Tag Archives: Leo Wattimena

Dalam Labirin Oktober 1965 (5)

”Dari penekanan kata-kata tertentu dan bahasa tubuh Soeharto, Presiden Soekarno segera memahami adanya nada ancaman dalam pernyataan Soeharto itu. Maka segera Soekarno menukas bahwa soal keamanan dan ketertiban umum tetap diserahkannya kepada Soeharto. Soeharto kemudian berhasil memperoleh suatu rekaman pidato radio dari Soekarno yang menyatakan bahwa Soeharto mendapat tugas pemulihan keamanan dan ketertiban”. ”Petang itu, Soeharto meninggalkan Istana Bogor dengan satu poin keunggulan. Dengan demikian, Soeharto telah berhasil melampaui kerumitan lika-liku labirin peristiwa di awal Oktober 1965 itu. Rekaman pidato Soekarno itu kemudian disiarkan 3 Oktober pukul 01.30 dinihari melalui RRI”.

‘TAWAR menawar’ kekuasaan yang berlangsung antara Soekarno dengan Aidit, melalui Brigjen Soepardjo, adalah mengenai susunan Dewan Revolusi serta kehendak Soekarno untuk tetap mengendalikan kekuasaan negara dengan beberapa konsesi bagi Gerakan 30 September. Soekarno menghendaki dimasukkannya beberapa nama dari kabinetnya serta beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya ke dalam Dewan Revolusi yang susunan awalnya disampaikan kepadanya oleh Brigjen Soepardjo. Dan yang terpenting segala sesuatunya kembali ke dalam pengendaliannya, dan Gerakan 30 September menghentikan gerakannya cukup sampai di situ.

Aidit melihat bahwa bila kehendak Soekarno itu diturutinya, maka peranannya akan berakhir dan nasibnya serta nasib partainya akan menjadi tidak jelas. Bagi Aidit kini, terlepas dari ada tidak adanya fait accompli Sjam atas dirinya sebelum ini, masalahnya berubah menjadi ya atau tidak samasekali, masalah hidup dan mati. Maka, terhadap kehendak Soekarno, Aidit hanya bersedia kompromistis dalam hal susunan Dewan Revolusi. Dalam perubahan susunan Dewan Revolusi ia memasukkan beberapa nama yang dikehendaki Soekarno. Di antara nama-nama yang tadinya tidak ada, kemudian terdapat dalam daftar, menurut seorang perwira tinggi purnawirawan, antara lain adalah dr Johannes Leimena, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Brigjen Solichin GP, Brigjen Andi Rivai, Nyonya Supeni. Sebaliknya, nama-nama dari kalangan Angkatan Darat yang dari semula sudah ada dalam daftar, adalah Brigjen Ryacudu, Brigjen Amirmahmud dan Mayjen Basoeki Rachmat.

Sementara itu dalam hal kendali kekuasaan, Aidit menurut Sjam Kamaruzzaman, malah menyuruh siarkan  Dekrit No.1 Dewan Revolusi, melalui RRI pada pukul 14.00 yang menegaskan bahwa sumber dari segala kekuasaan dalam negeri Republik Indonesia saat itu adalah Dewan Revolusi –tanpa menyebutkan posisi Presiden– dan bahwa sejak saat itu Kabinet Dwikora berstatus demisioner. Berselang lima menit dibacakan pula Surat Keputusan No. 1 Dewan Revolusi tentang Susunan Dewan Revolusi yang isinya mengakomodir beberapa nama yang diinginkan Soekarno, namun tak seluruh kehendak Soekarno ‘dipenuhi’. Dengan Dekrit ini, jelas bahwa Aidit telah memilih jalan berbeda dengan keinginan Soekarno, namun mengharapkan Soekarno terpaksa mengikutinya. Soekarno kemudian ternyata menjalankan sendiri apa yang menjadi keinginannya tanpa merasa perlu suatu tawar menawar lebih lanjut dengan Gerakan 30 September maupun Aidit. Sejak itu, peran Aidit yang muncul sejenak pun segera berakhir. Apalagi kemudian, Soekarno lebih terkuras perhatiannya dengan mulai munculnya ‘tekanan-tekanan’ dari Soeharto, yang dimulai dengan larangan terhadap Umar Wirahadikusumah untuk menghadap, lalu larangan yang sama terhadap Mayjen Pranoto Reksosamodra, disusul pesan yang bernada ultimatum agar meninggalkan Halim Perdanakusumah sebelum tengah malam itu.

Pukul 18.00 RRI diserbu oleh dua kompi pasukan RPKAD. Praktis tak ada perlawanan, dan prosesnya hanya berlangsung sekitar 20 menit, karena pasukan Gerakan 30 September yang dipimpin Kapten Suradi yang tadinya menguasai RRI telah terlebih dahulu meninggalkan tempat itu. Ini cukup menarik. Sama menariknya bahwa Soeharto kemudian berhasil mengajak Batalion 530 bergabung ke Kostrad, bahkan kemudian bisa menggunakan kesatuan itu untuk mengamankan Kantor Telkom dan sekitarnya di Jalan Medan Merdeka Selatan serta melucuti senjata sukarelawan-sukarelawan yang ikut dikerahkan Gerakan 30 September. Ketika pasukan RPKAD menyerbu RRI, yang tersisa di sana hanyalah sejumlah sukarelawan hasil pelatihan singkat Mayor Udara Sujono, dan itu dengan mudah dilucuti. Kolonel Sarwo Edhie sendiri bersama pasukannya sudah tiba sejak lepas tengah hari di Markas Kostrad Medan Merdeka Timur.

Dengan menguasai RRI, Soeharto bisa dengan bebas mengeluarkan sejumlah pengumuman kepada masyarakat. Yang pertama adalah rekaman pidatonya, yang disiarkan petang itu, segera setelah RRI dan Telkom diduduki. Soeharto menyampaikan bahwa tanggal 1 Oktober 1965 hari itu “telah terjadi di Jakarta suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontra revolusioner, yang menamakan dirinya Gerakan 30 September”. Bahwa mereka juga telah melakukan penculikan atas beberapa perwira tinggi Angkatan Darat. Setelah menyampaikan bahwa Presiden Soekarno ada dalam keadaan aman dan sehat walafiat, Soeharto menyatakan “Kini situasi telah dapat kita kuasai, baik di pusat maupun di daerah. Dan seluruh slagorde Angkatan Darat ada dalam keadaan kompak bersatu”. Ia lalu menegaskan bahwa “untuk sementara Pimpinan Angkatan Darat kami pegang”. Ia pun menyebutkan bahwa antara tiga pimpinan Angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian terdapat saling pengertian dan bekerjasama. Angkatan Udara tidak disebutkan dalam konteks saling pengertian dan kerjasama tersebut.

Tugas berikut bagi pasukan RPKAD adalah menguasai Halim Perdanakusumah yang dijaga oleh Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI. Selain itu, beberapa kompi Bn 454 ‘berkemah’ di sekitar Halim. Pelaksanaan tugas merebut Halim ini terjadi pada 02.00 dinihari 2 Oktober, tanpa melepaskan satu pun tembakan, karena PGT yang menjaga pangkalan tersebut mendapat perintah untuk tidak melawan. Sementara itu sebagian anggota Bn 454 menyerahkan diri dan yang lainnya terlebih dahulu meninggalkan tempat itu entah ke mana.

Setengah jam sebelum Halim diduduki, sebuah pesawat C47 mengudara ke Yogya membawa Menko Wakil Ketua MPRS Dipa Nusantara Aidit. “Ada permintaan, sedangkan dia adalah seorang Menteri Negara, Wakil Ketua MPRS, jadi apa salahnya saya penuhi”, Omar Dhani menjelaskan kemudian kenapa ia memberi Aidit fasilitas pesawat khusus ke Yogya itu. Dalam wawancara dengan Rum Aly untuk buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Omar Dhani menekankan kembali alasan tersebut, karena saat itu Aidit secara formal adalah seorang Menteri/Wakil Ketua MPRS dan mengenyampingkan adanya faktor konspirasi sebagai latar belakang pemberian fasilitas tersebut kepada Aidit. Dengan penguasaan Halim Perdanakusumah, bargaining position Mayjen Soeharto menguat, khususnya terhadap Soekarno yang saat itu di mata Soeharto dan Nasution sebenarnya ada di pihak seberang. Terbukti kemudian bahwa pada keesokan harinya sekitar 11.00 Presiden Soekarno meminta Soeharto datang ke Istana Bogor. Tawar menawar kekuasaan, kini berlangsung antara Soekarno dengan Soeharto, sementara Aidit dan Gerakan 30 September telah tersisih dari percaturan.

Satu poin keunggulan di Istana Bogor. Mayjen Soeharto berangkat ke Istana Bogor dengan pengawalan sebuah panser Saladin. “Sampai di Istana Bogor kira-kira pukul dua. Saya langsung masuk ke ruangan. Nampak di sana sudah ada dr Leimena, Chairul Saleh, Pranoto, Leo Wattimena, Omar Dhani. Sabur kelihatan berjalan. Maka suasana tegang meliputi kami, maklum di sana ada Omar Dhani yang sudah sangat saya curigai”. Menurut Pranoto Reksosamodra, yang datang ke Bogor bersama Brigjen Soedirgo, selain nama-nama yang disebut Soeharto itu, sebenarnya hadir pula Brigjen Muhammad Jusuf, Mayjen Moersjid, Laksamana Madya RE Martadinata, Inspektur Jenderal Soetjipto Joedodihardjo dan beberapa orang lainnya lagi.

Mayor Jenderal Soeharto tampil cukup agresif dalam pertemuan itu. Ia menolak pembelaan Soekarno terhadap keterlibatan Omar Dhani dalam Gerakan 30 September, dan menunjukkan bukti sepucuk senjata yang dirampas dari sukarelawan di sekitar Halim dan bahwa itu adalah milik AURI. Komodor Wattimena mengakui senjata itu sebagai inventaris AURI dan mengatakan “Mungkin mereka mencurinya dari gudang”. Ketika Soekarno menyampaikan tentang keputusannya mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan mengangkat Pranoto sebagai pelaksana harian, dengan bahasa tubuh dan gaya bicaranya yang khas Soeharto menunjukkan penolakan, “Supaya jangan menimbulkan dualisme pimpinan dalam Angkatan Darat, saya serahkan tanggungjawab keamanan ini dan ketertiban umum pada pejabat baru”. Dari penekanan kata-kata tertentu dan bahasa tubuh Soeharto, Presiden Soekarno segera memahami adanya nada ancaman dalam pernyataan Soeharto itu. Maka segera Soekarno menukas bahwa soal keamanan dan ketertiban umum tetap diserahkannya kepada Soeharto. Soeharto kemudian berhasil memperoleh suatu rekaman pidato radio dari Soekarno yang menyatakan bahwa Soeharto mendapat tugas pemulihan keamanan dan ketertiban.

Petang itu, Soeharto meninggalkan Istana Bogor dengan satu poin keunggulan. Dengan demikian, Soeharto telah berhasil melampaui kerumitan lika-liku labirin peristiwa di awal Oktober 1965 itu. Rekaman pidato Soekarno itu kemudian disiarkan 3 Oktober pukul 01.30 dinihari melalui RRI.

Berpapasan di perbatasan Jakarta dengan Kolonel Sarwo Edhie yang siangnya juga sempat dipanggil menghadap Soekarno di Istana Bogor, Soeharto menyuruh untuk menarik pasukan RPKAD dari Halim Perdanakusumah. Dan barulah pada petang itu pula Soeharto secara khusus memerintahkan kepada Kolonel Sarwo Edhie untuk melakukan pencarian terhadap para jenderal yang diculik. Muncul suatu kebetulan, bahwa seorang anggota polisi bernama Sukitman yang mengaku ditawan oleh pasukan Gerakan 30 September, dekat rumah Brigjen DI Pandjaitan, melapor pada tanggal 3 Oktober, bahwa ia mengetahui bagaimana nasib para jenderal dan di mana tubuh mereka disembunyikan. Tanggal 4 Oktober, penggalian yang dilakukan di Lubang Buaya pada sebuah sumur tua, menemukan jenazah para jenderal dan satu perwira pertama yang ditumpuk dalam lobang itu.

Jenderal Ahmad Yani: Dilema ‘Politician in Uniform’ (3)

“Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto”

Pihak militer, meskipun mulanya merasa agak ter-’faitaccompli’, akhirnya mencari dan menemukan celah yang lebih baik pada masalah konfrontasi terhadap Malaysia. Penghapusan tuntas SOB, pada kwartal pertama 1963, potensil melemahkan posisi dan peran militer, namun adanya konfrontasi yang bagaimanapun juga membutuhkan unsur militer, telah menciptakan celah baru bagi suatu peran memadai. Nyatanya, terlihat kemudian Yani maupun Nasution banyak mendapat peran-peran signifikan dalam rangka Dwikora.

Juni 1964, Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani, berangkat ke Moskow dalam suatu misi untuk memperoleh persenjataan baru dengan teknologi lebih tinggi bagi keperluan Dwikora, di antaranya ‘membeli’ peluru-peluru kendali. Misi ini tidak berhasil memperoleh apa yang diharapkan. Bulan September, Soekarno meminta Nasution ‘melanjutkan’ misi Yani itu. Bahkan tatkala Nasution berada di Moskow, Soekarno menyusul ke sana. Misi Nasution ‘berhasil’ memperoleh persetujuan dari PM Kruschev, walau ia ini sempat menyentil tidak lancarnya Indonesia membayar utang-utang terdahulu. Akhirnya Jenderal Nasution menandatangani suatu perjanjian baru pembelian senjata dengan Marsekal Gretsko. Tapi, sekitar seminggu kemudian, Kruschev disingkirkan dari kekuasaaan oleh Breshnev dan kawan-kawan. Nasution mencatat, bahwa sewaktu diadakan jamuan  makan malam balasan oleh Soekarno bagi Kepala Negara Sovjet dan pemimpin Sovjet lainnya –yang tidak dihadiri Kruschev yang sedang ‘berlibur’ bersama keluarga–  Breshnev yang saat adalah orang kedua memang berperilaku agak aneh, lebih banyak diam sepanjang acara seolah-olah pikirannya ada di tempat lain (1987: 83).

Di luar kaitan masalah militer sementara itu, keadaan ekonomi yang makin memburuk secara luar biasa, kembali memerlukan pengalihan perhatian rakyat, setelah selesainya gerakan pembebasan Irian Barat. Alasan yang terakhir ini, diakui atau tidak, faktual menjadi kebutuhan Soekarno. Apapun, Soebandrio berhasil ‘membangkitkan’ Soekarno yang memang selalu menempatkan diri di barisan depan gerakan anti neo kolonialisme dan neo imperialisme, untuk kembali berada di garis depan dan lebih ‘dalam’ melawan Barat. Kendati mulai bersuara keras terhadap rencana Federasi Malaysia, dan juga terhadap Tunku Abdul Rahman, toh Soekarno masih ada kesediaan menuju meja perundingan di tahun 1963 itu, setidaknya sampai Agustus 1963.

PKI dan Soebandrio betul-betul memanfaatkan gerakan kiri Azahari yang menginginkan mengenyahkan Inggeris. PKI menyampaikan retorika, bahwa gerakan Azahari adalah gerakan rakyat untuk mengusir kaum kolonial dari tanah air mereka, maka harus didukung oleh semua kaum revolusioner yang anti kolonialisme dan imperialisme. Sementara itu di bawah permukaan, PKI dengan kuat mensupport Soebandrio yang mengerahkan BPI untuk menjalankan sejumlah operasi intelejen. PKI dan Soebandrio ‘menampung’ sejumlah pelarian yang melintas perbatasan ke wilayah Indonesia karena menghindari penangkapan setelah gagalnya gerakan Azahari. Pelarian-pelarian ini umumnya adalah dari etnis Cina yang berideologi komunis. Di Serawak terdapat hampir 300 ribu etnis Cina dari sekitar 800 ribuan penduduk, sedang di Sabah ada kurang lebih 100-150 ribu etnis Cina di antara sekitar 500 ribuan penduduk. Kebanyakan dari mereka adalah anggota partai dan organisasi-organisasi politik komunis, serta amat militan.

Atas ‘perintah’ Soebandrio, BPI merekrut puluhan dari pelarian militan ini, lalu diam-diam membawa mereka ke Jawa dan memberi mereka latihan militer yang cukup keras dibawah instruktur-instruktur combatan dari unsur Angkatan Kepolisian di Bogor. Hal ini tak sulit dilakukan karena Kepala BPI adalah seorang perwira kepolisian, yakni Brigadir Jenderal Soetarto. Mereka yang telah dilatih di Bogor ini, dikembalikan ke perbatasan Serawak, dan melatih lagi puluhan lainnya pelarian, termasuk sejumlah wanita, sebagai gerilyawan dengan kemampuan militer. Mereka inilah yang kemudian merupakan cikal bakal PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) yang mulai bergerak kembali ke Serawak dan menjalankan aksi gerilya sejak pertengahan 1963.

Kisah Abang Kifli, Operasi A dan ‘Operasi Babu-babu’. Soebandrio juga memberi dorongan dan kesempatan kepada Azahari dan pengikut-pengikutnya membentuk Kabinet Kalimantan Utara dalam ‘pengasingan’ di wilayah Indonesia. Seluruh anggota kabinet itu adalah golongan kiri di Kalimantan Utara. Tetapi ada seorang di antaranya, yang diangkat sebagai Menteri Pertahanan, bernama Abang Kifli, ternyata tidak berideologi kiri. Ia ini pernah bermukim sebagai ‘imigran’ di Indonesia dan bahkan bekerja untuk pemerintah Indonesia di Departemen Agama. Ia memiliki hubungan baik dengan Abdul Harris Nasution, jenderal yang mempunyai sejarah hubungan buruk dengan Soebandrio dan dianggap oleh yang disebut belakangan ini sebagai ‘musuh’ politiknya.

Mengetahui latarbelakang Abang Kifli yang sempat dinobatkan dengan pangkat ‘Letnan Jenderal’ selaku Menteri Pertahanan, Soebandrio ‘memerintahkan’ BPI agar membawa Kifli ke perbatasan untuk ikut suatu operasi penyusupan –Operasi A– ke wilayah Kalimantan Utara. Namun dengan alasan ada tugas penting di Jakarta ia kembali ke ibukota negara. Ia dianggap melakukan desersi dan segera dicopot dari Kabinet Kalimantan Utara, lalu ditahan beberapa bulan sampai dilepaskan kembali. Tampaknya, Jenderal AH Nasution berperan membantunya keluar dari penahanan.

Tak lama setelah lepas dari penahanan, ia dengan segera ke Kedutaan Besar Pilipina di Jalan Diponegoro-Imam Bonjol untuk meminta suaka. Dr Subandrio memerintahkan BPI menjerat kembali Kifli yang sebenarnya aman dalam pagar kekebalan diplomatik Kedutaan Besar Pilipina. Beberapa intel polisi ‘dikerahkan’ Kepala BPI Sutarto yang adalah seorang perwira kepolisian, melakukan operasi illegal memasuki kedutaan yang terdiri dari dua gedung dalam satu kompleks, satu digunakan sebagai kantor dan yang lainnya menjadi kediaman anggota kedutaan. Sepanjang hari, karena dua fungsi itu, praktis kedutaan terawasi selama 24 jam. Tetapi agaknya ada peluang pada setiap Minggu petang, yakni ketika para wanita pembantu rumah tangga dan beberapa pegawai diperbolehkan keluar kompleks untuk berbelanja makanan maupun sekedar ngobrol di tikungan dekat kedutaan. Pada peluang waktu yang sempit itu, dengan menggunakan kait para intel polisi suruhan BPI itu memanjat disamping gedung ke lantai dua, lalu dari sana turun ke lantai satu dan menemukan Abang Kifli sedang berbaring-baring di salah satu kamar. Selain membawa serta Kifli, mereka pun menyambar sebuah radio dan beberapa barang kecil lainnya untuk menimbulkan kesan pencurian. Kelak dalam laporan pihak kedutaan di kepolisian memang disebutkan motif pencurian. Karena operasi ‘penculikan’ Kifli ini memanfaatkan peluang yang tercipta oleh para wanita pembantu rumah tangga yang meninggalkan ‘pos’ mereka, maka operasi ini diberi nama ‘Operasi Babu-babu’. Abang Kifli lalu disekap sampai berakhirnya konfrontasi pada masa kekuasaan baru di Indonesia.

Operasi A adalah operasi penyusupan ke wilayah semenanjung maupun Kalimantan Utara. Operasi ini meniru yang pernah dilakukan pada masa Trikora pembebasan Irian Barat. Dalam mempersiapkan operasi ini, dengan bantuan PKI, sejumlah anggota organisasi kiri di Malaya dan Singapura, diberi isyarat untuk masuk ke Indonesia. Mereka datang dengan penerbangan-penerbangan komersial ke Jakarta dan disambut oleh beberapa perwira polisi dan anggota BPI untuk dibawa keluar Bandar Udara Kemayoran tanpa melalui pintu imigrasi. Mereka ditampung di sebuah tempat di Jakarta Timur bersama ratusan sukarelawan yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Selanjutnya mereka diangkut ke tempat pelatihan paramiliter, di Sekolah Kepolisian Sukabumi. Dilatih oleh instruktur-instruktur polisi dibawah selubung program pelatihan sukarelawan, yang sudah lazim dilakukan sejak masa Trikora. Pelatihan yang berlangsung sampai Juli 1963 itu, meliputi latihan yang ekstra khusus seperti pendidikan intelejen dan kontra intelejen, perang urat syaraf dan sabotase.

Pada bulan Juli itu juga, tampaknya apa yang dilakukan BPI itu sejak pelatihan untuk PGRS sampai upaya persiapan Operasi A ini, telah tercium oleh Inggeris dan Malaya. Tanggal 9 Juli Tunku Abdul Rahman menandatangani persetujuan pembentukan Federasi Malaysia. Dan adalah pula karena perkembangan baru tersebut pada bulan Juli itu persiapan Operasi A makin dimatangkan. Ke dalam operasi ini dimasukkan unsur-unsur KKO (Marinir) yang pimpinannya dikenal sebagai Soekarnois sejati. Begitu pula unsur-unsur Angkatan Kepolisian dan Angkatan Udara, yang beberapa pimpinannya juga amat Soekarnois dan mempunyai aspirasi ‘politik’ yang condong ke kiri, diikutkan dalam persiapan operasi. Jumlah yang dikerahkan dari tiga kelompok militer ini mencapai ratusan orang. Tetapi sepanjang tahun 1963 hingga pertengahan 1964, operasi ini belum juga dilaksanakan. Barulah kurang lebih 3 bulan setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, rombongan pertama coba disusupkan dari laut ke daratan Malaysia (Agustus 1964) namun mereka dipergoki oleh patroli udara Inggeris dan dibombardir sampai tenggelam. 20 orang tewas. Setelah kegagalan ini, BPI meninggalkan program ini.

Tugas-tugas kemiliteran selanjutnya secara resmi dilaksanakan Komando Siaga (KOGA) yang dibentuk dalam rangka Dwikora, dipimpin oleh Menteri Panglima AU Laksamana Madya Omar Dhani. Wakil Panglima I adalah Menteri Panglima AL Laksamana Muda Muljadi dan wakil Panglima II Brigadir Jenderal AD Achmad Wiranatakusumah. Sebagai Kepala Staf, diangkat Komodor Leo Wattimena, seorang penerbang Mig yang handal dan tersohor ke publik sebagai penerbang jagoan karena nekad bermanuver di udara. Komando Siaga ini dalam tempo tiga bulan ditingkatkan menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga)  dan dirombak susunannya karena suatu alasan internal. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto dimasukkan ke dalam Kolaga sebagai Wakil Panglima I, sedangkan Laksamana Muda Laut Muljadi pindah menjadi Wakil Panglima II. Panglima Kolaga, tetap Laksamana Madya Udara Omar Dhani, dan Kepala Staf pun tetap dijabat Leo Wattimena yang telah naik pangkat menjadi Perwira Tinggi, Laksamana Muda Udara. Ditambahkan pula jabatan Wakil Kepala Staf, yakni Brigadir Jenderal AD A. Satari. Cukup menarik bahwa Menteri Panglima AD tidak duduk dalam Kolaga sebagaimana halnya Panglima dari dua angkatan yang lain.

Kisah Sarwo Edhie Wibowo. Masalah yang dihadapi oleh Angkatan Darat, tidak semata-mata penyusupan dari kekuatan politik, khususnya dari PKI, serta dilema terkait masalah Dwikora. Belakangan muncul pula tudingan adanya hubungan CIA dengan AD terkait ‘Dokumen Gilchrist’ –melalui istilah ‘our local army friends’– serta tudingan adanya ‘Dewan Djenderal’ yang berniat mengambilalih kekuasaan dari tangan Soekarno. Masalah lainnya, persoalan Angkatan Kelima. Banyak persoalan dan dilema juga timbul dalam rangka persaingan pribadi yang terkait dengan masalah karir, perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat maupun sikap-sikap kritis terhadap sikap dan perilaku kepemimpinan satu sama lain. Masalah CTN yang kemudian menjadi alasan ketidakpuasan Kolonel Kahar Muzakkar sehingga kemudian membelot dan berontak misalnya, merupakan salah satu contoh. Contoh lain, adalah berikut ini.

Pada akhir tahun 1964, terjadi sedikit masalah di tubuh pasukan elite AD, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Seorang Mayor bernama Benny Moerdani mengeritik secara terbuka atasannya, Komandan RPKAD Kolonel Mung Parhadimuljo, dalam suatu pertemuan, terkait soal ketidakefisienan penggunaan dana dan sumberdaya, Kolonel Mung, meskipun cukup kesal terhadap serangan terbuka Benny – yang oleh beberapa perwira lain dianggap pembangkangan kepada atasan – tidak sampai mengambil tindakan apa pun terhadap Benny. Maka, tampaknya persoalan tersebut takkan berkembang dan merembet lebih jauh. Itulah sebabnya, setelah pertemuan itu, Benny sempat melanjutkan rencana pribadinya keluar Jakarta untuk melaksanakan bulan madu dengan isteri yang baru dinikahinya. Akan tetapi, Letnan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, wakil komandan pasukan elite Angkatan Darat tersebut, merasa perlu untuk menyampaikan persoalan tersebut kepada Menteri/Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Panglima AD ini tak terlalu terkejut dengan laporan Sarwo, karena secara pribadi Benny yang menjadi salah seorang perwira tulang punggung operasi di Irian Barat, pernah menyampaikan keluhannya mengenai Kolonel Mung ini. Penyampaian Sarwo menjadi konfirmasi tambahan baginya.  Bulan Januari 1965, Yani melakukan serangkaian perubahan dengan caranya sendiri. Kolonel Mung mendapat tugas baru sebagai Panglima Daerah Militer di Kalimantan Timur, salah satu garis depan ke wilayah Malaysia dalam rangka Dwikora. Benny Murdani, sempat diskors oleh Sarwo Edhie. Dalam masa skors ini Benny bertemu Letnan Kolonel Ali Moertopo yang bertugas di Komando Strategis Angkatan Darat di bawah Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Ali menanyakan kepada Benny, “tugas di mana sekarang ?”. Benny lalu menceritakan nasibnya yang sedang di ujung tanduk. Dan akhirnya dengan bantuan Ali Moertopo, Benny berhasil dialihkan ke Kostrad, dan bertugas di bawah komando Panglima Kostrad. Benny Murdani sebelumnya pernah bertugas di bawah Soeharto dalam rangka operasi Mandala, karena Soeharto adalah Panglima Mandala untuk pembebasan Irian Barat.

Kekosongan di RPKAD setelah Mung dialihkan, diisi oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan mengangkat Letnan Kolonel Sarwo Edhie sebagai komandan baru – lebih tepatnya sebagai pelaksana harian – dengan kenaikan pangkat menjadi Kolonel. Sebenarnya pengangkatan Sarwo Edhie ini tidak terlalu menggembirakan bagi sejumlah perwira AD terutama di lingkungan RPKAD sendiri. Ada penilaian bahwa Yani sedikit nepotik dalam pengangkatan Sarwo yang amat dekat secara pribadi. Menurut kriteria tak tertulis yang berlaku selama ini, seorang Komandan RPKAD haruslah dari kalangan perwira yang telah menjalani latihan-latihan komando, baik di pusat latihan Batujajar dekat Bandung maupun pelatihan setara di luar negeri. Pendidikan luar negeri yang pernah dijalani Sarwo tidak berkategori pelatihan sekolah komando, ia adalah siswa pada pendidikan staf (staff college) militer di Australia. Untuk mendampingi Sarwo, sebagai wakil diangkat Letnan Kolonel Prijo Pranoto yang pernah mengenyam pendidikan ranger di Fort Benning (1960) AS. Sebelumnya Prijo Pranoto adalah komandan pusat pelatihan RPKAD di Batujajar. Maka banyak yang berharap bahwa Sarwo Edhie hanya akan menjadi komandan masa transisi untuk beberapa lama, sebelum Yani mengangkat perwira lain yang lebih sesuai kualifikasinya. Meskipun banyak ‘complain’ disampaikan kepada Ahmad Yani melalui berbagai cara, Panglima AD ini tetap mempertahankan keputusannya mengenai Sarwo Edhie, tanpa pernah memberi penjelasan apapun.

Namun sejarah mencatat bahwa pengangkatan Sarwo Edhie Wibowo oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi pimpinan RPKAD kelak ternyata menjadi semacam suatu rahmat terselubung, sebagaimana yang terjadi 1 Oktober di tahun 1965 itu juga. Kolonel Sarwo Edhie ternyata menjadi pemain bintang dalam menghadapi Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Suatu ‘ketidakmujuran’ bagi PKI dan Aidit. Seakan Yani memiliki suatu visi yang khas tatkala memilih Sarwo. Tapi malang, Yani sendiri adalah salah satu jenderal yang menjadi korban pembunuhan dan penculikan G30S pada Jumat malam 30 September menuju 1 Oktober 1965.

Pengangkatan Kolonel Sarwo sebagai pelaksana harian Komandan RPKAD oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani, belakangan mendapat pengukuhan baru dari Jenderal Soeharto tatkala menduduki posisi selaku Menteri Panglima AD sesudah berlalunya peristiwa berdarah itu.  Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Selesai.

-Pemaparan ulang dari bagian buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.