mengeliminir kekuatan komunis yang dianggap menindas hak-hak warga negara untuk ditundukkan oleh kekuatan-kekuatan negara, harus dibarengi dengan semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya memperhatikan hak dan kesejahteraan warga dari suatu negara. Keadaan serba tidak boleh pada masa Orde Soekarno (misalnya tidak boleh mendengar musik Barat yang ngak-ngik-ngok, tak boleh cas-cis-cus berbahasa asing, tidak boleh mendengar siaran radio luar negeri, tidak boleh menonton film Amerika dan Inggeris, tidak boleh bergaul akrab dengan orang asing, tidak boleh berbeda pendapat dengan pemerintah dan sebagainya) membuat orang kemudian seakan-akan mendapatkan kembali kebebasannya pada saat itu.

Tetapi, seiring dengan semakin menguatnya cengkeraman militer terhadap kekuasaan negara, maka sedikit demi sedikit kebebasan-kebebasan itu semakin menghilang digantikan kembali oleh segala serba tidak boleh itu. Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (2)

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (1)

Hatta Albanik*

SEJARAH Indonesia modern telah menunjukkan bahwa generasi muda hampir selalu tampil sebagai penentu perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan bangsa. George Mc’Turnan Kahin bahkan menggunakan penamaan ‘Revolusi Kaum Muda’ untuk menyebutkan pergerakan tokoh-tokoh yang mempelopori  terjadinya perubahan yang melahirkan bangsa dan negara Indonesia modern. Setelah Indonesia merdeka, tampaknya gerakan kaum muda itu analog dengan perjuangan intelektual yang terjadi pada awal abad 20, dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Perubahan yang terjadi senantiasa ditentukan oleh kalangan muda kampus: mahasiswa.

‘UJUNG TOMBAK’ PERUBAHAN YANG BERNAMA ‘GERAKAN MAHASISWA’
HAMPIR seluruh perubahan di Indonesia –besar atau kecil– melibatkan peran gerakan dan ‘kekuatan’ mahasiswa, sebelum maupun pada masa Indonesia merdeka. Dua perubahan besar di tahun 1966-1967 yang terkait kejatuhan Soekarno dan 1998 yang mengakhiri kekuasaan Soeharto, yang diantarai gerakan kritis mahasiswa sekitar 1974 dan 1978, mencatat kehadiran peran mahasiswa, meski dengan skala kuantitatif dan kualitatif yang bisa saja berbeda satu sama lain. Gerakan 1966 diikuti keikutsertaan peran lanjut secara fisik dan konseptual dalam arah perubahan berikutnya, sementara Gerakan 1998 tidak sehingga peran itu diambil partai dan kekuatan politik lainnya.
Berdasarkan jajak pendapat 9-11 Mei 2012, Harian Kompas (14 Mei) mencatat bahwa peran mahasiswa dalam “menumbangkan rezim Orde Baru” Mei 1998 masih dikenang sebagai bukti kemenangan idealisme gerakan mahasiswa terhadap tirani Soeharto. Tetapi pasca reformasi, gerakan mahasiswa terasa melempem karena mahasiswa terkotak-kotak sehingga gerakan mereka pun menjadi sporadis. Meski demikian, “gerakan mahasiswa tetap potensial melawan penguasa seperti dalam gerakan menolak kenaikan harga BBM”. Dan dari jajak pendapat antara lain dicatat semacam kesimpulan, “Kepercayaan publik terhadap gerakan mahasiswa tetap tinggi karena mahasiswa dianggap masih murni dalam mengajukan tuntutan perubahan kepada pemerintah. Mahasiswa adalah alat kontrol pemerintah yang efektif ketimbang partai politik sebagai organisasi politik formal. Dalam karut marut politik dan ekonomi sekarang muncul harapan masyarakat agar mahasiswa bangkit dan bersatu untuk memulai gerakan reformasi”.
Kesimpulan ini sejajar dengan yang ditulis Hatta Albanik, dalam referensi tema untuk buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter” (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004). Tulisan itu, “Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa” diturunkan bersambung secara lengkap di sociopolitica –setelah selama ini sering dikutip secara parsial– agar bisa membantu memberi gambaran lebih komperehensif tentang pergerakan mahasiswa Indonesia dalam konteks peran sebagai kekuatan kontrol terhadap kekuasaan dari waktu ke waktu.

Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masa Indonesia merdeka, umumnya berupa upaya untuk merobohkan kekuasaan rezim-rezim totaliter dan kediktatoran yang membawa kehidupan bangsa jatuh pada kondisi kritis yang dapat membawa kehancuran. Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (1)

Mahasiswa, Tentara dan Kekuasaan (2)

“Karena periode pemerintahan Orde Soeharto berlangsung begitu lamanya, maka terlihat bahwa masa bakti kalangan ABRI Angkatan 45 yang ‘sehati’ itu menjadi sedemikian singkatnya ‘berpartnership’ dengan gerakan mahasiswa yang selalu menjaga kedekatan hati dengan nasib bangsanya.  Sehingga, sebagian besar wajah ABRI Orde Soeharto itu lebih banyak diisi oleh wajah penguasa korup yang menindas rakyat serta gerakan mahasiswanya”.

Pada awalnya kekuatan mahasiswa masih menganggap sebagai suatu kewajaran bahwa kondisi kekacauan politik yang ditinggalkan pemberontakan G30S menimbulkan kondisi keamanan yang kurang memuaskan. Sehingga, banyak peluang dan dorongan bagi ABRI untuk mengisi kekosongan-kekosongan jabatan sipil yang tak mungkin segera ditempati karena belum berlangsungnya mekanisme demokrasi yang wajar sejak pemilihan umum pertama satu dasawarsa sebelumnya (pada tahun 1955).  Namun, hanya selang beberapa tahun pada tahun 1970-an kekuasaan tentara yang terlalu dominan di dalam panggung politik kenegaraan Indonesia dengan serta merta memunculkan ekses penyalahgunaan kekuasaan militer yang merekognisi kembali ingatan terhadap suatu pemerintahan darurat militer (SOB) yang pernah dialami oleh negara Indonesia dengan segala akibatnya.

Ada tidaknya pengaruh dari semakin terbukanya wawasan dan komunikasi dengan dunia luar –khususnya dengan Amerika Serikat– yang pada era tersebut diramaikan oleh isu-isu gerakan hak-hak sipil warga negara, turut menggugah kesadaran kalangan terdidik ini terhadap hak-hak dasar manusia sebagai warga dari suatu negara. Keberhasilan mengeliminir kekuatan komunis yang dianggap menindas hak-hak warga negara untuk ditundukkan oleh kekuatan-kekuatan negara, harus dibarengi dengan semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya memperhatikan hak dan kesejahteraan warga dari suatu negara. Keadaan serba tidak boleh pada masa Orde Soekarno (misalnya tidak boleh mendengar musik Barat yang ngak-ngik-ngok, tak boleh cas-cis-cus berbahasa asing, tidak boleh mendengar siaran radio luar negeri, tidak boleh menonton film Amerika dan Inggeris, tidak boleh bergaul akrab dengan orang asing, tidak boleh berbeda pendapat dengan pemerintah dan sebagainya) membuat orang kemudian seakan-akan mendapatkan kembali kebebasannya pada saat itu.

Tetapi, seiring dengan semakin menguatnya cengkeraman militer terhadap kekuasaan negara, maka sedikit demi sedikit kebebasan-kebebasan itu semakin menghilang digantikan kembali oleh segala serba tidak boleh itu. Hak-hak warga negara terasa semakin ditindas. Kekuasaan negara semakin dibatasi dalam genggaman lingkaran elitis tertentu semata yang umumnya dekat dengan ABRI dan Soeharto sebagai pimpinannya. Rambut gondrong dirazia, diskusi disusupi intel tentara, rapat-rapat organisasi dibatasi oleh izin-izin. Kesannya seperti sama saja dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat di masa Soekarno dulu yang juga dilakukan oleh kekuasaan militernya. Mulailah muncul sikap kritis mahasiswa terhadap kondisi-kondisi ekses yang terjadi. Bilamana kondisi back to campus semula seiring dengan kehendak ABRI dan kesadaran mahasiswa sendiri untuk menghindarkan diri terlibat terlampau jauh mencampuri permainan politik, maka perkembangan selanjutnya membawa mahasiswa dan ABRI berada dalam dua tubir yang saling berseberangan, tidak lagi seiring sejalan. Mahasiswa tetap mentabukan politik dan permainannya, sementara ABRI mulai asyik mengatur politik dan permainannya itu dalam menjalankan kekuasaan yang sudah dalam genggamannya. ABRI mengambil tempat sebagai panglima politik baru, dan pada waktu yang bersamaan memposisikan politik sebagai panglima –suatu hal yang selama ini selalu mereka lontarkan penuh sinisme sebagai seolah-olah ciri pemerintahan Orde Soekarno yang dikatakannya totaliter.

Aktvitas gerakan mahasiswa Bandung pada era 1970-1974 berada dalam kondisi semacam ini: Back to campus tetap menjadi mainstreamnya, rasa antipati terhadap politik dan segala permainannya juga tetap menjadi nafasnya. Tetapi kondisi sudah berubah. Melalui pemilihan umum kedua dalam sejarah Indonesia merdeka, pada tahun 1971, tentara berhasil mengukuhkan dominasinya dalam negara dan menempatkan institusi-institusi politik sebagai bagian dari etalase demokrasi negara Indonesia. Tidak ada usaha untuk menyadarkan publik bahwa seiring dengan back to campusnya mahasiswa, seharusnya tentara pun segera back to barrack dan keduanya kembali ber’partnership’ mendorong demokratisasi dengan memfungsikan mekanisme demokrasi, mendorong berperannya tokoh-tokoh profesional yang berjiwa demokrat dan bersama-sama melakukan tugas korektif mengawasi jalannya negara agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Terlampau dominannya ABRI dalam kekuasaan negara menyebabkan tidak mungkinnya dilakukan pengawasan efektif terhadap para penyelenggara negara, karena setiap upaya korektif yang dilakukan akan selalu dihadapi oleh kekuatan bersenjata militer yang menjadi pengawal kekuasaan penguasa pemerintahan negara. Otoriterisme dan totaliterismelah yang kemudian terjadi. Upaya korektif terhadap penyelenggara negara hanya mungkin efektif bila dilakukan melalui kekuatan pemikiran (baca: kampus/ intelektual/ mahasiswa) yang berpartner dengan kekuatan efektif bersenjata (baca: ABRI). Sehingga, “pressure” dan wibawa dari koreksi yang dilakukan itu akan membuat para penyelenggara atau pelaksana kekuasaan negara itu (baca: pemerintah/eksekutif dan suprastrukturnya) terawasi dan benar-benar harus jujur melaksanakan tugasnya menyelenggarakan kekuasaan negara bagi kepentingan bangsa. ABRI dan mahasiswa sebagaimana telah terbukti dalam partnershipnya di tahun 1966-an itu menempatkan diri dalam posisi bersama rakyat yang mengoreksi carut marut kezaliman yang diperbuat oleh penyelenggara negara yang curang pada waktu itu.

Namun, sayangnya Soeharto menyeret ABRI terlalu jauh masuk dalam pengaruh kekuasaan sehingga terasa semakin jauh dari rakyat. Banyak petinggi ABRI yang masuk dalam posisi kekuasaan Soeharto kemudian bertingkah laku sebagai Gubernur Jenderal yang kejam dan korupnya melebihi Gubernur Jenderal Daendels. Dan kondisi ini berlangsung tidak dalam sifatnya yang temporer, melainkan berlangsung seakan-akan dipermanenkan. Sehingga generasi penerus ABRI hampir-hampir tidak peka terhadap kondisi yang menyebabkan mengapa ABRI harus berperan sipil di dalam suatu negara demokrasi. Para seniornya dari Angkatan 45 mungkin lebih mudah memahami kondisi kesementaraan ‘darurat militer’ di negara demokrasi itu. Tetapi larutnya mereka dalam arus kenikmatan kekuasaan, menyebabkan mereka pun terjebak dalam kepentingan jangka pendek dan meneriakkan jargon “dwi fungsi ABRI abadi untuk selamanya”. Jargon inilah yang ditelan dan diteruskan oleh generasi penerusnya secara tidak sensitif dengan bertingkah laku lebih kejam dan lebih korup daripada Gubernur Jenderal VOC penjajah Belanda. Itu dimungkinkan oleh karena Orde Soeharto berlangsung terlalu lama memegang kekuasaan dengan menyeret ABRI ke dalam pengaruh kekuasaannya.

Menurut kalangan Angkatan 45 yang kritis, kelompok ABRI yang dididik dalam tradisi pendidikan fasisme militer Jepang yang menjajah Indonesia secara kejam pada 1942-1945 itulah yang berhasil diseret Soeharto untuk mendukung kekuasaannya selama itu. ABRI yang berasal dari kalangan Angkatan 45 dan terdidik dalam suasana pergerakan kemerdekaan yang berlangsung secara terorganisir melawan penjajah Belanda (baca: kalangan ABRI pergerakan) pada umumnya berusaha menghindar kalau tidak mungkin bersikap kritis terhadap kekuasaan Soeharto. Kalangan inilah yang tampaknya bisa ‘sehati’ dengan pergerakan mahasiswa yang tidak pernah berhenti mengkritisi pemerintah (termasuk pemerintahan Orde Soeharto yang berasal dari partnershipnya dengan mahasiswa 1966). Sementara kalangan ABRI yang berhasil diseret Soeharto menjadi alatnya lebih menempatkan diri sebagai ‘penindas’ terhadap sikap-sikap kritis mahasiswa –yang senantiasa berupaya mengawasi pemerintahan agar tidak menindas serta membodohkan rakyat. Karena periode pemerintahan Orde Soeharto berlangsung begitu lamanya, maka terlihat bahwa masa bakti kalangan ABRI Angkatan 45 yang ‘sehati’ itu menjadi sedemikian singkatnya ‘berpartnership’ dengan gerakan mahasiswa yang selalu menjaga kedekatan hati dengan nasib bangsanya.  Sehingga, sebagian besar wajah ABRI Orde Soeharto itu lebih banyak diisi oleh wajah penguasa korup yang menindas rakyat serta gerakan mahasiswanya.

Wajah seperti inilah yang kemudian diestafetkan oleh kalangan generasi penerus kepemimpinan ABRI sebagai sikap dan perilakunya terhadap rakyat dan bangsa (serta mahasiswa yang hampir selalu berada dalam posisi ‘dekat’ dengan hati rakyat dan bangsanya itu). Wajah kekuasaan dengan sikap dan perilaku menindas rakyat, bangsa dan pergerakan mahasiswa. Tidak pelak bilamana di dalam hati masyarakat semakin tumbuh perasaan untuk meng-Irak-kan ABRInya yang semacam itu. Artinya tidak lagi memandang ABRI sebagai asset nasional yang berguna bagi kehidupan bangsa Indonesia yang demokratis, tetapi lebih sebagai penindas dan unsur anti demokrasi yang selalu mengintai kesempatan untuk lebih menindas lagi dengan terjun kembali memegang kekuasaan negara. Bukan untuk memajukan bangsa melainkan menikmati kekuasaan demi kepentingan kelompoknya sendiri (baca: oknum-oknum pemegang kekuasaan di ABRI).

Berlanjut ke Bagian 3

Tentara Dalam Kancah Politik 1952-1959 (4)

Tentara dalam masa SOB adalah tentara yang berkuasa. Eksesnya juga ada. Beberapa perwira tentara atau menjadi makin otoriter, atau menikmati benefit lainnya, atau sekaligus kedua-duanya. “Dari posisi-posisi di institusi ekonomi, tentara berhasil menghimpun dana-dana yang kemudian difaedahkan dalam berbagai aktifitas yang sesungguhnya tak lain adalah kegiatan politik praktis dan tak terlepas dari skenario kekuasaan, selain untuk ‘kenyamanan’ hidup bagi sejumlah perwira.

Pada kutub-kutub yang berbeda, dua besar lainnya dalam Pemilihan Umum 1955, juga tidak mencapai suara yang dominan. PNI memperoleh 58 kursi di DPR sedang PKI meskipun cukup mengejutkan, hanya memperoleh 32 kursi (ditambah beberapa kursi, 7 kursi, yang diperoleh oleh calon-calon afiliasinya). Kursi-kursi untuk PNI dipercayai terutama diperoleh di daerah-daerah pemilihan yang mayoritasnya adalah kaum abangan atau dibeberapa daerah tertentu dimana kaum bangsawan masih cukup kuat pengaruhnya, serta di kalangan non partisan namun merupakan pengagum pribadi Soekarno. Pada sejumlah rakyat di berbagai pelosok tanah air, Soekarno yang orator ulung yang seakan tak tertandingi siapa pun pada zaman itu, memang adalah tokoh nan mempesona dan nyaris menjadi legenda seumur hidup bila ia kemudian tak tertahan oleh suatu insiden sejarah.

Sementara itu PKI yang mendasarkan diri pada suatu ideologi internasional yang menggunakan retorika perjuangan kelas, memperolehnya di kalangan masyarakat yang merasa dirinya tak tercapai oleh keadilan sosial dan keadilan hukum –seperti perilaku tak menyenangkan dari aparat negara dan tentara yang pada masa itu mulai sangat gemar akan tindakan-tindakan kekerasan kepada rakyat kecil. Beberapa pihak juga menyebutkan bahwa pendukung PKI berasal pula dari mereka yang tidak memiliki hubungan baik atau karena tidak senang terhadap sikap tertentu dari kaum santri yang mencampuri kehidupan pribadi yang berkaitan dengan agama. Kelak memang terbukti bahwa dua hal yang paling dimusuhi PKI sebagai partai adalah kelompok tentara sebagai kekuatan politik de facto dan kelompok Islam sebagai kekuatan masyarakat –di antaranya para kyai dan haji-haji yang menguasai tanah-tanah luas di pedesaan– maupun sebagai kekuatan politik. Partai-partai Kristen dan Katolik memperoleh 9 dan 8 kursi, begitu pula PSI yang hanya menempatkan 5 anggota di DPR. Partai-partai lainnya di luar itu hanya memperoleh kursi yang bisa dihitung dengan jari pada satu tangan, bahkan banyak yang tak memperoleh kursi sama sekali di tingkat nasional untuk kemudian hilang dalam peta politik Indonesia seterusnya.

Pasca Pemilihan Umum 1955, tercatat peristiwa-peristiwa politik yang menyebabkan berlanjutnya krisis seperti yang dialami sebelumnya. Desember 1955 terjadi insiden internal menyangkut kepemimpinan di tubuh angkatan udara. Dan beberapa bulan setelah terbentuknya Kabinet Ali yang kedua, sebagai kabinet pertama yang terkait dengan hasil pemilihan umum, makin mencuat adanya perbedaan pandangan antara Mohammad Hatta dengan Soekarno yang berujung pada pengunduran diri Hatta sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Adalah juga pada bagian kedua tahun 1956 itu di masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo, bermunculan gerakan-gerakan yang berdasar kepada ketidakpuasan daerah terhadap pemerintahan pusat. Gerakan-gerakan daerah ini secara signifikan diperlopori oleh kalangan militer di daerah. Dalam reuni eks Divisi Banteng di Padang pada 20 Nopember, muncul inisiatif pembentukan Dewan Banteng yang diketuai oleh Komandan Resimen IV Tentara dan Teritorium (TT) I, Letnan Kolonel  Achmad Husein. Dewan ini menuntut otonomi daerah yang lebih luas.

Tatkala KASAD pada tanggal 9 Desember 1956 mengeluarkan larangan bagi perwira-perwira tentara melakukan kegiatan politik, reaksi balik yang muncul justru adalah meningkatnya ‘pembangkangan’. Achmad Husein pada 20 Desember malah mengambilalih pemerintahan dari tangan sipil, dari Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo. Berturut-turut terbentuk Dewan Gajah di Sumatera Utara di bawah pimpinan Panglima Tentara dan Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, Dewan Garuda di Sumatera Selatan di bawah pimpinan Panglima Tentara dan Teritorium II Letnan Kolonel Barlian serta Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Panglima Tentara dan Teritorium VII Letnan Kolonel Herman Nicolas ‘Ventje’ Sumual. Berbagai musyawarah yang diselenggarakan sepanjang tahun 1956, di antara para panglima tentara maupun antara tentara dan kalangan pemerintah pusat, tak berhasil menyelesaikan persoalan.

Ali Sastroamidjojo SH yang menghadapi masalah yang beruntun-runtun akhirnya memilih untuk mengembalikan mandatnya 14 Maret 1956 apalagi ada isyarat kuat dari Soekarno untuk pembentukan suatu kabinet baru. Tiga minggu sebelumnya Soekarno mengumumkan apa yang disebut “Konsepsi Presiden” yang menyatakan bahwa sistem demokrasi parlementer ala Barat tidak sesuai dengan Indonesia seraya memperkenalkan dan mengusulkan apa yang disebutnya Demokrasi Terpimpin. Untuk itu ia menyatakan perlu dibentuk kabinet baru yang bersifat gotong royong yang terdiri dari semua partai dan organisasi demi perimbangan dalam masyarakat. Ia menyebut Kabinet Kaki Empat yang ditopang terutama oleh 4 besar Pemilu 1955 yakni Masjumi, PNI, NU dan PKI. Presiden Soekarno juga mengintrodusir Dewan Nasional yang berisi wakil-wakil fungsional dalam masyarakat untuk membantu dan memberi nasehat kepada kabinet. Dua dari empat kaki yang diharapkan turut serta, yakni Masjumi dan NU bersama beberapa partai lain –PRI, Partai Katolik dan PSII– menolak konsep presiden itu, karena menganggap perubahan radikal seperti itu keputusannya hanya boleh diambil dalam Konstituante. Konsepsi presiden ini memberi efek meningkatnya pergolakan di daerah.

Hanya satu setengah jam setelah Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandat, Soekarno mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang. Kelak, beberapa bulan setelah itu, 17 Desember 1957,  keadaan itu ditingkatkan menjadi keadaan bahaya tingkat keadaan perang. Sejak saat itu Indonesia menjadi negara SOB (Staat van Oorlog en Beleg), suatu situasi yang memberi tentara begitu banyak keleluasaan yang konsesif dan mencipta satu sinergi kekuasaan dengan Soekarno setahap demi setahap pada masa-masa berikutnya. Kabinet Ali II kemudian diganti dengan Kabinet Karya yang dipimpin  Ir Juanda. Dua militer turut dalam kabinet, salah satunya Jenderal Mayor Nasution dan lainnya Kolonel Azis Saleh.

Peristiwa demi peristiwa itu membuka berbagai momentum dengan serba kemungkinan. Suatu momentum terbuka. Jenderal Nasution menjalankan peranan sebagai tentara pusat yang loyal kepada pemerintahan sipil Jakarta dan Soekarno, dan militer menjadi salah satu kaki yang tangguh penopang tegaknya kekuasaan Soekarno yang lebih besar. Apalagi ketika kemudian keadaan berkembang ke arah krisis dengan terjadinya Pemberontakan PRRI dan Permesta, di Sumatera dan Sulawesi. Namun pada saat yang bersamaan kancah tersebut telah melahirkan bintang baru bernama Ahmad Yani yang dikenal tidak dekat dengan Nasution, namun punya kedekatan hubungan pribadi yang lebih erat dengan Presiden Soekarno. Ahmad Yani yang terjun ke daerah-daerah operasi penumpasan dengan pangkat Letnan Kolonel menjadi ‘bintang’ baru yang meluncur karirnya hingga jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat. Ia berada di posisi puncak itu dengan pangkat Letnan Jenderal, hingga 1 Oktober 1965.

Tentara dalam masa SOB adalah tentara yang berkuasa. Eksesnya juga ada. Beberapa perwira tentara atau menjadi makin otoriter, atau menikmati benefit lainnya, atau sekaligus kedua-duanya. Di akhir tahun 1957 terjadi pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda dan dinasionalisir menjadi badan-badan usaha milik negara. Tentara yang dianggap mempunyai sumber daya manusia yang lebih siap, masuk mengambil posisi-posisi penting penanganan badan-badan ekonomi eks Belanda itu. Peran dadakan itu menimbulkan banyak ekses. Salah satu eksesnya adalah terjunnya para perwira ke dalam dunia uang dan bisnis, dan saat itu menjadi awal keterlibatan mereka dalam dunia korupsi. Ekses lain, terjadi saling intrik karena perebutan posisi, di antara para perwira itu sendiri.

Para perwira ini ternyata gagal menjalankan institusi-institusi ekonomi tersebut dengan baik diukur berdasarkan skala kepentingan umum. Namun pada sisi lain yang pragmatis, harus diakui bahwa dari posisi-posisi di institusi ekonomi itu, tentara berhasil menghimpun dana-dana yang kemudian difaedahkan dalam berbagai aktifitas yang sesungguhnya tak lain adalah kegiatan politik praktis dan tak terlepas dari skenario kekuasaan, selain untuk ‘kenyamanan’ hidup bagi sejumlah perwira. Salah satu institusi yang paling strategis ialah sektor perminyakan. BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) diambil alih dan diserahkan kepada perwira-perwira tentara dan akhirnya menjadi cikal bakal Pertamina (Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional) –yang merupakan hasil peleburan Pertamin dan Permina. Hingga masa awal Orde Baru di bawah Soeharto Pertamina disorot sebagai tempat yang subur bagi praktek korupsi, namun nyaris tanpa pernah ada penindakan tuntas, yang menunjukkan bahwa pembagian rezeki dari perusahaan negara tersebut telah mencapai dan merasuk hingga puncak-puncak kekuasaan di negara ini. Tokoh yang paling legendaris di Pertamina dan di dunia perminyakan Indonesia adalah Ibnu Sutowo, seorang dokter medis yang menjadi tentara dan mencapai pangkat tertinggi Letnan Jenderal. Paling disorot pasca Soekarno, namun nyaris tak tersentuh, termasuk ketika ia telah dipensiunkan. Ketika meninggal dunia, masih di zaman Soeharto, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Bila yang di atas membiarkan kejahatan yang diketahuinya terjadi di bawah, ia dengan demikian menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri.

Dipa Nusantara Aidit: Mengibarkan Bendera Merah (1)

“Bukan hanya peristiwa pemancungannya yang mengerikan, cerita tambahan yang beredar di masyarakat yang masih kuat tercengkeram tahyul pun tak kalah menimbulkan teror mengguncang hati, bahwa mereka yang dipancung arwahnya penasaran lalu gentayangan dengan wujud hantu tak berkepala”.

SELAIN tentara –Angkatan Darat– ada sejumlah kekuatan politik lain yang menjadi penopang sebagai partner taktis Soekarno, terutama sejak diletakkannya titik dasar baru bagi kekuasaannya melalui Dekrit 5 Juli 1959. Setidaknya ada tiga kelompok kekuatan yang signifikan, yakni kelompok politik Islam yang terutama diwakili oleh Partai NU, kemudian PNI dan PKI, yang mewakili kelompok politik ideologi nasionalis (marhaenis) dan ideologi komunis. Ketiga-tiganya termasuk 4 besar Pemilihan Umum 1955 bersama Masjumi yang telah tersingkir setelah dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Soekarno karena dianggap terlibat dan mendukung pemberontakan PRRI-Permesta sebagaimana pula nasib yang dialami PSI.

Di antara 4 kaki penopang kekuasaan Soekarno dalam penggalan masa itu, Tentara dan PKI bagaimana pun adalah yang paling fenomenal. Pusat kekuasaan yang sebenarnya pada masa 6 tahun itu ada di tangan Soekarno-Angkatan Darat-PKI. Realitas kekuasaan segitiga seperti ini yang ‘terikat’ dalam politik perimbangan yang dimainkan Soekarno, sekaligus menempatkan pula PKI dan Tentara ke dalam suatu persaingan kekuasaan yang berkepanjangan.

Hingga sedemikian jauh, tidak terlalu sulit bagi Soekarno memegang kendali political game kala itu, karena terdapatnya sejumlah faktor historis dan kondisi objektif krusial yang mewarnai hubungan tentara dengan PKI. Secara historis, tentara dan kaum komunis, kerap bersilang jalan dan bahkan harus berhadap-hadapan seperti misalnya pada Peristiwa Madiun 1948 dan beberapa insiden internal Angkatan Darat yang melibatkan perwira-perwira militer ‘berhaluan’ komunis sebagai trouble makers. Selain itu, pihak tentara mencatat berkali-kali dalam berbagai kesempatan PKI telah mencoba menyusupkan tangan ke tubuh Angkatan Darat. Sebaliknya, PKI pun mencatat adanya sikap antipati yang laten sejumlah perwira tentara kepada partai, terutama dalam kaitan ideologis disamping sejumlah pengalaman traumatis. ‘Kedekatan’ sejumlah perwira militer yang menjadi elite Angkatan Darat dengan Amerika Serikat menjadi pula catatan tersendiri bagi PKI. Tak kalah penting adalah ‘perseteruan’ berkepanjangan antara tentara dengan politisi sipil pada kancah percaturan politik dan kekuasaan, yang berurat berakar dan menjadi laten dalam sejarah sejak masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.

PKI adalah salah satu kekuatan sipil yang paling berperilaku bagaikan duri dalam daging sejak awal kelahirannya dan melajur sepanjang kehidupan bernegara menurut sudut pandang dan ‘kesadaran nasional’ para elite Angkatan Darat. Itulah pula sebabnya, terutama ketika memiliki wewenang istimewa dengan berlakunya SOB (Staat van Oorlog en Beleg) sejak 1957, pimpinan Angkatan Darat yang terisi dengan perwira-perwira anti komunis dari waktu ke waktu, banyak menggunakan wewenang khususnya itu untuk membendung berkembangnya PKI di berbagai wilayah, bahkan bilamana perlu seperti yang terlihat dalam beberapa kasus, para penguasa militer tak segan-segan menindaki partai komunis itu, begitu ada alasan pembenar, sekecil apapun. Mulai dari tindakan-tindakan pembekuan pengurus PKI di berbagai daerah, pembreidelan organ pers PKI sampai kepada penangkapan-penangkapan atas tokoh-tokohnya di berbagai tingkat kepengurusan.

Nasionalis beragama Islam dengan jalan pikiran Marxistis. Sebenarnya, sejak mula berdirinya Partai Komunis di Indonesia masih di zaman kolonial Belanda, partai itu tak pernah ada kedekatan ideologis dengan Soekarno, terkecuali bahwa Soekarno adalah seorang tokoh yang terpesona kepada ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels. Soekarno pada dasarnya, bukan seorang komunis melainkan seorang nasionalis beragama Islam dengan jalan pikiran yang Marxistis. Persentuhan yang terjadi dengan kaum komunis, lebih personal, semisal dengan tokoh-tokoh komunis eks Sarekat Islam maupun Alimin dan Muso. Tetapi ketika lapisan generasi baru Aidit dan kawan-kawan menapak ke dalam pimpinan partai di tahun 1951-1952, terutama setelah menjadi 4 besar dalam Pemilihan Umum 1955, PKI bergerak mendekati Soekarno. Keberhasilan pendekatan yang signifikan terjadi ketika PKI di bawah Aidit, merubah sikap dari semula menolak rencana Presiden Soekarno untuk membubarkan konstituante –melalui dekrit– menjadi menerima dan mendukung rencana tersebut. Sedemikian tinggi kadar kedekatan yang terjadi, terutama setelah Dekrit 5 Juli 1959, sehingga timbul kesan bahwa Soekarno dalam banyak hal terpengaruh oleh PKI, dan kemudian menjadi salah satu indikator bagi Amerika Serikat yang sedang pada puncak semangat anti komunis –dalam kerangka perang dingin antara Blok Barat melawan Blok Timur– untuk menilai Indonesia di bawah Soekarno sedang bergerak menjadi suatu negara komunis.

Pemberontakan PRRI-Permesta, yang digerakkan unsur militer luar Jawa, di latar pemikirannya juga memasukkan faktor anti komunis sebagai salah satu alasan pemberontakan selain faktor kesenjangan kepentingan pusat-daerah. Bantuan-bantuan belakang layar Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya terhadap pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi itu juga terkait dengan kekuatiran berkembangnya komunisme di Indonesia itu. Tentang ini, Soekarno menggambarkan –dalam wawancara dengan Cindy Adams untuk buku biografinya– bahwa dalam tahap pertama sebelum pemberontakan terdengar teriakan dari pulau-pulau seberang “Kami minta pembangunan untuk daerah kami”. Tak lama kemudian, pada tahap berikutnya menurut Soekarno terdengar pekik-pekik baru “Persetan dengan pemerintah Jakarta. Gantung Soekarno dari pohon yang paling tinggi. Pemerintah Jakarta Komunis. Kami anti-Komunis”. Mengenai bantuan Amerika Serikat terhadap pemberontakan, ketika ia memanggil Duta Besar AS Howard Pallfrey Jones untuk menemuinya, Soekarno mempersoalkannya melalui peristiwa pilot AS Allan Pope yang membantu kaum pemberontak. “Orang tahu betul bahwa Amerika, Taiwan dan Inggeris secara aktif membantu pemberontak”, ujar Soekarno, yang lalu bertanya tentang Allan Pope yang melakukan pemboman di Indonesia dengan berbasiskan pangkalan AS Clark di Pilipina, “Katakan pada saya, mengapa. Mengapa dia melakukannya ?”. Sang Duta Besar menjawab “Oleh karena dia dengar tuan Komunis dan dia hendak menyumbangkan tenaga, dalam perjuangan melawan Komunisme”.

Wawancara dengan Cindy Adams itu dilakukan tahun 1963-1964 dalam masa puncak kekuasaan Soekarno, dan Soekarno menegaskan bahwa tuduhan tentang pengaruh komunis itu samasekali tidak benar. Lalu Soekarno memaparkan kisah menarik tentang sikap dan hubungannya dengan kaum komunis Indonesia. “Soekarno lah yang menghancurkan orang-orang Komunis di tahun 1948”. Yang dimaksud Soekarno di sini adalah Peristiwa Madiun 1948. “Pemberontakan Komunis yang pertama di Indonesia ini dinyalakan oleh bekas guruku di Surabaya yang memperkenalkanku kepada politik yaitu Alimin dan Muso, dan oleh seorang tokoh yang telah kuselamatkan jiwanya di jaman pendudukan Jepang, ialah Amir Sjarifuddin”. Soekarno juga secara tak langsung mengaitkan komunis dengan atheisme, “Aku tidak ingin membiarkan mereka atau orang lain meniadakan Tuhan di tanah-airku yang tercinta”. Dan “aku berdiri di depan corong radio untuk menyetop peperangan terkutuk itu”. Soekarno berseru, “Negara Republik Indonesia tidak mungkin memerangi dirinya sendiri. Pilih satu di antara dua. Soekarno-Hatta atau Partai Komunis yang membentuk pemerintahan Sovyet di bawah Alimin dan Muso”. Soekarno mengaku mengirim Divisi Siliwangi untuk memadamkan pemberontakan itu. “Jangan ada yang berkata bahwa Soekarno ragu-ragu untuk meremuk-remuk pemberontakan Komunis. Jangan ada orang yang berkata Soekarno seorang Komunis”.

Meskipun Soekarno menyebutkan Peristiwa Madiun, September 1948, sebagai pemberontakan komunis yang pertama, sebenarnya dengan tahun 1948, kaum komunis telah dua kali melakukan pemberontakan. Pemberontakan yang pertama adalah pada tahun 1926-1927 –tatkala PKI baru berusia 6 menuju 7 tahun sejak didirikannya pada 23 Mei 1920– namun untuk sebagian masih dikategorikan dalam konteks perlawanan terhadap kaum kolonial. Pemberontakan tahun 1926-1927 oleh kalangan perjuangan lainnya kala itu dianggap justru merugikan perlawanan terhadap kolonial secara keseluruhan karena suatu perlawanan seperti itu belum waktunya dilakukan dan hanya akan mengundang penindasan yang lebih besar dari penguasa kolonial Belanda. Bahkan di kalangan komunis Indonesia sendiri pemberontakan itu dikecam. Rencana dasar pemberontakan itu disusun oleh tiga orang tokoh Partai Komunis Indonesia, yakni Sardjono, Soegono dan Boedi Soetjitro.

Rancangan ini sesungguhnya tidak disepakati oleh banyak tokoh PKI lainnya, pun tak semua cabang partai menyetujuinya. Salah seorang tokoh terkemuka dari partai, Tan Malaka, amat meragukan keberhasilan suatu rencana pemberontakan seperti itu. “Saatnya belum tiba” ujar Tan Malaka, tak kurang kepada Alimin sendiri. Ia menganggap PKI tidak siap untuk satu rencana sebesar itu. Pengaruh PKI di tengah rakyat belum meresap secara mendalam. Menurut gambaran Tan Malaka, partai masih kecil dan ‘tak berkuku’. “Mana mungkin kita mampu menggerakkan massa rakyat secara besar-besaran”, demikian Tan Malaka mengingatkan rekan-rekannya di lapisan pimpinan partai.

Nyatanya, pemberontakan komunis itu toh pecah juga. Alimin dan kawan-kawan ternyata tidak mengurungkan niatnya, kendati begitu banyak pendapat internal mengingatkan agar jangan terburu-buru bertindak. Pemberontakan pertama pecah di Jakarta 13 Nopember 1926, yang merambat dalam bentuk tindakan kekerasan di berbagai tempat di Jawa Barat (Banten) dan Jawa Tengah. Pemberontakan terjadi pula tepat pada hari pertama tahun 1927 di Sumatera Barat. Apa yang dikatakan Tan Malaka bahwa partai belum siap, terbukti. Tanpa terlalu bersusah payah tentara kolonial Belanda berhasil memadamkan pemberontakan komunis itu. Belanda menangkap puluhan ribu anggota PKI, langsung memenjarakannya, dan membuang sebagian lainnya ke Tanah Merah (Boven Digul) dekat Merauke Irian (Papua) Barat yang terkenal sebagai sarang malaria.

Perlawanan-perlawanan insidental partisan PKI –yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai perburuan oleh tentara dan polisi Belanda– masih berlangsung beberapa lama, sebelum akhirnya Partai Komunis Indonesia dan organisasi sayap Sarekat Rakyat dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 23 Maret 1928. Bagi Tan Malaka, mereka yang mengobarkan pemberontakan tersebut tak lebih dari sekumpulan orang nekad karena pikirannya diracuni pemahaman ideologi secara dogmatis. Namun, tudingannya mengenai dogmatisme dalam memahami ideologi komunis ini, saat-saat berikutnya menjadi bahan serangan balik oleh sejumlah tokoh PKI yang lain. Tan Malaka dipersamakan dengan Trotsky –karena keduanya memang memiliki kesamaan, menganut kebebasan berpikir dalam mencerna dan memahami ideologi– yang dianggap pengkhianat dan penyeleweng dari ideologi komunis, dan belakangan dipersalahkan sebagai orang yang menyebabkan kegagalan revolusi komunis Indonesia tahun 1926-1927 itu.

Setelah kegagalan pemberontakan tahun 1926-1927, tokoh-tokoh PKI yang tidak tertangkap dan atau berhasil melarikan diri ke luar negeri, terpaksa bergerak di bawah tanah, namun tak ada hasil yang signifikan untuk kepentingan partai. Sejak pertengahan 1928 hingga 1930-an dan awal 1940-an praktis PKI menjadi partai bawah tanah dan baru kembali ke permukaan setelah Proklamasi. Di tahun 1935 Komintern (gerakan Komunis Internasional) mengutus Muso kembali ke Indonesia untuk menghidupkan lagi partai. Dengan bantuan beberapa tokoh komunis yang tersisa, Muso mencoba mengorganisir suatu pergerakan PKI illegal, untuk ‘meneruskan’ perjuangan, namun gagal dan tahun berikutnya ia terpaksa lari kembali ke luar negeri. Praktis, sejak waktu itu sampai masa pendudukan Jepang, tak ada sesuatu kegiatan berarti dari PKI yang terlarang itu. Segala kegiatan PKI kemudian disalurkan melalui Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang dimotori oleh Amir Sjarifuddin.

Belajar dari pengalaman setelah kegagalan pemberontakan tahun 1926-1927, Amir Sjarifuddin menjalankan Gerindo dengan ‘damai’ dan bersikap hati-hati serta ‘berbaik-baik’ terhadap pemerintah kolonial Belanda. Satu dan lain hal karena itulah Amir sempat diyakini sangat bekerjasama dengan Belanda. Bahkan anggapan itu membuat Amir beberapa tahun kemudian hampir saja dihukum mati oleh tentara pendudukan Jepang. Amir selamat berkat bantuan Soekarno yang waktu itu punya hubungan amat baik dengan Jepang, sehingga bisa mencegah Jepang menghukum mati tokoh PKI itu.

Hukuman mati oleh tentara Jepang waktu itu berkonotasi amat mengerikan, karena selain dengan peluru, eksekusi juga kerap dilakukan dengan pancungan pedang samurai. Bukan hanya peristiwa pemancungannya yang mengerikan, cerita tambahan yang beredar di masyarakat yang masih kuat tercengkeram tahyul pun tak kalah menimbulkan teror mengguncang hati, bahwa mereka yang dipancung arwahnya penasaran lalu gentayangan dengan wujud hantu tak berkepala. Maka, tentara Jepang amat ditakuti lahir batin.

Berlanjut ke Bagian 2

Jenderal Ahmad Yani: Dilema ‘Politician in Uniform’ (3)

“Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto”

Pihak militer, meskipun mulanya merasa agak ter-’faitaccompli’, akhirnya mencari dan menemukan celah yang lebih baik pada masalah konfrontasi terhadap Malaysia. Penghapusan tuntas SOB, pada kwartal pertama 1963, potensil melemahkan posisi dan peran militer, namun adanya konfrontasi yang bagaimanapun juga membutuhkan unsur militer, telah menciptakan celah baru bagi suatu peran memadai. Nyatanya, terlihat kemudian Yani maupun Nasution banyak mendapat peran-peran signifikan dalam rangka Dwikora.

Juni 1964, Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani, berangkat ke Moskow dalam suatu misi untuk memperoleh persenjataan baru dengan teknologi lebih tinggi bagi keperluan Dwikora, di antaranya ‘membeli’ peluru-peluru kendali. Misi ini tidak berhasil memperoleh apa yang diharapkan. Bulan September, Soekarno meminta Nasution ‘melanjutkan’ misi Yani itu. Bahkan tatkala Nasution berada di Moskow, Soekarno menyusul ke sana. Misi Nasution ‘berhasil’ memperoleh persetujuan dari PM Kruschev, walau ia ini sempat menyentil tidak lancarnya Indonesia membayar utang-utang terdahulu. Akhirnya Jenderal Nasution menandatangani suatu perjanjian baru pembelian senjata dengan Marsekal Gretsko. Tapi, sekitar seminggu kemudian, Kruschev disingkirkan dari kekuasaaan oleh Breshnev dan kawan-kawan. Nasution mencatat, bahwa sewaktu diadakan jamuan  makan malam balasan oleh Soekarno bagi Kepala Negara Sovjet dan pemimpin Sovjet lainnya –yang tidak dihadiri Kruschev yang sedang ‘berlibur’ bersama keluarga–  Breshnev yang saat adalah orang kedua memang berperilaku agak aneh, lebih banyak diam sepanjang acara seolah-olah pikirannya ada di tempat lain (1987: 83).

Di luar kaitan masalah militer sementara itu, keadaan ekonomi yang makin memburuk secara luar biasa, kembali memerlukan pengalihan perhatian rakyat, setelah selesainya gerakan pembebasan Irian Barat. Alasan yang terakhir ini, diakui atau tidak, faktual menjadi kebutuhan Soekarno. Apapun, Soebandrio berhasil ‘membangkitkan’ Soekarno yang memang selalu menempatkan diri di barisan depan gerakan anti neo kolonialisme dan neo imperialisme, untuk kembali berada di garis depan dan lebih ‘dalam’ melawan Barat. Kendati mulai bersuara keras terhadap rencana Federasi Malaysia, dan juga terhadap Tunku Abdul Rahman, toh Soekarno masih ada kesediaan menuju meja perundingan di tahun 1963 itu, setidaknya sampai Agustus 1963.

PKI dan Soebandrio betul-betul memanfaatkan gerakan kiri Azahari yang menginginkan mengenyahkan Inggeris. PKI menyampaikan retorika, bahwa gerakan Azahari adalah gerakan rakyat untuk mengusir kaum kolonial dari tanah air mereka, maka harus didukung oleh semua kaum revolusioner yang anti kolonialisme dan imperialisme. Sementara itu di bawah permukaan, PKI dengan kuat mensupport Soebandrio yang mengerahkan BPI untuk menjalankan sejumlah operasi intelejen. PKI dan Soebandrio ‘menampung’ sejumlah pelarian yang melintas perbatasan ke wilayah Indonesia karena menghindari penangkapan setelah gagalnya gerakan Azahari. Pelarian-pelarian ini umumnya adalah dari etnis Cina yang berideologi komunis. Di Serawak terdapat hampir 300 ribu etnis Cina dari sekitar 800 ribuan penduduk, sedang di Sabah ada kurang lebih 100-150 ribu etnis Cina di antara sekitar 500 ribuan penduduk. Kebanyakan dari mereka adalah anggota partai dan organisasi-organisasi politik komunis, serta amat militan.

Atas ‘perintah’ Soebandrio, BPI merekrut puluhan dari pelarian militan ini, lalu diam-diam membawa mereka ke Jawa dan memberi mereka latihan militer yang cukup keras dibawah instruktur-instruktur combatan dari unsur Angkatan Kepolisian di Bogor. Hal ini tak sulit dilakukan karena Kepala BPI adalah seorang perwira kepolisian, yakni Brigadir Jenderal Soetarto. Mereka yang telah dilatih di Bogor ini, dikembalikan ke perbatasan Serawak, dan melatih lagi puluhan lainnya pelarian, termasuk sejumlah wanita, sebagai gerilyawan dengan kemampuan militer. Mereka inilah yang kemudian merupakan cikal bakal PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) yang mulai bergerak kembali ke Serawak dan menjalankan aksi gerilya sejak pertengahan 1963.

Kisah Abang Kifli, Operasi A dan ‘Operasi Babu-babu’. Soebandrio juga memberi dorongan dan kesempatan kepada Azahari dan pengikut-pengikutnya membentuk Kabinet Kalimantan Utara dalam ‘pengasingan’ di wilayah Indonesia. Seluruh anggota kabinet itu adalah golongan kiri di Kalimantan Utara. Tetapi ada seorang di antaranya, yang diangkat sebagai Menteri Pertahanan, bernama Abang Kifli, ternyata tidak berideologi kiri. Ia ini pernah bermukim sebagai ‘imigran’ di Indonesia dan bahkan bekerja untuk pemerintah Indonesia di Departemen Agama. Ia memiliki hubungan baik dengan Abdul Harris Nasution, jenderal yang mempunyai sejarah hubungan buruk dengan Soebandrio dan dianggap oleh yang disebut belakangan ini sebagai ‘musuh’ politiknya.

Mengetahui latarbelakang Abang Kifli yang sempat dinobatkan dengan pangkat ‘Letnan Jenderal’ selaku Menteri Pertahanan, Soebandrio ‘memerintahkan’ BPI agar membawa Kifli ke perbatasan untuk ikut suatu operasi penyusupan –Operasi A– ke wilayah Kalimantan Utara. Namun dengan alasan ada tugas penting di Jakarta ia kembali ke ibukota negara. Ia dianggap melakukan desersi dan segera dicopot dari Kabinet Kalimantan Utara, lalu ditahan beberapa bulan sampai dilepaskan kembali. Tampaknya, Jenderal AH Nasution berperan membantunya keluar dari penahanan.

Tak lama setelah lepas dari penahanan, ia dengan segera ke Kedutaan Besar Pilipina di Jalan Diponegoro-Imam Bonjol untuk meminta suaka. Dr Subandrio memerintahkan BPI menjerat kembali Kifli yang sebenarnya aman dalam pagar kekebalan diplomatik Kedutaan Besar Pilipina. Beberapa intel polisi ‘dikerahkan’ Kepala BPI Sutarto yang adalah seorang perwira kepolisian, melakukan operasi illegal memasuki kedutaan yang terdiri dari dua gedung dalam satu kompleks, satu digunakan sebagai kantor dan yang lainnya menjadi kediaman anggota kedutaan. Sepanjang hari, karena dua fungsi itu, praktis kedutaan terawasi selama 24 jam. Tetapi agaknya ada peluang pada setiap Minggu petang, yakni ketika para wanita pembantu rumah tangga dan beberapa pegawai diperbolehkan keluar kompleks untuk berbelanja makanan maupun sekedar ngobrol di tikungan dekat kedutaan. Pada peluang waktu yang sempit itu, dengan menggunakan kait para intel polisi suruhan BPI itu memanjat disamping gedung ke lantai dua, lalu dari sana turun ke lantai satu dan menemukan Abang Kifli sedang berbaring-baring di salah satu kamar. Selain membawa serta Kifli, mereka pun menyambar sebuah radio dan beberapa barang kecil lainnya untuk menimbulkan kesan pencurian. Kelak dalam laporan pihak kedutaan di kepolisian memang disebutkan motif pencurian. Karena operasi ‘penculikan’ Kifli ini memanfaatkan peluang yang tercipta oleh para wanita pembantu rumah tangga yang meninggalkan ‘pos’ mereka, maka operasi ini diberi nama ‘Operasi Babu-babu’. Abang Kifli lalu disekap sampai berakhirnya konfrontasi pada masa kekuasaan baru di Indonesia.

Operasi A adalah operasi penyusupan ke wilayah semenanjung maupun Kalimantan Utara. Operasi ini meniru yang pernah dilakukan pada masa Trikora pembebasan Irian Barat. Dalam mempersiapkan operasi ini, dengan bantuan PKI, sejumlah anggota organisasi kiri di Malaya dan Singapura, diberi isyarat untuk masuk ke Indonesia. Mereka datang dengan penerbangan-penerbangan komersial ke Jakarta dan disambut oleh beberapa perwira polisi dan anggota BPI untuk dibawa keluar Bandar Udara Kemayoran tanpa melalui pintu imigrasi. Mereka ditampung di sebuah tempat di Jakarta Timur bersama ratusan sukarelawan yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Selanjutnya mereka diangkut ke tempat pelatihan paramiliter, di Sekolah Kepolisian Sukabumi. Dilatih oleh instruktur-instruktur polisi dibawah selubung program pelatihan sukarelawan, yang sudah lazim dilakukan sejak masa Trikora. Pelatihan yang berlangsung sampai Juli 1963 itu, meliputi latihan yang ekstra khusus seperti pendidikan intelejen dan kontra intelejen, perang urat syaraf dan sabotase.

Pada bulan Juli itu juga, tampaknya apa yang dilakukan BPI itu sejak pelatihan untuk PGRS sampai upaya persiapan Operasi A ini, telah tercium oleh Inggeris dan Malaya. Tanggal 9 Juli Tunku Abdul Rahman menandatangani persetujuan pembentukan Federasi Malaysia. Dan adalah pula karena perkembangan baru tersebut pada bulan Juli itu persiapan Operasi A makin dimatangkan. Ke dalam operasi ini dimasukkan unsur-unsur KKO (Marinir) yang pimpinannya dikenal sebagai Soekarnois sejati. Begitu pula unsur-unsur Angkatan Kepolisian dan Angkatan Udara, yang beberapa pimpinannya juga amat Soekarnois dan mempunyai aspirasi ‘politik’ yang condong ke kiri, diikutkan dalam persiapan operasi. Jumlah yang dikerahkan dari tiga kelompok militer ini mencapai ratusan orang. Tetapi sepanjang tahun 1963 hingga pertengahan 1964, operasi ini belum juga dilaksanakan. Barulah kurang lebih 3 bulan setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, rombongan pertama coba disusupkan dari laut ke daratan Malaysia (Agustus 1964) namun mereka dipergoki oleh patroli udara Inggeris dan dibombardir sampai tenggelam. 20 orang tewas. Setelah kegagalan ini, BPI meninggalkan program ini.

Tugas-tugas kemiliteran selanjutnya secara resmi dilaksanakan Komando Siaga (KOGA) yang dibentuk dalam rangka Dwikora, dipimpin oleh Menteri Panglima AU Laksamana Madya Omar Dhani. Wakil Panglima I adalah Menteri Panglima AL Laksamana Muda Muljadi dan wakil Panglima II Brigadir Jenderal AD Achmad Wiranatakusumah. Sebagai Kepala Staf, diangkat Komodor Leo Wattimena, seorang penerbang Mig yang handal dan tersohor ke publik sebagai penerbang jagoan karena nekad bermanuver di udara. Komando Siaga ini dalam tempo tiga bulan ditingkatkan menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga)  dan dirombak susunannya karena suatu alasan internal. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto dimasukkan ke dalam Kolaga sebagai Wakil Panglima I, sedangkan Laksamana Muda Laut Muljadi pindah menjadi Wakil Panglima II. Panglima Kolaga, tetap Laksamana Madya Udara Omar Dhani, dan Kepala Staf pun tetap dijabat Leo Wattimena yang telah naik pangkat menjadi Perwira Tinggi, Laksamana Muda Udara. Ditambahkan pula jabatan Wakil Kepala Staf, yakni Brigadir Jenderal AD A. Satari. Cukup menarik bahwa Menteri Panglima AD tidak duduk dalam Kolaga sebagaimana halnya Panglima dari dua angkatan yang lain.

Kisah Sarwo Edhie Wibowo. Masalah yang dihadapi oleh Angkatan Darat, tidak semata-mata penyusupan dari kekuatan politik, khususnya dari PKI, serta dilema terkait masalah Dwikora. Belakangan muncul pula tudingan adanya hubungan CIA dengan AD terkait ‘Dokumen Gilchrist’ –melalui istilah ‘our local army friends’– serta tudingan adanya ‘Dewan Djenderal’ yang berniat mengambilalih kekuasaan dari tangan Soekarno. Masalah lainnya, persoalan Angkatan Kelima. Banyak persoalan dan dilema juga timbul dalam rangka persaingan pribadi yang terkait dengan masalah karir, perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat maupun sikap-sikap kritis terhadap sikap dan perilaku kepemimpinan satu sama lain. Masalah CTN yang kemudian menjadi alasan ketidakpuasan Kolonel Kahar Muzakkar sehingga kemudian membelot dan berontak misalnya, merupakan salah satu contoh. Contoh lain, adalah berikut ini.

Pada akhir tahun 1964, terjadi sedikit masalah di tubuh pasukan elite AD, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Seorang Mayor bernama Benny Moerdani mengeritik secara terbuka atasannya, Komandan RPKAD Kolonel Mung Parhadimuljo, dalam suatu pertemuan, terkait soal ketidakefisienan penggunaan dana dan sumberdaya, Kolonel Mung, meskipun cukup kesal terhadap serangan terbuka Benny – yang oleh beberapa perwira lain dianggap pembangkangan kepada atasan – tidak sampai mengambil tindakan apa pun terhadap Benny. Maka, tampaknya persoalan tersebut takkan berkembang dan merembet lebih jauh. Itulah sebabnya, setelah pertemuan itu, Benny sempat melanjutkan rencana pribadinya keluar Jakarta untuk melaksanakan bulan madu dengan isteri yang baru dinikahinya. Akan tetapi, Letnan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, wakil komandan pasukan elite Angkatan Darat tersebut, merasa perlu untuk menyampaikan persoalan tersebut kepada Menteri/Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Panglima AD ini tak terlalu terkejut dengan laporan Sarwo, karena secara pribadi Benny yang menjadi salah seorang perwira tulang punggung operasi di Irian Barat, pernah menyampaikan keluhannya mengenai Kolonel Mung ini. Penyampaian Sarwo menjadi konfirmasi tambahan baginya.  Bulan Januari 1965, Yani melakukan serangkaian perubahan dengan caranya sendiri. Kolonel Mung mendapat tugas baru sebagai Panglima Daerah Militer di Kalimantan Timur, salah satu garis depan ke wilayah Malaysia dalam rangka Dwikora. Benny Murdani, sempat diskors oleh Sarwo Edhie. Dalam masa skors ini Benny bertemu Letnan Kolonel Ali Moertopo yang bertugas di Komando Strategis Angkatan Darat di bawah Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Ali menanyakan kepada Benny, “tugas di mana sekarang ?”. Benny lalu menceritakan nasibnya yang sedang di ujung tanduk. Dan akhirnya dengan bantuan Ali Moertopo, Benny berhasil dialihkan ke Kostrad, dan bertugas di bawah komando Panglima Kostrad. Benny Murdani sebelumnya pernah bertugas di bawah Soeharto dalam rangka operasi Mandala, karena Soeharto adalah Panglima Mandala untuk pembebasan Irian Barat.

Kekosongan di RPKAD setelah Mung dialihkan, diisi oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan mengangkat Letnan Kolonel Sarwo Edhie sebagai komandan baru – lebih tepatnya sebagai pelaksana harian – dengan kenaikan pangkat menjadi Kolonel. Sebenarnya pengangkatan Sarwo Edhie ini tidak terlalu menggembirakan bagi sejumlah perwira AD terutama di lingkungan RPKAD sendiri. Ada penilaian bahwa Yani sedikit nepotik dalam pengangkatan Sarwo yang amat dekat secara pribadi. Menurut kriteria tak tertulis yang berlaku selama ini, seorang Komandan RPKAD haruslah dari kalangan perwira yang telah menjalani latihan-latihan komando, baik di pusat latihan Batujajar dekat Bandung maupun pelatihan setara di luar negeri. Pendidikan luar negeri yang pernah dijalani Sarwo tidak berkategori pelatihan sekolah komando, ia adalah siswa pada pendidikan staf (staff college) militer di Australia. Untuk mendampingi Sarwo, sebagai wakil diangkat Letnan Kolonel Prijo Pranoto yang pernah mengenyam pendidikan ranger di Fort Benning (1960) AS. Sebelumnya Prijo Pranoto adalah komandan pusat pelatihan RPKAD di Batujajar. Maka banyak yang berharap bahwa Sarwo Edhie hanya akan menjadi komandan masa transisi untuk beberapa lama, sebelum Yani mengangkat perwira lain yang lebih sesuai kualifikasinya. Meskipun banyak ‘complain’ disampaikan kepada Ahmad Yani melalui berbagai cara, Panglima AD ini tetap mempertahankan keputusannya mengenai Sarwo Edhie, tanpa pernah memberi penjelasan apapun.

Namun sejarah mencatat bahwa pengangkatan Sarwo Edhie Wibowo oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi pimpinan RPKAD kelak ternyata menjadi semacam suatu rahmat terselubung, sebagaimana yang terjadi 1 Oktober di tahun 1965 itu juga. Kolonel Sarwo Edhie ternyata menjadi pemain bintang dalam menghadapi Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Suatu ‘ketidakmujuran’ bagi PKI dan Aidit. Seakan Yani memiliki suatu visi yang khas tatkala memilih Sarwo. Tapi malang, Yani sendiri adalah salah satu jenderal yang menjadi korban pembunuhan dan penculikan G30S pada Jumat malam 30 September menuju 1 Oktober 1965.

Pengangkatan Kolonel Sarwo sebagai pelaksana harian Komandan RPKAD oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani, belakangan mendapat pengukuhan baru dari Jenderal Soeharto tatkala menduduki posisi selaku Menteri Panglima AD sesudah berlalunya peristiwa berdarah itu.  Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Selesai.

-Pemaparan ulang dari bagian buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.