Tag Archives: Bob Hasan

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (4)

Realistis dan tidak realistis. TATKALA isu percukongan menghangat, akhirnya Presiden Soeharto pun ikut berbicara. Bagi Presiden Soeharto tak ada perbedaan pribumi dan non pribumi dalam pemanfaatan modal untuk pembangunan. “Tanpa pengerahan semua modal dan kekayaan yang ada dalam masyarakat, tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan-pembangunan seperti yang kita lakukan dewasa ini”. Ia meneruskan “Kita tahu, bahwa kekayaan dan modal-modal yang ada dalam masyarakat sebagian besar tidak berada di tangan rakyat Indonesia asli atau pribumi. Bukannya pemerintah tidak tahu, tapi bahkan menyadari resiko dan bahaya penggunaan modal-modal non pribumi dan asing. Tetapi, keinginan membangun hanya dengan mengerahkan potensi-potensi nasional pribumi saja, yang kita ketahui keadaannya memang belum mampu, tidaklah mungkin dan tidak realistis”.

MENGIRINGI LIEM SOEI LIONG DI PERJALANAN AKHIR. “Apapun yang telah terjadi, Liem Soei Liong telah pergi meninggalkan Indonesia 1998, dan kini takkan mungkin kembali lagi. Tahun 2012, Giam Lo Ong (malaikat pencabut nyawa dalam kepercayaan China) telah menunaikan tugas penjemputan, dan kini ia sudah membumi dalam artian sesungguhnya. Namun Liem Soei Liong, bagaimanapun juga telah memberi pelajaran berharga bagi para penguasa Indonesia, tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan para konglomerat”. (foto download reuters)

Selama seperempat abad sesudah 1970, Soeharto ‘membuktikan’ bahwa mengandalkan potensi pribumi saja memang ‘tidak realistis’. Maka, sejak 1970 itu ia tetap meneruskan mengandalkan usahawan non-pribumi untuk ‘pertumbuhan’ ekonomi. Entah karena hasil persaingan alamiah, entah karena topangan kebijakan Soeharto, terbukti dalam realitas bahwa pada tahun 1996 dari 25 konglomerasi pemuncak di Indonesia, 20 di antaranya milik pengusaha non-pri. Dari 5 yang tersisa, 2 adalah kepemilikan campuran pri-non pri, dan 3 pri. Dua dari tiga yang disebut terakhir adalah Group Humpuss milik Hutomo Mandala Putera, dan Group Bimantara milik Bambang Trihatmodjo-Indra Rukmana, dan satunya lagi Group Bakrie sebagai pribumi satu-satunya yang non-cendana. Sedang kepemilikan campuran, adalah Group Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (4)

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (1)

MESKI Liem Soei Liong lahir hampir 5 tahun lebih awal dan meninggal lebih lambat 4 tahun dari Jenderal Soeharto, keduanya seakan ditakdirkan hampir seumur hidup –sejak mula pertama bertemu di pertengahan tahun 50-an– bersama dalam kekuasaan negara di Indonesia. Satu dalam kancah kekuasaan politik dan pemerintahan, sedang satu lainnya dalam kekuasaan ekonomi. Minggu, 10 Juni 2012, kemarin, Liem Soei Liong yang juga dikenal sebagai Sudono Salim, meninggal dunia di Singapura. Menyusul Jenderal Soeharto,yang meninggal dunia lebih dulu pada 27 Januari 2008.

LIEM SOEI LIONG, ‘TELUR EMAS’. “Jenderal Soeharto mampu membuat orang-orang di lingkaran kekuasaannya tidak bersatu dan saling berlomba satu sama lain”. “Dengan ketrampilan tinggi dalam memainkan seorang ‘pangeran’ melawan ‘pangeran’ lainnya dan percaya akan perlunya suatu ‘ketegangan kreatif’ di antara para pembantunya, Soeharto menerapkan gaya divide et impera, pecah belah dan kuasai”. (foto download; suara pengusaha).

Sejak pertengahan tahun 1940-an, Liem Soei Liong –yang baru datang ke Indonesia di tahun 1937, saat berusia 21 tahun– selain berdagang kelontong dan menjual secara kredit, membantu memasok kebutuhan tentara nasional Indonesia. Untuk tentara, Liem Soei Liong memasok pakaian, obat-obatan, sabun, makanan sampai peralatan militer. Ini kemudian berlanjut dengan kegiatan membekali Divisi Diponegoro di tahun 1950-an yang berkedudukan di Semarang. “Seorang Letnan Kolonel yang bernama Soeharto mempunyai tugas mengurus suplai divisi itu”, tulis Ahmad D. Habir dalam buku Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto (1999). “Dalam urusan awal ini, antara orang Tionghoa imigran dan perwira pribumi, terletaklah benih kerjasama seumur hidup”.

Selama masa kerjasama awal di Divisi Diponegoro, Liem Soei Liong, pernah ‘pasang badan’ untuk Soeharto dalam soal dump truk. Tapi dalam peristiwa barter gula dari Jawa Tengah dengan beras dari Singapura, Kolonel Soeharto yang sudah menjadi Panglima Diponegoro hampir tersandung. Kolonel Soeharto dituduh melakukan penyimpangan barter gula-beras itu dengan bantuan Bob Hasan (The Kian Seng) –‘anak’ angkat Jenderal Gatot Soebroto– dan Liem Soei Liong. Dalam pembelaan dirinya, Soeharto menyebutkan dana hasil barter adalah untuk membiayai beberapa Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (1)

‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto (3)

DALAM setiap pergantian rezim kekuasaan, akan selalu ada manusia dengan peran Brutus. Meski tak selalu Brutus itu dengan sendirinya tak berguna. Brutus sendiri –dalam naskah Shakespeare– mengaku ikut menusukkan belati ke tubuh Julius Caesar justru karena kecintaan kepadanya. “Begitu besar cintaku kepadanya, sehingga aku tak ingin membiarkannya hidup sebagai seorang diktator tiran”. Mencegah kediktatoran, adalah suatu alasan yang idealistik. Tetapi anggota-anggota Senat yang berkonspirasi dalam pembunuhan Julius Caesar, 15 Maret 44 SM,  untuk sebagian juga adalah orang-orang yang mengkhianati rakyat dan menjadi kaya karena korup. Adalah Senat itu pula pada tahun yang sama, 44 SM, beberapa waktu sebelum konspirasi pembunuhan menetapkan Caesar sebagai penguasa seumur hidup. Apapun, bagi penyair besar abad 14 Dante, Brutus dan Cassius adalah pengkhianat. Maka dalam karya besarnya, Divina Commedia, Dante memberikan tempat bagi keduanya di kerak bumi yang terdalam dan gelap –neraka menurut versi sang penyair– bersama Judas Iskariot sang murid yang mengkhianati Jesus Kristus.

PRESIDEN SOEHARTO, BJ HABIBIE, JENDERAL WIRANTO, 21 MEI 1998. “Sejauh yang bisa dicatat, tindak-tanduk Jenderal Wiranto pada Mei 1998 itu, tidak pernah mendapat kejelasan resmi hingga kini, karena ia tak pernah dimintai pertanggunganjawab untuk itu. Dan ketika diminta memberi keterangan kepada TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Mei 1998 yang diketuai Marzuki Darusman, Jenderal Wiranto tidak bersedia”. (Foto Reuters/Enny Nurhaeni)

Permainan di zona abu-abu. Menjelang kejatuhan Soekarno, tak sedikit kaum Brutus yang muncul atau paling tidak, ada sejumlah orang yang dengan cepat melompat keluar dari kapal yang akan karam. Dan orang-orang seperti ini biasanya bisa terbawa kembali ke dalam rezim yang baru. Ketika Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, menyusun Kabinet Ampera I akhir Juli 1966, ia membiarkan beberapa nama yang masih dikehendaki Presiden Soekarno, terbawa dalam kabinet baru itu, sambil membawa juga tokoh-tokoh ex pendukung Bung Karno yang telah meloncat duluan dari kapal. Wartawan senior Mochtar Lubis ketika itu mengecam dan mengatakan, bagaimana mungkin kita membiarkan orang-orang yang pernah menjadi pendukung setia Bung Karno, kembali berada dalam kekuasaan. Mochtar Continue reading ‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto (3)

Menjadi Kaya Melalui ‘Jalan Parlementer’ dan ‘Wealth Driven Politic’ (2)

BILA dalam fase wealth driven economic lahir kelompok oligarki ekonomi, maka dalam situasi wealth driven politic tercipta partai-partai dengan praktek oligarki dipimpin dan dikendalikan oleh tokoh-tokoh oligarch. Dalam Indonesia merdeka, pelopor oligarki dalam kekuasaan negara tak lain adalah Ir Soekarno, yang memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri pada 1960-1965, pasca Dekrit 5 Juli 1959. Dilanjutkan oleh Jenderal Soeharto, khususnya pada 20-25 tahun terakhir masa kekuasaannya, yang kemudian keterusan dipraktekkan kalangan partai dan penguasa negara hingga kini. Hampir seluruh partai politik pasca Soeharto dipimpin oleh kaum oligarch, sebagaimana silih berganti presiden yang naik memerintah negara juga menampilkan diri sebagai sosok oligarch meskipun tak henti-hentinya beretorika mengenai demokrasi.

Sejajar dengan oligarki dalam politik, pada masa Soeharto menonjol pula oligarki dalam pembangunan ekonomi. Tetapi sejak masa Soekarno pun oligarki dalam kehidupan ekonomi sudah tampil melalui pengusaha-pengusaha yang punya kedekatan istimewa dengan sang pemimpin, antara lain Markam, Hasjim Ning, Dasaad dan Rahman Aslam. Saat kue hasil pembangunan makin membesar dari waktu ke waktu, kenikmatan terbesar hanya dibagikan kepada sejumlah orang tertentu yang memiliki hubungan kolutif dan nepotisme dengan pusat kekuasaan politik –yang juga sekaligus adalah pusat kekuasaan ekonomi. Pada babak ini antara lain muncul nama-nama Lim Soei Liong, Go Swie Kie, Yap Swie Kie (Sutopo Jananto), Nyoo Han Siang, Bob Hasan, Po Murdaya dan lain-lain sampai nama agak ‘baru’ seperti Prajogo Pangestu.

Pemerataan keadilan masa itu hanya ada pada dataran retorika, dan kalau pun ada program pemerataan, itu dilakukan dengan kadar paling minimal yang sekedar untuk meredam gejolak sosial. Tapi, penguasa cukup pandai, tidak membiarkan ada krisis pangan. Beras selalu di-ada-kan sekuat tenaga dengan harga yang dipastikan terjangkau kemampuan daya beli rakyat. Hal yang sama terjadi dalam pengelolaan bahan pokok lainnya yang ada dalam kelompok 9 kebutuhan pokok rakyat. Tidak seperti sekarang, kadangkala harga garam dan cabai pun tak mampu diatur.

Pada masa Soeharto, pengakumulasian dana besar hanya bisa dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu, terutama dalam konteks pemeliharaan kekuasaan yang makin oligarkis. Dilakukan berdasarkan penugasan tertentu, dan karenanya dari kacamata pengendali kekuasaan tidak dikategorikan sebagai korupsi yang menggerogoti kekuasaan meskipun esensinya tetap menggerogoti hasil pembangunan. Mereka yang mendapat ‘mandat’ dalam pengakumulasian dana, dalam batas tertentu yang cukup terkendali (oleh pucuk kekuasaan) diberikan kesempatan menikmati beberapa bagian sebagai semacam tindak ‘korupsi’ yang ditolerir. Mereka yang tak mendapat ‘mandat’ tetapi diam-diam sendirian menarik keuntungan, dan atau mengambil di luar batas nominal yang ditolerir bagi pelaku yang bukan kelompok atas, akan dibabat. Salah satu yang ditindak karena inisiatifnya melampaui batas, adalah Budiadji Kepala Depot Logistik Kalimantan Timur. Kemudian para pelaku ‘korupsi’ di kalangan birokrasi kelas menengah ke bawah, yang melakukan pungli (pungutan liar) dan semacamnya, bila dianggap melampaui batas, atau mendapat sorotan yang makin tajam, dibasmi oleh Opstib (Operasi Tertib) yang adalah ‘bagian’ Kopkamtib, di bawah Laksamana Laut Soedomo.

Salah satu hal yang menarik, dalam korupsi masa Soeharto, para anggota DPR-RI tidak memegang atau tidak diberi kesempatan cukup untuk ikut melakukan korupsi. Kalau ada ‘pembagian’ rezeki, itu datang dari departemen atau lembaga pemerintah yang menjadi partner kerja komisi-komisi kerja di DPR berupa berbagai ‘good will’ untuk membantu kemudahan para anggota menjalankan tugas di bidangnya masing-masing. Itu sebabnya, kala itu tidak dikenal korupsi ber’jamaah’ seperti yang terjadi di masa-masa pasca Soeharto, khususnya pada tahun-tahun belakangan ini. Apalagi memang, fungsi DPR saat itu tidak mencakup ‘wewenang’ persetujuan menentukan keputusan yang sebenarnya adalah ranah eksekutif, khususnya di bidang anggaran maupun wewenang fit and proper test yang bisa ‘diuangkan’. Selain itu, ada situasi berbeda dalam seluk beluk pendanaan partai politik di masa Soeharto. Dana untuk Golongan Karya praktis sepenuhnya diadakan dan dipasok oleh Dewan Pembina. Sementara dana untuk dua partai politik lain, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), boleh dikatakan juga sudah dialokasi melalui jalur dan berbagai cara khusus oleh pengendali kekuasaan, Presiden Soeharto. Dana-dana taktis untuk politisi penting, terutama kalangan pimpinan partai, pun sudah diatur dengan baik melalui para ‘penghubung’ khusus yang sekaligus bertugas ‘membina’ partai-partai di luar Golkar. Itu juga rahasianya, kenapa Soeharto secara relatif bisa mengendalikan politik dengan baik untuk seberapa lama.

KINI, pasca Soeharto, pola pendanaan politik mengalami perubahan signifikan mengikuti arus retorika pemberantasan korupsi. Partai-partai politik, mengambil inisiatif penggalian dana melalui kegesitan kader-kadernya dengan memanfaatkan berbagai kesempatan di kementerian-kementerian yang dipimpin oleh tokoh-tokoh partai mereka. ‘Kesempatan’ itu sendiri diciptakan by design, tidak lagi sekedar menunggu rezeki di tikungan. Pola ini belakangan disebutkan sebagai ‘mafia anggaran’, yang melibatkan operator ‘bebas’ partai sebagai play maker dengan mendayagunakan kader-kader partai yang ada di DPR dan ada di eksekutif. Sejumlah proyek besar berskala nasional maupun berskala daerah, dirancang lalu diajukan agar dibiayai melalui APBN dan kemudian diatur siapa swasta pelaksana berdasarkan kesiapan atau kesanggupan memberi bagian prosentase ‘keuntungan’.

Konspirasi anggaran semacam ini telah terungkap beberapa waktu belakangan ini, melibatkan terutama partai-partai politik yang memiliki share dalam kekuasaan pemerintahan. Dua partai yang sedang dalam sorotan dalam konteks tersebut saat ini, adalah Partai Demokrat dan PKB cq Muhaimin Iskandar. Tokoh yang namanya disebut terakhir ini, adalah tokoh muda yang fenomenal. Saat menjejakkan kaki ke dalam kancah politik nasional menjelang Pemilihan Umum 1999, ia terkisahkan sebagai politisi dengan ekonomi sederhana, tapi kini cukup menjulang. Sementara itu, partai-partai politik yang tak berada dalam posisi kekuasaan pemerintahan, harus puas dengan cipratan-cipratan gratifikasi, semisal dalam kegiatan fit and proper test di DPR. Mungkin tidak berskala spektakuler, tetapi toh mencapai nominal ratusan juta hingga miliaran rupiah, seperti halnya dalam kasus Miranda Goeltom. Untuk kasus ini dua di antara sejumlah partai yang paling disorot, yakni PDIP dan Partai Golkar, harus menerima kenyataan kader-kadernya masuk penjara –Panda Nababan cs serta Paskah Suzetta cs. Pilihan cara lainnya menuju sumber dana, adalah secara insidental ikut berkolaborasi dalam percaloan anggaran bersama partai lain yang in position. Dan sesuai tudingan Ketua MK Mahfud MD, ikut serta dalam jual beli penyusunan Undang-undang.

BENTLEY TAHUN 1920-AN, SUDAH MEMIKAT KAUM KAYA SEJAK 1921-1929. “Kepemilikan benda-benda mewah dan mahal adalah intisari dari hasrat konsumerisme yang terkait dengan prestige. Mobil mewah adalah simbol dan etalase yang mobile bagi hasrat prestigeous yang menjadi salah satu tali nyawa terpenting dalam konsumerisme….”. (download foto: vivanews)

Permainan-permainan ‘pinggiran’ ini, meski tak juga terlalu gampang ditangani, bisa lebih cepat tersentuh penindakan hukum dibanding dengan kasus-kasus yang melibatkan kalangan pusat kekuasaan. Panda Nababan dari PDIP misalnya, kalah sakti dibanding Johnny Allen Marbun dari Partai Demokrat. Muhammad Nazaruddin hilang kesaktiannya karena menyerang ‘nama baik’ kelompok yang lebih sakti. Mirip nasib Komjen Pol Susno Duadji yang mencoba menggempur benteng kesetiaan sempit korpsnya. Meskipun bintang di bahunya tiga, masih kalah banyak dari akumulasi bintang di bahu mereka yang ia tuding maupun dari  mereka yang merasa akan ikut tersrempet bila tiupan pluitnya ditoleransi.

KINI kita mendapat pelajaran empiris baru bahwa jalan parlementer ternyata sudah harus dicatat sebagai salah satu cara untuk menjadi kaya. Dengan gaji dan take home pay di atas lima puluh juta per bulan, seorang anggota DPR bisa hidup di atas rata-rata layak, meski mereka pun harus rela berbagi sekian persen untuk partainya. Namun bila masuk ke dunia politik melalui money politic,seorang anggota DPR masih harus bekerja keras untuk mengembalikan investasi finansial yang telah ditanamkannya. Itulah bagian tak terelakkan dari wealth driven politic. Dalam wealth driven politic –yang merupakan bagian tak terlepas dari wealth driven economic dengan segala eksesnya– lambat atau cepat para calon anggota DPR pada waktunya hanya akan bisa memasuki lembaga itu dengan syarat nomor satu memiliki cukup kekayaan dan atau minimal didukung oleh kelompok kaya (tentu dengan segala risiko sponsorship). Bagi anggota yang sudah ada di dalam, dan berniat mempertahankan posisi pada periode berikut, akan terdorong memanfaatkan kesempatan yang ada untuk ikut menjadi kaya atau lebih kaya, guna memenuhi syarat yang tak tertulis itu.

TETAPI apa kaitannya ini semua dengan kepemilikan mobil mewah oleh anggota parlemen? Wealth driven economic sebagai fase setelah dilampauinya fase productivity driven economic, memang dilekati oleh konsumerisme sebagai gejala ikutan. Kepemilikan benda-benda mewah dan mahal adalah intisari dari hasrat konsumerisme yang terkait dengan prestige. Mobil mewah adalah simbol dan etalase yang mobile bagi hasrat prestigeous yang menjadi salah satu tali nyawa terpenting dalam konsumerisme….

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (4)

USAI bertemu Soeharto di RSPAD, Kolonel Latief menghadiri rapat bersama Brigadir Jenderal Soepardjo, Letnan Kolonel Untung dan lain-lain di Penas Cawang dekat Halim Perdanakusumah. Sementara itu, setelah pertemuan dengan Latief, Soeharto masuk kembali ke ruang perawatan Tommy, sekitar pukul 23.00. “Jam setengah satu malam, saya minta pak Harto pulang saja”, tutur Siti Suhartinah Soeharto. “Mulanya beliau tak mau. Tapi ketika ingat anak terkecil, Siti Hutami, waktu itu baru satu tahun, sendirian di rumah, pak Harto mau pulang”. Dalam penuturan Soeharto sendiri, ia memang akhirnya pulang sekitar 00.15 (jam dua belas malam lewat lima belas menit), disuruh isterinya karena ingat Mamiek, anak perempuan bungsu keluarga itu. “Sesampai di rumah saya berbaring dan bisa cepat tidur. Tetapi kira-kira setengah lima subuh tanggal 1 Oktober, saya kedatangan seorang cameraman TVRI, Hamid. Ia baru selesai melakukan shooting film. Ia memberi tahu bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat”. Dalam perjalanan pulang, Soeharto yang mengaku mengendarai sendiri jipnya, melalui Markas Kostrad, melihat adanya satuan-satuan bersenjata di sekitar Monas itu. Beberapa sumber menyebutkan Soeharto singgah di Markas Kostrad Merdeka Timur, sebelum betul-betul pulang ke rumahnya untuk beristirahat, dan terbangun oleh kedatangan Hamid pada pukul 04.30. Setelah itu, ia pun kedatangan Mashuri SH, tetangganya di Jalan Haji Agus Salim yang lebih dikenal sebagai Jalan Sabang.

Rumah Aidit dan Jenderal Yani. Kamis malam 30 September 1965, hujan gerimis turun di beberapa bagian kota Jakarta, termasuk di Pegangsaan Barat. Rumah kediaman Dipa Nusantara Aidit ada di jalan ini, rumah bernomor 4. Sebelumnya, sampai April 1965, Aidit bermukim di Galur Tanah Tinggi. Hingga pukul sebelas malam lewat, Aidit masih menerima seorang tamu, Hardojo, Ketua CGMI. Aidit sebelumnya, sesuai agendanya selaku Menteri Wakil Ketua MPRS, mungkin sempat hadir di Gelora Senayan, acara Musjawarah Nasional Teknik, tapi tampaknya pulang lebih awal, sebelum Presiden Soekarno berpidato. Namun banyak pihak yang tidak melihat kehadirannya di Gelora Senayan itu, sehingga ada kemungkinan ia memang tidak hadir. Aidit dan Hardojo terlibat satu perbincangan yang tampaknya cukup serius. Setiap kali putera Aidit, salah satu anak kembar, Ilham, yang baru berusia enam setengah tahun muncul dan berdiri di pojok ruang, percakapan terhenti. Pukul sebelas, anak yang belum juga tidur itu muncul lagi ke ruang depan. Aidit dan Hardojo sudah berada di teras rumah, meneruskan pembicaraan, agaknya sambil menunggu gerimis reda. Akhirnya, Hardojo pamit pulang. “Baiklah Har”, ujar Aidit melepas tamunya, “bila sempat, lusa kau datanglah kembali, ada yang ingin aku bicarakan”. Ketua CGMI itu menjawab, “Terima kasih, akan saya usahakan. Selamat malam, Bung Aidit!”, sambil menjabat tangan sang pemimpin partai. Aidit lalu masuk dan mengunci pintu depan dan tanpa menoleh berkata kepada anaknya “Ham, larut malam begini, belum juga kau tidur ?”. Sesudah itu ia lalu menuntun sang anak –yang punya kebiasaan menghitung dentang jam– masuk ke kamar tidur di mana dua anaknya yang lain sudah tertidur lelap. Aidit kemudian menuju ke ruang kerjanya (Wawancara, Ilham Aidit).

Lepas tengah malam, tak lama setelah terdengar dentang jam dua belas kali, terdengar derum kendaraan bermotor memasuki pekarangan rumah. Ternyata dua buah landrover berwarna biru, milik Angkatan Udara. Dua perwira yang semula disangka perwira Angkatan Udara, tetapi ternyata berseragam Tjakrabirawa, turun menuju rumah, sementara beberapa lainnya hanya berdiri menjaga dekat mobil. Kedua perwira itu memasuki ruang tamu setelah dr Tanti –lengkapnya, Sutanti– isteri Aidit membukakan pintu. Terdengar dialog yang agak bersitegang. “Suamiku sudah akan mengaso, dan kalian datang meminta dia ikut ke Halim? Sudah malam begini, buat apa ke Halim?!”, ujar dr Tanti dengan nada kesal. Dengan cukup tegas, namun tetap santun salah seorang perwira menjawab “Maaf, keadaan darurat, bu. Kami harus segera, waktu terbatas”. Setelah bertukar kata dengan agak sengit, akhirnya isteri Aidit mengalah, “Sebentar, akan saya panggilkan”, berbalik dan menuju ruang kerja Aidit.

Ilham Aidit, putera Aidit yang malam itu belum tidur-tidur juga dan bergentayangan terus mengikuti kejadian demi kejadian, seraya menghitung dentang jam setiap kali benda itu berbunyi,  mencatat kemudian bahwa perdebatan sengit langsung terjadi di ruang kerja Aidit. Tapi tanpa mengacuhkan ‘ocehan’ sang isteri, Aidit menuju ruang depan menemui tamu tengah malam itu. Kedua perwira militer itu segera mendesak agar Aidit segera bersiap mengikuti mereka ke Halim. Seraya menatap mata kedua perwira yang tidak dikenalnya itu bergantian,  Aidit berkata dengan nada datar, “Aku tak mengerti maksud kalian”. Dijawab, “Bung Aidit, kami hanya menjalankan instruksi. Segeralah bersiap bung, keadaan darurat!”. Aidit hanya menatap mereka tanpa menjawab. Lalu dengan suara sedikit lebih keras, seorang di antaranya berkata “Bung, waktu kita terbatas!”. Terkesan setengah hati, Aidit berbalik menuju kamar tidur, dan mempersiapkan tas yang diisi dua pakaian ganti dan buku. Ia membawa pakaian ganti, karena diinformasikan oleh kedua perwira, ada kemungkinan ke Yogyakarta bersama Presiden esok hari. Kedua perwira pembawa pesan yang tadinya disangka dari Angkatan Udara, ternyata adalah dari Tjakrabirawa. Maka menjadi menarik, penyebutan adanya rencana Presiden ke Yogya yang disampaikan kepada Aidit. Penyebutan rencana ke Yogya oleh para perwira itu, antara lain berdasarkan keterangan salah satu Ketua Sobsi, Tjasman Setyo Prawiro, dalam wawancara untuk buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006).

Seraya memeriksa dan membenahi tas suaminya dr Tanti memprotes, “Aku tak setuju kau berangkat ke Halim. Apalagi malam-malam begini. Aneh! Dan apa hak mereka memaksa kau ke sana? Kau menteri negara, Wakil Ketua MPRS, Ketua PKI! Tak pantas mereka memaksamu”. Jawaban Aidit, “Aku sendiri tak mengerti. Tapi kelihatannya keadaan betul-betul darurat. Mereka mengatakan aku betul-betul harus pergi ke Halim”. Isteri Aidit, Sutanti, tetap berkeras, “Darurat. Darurat apa? Apanya yang darurat. Aku merasa ada yang tak beres. Aku minta kau tidak pergi ke Halim bersama mereka”. Tapi Aidit memutuskan “Aku harus berangkat”. Aidit memeluk isterinya, mengangkat dan mendekap puteranya. Lalu berangkat, setelah berpesan kepada adiknya, Murad Aidit yang sedang berada di rumah itu, agar mematikan lampu depan dan mengunci pintu pagar. Itulah pertemuan terakhir Aidit dengan keluarganya. Menurut Murad dalam sebuah catatan kenangannya mengenai Aidit (2005), dipadamkannya lampu dan pagar yang terkunci adalah isyarat bahwa tuan rumah takkan menerima tamu lagi malam itu. Saat itu, menjelang pukul 01.00, tanggal 1 Oktober 1965. Ketika Aidit dalam perjalanan dari rumahnya di Pengangsaan Barat menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, pada waktu yang bersamaan Jenderal Soeharto berada dalam perjalanan pulang dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat ke rumahnya di Jalan Haji Agus Salim dengan menyempatkan diri ke Markas Kostrad sebelum betul-betul pulang untuk beristirahat.

Letnan Jenderal Ahmad Yani, pagi hari tanggal 30 September 1965 menuju Tanjung Priok bersama Mayor Jenderal Soeprapto. Iring-iringan mobilnya yang didahului vorrijder dari CPM (Corps Polisi Militer) sempat berpapasan dengan mobil Jenderal Abdul Harris Nasution yang baru saja berlatih golf di Rawamangun. Mereka tak melihat Nasution, tapi Nasution melihat mereka, karena mobilnya yang tanpa pengawalan terdesak ke pinggir dan terhenti untuk memberi jalan. Pagi itu, sebagai Kepala Staf KOTI, Ahmad Yani memberikan piagam penghargaan kepada sejumlah nakhoda kapal sipil, terutama dari Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia), karena jasa-jasa mereka dalam keikutsertaan pada berbagai operasi militer. Hari itu, Ahmad Yani pulang ke rumah dari Markas Besar Angkatan Darat, pukul 14.00. Ia sempat istirahat siang dan melakukan beberapa kegiatan rutinnya di rumah dan di luar seperti kebiasaannya pada hari-hari lainnya.

Menurut penuturan putera-puterinya, dalam buku Kunangkunang Kebenaran di Langit Malam, 2002, pertanyaan pertama Ahmad Yani ketika memasuki rumah kediaman, Jalan Lembang Menteng, sepulang dari kantor adalah “Di mana ibu ?”, yang diucapkan dalam bahasa Jawa. Anak-anak menjawab, “Ibu di dapur sedang memasak”. Sambil menunggu makan siang disiapkan, Yani sempat mengobrol dengan empat puteri tengahnya yang ada di rumah saat itu yakni Amelia, Elina Lilik Elastria, Widna Ani Andriani dan Reni Ina Yuniati. Sang jenderal punya enam puteri dan dua orang putera. Dua puteri lainnya Indria Ami Rulliati, puteri sulung, dan Herlia Emmy Rudiati, puteri kedua. Lalu dua putera bungsu, Untung Mufreni dan Irawan Sura Eddy. Letnan Jenderal Ahmad Yani mengajak mereka untuk menyaksikan defile 5 Oktober di istana, dan untuk itu mereka boleh tidak masuk sekolah pada hari tersebut. “Bapak siang itu terlihat sangat gembira dan ceria”, mereka mencatat. Tapi siang itu, tanpa sengaja Yani menyenggol botol minyak wangi di atas bar sehingga tumpah isinya. Minyak wangi yang tumpah itu oleh Ahmad Yani lalu diusap-usapkan ke badan puteri-puterinya, sambil berucap dalam bahasa Jawa “Kalau ditanya orang dari mana kau dapatkan bau wangi ini, katakan wanginya dari bapak”. Setelah itu Ahmad Yani berangkat untuk main golf bersama pengusaha Bob Hasan, tapi tak terlalu lama sudah kembali. Bob Hasan adalah ‘anak angkat’ Jenderal Gatot Soebroto. Belakangan Bob amat dekat dengan Presiden Soeharto, dan sempat diangkat menjadi menteri dalam kabinet terakhir Soeharto yang berlangsung singkat.

Malamnya, Ahmad Yani menerima antara lain Mayjen Basuki Rachmat di kediamannya –menurut anak-anaknya, sampai pukul 22.00. Basuki Rachmat selaku Panglima Daerah Militer Brawijaya, melaporkan kepada Ahmad Yani antara lain mengenai aksi massa PKI yang menyerobot gubernuran Jawa Timur di Surabaya. Dan dari seorang perwira CPM, Yani menerima laporan mengenai adanya beberapa kegiatan di daerah sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Terhadap laporan-laporan itu, Yani mengatakan akan melaporkan dan mempersoalkannya besok pagi sewaktu menghadap Presiden. Di sela-sela pertemuan dengan Basuki Rachmat, Yani sempat menerima beberapa telepon, di antaranya dari Brigjen Sugandhi.

Isterinya yang akan berulangtahun 1 Oktober keesokan harinya, menjelang pukul 21.00 bersama seorang teman lamanya dan dua anggota keluarga, serta pembantu dan beberapa pengawal, meninggalkan rumah menuju rumah di Jalan Taman Surapati, yang merupakan kediaman resmi Menteri/Pangad. Ahmad Yani yang sibuk tidak menyertai isterinya. “Waktu itu, sebagai anak-anak kami juga merasakan hubungan yang kurang harmonis antara bapak dan ibu. Hubungan di antara keduanya agak sedikit mendingin. Keadaan ini membuat suasana dalam rumah terasa kurang menyenangkan”. Nyonya Yayu Ruliah Ahmad Yani kemudian menginap di Jalan Taman Surapati untuk tirakatan. Ahmad Yani sendiri, usai dengan tamu-tamunya menjelang pukul 22.00, menurut kesaksian putera-puterinya, menyempatkan menonton televisi sebelum pergi tidur, karena besok paginya pukul 08.00 terjadwal harus menghadap Presiden Soekarno di Istana. Tapi, menurut Chairul Saleh seperti yang disampaikannya beberapa waktu kemudian kepada beberapa koleganya di kabinet, malam itu antara 21.00 hingga 23.00 Yani pergi menemui seorang kenalannya yang adalah seorang seniwati, penyanyi dan pencipta lagu yang hingga kini masih populer. Mungkin saja Chairul Saleh keliru tanggal. Sedang menurut Abdul Harris Nasution, Ahmad Yani didampingi ajudannya, malam itu sempat berkeliling Jakarta dengan mengendarai jip untuk mengamati situasi Jakarta, namun agaknya tak ‘menemukan’ sesuatu yang mencurigakan.

Penjagaan rumah kediaman Letnan Jenderal Ahmad Yani pada malam Jumat itu adalah penjagaan standar, seperti hari-hari sebelumnya. Sebenarnya Mabes AD memberikan penambahan pengawal, termasuk dari kesatuan Pomad (Polisi Militer AD) Para, tetapi adalah Yani sendiri yang menolak penambahan itu. Petang harinya, ia menyuruh pengawal tambahan dari kesatuan polisi militer ditarik dari sana. Sikap dan tindakan Letnan Jenderal Ahmad Yani ini cukup mengherankan sebenarnya, justru karena dari laporan-laporan yang sampai kepadanya sampai saat itu, situasi tidak begitu bagus, bahkan sejak beberapa hari terakhir ada ‘isu’ rencana penculikan sejumlah jenderal, seperti disampaikan Soewondo Parman, sehingga Panglima Angkatan Darat itu seharusnya lebih waspada. Tapi ada kemungkinan, ia telah mendengar sesuatu mengenai tindak tanduk Komandan CPM, Brigjen Soedirgo, yang bolak-balik ke istana dalam beberapa hari terakhir. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran sang jenderal, dan apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya saat itu. Di depan para perwira yang bertamu –memberikan laporan-laporan tentang hal-hal tak menyenangkan, malam itu– dan demikian pula di mata putera-puterinya, Yani tetap tampil tenang seperti biasa, meski tak lagi secerah seperti beberapa jam sebelumnya. Tetapi, pada pagi hari 1 Oktober 1965, putera-puterinya menemukan foto Nyonya Yayu Ruliah di tempat tidur. Rupanya sang jenderal sempat memandangi foto isterinya untuk terakhir kali sebelum tertidur malam itu.

Berlanjut ke Bagian 5

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (2)

KETIKA melapor kepada Ahmad Yani, beberapa jam kemudian pada hari Kamis petang 30 September 1965 itu, selain menyampaikan laoran pertemuannya dengan Sudisman dan Aidit tiga hari sebelumnya, Sugandhi juga menyampaikan pembicaraannya dengan Soekarno pagi itu. Siangnya Sugandhi sebenarnya berusaha bertemu langsung dengan Ahmad Yani, tapi tidak berhasil karena Yani ada acara di luar Markas Besar AD, sehingga malamnya barulah ia bisa melapor dan itu hanya per telepon. Itupun, pada mulanya telepon Sugandhi hanya ditampung oleh ajudan, karena Yani sedang menerima tamu, Mayjen Basoeki Rachmat. Di kalangan kolega dan atasan, Sugandhi dikenal sebagai seorang yang banyak humor. Kedekatannya secara pribadi dengan Soekarno diketahui dengan baik oleh para kolega dan atasan, termasuk Yani. Meskipun kerap ‘usilan’ dan ‘bandel’ ia termasuk disayangi oleh Soekarno. Apakah pengenalan Yani terhadap Sugandhi itu, mempengaruhi daya dan cara cerna Yani terhadap apa yang disampaikan Sugandhi ?

SOEKARNO-OMAR DHANI-AHMAD YANI. “..saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi mengenai dirinya, dan masih meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengenadlikan PKI” (Repro).

Menurut Sugandhi, saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi PKI mengenai dirinya, dan meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengendalikan PKI. Bahwa Soekarno akan menegur atau mendamprat dirinya, Yani sudah tahu dan siap, karena ia sudah mendapat pemberitahuan dari istana untuk menghadap Panglima Tertinggi Jumat pagi 1 Oktober 1965. Pemberitahuan disampaikan oleh Komisaris Besar Polisi Sumirat, salah satu ajudan Presiden. Perlu dicatat bahwa secara samar-samar, sebenarnya Yani telah pula mendengar informasi bahwa ada kemungkinan Soekarno akan mencopotnya dari jabatan Menteri/Pangad. Dan sebuah informasi amat rahasia yang juga diterima Yani, bahwa setelah itu ia akan ‘dilempar’ ke atas, meskipun belum jelas ke sebelah mana. Apakah akan mengulangi pola mutasi sebelumnya, sekali lagi akan menggantikan posisi Abdul Harris Nasution, namun dalam kadar kewenangan lebih lemah ? Menurut Drs Achadi, salah seorang menteri dalam kabinet Soekarno, Yani akan diangkat menjadi Waperdam IV suatu posisi baru yang diciptakan Soekarno khusus untuk Achmad Yani.

Berdasarkan pembicaraan per telepon dengan Yani, saat itu Sugandhi mendapat kesan, rasa percaya diri Yani masih cukup kuat sepanjang hubungannya dengan Soekarno. Tentang ucapan-ucapan Sudisman dan Aidit yang katanya akan memukul dan memberi pelajaran pada para pimpinan Angkatan Darat, dinyatakan Yani sebagai provokasi dan pancingan. Untuk apa? Agar Angkatan Darat mengambil tindakan terhadap PKI untuk kemudian dimanfaatkan sebagai momentum mendiskreditkan Angkatan Darat dan dipersalahkan Soekarno. Meskipun pada mulanya Sugandhi pun tidak punya pikiran ‘berat’ mengenai ucapan Sudisman dan Aidit, tanggapan Yani mengenai hal itu, lagi-lagi dianggap Sugandhi sebagai tanda terlalu percaya diri. Tapi tentu saja tak ada lagi yang bisa lebih jauh dilakukannya atas sikap sang Panglima Angkatan Darat itu. Dengan Sugandhi petang itu, Yani tak menyinggung telah adanya laporan-laporan intelijen mengenai rencana-rencana gerakan dalam waktu dekat, dari pihak PKI misalnya, meskipun Yani dengan nada biasa saja sempat mengatakan “kita harus berhati-hati” terhadap PKI dan kawan-kawannya yang mengelilingi Pemimpin Besar Revolusi. Padahal, di antara laporan intelijen yang disampaikan Asisten I Intelijen Mayor Jenderal Soewondo Parman beberapa waktu sebelumnya, ada satu bagian yang semestinya berkategori sangat penting, yakni rencana suatu gerakan, yang DDaynya adalah tanggal 19 atau 20 September 1965, didorongkan oleh PKI untuk mengeliminasi sejumlah perwira teras Angkatan Darat. Adalah menarik, bahwa dalam daftar tersebut tercantum pula nama Mayjen Soeharto, Mayjen Mursjid dan Brigjen Sukendro –yang kemudian ternyata tak disentuh sama sekali.

Sebenarnya, bagi Yani laporan Sugandhi pada 30 September 1965 itu, adalah laporan yang sepenuhnya ‘basi’, karena bahkan laporan Suwondo Parman yang menyebutkan D-Day 18 atau 20 September telah berlalu sepuluh hari tanpa ada kejadian apa pun. Sedangkan laporan Sugandhi, secara objektif bisa saja dianggap kurang masuk akal, karena apakah Sudisman dan Aidit bisa begitu naif menyampaikan rencana gerakan mereka begitu saja? Lagipula, terminologi dalam ‘dua-tiga hari ini’ yang disampaikan Sugandhi itu, jauh lebih tidak definitif tentang timing dibandingkan laporan Asisten Intelijen, Mayor Jenderal Soewondo Parman. Asisten intelijen ini juga sempat melaporkan desas-desus tentang rencana penculikan sejumlah jenderal. Soewondo Parman menerima laporan ini antara lain dari Brigjen Yoga Soegama, perwira yang ditarik Pangkostrad Soeharto dari pos atase pertahanan Kedutaan Besar RI di Beograd Jugoslavia. Mayor Jenderal Soewondo Parman, yang meminta dukungan bukti dari laporan Yoga itu, menganjurkan Yoga untuk mencari bukti setelah Yoga menyatakan belum punya bukti. Yoga menjanjikan akan menyelidiki lebih jauh. Tapi sepanjang yang dapat dicatat, tidak lagi pernah kembali melapor kepada S. Parman membawa bukti-bukti, sampai penculikan ternyata betul-betul terjadi 1 Oktober 1965 dinihari.

Selain memberi informasi, justru menurut Soebandrio dalam memoarnya (‘Kesaksianku tentang G30S’, 2000) Yoga juga menyampaikan pesan Soeharto agar Soewondo Parman untuk berhati-hati sehubungan dengan isu penculikan. Terhadap penyampaian pesan ini, Soebandrio memberikan konotasi tertentu terkait dengan analisa pribadinya mengenai adanya peranan khusus Mayjen Soeharto dalam terjadinya Peristiwa 30 September 1965. Soebandrio menggambarkan adanya klik khusus yang terdiri dari tiga perwira eks Diponegoro, terdiri dari Mayjen Soeharto, Brigjen Yoga Soegama dan Kolonel Ali Moertopo. Mereka ini sejak awal telah ‘bergiat’ dalam pengaturan posisi dan kepentingan khusus dalam kekuasaan, yang bermula antara lain dalam soal jabatan Panglima Kodam Diponegoro, beberapa tahun yang lalu.

Beberapa waktu sebelumnya, dalam suatu pertemuan langsung dengan Sugandhi, Yani juga sempat menyampaikan dengan nada serius –lebih tepatnya menyampaikan kejengkelan– tentang adanya perwira-perwira Angkatan Darat yang mencantelkan diri ke mana-mana, termasuk ke partai-partai politik, seperti pada PKI misalnya, karena ambisi pribadi. Termasuk yang mengincar jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam bahasa Jawa, Yani menyampaikan juga agar Sugandhi jangan seperti beberapa perwira yang kebetulan bisa dekat ke Panglima Tertinggi, lalu menjelek-jelekkan pimpinan Angkatan Darat dengan harapan bisa mendapat tempat. Waktu itu, Yani sempat menyebut beberapa nama.

Posisi Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam rangka pertarungan kekuasaan di seputar Soekarno kala itu, posisi pimpinan Angkatan Darat memang merupakan salah satu sasaran incaran, baik berdasarkan strategi politik, maupun perkawinan kepentingan politik dengan ambisi pribadi. Terkait nama Soeharto, menurut penuturan Siti Suhartinah Soeharto, pernah ada –lebih dari sekali, dengan cara yang berbeda-beda– yang menyampaikan semacam ‘pancingan’, “bagaimana kalau pak Harto diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat?”. Itu, karena sebagai Panglima Kostrad, Jenderal Soeharto selalu mewakili Menteri Pangad dalam berbagai acara, bilamana Yani berhalangan. Pelantikan Brigjen Soemitro sebagai Panglima Mulawarman Februari tahun 1965 di Kalimantan Timur umpamanya, dilakukan Mayjen Soeharto mewakili Menteri Panglima Angkatan Darat. “Itu kami anggap tidak mungkin, pak Yani kan masih ada”, demikian ibu Tien, “dan apa dikira menjadi Pangad itu gampang ? Saya sendiri, sebagai isteri, terus terang merasa tidak sanggup. Saya sudah merasakan setiap kali pak Yani pergi, pak Harto itu mewakili, sehingga saya pun ikut menjalani sebagai pendamping wakil Pangad”. Sebenarnya, memang ada semacam tatacara yang merupakan kebiasaan dan disepakati, antara Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan Mayor Jenderal Soeharto, bahwa dalam keadaan tertentu bila Menteri Pangad berhalangan maka Panglima Kostrad –dahulu Kostrad dikenal sebagai Tjaduad, Cadangan Umum AD– yang akan mewakili sebagai pimpinan Angkatan Darat. Suatu kebiasaan yang merupakan kelanjutan kebiasaan masa masih berlakunya SOB. Presiden Soekarno pun mengetahui hal ini. Bahwa kemudian, dalam konteks tersebut Soeharto kerap disebut-sebut sebagai pengganti Yani kelak, tentulah tidak mengherankan. Selain itu, beberapa jenderal AD lainnya merasa bisa membaca ‘bahasa tubuh’ Soeharto dan menyimpulkan bahwa keinginan seperti itu ada juga pada diri Soeharto betapa pun samarnya. Sebenarnya, Mayor Jenderal Soeharto adalah seorang yang tak mudah ‘dibaca’, apalagi dengan sekedar melihat ekspresi wajahnya dan atau sekedar berdasarkan ucapannya secara harfiah.

Namun, di samping nama Soeharto, sampai September 1965 itu, beredar pula sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai calon kuat untuk menjadi Menteri Panglima AD, terutama karena kedekatan secara pribadi dan langsung dengan Soekarno, ataupun karena ‘dukungan’ kekuatan politik aktual. Beberapa tokoh PKI berkali-kali menyampaikan nama Mayor Jenderal Pranoto sebagai kandidat. Sementara itu Soekarno sendiri pernah berbicara dengan nada menjanjikan jabatan Menteri Panglima AD itu kepada beberapa jenderal yang memegang komando, di antaranya yang paling menonjol adalah Mayor Jenderal Ibrahim Adjie yang saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, salah satu divisi terkemuka dan paling diperhitungkan kala itu. Nama Gatot Soebroto, yang pernah jadi Wakil Kasad, yang punya kedekatan khusus dengan Soekarno, jauh hari sebelumnya juga pernah disebut-sebut. Hanya saja, Letnan Jenderal Gatot Soebroto meninggal tahun 1962. Tapi menjelang akhir September 1965, muncul nama ‘baru’, ketika beredar kuat berita bahwa Soekarno akan mengangkat Mayor Jenderal Mursjid sebagai Menteri Pangad yang baru dan hal itu akan disampaikan Soekarno kepada Yani yang menurut jadwal menghadap pada 1 Oktober pagi.

Nama-nama yang disebut sebagai calon pengganti Yani, pada umumnya diketahui tidak punya kedekatan dengan Yani, untuk tidak secara terbuka menyebutnya sebagai rival Yani selama beberapa tahun terakhir. Mayor Jenderal Soeharto misalnya, tak punya faktor kedekatan subjektif dengan Yani, kecuali kedekatan objektif yang semata-mata dalam kerangka masalah kedinasan. Bahkan diantara kedua jenderal itu ada ganjalan yang berasal dari masa lampau. Tatkala menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto terlibat kasus yang dinilai sebagai penyimpangan –barter gula dengan beras ke Singapura– yang dilakukan bersama pengusaha Liem Soei Liong dan Bob Hasan. Dalam pembelaan dirinya, Soeharto menyebutkan dana hasil barter adalah untuk membiayai beberapa kebutuhan Kodam, antara lain untuk kesejahteraan prajurit, tetapi laporan dari beberapa perwira bawahannya menyatakan tidak demikian. Yani yang waktu itu menjadi salah satu Asisten Kasad, amat marah dan mengusulkan kepada Kasad Nasution agar Soeharto dipecat. Bahkan Yani digambarkan sempat melakukan sentuhan fisik. Pemecatan urung, padahal naskah Surat Keputusan itu –yang diajukan Kasad Nasution– sudah di meja Presiden Soekarno, karena Wakil Kasad Mayjen Gatot Soebroto maju membela Soeharto dan menyatakan Soeharto masih bisa dibina. Nyonya Siti Suhartinah dikabarkan ikut ‘berjuang’, menemui Gatot Soebroto memohon bantuan untuk menyelamatkan karir suaminya, dan berhasil.  Soeharto hanya harus melepaskan jabatannya sebagai Panglima Diponegoro dan masuk pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) Bandung, yang kala itu dipimpin Brigjen (kemudian, Mayjen) Soewarto.

Pranoto dan Mursjid, yang juga disebutkan namanya untuk posisi Panglima AD, jelas ada pada posisi dan ‘aspirasi politik’ yang berseberangan dengan Yani. Sedangkan menyangkut Ibrahim Adjie, situasinya tak terlepas dari rivalitas yang cukup kuat di antara tiga divisi terkemuka di pulau Jawa –bahkan di seluruh Indonesia– yakni Siliwangi-Diponegoro-Brawidjaja, meskipun umumnya berlangsung di bawah permukaan. Tapi pada tahun 1963-1964 sampai pertengahan 1965, Siliwangi sedang di atas angin karena keberhasilannya dalam mengakhiri pemberontakan DI-TII berturut-turut di Jawa Barat dan kemudian Sulawesi Selatan. Di Jawa Barat Kartosoewirjo tertangkap dan di Sulawesi Selatan Kahar Muzakkar disergap dan tertembak mati 4 Pebruari 1965. Bahkan atas instruksi Soekarno kepada Yani, Divisi Siliwangi diberikan penghargaan Sam Karya Nugraha, yang penyerahannya dilakukan di Bandung 25 Agustus 1965.

Berlanjut ke Bagian 3

 

Kebenaran tentang Sosok Jenderal Polisi Hoegeng dan Baharuddin Lopa

TAKKAN ada yang bisa membantah bahwa di tengah bayang-bayang gelap penegakan hukum di Indonesia, beberapa dekade terakhir, ada dua sosok ideal yang pernah tampil, yakni Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dan Baharuddin Lopa SH. Kedua tokoh tersebut pernah menduduki puncak tertinggi dua lembaga penegakan hukum. Jenderal Hugeng menjadi Kapolri 1968-1971, sementara Baharuddin Lopa menjadi Jaksa Agung selama 27 hari, 6 Juni sampai hari meninggalnya di Riyadh 3 Juli 2001.

Seakan ‘mewakili’ rasa hampa dan kerinduan publik akan kehadiran sosok penegak hukum yang tangguh di tengah kepengapan dan kegelapan penegakan hukum, muncul tulisan “Rindu pada Sosok Hoegeng dan Lopa” di Harian Kompas 12 September 2011 (Indah Surya Wardhani/Litbang Kompas). Tulisan ini bagus, kecuali bahwa ia mengandung kekurangan dalam akurasi pada beberapa bagian yang justru esensial terkait kebenaran peristiwa.

Dalam tulisan itu disebutkan Hoegeng dikenal tak mempan disuap dan sering menggulung pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Integritasnya teruji saat menangani tiga kasus ‘istimewa’: penembakan Rene Coenraad, pemerkosaan Sum Kuning, dan korupsi Robby Cahyadi. “Sedemikian kuat dedikasi polisi mengungkap kasus sensitif itu, hingga eksesnya membuat Hoegeng kehilangan jabatan”.

Memang Hoegeng tak mempan disuap. Tapi berbeda dengan yang digambarkan lanjut dalam tulisan tersebut, pada peristiwa sebenarnya, Hoegeng yang diidolakan masyarakat kala itu, justru sebenarnya tak berhasil menangani dengan baik kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam “Peristiwa 6 Oktober 1970” maupun Kasus Sum Kuning. Dalam kedua kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik.

PERISTIWA 6 OKTOBER 1970.  “Dalam kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik”. Karikatur Deandy Sudiana 1970.

Dalam Peristiwa 6 Oktober 1970, polisi salah menyeret terdakwa pembunuh. Bripda Djani Maman Surjaman dijadikan kambing hitam, diadili dan dihukum penjara. Ahli forensik dan ballistik memastikan Rene tertembak dengan senjata laras pendek, sedangkan Djani memegang senjata laras panjang Karl Gustav saat bertugas melerai pengeroyokan Rene oleh Taruna Akabri Kepolisian yang akan segera lulus sebagai Angkatan 1970. Ketika peristiwa terjadi, yang diketahui membawa pistol (senjata laras pendek) hanyalah para Taruna. Para Taruna yang terlibat –beberapa adalah putera perwira tinggi polisi– tak berhasil diajukan ke mahkamah militer di masa Hoegeng. Belakangan, pasca Hoegeng, dari September 1973 hingga awal 1974, barulah 8 Taruna Akabri Kepolisian diadili. Tapi dalam peradilan itu, 8 Taruna (Nugroho Djajusman dan kawan-kawan) yang sudah menjadi perwira muda polisi, mendapat hukuman yang ringan-ringan dan dianggap hanya terlibat perkelahian.

Sementara dalam kasus pemerkosaan gadis penjual telur Sum Kuning –di sebuah mobil di Ngampilan, Yogya, 21 September 1970– oleh 4 orang pemuda, polisi menunjukkan penyimpangan. Polisi tidak berani karena para pemuda itu adalah anak-anak perwira militer, salah satunya putera pahlawan revolusi di daerah itu, dan lainnya dari kalangan bangsawan. Polisi malah menangkap Sum Kuning yang berusia 16 tahun itu, dituduh memberikan laporan palsu dan anggota Gerwani/PKI. Polisi lalu menciptakan skenario bahwa tak terjadi perkosaan, melainkan hubungan sex suka sama suka dengan penjual bakso bernama Trimo. Karena sorotan pers, skenario dirubah lagi. Sembilan pemuda preman ditangkapi sebagai pelaku, padahal menurut Sum Kuning ia disergap dan diperkosa oleh 4 orang di lantai mobil. Tapi kata polisi, perkosaan dilakukan bukan di mobil tapi di sebuah rumah kontrakan di Klaten. Pers berhasil mematahkan skenario baru itu. Seberapa hebat para preman itu, sampai bisa punya mobil untuk melakukan penculikan dan perkosaan. Toh, sembilan pemuda itu tetap dipaksakan untuk diadili. Sampai berlalunya Kapolri Hoegeng, pelaku sebenarnya tak pernah berhasil diseret ke pengadilan dan kebenarannya terkubur hingga kini.

Namun, dalam kasus penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan AU Halim Perdana Kusumah oleh Robby Cahyadi, Jenderal Hoegeng memang betul-betul menunjukkan integritas, lengkap dengan keberanian yang prima. Meskipun di belakang kasus itu nama Cendana disebut-sebutkan, Hoegeng tetap bertindak. Tampaknya kasus inilah yang membuat Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri, meskipun tidak dilakukan langsung. Ia diperangkap untuk terlibat proyek pabrik helm dan karenanya menjadi bulan-bulanan serangan karena pada waktu yang bersamaan ia menetapkan kewajiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor.

Penyampaian ini, tentu tak bermaksud mengecilkan ketokohan Hoegeng, tetapi bagaimanapun kita tetap harus menyampaikan duduk perkara sebenarnya. Lebih dari sekali Harian Kompas menurunkan tulisan keliru mengenai Peristiwa 6 Oktober 1970 maupun Kasus Sum Kuning dalam konteks ketokohan Hoegeng. Tapi terlepas dari itu, yang terpenting untuk kita pahami adalah sebuah pelajaran dari realita bahwa bahkan polisi sebaik Hoegeng pun terpaksa bertekuk lutut di hadapan dan di dalam suatu kekuasaan yang otoriter dan kotor. (Baca juga Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter, sociopolitica.wordpress.com, 27 Juni 2009).

SEPERTI halnya Hoegeng, Baharuddin Lopa pun tak bisa diragukan integritasnya. Lopa telah menunjukkan integritas dan keberaniannya selaku penegak hukum, terutama sewaktu menjadi Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan dan sebelumnya di Kalimantan Timur. Namun ketika di’kandang’kan sebagai Dirjen Pemasyarakatan ia seakan kehilangan gairah dan tak banyak yang bisa dilakukannya menghadapi berbagai penyakit kronis di lingkungan itu. Begitu pula sebenarnya, saat Lopa diangkat Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Hukum/HAM. Apalagi wewenang Menteri Hukum/HAM kala itu tak lagi powerful sebagaimana masa-masa sebelumnya saat masih bernama Menteri Kehakiman. Suatu waktu, Jaksa Agung Marzuki Darusman bertemu Menteri Hukum/HAM Baharuddin Lopa, dan meminta bantuan mencari jalan keluar terhadap situasi terkait sikap hakim dalam menangani perkara-perkara korupsi. Saat itu, ada beberapa Pengadilan Negeri yang dianggap sebagai kuburan bagi kasus-kasus korupsi. Lopa mengakui keterbatasannnya. Tetapi sepanjang yang masih terkait dengan wewenangnya, ia pernah bertindak drastis, mengirim Bob Hasan ke LP Nusa Kambangan.

Sewaktu menjadi Jaksa Agung, praktis Lopa belum sempat berbuat apa-apa. Hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jaksa Agung Marzuki Darusman SH. Kasus Arifin Panigoro-Bahana maupun kasus penyimpangan dana yayasan-yayasan Soeharto seperti dituliskan Kompas, bukan ditangani Lopa, tetapi ditangani di masa Jaksa Agung sebelumnya. Tapi memang ada satu kasus yang mempertalikan masa Marzuki Darusman dan masa Baharuddin Lopa, yakni kasus Syamsul Nursalim. Di masa Marzuki Darusman, berdasarkan permintaan dan jaminan pengacara Adnan Buyung Nasution, keterangan dokter pribadi Syamsul dari Jepang maupun dokter pembanding yang ditunjuk Kejaksaan Agung, permohonan Syamsul Nursalim untuk berobat di luar negeri dikabulkan. Marzuki yang berlatar belakang aktivis HAM, juga menghadapi dilema aspek kemanusiaan. Memperhitungkan kemungkinan Syamsul bisa saja tak kembali ke Indonesia, untuk berjaga-jaga Jaksa Agung memerintahkan pencekalan isteri Syamsul, Cicih Nursalim. Tak banyak diketahui orang, justru di masa Lopa pencekalan dihapuskan, yang segera digunakan Cicih menyusul suaminya ke luar negeri. Ketika Lopa mengeluarkan serangkaian pernyataan keras tentang  Syamsu Nursalim, termasuk penjeblosan ke tahanan, ia ini malah tidak mau pulang lagi ke Indonesia. Apalagi, isterinya yang menjadi semacam ‘sandera’ sudah dilepaskan cekalnya.

Namun, bagaimanapun, Lopa adalah tokoh yang patut dijadikan model penegak hukum yang bisa diandalkan. Sayangnya, dalam 27 hari ia tak mendapat kesempatan dariNya untuk membuktikan diri sebagai Jaksa Agung yang diharapkan. Pun tak sempat memenuhi ‘syarat’ khusus pengangkatannya sebagai Jaksa Agung dari Presiden Abdurrahman Wahid, menangkap beberapa tokoh dengan tuduhan korupsi: Akbar Tandjung, Taufiq Kiemas, Arifin Panigoro dan Fuad Bawazier, yang tak bersedia dilakukan Marzuki Darusman tanpa bukti kuat.

Peta Harta Karun Gayus dan Para Koruptor

“Harta karun itu akan berguna sebagai alat negosiasi keselamatan anda sampai perbuatan korupsi anda kadaluarsa secara hukum, 30 tahun kemudian. Dan bila itu semua berhasil terlewatkan, anak cucu dan keturunan anda hingga lapisan ketujuh bisa hidup dengan tenang dan nyaman. Siapa tahu, ada di antara mereka suatu waktu bisa ikut Pilpres”.

ABAD ke-16 dan 17 adalah zaman ‘keemasan’ para bajak laut di Laut Karibia –yang terletak antara Amerika bagian utara dan Amerika bagian Selatan. Sasaran utama para bajak laut Karibia itu adalah kapal-kapal Spanyol dan Portugis yang mengangkut emas yang mereka kuras dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan untuk dibawa ke Eropa. Para bajak laut itu bisa berpangkalan di mana saja, entah di Jamaica, Hispanolia atau Dominika serta pulau-pulau kecil lainnya yang bertebaran di Laut Karibia. Tak jarang, para pesaing Spanyol dan Portugis, seperti Inggeris atau Perancis ikut bekerja di belakang layar membiayai dan mempersenjatai para bajak laut Karibia itu, sekedar untuk mengganggu dan melukai keunggulan kedua kerajaan pengumpul emas yang paling sukses di benua baru Amerika itu.

Bersama dengan kehadiran para bajak laut, muncul pula berbagai ‘legenda’ tentang harta karun yang dipendam para pembajak entah di mana di pulau-pulau Karibia. Sebenarnya, para bajak laut tidak punya kebiasaan memendam harta karun, karena biasanya saat akan berlabuh di daratan yang netral dan aman di luar ‘wilayah kekuasaan’ Spanyol atau Portugis, hasil jarahan di laut sudah dibagi habis di antara para pembajak. Dan, setibanya di darat, digunakan sampai habis untuk berfoya-foya. Puas berfoya-foya, mereka kembali ke kapal dan mengarungi samudera untuk mencari korban-korban baru. Tapi tak jarang ada cerita perilaku menyimpang dari kebiasaan umum itu. Beberapa kapten kapal pembajak yang berhasil merampas emas dalam jumlah yang banyak, tergoda untuk memilikinya sendiri. Ia membawa muatan emas itu untuk disembunyikan di sebuah pulau terpencil, lalu membunuh beberapa anak buahnya yang tahu tempat harta karun disembunyikan dan memperdaya atau menyuap anak buah yang lain. Agar sewaktu-waktu harta itu bisa digali kembali, dibuatlah peta harta karun. Dan bila rahasia ini merambat melalui bisikan dari mulut ke mulut, terjadilah perburuan peta harta karun.

APAKAH Gayus Tambunan bisa diibaratkan seorang bajak laut, yang masih punya simpanan harta karun, di luar yang sudah disita polisi? Melihat bahwa ia bisa ‘membeli’ satu paket ‘wisata’ Singapura-Kuala Lumpur-Macau dan wisata ke Bali, bisa dipastikan ia masih punya akses ke suatu pundi-pundi uang yang lumayan. Paspor Asli Tapi Palsu yang dimilikinya saja berharga US$ 100.000. Apakah wisata yang dilakukannya itu semacam safari untuk menelusuri harta karunnya, atau dalam rangka konsolidasi penyelamatan ‘sisa’ dananya? Menjalankan safari pribadi atau safari konspirasi –dalam artian, ada pihak lain yang memegang ekornya– untuk dikuasai harta karunnya?

Tapi sebesar apa harga harta karun itu? Puluhan, ratusan miliar atau triliunan rupiah? Angka triliunan mungkin terlalu berlebihan, dan sedikit kurang masuk akal dalam konteks kasus ini. Tapi bila dianalisis bahwa mafia perpajakan tidak hanya menyangkut seorang Gayus semata, angka triliunan rupiah merupakan angka yang betul-betul masuk akal. Seberapa ‘penting’ Gayus dalam semua jalinan mafia pajak ini? Kalau kecil-kecil saja, mana mungkin rapat kabinet yang digelar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari ini, Senin 17 Januari 2011, memerlukan untuk melakukan pembahasan khusus? Apalagi bila dikaitkan dengan ‘keceplosan’ anggota DPR dari Partai Demokrat Benny K. Harman, yang mengungkap ucapan mantan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, bahwa bila kasus Gayus diusut tuntas bisa menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi.

Sebenarnya, apakah ‘harta karun’ terbesar Gayus Tambunan yang pada dasarnya bukan kalangan atas instansi perpajakan itu? Tak lain, ia memiliki daftar ‘klien’ perusahaan-perusahaan besar yang memanipulasi pajak. Dan tentunya memiliki atau bisa menunjukkan arah pencarian data terkait kejahatan perpajakan itu. Bila ‘klien’ Gayus setidaknya 151 perusahaan atau wajib pajak besar –meminjam angka jumlah berkas yang diserahkan Departemen Keuangan kepada Polri– kita bisa membayangkan betapa besar ‘tambang’ emas yang siap dieksploitasi. Kalau para penyidik Polri kali ini adalah orang-orang berdedikasi, maka Kapolri ‘baru’ Jenderal Timur Pradopo bisa menjadi super hero pembasmi Mafia Pajak. Tapi bila, data dan kasus ini kembali jatuh ke tangan para konspiran dan atau oknum-oknum polisi kotor, sudah bisa kita bayangkan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang pernah terlibat kejahatan pajak itu akan menjadi ‘tambang emas’ yang bisa ditekan dan dikuras terus menerus untuk mengisi pundi-pundi gendut para oknum kotor itu. Dengan demikian, Mafia Perpajakan akan berlangsung terus. Bedanya, kali ini anggota mafia yang ada di instansi pajak harus rela berbagi rezeki dengan oknum atau kelompok polisi dan jaksa kotor. Entah sampai kapan.

SEJUMLAH pelaku korupsi yang masih berhasil lolos hingga kini –meskipun namanya sudah berulang kali disebut-sebut atau bahkan sudah terperiksa di berbagai instansi penegak hukum– maupun mereka yang sudah diadili dan dihukum dengan vonnis ‘enteng-enteng’ saja, pada dasarnya juga adalah pemegang ‘peta harta karun’. Sama seperti Gayus, bisa ikut bermain-main dan bersekongkol. Menjadi ‘tambang emas’ atau ‘ayam bertelur emas’. Apakah posisi pemilik peta harta karun atau ‘ayam’ yang masih bisa ‘bertelur emas’ ini, misalnya, berlaku bagi orang-orang seperti Sjamsu Nursalim, Prajogo Pangestu, Bob Hasan atau bahkan orang seperti Ginandjar Kartasasmita atau sejumlah nama yang pernah terlibat dengan kasus Bank Bali –yang masih berkibar dalam berbagai kegiatan sosial-politik-ekonomi kini? Dan, tentu saja, posisi dan situasi serupa bisa berlaku pada sejumlah nama lainnya, yakni para eks pejabat tinggi yang kini hidup cukup nyaman karena tabungan gendut mereka, yang besarannya pantas menimbulkan tanda tanya, tanpa pernah tersentuh tangan pengusutan hukum dan atau penyelidikan asal usul kekayaan.

BEKAS Wakil Perdana Menteri I masa Presiden Soekarno, Dr Soebandrio, tak perlu menjalani eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan Mahmilub pasca Peristiwa 30 September 1965, karena memiliki semacam peta harta karun. Hanya Dr Soebandrio yang mengetahui ‘kunci’ akses bank di Eropah yang menyimpan Dana Revolusi rezim Soekarno. Terjadi negosiasi, ia memberikan ‘kunci’ dan memperoleh ‘penghapusan’ hukuman matinya, sehingga bisa menutup mata dengan cara baik-baik. Seberapa besarkah Dana Revolusi yang bisa dicairkan? Seorang mantan Wakil Presiden masa Soeharto mengatakan, jumlahnya tidak spektakuler, tapi bisa digunakan membiayai sebuah proyek bendungan.

JADI, kalau anda adalah seorang pelaku korupsi, perlu anda camkan bahwa anda harus bisa mengkorup sebesar-besar dana yang bisa anda jarah. Sebagian anda gunakan untuk bersenang-senang, sebagian anda gunakan untuk ‘membeli’ atau ‘memelihara’ jabatan atau kekuasaan, dan juga jangan lupa menyimpan sejumlah besar lainnya seaman-amannya sebagai harta karun. Harta karun itu akan berguna sebagai alat negosiasi keselamatan anda sampai perbuatan korupsi anda kadaluarsa secara hukum, 30 tahun kemudian. Dan bila itu semua berhasil terlewatkan, anak cucu dan keturunan anda hingga lapisan ketujuh bisa hidup dengan tenang dan nyaman. Siapa tahu, ada di antara mereka suatu waktu bisa ikut Pilpres.

65 Tahun Dengan 6 Presiden Indonesia (1)

“Beberapa orang yang ‘dilempar’ keluar dari rezim kekuasaan Jenderal Soeharto, karena melakukan korupsi –atau di’parkir’ karena berbagai alasan tidak terhormat lainnya– berhasil tampil kembali di masa reformasi. Mereka berhasil memanipulasi ‘sejarah’ diri mereka dengan gambaran ‘retorik’ pernah melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Menjadi mulia meski tidak mulia di masa kekuasaan lampau yang tak dimuliakan lagi”. “Selain itu, bisa dicatat bahwa pada setiap masa kepresidenan, selalu muncul juga tokoh-tokoh kaya baru yang tak terlepas dari permainan kekuasaan”.

SELAMA 65 tahun Indonesia merdeka, sejak 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia ganti berganti hidup bersama 6 presiden. Ada yang memerintah selama 20 tahun dan 32 tahun, yakni Soekarno dan Soeharto, ada yang berada pada posisinya ibarat hanya seumur jagung, yakni BJ Habibie. Sedang Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri harus berbagi separuh-separuh periode 5 tahun. Dan ada pula yang akan menjalaninya selama 10 tahun –atau dua periode, batas maksimal yang diperbolehkan UUD hasil amandemen– yakni Soesilo Bambang Yudhoyono, bila selamat melampaui masa kedua kepresidenannya saat ini tanpa impeachment atau musibah lainnya. Mudah-mudahan pula, keluhan melankolis Presiden tentang adanya di antara ‘anak bangsa’ yang menjadikan dirinya sasaran, maaf, assassinasi, takkan pernah menjadi kenyataan.

Meski ada yang saling meniru satu sama lain, secara umum para presiden yang enam orang itu, memiliki gaya menjalankan kekuasaan yang masing-masing berbeda. Namun keenam presiden itu memiliki beberapa kesamaan ‘penting’: Sama-sama belum berhasil menegakkan keadilan sosial –keadilan ekonomi, keadilan politik maupun keadilan hukum– bagi seluruh rakyat dalam suatu negara Indonesia yang aman dan sejahtera. Sebagian memerintah dengan gaya otoriter, sebagian dengan gaya feodalistik yang bercampur gaya kolonialistik, sebagian lagi mencoba gaya bercitra demokratis, namun pada hakekatnya sama-sama lebih banyak sekedar mengatasnamakan demokrasi, karena belum berhasilnya bangsa ini menemukan format yang pas dalam praktek berdemokrasi.

Persamaan lain yang sangat menonjol, terlihat secara empiris dari masa ke masa hampir sepenuhnya selama 65 tahun Indonesia merdeka, ialah kegagalan membasmi ‘keong racun’ korupsi. Beberapa di antara mereka, sebaliknya justru berhasil ‘mengendalikan’ korupsi untuk ditarik manfaatnya dalam rangka memelihara kekuasaan, atau setidaknya mempertahankan eksistensinya dalam kekuasaan. Dengan penamaan yang berbeda-beda, selalu terjadi money politics dalam rangka pemeliharaan kekuasaan, yang dengan sendirinya tak bisa tidak mengharuskan adanya kompromi-kompromi dengan para pemilik akumulasi kekayaan yang memperolehnya melalui cara busuk dalam iklim koruptif.

Para pemegang akumulasi kekayaan ini, terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, para konglomerat maupun pengusaha semi konglomerat yang berhasil makin memperbesar akumulasi kekayaan mereka melalui kerjasama ‘ekonomi’ dengan kalangan kekuasaan yang memerlukan biaya sebanyak mungkin dana untuk memperoleh maupun memelihara kekuasaan. Kedua, tak lain adalah kelompok maupun perorangan yang pernah berada di dalam kekuasaan yang di masa lampau saat berkuasa bisa mengakumulasi kekayaan melalui manipulasi atau pemanfaatan kekuasaan mereka saat itu. Kelompok kedua ini membutuhkan kompromi tertentu dengan penguasa ‘baru’ terutama sebagai pengamanan diri mereka agar tak dikutak-katik dosanya di masa lampau, bahkan kadangkala dengan kompromi itu masih bisa turut serta menjalankan peran atau pengaruh tertentu di belakang layar kekuasaan. Makanya dari waktu ke waktu kita selalu bisa melihat kehadiran tokoh-tokoh kategori ‘the man for all seasons’ untuk menghindari penyebutan kasar sebagai tokoh bunglon.

Khusus mengenai manusia segala cuaca –dalam konotasi negatif– ini, menurut catatan,  selalu ada dalam setiap masa peralihan antara dua kurun waktu sejarah. Melimpah dari satu zaman ke zaman berikutnya. Mereka kaum oportunis yang pernah menjadi kaki tangan aktif dari kaum kolonial misalnya, bisa beralih dan mendapat peran di masa-masa awal kemerdekaan. Tapi tentu kita harus membedakannya dengan lapisan pamong praja dalam birokrasi masa kolonial yang kemudian berperan positif dalam birokrasi Indonesia merdeka pada masa awal. Dalam masa peralihan antara rezim Soekarno dengan rezim Soeharto, terdapat pula beberapa tokoh oportunis yang berhasil melanggengkan peranannya dengan nyaman di sisi Soeharto. Sebagaimana kita bisa melihat betapa sejumlah tokoh yang sangat berperan menjalankan politik kekuasaan Soeharto, kemudian mendapat tempat dan peran yang tak kalah signifikannya di masa yang disebut era reformasi. Menarik pula, bagaimana beberapa orang yang ‘dilempar’ keluar dari rezim kekuasaan Jenderal Soeharto, karena melakukan korupsi –atau di’parkir’ karena berbagai alasan tidak terhormat lainnya– berhasil tampil kembali di masa reformasi. Mereka berhasil memanipulasi ‘sejarah’ diri mereka dengan gambaran ‘retorik’ pernah melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Menjadi mulia meski tidak mulia di masa kekuasaan lampau yang tak dimuliakan lagi.

SEPERTI halnya dengan elite yang sedang berada dalam kekuasaan dan pemerintahan negara, para elite partai-partai politik yang sangat kuat orientasinya dalam mengejar kekuasaan, juga sama membutuhkan para konglomerat dan kelompok kedua yang terdiri dari eks lingkaran kekuasaan masa lampau. Itu sebabnya, sekarang ini, kita juga bisa melihat keberadaan sejumlah tokoh ex menteri atau ex pejabat yang cukup berduit –dan diharapkan masih punya sisa pengaruh dan jaringan atau akses tertentu– di sejumlah partai politik.

Di masa Presiden Soeharto, dengan sedikit sekali pengecualian, tak ada pejabat pemerintahan apalagi tokoh militer atau purnawirawan, berada di tubuh dua partai –PPP dan PDI– di luar Golkar. Hanya ada 1-2 menteri yang 1-2 kali berasal dari partai, yang diangkat Presiden Soeharto, seperti misalnya Sunawar Sukawati dan KH Idham Khalid. Seluruh pegawai negeri harus menjadi anggota Korpri yang kiblat politiknya adalah Golkar. Sementara di masa kekuasaan Presiden Soekarno, khususnya pada masa Nasakom 1959-1965, partai-partai unsur Nasakom mendapat tempat dalam kabinet. Ada menteri-menteri dari PKI dan yang se-aspirasi, seperti Nyoto, Jusuf Muda Dalam, Oei Tjoe Tat dan Soebandrio. Ada menteri-menteri dari partai-partai atau kelompok unsur Agama, seperti KH Idham Chalid, Wahib Wahab, A. Sjaichu, Leimena, Frans Seda, Tambunan. Ada pula menteri-menteri unsur Nasionalis, seperti Ali Sastroamidjojo, Chairul Saleh, Supeni, serta dari kalangan militer.

Presiden Soekarno memfaedahkan sejumlah pengusaha besar untuk membantu mengisi pundi-pundi Dana Revolusi. Dalam deretan pengusaha terkemuka itu terdapat antara lain, Markam, Hasjim Ning, Dasaad Musin dan Rahman Aslam. Tokoh-tokoh pengusaha yang menjadi besar karena kemudahan akses dengan kekuasaan ini, menjadi tamu tetap dalam pesta-pesta malam tari lenso di Istana Presiden yang juga disemarakkan oleh sejumlah artis atau bintang film jelita seperti Titiek Puspa, Nurbani Jusuf, Baby Huwae dan kawan-kawan. Untuk kehadiran-kehadiran mereka dalam pesta selebriti negara itu, pada akhirnya sejumlah artis mendapat hadiah mobil Fiat 1300 yang dianggap salah satu model puncak di Indonesia.

Di masa kekuasaan Soeharto, terdapat nama-nama konglomerat yang namanya banyak dikaitkan dengan istana, terutama Lim Soei Liong atau Sudono Salim. Selain Lim masih terdapat nama-nama yang dekat dengan istana atau kekuasaan, seperti Sutopo Jananto, Nyo Han Siang, Bob Hasan hingga Prayogo Pangestu, serta nama-nama pengusaha yang sekaligus berkategori kerabat Presiden atau kerabat keluarga istana, yakni Sudwikatmono, Sukamdani Sahid hingga Probosutedjo. Dan pada akhirnya, konglomerasi puteri-puteri presiden sendiri. Di luar mereka terdapat juga sejumlah nama pengusaha yang melejit karena kedekatan dengan para jenderal di sekeliling Soeharto, seperti misalnya yang punya kedekatan dengan Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani, maupun Jenderal Sofjar, Jenderal Ahmad Tirtosudiro dan Jenderal Ibnu Sutowo. Pengusaha properti Ir Ciputra sementara itu melambung dalam berbagai kerjasama menguntungkan bersama pemda di masa Gubernur DKI Ali Sadikin. Ada juga konglomerat yang mati ‘digebug’ oleh orang sekitar istana, yakni William Surjadjaja pemimpin kelompok Astra pra akuisisi yang bermula dari kecerobohan bisnis puteranya, Edward Surjadjaja.

Tentu bisa disebut juga beberapa nama pengusaha, yang untuk sebagian besar kini sudah berkategori konglomerat, yang muncul di masa Soeharto, entah murni karena kemampuan kewirasusahaan mereka sendiri, entah kombinasi dengan pemanfaatan akses kepada kalangan kekuasaan, entah sepenuhnya karena keberuntungan dalam jalinan kolusi dengan kekuasaan. Beberapa nama bisa disebut, mulai dari Mohammad Gobel, Achmad Bakrie, Sudarpo dan Haji Kalla, sampai kepada nama-nama seperti Eka Tjipta Widjaja, Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, Syamsu Nursalim, Marimutu Sinivasan, Mochtar Riyadi dan puteranya, putera-puteri Ibnu Sutowo, Po dan isterinya Hartati Murdaya, Arifin Panigoro, Sukanto Tanoto, Sugianto Kusuma, Tommy Winata dan Chairul Tandjung. Sinivasan bersaudara rontok dan Prajogo Pangestu melorot di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Beberapa nama bisa berkibar terus di masa BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputeri, bahkan tembus hingga masa Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu yang tetap survive adalah Hartati Murdaya yang kini bergabung di Partai Demokrat. Selain itu, bisa dicatat bahwa pada setiap masa kepresidenan, selalu muncul juga tokoh-tokoh kaya baru yang menurut George Junus Aditjondro dalam bukunya mengenai korupsi kepresidenan, tak terlepas dari permainan kekuasaan.

Berlanjut ke Bagian 2

Pada Wilayah Abu-abu Penegakan Hukum

“TENTU pengungkapan-pengungkapan yang tercipta dalam interaksi para anggota Komisi III DPR dengan Komjen Susno Duadji, tak boleh dibiarkan untuk tidak ditindak-lanjuti”. “Pengungkapan dan penyelidikan lanjut akan membuka peluang bagi kita semua untuk meninggalkan wilayah abu-abu dalam penegakan hukum dalam konteks situasi kualitatif”. Semoga suatu ketika  dalam konteks sebab-akibat penegakan hukum yang benar, “bisa dicapai kehidupan baru dan peradaban baru, yang belum pernah berhasil dicapai bangsa ini sebelumnya”.

CATATAN ini semula sebenarnya dimaksudkan sekedar sebagai sajian intermezzo akhir pekan, namun kekuatan aktualita sebagai ekor dengar pendapat Komisi III DPR dengan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji agaknya melimpah juga hingga hari penutup pekan. Sebagai pembuka, untuk mewakili nuansa intermezzo di sini dikutip narasi pengantar serial ‘Star Trek’ – The Next Generation yang digemari oleh puluhan bahkan ratusan juta penonton televisi di dunia. “Space, the final frontier. These are the voyages of starship Enterprise. It’s continuing voyages to explore strange new worlds, to seek out new life and new civilizations, to boldly go where no one has gone before!”.

Pemberantasan korupsi –yang mencakup pemberantasan mafia hukum, mafia perpajakan dan berbagai kejahatan keuangan lainnya– dan penegakan hukum secara menyeluruh di Indonesia, adalah bagaikan penjelajahan panjang di ruang angkasa menuju final frontier untuk mencapai hukum berdasarkan kebenaran bisa mencapai keadilan sedekat-dekatnya. Bukankah paham bahwa dari ‘kebenaran datang keadilan’ bersumber pada trancendent ethics atau etika keilahian yang datang dariNya nun di atas sana? Akan tetapi jangankan mencapai ruang angkasa terdepan, kita ibaratnya masih jungkir balik di wilayah abu-abu permukaan bumi sambil menghirup udara dari lapisan terendah atmosfir bumi yang sudah sangat terpolusi ini. Dan mungkin saja akan tetap seperti itu, entah untuk seberapa lama lagi.

NAMUN, wilayah abu-abu penegakan hukum –tempat bertemunya idealisme yang putih dengan hasrat hitam– bukanlah wilayah tanpa cerita menarik. Konon, untuk menangkap maling diperlukan bantuan maling. Maka polisi banyak menggunakan maling atau mantan-mantan maling sebagai informan. Untuk membongkar jaringan teroris, intelejen harus ‘bergaul’ di dalam dan mengenal dunia para pelaku teror. Sebelum tahun 1965, tentara yang anti komunis, banyak menyusupkan anggotanya ke tubuh PKI dan organisasi-organisasi kiri lainnya. Pada waktu yang sama, PKI juga menyusupkan dan atau setidaknya membina sejumlah perwira tentara agar berpikiran komunis. Jenderal Ali Moertopo pernah dicurigai sebagai ‘komunis’ belakang layar, karena ia ‘memelihara’ di lingkungannya, banyak orang yang dikenal sebagai ex komunis atau dicurigai komunis, sebagaimana ia juga ‘memelihara’ banyak tokoh Islam radikal. Tentu saja, susup menyusup begini ada juga bahayanya. Maling atau rampok yang menjadi informan polisi, banyak yang tetap jadi maling dan justru aman karena ‘kenal’ polisi. Polisi yang terlalu banyak bergaul dengan para maling bisa juga justru ikut menjadi maling atau setidaknya memanfaatkan para maling untuk keuntungannya sendiri. Banyak perwira tentara yang dulu disusupkan ke PKI, ternyata jadi PKI betulan. Perwira tentara yang berhasil dibina PKI sebelum tahun 1965, banyak yang kemudian setelah tahun 1965 berperan ‘menunjuk-nunjuk’ tokoh PKI yang terselubung sekalipun, sehingga bisa ditangkapi dan ‘dibantai’. Bahkan beberapa dari perwira tentara yang terbina PKI ini menjadi pelaku penangkapan dan penganjur pembantaian atas pengikut-pengikut PKI sambil menyelamatkan diri dengan menampilkan jasa.

Salah satu nama yang muncul dalam temu pendapat Susno Duadji dengan Komisi III DPR, Sjahril Djohan, barangkali termasuk di dalam wilayah abu-abu ini. Ia putera seorang diplomat dan pernah mendapat tugas khusus yang formal di Departemen Luar Negeri. Dikabarkan, ia banyak juga jasanya. Jaksa Agung Marzuki Darusman yang seorang putera diplomat, mengenal Sjahril Djohan dalam konteks tersebut. Marzuki Darusman yang mungkin merasa tak bisa sepenuhnya mengandalkan orang dalam Kejaksaan Agung yang belum begitu dikenalnya, memerlukan menggunakan orang luar seperti Sjahril dalam konteks yang positif. Sjahril diangkat menjadi tim ahli di Kejaksaan Agung bersama beberapa orang lain seperti Ary Suta, Prof Priatna Abdurrasjid SH dan lain-lain. Sjahril pernah dimintai bantuannya melakukan lobbi kepada Ketua Pengadilan Tinggi, untuk mengoreksi hukuman yang nyaman bagi Bob Hasan pengusaha yang dekat dengan Soeharto yang dijatuhkan di tingkat Pengadilan Negeri. Di tingkat banding, Bob Hasan dijatuhi hukuman lebih berat. Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa kemudian bahkan me-Nusakambangan-kan Bob.

Kehadiran Sjahril Djohan di Kejaksaan Agung, diterima secara beragam. Konon, ia punya banyak teman lama di sana, yakni antara lain ex Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta) yang berkarir jaksa. Tapi di lain pihak, banyak juga jaksa yang tak senang. Mingguan Tabloid Adil pernah memberitakan kehadiran Sjahril Djohan di Kejaksaan Agung sebagai pengatur perkara. Adapun Marzuki Darusman –yang sejauh ini tercatat sebagai Jaksa Agung yang secara kuantitatif amat banyak menyeret tersangka korupsi ke ruang pemeriksaan dan sel tahanan Kejagung– ia merasa tak bisa dipengaruhi oleh Sjahril Djohan, meskipun ia itu teman lama. Sebagaimana, Marzuki juga tak bisa dipengaruhi oleh kolega-kolega politiknya di Golkar yang memintanya untuk menghentikan proses terhadap Ginandjar Kartasasmita. Sejumlah teman lama di masa perjuangan mahasiswa juga pernah menemui Marzuki untuk menyelamatkan seorang teman dari masa perjuangan yang sama dalam kasus BLBI. Tidak dikabulkan. Beberapa politisi lintas partai pun pernah menyatakan kejengkelannya di belakang ketika Marzuki tidak mengabulkan permohonan mereka untuk menyelamatkan sejumlah terdakwa korupsi. Di antara anggota DPR lintas partai ini, ada yang saat ini namanya disebut-sebut sebagai penerima travel chegue ratusan juta dalam kasus Miranda Goeltom. Bahwa Marzuki tak selalu menggunakan aparat Kejaksaan Agung, juga terlihat saat ia ingin mengecek langsung apakah betul mantan Presiden Soeharto sakit atau tidak. Ia memanfaatkan jasa seorang teman lamanya yang bisa mempersuasi agar mantan Wakil Presiden Sudharmono SH meng-arrange kunjungan ke Cendana. Dan pada suatu malam Marzuki Darusman bisa menengok Soeharto di Cendana. Setelah melihat sendiri keadaan Soeharto, Marzuki Darusman tiba pada kesimpulan bahwa sakitnya Soeharto itu tidak pada tingkat yang cukup untuk dijadikan alasan kuat menghentikan proses terhadap mantan penguasa Indonesia ini. Sehingga, penuntutan dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung.

Sjahril Djohan juga disebut sangat dekat dengan Susno Duadji. Susno membantah. Seorang jenderal polisi bintang tiga lainnya, Komjen Makbul Padmanegara, mengakui Sjahril Djohan sebagai kenalan, tetapi tidak dalam konteks pengaturan perkara. Tapi kalau memang kedekatan itu ada, meminjam pengacara Susno, Henry Yosodiningrat, “so what” sepanjang tidak dalam hubungan yang berbau penyalahgunaan kekuasaan. Soal Sjahril bisa saja menyalahgunakan, itu soal lain. Sjahril Djohan juga diberitakan punya surat pengangkatan sebagai anggota fungsional di Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri. Kehadiran orang sipil di Polri sebenarnya bukan hal baru, di sana ada orang-orang sipil yang menjadi staf atau penasehat ahli. Belakangan ini dalam polemik dan sorotan mengenai Polri, muncul digaris depan nama-nama seperti Dr Bahtiar Aly, Dr Chairul Huda dan Dr Kastorius Sinaga, yang membela Polri mati-matian. Seorang perwira tinggi di Markas Besar Polri, dan seorang teman lama Sjahril bernama Harry Hupudio mengungkap bahwa Sjahril pernah membantu Polri di masa Kapolri Dai Bahtiar  masih menjadi Kabareskrim dalam upaya ekstradisi Hendra Rahardja terhukum kasus BLBI Bank BHS yang kabur ke Australia, hanya saja yang bersangkutan keburu meninggal dunia. Jadi, sejauh ini ada dua versi yang sangat berbeda mengenai Sjahrial Djohan. Salah satu versi bisa salah, sementara yang lain benar. Hitam dan Putih. Atau bisa juga kedua versi sama benarnya, hitam dan putih yang merubah warna menjadi abu-abu, dalam artian Sjahrial Djohan melakukan kegiatan ‘sambil menyelam minum air’. Sebuah pepatah Belanda mengatakan ‘kesempatan menciptakan maling’.

TENTU pengungkapan-pengungkapan yang tercipta dalam interaksi para anggota Komisi III DPR dengan Komjen Susno Duadji, tak boleh dibiarkan untuk tidak ditindak-lanjuti. Menyangkut Sjahril Djohan, ia pernah ada dalam posisi resmi dan sah sejak di Kopkamtib lalu Departemen Luar Negeri, tapi kini ada dalam sorotan, sehingga merupakan pertanyaan, sejak kapan ia berubah wujud? Pengungkapan dan penyelidikan lanjut akan membuka peluang bagi kita semua untuk meninggalkan wilayah abu-abu dalam penegakan hukum dalam konteks situasi kualitatif. Semoga suatu ketika  dalam konteks sebab-akibat penegakan hukum yang benar, “bisa dicapai kehidupan baru dan peradaban baru, yang belum pernah berhasil dicapai bangsa ini sebelumnya”. Soal metode yang dijalankan dalam suasana abu-abu, barangkali soal lain, asal para pengguna metode itu jangan tergelincir menjadi hitam. Jangan sampai polisi justru menjadi criminal in uniform karena larut dalam metode. Harus juga bersikap adil dan tak mudah menggeneralisasi bahwa semua kenalan Sjahril Djohan –bila ia nanti terbukti melakukan praktek makelar kasus seperti apa yang dituduhkan– apakah ia jaksa, polisi atau hakim, atau teman lama, dengan sendirinya ada dalam hubungan berkonotasi hitam. Dan karena ia misalnya juga adalah kakak penyanyi populer masa lampau, Ernie Djohan dengan lagu terkenal ‘Teluk Bayur’, jangan sampai sang adik jadi bulan-bulan infotainment.