Tag Archives: DI-TII

Belajar Kepada Sejarah Kegagalan PKI

Oleh Wiratmo Soekito*

           LAWAN-LAWAN PKI yang memberikan jawaban mereka kepada PKI segera setelah PKI berusaha untuk mencoba merebut kekuasaan, adalah mereka yang dulu belajar kepada PKI. Akan tetapi belajar kepada PKI tidaklah selalu berarti tunduk kepada PKI. Pemimpin India, Mahatma Gandhi, pernah mengatakan bahwa hubungannya dengan Inggeris adalah seperti hubungan Arjuna dengan Durna. Di satu pihak Durna adalah gurunya yang harus ditaati, tetapi di lain pihak Durna adalah musuhnya yang harus dibinasakan. Dapatkah kita mengatakan, bahwa hubungan lawan-lawan PKI yang melawan PKI setelah PKI berusaha merebut kekuasaan  pada tanggal 1 Oktober 1965 itu adalah seperti hubungan Arjuna dengan Durna?  Untuk sementara waktu orang akan cenderung berpendapat demikian.

Tetapi kita harus mengakui bahwa di masa proloog Gestapu-PKI hampir seluruhnya dari unsur-unsur politik yang legal baru sadar bahwa PKI itu musuhnya setelah terisolir oleh PKI. Dalam arti tertentu benarlah pendapat orang yang menilai strategi PKI itu sebagai strategy of deception. Demikianlah, apabila kita teliti satu persatu, unsur-unsur politik yang mengadakan konfrontasi dengan PKI itu adalah unsur-unsur politik yang dulunya selalu mengatakan ‘tidak tepat’ apabila melihat seseorang atau sesuatu golongan yang mengadakan konfrontasi dengan PKI. Kesemuanya itu sudah tercakup dalam strategy of deception yang dikonstituir oleh PKI, dengan sadar dan rasional. Akan tetapi strategi PKI tersebut dalam pelaksanaannya akan dapat merupakan senjata makan tuan, karena proses perkembangan dari politik mengisolir golongan demi golongan itu dapat mengakibatkan isolasi diri sendiri. Hal ini dialami oleh PKI dan RRC sebagaimana terlihat dalam beberapa tahun.

*WIRATMO SOEKITO. Tulisan ini merupakan bagian tulisan ‘Konfrontasi Kita Dengan Gestapu-PKI’, ditulis tahun 1966 dan dimuat di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung. Beberapa peringkasan tidak merubah makna. Wiratmo adalah cendekiawan yang turut mencetuskan Manifesto Kebudayaan 1964. Ia menjadi kolumnis di berbagai media cetak sebelum maupun sesudah 1965. Kini telah almarhum.

Bukankah lawan-lawan PKI itu bertambah banyak oleh sebab ketika masih menjadi kawan-kawannya, PKI menilai mereka sebagai unsur-unsur yang ‘kurang revolusioner’ sehingga akhirnya mereka berubah menjadi lawan. Bukankah pula lawan-lawan dari RRC bertambah banyak, oleh sebab lawan-lawannya itu ketika masih menjadi kawan-kawannya, berubah menjadi lawan-lawannya setelah RRC menilai mereka itu sebagai negara-negara yang ‘kurang revolusioner’? Bukankah sesudah kegagalan-kegagalan PKI dan RRC itu, mereka pelajari kegagalan-kegagalan itu supaya darinya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang tepat?

          Pokok soal inilah, yaitu belajar pada kegagalan-kegagalan PKI, yang menjadi tema dari tulisan ini. Harapan kita ialah bahwa bukan hanya PKI sajalah yang mempelajari kegagalan-kegagalan politiknya itu, tetapi juga kita. Di sinilah arti dari konfrontasi kita dengan Gestapu-PKI sebagai konfrontasi intelektual. Tentu saja konfrontasi kita dengan Gestapu-PKI itu bukan hanya suatu konfrontasi intelektual, tetapi juga konfrontasi politik, konfontasi ekonomi, konfrontasi militer dan sebagainya, hanya saja dalam tulisan ini dibatasi pada satu aspek saja. Hal ini perlu kita kemukakan, karena dalam banyak hal kita melihat adanya kecenderungan-kecenderungan yang menunjukkan persamaan-persamaan dengan kecenderungan-kecenderungan yang di masa proloog Gestapu-PKI dilakukan oleh PKI, yang menyebabkan terperosoknya PKI ke dalam jurang kegagalannya.

Apabila PKI (katakanlah, bekas partai terlarang PKI) sendiri telah belajar kepada kegagalan-kegagalannya, apakah sebabnya kita –yang merupakan lawan PKI– tidak belajar kepada kegagalan-kegagalan PKI itu? Apabila kita tidak mau belajar kepada kegagalan-kegagalan PKI itu, sedang PKI sendiri belajar baik-baik, maka setidak-tidaknya kita telah ketinggalan dalam konfrontasi di bidang intelektual. Oleh sebab itu, perlu ditekankan, kegagalan-kegagalan PKI itu harus kita pelajari dengan sebaik-baiknya, agar supaya keadaan tidak berbalik. Sebab apabila PKI telah sadar dari kekeliruan-kekeliruannya, sedang kita sendiri justru yang menjalankan kekeliruan-kekeliruan PKI itu, maka kitalah yang akan menjadi PKI, sedang PKI-lah yang akan menjadi kita.

          Kesalahan pokok PKI, sebagai yang telah diuraikan dalam tulisan ini, adalah bahwa PKI telah menjalankan politik sektarisme, suatu politik yang oleh Lenin sendiri telah dikecam sebagai penyakit kanak-kanak, sehingga politik PKI telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Lenin. Itulah sebabnya dalam hari-hari pertama setelah terjadinya Gestapu-PKI seringkali kita mendenar ucapan sementara pemimpin kita bahwa “kita tidak menentang komunisme, tetapi kita menentang PKI, karena PKI telah menyalahgunakan komunisme, sebagaimana DI-TII telah menyalahgunakan Islam”.

Ucapan itu bersumber dalam pidato Resopim (1961) Presiden Soekarno, tetapi kita belum pernah mendengar pendapat orang PKI sendiri mengenai dalil itu, apakah memang diterima baik oleh PKI. Hanya, dalam Tesis 45 Tahun PKI yang diumumkan pertengahan tahun 1965 yang lalu, kita membaca bahwa PKI menghargai koreksi Bung Karno dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (1926) atas PKI –yang tahun 1926 melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda, tetapi tanpa mengajak unsur-unsur Nasionalisme dan Islamisme. Apabila kesalahan yang secara implisit diakui oleh PKI dalam usahanya merebut kekuasaan dalam tahun 1926 (dan dalam tahun 1948) itu dibandingkan dengan kesalahannya dalam usaha merebut kekuasaan dalam tahun 1965, maka apakah kesalahan yang belakangan itu, tetap berupa kesalahan yang sama, yaitu tidak mengajak comrade in arms di luar PKI? Jika demikian halnya, maka PKI adalah sungguh-sungguh berkepala batu, dan pernyataannya “menerima baik koreksi Bung Karno” hanyalah suatu layanan di bibir belaka. Akan tetapi kalau kita melihat misalnya komposisi Dewan Revolusi Indonesia yang resminya disusun oleh bekas Letnan Kolonel Untung, maka kita tergoda sekali untuk menarik kesimpulan, bahwa dalam usahanya untuk merebut kekuasaan itu PKI telah berikhtiar untuk “mengajak comrade in arms di luar PKI”.

Namun sesudah dilakukannya koreksi itu PKI masih juga menderita kegagalan, di manakah gerangan letak sebabnya? Sesudah mengadakan diagnosa, tentulah PKI akan mengambil kesimpulan-kesimpulan mengenai sebab-sebab kegagalannya. Apakah kesimpulan-kesimpulan itu, kita tidak mengetahuinya, karena PKI tidak mengumumkannya. Kita hanya mengetahui, bahwa kemajuan pikiran yang telah dicapai oleh PKI di bidang teori selama 45 tahun terakhir tidak juga berhasil menolong PKI dari bahaya kegagalan-kegagalannya, walaupun kawan-kawan PKI di luar negeri meramalkan, bahwa “di bawah pimpinan PKI pastilah rakyat Indonesia akan mencapai kemenangan-kemenangan terakhir”.

Setelah peristiwa segala jalan ditempuh PKI untuk mengoreksi kesalahan-kesalahannya dan untuk menebus kekalahan-kekalahannya. Untuk itulah PKI menjalankan gerilya politik dengan mengharapkan akan masih dapat menggunakan bantuan comrade in arms di dalam negeri, seperti Soebandrio dan kawan-kawan. Yakinkah PKI bahwa sisa-sisa Orde Lama yang di tahun 1966 ini mencoba melakukan de laatste reddingspoging itu masih dapat dipandang sebagai kekuatan untuk menyukseskan gerilya politiknya? Apabila kita memperhatikan laporan Leonid Brezhnev yang walaupun mengesankan simpatinya kepada PKI, namun laporannya itu mempunyai tendensi untuk menyalahkan RRC terkait dengan kegagalan PKI di Indonesia. Oleh sebab itu, masih menjadi tanda tanya, apakah PKI menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pemimpin Sovjet itu.

          Permulaan dari drama yang dimainkan telah kita lihat, yaitu kegagalan PKI dalam percobaannya untuk merebut kekuasaan pada tanggal 1 Oktober 1965. Dari peristiwa itu kita telah mengetahui kegagalan-kegagalan PKI, tetapi kita mempunyai dugaan, bahwa PKI telah berusaha untuk mengoreksi kesalahan-kesalahannya. Syukurlah, apabila dugaan kita itu salah. Tetapi kita dengan pikiran yang nuchter, yang tenang, tanpa sesuatu emosi, wajib mempelajari gejala kegagalan PKI itu. Mengamati gelagat gerilya politik PKI yang dilakukan setelah peristiwa, sedikit banyak kita telah mengetahui strategi PKI yang secara diametral bertentangan dengan strategi baru kita. Apakah strategi baru itu, telah dengan jelas dan terbuka dibentangkan oleh Simposium Kebangkitan Semangat Angkatan ’66 (Mei 1966) untuk menjelajah tracee baru.

          Dengan strategi baru, yang dimaksudkan ialah segala kondisi objektif dan subjektif untuk melaksanakan tri tuntutan rakyat yang terkenal. Memang tidaklah mudah untuk turut mengambil bagian dalam strategi baru itu apabila jiwanya memang sudah tidak cocok dengan semangat pembaharuan yang disodorkan oleh Angkatan ’66.  Dan jiwa yang sudah tidak cocok itu adalah jiwa yes man, plin-plan, vested interest dan sebagainya yang pendeknya adalah jiwa yang mengabdi kepada filosofie van het zelf-behoud, yang memang subur dalam orde politik sebelum ini.

Berhubung dengan itu, jiwa yang cocok dalam kehidupan politik baru menolak sinkretisme antara jiwa dari kehidupan politik sebelumnya dengan kehidupan politik baru, menolak dualisme antara pro dan anti Gestapu-PKI, menolak split of personality, menolak schizophrenia. Adalah suatu schizophrenia apabila kita mengganyang Gestapu-PKI, tetapi masih mempunyai phobie terhadap Manifes (Kebudayaan) dan seterusnya. Kita harus mengetahui betul-betul untuk apakah dan mengapakah kita memerlukan strategi baru. Sebab kalau tidak, maka kita akan kembali terjerumus ke dalam orde lama, kehidupan politik lama, yang telah diciptakan dan dijiwai oleh PKI.

          Pikiran-pikiran ini harus kita kemukakan sejak sekarang ini, karena kita telah melihat gejala-gejala dari schizophrenia itu terutama apabila kita bisa terpancing isu-isu kekuatan lama. Adalah kewajiban kaum intelektual kita untuk memberikan terapi-terapi yang tepat dalam usaha menyembuhkan tubuh rakyat kita dari penyakit yang berbahaya itu. Penyakit itu adalah tempat yang subur bagi gerilya politik PKI. Demikianlah kesimpulan kita, setelah memawas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh PKI di masa proloog Gestapu-PKI, dan kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan di masa epiloognya (socio-politica).

Mengejar ‘Mandat Langit’: ‘Beban Sejarah’ Jusuf Kalla

BUKAN hanya Prabowo Subianto yang memiliki semacam ‘beban sejarah’ dari masa lampau, tetapi juga Muhammad Jusuf Kalla. Tokoh yang tampil sebagai calon Wakil Pesiden mendampingi Jokowi dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 mendatang ini, juga punya ‘beban sejarah’ yang sama –yang seharusnya memerlukan pula penjelasan, karena mengandung sejumlah peran kontroversial. Di tahun 1966-1967 nama dan peran Jusuf Kalla mencuat sebagai tokoh perjuangan 1966 di Sulawesi Selatan. Ia memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan, sekaligus sebagai tokoh puncak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di daerah tersebut.

MUHAMMAD JUSUF KALLA. "Namun adalah baik bila ia bisa menjelaskan beberapa segmen yang berpotensi sebagai beban dalam sejarah ketokohannya, menjelang ia menapak menjadi bagian dari kepemimpinan nasional untuk kedua kali." (gambar download)
MUHAMMAD JUSUF KALLA. “Namun adalah baik bila ia bisa menjelaskan beberapa segmen yang berpotensi sebagai beban dalam sejarah ketokohannya, menjelang ia menapak menjadi bagian dari kepemimpinan nasional untuk kedua kali.” (gambar download)

            Gerakan mahasiswa 1966 di Sulawesi Selatan kala itu, bila diperbandingkan, berbeda banyak dengan gerakan mahasiswa pada tahun-tahun yang sama di Jakarta dan Bandung. Salah satu perbedaan utama adalah fakta sangat dominannya HMI dalam gerakan-gerakan mahasiswa di Sulawesi Selatan saat itu. Demikian besar jumlah keanggotaan HMI di Sulawesi Selatan –terutama di Makassar– sehingga tokoh HMI Adi Sasono pernah mengatakan “di perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI.” Maksud Adi, seluruh badan kemahasiswaan di perguruan tinggi di sana, tak ada yang tak dikuasai oleh HMI. Dan di lapisan pelajar berperan Pelajar Islam Indonesia (PII).

Di Jakarta, sumber ketokohan mahasiswa di sekitar tahun 1966 lebih warna-warni. Tokoh-tokoh pergerakan 1966 bersumber dari berbagai organisasi ekstra, seperti PMKRI (Cosmas Batubara, Savrinus Suardi), Somal (Marsillam Simandjuntak, Yosar Anwar), Mahasiswa Pantjasila (David Napitupulu), GMKI (Albert Hasibuan) selain PMII, IMM dan HMI (Mar’ie Muhammad, Abdul Gafur, Akbar Tandjung). Sementara itu di Bandung, tokoh-tokoh organisasi ekstra berpadu dengan tokoh-tokoh intra kampus sebagai tulang punggung KAMI, ditambah aktivis-aktivis independen. Dari Daim A. Rahim, Djoko Sudyatmiko, Sugeng Sarjadi, Mansur Tuakia, Jack Sitompul, Purwoto Handoko, Alex Rumondor, Muslimin Nasution sampai Rachmat Witoelar, Rahman Tolleng dan Bonar Siagian. Dan, yang lebih muda seperti Sarwono Kusumaatmadja dan Marzuki Darusman. Di kalangan pelajar selain KAPPI ada Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, KAPI, satu-satunya di Indonesia (Thomas Sitepu, Endriartono Sutarto, Luhut Pandjaitan dan Sudi Silalahi). Mereka dari Bandung ini tercatat sebagai pelopor gerakan menjatuhkan Soekarno.

Perbedaan lain yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh mahasiswa tahun 1966 di Makassar, adalah bahwa dibanding Bandung misalnya, mereka lebih cepat tiba di ‘tujuan’. Secara dini, beberapa tokoh mahasiswa, seperti antara lain Rapiuddin Hamarung, berhasil masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan setempat, di antaranya sebagai anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) tingkat provinsi maupun daerah tingkat dua. Tapi, Jusuf Kalla, menetapkan bagi dirinya suatu pilihan lain, berkarir di dunia usaha. Menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) “Muhammad Jusuf Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone.” Tampaknya, pilihan Jusuf Kalla, terbukti jitu. Ia berhasil lebih mem’besar’kan Group Kalla hingga tingkat yang termasuk menakjubkan. Tak heran, bila banyak yang merasa bangga, khususnya di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, terhadap diri Jusuf Kalla.

JUSUF KALLA DAN JOKOWI. "Sepanjang apa yang diucapkannya dan untuk sebagian telah diperlihatkannya selama dirinya berkesempatan ikut dalam kekuasaan negara, terkesan Jusuf Kalla banyak merubah diri dan ketokohannya. Tak heran, setelah menyelesaikan masa jabatan sebagai Wakil Presiden di tahun 2004-2009, ia makin diapresiasi sebagai calon pemimpin alternatif. Buktinya, Jokowi, yang pasti tak terlepas dari persetujuan puteri sulung Soekarno, Megawati, memilihnya sebagai pendamping dalam memperjuangkan ‘mandat langit’ dari rakyat. " (download, jusufkalla.info)
JUSUF KALLA DAN JOKOWI. “Sepanjang apa yang diucapkannya dan untuk sebagian telah diperlihatkannya selama dirinya berkesempatan ikut dalam kekuasaan negara, terkesan Jusuf Kalla banyak merubah diri dan ketokohannya. Tak heran, setelah menyelesaikan masa jabatan sebagai Wakil Presiden di tahun 2004-2009, ia makin diapresiasi sebagai calon pemimpin alternatif. Buktinya, Jokowi, yang pasti tak terlepas dari persetujuan puteri sulung Soekarno, Megawati, memilihnya sebagai pendamping dalam memperjuangkan ‘mandat langit’ dari rakyat. ” (download, jusufkalla.info)

Ia diketahui dan dianalisis sebagai pengusaha yang sangat tidak menyukai pengusaha keturunan Cina (sekarang secara resmi disebut etnis Tionghoa). Disebutkan, dalam beberapa peristiwa rasialis di Sulawesi Selatan, khususnya setelah peristiwa 1965, jejak peran Jusuf Kalla dan HMI selalu ada. Diceritakan pula –mungkin saja sedikit berlebihan– Jusuf Kalla berperan mendorong Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan Baharuddin Lopa untuk ‘secara’ hukum menyapu pengusaha Tony Gozal, seorang keturunan Tionghoa, dari persaingan bisnis di wilayah tersebut.

Ada dua hal yang perlu diceritakan di sini. Di satu pihak, Baharuddin Lopa –yang kemudian hari sempat sejenak menjadi Jaksa Agung RI– adalah orang yang keras kepala dan tak mudah dibujuk, tetapi Jusuf Kalla dengan caranya yang khas agaknya berhasil ‘menyelami’ sehingga bisa ‘memikat’ hati Lopa. Di pihak lain, Tony Gozal, adalah pengusaha yang tangkas melakukan pendekatan kepada para pejabat di daerah tersebut, siapa pun dan di tingkat mana pun. Kecuali, terhadap Lopa, ia gagal melakukan pendekatan. Lopa sering ikut menghadiri jamuan makan yang dilakukan Tony Gozal kepada para petinggi, tetapi justru di situ ia menyimpulkan kedekatan luar biasa sang pengusaha dengan para penguasa daerah. Lopa tak hanya ‘menyapu’ Tony, melainkan juga sejumlah kalangan pejabat.

Tetapi, Jusuf Kalla juga adalah pengusaha yang berhasil menjalin kedekatan dengan kalangan penguasa. Mula-mula dengan penguasa tingkat daerah, dan pada akhirnya juga untuk tingkat pusat. Ada masa di mana proyek-proyek pemerintah untuk daerah Sulawesi Selatan jatuh hanya ke tangan Group Kalla di samping pengusaha tertentu yang punya hubungan kekeluargaan dengan para pejabat. Di luar itu, hanyalah golongan pengusaha kelas pemungut remah-remah.            

PADA 10 November 1965 kota Makassar dilanda sejumlah aksi yang keras. Selain penyerbuan Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) di Jalan Chairil Anwar dan ‘pengganyangan’ PKI juga terjadi pengejaran kepada massa PNI/Marhaenis pendukung Soekarno yang dilanjutkan dengan penyerbuan dan perusakan rumah beberapa tokoh PNI. Aspek persaingan menjadi faktor penting dalam aksi permusuhan terhadap kalangan PNI Sulawesi Selatan ini. Selama masa kekuasaan Soekarno, khususnya periode 1960-1965, PNI begitu dominan di daerah ini, termasuk dalam posisi di pemerintahan.

Di tingkat pusat kala itu PNI direpresentasikan oleh PNI Ali-Surachman yang dianggap dipengaruhi PKI. Secara internal, sebenarnya ada perpecahan di tubuh PNI. Kelompok Hardi SH dan kawan-kawan misalnya menolak keberadaan Surachman yang dianggap kader PKI sebagai Sekjen PNI. Dan, PNI Sulawesi Selatan saat itu, dengan sedikit pengecualian, lebih cenderung berada di kubu Hardi. Tetapi 10 November 1965, mereka kena ‘ganyang’. Sejumlah rumah tokoh PNI diserbu dan dirusak, sehingga beberapa di antaranya terpaksa melarikan diri ke pulau Jawa. Harian Marhaen milik PNI Sulawesi Selatan diambilalih oleh seorang tokoh tentara.            

Massa HMI menjadi salah satu tulang punggung aksi pada 10 November 1965 itu. Tetapi sungguh menarik bahwa kini, hampir 50 tahun kemudian, Muhammad Jusuf Kalla, tokoh HMI Sulawesi Selatan pada masa-masa pergolakan kala itu, menjadi calon Wakil Presiden dari Jokowi. Direstui Megawati Soekarnoputeri untuk maju sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014. Dengan pendukung utama PDIP, suatu partai yang mewarisi gen PNI.  

Berikutnya, di tahun 1967, tanggal 1 Juni yang sebenarnya bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, yang selama ini dikaitkan dengan tanggal penyampaian pidato Bung Karno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), massa HMI berkumpul di gedung sekretariat mereka di Jalan Botolempangan Makassar. Kehadiran Jusuf Kalla terlihat di sana. Massa kemudian bergerak meninggalkan tempat itu dan terlibat dalam aksi perusakan sejumlah gereja di kota itu, termasuk Gereja Katedral di arah utara Jalan Botolempangan yang berseberangan dengan Lapangan Karebosi. Meskipun masih berdekatan waktu, boleh dikatakan tak ada alasan rasional untuk terjadi kerusuhan berdasar sentimen agama yang bisa dikaitkan dengan Peristiwa 30 September 1965, ataupun pencabutan mandat MPR atas diri Soekarno Maret 1967. Perusakan gereja itu terjadi sebagai suatu peristiwa dengan alasan yang berdiri sendiri, yakni intoleransi beragama. Kalau ada sesuatu yang bisa dikaitkan, paling mungkin adalah sisa-sisa kebencian pasca DI/TII.            

BARANGKALI, dalam sudut pandang sekelompok masyarakat, situasional per waktu itu, saat peristiwa-peristiwa tersebut terjadi, Jusuf Kalla adalah tokoh yang berkategori hero. Sikap anti ‘Cina’ yang ditunjukkannya kala itu misalnya, mewakili pandangan sejumlah saudagar Bugis dan atau lapisan tertentu dalam masyarakat terkait kesenjangan ekonomi. Tapi jangankan sikap anti ‘Cina’, sikap anti ‘Jawa’ pun masih merupakan fakta di masa itu. Sikap anti Kristen, yang ditandai perusakan gereja, mewakili pandangan sempit kelompok-kelompok masyarakat Sulawesi Selatan waktu itu, yang baru 1-2 tahun lepas dari masa pergolakan DI/TII. Sementara sikap anti PNI yang tak cermat memilih korban, lebih banyak terkait dengan rivalitas antar tokoh politik dan tokoh masyarakat di Sulawesi Selatan kala itu.            

KINI, untuk kedua kalinya, Muhammad Jusuf Kalla akan menjadi tokoh nasional –bila ia dan Jokowi berhasil memenangi pemungutan suara 9 Juli 2014– dan itu terjadi di usia 72 tahun. Di tahun 1966-1967 Jusuf Kalla baru berusia 24-25 tahun. Masih agresif. Kini, meski masih sering meletup-letup, pastinya harus tampil lebih bijak sebagai tokoh yang pluralis, yang menerima cita-cita bhinneka tunggal ika. Sepanjang apa yang diucapkannya dan untuk sebagian telah diperlihatkannya selama dirinya berkesempatan ikut dalam kekuasaan negara, terkesan Jusuf Kalla banyak merubah diri dan ketokohannya.

Tak heran, setelah menyelesaikan masa jabatan sebagai Wakil Presiden di tahun 2004-2009, ia makin diapresiasi sebagai calon pemimpin alternatif. Buktinya, Jokowi, yang pasti tak terlepas dari persetujuan puteri sulung Soekarno, Megawati, memilihnya sebagai pendamping dalam memperjuangkan ‘mandat langit’ dari rakyat. Namun adalah baik bila ia bisa menjelaskan beberapa segmen yang berpotensi sebagai beban dalam sejarah ketokohannya, menjelang ia menapak menjadi bagian dari kepemimpinan nasional untuk kedua kali.

Hal yang sama tentu berlaku untuk Prabowo Subianto. Banyak tokoh yang mampu merubah sikap, perilaku dan pandangan masa lampaunya menjadi jauh lebih baik di masa kini dan masa depan. Meski, ada juga yang jauh di dalam dirinya pada hakekatnya tak mampu melakukan perubahan sejati. Manusia termasuk spesies yang tak mudah untuk seketika merubah tabiat yang terbentuk dalam jangka lama sepanjang perjalanan hidupnya.

Jangan biarkan rakyat pemilih untuk kembali masuk ke dalam dilema pilihan the bad among the worst atau bahkan pilihan lesser evil dalam menentukan pemimpin negara. (socio-politica.com)

*Sekali lagi, tulisan ini sebagaimana tulisan lainnya dalam serial ‘Mengejar Mandat Langit’, tidak bertujuan mendiskreditkan seorang tokoh. Tujuan utama tulisan-tulisan ini adalah memberi tambahan referensi kepada mereka yang akan menjadi pemilih untuk lebih mengenal dan lebih mengetahui tentang tokoh yang akan mereka pilih 9 Juli 2014.

Ketika Tuhan dan Agama Didegradasi Menjadi Berwajah Buruk

Sebuah catatan pasca lebaran

MESKIPUN dimulai dengan suasana mendua dalam penentuan awal Ramadhan, akhirnya masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam bisa merayakan Idul Fitri di satu hari yang sama, 19 Agustus 2012. Tapi tak urung, selama beberapa hari menjelang Lebaran, sebagian masyarakat tetap diliputi ketidakpastian, apakah mempersiapkan diri untuk merayakan hari besar Islam itu di hari Minggu, atau merayakannya di hari Senin 20 Agustus. Suatu keadaan yang secara psikologis, sebenarnya sangat tak nyaman. Banyak yang berpikir, karena Muhammadiyah sudah jauh hari mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 19 Agustus, pastilah pemerintah, NU dan ormas yang berbeda pendapat dalam penentuan awal Ramadhan, akan menentukan lain, yakni sehari setelahnya.

PASUKAN PERANG SALIB. “Sesungguhnya Islam memerlukan pembaharuan pemikiran dan penafsiran oleh para cendekiawannya….. Tapi sayangnya para cendekiawan muslim itu lebih senang bermain politik demi kekuasaan”. (download byzantinum)

Bila kita, sebagai sesama umat, harus terbelah dalam pilihan hari merayakan lebaran, seperti yang kita alami beberapa kali pada tahun-tahun sebelum ini, kita juga bisa merasa mengalami keterbelahan kebersamaan. Padahal, kita berada dalam satu naungan agama. Secara lebih luas, dalam konteks kebersamaan sebagai umat beragama, dan bahkan sebagai manusia, bila kita harus mengalami keterbelahan dalam kebersamaan, karena menganut agama yang tak sama, secara batiniah memberi perlukaan. Padahal, kita memiliki fitrah yang sama sebagai insan yang bersumber pada kebenaranNya.

KEGAGALAN berkepanjangan manusia selama berabad-abad –terutama di abad-abad awal– dalam menjalankan agama dengan sebaik-baiknya, tak lain adalah egoisme dalam menafsirkan berbagai ajaran agama yang dianutnya. Beberapa dari penafsiran itu mengendap sebagai kerak pemikiran tradisional, yang menjadi sumber pertentangan terus menerus sepanjang masa. Itu terjadi dalam agama Kristen maupun dalam Islam, sebagai suatu keadaan yang menjadi sumber konflik internal, sekte melawan sekte, maupun konflik eksternal di antara agama-agama, antara Islam dengan Kristen (sejak Perang Salib), Islam dengan Hindu (di Asia Selatan), Islam dengan Budha (yang dianggap sedang terjadi di Myanmar) ataupun antar agama lainnya. Continue reading Ketika Tuhan dan Agama Didegradasi Menjadi Berwajah Buruk

PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (2)

Syamsir Alam*

ADA dua ganjalan bagi tokoh politik yang mengusung isu Islam tersebut, yaitu pertama adalah tidak dicantumkannya syariat Islam sebagai dasar negara, bahkan dicoret dari yang sebelumnya disetujui termuat sebagai Piagam Jakarta dalam Mukadimah UUD 1945. Kedua, ada kelompok Islam yang terlatih militer dan berjasa dalam perang kemerdekaan, dikenal sebagai laskar rakyat atau Hizbullah, tidak dapat menerima penyeragaman menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga memilih untuk tetap sebagai Tentara Islam Indonesia (TII). Puncaknya, pada 3 Agustus 1949, S.M. Kartosuwiryo memproklamirkan Darul Islam (DI), atau disebut juga sebagai Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan tersebut diikuti oleh beberapa daerah, misalnya Aceh, yang kemudian menjadi stigma yang sulit dihilangkan.

MASSA PPP DENGAN LAMBANG KABAH. “Dari jauh, kelompok Islam memang nampak hijau subur dan bersatu, tetapi bila didekati, sebenarnya terjadi pergulatan sengit dari banyak kelompok-kelompok kepentingan untuk saling mendominasi. Bahkan, ada yang berusaha dengan cara apapun (fatwa, dukungan ulama, atau dalil hadits) untuk mendapatkan pecahan lahan kekuasaan yang semakin mengecil itu”. (foto download)

Hal itu, didorong pula oleh sikap penguasa yang memperlakukan kelompok Islam sebagai kelompok sosial dan keagamaan yang perlu diawasi, karena dianggap terus berusaha membentuk negara Islam, sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk ikut berperan secara wajar. Persepsi tersebut “diwarisi” dan melekat pada penguasa Belanda dari pengalaman mereka menghadapi perang “kemerdekaan” yang umumnya dilakukan oleh kelompok (kebetulan) Islam. Karena itu, baik Orde Lama maupun Orde Baru, terutama militer, menerapkan pola kebijaksanaan yang dipakai Belanda tersebut, yaitu bersikap toleran dan bersahabat terhadap Islam sebagai kelompok sosial dan keagamaan. Namun sikap itu segera berubah menjadi keras dan tegas ketika Islam mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai kekuatan politik, yang dianggap dapat menentang kehendak penguasa. Masyumi, salah satu partai Islam yang tidak ikut mengutuk DI-TII, mulai tersingkir dari pusat kekuasaan yang dipegang oleh Soekarno (Bung Karno).

Dengan semakin berkuasanya Bung Karno dengan jargon tiga pilar utama kubu nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang diisi oleh PNI, NU dan PKI, maka Masyumi semakin tersingkir, dan mendapat stigma Islam radikal anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terutama Continue reading PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (2)

Abu Bakar Ba’asyir, Kisah ‘Don Kisot’ dari Ngruki (2)

SETELAH Peristiwa Bom Bali, Abu Bakar Ba’asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo (14 Oktober 2002), dan mengatakan bahwa peristiwa ledakan di Bali tersebut merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Markas Besar Polri melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia itu (17/10), namun Ba’asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME. Namun, berdasarkan pengakuan Al Faruq –sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali–  yang diterima tim Mabes Polri di Afganistan, Ba’asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI (18/10).

Kemudian, Ba’asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003, dan divonis 2,6 tahun penjara (3 Maret 2005). Ia dibebaskan pada 14 Juni 2006. Namun, Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaeda di Aceh (9 Agustus 2010). Walaupun banyak kontroversi yang terjadi selama masa persidangan, Ba’asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (16 Juni 2011) setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.

Belum banyak terungkap dari aktivitas NII
Ada dua kejadian yang berujung pada pelabelan Abu Bakar Ba’asyir sebagai biang teroris di Indonesia, yaitu aktivitas NII dan kegiatan intelijen internasional yang berimpit kepentingan memerangi kelompok Islam radikal. Menurut AM Fatwa, tokoh aktivis dakwah yang dituduh terlibat dalam kerusuhan Tanjung Priok (1984) dan dihubungkan dengan aksi Komando Jihad –sekarang Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD)– di balik aksi NII berupa pemboman yang terjadi pada waktu dulu, ada peran Ali Moertopo, petinggi militer Indonesia, sebagai aktor penting yang bermain di balik aksi radikal tersebut. “Dia mengadopsi konsep komando jihad Abdul Kadir Jaelani,” ungkapnya di tempat kerja, Kamis (28/4). Komando jihad Abdul Kadir dinilainya tidak masalah karena merangkul anak muda untuk melakukan aksi-aksi positif, mengaktualisasikan potensi diri, dan mengembangkan minat, dan bakat. Sedangkan, komando jihad bentukan Ali, cenderung mengarah kepada aksi-aksi radikal yang meresahkan, bahkan mengancam keamanan dan pertahanan negara. Fatwa menyebutkan, mendiang Ali Moertopo merekrut mantan pejuang DI/TII yang kini dinamakan Negara Islam Indonesia (NII) untuk melakukan aksi-aksi radikal. (Republika.co.id, Jakarta, Kamis, 28 April 2011).

Awalnya, dengan dihapuskannya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang sila Ketuhanan dalam Piagam Jakarta, terjadi perdebatan panjang antara golongan Islam dan golongan nasionalis. Mohammad Natsir, wakil golongan Islam dari Masyumi, menyatakan dengan tegas bahwa Islam harus menjadi dasar negara Indonesia. Dengan kekalahanan Masyumi dalam Pemilu 1955, namun dengan perolehan suara 45,2% yang menggambarkan realitas kekuatan umat Islam, menyebabkan kelompok Islam kembali menuntut agar naskah asli Piagam Jakarta diakui sebagai kaidah dasar negara dan peraturan perundangan.
Untuk meredam perdebatan ini, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan setahun kemudian, ia memperkenalkan ideologi Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) sebagai upaya untuk menyatukan ketiga ideologi dominan dalam masyarakat. Tidak lama kemudian, untuk meredam kembali munculnya isu negara Islam, Soekarno meminta Masyumi membubarkan diri, dan menyingkirkannya dari DPRGR yang dibentuk Soekarno setelah dibubarkannya parlemen hasil Pemilu 1955.
Setelah mengalami penekanan yang dilakukan oleh Soekarno kepada golongan Islam yang mendukung pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar negara (Masyumi dan DI/TII) tersebut, jatuhnya Orde Lama dan berkuasanya Orde Baru adalah sebuah harapan baru bagi mereka. Tetapi, di awal pemerintahannya, Soeharto ternyata menunjukkan sikap antipatinya terhadap golongan Islam jalur keras tersebut dan mulai merangkul golongan sosialis. Pemerintah Orde Baru menjuluki PKI sebagai “ekstrim kiri” dan Islam mendapatkan julukan “ekstrim kanan”. Berbagai sumber menyatakan, sikap Soeharto ini merupakan perwujudan dari paranoia pada ancaman kekuatan Islam terhadap kekuasaannya. Bagaimanapun, kelompok Islam radikal itu memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno, selain karena kenyataannya bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam.

JENDERAL ALI MOERTOPO. “Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif”. (Foto Tempo/Syahrir Wahab)

Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal tersebut, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif.

Puncak dari sikap represif Orde Baru tercermin dalam SU-MPR 1978 dan UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pengaturan mengenai Partai Politik dan Golkar tersebut, Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan. Tentu saja kebijakan Pemerintah tersebut mendatangkan polemik di berbagai ormas Islam. Namun,  pada akhirnya, ormas-ormas Islam memilih untuk berdamai dengan Pemerintah dan menjadikan Pancasila sebagai anggaran dasar ormas-ormas tersebut. Berbanding terbalik dengan ormas-ormas Islam tersebut, para aktivis dakwah kampus menolak keras Pancasila. Menurut mereka, menerima Pancasila berarti melakukan tindakan syirik. Selain itu, konsep nasionalisme menurut mereka sama dengan paham ashobiyah (kesukuan) dalam bentuk baru.

Namun, permainan yang dijalankan Ali Moertopo itu tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro dan didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.

Motif perang Amerika Serikat melawan kelompok Islam radikal
Pada pihak lain, dengan runtuhnya imperium Uni Soviet pada tahun 1989, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adikuasa (super-power) di dunia. Tidak heran, bila Amerika Serikat berusaha mempertahankan dan meningkatkan perannya sebagai pemimpin dunia, yang dipandang “lebih efektif ketimbang pemimpin Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)”. Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush yang disampaikan di depan Kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 September 2002, di dalam dokumen sebanyak 31 halaman dengan judul “The National Security Strategy of United States of Amerika”. Amerika Serikat menurut doktrin itu harus meningkatkan upaya memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke seluruh kawasan Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya ada di 120 negara, diperluas menjadi 160 negara. Tujuannya, untuk menjamin kedudukan dan peran White Americana, sebagai pemelihara perdamaian dunia di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Untuk mengamankan kepentingan itu, Amerika Serikat membentuk sebuah organisasi super-intelligence bernama “Proactive Pre-Emptiv Organization Group” (P2OG), dengan tugas melakukan operasi-operasi intelijen atas dasar “pukul dahulu urusan belakang”.

Prinsip ini sesuai dengan ancaman Presiden Bush kepada semua negara, “if you âre not with us, you âre against us” (kalau tak mendukung kami, anda adalah musuh kami). Serangan Bom Bali (12 Oktober 2002) dan Makassar (6 Desember 2002) merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang baru dari Amerika Serikat. Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Donald Rumfield, operasi semacam itu ditujukan untuk memancing keluarnya “tikus-tikus muslim radikal dari sarangnya.”
Karena itu, jelaslah motif Amerika Serikat memerangi kelompok Islam radikal, yang ditampilkan sebagai sosok Al Qaeda, untuk sebagian merupakan wujud arogansi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia. Padahal, menurut Brahma Chellaney, Guru Besar Studi Strategi pada Center for Policy Research di New Dehli, pengarang buku “Asian Juggernaut” dan “Water Asia’s New Battleground”, pada tahun 1980-an pemerintah Reagan menggunakan Islam sebagai alat ideologis untuk mendorong perlawanan bersenjata melawan tentara pendudukan Soviet di Afganistan. Pada 1985, dalam sebuah upacara di Gedung Putih yang dihadiri beberapa orang pemimpin mujahidin –pejuang-pejuang jihad yang kelak berkembang menjadi Taliban dan Al Qaeda– Reagan menoleh ke arah tamunya dan berkata, “Tuan-tuan, ini merupakan cerminan moral dari bapak-bapak pendiri Amerika” (Koran Tempo, 23 November 2011).

Pelajaran yang bisa ditarik dari upaya pemerintah Obama sekarang untuk berdamai dengan Taliban, yang tidak menghiraukan pengalaman Amerika Serikat akibat mengikuti kepentingan sesaat, adalah pentingnya fokus pada tujuan jangka panjang. Pelajaran kedua, perlu keberhati-hatian dalam melatih pejuang-pejuang Islamis dan mengucurkan senjata-senjata yang mematikan kepada mereka guna membantu menggulingkan suatu rezim. “Upaya melawan terorisme Islamis hanya bisa berhasil jika negara-negara tidak memperkuat bentuk-bentuk fundamentalisme Islamis yang menganjurkan kekerasan atas nama negara”, tulis Brahma. Sayangnya, dengan pelajaran dari masa lalu yang tidak dihiraukan Amerika Serikat itu, sekali lagi kelompok-kelompok ekstremis tersebut siap memberi pukulan pada mereka.

Namanya masih disebut-sebut pada setiap aksi teroris
Melihat situasi sekarang, nampak kecenderungan gerakan radikal sempalan NII, seperti JI (Jamaah Islamiyah), yang tidak lagi mau berjihad, walaupun tetap melihat jihad sebagai sesuatu yang penting, atau mungkin sudah merasa kekuatan mereka tidak cukup lagi mampu untuk menghadapi musuh. Menurut Sidney Jones, penasehat senior International Crisis Group (ICG) yang juga pengamat terorisme, “Sekarang mereka melihat jihad terlalu lemah dan juga sangat kontra produktif” (Koran Jakarta,1 Mei 2011).

Menurut laporan International Crisis Group tentang terorisme di Indonesia yang berjudul “Small Groups Big Plans” April 2011, setelah organisasi JI melemah, terlihat gejala munculnya kelompok-kelompok kecil berjejaring lokal yang lebih longgar dalam mengakomodasi individu yang ingin “berjihad” dengan biaya lebih rendah. Kelompok-kelompok kecil itu beririsan dengan kelompok Aman Abdurahman (bom Cimanggis), Tim Hisbah (bom Cirebon) dan Jamaah Anshorut Tauhid (Kompas, 27 Desember 2011). Nama Ba’asyir masih selalu disebut-sebut.

Masalah kita, mengapa pemerintah sepertinya masih membiarkan aksi gerakan radikal ini terus berlanjut?

Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam –mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

Abu Bakar Ba’asyir, Kisah ‘Don Kisot’ dari Ngruki (1)

“Jika Anda mengubah cara melihat sesuatu,maka makna dari sesuatu yang Anda lihat itu bisa berubah”, Wayne Dyer.

Mencuatnya beragam kasus terorisme dan orang hilang, termasuk penculikan dan dugaan praktik pencucian otak yang dihubungkan dengan kelompok NII (Negara Islam Indonesia) membuat masyarakat mempertanyakan kemampuan pemerintah mengatasi aksi sempalan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) tersebut yang katanya sudah tumpas. Semula diyakini, dengan turunnya Soeharto, dan beralihnya era Orde Baru ke era Reformasi, gerakan separatis kelompok NII pun ikut berakhir riwayatnya. Namun, dengan munculnya perang Amerika Serikat melawan Al Qaeda, kelompok Islam teroris, di Indonesia muncul pula gerakan teroris yang dihubung-hubungkan kembali dengan sempalan NII tersebut.

Abu Bakar Ba’asyir, salah satu ustadz yang dulu pernah dikejar-kejar pemerintah Orde Baru karena menolak asas tunggal Pancasila, kembali dikait-kaitkan dengan kegiatan teroris. Walaupun Ba’asyir membantah menjalin hubungan dengan kegiatan terorisme, namun berbagai badan intelijen asing menuduh Ba’asyir sebagai kepala spiritual Jamaah Islamiyah (JI), sebuah grup separatis militan Islam yang mempunyai kaitan dengan Al Qaeda. Menurut Letjend (Purn) ZA Maulani, Mantan Kepala BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara), dalam makalah berjudul “Dasar-dasar Intelijen” untuk Pelatihan Dasar Intelijen bagi para aktivis di sebuah tempat di Indonesia tahun 2005 yang lalu, “Dosa dari ustadz Abu Bakar Ba’asyir, karena ia menyatakan mendukung gagasan ‘berlakunya syariâ’at Islam bagi para pemeluknya’ di Indonesia”. Kalau diteliti, ternyata yang termasuk dalam daftar “wanted”- orang yang dicari di Indonesia menurut versi Amerika Serikat itu, adalah mereka yang turut memperjuangkan berlakunya syariat Islam di Indonesia (http://khilafah1924.org/).

“Don Kisot” dari Ngruki

ABU BAKAR BA’ASYIR. “Dibandingkan dengan rekannya, almarhum Abdullah Sungkar, dari catatan rekam jejak Abu Bakar Ba’asyir bin Abu Bakar Abud –biasa juga dipanggil Ustadz Abu dan Abdus Somad– yang lahir pada 17 Agustus 1938 di Jombang, Jawa Timur ini sebenarnya kurang meyakinkan sebagai pimpinan teroris. Banyak pengamat mengatakan ia hanyalah sosok yang dijadikan “tokoh” untuk mementaskan suatu skenario aksi teroris internasional di Indonesia. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai Don Kisot (Don Quixote de la Mancha), tokoh cerita Miquel de Cervantes, yang berjuang melawan ilusinya sendiri menganggap kincir angin sebagai sosok raksasa. Foto Antara.

Dibandingkan dengan rekannya, almarhum Abdullah Sungkar, dari catatan rekam jejak Abu Bakar Ba’asyir bin Abu Bakar Abud –biasa juga dipanggil Ustadz Abu dan Abdus Somad– yang lahir pada 17 Agustus 1938 di Jombang, Jawa Timur ini sebenarnya kurang meyakinkan sebagai pimpinan teroris. Banyak pengamat mengatakan ia hanyalah sosok yang dijadikan “tokoh” untuk mementaskan suatu skenario aksi teroris internasional di Indonesia. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai Don Kisot (Don Quixote de la Mancha), tokoh cerita Miquel de Cervantes, yang berjuang melawan  ilusinya sendiri menganggap kincir angin sebagai sosok raksasa. Ba’asyir adalah seorang tua yang terobsesi menjadi pahlawan yang mendirikan suatu masyarakat dengan struktur kepemimpinan organisasi sesuai ajaran Islam, dengan risiko dikait-kaitkan dengan aksi teror. Bahkan, Ba’asyir mau menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah FPI (Front Pembela Islam) bagian Surakarta (FPIS), organisasi massa Islam bergaris keras. karena mempunyai tujuan yang sama untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.

Ba’asyir, pemimpin Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) serta salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu’min (1972), di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, memang banyak tercatat sebagai pimpinan berbagai organisasi jalur keras yang berhubungan dengan sempalan NII, sehingga mudah mencapnya sebagai tokoh Islam radikal.

Awalnya, dengan tuduhan menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila (1983) Ba’asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Ia juga dituduh melarang santrinya melakukan hormat bendera karena menganggap sebagai perbuatan syirik (berdosa). Tak hanya itu, ia bahkan dianggap merupakan bagian dari gerakan Hispran. Di pengadilan, keduanya divonis 9 tahun penjara. Namun, ketika kasusnya masuk kasasi (11 Februari 1965) Ba’asyir dan Abdullah Sungkar yang saat itu dikenai tahanan rumah di Solo, melarikan diri ke Malaysia melalui Medan. Menurut pemerintah Amerika Serikat, pada saat di Malaysia itulah Ba’asyir membentuk gerakan Islam radikal, Jamaah Islamiyah, yang menjalin hubungan dengan Al-Qaeda. Menurut beberapa sumber Jamaah Islamiyah, adalah nama populer dari faksi Abdullah Sungkar yang direkrut oleh  Hispran (Haji Ismail Pranoto), mantan toloh DII/TII yang ditugaskan untuk membina jaringan NII di Jawa Tengah.

Sekembalinya dari Malaysia (1999), Ba’asyir langsung terlibat dalam pengorganisasian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari Organisasi Islam baru garis keras yang bertujuan menegakkan Syariah Islam di Indonesia. Padahal, waktu itu Ba’asyir masih memiliki hutang kasus penolakannya terhadap “Pancasila sebagai azas tunggal” pada tahun 1982, yang akan segera dilakukan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) dengan hukuman pidana selama sembilan tahun (2002). Ba’asyir menolak putusan tersebut, dan menganggap Amerika Serikat berada di balik eksekusi putusan yang sudah kadaluwarsa, karena dasar hukum untuk penghukumannya adalah Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, yang sudah tak berlaku lagi. Dan dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM), karena pemerintah pun sudah memberi amnesti serta abolisi kepada tahanan dan narapidana politik (tapol/napol). Akhirnya, Kejagung menyarankan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo (Jawa Tengah) untuk meminta amnesti bagi Ba’asyir kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.

Setelah itu, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, 28 Februari 2003, menyatakan Indonesia, khususnya kota Solo, sebagai sarang teroris. Salah satu teroris yang dituding Lee Kuan Yew adalah Abu Bakar Ba’asyir Ketua Majelis Mujahidin Indonesia, yang disebut juga sebagai anggota Jamaah Islamiyah.

Sebelumnya, majalah TIME menulis berita dengan judul “Confessions of an Al Qaeda Terrorist” di mana Ba’asyir disebut-sebut sebagai perencana peledakan di Mesjid Istiqlal, Jakarta. TIME menduga Ba’asyir sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional yang beroperasi di Indonesia. TIME mengutip dari dokumen CIA, bahwa pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah Abu Bakar Ba’asyir “terlibat dalam berbagai plot.” Ini menurut pengakuan Omar Al-Faruq, seorang pemuda warga Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor (Juni 2002), dan dikirim ke pangkalan udara di Bagram, Afganistan, yang diduduki AS. Setelah beberapa bulan bungkam, akhirnya Al-Faruq mengeluarkan pengakuan yang mengguncang. Kepada CIA, ia tak hanya mengaku sebagai operator Al-Qaeda di Asia Tenggara, tapi mengaku memiliki hubungan dekat dengan Ba’asyir. Menurut berbagai laporan intelijen yang dikombinasikan dengan investigasi majalah TIME, bahkan Ba’asyir disebut sebagai pemimpin spiritual kelompok Jamaah Islamiyah yang bercita-cita membentuk negara Islam di Asia Tenggara. Ba’asyir pulalah yang dituding menyuplai orang untuk mendukung gerakan Faruq. Ba’asyir disebut pula sebagai orang yang berada di belakang peledakan bom di Masjid Istiqlal tahun 1999. Dalam majalah TIME edisi 23 September tersebut, Al-Farouq juga mengakui keterlibatannya sebagai otak rangkaian peledakan bom lainnya.

Letjend (Purn) ZA Maulani mengatakan, laporan majalah TIME itu sebagai awal dari suatu operasi intelijen yang sistemik untuk mengubah Indonesia tidak lagi menjadi “Mata rantai paling lemah di Asia Pasifik dalam rangka upaya memerangi jaringan terorisme international”. Maraknya operasi intelijen asing, terutama intelijen Barat di Indonesia, terlihat dengan munculnya propaganda hitam di situs internet TIME.com edisi 17 September 2002, yang menurunkan berita menarik tentang Omar Al-Faruq tersebut. Munisinya adalah tentang hadirnya gerakan Iislam fundamentalis yang digerakkan oleh suatu organisasi, Jamaâ’ah Islamiyah, yang gerakannya oleh kaum fundamentalis muslim warga negara Indonesia untuk mendirikan “super-state” Islam di Asia Tenggara. Tujuan akhir dari kampanye intelijen ini adalah untuk menguasai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dari laporan-laporan CIA yang dibocorkan melalui media massa, Amerika Serikat ingin membangun kesan bahwa jaringan Al Qaedah di Indonesia merupakan sesuatu yang serius.

Dalam wawancara khusus dengan wartawan TEMPO (25 September 2002), Ba’asyir mengatakan bahwa selama di Malaysia ia tidak membentuk organisasi atau gerakan Islam apapun. Selama di sana, ia dan Abdullah Sungkar hanya mengajarkan pengajian dan mengajarkan sunah Nabi. “Saya tidak ikut-ikut politik. Sebulan atau dua bulan sekali saya juga datang ke Singapura. Kami memang mengajarkan jihad dan ada di antara mereka yang berjihad ke Filipina atau Afganistan. Semua sifatnya perorangan,” ungkapnya.

Pada tanggal 12 Oktober 2002 pukul 23.05 terjadi sebuah ledakan bom di Bali yang begitu dahsyat, konon dilihat dari jumlah korban yang jatuh adalah yang kedua terbesar sesudah serangan terhadap gedung WTC New York. Bom yang meledak di depan Sari Night Club itu menewaskan 184 jiwa, mencederai berat dan ringan 300-an orang, seratusan lagi hilang, menghancurkan atau merusak 47 buah bangunan, dan membakar seratusan kendaraan berbagai jenis.

Para pengamat dan para ahli demolisi pada umumnya berpendapat bahan-ledak yang digunakan di pantai Legian-Kuta itu bukan dari bahan konvensional. Tim investigasi gabungan Polri dan Australia berusaha melunakkannya dengan menyebutkan bahwa bahan ledaknya, yang semula dikatakan dari bahan C-4, kemudian diturunkan menjadi RDX, kemudian di turunkan lagi menjadi HDX, kemudian TNT, lalu bahan ledak yang diimprovisasi dari bahan pupuk dan akhirnya dari bahan karbit. Ada kesan perubahan keterangan tentang bahan-ledak agaknya dimaksudkan untuk meniadakan tudingan bahwa bom itu ulah dari kekuatan luar.

Menurut Letjend (Purn) ZA Maulani, Ledakan bom Bali itu harus dibaca sebagai coup de grace kepada Indonesia yang melengkapkan hegemoni Amerika Serikat di Asia Tenggara. Bom Bali sengaja dibuat sedemikian hebatnya, bukan termasuk kategori bom lokal agar gaungnya mengglobal, sebagai pretext bahwa bangsa dibelakang peledakan itu adalah Muhammad Khalifah, adik-ipar Osamah bin Laden, dari Al Qaedah (http://khilafah1924.org).

-Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam –mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  
Berlanjut ke Bagian 2.

Sodong dan Mesuji: Mewarisi Ketidakadilan dan Tradisi Penyelesaian Berdarah

KEKERASAN berdarah sebenarnya bukan peristiwa yang asing bagi rakyat Indonesia, karena sudah tumbuh mengakar dan mewaris sejak dulu dari masa Nusantara. Berbagai bentuk kekerasan dalam mengambil nyawa orang lain, sampai dengan cara-cara paling ekstrim dan mengerikan, telah menjadi bagian dari pengalaman manusia penghuni kepulauan ini. Namun, meskipun kekerasan masih melanjut sebagai tradisi, cara-cara mengerikan yang primitif praktis telah ditinggalkan. Maka, ketika terbetik berita bahwa dalam konflik lahan perkebunan sawit di Sumatera Selatan dan Lampung yang kini menjadi pusat perhatian, ada korban yang dipenggal kepalanya, semua orang tersentak. Sampai sejauh ini, selain mencincang tubuh korban, cara membunuh dengan memenggal kepala adalah yang paling mengerikan terutama untuk ukuran peradaban dalam konteks hak azasi manusia di abad 21.

Semula kalangan kekuasaan dan atau penegak hukum memperlihatkan sikap resisten terhadap pengungkapan-pengungkapan tentang pelanggaran HAM di daerah-daerah perkebunan sawit itu dan mengedepankan mekanisme defensif dengan kecenderungan spontan menyangkal. Tapi lama kelamaan, ketika pengungkapan berlanjut, penegak hukum terpaksa mulai mengakui satu persatu fakta peristiwa sesungguhnya, kendati masih membutuhkan waktu lebih lama bagi terungkapnya kebenaran lengkap. Dan makin terlihat pula, walau masyarakat juga terlibat sebagai pelaku kekerasan yang kadangkala ekstrim, pada dasarnya adalah merupakan reaksi atau akibat saja, yakni sebagai reaksi terhadap ketidakadilan yang sudah berlangsung lama dan laten. Ketidakadilan paling telanjang di depan mata masyarakat adalah perpihakan yang nyata pihak aparat terhadap mereka yang punya uang. Tak beda dengan perilaku kolonial Belanda dulu yang selalu membela ondernemingonderneming betapapun kejinya perilaku para administratur dan para centeng perkebunan. Ironis bahwa di masa pasca kolonial sekarang ini, masyarakat yang sedang memprotes ketidakadilan justru diperlakukan bagai hama perusak yang harus dibasmi.

Terkesan bahwa aparat sendiri yang menggiring rakyat menjadi ‘pemberontak’, setidaknya melakukan perlawanan fisik terbuka. Dan bila suatu konflik dengan kekerasan fisik sudah terjadi –secara horizontal antara masyarakat dengan masyarakat (PAM Swakarsa atau Satpam Perkebunan pada hakekatnya juga adalah bagian dari masyarakat) atau secara vertikal masyarakat melawan petugas– semua pihak kemungkinan besar sulit menghindarkan diri untuk tidak melakukan kekerasan yang keji. Pada sisi lain, terkesan kuat pula makin menjadi-jadinya kekacauan koordinasi dan kendali di internal kekuasaan, yang mengindikasikan kelemahan kepemimpinan pada setiap tingkat dan lini.

GAMBAR LAPORAN PERISTIWA MESUJI. “Terkesan bahwa aparat sendiri yang menggiring rakyat menjadi ‘pemberontak’, setidaknya melakukan perlawanan fisik terbuka. Dan bila suatu konflik dengan kekerasan fisik sudah terjadi –secara horizontal antara masyarakat dengan masyarakat atau secara vertikal masyarakat melawan petugas– semua pihak kemungkinan besar sulit menghindarkan diri untuk tidak melakukan kekerasan yang keji”. (Foto, download Tempo)

Mengenai peristiwa Sodong dan Mesuji, akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan lain, saat duduk perkara dan fakta menjadi lebih jelas dan tak terbantahkan pada beberapa waktu mendatang. Tetapi untuk sementara sudah bisa diyakini, bahwa apa yang terjadi di Sodong dan Mesuji, hanyalah sebagian kecil dari peristiwa serupa di berbagai penjuru Indonesia.

TERDAPAT beberapa contoh peristiwa yang melibatkan kekerasan yang keji dalam pengalaman sejarah bangsa ini. Apalagi memang terdapat beberapa konsep mengerikan dalam tradisi mengeliminasi lawan di kalangan penghuni Nusantara ini dari masa ke masa. Salah satu cara paling ‘sempurna’ dalam memusnahkan musuh adalah memenggal kepala. Dengan memenggal kepala tercipta efek penggentar yang luar biasa yang menghancurkan moral musuh, walau juga bisa malah menimbulkan dendam yang sangat dalam. Seringkali setelah memenggal musuh, darah musuh yang masih melekat pada senjata pemenggal dijilat dan kerap pula kepala yang terlepas digantungkan di pendopo sebagai hiasan. Ini dilakukan untuk menangkal pembalasan roh korban, karena musuh harus ditundukkan baik tubuh maupun rohnya. Kebiasaan ini bisa ditemukan pada masa lampau di beberapa daerah di Kalimantan maupun Sumatera atau daerah lainnya lagi. Cara ini ditemukan setidaknya sampai masa pergolakan PRRI, yang melibatkan pelaku dari kelompok anti pusat maupun pro pemerintah pusat.

Guru ilmu pancung yang terkenal adalah tentara pendudukan Jepang, yang berkuasa di Indonesia 1942-1945. Siapa yang menentang akan segera dijatuhi hukum pancung dengan samurai. Salah satu tokoh politik yang bisa mengalami pancung leher adalah Amir Syarifuddin bila tertangkap. Tetapi dengan ‘jasa baik’ Soekarno yang dekat dengan penguasa militer Jepang, Amir Syarifuddin tak berlanjut dalam DPO. Pemancungan dengan samurai tak jarang pula terjadi karena ‘kesialan’ belaka. Seorang penduduk kota di Makassar, yang terburu-buru kembali ke rumahnya menjelang jam malam, berpapasan dengan seorang tentara Jepang yang sedang setengah mabuk. Tanpa banyak tanya, si mabuk langsung mencabut samurai dan menebas leher orang naas tersebut, sehingga kepalanya lepas menggelinding. Beberapa penduduk yang mengintip kejadiaan itu, tak mampu menahan kemarahan, berhamburan keluar mengeroyok tentara Jepang itu dan menyembelih lehernya. Tentu ada pembersihan oleh tentara Jepang sesudah itu. Tapi selain itu, peristiwa tersebut melahirkan cerita takhyul bahwa dua hantu tanpa kepala seringkali muncul di sana.

Saat Timor Timor masih berada pada masa integrasi, satuan tertentu tak jarang mempraktekkan pemenggalan kepala tokoh Fretilin yang tertangkap. Tidak dipenggal langsung hidup-hidup, tetapi ditembak mati dulu lalu dipisahkan kepala dari tubuhnya. Kepala itu lalu ditenteng untuk dipertontonkan kepada penduduk. Namun Fretilin tak kalah kejinya, di tahun 1986 seorang perwira pertama TNI-AD yang tertawan dikerat lepas bagian atas batok kepalanya, dikeluarkan isinya, diganti dengan beras lalu ditutup kembali dengan peci militernya. Sang perwira lalu diletakkan tersandar di tepi jalan di luar kota Dili, dengan secarik kertas bertulis ’Ini nasib si pemakan beras’. Kekejaman memang menjadi milik kedua belah pihak dalam suatu peperangan.

Di Sulawesi Selatan pada masa bergolak 1950-1964, yakni pada masa adanya pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar (maupun petualangan TKR Osman Balo dalam jangka waktu yang lebih singkat), pemisahan kepala dengan tubuh dilakukan tidak dengan cara memancung melainkan dengan penyembelihan. Pada masa itu, kerapkali terjadi ‘perang’ yang melibatkan tiga pihak –tentara, DI-TII dan rakyat. Rakyat menjadi pihak ketiga, karena seringkali mengalami kekejaman baik dari tentara maupun dari gerombolan, saat dituduh membantu salah satu pihak. Entah mengapa, dalam eliminasi dan pembalasan dendam di antara tiga pihak, cara menyembelih menjadi salah satu pilihan favourite.

Terbaru barangkali adalah pergolakan Aceh di masa pemberontakan GAM. Kekejaman dan pelanggaran HAM disebutkan terutama dilakukan oleh pasukan pusat. Tapi tak bisa disangkal kekejaman yang sama juga telah dilakukan oleh pihak GAM. Sekali lagi, kekejaman memang menjadi milik semua pihak dalam suatu konflik kekerasan.

SEMUA yang dikisahkan pada beberapa alinea di atas adalah cerita lampau. Sebagai suatu peristiwa lampau, semestinya ia sudah ikut terkubur bersama berlalunya waktu. Maka sungguh mencemaskan bila masih selalu terjadi kekerasan-kekerasan, terutama bila kekerasan itu beraroma kekejaman primitif yang seakan kembali menjelma. Artinya, kita masih gagal dalam pembangunan sosiologis, gagal mencerdaskan dan mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Kita gagal membangun budaya penyelesaian masalah melalui jalur hukum. Bagaimana tidak gagal, bila pemerintah dan kalangan penguasa negara pada umumnya justru tidak memiliki peradaban hukum itu sendiri? Tidak memiliki pemahaman tentang kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Bahkan mungkin sudah bisa disebutkan sebagai perusak utama terhadap kebenaran dan keadilan itu sendiri, yang membuat rakyat putus asa, tidak percaya kepada establishment, dan akhirnya tersudut dalam pilihan mau tak mau melawan dan melawan, dengan segala eksesnya……

PENGUASA agaknya telah memisahkan tubuh dengan kepala rakyatnya, selain memisahkan tubuhnya dengan kepalanya sendiri. Padahal, kepala adalah tempat pusat pemikiran seorang manusia berada yang sekaligus sebagai pusat pengelolaan hati nurani.

Sikap Mendua PKS: Cepat Membesar Cepat Membusuk? (1)

Bukanlah kefakiran yang aku takutkan dari kalian, tetapi aku mengkhawatirkan apabila bumi dibuka (dimenangkan) lalu kalian saling bersaing memperebutkannya, sehingga kalian celaka sebagaimana celakanya orang-orang sebelum kalian”, Nabi Muhammad SAW.

Oleh Syamsir Alam*

             DI SAAT Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang berkonsentrasi menyusun perombakan kabinet, bulan lalu, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta dan beberapa kader lainnya mengajukan ancaman akan ke luar dari koalisi bila posisi menteri mereka diganggu. Serangan Anas tersebut membuat penjabat Partai Demokrat meradang, dan sebagai ‘hukuman’nya SBY mencopot satu menteri jatah partai anggota koalisi yang sering membuat gaduh itu. Setelah ditunggu-tunggu lama, PKS tidak juga keluar dari koalisi, mungkin menterinya yang enggan keluar karena merasakan enaknya jabatan tersebut.

Setelah itu, ketika Partai Demokrat mengajukan kenaikan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dari 2,5 persen (pada Pemilu 2009) menjadi 4 persen (untuk Pemilu 2014), PKS pun bereaksi keras dengan mengajak partai-partai kecil lainnya di parlemen untuk membentuk poros tengah sebagai kekuatan perlawanan. Namun, setelah PDI-P dan Golkar malah mengusulkan angka yang lebih tinggi menjadi 5 persen, dan Golkar balik mengancam, sikap PKS pun berubah. “Lebih baik kita menyimak dulu dengan tenang penjelasan pemerintah tentang usulannya. Kita kedepankan rasionalitas dalam pembahasannya untuk memahami dasar pemikirannya. Tidak ada alasan untuk tergopoh-gopoh,” tutur Ketua F-PKS Mustafa Kamal ketika ditanya para wartawan (DetikNews, 1 November 2011). Ternyata, PKS hanya melancarkan gertak sambal belaka.

Teman seiring yang berbeda kepentingan

Pers mengungkapkan hubungan antara PKS dengan kubu Partai Demokrat dalam koalisi pemerintahan  SBY sudah lama berlangsung dengan tidak mulus. PKS yang seharusnya menjadi kawan seiring-seperjalanan, kerap berseberangan dalam berbagai hal. Misalnya, dalam kasus bantuan Bank Century, PKS adalah inisiator panitia khusus yang nemojokkan Partai Demokrat. Buntutnya, letter of credit (L/C) PT Selalang Prima di Bank Century diusut, dan Muhammad Misbakhun, politisi PKS yang terlibat sebagai inisiator panitia khusus, sekaligus pemilik perusahaan yang diusut tersebut, jadi terpidana (3/3/2010).

Pada kasus lain, Sekretariat Gabungan Partai Koalisi menolak angket mafia pajak, tetapi PKS di rapat DPR justru ikut mendukung hak angket tersebut (22/2/2011). PKS juga mendukung boikot pembahasan RAPBN 2012 sebagai akibat dari pemeriksaan anggota Badan Anggaran DPR yang menyangkut nama Tamsil Linrung, Wakil Ketua Badan Anggaran dari PKS. Tamsil disebut-sebut terlibat dalam kasus suap Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (22/9/2011).

Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq mengajukan wacana penggabungan partai tengah anggota koalisi, yaitu PKS, PKB, PAN, dan PPP, setelah menilai koalisi dikuasai oleh Partai Demokrat dan Golkar (20/12/2010). Karena itu, pada saat penanda-tanganan kontrak baru Sekretariat Gabungan jika ada anggota koalisi yang tidak sepaham dengan kebijakan pemerintah, diminta agar mundur (23 5/2011). PKS tidak menunjukkan gejala untuk mundur, padahal sebelumnya ‘juru bicara’ Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan PKS paling pertama diminta keluar dari Sekretariat Gabungan (26/3/2011).

Perbedaan pendapat pun sering terjadi internal PKS, sehingga nampaknya partai ini menggunakan strategi dua kaki untuk mencari posisi yang menguntungkan mereka.

Mengejarsejahtera meninggalkan tujuan semula sebagai partai tarbiyah

PKS termasuk salah satu fenomena keberhasilan partai baru menguasai percaturan politik di Indonesia, setelah Partai Demokrat yang berhasil menguasai pemerintahan. Bayangkan, sebagai pendatang baru dengan nama Partai Keadilan (PK) pada Pemilu 1999 hanya berhasil meraih 1,36 persen suara nasional (1,4 juta), setelah berganti nama menjadi PKS pada Pemilu 2004 sebagai persyaratan  keikutsertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) sesuai dengan UU Pemilu Nomor 3 Tahun 1999 sebesar 2 persen, perolehan suaranya naik menjadi 7,34 persen (8,3 juta), dan pada Pemilu 2009 meraih 7,89 persen (8,2 juta). Sedangkan partai Islam lainnya pada umumnya menunjukkan penurunan perolehan suara.

MASSA PENDUKUNG PKS. “Dengan tampilnya Helmi Aminuddin, Mursyid ‘Aam Jamaah Tarbiyah (1991-1998), menjadi Ketua Majelis Syuro PKS, muncul desas-desus ada hubungan PKS dengan NII. Kalau dilihat dari silsilah, Helmi adalah anak dari Danu Muhammad Hasan, mantan komandan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang kemudian dimanfaatkan oleh Bakin untuk mengemboskan partai Islam”. (foto dpw-pks jabar)

Mulanya sekitar tahun 1980-an, muncul gerakan tarbiyah, sebuah gerakan dakwah yang berbasis masjid kampus perguruan tinggi umum, mengajak umat Islam kembali ke Al Qur’an dan Hadits, karena mereka mengganggap modernisasi telah mencemari agama Islam. Gerakan tarbiyah tersebut kerap juga disebut sebagai Ikhwan, karena akrabnya aktivis tarbiyah itu dengan manhaj (konsep) gerakan Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam radikal di Mesir yang beroposisi terhadap pemerintah, dan menyebar ke seluruh dunia. Hanya saja, gerakan tarbiyah itu justru menolak dikatakan sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin, meski mengakui terinspirasi. Berbeda dengan Hizbut Tahrir (Hizb ut-Tahrir), gerakan Islam politik fundamentalis lain, sempalan dari Ihwanul Muslimin di Palestina yang juga meragukan akidah-akidah yang telah diyakini oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, dengan terang-terangan menyebutkan organisasi mereka sebagai Hizbut Tahrir Indonesia.

Walaupun Karen Amstrong, penulis buku History of God dan The Battle for God mengatakan gerakan fundamentalis berkembang menyertai masyarakat modern bergaya Barat (Koran Tempo, 21 Oktober 2001), namun banyak kalangan pengamat yakin, bahwa gerakan tarbiyah tersebut adalah usaha dari pemerintah untuk menggemboskan partai Islam dengan menghidupkan kembali isu NII (Negara Islam Indonesia). Dengan tampilnya Helmi Aminuddin, Mursyid ‘Aam Jamaah Tarbiyah (1991-1998), menjadi Ketua Majelis Syuro PKS, muncul desas-desus ada hubungan PKS dengan NII. Kalau dilihat dari silsilah, Helmi adalah anak dari Danu Muhammad Hasan, mantan komandan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang kemudian dimanfaatkan oleh Bakin untuk mengemboskan partai Islam. Namun, hal itu dibantah oleh Soeripto, salah seorang pendiri PKS yang dikenal sebagai orang Bakin.

“Saya katakan hal itu (PKS ada link dengan NII) tidak benar. Sejak awal kita tidak pernah bersentuhan dengan NII. Soal keterlibatan Ketua Majelis Syuro PKS dengan NII, karena anaknya Danu, saya kira tidak ada hubungannya, sebab beliau sejak SMP sudah disekolahkan di luar negeri,” kata Soeripto yang dulu kala pada masa Soekarno adalah aktivis Gemsos, kepada wartawan, usai menghadiri The International Conference On Family In Islamic World di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika Kota Bandung, Sabtu (7/5) (RimaNews, Bandung,  Sabtu, 7 Mei 2011).

Kepada berbagai media Soeripto pernah menceritakan dengan gamblang mengenai riwayat hidupnya dalam dunia intelejen. Sekalipun sudah mengaku menjadi mantan sejak tahun 1970, akan tetapi beberapa sumber menyebutkan Soeripto tetap mangkal di kantor Bakin. Seperti diketahui, Bakin (Badan Koordinasi Intelejen Negara), lembaga intelejen resmi pada masa Orde Baru yang membawahi semua lembaga intelejen lain. Dengan pengangkatannya sebagai Ketua Tim Penanganan Masalah Khusus Kemahasiswaan DIKTI/Depdikbud (1986-2000), Soeripto dengan mudah mengembangkan gerakan tarbiyah di masjid kampus. Dengan alasan mengendalikan radikalisme, ia membentuk jaringan organisasi radikal Islam baru yang berada di bawah pembinaan dan pengawasan intelejen, sebagai tandingan dari kalangan remaja masjid dan gerakan kampus.

Berlanjut ke Bagian 2

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (2)

KETIKA melapor kepada Ahmad Yani, beberapa jam kemudian pada hari Kamis petang 30 September 1965 itu, selain menyampaikan laoran pertemuannya dengan Sudisman dan Aidit tiga hari sebelumnya, Sugandhi juga menyampaikan pembicaraannya dengan Soekarno pagi itu. Siangnya Sugandhi sebenarnya berusaha bertemu langsung dengan Ahmad Yani, tapi tidak berhasil karena Yani ada acara di luar Markas Besar AD, sehingga malamnya barulah ia bisa melapor dan itu hanya per telepon. Itupun, pada mulanya telepon Sugandhi hanya ditampung oleh ajudan, karena Yani sedang menerima tamu, Mayjen Basoeki Rachmat. Di kalangan kolega dan atasan, Sugandhi dikenal sebagai seorang yang banyak humor. Kedekatannya secara pribadi dengan Soekarno diketahui dengan baik oleh para kolega dan atasan, termasuk Yani. Meskipun kerap ‘usilan’ dan ‘bandel’ ia termasuk disayangi oleh Soekarno. Apakah pengenalan Yani terhadap Sugandhi itu, mempengaruhi daya dan cara cerna Yani terhadap apa yang disampaikan Sugandhi ?

SOEKARNO-OMAR DHANI-AHMAD YANI. “..saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi mengenai dirinya, dan masih meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengenadlikan PKI” (Repro).

Menurut Sugandhi, saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi PKI mengenai dirinya, dan meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengendalikan PKI. Bahwa Soekarno akan menegur atau mendamprat dirinya, Yani sudah tahu dan siap, karena ia sudah mendapat pemberitahuan dari istana untuk menghadap Panglima Tertinggi Jumat pagi 1 Oktober 1965. Pemberitahuan disampaikan oleh Komisaris Besar Polisi Sumirat, salah satu ajudan Presiden. Perlu dicatat bahwa secara samar-samar, sebenarnya Yani telah pula mendengar informasi bahwa ada kemungkinan Soekarno akan mencopotnya dari jabatan Menteri/Pangad. Dan sebuah informasi amat rahasia yang juga diterima Yani, bahwa setelah itu ia akan ‘dilempar’ ke atas, meskipun belum jelas ke sebelah mana. Apakah akan mengulangi pola mutasi sebelumnya, sekali lagi akan menggantikan posisi Abdul Harris Nasution, namun dalam kadar kewenangan lebih lemah ? Menurut Drs Achadi, salah seorang menteri dalam kabinet Soekarno, Yani akan diangkat menjadi Waperdam IV suatu posisi baru yang diciptakan Soekarno khusus untuk Achmad Yani.

Berdasarkan pembicaraan per telepon dengan Yani, saat itu Sugandhi mendapat kesan, rasa percaya diri Yani masih cukup kuat sepanjang hubungannya dengan Soekarno. Tentang ucapan-ucapan Sudisman dan Aidit yang katanya akan memukul dan memberi pelajaran pada para pimpinan Angkatan Darat, dinyatakan Yani sebagai provokasi dan pancingan. Untuk apa? Agar Angkatan Darat mengambil tindakan terhadap PKI untuk kemudian dimanfaatkan sebagai momentum mendiskreditkan Angkatan Darat dan dipersalahkan Soekarno. Meskipun pada mulanya Sugandhi pun tidak punya pikiran ‘berat’ mengenai ucapan Sudisman dan Aidit, tanggapan Yani mengenai hal itu, lagi-lagi dianggap Sugandhi sebagai tanda terlalu percaya diri. Tapi tentu saja tak ada lagi yang bisa lebih jauh dilakukannya atas sikap sang Panglima Angkatan Darat itu. Dengan Sugandhi petang itu, Yani tak menyinggung telah adanya laporan-laporan intelijen mengenai rencana-rencana gerakan dalam waktu dekat, dari pihak PKI misalnya, meskipun Yani dengan nada biasa saja sempat mengatakan “kita harus berhati-hati” terhadap PKI dan kawan-kawannya yang mengelilingi Pemimpin Besar Revolusi. Padahal, di antara laporan intelijen yang disampaikan Asisten I Intelijen Mayor Jenderal Soewondo Parman beberapa waktu sebelumnya, ada satu bagian yang semestinya berkategori sangat penting, yakni rencana suatu gerakan, yang DDaynya adalah tanggal 19 atau 20 September 1965, didorongkan oleh PKI untuk mengeliminasi sejumlah perwira teras Angkatan Darat. Adalah menarik, bahwa dalam daftar tersebut tercantum pula nama Mayjen Soeharto, Mayjen Mursjid dan Brigjen Sukendro –yang kemudian ternyata tak disentuh sama sekali.

Sebenarnya, bagi Yani laporan Sugandhi pada 30 September 1965 itu, adalah laporan yang sepenuhnya ‘basi’, karena bahkan laporan Suwondo Parman yang menyebutkan D-Day 18 atau 20 September telah berlalu sepuluh hari tanpa ada kejadian apa pun. Sedangkan laporan Sugandhi, secara objektif bisa saja dianggap kurang masuk akal, karena apakah Sudisman dan Aidit bisa begitu naif menyampaikan rencana gerakan mereka begitu saja? Lagipula, terminologi dalam ‘dua-tiga hari ini’ yang disampaikan Sugandhi itu, jauh lebih tidak definitif tentang timing dibandingkan laporan Asisten Intelijen, Mayor Jenderal Soewondo Parman. Asisten intelijen ini juga sempat melaporkan desas-desus tentang rencana penculikan sejumlah jenderal. Soewondo Parman menerima laporan ini antara lain dari Brigjen Yoga Soegama, perwira yang ditarik Pangkostrad Soeharto dari pos atase pertahanan Kedutaan Besar RI di Beograd Jugoslavia. Mayor Jenderal Soewondo Parman, yang meminta dukungan bukti dari laporan Yoga itu, menganjurkan Yoga untuk mencari bukti setelah Yoga menyatakan belum punya bukti. Yoga menjanjikan akan menyelidiki lebih jauh. Tapi sepanjang yang dapat dicatat, tidak lagi pernah kembali melapor kepada S. Parman membawa bukti-bukti, sampai penculikan ternyata betul-betul terjadi 1 Oktober 1965 dinihari.

Selain memberi informasi, justru menurut Soebandrio dalam memoarnya (‘Kesaksianku tentang G30S’, 2000) Yoga juga menyampaikan pesan Soeharto agar Soewondo Parman untuk berhati-hati sehubungan dengan isu penculikan. Terhadap penyampaian pesan ini, Soebandrio memberikan konotasi tertentu terkait dengan analisa pribadinya mengenai adanya peranan khusus Mayjen Soeharto dalam terjadinya Peristiwa 30 September 1965. Soebandrio menggambarkan adanya klik khusus yang terdiri dari tiga perwira eks Diponegoro, terdiri dari Mayjen Soeharto, Brigjen Yoga Soegama dan Kolonel Ali Moertopo. Mereka ini sejak awal telah ‘bergiat’ dalam pengaturan posisi dan kepentingan khusus dalam kekuasaan, yang bermula antara lain dalam soal jabatan Panglima Kodam Diponegoro, beberapa tahun yang lalu.

Beberapa waktu sebelumnya, dalam suatu pertemuan langsung dengan Sugandhi, Yani juga sempat menyampaikan dengan nada serius –lebih tepatnya menyampaikan kejengkelan– tentang adanya perwira-perwira Angkatan Darat yang mencantelkan diri ke mana-mana, termasuk ke partai-partai politik, seperti pada PKI misalnya, karena ambisi pribadi. Termasuk yang mengincar jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam bahasa Jawa, Yani menyampaikan juga agar Sugandhi jangan seperti beberapa perwira yang kebetulan bisa dekat ke Panglima Tertinggi, lalu menjelek-jelekkan pimpinan Angkatan Darat dengan harapan bisa mendapat tempat. Waktu itu, Yani sempat menyebut beberapa nama.

Posisi Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam rangka pertarungan kekuasaan di seputar Soekarno kala itu, posisi pimpinan Angkatan Darat memang merupakan salah satu sasaran incaran, baik berdasarkan strategi politik, maupun perkawinan kepentingan politik dengan ambisi pribadi. Terkait nama Soeharto, menurut penuturan Siti Suhartinah Soeharto, pernah ada –lebih dari sekali, dengan cara yang berbeda-beda– yang menyampaikan semacam ‘pancingan’, “bagaimana kalau pak Harto diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat?”. Itu, karena sebagai Panglima Kostrad, Jenderal Soeharto selalu mewakili Menteri Pangad dalam berbagai acara, bilamana Yani berhalangan. Pelantikan Brigjen Soemitro sebagai Panglima Mulawarman Februari tahun 1965 di Kalimantan Timur umpamanya, dilakukan Mayjen Soeharto mewakili Menteri Panglima Angkatan Darat. “Itu kami anggap tidak mungkin, pak Yani kan masih ada”, demikian ibu Tien, “dan apa dikira menjadi Pangad itu gampang ? Saya sendiri, sebagai isteri, terus terang merasa tidak sanggup. Saya sudah merasakan setiap kali pak Yani pergi, pak Harto itu mewakili, sehingga saya pun ikut menjalani sebagai pendamping wakil Pangad”. Sebenarnya, memang ada semacam tatacara yang merupakan kebiasaan dan disepakati, antara Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan Mayor Jenderal Soeharto, bahwa dalam keadaan tertentu bila Menteri Pangad berhalangan maka Panglima Kostrad –dahulu Kostrad dikenal sebagai Tjaduad, Cadangan Umum AD– yang akan mewakili sebagai pimpinan Angkatan Darat. Suatu kebiasaan yang merupakan kelanjutan kebiasaan masa masih berlakunya SOB. Presiden Soekarno pun mengetahui hal ini. Bahwa kemudian, dalam konteks tersebut Soeharto kerap disebut-sebut sebagai pengganti Yani kelak, tentulah tidak mengherankan. Selain itu, beberapa jenderal AD lainnya merasa bisa membaca ‘bahasa tubuh’ Soeharto dan menyimpulkan bahwa keinginan seperti itu ada juga pada diri Soeharto betapa pun samarnya. Sebenarnya, Mayor Jenderal Soeharto adalah seorang yang tak mudah ‘dibaca’, apalagi dengan sekedar melihat ekspresi wajahnya dan atau sekedar berdasarkan ucapannya secara harfiah.

Namun, di samping nama Soeharto, sampai September 1965 itu, beredar pula sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai calon kuat untuk menjadi Menteri Panglima AD, terutama karena kedekatan secara pribadi dan langsung dengan Soekarno, ataupun karena ‘dukungan’ kekuatan politik aktual. Beberapa tokoh PKI berkali-kali menyampaikan nama Mayor Jenderal Pranoto sebagai kandidat. Sementara itu Soekarno sendiri pernah berbicara dengan nada menjanjikan jabatan Menteri Panglima AD itu kepada beberapa jenderal yang memegang komando, di antaranya yang paling menonjol adalah Mayor Jenderal Ibrahim Adjie yang saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, salah satu divisi terkemuka dan paling diperhitungkan kala itu. Nama Gatot Soebroto, yang pernah jadi Wakil Kasad, yang punya kedekatan khusus dengan Soekarno, jauh hari sebelumnya juga pernah disebut-sebut. Hanya saja, Letnan Jenderal Gatot Soebroto meninggal tahun 1962. Tapi menjelang akhir September 1965, muncul nama ‘baru’, ketika beredar kuat berita bahwa Soekarno akan mengangkat Mayor Jenderal Mursjid sebagai Menteri Pangad yang baru dan hal itu akan disampaikan Soekarno kepada Yani yang menurut jadwal menghadap pada 1 Oktober pagi.

Nama-nama yang disebut sebagai calon pengganti Yani, pada umumnya diketahui tidak punya kedekatan dengan Yani, untuk tidak secara terbuka menyebutnya sebagai rival Yani selama beberapa tahun terakhir. Mayor Jenderal Soeharto misalnya, tak punya faktor kedekatan subjektif dengan Yani, kecuali kedekatan objektif yang semata-mata dalam kerangka masalah kedinasan. Bahkan diantara kedua jenderal itu ada ganjalan yang berasal dari masa lampau. Tatkala menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto terlibat kasus yang dinilai sebagai penyimpangan –barter gula dengan beras ke Singapura– yang dilakukan bersama pengusaha Liem Soei Liong dan Bob Hasan. Dalam pembelaan dirinya, Soeharto menyebutkan dana hasil barter adalah untuk membiayai beberapa kebutuhan Kodam, antara lain untuk kesejahteraan prajurit, tetapi laporan dari beberapa perwira bawahannya menyatakan tidak demikian. Yani yang waktu itu menjadi salah satu Asisten Kasad, amat marah dan mengusulkan kepada Kasad Nasution agar Soeharto dipecat. Bahkan Yani digambarkan sempat melakukan sentuhan fisik. Pemecatan urung, padahal naskah Surat Keputusan itu –yang diajukan Kasad Nasution– sudah di meja Presiden Soekarno, karena Wakil Kasad Mayjen Gatot Soebroto maju membela Soeharto dan menyatakan Soeharto masih bisa dibina. Nyonya Siti Suhartinah dikabarkan ikut ‘berjuang’, menemui Gatot Soebroto memohon bantuan untuk menyelamatkan karir suaminya, dan berhasil.  Soeharto hanya harus melepaskan jabatannya sebagai Panglima Diponegoro dan masuk pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) Bandung, yang kala itu dipimpin Brigjen (kemudian, Mayjen) Soewarto.

Pranoto dan Mursjid, yang juga disebutkan namanya untuk posisi Panglima AD, jelas ada pada posisi dan ‘aspirasi politik’ yang berseberangan dengan Yani. Sedangkan menyangkut Ibrahim Adjie, situasinya tak terlepas dari rivalitas yang cukup kuat di antara tiga divisi terkemuka di pulau Jawa –bahkan di seluruh Indonesia– yakni Siliwangi-Diponegoro-Brawidjaja, meskipun umumnya berlangsung di bawah permukaan. Tapi pada tahun 1963-1964 sampai pertengahan 1965, Siliwangi sedang di atas angin karena keberhasilannya dalam mengakhiri pemberontakan DI-TII berturut-turut di Jawa Barat dan kemudian Sulawesi Selatan. Di Jawa Barat Kartosoewirjo tertangkap dan di Sulawesi Selatan Kahar Muzakkar disergap dan tertembak mati 4 Pebruari 1965. Bahkan atas instruksi Soekarno kepada Yani, Divisi Siliwangi diberikan penghargaan Sam Karya Nugraha, yang penyerahannya dilakukan di Bandung 25 Agustus 1965.

Berlanjut ke Bagian 3

 

Pancasila dan Piagam Jakarta (2)

UNTUK seberapa lama, Kahar Muzakkar dan para gerilyawan itu bergerak sebagai ‘barisan sakit hati’, tahun 1951-1952, tanpa suatu ideologi perjuangan. Motivasi perjuangan Kahar dan kawan-kawan adalah kebencian terhadap dominasi Jawa dan Minahasa yang menduduki seluruh posisi penting dalam jabatan sipil maupun militer di Sulawesi Selatan. Sesuatu yang tak terlepas dari permainan politik dan kekuasaan di tingkat pusat, saat di mana semua golongan sedang bergulat untuk menetapkan posisinya sendiri di dalam negara baru ini. Ketika bergerak di hutan-hutan, Kahar didekati sejumlah kader komunis agar memilih ideologi tersebut sebagai dasar perjuangan. Namun akhirnya ia memilih untuk bergabung dengan DI/TII dan NII SM Kartosoewirjo, terutama karena para anakbuahnya menolak digunakannya ideologi kiri itu. Meskipun pendekatan intensif dengan SM Kartosoewirjo telah dilakukan sejak bulan-bulan terakhir 1952, barulah pada bulan Agustus 1953, Kahar Muzakkar memproklamirkan pasukannya sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang berbasis di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Begitu bergabung dengan NII, kader-kader komunis yang selama ini mencoba ‘membina’nya dieksekusi mati.

Untuk menghadapi perlawanan Kahar Muzakkar di bawah bendera NII, pemerintah pusat mengirim pasukan-pasukan TNI dari Jawa Timur (Brawijaya) dan Jawa Tengah (Diponegoro) yang beberapa perwiranya berkecenderungan berhaluan kiri dan kebetulan terdiri dari kaum abangan. Kekerasan yang mengarah kejam, yang kerapkali diperlihatkan pasukan-pasukan dari Jawa ini, bukan hanya kepada pasukan DI/TII tetapi juga kepada rakyat pedalaman Sulawesi Selatan, merupakan persoalan baru yang makin mengobarkan kebencian kesukuan, yang untuk sebagian justru menguntungkan Kahar Muzakkar. Namun karena pasukan DI/TII seringkali juga bersikap keras dan kejam terhadap rakyat yang dituduh membantu TNI, maka pada hakekatnya terjadi perang segitiga: TNI-DI/TII-Rakyat. Selain itu secara internal, juga seringkali terjadi bentrokan bersenjata antara kesatuan-kesatuan TNI itu sendiri, yakni antara ‘pasukan Jawa’ versus ‘pasukan Bugis-Makassar’, atau bahkan antar batalion sesama Sulawesi Selatan. Kita bisa melihat bahwa persoalan agama bukan satu-satunya alasan dan bukan persoalan utama yang melatarbelakangi pertengkaran di Sulawesi Selatan, melainkan juga masalah kepentingan kekuasaan dan masalah kesukuan yang bercampuraduk.

Sebelum pasukan Kahar menjelma menjadi DI/TII, situasi sosial-politik Sulawesi Selatan tak kalah rumitnya. Menarik untuk meminjam sebuah pemaparan Barbara Sillas Harvey dalam Rebellion, berikut ini. Sebulan setelah Peristiwa 17 Oktober 1952 di Jakarta, tepatnya 16 November 1952, menurut Barbara, Letnan Kolonel Warouw sebagai Kepala Staf TT-VII (Indonesia Timur dengan kedudukan di Makassar) mendaulat komandan Jawa, Kolonel Gatot Soebroto, yang telah menegaskan sokongannya pada Kolonel AH Nasution serta tantangannya terhadap Presiden Soekarno. Tindakan Warouw didorong oleh Soekarno, dan terlihat setidak-tidaknya mendapat sokongan diam-diam dari Gubernur Soediro (orang Jawa dan anggota PNI).

Reaksi rakyat di Makassar atas tahanan rumah  bagi Gatot dan tahan asrama bagi polisi militer Jawa yang cukup besar (CPM), menangkap inti dimensi daerah dalam peristiwa ini: “Orang-orang Jawa dilucuti orang Manado”. Sokongan perwira-perwira Minahasa kepada Warouw tampaknya teguh, baik di antara perwira-perwira TT-VII di Makassar maupun di antara mereka yang bertugas pada RI-24 di Manado. Perwira-perwira Sulawesi Selatan menyokong Gatot atau paling kurang, tidak mau terlibat. “Pemihakan ini bisa dijelaskan dari segi kepentingan-kepentingan tertentu para perwira dari kedua daerah pada ketika itu. Perwira-perwira Minahasa bangga atas warisan militer dari daerah mereka, tetapi menyadari fakta bahwa sebagai suatu minoritas Kristen yang tadinya pernah disenangi Belanda, mereka sering dicurigai oleh mayoritas Islam. Mereka mungkin menganggap pengangkatan Gatot sebagai panglima merupakan suatu ancaman campur tangan Jawa ke dalam suatu wilayah, yang mereka yakini semestinya sebagai daerah mereka. Mereka juga mungkin takut pada suatu persekongkolan orang-orang Jawa dan Sulawesi Selatan terhadap mereka”.

Perwira-perwira Bugis dan Makassar, pada pihak lain, berjumlah lebih kecil, dan pada umumnya berpendidikan lebih rendah. Mereka tidak bisa mengharap ketika itu akan dapat bertahan tanpa bantuan dari saingan mereka dari utara. “Mereka mungkin telah berpikir menurut kepentingan mereka sendiri bekerjasama dengan orang-orang Jawa untuk menghalangi dominasi orang-orang Minahasa di TT-VII”.

Salah seorang tokoh militer asal Sulawesi Selatan, Mayor Muhammad Jusuf, perwira pertama di daerah itu yang masuk Sekolah Staf dan Komando AD di Bandung dan juga pertama kali dilatih di luar negeri (di Fort Benning, AS) menganggap kekacauan berlarut-larut yang antara lain diiringi masalah kesukuan di Sulawesi Selatan membahayakan persatuan Indonesia. Sementara itu, fakta bahwa pasukan-pasukan yang ditugaskan ‘membasmi’ pemberontakan di Sulawesi Selatan adalah pasukan-pasukan Jawa, dieksploitir oleh Kahar Muzakkar dengan menggunakan retorika anti Jawa untuk menarik dukungan rakyat setempat bagi perjuangannya. Kahar mengobarkan retorika bahwa hendaknya Sulawesi Selatan dipimpin dan diatur oleh putera-putera daerah sendiri. In terutama ditujukan kepada orang Jawa, tetapi sekaligus juga ditujukan kepada orang-orang Minahasa yang berbeda agama, yang mendominasi jabatan-jabatan sipil dan militer di Sulawesi Selatan.

Muhammad Jusuf sendiri ikut mengembangkan pendapat bahwa sebaiknya putera daerah lah yang mengurus daerahnya sendiri. Ketika pulang dari pendidikan di Fort Benning AS, pada tahun 1956, ia pernah dibentur pernyataan dari pemegang baru komando militer di Sulawesi Selatan, Kolonel Herman Nicolas (Ventje) Sumual, bahwa tak ada posisi yang terbuka bagi Jusuf di TT-VII.

Menurut pengakuan Kahar Muzakkar kepada orang-orang dekatnya selama bergerak di hutan-hutan Sulawesi Selatan, ia pernah menyurati Presiden Soekarno mengusulkan mengeluarkan dekrit mengganti dasar negara Pancasila dengan falsafah Ketuhanan berdasarkan Al Qur’an maupun kitab suci agama lainnya yang berlaku bagi pemeluknya masing-masing. Ini mirip dengan apa yang dimaksudkan Piagam Jakarta. Tak ada saksi sejarah yang bisa menguatkan keberadaan surat Kahar kepada Soekarno ini. Mungkin saja surat itu pernah dilayangkan setelah Kahar menyatakan bergabung dengan DI/TII, tapi tipis kemungkinan bahwa itu dilakukan sebelumnya, karena sewaktu berada di Pulau Jawa, Kahar lebih banyak bergaul dengan perwira-perwira berhaluan kiri –dan sempat sedikit terpengaruh– daripada dengan kalangan berlatarbelakang keagamaan.

Kalau ada latar belakang Islam, itu justru diperoleh Kahar semasa bersekolah di Sekolah Guru Islam Muhammadiyah tahun 1937-1940. Muhammadiyah dikenal kala itu sebagai organisasi Islam pembaharu. Sejenak kembali ke daerah kelahirannya Luwu, Kahar yang lahir 24 Maret 1921 dengan nama La Dommeng di desa Lanipa tak jauh dari kota Palopo, sempat mengajar di Sekolah Muhammadiyah setempat. Karena suatu hal, Kahar di-‘persona non grata’-kan di daerahnya, sehingga ia memutuskan kembali ke Surakarta tahun 1943. Dan pada waktu revolusi bersenjata dimulai di masa pendudukan Jepang dan setelah proklamasi 1945, Kahar menggabungkan diri dengan kalangan perjuangan di sana. Ia aktif di KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) sebagai Sekertaris. Tahun 1948 ia sempat diangkat sebagai Wakil Komandan Brigade XVI. Sewaktu ditugaskan ke Sulawesi Selatan Juni 1950 untuk menyelesaikan soal gerilyawan (kasus CTN), Kahar adalah Komandan Komando Group Seberang –penamaan untuk pasukan-pasukan non-Jawa.

KH Achmad Marzuki Hasan, mantan Kepala Perwakilan Kementerian Penerangan DI/TII Sulawesi Selatan menceritakan kepada Majalah Islam Sabili (Juli 2004), ketika bergerak di hutan, Kahar Muzakkar pernah mengatakan padanya bahwa seandainya Piagam Jakarta diberlakukan, maka Kahar takkan masuk hutan. Penuturan ini sedikit artifisial karena faktanya Kahar masuk hutan oleh persoalan lain yang terkait ‘sakit hati’ dan barulah setelah tiga tahun dalam hutan ia bergabung dengan DI/TII dan NII pimpinan SM Kartosoewirjo.

DARI seluruh catatan sejarah tentang Negara Islam Indonesia, kita bisa melihat bahwa tokoh yang boleh dikata bergerak merebut kekuasaan berdasarkan keyakinan ideologis, hanyalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Itupun sedikitnya masih dilatarbelakangi kekecewaan kegagalan dalam persaingan posisi di tubuh angkatan bersenjata di awal kemerdekaan. Dalam pada itu, Daud Beureueh, Ibnu Hadjar dan Kahar Muzakkar adalah tokoh-tokoh yang beralih ke perjuangan atas nama Islam karena pengalaman pribadi berdasarkan kekecewaan kepada kekuasaan negara per waktu itu. Daud Beureueh berkali-kali ‘kembali’ ke pangkuan negara melalui negosiasi. Dalam Pemilu 1971 ia digunakan dalam kampanye Golkar. Ibnu Hadjar menyerahkan diri. Kahar Muzakkar pun berkali-kali terlibat perundingan dengan pemerintah, namun selalu gagal, dan akhirnya tertembak mati 3 Februari 1965. Tetapi adalah menarik bahwa sentimen keagamaan itu hingga kini tetap dipakai sebagai senjata untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta, atau cita-cita mendirikan Negara Islam, atau setidaknya memasukkan syariah sebagai bagian dalam pengaturan negara.

SM KARTOSOEWIRJO. “Dari seluruh catatan sejarah tentang Negara Islam Indonesia, kita bisa melihat bahwa tokoh yang betul-betul bergerak sepenuhnya merebut kekuasaan berdasarkan keyakinan ideologis, hanyalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Dalam pada itu, Daud Beureueh, Ibnu Hadjar dan Kahar Muzakkar adalah tokoh-tokoh yang beralih ke perjuangan atas nama Islam karena pengalaman pribadi berdasarkan kekecewaan kepada kekuasaan negara per waktu itu”.

Bila SM Kartosoewirjo tetap menjadi seorang die hard yang menebus keyakinannya dengan nyawanya di tahun 1962, banyak tokoh baru dengan hanya sedikit pengecualian, tidak berjuang sampai mati, melainkan hanya sampai saat kalangan penguasa berhasil melakukan negosiasi yang memberi keuntungan duniawi bagi mereka –harta, kedudukan dan yang semacamnya. Pengikut-pengikutnya dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, banyak berkolaborasi dengan kalangan kekuasaan negara, entah sebagai bagian dari operasi intelejen, entah sebagai bagian dari pembinaan politik dengan imbalan fasilitas atau yang semacam itu. Gerakan Aceh Merdeka berakhir dengan kompromi berupa NAD yang memberi kesempatan tokoh-tokoh GAM turut serta dalam kekuasaan setempat. Maka menarik untuk melihat lebih jauh, akan termasuk ke dalam kategori manakah Abu Bakar Ba’asyir dengan JI nantinya?

Pemerintah semestinya tak membiasakan diri melakukan ‘perdagangan politik’ semacam ini. Pemerintah sebenarnya tak perlu terlalu panik bila menghadapi berbagai move yang mengatasnamakan agama. Bila pemerintah awas dan teliti memberantas akar-akar permasalahan, dan tegas menegakkan hukum, masyarakat takkan terlalu ‘menderita’ dengan gangguan-gangguan semacam teror bom atau rekrutmen ala NII yang terjadi belakangan ini. Lain soal, kalau ada kalangan penguasa sendiri yang memanfaatkan situasi sebagai lahan keuntungan politik dan keuntungan finansial: Ada masalah, ada anggaran.

NAMUN, terlepas dari itu, ada suatu masalah jangka panjang yang serius. Saat ini, sangat terbatas tokoh kalangan kekuasaan yang memiliki pemahaman konseptual tentang apa yang dihadapi bangsa dan negara ini, maupun pemahaman tentang rasionalitas politik di Indonesia. Mereka lebih banyak ‘bermain-main politik’ daripada menjalankan politik sesungguhnya sebagaimana harusnya. Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia hingga kini, menurut Dr Marzuki Darusman SH, terdapat tiga perdebatan politik yang mengemuka dan yang membangun kerangka rasionalitas politik di Indonesia. Perdebatan-perdebatan ini untuk sebagian bertalian dengan pertanyaan-pertanyaan geopolitik internasional tentang pengenalan mengenai hakikat suatu negara atau pemerintahan di dunia. Pertama, apakah Indonesia adalah negara sekuler atau suatu negara di mana lembaga-lembaga agama tidak predominan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, apakah kita adalah negara majemuk atau multikultural. Ketiga, apakah kita adalah negara dan bangsa yang pada dasarnya berpaham sosial-demokrat atau liberal.

Tiga perdebatan definitif ini menggelar penalaran –interpretasi, justifikasi dan argumentasi– publik Indonesia. Jika politik rasional, maka dimungkinkan tindaklan-tindakan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dan beradab. Perdebatan-perdebatan itu bukanlah menggambarkan suatu tahap sejarah atau fase perkembangan bangsa Indonesia, dalam arti mempertanyakan apakah kita sudah atau akan menjadi negara atau bangsa yang semestinya kita ‘menjadi’. Artinya, apakah kita perlu menggali jauh ke masa lampau dan mendapatkan kembali apa yang diidentifikasi sebagai ‘ke-Indonesia-an’ kita, seperti yang diprakarsai oleh almarhum Nurcholis Madjid dalam upaya menasionalkan pemahaman agama? Atau, dapatkah akhirnya kita memandang keunikan kita sebagai bangsa dalam wujud prose ‘menjadi’ yang transformatif? Di sinilah Pancasila dapat dan perlu didayagunakan memenuhi peranannya yang ideologis. Peranan itu adalah menghubungkan kekuatan-kekuatan sosial dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan politik.