Tag Archives: Taufiq Kiemas

Joko Widodo Dalam Lekatan Stigma PKI

TELAH empat tahun lebih Joko Widodo –kini Presiden RI yang sedang mempersiapkan diri menuju periode kedua– senantiasa berada dalam lekatan stigma PKI. Terhadap tuduhan PKI pada dirinya, Joko Widodo mengatakan di depan deklarasi akbar ulama Madura (19/12) “Saya sudah empat tahun diam saja. Saatnya saya berbicara sekarang ini.” Jokowi lalu menuturkan, berdasarkan survei ada 9 juta orang yang percaya dengan isu PKI dan tuduhan anti ulama dan antek asing. “Kalau sudah 9 juta, saya menjawab. Ini perlu saya menjawab. Saya diam kemarin bukan karena apa-apa. Ini saya jawab supaya tak berkembang jadi 10 juta, 11 juta, 12 juta, 15 juta. Bahaya sekali. Sehingga perlu saya jawab.”

Ini ulangan penjelasan serupa yang sebelumnya telah disampaikan Jokowi di Lampung Tengah (23/11) dalam acara membagi-bagi sertifikat tanah. “Ini yang kadang-kadang, haduh, mau saya tabok, orangnya di mana, saya cari betul”. Sepekan kemudian saat bertemu Yusril Ihza Mahendra, dan mengeluhkan soal itu (30/11) Ketua Umum PBB itu menasehatinya untuk menjawab. Agar berita yang dianggap bohong oleh Jokowi itu “tidak menjadi benar” karena tidak ada penjelasan. Continue reading Joko Widodo Dalam Lekatan Stigma PKI

“Jangan Memodifikasi Sejarah Pancasila”

SETAHUN lalu, 2 Juni 2017, Yusril Ihza Mahendra –politisi yang juga ahli tata negara– membuat suatu tulisan yang banyak dikutip media tentang Hari Lahir Pancasila. Yusril pada bagian akhir tulisannya menyampaikan catatan untuk Presiden Joko Widodo. “Presiden harus mengerti dan memahami sejarah supaya tidak mudah diatur kelompok lain untuk menciptakan sejarah baru terkait sejarah Pancasila seperti penetapan 1 Juni itu sebagai Hari Lahir Pancasila.” Tapi agaknya, catatan itu tak menjadi perhatian sang Presiden. Tahun ini, pemerintah tetap merayakan 1 Juni 2018 sebagai Hari Lahir Pancasila. Presiden Joko Widodo menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, pada tahun 2016. Sekaligus, hari libur nasional –yang dinikmati masyarakat yang untuk sebagian makin hari memang makin terdorong menggemari hari-hari libur di tengah slogan ‘kerja, kerja, kerja’.

Terlepas dari sikap pro pemerintah atau sebaliknya pro pandangan Yusril Ihza Mahendra –yang bersandar pada narasi sejarah lebih objektif– apa yang disampaikan Yusril itu bisa menjadi referensi relevan untuk suatu diskursus mengenai sejarah Pancasila. Continue reading “Jangan Memodifikasi Sejarah Pancasila”

Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (1)

KENDATI memiliki banyak perbedaan kualitatif kepemimpinan, dalam sejarah perjalanan politik dan kekuasaan, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono memiliki sejumlah persamaan dengan Jenderal Soeharto. Kedua tokoh tersebut, sama-sama bermasalah dalam jalannya kekuasaan dengan Presiden pendahulu mereka. Dan ketika berada di tampuk kekuasaan, mereka memiliki pengalaman mirip, harus menghadapi para ‘Brutus’ di sekitar dirinya dalam kekuasaan mereka. Belati para ‘Brutus’ berhasil menancap di tubuh Jenderal Soeharto, sementara para ‘Brutus’ di sekitar Susilo Bambang Yudhoyono pun telah mulai mengayunkan belati-belati mereka. Ini sedang menjadi cerita aktual masa kini. Mungkin saja akan memberi luka dan perdarahan, dalam masa-masa akhir kekuasaannya maupun pasca kepresidenannya nanti.

SBY DALAM COVER FEER. "Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009."
SBY DALAM COVER FEER. “Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009.”

Jenderal Soeharto ‘bermasalah’ dengan Presiden Soekarno sejak 30 September menuju 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan semi suksesi melalui Sidang Istimewa 7-11 Maret 1966 lalu suksesi sepenuhnya pada Sidang Umum IV MPRS Maret 1967. Melalui Sidang Umum IV itu, Jenderal Soeharto diangkat sebagai Pd Presiden, setelah mandat Soekarno dicabut sepenuhnya oleh MPRS.

Abdurrahman Wahid dan Megawati. Sedang Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, berturut-turut bermasalah dengan dua presiden yang pernah menjadi atasannya, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri. Tanggal 1 Juni 2001 ia didesak mundur oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dari jabatan Menko Politik-Sosial-Keamanan, karena perbedaan penafsiran tentang keadaan darurat terkait konflik politik Presiden dengan DPR per saat itu. Menko Polsoskam itu menolak mengambil langkah-langkah khusus penertiban dan keamanan serta penegakan hukum dalam rangka Maklumat Presiden 28 Mei 2001. Dalam situasi konflik kala itu Dekrit Presiden –yang antara lain bertujuan membubarkan DPR– tak berhasil dilaksanakan karena tak adanya dukungan penuh dari institusi-institusi yang memiliki ‘kekuatan pemaksa’ seperti kepolisian dan para pimpinan militer. Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro menolak menyerahkan posisi pimpinan Polri kepada Komisaris Jenderal Chaerudin Ismail yang ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kapolri baru.

Dekrit Abdurrahman Wahid 2001 berbeda ‘nasib sejarah’ dengan Dekrit 5 Juli 1959 Soekarno yang selain didukung sejumlah partai politik besar, juga terutama ‘didukung’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution.

Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono juga kemudian bermasalah dengan Presiden Megawati –pengganti Abdurrahman Wahid– yang telah mengangkatnya sebagai Menko Politik dan Keamanan 10 Agustus 2001. Pada tahun ketiga dalam jabatan tersebut, ia merasa tak dipercaya lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. Sekitar waktu yang sama, suami Megawati, Taufiq Kiemas berkali-kali melontarkan ucapan yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap dirinya. Lebih dari satu kali ia tak lagi diundang ikut dalam rapat kabinet. Akhirnya, 11 Maret 2004 ia mengundurkan diri. Tetapi sebelum ‘meninggalkan’ Mega, sebenarnya Susilo Bambang Yudhoyono telah lebih dulu mempersiapkan ‘jalan baru’ dalam politik dan kekuasaan bagi dirinya. Lahirnya Partai Demokrat, merupakan bagian dari ‘jalan baru’ itu.

Semula, menurut cerita belakang layar yang banyak menjadi bahan perbincangan kalangan politik kala itu, pernah ada upaya menampilkan Megawati Soekarnoputeri berpasangan dengan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden-Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden secara langsung di tahun 2004. Tetapi Taufiq Kiemas –berdasarkan beberapa informasi yang diterimanya– meyakini Susilo Bambang Yudhoyono diam-diam memiliki rencana sendiri menuju kursi nomor satu, dan tidak ingin sekedar menjadi orang nomor dua. Kecaman-kecaman Taufiq Kiemas yang mengalir setelah itu ke alamat Susilo Bambang Yudhoyono ditambah koinsidensi sikap ‘keras’ dan ‘dingin’ yang ditunjukkan Megawati, menimbulkan kesan penganiayaan politik terhadap figur sang jenderal. Citra teraniaya –seperti yang pernah dialami Megawati puteri sulung Soekarno dari rezim Soeharto dan terbukti menuai simpati dan dukungan publik– ternyata juga berhasil mengangkat simpati kepada Susilo Bambang Yudhoyono.

TAHUN 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal dengan akronim SBY, berhasil memenangkan Pemilihan Presiden berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla, mengalahkan Megawati Soekarnoputeri. Padahal, dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya di tahun yang sama, partai pendukung utama SBY, Partai Demokrat, bukan peraih suara terbanyak. Sementara Muhammad Jusuf Kalla kala itu belum menjadi Ketua Umum Golkar dan Partai Golkar sendiri oleh Akbar Tandjung –Ketua Umum saat itu– diarahkan pada pilihan mendukung Megawati Soekarnoputeri. Untuk pilihan itu, Akbar harus berpisah jalan dengan beberapa rekannya yang juga menjadi tokoh teras DPP Golkar yang sama-sama mengelola ‘Golkar Baru’ pasca Soeharto, seperti Fahmi Idris dan Marzuki Darusman.

Setelah meraih kursi Wakil Presiden, Muhammad Jusuf Kalla, berhasil mengambil alih kepemimpinan Golkar melalui Musyawarah Nasional di Nusa Dua Bali, 19 Desember 2004. Meski Jusuf Kalla –seperti dikatakan Sudharmono SH– pernah berpaling ke PPP, kaum pragmatis di Golkar yang gamang bila tak terkait dengan tokoh yang punya jabatan tinggi dalam kekuasaan pemerintahan, tetap memilihnya sebagai Ketua Umum untuk periode 2004-2009. Hampir semua tokoh yang pernah dipentalkan Akbar dari DPP sebelumnya, seperti Fahmi Idris, Burhanuddin Napitupulu dan beberapa lainnya terakomodasi dalam Golkar di bawah Jusuf Kalla. Hanya Marzuki Darusman yang tak ikut.

Walau Marzuki sempat berbenturan dan beda paham dengan Akbar, sebaliknya ia tak sepenuh hati terhadap penokohan Jusuf Kalla di Golkar. Selama Munas di Nusa Dua itu, Marzuki yang juga berada di Bali sempat berkomunikasi dengan Akbar. Marzuki kala itu bahkan tampaknya masih ikut mengusahakan supaya Akbar Tandjung berlanjut sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dan bukan yang lain-lain –Wiranto, atau Jusuf Kalla. Munas Golkar di Nusa Dua, Desember 2004 –yang penuh aroma politik uang, tawar menawar dilakukan via sms, dan merupakan salah satu di antara perilaku politik yang terburuk dan vulgar di antara event serupa di tubuh Golkar– menghasilkan resultante DPP Golkar di bawah Ketua Umum Muhammad Jusuf Kalla.

MELALUI beberapa orang, agaknya Marzuki Darusman sempat mengalami jalinan komunikasi dengan SBY yang baru memenangkan kursi nomor 1 Republik Indonesia. Ini ada historinya. Bersama Fahmi dan lain-lain, dalam Pilpres 2004, Marzuki Darusman menolak pilihan politik Akbar Tandjung untuk membawa Golkar mendukung Megawati Soekarnoputeri. Dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya baru saja Golkar menggariskan kepada para kadernya untuk menempatkan PDIP sebagai saingan utama, tetapi hanya beberapa bulan setelahnya disuruh berbalik mendukung Mega dan PDIP. Sesuatu yang agaknya menurut Marzuki secara moral tak benar, walau bisa saja memenuhi kepentingan pragmatis dalam kehidupan politik yang opportunistik. Marzuki cenderung agar Golkar berjalan bersama Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat SBY sebagai presiden baru mulai menghubungi para tokoh untuk diajak ikut dalam kabinetnya, dikabarkan Marzuki Darusman termasuk yang ditemui awal. Kuat dugaan kala itu bahwa SBY akan mengajak Marzuki bergabung, seperti halnya Fahmi Idris kemudian. Dalam kenyataan, Fahmi Idris ikut dalam kabinet pertama SBY, dan Marzuki tidak. Mungkin ini merupakan sesuatu yang menarik untuk diceritakan suatu waktu, dikaitkan dengan selera SBY terhadap tokoh-tokoh yang diajaknya masuk kabinet. Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009. Tapi dalam pemilihan presiden berikutnya mereka tak melanjutkan duet, malahan bersaing.

Demi mayoritas kerja. Sebagai pemenang Pemilihan Presiden, Pemerintahan SBY yang tak punya mayoritas kerja di DPR membutuhkan koalisi, karena partai pendukungnya, Partai Demokrat, meskipun dianggap partai pendatang baru yang cukup cemerlang, kenyataannya hanya memiliki 56 dari 550 kursi DPR hasil Pemilu 2004. Partai Demokrat berada di urutan ke-4 di bawah Partai Golkar (127 kursi), PDIP (109 kursi) dan PPP (58 kursi). Hanya unggul sedikit dari PAN (53 kursi), PKB (52 kursi) dan PKS (45 kursi). Itulah sebabnya, demi mayoritas kerja dan keamanan jalannya pemerintahannya, dalam penyusunan kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono harus melakukan kompromi, membagi kursi kabinet kepada sejumlah partai. Dalam keadaan seperti itu, ia berada di ruang pilihan sempit, tak bisa menjadikan aspek kualitatif sebagai faktor dalam menentukan komposisi kabinetnya. Hak prerogatifnya terpaksa ‘dibagikan’ kepada partai-partai koalisi.

Dengan demikian, sejak awal memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak bisa sepenuhnya mengharap loyalitas utuh, karena para menterinya untuk sebagian besar punya kesetiaan yang siap sewaktu-waktu mendua. Dan situasi itu berlanjut ke dalam masa kepresidenannya yang kedua, karena tak mampu keluar dari pola kompromi. Meski mengalami kenaikan perolehan suara dalam Pemilihan Umum 2009, tetap saja Partai Demokrat tak bisa mencapai angka mayoritas kerja. Raihan suara mayoritas dalam Pemilihan Umum memang cenderung menjadi suatu kemustahilan dalam sistem banyak partai. Dalam sistem banyak partai, the art of negotiation dalam pengertian yang dinamis, konstruktif dan beretika merupakan kebutuhan melekat. Tapi malang, pengalaman empiris menunjukkan betapa kebanyakan politisi Indonesia terbukti lebih pandai bersekongkol daripada berkompromi secara wajar dan terhormat.

Apakah situasi kesetiaan mendua dalam kabinet SBY, sewaktu-waktu bisa melahirkan perilaku mirip Brutus, merupakan pertanyaan tersendiri. Sejauh ini yang pernah terjadi, ada menteri dan mantan menteri yang menyatakan kekecewaan kepada sang Presiden. Dalam posisi dan kompetensi sebagai ahli tata negara, Yusril Ihza Mahendra (tokoh PBB), pernah mempersoalkan kekeliruan administratif Presiden terkait keberlanjutan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji tahun 2009 bersamaan dengan pembentukan kabinet baru. Belum merupakan perilaku Brutus yang sesungguhnya. Namun, sedikit di luar perkiraan, para Brutus justru kemudian lahir di tubuh partai pendukung utama Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2 

‘Keliru’ Bersama Taufiq Kiemas

KETIKA Ketua MPR-RI Taufiq Kiemas meninggal dunia 8 Juni lalu, ia ‘mewariskan’ terminologi ‘4 pilar’ kehidupan berbangsa bagi Pancasila, UUD 1945, (konsep) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (konsep) Bhinneka Tunggal Ika. Sewaktu mulai menggunakan terminologi pilar itu –khususnya bagi Pancasila dan UUD 1945– bukannya tak ada kritik bahwa Pancasila dan UUD 1945 bukanlah sekedar pilar, melainkan dasar atau fundamen negara. Akan tetapi ‘sosialisasi’ 4 pilar tersebut berjalan terus, dan ternyata tak kurang banyak juga tokoh yang ikut terbawa menggunakan terminologi yang sebenarnya keliru itu. UniversitasTrisakti bahkan sempat memberi gelar Doctor Honoris Causa untuk Taufiq Kiemas karena kegiatan intensifnya menyosialisasikan 4 pilar bangsa itu.

TAUFIQ KIEMAS DAN JUSUF KALLA. "TANPA mengurangi penghargaan terhadap tokoh yang bernama Taufiq Kiemas ini, ke depan penggunaan terminologi pilar dalam mengkategorikan Pancasila dan UUD 1945 tak perlu dilanjutkan. Mana mungkin pilar berdiri tanpa fondasi? Mana mungkin ada kehidupan bernegara tanpa filsafat dasar bernegara? Sesuatu yang keliru tak pantas untuk dilanjutkan. " (foto-foto: kompas images/inilah.com)
TAUFIQ KIEMAS DAN JUSUF KALLA. “TANPA mengurangi penghargaan terhadap tokoh yang bernama Taufiq Kiemas ini, ke depan penggunaan terminologi pilar dalam mengkategorikan Pancasila dan UUD 1945 tak perlu dilanjutkan. Mana mungkin pilar berdiri tanpa fondasi? Mana mungkin ada kehidupan bernegara tanpa filsafat dasar bernegara? Sesuatu yang keliru tak pantas untuk dilanjutkan. ” (foto-foto: kompas images/inilah.com)

Pengguna terbaru terminologi pilar, antara lain misalnya, adalah mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Pada acara 40 hari meninggalnya Taufiq Kiemas di Gedung MPR (19/7), tokoh yang sedang mencoba kembali bertarung dalam Pemilihan Presiden 2014 itu, mengatakan 4 pilar tersebut adalah landasan berpikir kebangsaan kita.

Tak kurang dari Bung Karno, yang dengan sendirinya adalah ayah mertua Taufiq Kiemas setelah memperisteri Megawati Soekarnoputeri di tahun 1970an, yang menyebutkan Pancasila sebagai philosofische grondslag. Dalam pidato di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, yang membicarakan tentang Dasar Negara Indonesia, Soekarno mengatakan yang dicari saat itu tak lain adalah philosofische grondslag tersebut. “Philosofische grondslag ialah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.” Lalu, Soekarno menguraikan lima prinsip yang bisa menjadi dasar bagi Indonesia Merdeka, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Terhadap prinsip-prinsip ini kemudian digunakan terminologi sila. Berdasarkan uraian Soekarno ini kemudian dirumuskan 5 sila itu dengan urutan baru dan atas usulan Muhammad Yamin digunakan penamaan Pancasila.

Pancasila pada hakekatnya adalah suatu ideologi, yakni ideologi negara ini, yang mengandung wawasan dan gagasan yang menggambarkan suatu cita-cita. Menurut Prof Dr Midian Sirait, sebagai ideologi Pancasila dengan demikian merupakan satu kerangka atau struktur bangunan yang tersusun dari nilai-nilai, gagasan-gagasan azasi fundamental tentang manusia, yang membentuk satu sistem. Dan dalam kedudukan sebagai ideologi itu Pancasila menjadi dasar bagi gagasan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan.”

Sebenarnya, UUD 1945 yang pada mukadimahnya tercantum lima sila dalam Pancasila, pun berkategori sebagai fundamen bersama Pancasila, bukan sekedar pilar.

TANPA mengurangi penghargaan terhadap tokoh yang bernama Taufiq Kiemas ini, ke depan penggunaan terminologi pilar dalam mengkategorikan Pancasila dan UUD 1945 tak perlu dilanjutkan. Mana mungkin pilar berdiri tanpa fondasi? Mana mungkin ada kehidupan bernegara tanpa filsafat dasar bernegara? Sesuatu yang keliru tak pantas untuk dilanjutkan. Karena, hanya akan mengacaukan dan merusak pemahaman yang sesungguhnya terhadap Pancasila dan UUD 1945 dalam praktek kehidupan bernegara. Anjuran ini bukan karena Taufiq Kiemas sudah almarhum, karena sebelum ini kritik dan koreksi cukup banyak dilancarkan terhadap terminologi tersebut, namun tak didengarkan apalagi diperbaiki.

Tokoh-tokoh yang terbawa ikut keliru bersama Taufiq Kiemas, barangkali perlu meluruskan kembali pikiran-pikiran mereka.

Mungkin yang lebih penting untuk dilakukan adalah melakukan amandemen ulang terhadap hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan beberapa kali sebelum ini. Dalam rangkaian amandemen yang lalu, terlalu banyak kekeliruan sehingga beberapa pasal dari UUD itu sendiri bertentangan dengan dasar negara yang tercantum dalam pembukaan. Para pendiri bangsa yang berada dalam BPUPKI maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merumuskan dan mengesahkan UUD 1945, mengatakan bahwa apa yang mereka hasilkan adalah pokok-pokok pikiran mereka yang terbaik untuk pengaturan negara. Namun, tak tertutup kemungkinan untuk penyempurnaan kelak di kemudian hari. Hal itu diatur dalam Bab XVI Pasal 37 UUD 1945.

Sayangnya, di masa reformasi, partai-partai politik yang ada, tidak cermat dalam melakukan amandemen UUD. Terkesan, amandemen dilakukan untuk sebagian lebih karena trauma terhadap kekuasaan Soeharto yang terlalu besar dan dominan di masa sebelumnya. Untuk sebagian lagi, perubahan-perubahan yang dilakukan lebih banyak terdorong oleh berbagai kepentingan politik sesaat, termasuk hasrat pembagian kekuasaan-kekuasaan baru, khususnya kekuasaan legislatif yang berlebihan. Di lain pihak tetap ada yang bersikeras mempertahakan teks lama, semata-mata karena enggan terhadap perubahan-perubahan yang akan menghasilkan pembatasan kekuasaan eksekutif. Kedua-duanya merupakan sikap yang tak bertanggungjawab.

Perlu kembali ada gerakan pembaharuan politik, termasuk melakukan amandemen terhadap amandemen UUD 1945. Kali ini, dengan akal sehat, akademis, bertanggungjawab dan dengan altruisme. (socio-politica.com)

Susilo Bambang Yudhoyono Beyond Soeharto (2)

PADA masa-masa awal kekuasaannya, baik Jenderal Soeharto maupun Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono harus ‘rela’ berbagi dengan orang ataupun kelompok-kelompok yang memiliki andil dalam mengantar mereka ke puncak kekuasaan. Pun harus ‘rela’ berbagi dan berkompromi dengan unsur-unsur lain yang menjadi faktor dalam penyusunan kekuasaan negara.

Setelah kejatuhan Soekarno, Jenderal Soeharto harus melakukan sharing dalam kekuasaan pengendalian negara, dengan tokoh-tokoh lain yang ikut berjasa menumbangkan Soekarno, seperti Jenderal AH Nasution serta sejumlah tokoh kuat lainnya di tubuh Angkatan Darat. Harus pula memperhitungkan panglima-panglima angkatan lainnya, yakni Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian. Dalam batas tertentu melakukan sharing dengan kelompok mahasiswa dan kalangan cendekiawan perguruan tinggi yang menjadi salah satu ujung tombak dan pelopor dalam gerakan menurunkan Soekarno. Sebagaimana ia juga harus membagi konsesi dengan partai-partai politik dari struktur politik Nasakom minus PKI. Bahkan, pada akhirnya berkompromi dengan unsur-unsur PNI yang untuk sebagian masih merupakan para Soekarnois sejati pendukung utama Soekarno di masa peralihan kekuasaan 1965-1967.

SBY MELAYAT SOEHARTO. "Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya." (download sfgate)
SBY MELAYAT SOEHARTO. “Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya.” (download sfgate)

Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Jenderal Soeharto berhasil menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh alternatif bagi kekuasaannya dan pada waktu yang sama berhasil ‘menundukkan’ berbagai institusi dan kekuatan sosial-politik –termasuk ABRI secara keseluruhan– melalui pengelolaan kelemahan manusiawi para pemimpin institusi tersebut.

Susilo Bambang Yudhoyono maju ke Pemilihan Presiden 2004 dengan dukungan partai yang hanya menduduki peringkat ke-5 dalam Pemilu Legislatif 2004 yakni Partai Demokrat dengan raihan suara 7,45 persen. Di atas Partai Demokrat ada 4 partai peraih suara terbanyak, berturut-turut Partai Golkar (21,58 persen), PDIP (18,53 persen), PKB (10,57 persen) dan PPP (8,15 persen). Tetapi Susilo Bambang Yudhoyono yang didukung partai dengan suara medium hampir minim itu diuntungkan oleh berhasilnya penggambaran dirinya sebagai korban penganiayaan politik oleh kekuasaan. Peristiwanya sendiri adalah bahwa beberapa kali Presiden Megawati tak mengajak lagi Susilo Bambang Yudhoyono mengikuti rapat kabinet berdasarkan ketidaksenangan pribadi dan ketidaksenangan sang suami, Taufiq Kiemas. Ketidaksenangan itu ditunjukkan setelah diketahui SBY ‘mempersiapkan’ diri sebagai calon Presiden. SBY dianggap ‘main belakang’ padahal tadinya siap berpasangan dengan Mega sebagai Wakil Presiden.

Dan, tak kalah pentingnya, kemenangan SBY tertolong oleh masalah internal Golkar yang terjadi  ketika Jenderal Wiranto –yang punya ganjalan sejarah masa lampau– muncul sebagai calon presiden setelah memenangkan konvensi Golkar. Dengan Wiranto sebagai calon presiden, Golkar tak berhasil menggerakkan mesin partai secara penuh sehingga gagal sejak putaran pertama. Wiranto menuding Golkar bekerja setengah hati mendukungnya. Berikutnya, pada putaran kedua, dua tokoh utama Golkar Fahmi Idris dan Marzuki Darusman berbeda pendapat dengan Akbar Tandjung yang ingin mengalihkan dukungan Golkar ke pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Bahkan ada perjanjian koalisi pra putaran kedua itu. Padahal pada putaran pertama, Akbar Tandjung diketahui menganjurkan gerakan Asal Bukan Mega (ABM). Menurut perhitungan analitis, tak kurang dari 76 persen pendukung Golkar memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla. Khusus di Sulawesi Selatan, daerah kelahiran Jusuf Kalla, SBY memperoleh kemenangan terbesar yakni 92 persen.

            Faktor lain yang mendorong kemenangan SBY adalah keberhasilan kompromi belakang layar dengan beberapa partai politik Islam untuk memberi dukungan dengan janji dan konsesi dalam kekuasaan mendatang.

            Adalah karena basis dukungan utamanya melalui Partai Demokrat begitu kecilnya, yakni 7,45 persen (menghasilkan 57 kursi DPR) sementara pada pemilihan presiden putaran kedua memperoleh 60,62 persen, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencari kompensasi untuk rasa aman dengan melakukan koalisi bersama pemilik kursi lainnya di DPR. Dengan sendirinya ia harus berbagi kursi kabinet pemerintahannya dengan partai-partai anggota koalisi. Sesuatu yang berlanjut untuk periode kedua kepresidenannya, karena kendati Partai Demokrat memperoleh kenaikan perolehan suara, tetap saja tak sanggup menciptakan mayoritas kerja di DPR seperti halnya Presiden Soeharto dengan Golkar dan ABRI di masa lampau.

            Dalam mencari sekutu kekuasaan, Susilo Bambang Yudhoyono lebih mengedepankan perhitungan taktis dan kuantitas kekuatan massa yang dimiliki para sekutu, daripada pertimbangan persamaan pemikiran strategis. Tak mengherankan, perlahan namun pasti SBY berangsur-angsur ditinggalkan atau sebaliknya menanggalkan kawan-kawan strategis, termasuk di tubuh partainya sendiri. Sebaliknya, koalisinya makin kuat diwarnai pragmatisme kekuasaan demi kekuasaan, yang pada waktunya tercerminkan secara nyata oleh maraknya perilaku korupsi di tubuh kekuasaan. Seakan-akan semua yang berniat melakukan korupsi sejak awal, terkumpul di seluruh lingkaran kekuasaannya.

Dengan koalisi, tak mungkin SBY menerapkan sistem pemerintahan presidensial walau konstitusi menyebutkan demikian dan ia sendiri sangat menghendaki porsi pengambilan keputusan sebanyak-banyaknya di tangannya. Partai-partai politik berhasil menciptakan dominasi praktik sistem parlementer –yang untuk sebagian dijalankan oleh partai-partai sekutunya sendiri– yang sehari-hari serba menempatkan sang Presiden di sudut-sudut kekuasaan dalam konteks pengambilan keputusan. Apalagi sang Presiden sendiri memang memiliki sejumlah kelemahan dalam watak kepemimpinannya. Bersamaan dengan itu, ia pun tak punya keberanian menegakkan sistem pemerintahan presidensial kendati berturut-turut dalam dua kali pemilihan presiden menjadi peraih suara mayoritas di atas 60 persen. Ditambah otonomi daerah yang diterapkan terburu-buru pasca Soeharto, lengkaplah sudah fakta ‘kemalangan’ kekuasaan sang Presiden. Tak mungkin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengendalikan kekuasaan secara penuh seperti halnya Jenderal Soeharto.

MENCATAT akumulasi keluhan dari masa ke masa, tersimpulkan bahwa kisah bangsa Indonesia dengan 6 presidennya sepanjang 68 tahun ini, seringkali bagai tragi komedi. Kita pernah punya Soekarno yang mampu mendongkrak rasa bangga kita di panggung sandiwara dunia, namun setidaknya dalam lima tahun terakhir kekuasaannya lebih banyak membiarkan perut sebagian terbesar rakyatnya keroncongan. Kita pernah punya Jenderal Soeharto yang berhasil membuat sebagian terbesar dari kita berkecukupan dengan beras, tetapi tak mampu membagi dengan baik keadilan sosial-ekonomi dan politik. Kita punya BJ Habibie yang mencoba memberi kita demokrasi dan jalan pikiran imitasi barat namun tak mampu tercerna karena rakyatnya belum berhasil disembuhkan dari trauma akumulatif masa Soekarno dan Soeharto. Lalu punya Abdurrahman Wahid yang banyak gagasan baru dan inkonvensional, namun tak punya kesehatan fisik yang menunjang dan waktu yang cukup untuk mewujudkannya, serta terlalu mempan bisikan. Punya Megawati, yang sedikit bicara sekaligus sedikit berbuat. Dan akhirnya, punya Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih lamban dari bayangan(citra)nya sendiri.

Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya. Mampu dan kuat menjalankan tugas-tugas eksekutifnya, mampu mengendalikan aparat-aparat negara di bawahnya agar optimal. Berada dalam hubungan fungsional yang wajar dengan lembaga-lembaga legislatif maupun judikatif sesuai esensi fungsi dan tugas masing-masing.

ENAM Presiden Indonesia, sama-sama tak berhasil menyembuhkan faktor-faktor disintegrasi dalam tubuh bangsa yang bhinneka ini. Faktor disintegrasi itu berkecambah dan tumbuh dari nilai-nilai yang diwariskan feodalisme dan kolonialisme yang berlangsung ratusan tahun, yang tetap menjadi masalah aktual hingga kini. Soekarno mencoba meredamnya dengan kemahiran retorika dan Soeharto meredamnya dengan represi militer. Tapi kedua-duanya hanya berhasil membuatnya tersembunyi di bawah permukaan, karena kedua-duanya tak berhasil mencerdaskan bangsa melalui pendidikan. Tiga Presiden Indonesia lainnya –BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri– berkuasa dalam masa yang terlalu ringkas untuk bisa menghasilkan sesuatu. Lagi pula, waktu mereka habis terkuras dalam pertengkaran politik demi kekuasaan pasca Soeharto. Susilo Bambang Yudhoyono, lebih punya peluang waktu, namun terhenti pada sebatas ucapan-ucapan bagus –sebagai ciri khas kepemimpinannya yang lemah tapi mengutamakan pencitraan.

Kasus-kasus Aceh, Papua, Poso dan Ambon, adalah bisul-bisul yang timbul tenggelam di bagian belakang tubuh bangsa ini. Belum tersembuhkan akar-akar penyakitnya untuk jangka panjang melalui keberhasilan pencerdasan bangsa. Tak juga ada keberhasilan menyembuhkan luka dan nanahnya, melalui penegakan hukum dan konsep pertahanan-keamanan yang baik dan benar. Terutama karena, penegakan hukum itu sendiri sedang bermasalah dan sakit, sementara konsep cemerlang takkan mungkin lahir dari manusia-manusia yang pragmatis semata dan bermasalah dengan dirinya sendiri lahir-batin.

KENAPA kemarin ini banyak kelompok yang masih punya integritas, mengeritik dan menganggap belum saatnya Susilo Bambang Yudhoyono menerima World Statesman Award, tak lain karena faktanya ia memang belum berhasil berbuat sesuatu yang berharga dan luar biasa dalam menghadapi perilaku intoleran dalam kehidupan beragama. Dan, apalagi, dalam konteks penegakan HAM secara keseluruhan. Hanya kelompok akrobatik –yang ada udang interest di balik batu politik– yang bersikap sebaliknya.

Tetapi acara penganugerahan sebagai negarawan dunia tersebut telah terjadi. Ada yang memberi, dan ada yang menerima award itu dengan senang hati. Entah ini kecelakaan atau bukan, waktu jugalah yang akan membuktikan. Untuk sementara, anggaplah ini tiruan dari sistem pra bayar yang kini menjadi kelaziman para provider jasa. Anugerahnya lebih dulu, pembuktiannya belakangan. Rakyat Indonesia dengan demikian patut menunggu pembuktian dari janji-janji ’baru’ yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya saat menerima award tersebut di Amerika sana. (socio-politica.com)

Lakon Partai Demokrat: Ada Sengkuni, Tak Ada Pandawa (2)

BETULKAH Anas Urbaningrum akan melakukan perlawanan politik sekaligus perlawanan hukum? Banyak pihak yang mengharapkan demikian, lalu mencoba memberi dukungan moral dengan membezoeknya. Bukan hanya para alumni HMI, tetapi juga dari kalangan partai ‘tetangga’ di koalisi, seperti Priyo Budi Santoso dari Golkar sampai Din Syamsuddin dari PP Muhammadiyah. Tak ketinggalan, tokoh-tokoh partai non koalisi, selain Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Pada sisi lain ada sejumlah pengamat yang menyangsikan keberanian bekas Ketua Umum PB HMI (1997-1999) itu untuk melakukan perlawanan sesungguhnya.

POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. "Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya". (Gambar plesetan yang beredar di media sosial)
POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. “Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya”. (repro gambar plesetan yang beredar di media sosial)

Di antara dua sisi tersebut, ada juga yang sekedar memanas-manasi agar kadar kepanikan di internal Partai Demokrat meningkat, atau agar Anas betul-betul membuka korupsi terkait Partai Demokrat. Jumat (1/3) sore misalnya, massa yang menamakan diri Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 mencoba mendatangi rumah Anas di Duren Sawit, namun dihalangi polisi. Hasbi Ibrahim, Sekertaris Jenderal Laskar, dikutip pers menyatakan “Anas jangan hanya banyak bicara, tapi buktikan diri berani bongkar kasus-kasus korupsi besar”. Paling serius, tentu adalah kunjungan 5 anggota Timwas Bank Century DPR-RI Senin (4/3). Timwas mengaku mendapat informasi penting dari Anas mengenai kasus Bank Century, termasuk penyebutan 5 nama yang terlibat, 4 di antaranya dianggap nama baru, 2 pejabat negara, 2 dari kalangan partai.  Kategorinya, relevan sebagai tersangka.

Gado-gado politik dan hukum. Untuk sebagian, upaya memanas-manasi Anas, kelihatannya berhasil, tetapi terutama justru berpengaruh ke arah Partai Demokrat. Terlihat tanda-tanda panik. Apalagi, memang selama ini terlihat betapa sejumlah tokoh-tokoh partai tersebut memang tidak berkategori politisi tangguh, cenderung bicara tak terarah, seringkali hanya bersilat lidah dengan retorika tidak nalar. Tetapi giliran kena serangan, gelagapan atau emosional. Banyak tokoh partai tersebut yang tertampilkan wah dan populer semata karena pencitraan semu. Tapi itulah risiko sebuah partai yang mendadak besar karena situasi. Bagai buah yang tampak matang karena dikarbit, sering mentah di tengah.

Membanjirnya kunjungan berbagai tokoh untuk menjenguk Anas di kediamannya, dibarengi sejumlah komentar, terkesan sangat politis, khususnya dalam persepsi kalangan Partai Demokrat. Menjelang keberangkatannya (3/3) ke Jerman dan Hongaria, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang juga adalah Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat– meminta persoalan hukum Anas jangan dibawa merambah ke ranah politik.

Tapi siapakah sebenarnya yang mulai membawa kasus hukum Anas ke ranah politik? Tak lain, SBY sendiri ketika ia mempersilahkan Anas untuk lebih fokus menghadapi masalah hukum yang menimpanya terkait kasus Hambalang, padahal Anas belum diberi KPK status tersangka.  Status tersangka baru sebatas tercantum dalam fotokopi Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK yang beredar –sehingga menjadi satu masalah dengan kegaduhan tersendiri. Sebelum Anas menjadi tersangka resmi, SBY telah bertindak jauh ‘mengambilalih’ kepemimpinan internal Partai Demokrat dari tangan sang Ketua Umum. Merasa diri teraniaya dan menjadi korban konspirasi –meskipun terasa sedikit artifisial– Anas Urbaningrum menyampaikan pesan akan melakukan perlawanan politik dan hukum. Dan yang giat melakukan perlawanan politik, maupun counter attack berupa tudingan yang beraroma campur aduk antara hukum dan politik, justru adalah kalangan Kahmi dan HMI. Di beberapa kota terjadi demonstrasi HMI membela Anas seraya menyerang SBY. Nama putera Presiden SBY, Edhie ‘Ibas’ Baskoro pun dirembet-rembet ikut menerima aliran uang dari kasus Hambalang. Ada tuntutan agar Ibas segera diperiksa KPK.

Bahkan juga, seperti yang dituduhkan tokoh Partai Demokrat Ramadhan Pohan, sejumlah tokoh politik dari berbagai partai dan organisasi –seperti Hanura, Gerindra, Muhammadiyah– ikut menggunakan kesempatan melakukan serangan politik terhadap SBY dan partainya. Saat keluar dari tempat kediaman Anas, biasanya memang para tokoh politik itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menurut Ramadhan menambah keruh keadaan. Inilah mungkin suatu keadaan yang disebutkan SBY “menimbulkan gonjang-ganjing politik”. Menurut Dr Tjipta Lesmana, serangan kepada SBY terjadi karena memang banyak yang memusuhi SBY.

Partai Demokrat adalah partai yang terbawa besar karena mencuatnya popularitas Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketokohannya juga tercipta oleh ‘penganiayaan’ politik Taufiq Kiemas-Megawati Soekarnoputeri. ‘Penganiayaan’ itu bertepatan waktu dan bertemu dengan situasi perasaan hampa rakyat tentang ketokohan yang bisa memberi harapan pasca Soeharto. Seakan-akan tercipta suatu momen historical by accident. Bahwa pada waktunya terbukti bahwa ia bukan seorang tokoh historical, bukan tokoh yang betul-betul bisa diharapkan, itu soal lain. Sejarah kan tak selalu melahirkan tokoh besar?

Sebagai partai yang membesar dengan pesat –meskipun bukan terutama dengan tumpuan kekuatan organisasi itu sendiri– Partai Demokrat menjadi bagaikan gula yang dikerumuni semut. Mereka yang menjadi golongan kecewa atau gugup di partai-partai lain, terutama dari Golkar yang sempat mengalami degradasi semangat setelah mundurnya Soeharto dari kekuasaan, mengalir ke Partai Demokrat yang menjadi partainya bintang baru bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Agaknya, ketika para pimpinan partai merasa bahwa di antara yang mengalir datang itu banyak yang kurang berkualitas, mereka lalu merekrut beberapa tokoh yang dianggap berkualitas untuk bergabung. Salah satunya, adalah Anas Urbaningrum, yang rela meninggalkan KPU untuk bergabung dan langsung mendapat posisi tinggi. Belakangan, Andi Nurpati dari KPU ikut pula bergabung. Partai Demokrat juga merekrut tokoh Jaringan Islam Liberal Ullil Absar Abdalla, serta sejumlah pengacara terkenal seperti Amir Syamsuddin dan Denny Kailimang.

Rekrutmen Anas Urbaningrum yang kala itu baru berusia 36 tahun ke Partai Demokrat tahun 2005, dengan meninggalkan KPU, seringkali dikisahkan dalam serial rumor politik, sebagai ada udang di balik batu. Saat itu, KPU digoncang berbagai masalah korupsi di tubuhnya. Anas yang seharusnya merampungkan masa tugasnya sampai 2007, meninggalkan KPU tak lama setelah Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden 2004. Banyak yang menghubungkan rekrutmen Anas dengan keanehan angka-angka pencapaian suara Partai Demokrat maupun SBY dalam dua jenis Pemilihan Umum tersebut. Hal serupa terjadi dengan Andi Nurpati, yang juga meninggalkan KPU setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Dalam dua Pemilihan Umum, 2004 dan 2009, Partai Demokrat seakan-akan selalu melakukan balas jasa kepada salah satu komisioner KPU. Walaupun ini semua hanya rumor, yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya –namanya juga rumor politik, yang merupakan gado-gado sedikit kebenaran dengan sedikit, insinuasi dan prasangka– tapi tak sedikit yang mempercayainya sebagai kebenaran.

Tak mungkin hanya Anas, tak mungkin hanya serupiah. Namun, terlepas dari apakah kasus Anas dan Partai Demokrat ini, sekedar gado-gado politik-hukum atau bukan, yang tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya.

Pengalaman empiris yang sudah-sudah, hingga sejauh ini, belum sekalipun KPK meleset dalam penetapan tersangka kasus korupsi. Belum pernah ada tersangka KPK yang lolos dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bisa saja, KPK terseok-seok, dikritik lamban atau pilih-pilih tebu, tetapi lembaga tersebut tetap berhasil membuktikan diri.

Anas Urbaningrum yang memiliki poker face sejati, sebenarnya sempat juga menggoyahkan sebagian opini publik dengan bantahan-bantahan yang tenang dan cenderung dingin. Apalagi ketika ia bersumpah dan berani digantung di Monas bila ia menerima “serupiah saja” dari proyek Hambalang. Terminologi “serupiah saja” sebenarnya memiliki pengertian yang jelas dan final. Bisa habis akal juga para ahli semiotika bila mencoba memberi penafsiran lain terhadap terminologi “serupiah saja” itu. Maka pakar humor mengambilalih dengan mencari padanan kata “saja” dengan “hanya”. Konon, yang dimaksud Anas dalam sumpahnya itu, “kalau serupiah saja” adalah “kalau hanya serupiah”. Kan tak mungkin, dan mana mau dia menerima “hanya serupiah”? Kalau ia menerima, harus dalam skala ratusan juta atau milyaran. Kan itu bukan “serupiah saja” atau “hanya serupiah”?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (3)

FENOMENA Jakarta tahun 1970-an seakan mengalami perulangan pada tahun 2000-an. Tampaknya, setiap kelahiran dan tumbuhnya rezim baru selalui ditandai pula oleh korupsi-korupsi baru. Adanya korupsi-korupsi baru itu tercermin dengan munculnya kelompok dan keluarga kaya baru dari waktu ke waktu dengan segala kelakuan eksesifnya. Kedatangan Dewi Fortuna membawakan kekayaan yang mendadak, cenderung mendorong meningkatnya hasrat konsumtif dan ketidaksabaran untuk bermewah-mewah. Anehnya, makin tidak halal sumber kekayaan itu, justru makin tinggi pula hasrat konsumtif dan sikap bermewah-mewah itu, sehingga pada gilirannya bisa menjadi indikator adanya perbuatan korupsi.

SBY, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. "Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi". (youtube)
SBY, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. “Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi”. (youtube)

Munculnya kelompok dan keluarga-keluarga kaya baru di Jakarta pada tahun 1970-an itu merupakan fenomena yang mengiringi kebangkitan ekonomi Indonesia melalui pembangunan fisik kala itu. Dan fenomena itu diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak, pasti terkait dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu bersamaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masa itu tidak terbantahkan, meskipun juga tidak kunjung terbuktikan secara nyata –karena memang tak ada effort yang cukup untuk itu. “Meski seperti angin yang dapat dirasakan, namun tak dapat dipegang, korupsi itu jelas ada. Menurut logika bagaimana mungkin seorang pejabat tingkat biasa saja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup dengan standar kelayakan normal, bisa memiliki rumah-rumah mewah beserta mobil-mobil mewah yang bila diperhitungkan takkan mungkin dibelinya dengan gaji yang diakumulasikan dalam lima puluh tahun sekalipun. Korupsi dan menjadi kaya karenanya, tidak perlu lagi membuat para pelakunya tampil malu-malu seperti di zaman Orde Lama Soekarno”, demikian dituliskan dalam buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Mari kita bandingkan dengan fenomena tahun 2000-an, khususnya di masa kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputeri dan kemudian di hampir dua periode kepresiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Bila di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid gerakan pemberantasan korupsi melalui Kejaksaan Agung masih gencar, maka di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri gerakan itu mendadak gembos. Sebaliknya, terasa bahwa tindakan korupsi baru pasca Soeharto justru lebih melaju. Menjadi benar peringatan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang menjabat di masa Abdurrahman Wahid, bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tak berakhir bersama berakhirnya kekuasaan Soeharto. Sementara kasus korupsi dan kejahatan keuangan lainnya dari masa lampau belum tuntas tertangani, ujarnya, korupsi-korupsi baru pun terjadi terus.

Dari masa Megawati, kita bisa mencatat adanya kasus-kasus penjualan beberapa BUMN strategis dan kasus penjualan ulang tanker raksasa Pertamina. Bersamaan dengan itu, bertiup sejumlah rumor yang mengaitkan suami sang Presiden dengan berbagai kasus. Diceritakan bahwa sewaktu masih menjadi Presiden, Abdurrahman Wahid secara khusus pernah meminta Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk menangkap Taufiq Kiemas –suami Wakil Presiden– dengan tuduhan korupsi. Marzuki tak segera memenuhi permintaan itu, dan mengatakan tak bisa melakukannya “sebelum kita memiliki bukti kuat”. Perintah penangkapan dengan tuduhan yang sama juga pernah disampaikan Presiden kepada Jaksa Agung, untuk beberapa nama lain seperti pengusaha Arifin Panigoro, mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier yang memberikan pembebasan pajak mobil Timor dan terhadap politisi Golkar Akbar Tandjung. Entah ada hubungannya atau tidak, selang beberapa waktu kemudian Marzuki Darusman dilepas dari jabatan Jaksa Agung. Menurut cerita di balik berita, saat mengangkat Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung, Presiden mensyaratkan penangkapan bagi 4 tokoh tersebut. Tetapi Baharuddin Lopa hanya sempat menduduki jabatan itu dalam hitungan minggu. Tak terjadi penindakan terhadap 4 tokoh. Hanya Akbar Tandjung yang kemudian pernah diajukan ke pengadilan dengan tuduhan korupsi dana Bulog pada masa kepresidenan berikutnya, namun bebas di tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang saat itu dipimpin Bagir Manan.

Para pelaku korupsi masih lebih unggul. Pada dua masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, kendati retorika pemberantasan korupsi terus menerus didengang-dengungkan, dalam kenyataan perbuatan korupsi tetap saja terus melaju. Komisi Pemberantasan Korupsi tunggang langgang dibuatnya. Sungguh ironis bahwa Partai Demokrat yang menjadi pilar utama kekuasaan Presiden SBY, justru termasuk di antara yang paling disorot karena perilaku korupsi sejumlah kadernya. Melalui iklan, terhadap korupsi, Partai Demokrat menganjurkan “Gelengkan Kepala dan Katakan Tidak”, “Abaikan Rayuannya dan Katakan Tidak”, “Tutup Telinga dan Katakan Tidak” ditutup dengan “Katakan Tidak Kepada Korupsi”. Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi. Kecuali bila dalam waktu ringkas yang tersisa dari masa kepresidenannya ini diisi dengan gebrakan kejutan. Tapi, sebagai harapan, it’s too good to be true. Namun, merupakan juga kenyataan bahwa bersama Partai Demokrat, nyaris tak satupun partai yang luput dari sorotan korupsi para kadernya. Sejumlah anggota DPR maupun menteri, gubernur dan bupati/walikota telah menjadi ujung tombak pemburu dana politik, sebagian (kecil) untuk partai masing-masing, sebagian (besar) untuk kepentingan sendiri. Korupsi pun bukan lagi mengintai di tikungan menunggu kesempatan, tetapi sudah dirancang, mulai dari menciptakan proyek sampai bagaimana teknik menggerogotinya.

Dan yang istimewa dalam masalah korupsi ini, Jakarta tak lagi satu-satunya locus delicti peristiwa korupsi besar-besaran. Hampir seluruh daerah telah mencatatkan nama dalam daftar korupsi nasional yang beberapa di antaranya berkategori spektakuler. Bagaimana dengan gerakan pemberantasan korupsi? Sejauh ini, tanpa mengecilkan prestasi KPK –khususnya pada periode terbaru di bawah lima sekawan Abraham-Bambang-Busyro-Adnan-Zulkarnaen– harus diakui bahwa kaum koruptor masih lebih unggul dalam mengorganisir pertahanan dan serangan balik. Keadaan ini mengindikasikan betapa kuatnya kaum korup dalam kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik.

Seberapa sulitkah memberantas korupsi? Marzuki Darusman menulis, “Tatkala menjadi Jaksa Agung dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, saya mengalami betapa sulitnya untuk menindaki kejahatan-kejahatan terhadap kekayaan negara itu”. “Selain kelemahan-kelemahan internal kalangan penegak hukum –yang harus saya akui memiliki kelemahan teknis dan ketidakkebalan terhadap aneka godaan– kendala-kendala luar biasa juga datang dari arah eksternal, termasuk dari sesama kalangan pemerintahan dan dari kalangan politik”. “Para pelaku kejahatan selalu mendalihkan penindakan atas dirinya bernuansa politis. Maka, tak jarang gerakan-gerakan politik dikerahkan melalui dan oleh pelbagai LSM sebagai alat pembelaan diri. Seringkali para pelaku kejahatan keuangan ini mendadak ditampilkan sebagai ‘pahlawan’ yang sedang ditindas, sedang teraniaya oleh balas dendam politik”.

Sepuluh tahun kemudian, giliran KPK yang menghadapi kesulitan dari kalangan politik. Terjadi upaya merevisi Undang-undang KPK melalui DPR, dengan penghilangan beberapa wewenang khusus lembaga tersebut, yang tidak bisa tidak harus ditafsirkan sebagai usaha pelemahan KPK. “Kalau KPK tak lagi superbody, saya berpikir-pikir untuk tidak melanjutkan tugas”, ujar Abraham Samad kala itu. Selain kesulitan dari kalangan politik, KPK juga mengalami benturan-benturan keras dari sesama kalangan penegak hukum, selain beraneka macam pengerahan massa yang diorganisir para tersangka korupsi.

Politik kotor dan korupsi, merupakan sumber bahaya kegagalan bahkan kehancuran Indonesia. Pada praktek politik yang kotor, korupsi menjadi cara menghimpun dana paling efektif. Sebaliknya, dengan perilaku korupsi, politik menjadi lebih kotor dan lebih busuk lagi. Tak ada kemenangan politik besar bisa terjadi per saat ini tanpa biaya dengan angka besar. Dalam keadaan Indonesia belum punya tradisi publik berkontribusi bersama membiayai tokoh atau kelompok yang didukungnya, tak bisa tidak, biaya politik dihimpun dengan menghisap uang negara melalui korupsi APBN. Di sini berlaku dalil bahwa di belakang angka-angka besar –baik angka biaya maupun angka kemenangan yang diperoleh– ada kejahatan.

“Dia yang kaya, kita yang mati”. Demikian pula dalam kehidupan ekonomi Indonesia saat ini, seluruh keberhasilan memperoleh dana dan keuntungan besar, juga lekat kepada kecurangan, ketidakadilan dan konspirasi, di atas penderitaan kalangan akar rumput. Sebuah ungkapan dalam kampanye anti rokok –yang ditujukan kepada industrialis rokok– mungkin bisa dipinjam, “dia yang kaya, kita yang mati”. Dalam penegakan dan pemerataan keadilan ekonomi, hingga sejauh ini, tak satu pun di antara para pemegang mandat rakyat, telah menunjukkan keberhasilan. Terbanyak malah menjadi perencana dan pelaku korupsi, menghasilkan situasi “mereka yang kaya, rakyat yang mati”.

Hanya satu bentuk pemerataan yang berhasil dilakukan secara nasional, dari Jakarta sampai seluruh pelosok tanah air, tak lain, pemerataan penderitaan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Susilo Bambang Yudhoyono, Kisah Seorang Jenderal Dalam Labirin ‘Supremasi’ Politik Sipil (2)

TIGA tokoh pimpinan nasional pasca Soeharto berturut-turut adalah dari kalangan sipil, sebelum posisi itu kembali diisi oleh tokoh berlatar belakang militer, yakni Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah kecewa dengan kelemahan-kelemahan kepemimpinan yang ditunjukkan oleh para tokoh sipil yang tiga itu, bangsa ini menoleh lagi kepada tokoh berlatar belakang militer. Akan tetapi, ternyata, tokoh berlatar belakang militer yang muncul menjawab kerinduan rakyat terhadap kepemimpinan nasional yang kuat, terbukti tak kalah lemah kepemimpinannya dan seringkali kalah kuat kadar nyalinya oleh para tokoh sipil yang digantikannya. Dalam hal tertentu, bahkan tiga pemimpin sipil itu bisa lebih punya keberanian, meskipun roboh karenanya.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “Menjadi tanda tanya, apakah ia akan sanggup mencari jalan keluar dari lekak-liku labirin itu dalam tiga tahun waktu yang tersisa baginya. (Lukisan, download: blog Charles Siahaan).

Tokoh sipil pertama yang tampil pasca Soeharto, adalah BJ Habibie seorang ahli industri pesawat terbang yang beberapa tahun lamanya berkecimpung sebagai eksekutif di MMB (pabrik pembuat pesawat di Jerman Barat). Sekembalinya ke Indonesia, BJ Habibie sempat menjadi Menteri Ristek di bawah Soeharto sebelum terpilih oleh MPR-RI sebagai Wakil Presiden terakhir bagi Soeharto sekitar dua bulan sepuluh hari. Saat Presiden Soeharto mengundurkan diri 21 Mei 1998, ia tak ikut mundur meski Soeharto sebenarnya menginginkannya ikut mundur dalam satu paket. Dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto tanggal 20 malam di Cendana, menurut Dr Dewi Fortuna Anwar, “Habibie mengatakan kepada Soeharto bahwa jalan terbaik baginya adalah mengundurkan diri”. Soeharto mengatakan memang akan mengundurkan diri 23 Mei setelah membentuk dan melantik Kabinet Reformasi. Habibie dengan cepat mengatakan, bila Presiden mengundurkan diri, menurut konstitusi Wakil Presiden dengan sendirinya menggantikan. Pada kesempatan itu Habibie juga menyatakan keberatannya terhadap rencana Soeharto untuk membentuk kabinet baru, karena akan sulit baginya memimpin suatu kabinet yang bukan atas pilihannya sendiri.

Tokoh sipil kedua, KH Abdurrahman Wahid naik di sela-sela popularitas tinggi Megawati Soekarnoputeri –yang terapung di atas gelembung citra sebagai ‘korban penganiayaan’ oleh rezim Soeharto– di satu pihak, dan proses penurunan dukungan internal Golkar terhadap BJ Habibie, yang dianggap ‘diatur’ Akbar Tandjung dan Marzuki Darusman. Abdurrahman Wahid (PKB) berhasil memenangkan suara di Sidang Umum MPR 2000 sehingga menjadi Presiden. Ia, dengan bantuan Amien Rais (PAN) dan kawan-kawan dari poros tengah, ‘mengalahkan’ dan membuat Megawati, yang partainya (PDIP) adalah peraih suara terbanyak pada Pemilihan Umum 1999, berada di posisi Wakil Presiden saja. Akan tetapi pada saat Abdurrahman Wahid menjalankan serangkaian tindakan politik yang berlawanan dengan arus kepentingan kelompok politik lainnya, ia menghadapi impeachment dan jatuh dari kursi kepresidenan yang baru didudukinya dua tahun lebih sedikit.

Megawati Soekarnoputeri, sang Wakil Presiden, dengan demikian menjadi tokoh sipil ketiga pasca Soekarno yang menjadi presiden, meneruskan sisa jabatan yang ditinggalkan Abdurrahman Wahid. Namun, dalam Pemilihan Umum Presiden secara langsung untuk pertama kalinya di tahun 2004, Megawati tak mampu menandingi Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono –tokoh yang ‘tertolong’ simpati rakyat karena terkesankan juga sebagai korban penganiayaan politik atas dirinya dari Presiden Megawati dan suaminya, Taufiq Kiemas. Selain itu, Megawati memang dianggap lemah kualitas kepemimpinannya, sedikit feodalistik kala berkuasa, tidak komunikatif, bermusuhan dengan kelompok mahasiswa dan dianggap tak mampu berbuat apa-apa. Kejaksaan Agung yang menggebu-gebu dalam pemberantasan korupsi di masa Abdurrahman Wahid –dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa– tiba-tiba layu tak berdaya, nyaris tak berbuat sesuatu apapun di masa Megawati Soekarnoputeri. Rutan Kejaksaan Agung boleh dikata kosong hampir sepanjang waktu.

Tiga tokoh dari kalangan sipil ini ternyata gagal untuk keluar dari lingkaran kekeliruan persepsi tentang kekuasaan, dan cenderung mengulangi kesalahan-kesalahan dua penguasa sebelumnya, Soekarno dan Jenderal Soeharto. Tokoh keempat, yang berasal dari latar belakang pendidikan militer masa Soeharto, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, ketika berada di posisi pimpinan nasional pun ternyata juga cenderung mengulangi kekeliruan demi kekeliruan kekuasaan masa lampau. Mereka berempat, meski dengan kadar yang berbeda-beda, mengidap beberapa cacat bawaan yang diwariskan dua pendahulu, Soekarno dan Soeharto, dalam menjalankan kekuasaan, terutama dalam ‘prinsip’ kekuasaan demi kekuasaan belaka yang akhirnya menggelincirkan tiga dari mereka.

PADA awal kemunculannya menuju kursi utama kekuasaan, Susilo Bambang Yudhoyono, sebenarnya adalah tokoh yang sangat menarik perhatian. Walaupun ia adalah tokoh yang berlatar belakang pendidikan dan karir militer zaman Soeharto –justru pada babak ketika Dwifungsi ABRI telah dilaksanakan menyimpang dari konsep idealnya semula– tatkala maju dan tampil dalam pemilihan presiden tahun 2004 Susilo Bambang Yudhoyono membawakan tema-tema demokrasi dan tema supremasi sipil. Setidaknya, tidak terlalu menonjolkan ketokohan sebagai seseorang yang berlatar belakang militer. Ia saat itu sepertinya memenuhi ‘syarat supremasi sipil’ yang ingin ditegakkan pasca Soeharto.

Dalam buku Menyilang Jalan kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004) persyaratan itu digambarkan, “kalau memang ABRI dianggap sebagai suatu institusi atau aset yang secara objektif masih ada dan bisa tetap mendapat peran berguna dan tempat dalam kehidupan bangsa, ia harus terlebih dulu melalui pembaharuan dan pemahaman baru dalam kerangka supremasi sipil sebagai persyaratan demokrasi”. Dalam konteks tersebut, tentara baru yang diharapkan bukanlah model yang hanya mengandalkan otot dan senjata serta menginginkan kekuasaan hanya untuk dirinya sendiri seperti di masa lampau. ABRI atau TNI dalam posisi dengan fungsi pertahanan keamanan yang profesional harus mampu berkomunikasi dengan perguruan tinggi yang merupakan centre of excellence guna meningkatkan diri dengan bantuan mereka yang memiliki kecendikiaan dan bekerjasama untuk memajukan bangsa. Dalam rangka supremasi sipil, tentara adalah alat negara, alat rakyat, alat masyarakat sipil, dan tersubordinasi di bawah sistem atau tata masyarakat sipil. Tapi sebaliknya juga jangan terlalu jauh terayun sebagai bandul sehingga malah menjadi alat kepentingan eksklusif kelompok atau partai politik tertentu di luar kepentingan bangsa dan negara. Bila tentara masuk ke ruang civil society dengan seragam dan senjata di tangan seperti yang mereka lakukan di masa Soeharto, itu adalah militerisme yang jelas harus ditolak.

Untuk masuk ke dalam ruang-ruang masyarakat sipil, tentara harus masuk dengan ketokohan dan kualifikasi tertentu, setidak-tidaknya dengan kesiapan kerjasama bermartabat setelah mampu memadukan kewibawaan dan kekuatan otot dengan kekuatan otak yang biasanya dimiliki oleh institusi sipil seperti dari kalangan perguruan tinggi. Bahwa pada sisi lain selama ini institusi sipil terlihat tidak mempunyai sumber rekrutmen dan proses rekrutmen yang baik, memang tidak bisa dipungkiri. Justru inilah yang harus dibangun bersama kalangan perguruan tinggi dengan sumber-sumber daya militer yang harus berperanan dalam kerangka pemikiran modern sebagai dinamisator. Bila kaum politisi sipil ingin turut serta membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan, mereka pun semestinya masuk ke dalam alam pemikiran seperti ini sehingga mendapat posisi dan martabatnya secara layak dalam supremasi sipil. Jalan pintas yang dipraktekkan beberapa tahun terakhir ini dengan adu gertak di satu sisi dan pada sisi lain melakukan jual beli posisi serta kesempatan (money politic) dalam proses rekrutmen, sangat tidak bermartabat dan sesat, yang membuat kehidupan politik dan kehidupan bernegara menjadi busuk. Apa yang disebutkan sendiri oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai perampokan uang negara, hanyalah salah satu buah dari sistem kekuasaan yang korup ini.

Saat memasuki wilayah kepemimpinan pengelolaan negara, Susilo Bambang Yudhoyono membekali diri antara lain dengan ‘asesori’ akademik, yakni berjuang meraih gelar doktor di Institut Pertanian Bogor. Ia juga melengkapi diri dengan syarat ‘sosiologis’ tak tertulis di negara yang disebutkan berpenduduk mayoritas Islam ini, dengan menunaikan ibadah haji. Dengan itu, ia kini memiliki kelengkapan format pencitraan yang sangat ideal untuk Indonesia dalam sosok sebagai Jenderal Purnawirawan Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Presiden Republik Indonesia ia mendapat mandat dari rakyat –yang ikut memberikan suara dalam pemilihan umum– dengan angka perolehan suara tinggi, lebih besar dari 60 persen. Hanya saja, partai pendukungnya, Partai Demokrat, meskipun dalam pemilihan umum 2009 yang lalu meningkat perolehan suaranya tiga kali lipat, tetap tak mampu menyediakan dukungan kualitatif dan kuantitatif sebagai mayoritas kerja yang tangguh di DPR. Terpaksa, sang Presiden, melakukan koalisi yang dari waktu ke waktu menguras energinya, selain menguras pikiran publik yang dibuat jenuh oleh politicking di internal koalisi. Warna parlementer menjadi lebih dominan daripada warna presidensil.

Lalu bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono bisa mengurus negara yang penuh perilaku korup di segala lini ini, kalau pikiran dan energinya terkuras karena itu? Apalagi, ternyata ia tidak cukup memiliki sikap-sikap dasar yang diimajinasikan publik selama ini tentang seorang jenderal: tegas, berani, cepat dan tepat mengambil keputusan. Katakanlah, seperti yang dimiliki Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo di tahun 1965 dan 1966, untuk sekedar menyebut satu contoh figur. Sarwo Edhie, bukan hanya memiliki sikap-sikap yang disebutkan tadi, tetapi juga jujur dan punya integritas kuat sehingga sehingga menjadi sosok jenderal idealis di mata generasi muda pada masanya.

AGAKNYA, ketika Susilo Bambang Yudhoyono melangkah ke dunia politik dan pengelolaan kekuasaan negara, ia ibarat masuk ke suatu labirin ‘supremasi’ politik sipil yang ‘sakit’ dan tak mampu menyembuhkannya, melainkan justru tertular penyakit nan tak kunjung sembuh dari mayoritas politisi partai yang secara tradisional dikeluhkan sepanjang sejarah Indonesia merdeka hingga kini. Menjadi tanda tanya, apakah ia akan sanggup mencari jalan keluar dari lekak-liku labirin itu dalam tiga tahun waktu yang tersisa baginya. Banyak generasi muda, terutama mahasiswa, tak sabar lagi dan cenderung tak mau memberinya lagi waktu hingga 2014….

Kebenaran tentang Sosok Jenderal Polisi Hoegeng dan Baharuddin Lopa

TAKKAN ada yang bisa membantah bahwa di tengah bayang-bayang gelap penegakan hukum di Indonesia, beberapa dekade terakhir, ada dua sosok ideal yang pernah tampil, yakni Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dan Baharuddin Lopa SH. Kedua tokoh tersebut pernah menduduki puncak tertinggi dua lembaga penegakan hukum. Jenderal Hugeng menjadi Kapolri 1968-1971, sementara Baharuddin Lopa menjadi Jaksa Agung selama 27 hari, 6 Juni sampai hari meninggalnya di Riyadh 3 Juli 2001.

Seakan ‘mewakili’ rasa hampa dan kerinduan publik akan kehadiran sosok penegak hukum yang tangguh di tengah kepengapan dan kegelapan penegakan hukum, muncul tulisan “Rindu pada Sosok Hoegeng dan Lopa” di Harian Kompas 12 September 2011 (Indah Surya Wardhani/Litbang Kompas). Tulisan ini bagus, kecuali bahwa ia mengandung kekurangan dalam akurasi pada beberapa bagian yang justru esensial terkait kebenaran peristiwa.

Dalam tulisan itu disebutkan Hoegeng dikenal tak mempan disuap dan sering menggulung pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Integritasnya teruji saat menangani tiga kasus ‘istimewa’: penembakan Rene Coenraad, pemerkosaan Sum Kuning, dan korupsi Robby Cahyadi. “Sedemikian kuat dedikasi polisi mengungkap kasus sensitif itu, hingga eksesnya membuat Hoegeng kehilangan jabatan”.

Memang Hoegeng tak mempan disuap. Tapi berbeda dengan yang digambarkan lanjut dalam tulisan tersebut, pada peristiwa sebenarnya, Hoegeng yang diidolakan masyarakat kala itu, justru sebenarnya tak berhasil menangani dengan baik kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam “Peristiwa 6 Oktober 1970” maupun Kasus Sum Kuning. Dalam kedua kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik.

PERISTIWA 6 OKTOBER 1970.  “Dalam kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik”. Karikatur Deandy Sudiana 1970.

Dalam Peristiwa 6 Oktober 1970, polisi salah menyeret terdakwa pembunuh. Bripda Djani Maman Surjaman dijadikan kambing hitam, diadili dan dihukum penjara. Ahli forensik dan ballistik memastikan Rene tertembak dengan senjata laras pendek, sedangkan Djani memegang senjata laras panjang Karl Gustav saat bertugas melerai pengeroyokan Rene oleh Taruna Akabri Kepolisian yang akan segera lulus sebagai Angkatan 1970. Ketika peristiwa terjadi, yang diketahui membawa pistol (senjata laras pendek) hanyalah para Taruna. Para Taruna yang terlibat –beberapa adalah putera perwira tinggi polisi– tak berhasil diajukan ke mahkamah militer di masa Hoegeng. Belakangan, pasca Hoegeng, dari September 1973 hingga awal 1974, barulah 8 Taruna Akabri Kepolisian diadili. Tapi dalam peradilan itu, 8 Taruna (Nugroho Djajusman dan kawan-kawan) yang sudah menjadi perwira muda polisi, mendapat hukuman yang ringan-ringan dan dianggap hanya terlibat perkelahian.

Sementara dalam kasus pemerkosaan gadis penjual telur Sum Kuning –di sebuah mobil di Ngampilan, Yogya, 21 September 1970– oleh 4 orang pemuda, polisi menunjukkan penyimpangan. Polisi tidak berani karena para pemuda itu adalah anak-anak perwira militer, salah satunya putera pahlawan revolusi di daerah itu, dan lainnya dari kalangan bangsawan. Polisi malah menangkap Sum Kuning yang berusia 16 tahun itu, dituduh memberikan laporan palsu dan anggota Gerwani/PKI. Polisi lalu menciptakan skenario bahwa tak terjadi perkosaan, melainkan hubungan sex suka sama suka dengan penjual bakso bernama Trimo. Karena sorotan pers, skenario dirubah lagi. Sembilan pemuda preman ditangkapi sebagai pelaku, padahal menurut Sum Kuning ia disergap dan diperkosa oleh 4 orang di lantai mobil. Tapi kata polisi, perkosaan dilakukan bukan di mobil tapi di sebuah rumah kontrakan di Klaten. Pers berhasil mematahkan skenario baru itu. Seberapa hebat para preman itu, sampai bisa punya mobil untuk melakukan penculikan dan perkosaan. Toh, sembilan pemuda itu tetap dipaksakan untuk diadili. Sampai berlalunya Kapolri Hoegeng, pelaku sebenarnya tak pernah berhasil diseret ke pengadilan dan kebenarannya terkubur hingga kini.

Namun, dalam kasus penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan AU Halim Perdana Kusumah oleh Robby Cahyadi, Jenderal Hoegeng memang betul-betul menunjukkan integritas, lengkap dengan keberanian yang prima. Meskipun di belakang kasus itu nama Cendana disebut-sebutkan, Hoegeng tetap bertindak. Tampaknya kasus inilah yang membuat Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri, meskipun tidak dilakukan langsung. Ia diperangkap untuk terlibat proyek pabrik helm dan karenanya menjadi bulan-bulanan serangan karena pada waktu yang bersamaan ia menetapkan kewajiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor.

Penyampaian ini, tentu tak bermaksud mengecilkan ketokohan Hoegeng, tetapi bagaimanapun kita tetap harus menyampaikan duduk perkara sebenarnya. Lebih dari sekali Harian Kompas menurunkan tulisan keliru mengenai Peristiwa 6 Oktober 1970 maupun Kasus Sum Kuning dalam konteks ketokohan Hoegeng. Tapi terlepas dari itu, yang terpenting untuk kita pahami adalah sebuah pelajaran dari realita bahwa bahkan polisi sebaik Hoegeng pun terpaksa bertekuk lutut di hadapan dan di dalam suatu kekuasaan yang otoriter dan kotor. (Baca juga Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter, sociopolitica.wordpress.com, 27 Juni 2009).

SEPERTI halnya Hoegeng, Baharuddin Lopa pun tak bisa diragukan integritasnya. Lopa telah menunjukkan integritas dan keberaniannya selaku penegak hukum, terutama sewaktu menjadi Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan dan sebelumnya di Kalimantan Timur. Namun ketika di’kandang’kan sebagai Dirjen Pemasyarakatan ia seakan kehilangan gairah dan tak banyak yang bisa dilakukannya menghadapi berbagai penyakit kronis di lingkungan itu. Begitu pula sebenarnya, saat Lopa diangkat Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Hukum/HAM. Apalagi wewenang Menteri Hukum/HAM kala itu tak lagi powerful sebagaimana masa-masa sebelumnya saat masih bernama Menteri Kehakiman. Suatu waktu, Jaksa Agung Marzuki Darusman bertemu Menteri Hukum/HAM Baharuddin Lopa, dan meminta bantuan mencari jalan keluar terhadap situasi terkait sikap hakim dalam menangani perkara-perkara korupsi. Saat itu, ada beberapa Pengadilan Negeri yang dianggap sebagai kuburan bagi kasus-kasus korupsi. Lopa mengakui keterbatasannnya. Tetapi sepanjang yang masih terkait dengan wewenangnya, ia pernah bertindak drastis, mengirim Bob Hasan ke LP Nusa Kambangan.

Sewaktu menjadi Jaksa Agung, praktis Lopa belum sempat berbuat apa-apa. Hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jaksa Agung Marzuki Darusman SH. Kasus Arifin Panigoro-Bahana maupun kasus penyimpangan dana yayasan-yayasan Soeharto seperti dituliskan Kompas, bukan ditangani Lopa, tetapi ditangani di masa Jaksa Agung sebelumnya. Tapi memang ada satu kasus yang mempertalikan masa Marzuki Darusman dan masa Baharuddin Lopa, yakni kasus Syamsul Nursalim. Di masa Marzuki Darusman, berdasarkan permintaan dan jaminan pengacara Adnan Buyung Nasution, keterangan dokter pribadi Syamsul dari Jepang maupun dokter pembanding yang ditunjuk Kejaksaan Agung, permohonan Syamsul Nursalim untuk berobat di luar negeri dikabulkan. Marzuki yang berlatar belakang aktivis HAM, juga menghadapi dilema aspek kemanusiaan. Memperhitungkan kemungkinan Syamsul bisa saja tak kembali ke Indonesia, untuk berjaga-jaga Jaksa Agung memerintahkan pencekalan isteri Syamsul, Cicih Nursalim. Tak banyak diketahui orang, justru di masa Lopa pencekalan dihapuskan, yang segera digunakan Cicih menyusul suaminya ke luar negeri. Ketika Lopa mengeluarkan serangkaian pernyataan keras tentang  Syamsu Nursalim, termasuk penjeblosan ke tahanan, ia ini malah tidak mau pulang lagi ke Indonesia. Apalagi, isterinya yang menjadi semacam ‘sandera’ sudah dilepaskan cekalnya.

Namun, bagaimanapun, Lopa adalah tokoh yang patut dijadikan model penegak hukum yang bisa diandalkan. Sayangnya, dalam 27 hari ia tak mendapat kesempatan dariNya untuk membuktikan diri sebagai Jaksa Agung yang diharapkan. Pun tak sempat memenuhi ‘syarat’ khusus pengangkatannya sebagai Jaksa Agung dari Presiden Abdurrahman Wahid, menangkap beberapa tokoh dengan tuduhan korupsi: Akbar Tandjung, Taufiq Kiemas, Arifin Panigoro dan Fuad Bawazier, yang tak bersedia dilakukan Marzuki Darusman tanpa bukti kuat.

The Bad Among The Worst: Soeharto Number One? (3)

PERSOALAN terbesar Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat –sebagai basis utama kekuatan politiknya– adalah proses pertumbuhan yang terlalu cepat dalam suatu situasi kehidupan politik yang serba tidak normal. Kemunculan SBY lebih banyak ditopang oleh sejumlah ‘kecelakaan’ politik di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dan masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri, yang menciptakan kesan sebagai korban penganiayaan politik berturut-turut oleh dua presiden.

SBY diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menko Polsoskam 1 Juni 2001, dengan latarbelakang cerita ketidaksetujuannya terhadap rencana Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid. Sebaliknya, Abdurahman Wahid menganggapnya tak bisa diandalkan lagi sebagai Menko Polsoskam untuk menghadapi Jenderal Wiranto –yang sebelumnya sempat menjadi Menko Polsoskam dan digantikan posisinya oleh SBY– dan konspirasi partai-partai. Sebenarnya, Abdurrahman Wahid menawarkannya pindah posisi menjadi Menteri Perhubungan –yang saat itu dijabat Jenderal Agum Gumelar– atau Menteri Dalam Negeri, tapi ia menolak. Posisinya sebagai Menko Polsoskam akhirnya diberikan kepada Agum Gumelar. Menteri yang dipastikan mengundurkan diri karena menolak Dekrit, adalah Sekretaris Kabinet Marzuki Darusman –yang sebelumnya sempat menjadi Jaksa Agung.

Malam menjelang dekrit, Marzuki Darusman masih mencoba mencegah Abdurrahman Wahid, tetapi ia ini tetap bersikeras akan melakukan dekrit. Marzuki langsung menyatakan mengundurkan diri. Abdurahman Wahid menyatakan bisa memahami dan menerima pengunduran diri itu. Saat keluar dari ruang pertemuan dengan Presiden, Marzuki berpapasan Agum Gumelar, yang menanyakan, “bagaimana?”. Marzuki menjawab, “saya cabut”. Agum yang diterima Presiden setelah itu, akhirnya memilih sikap yang sama. Seperti halnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Agum juga melapor ke Wakil Presiden Megawati, setelah mengundurkan diri. Marzuki Darusman dalam pada itu, melewatkan acara lapor-melapor seperti itu. Apakah mungkin karena itu, Marzuki kemudian tidak terbawa dalam kabinet baru Megawati Soekarnoputeri yang menggantikan posisi Abdurrahman Wahid pasca impeachment, sementara Susilo Bambang Yudhoyono maupun Agum Gumelar kembali mendapat posisi di kabinet?

Susilo Bambang Yudhoyono ikut dicalonkan sebagai salah satu kandidat Wakil Presiden dalam Sidang Istimewa MPR 25 Juli 2001 untuk mengisi kekosongan setelah Megawati Soekarnoputeri naik menjadi Presiden RI pasca impeachment. Namun pilihan mengerucut kepada dua nama saja, yakni Hamzah Haz (PPP) dan Akbar Tanjung (Partai Golkar), untuk akhirnya dimenangkan oleh Hamzah Haz. Gagal menjadi Wapres, SBY dipilih Mega menjadi Menko Polkam 10 Agustus 2001. Hubungannya baik-baik saja dengan sang Presiden sampai saatnya, pihak ‘istana’, khususnya Taufiq Kiemas, mulai membaca bahwa SBY sedang mempersiapkan diri sebagai the next number one. Tetapi sebenarnya, ini tidak harus mengejutkan, karena bukankah dalam SI MPRS 2001 SBY telah maju sebagai calon Wakil Presiden. Biasanya, sekali melangkah, orang takkan mau surut lagi. Dalam hal SBY, ternyata ia didorong oleh kelompok sekelilingnya untuk terus mempersiapkan diri. Sempat ada saling pendekatan bahwa dalam Pemilihan Umum Presiden 2004, ia akan maju mendampingi Megawati Soekarnoputeri sebagai number two. Namun menunggu sampai saat-saat terakhir, belum ada kepastian yang bisa dipegang, sehingga ‘kubu’ SBY memutuskan untuk melangkah sendiri. Antara lain kemudian, mendirikan Partai Demokrat.

Saat mulai melangkah sendiri itulah muncul serangan-serangan, khususnya dari Taufiq Kiemas. SBY dianggap mulai mengabaikan tugas utamanya sebagai Menko Polkam demi keinginannya melaju ke pentas kepemimpinan nasional. SBY mengeluh kepada para wartawan bahwa dirinya berkali-kali dilampaui, tidak diundang dalam rapat kabinet, dan tidak dilibatkan oleh Presiden dalam pengambilan keputusan di bidangnya. Ketika SBY mengadakan rapat koordinasi Polkam, menteri-menteri yang diundangnya tak menghadiri rapat. Taufiq Kiemas, menyebutnya sebagai seorang jenderal yang kekanak-kanakan, mengeluh dan mengadu kepada wartawan, bukannya kepada Presiden sebagai atasannya. Tanggal 9 Maret 2001 ia mengirim surat kepada Presiden mempertanyakan hal ikhwal kewenangannya sebagai Menko Polkam sekaligus meminta waktu untuk bertemu Presiden. Suratnya tak dijawab, karena menurut Sekertaris Negara Bambang Kesowo, seorang menteri semestinya tak perlu menyurat sekedar untuk meminta waktu bertemu Presiden. Lalu ia diundang untuk hadir dalam rapat kabinet. Namun ia ‘membalas’ dengan tidak hadir, dan malah 11 Maret 2001 mengirim surat pengunduran diri kepada Presiden Megawati Soekarnoputeri.

Beberapa ucapan Taufiq Kiemas, maupun sikap Megawati sendiri, agaknya cukup menyinggung rasa kehormatan keluarga, termasuk isteri Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Nyonya Sunarti Sri Hadijah, sang mertua. Beliau diketahui menjadi salah satu pendorong utama agar SBY maju bertarung dalam gelanggang perebutan posisi number one. Jenderal Sarwo Edhie, seperti yang tercatat dalam sejarah, adalah salah satu tokoh penentu yang penting dalam tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, bukan hanya dalam momen sejarah 30 September dan 1 Oktober 1965, melainkan juga sebagai penopang gerakan-gerakan anti Soekarno oleh kaum muda di tahun 1966.

KARENA semua yang dihadapi Susilo Bambang Yudhoyono serba beraroma accident, maka karier politik dan kekuasaan SBY cenderung dibangun dalam rangkaian jawaban dan reaksi situasional. Bukan hasil rancangan yang cermat dirancang dalam waktu yang cukup, sebagaimana menjadi ciri kemunculan sejumlah pemimpin nasional di Indonesia, dengan Soekarno sebagai pengecualian. Presiden-presiden Indonesia setelah Soekarno, lahir sebagai buah historical by accident, atau paling tidak sebagai improvisasi sesaat, mulai dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri dan bahkan Susilo Bambang Yudhoyono. Mungkin dapat pula dikatakan, mereka bukanlah tokoh-tokoh yang sempat secara kualitatif berjuang dan mempersiapkan diri sebagai negarawan. Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah buah tempaan karir militer –yang dulu mengandalkan kekuatan senjata dalam politik di saat kaum sipil mengandalkan kecap politik– bukan negarawan. BJ Habibie adalah ilmuwan dan teknolog yang tidak terdidik dengan pengalaman kenegarawanan. Abdurrahman Wahid, mungkin memiliki dasar-dasar pemahaman demokrasi dan kenegarawanan yang memadai, tetapi kondisi kesehatannya di masa menjadi Presiden tidak mendukung, sebagaimana atmosfir lingkungan ‘politik’nya di lingkaran NU sama tak menopangnya. Megawati sementara itu hanya ditopang oleh aspek sentimental sejarah terkait ayahandanya.

Cita-cita awal SBY adalah menjadi Wakil Presiden mendampingi Megawati, diupayakan dalam dua kesempatan, namun persinggungan keduanya malah menghasilkan kecelakaan-kecelakaan. Namun, memang kecelakaan-kecelakaan itulah yang membawanya ke kursi number one pada akhirnya. Tetapi sebagai number one ia tak begitu pandai memilih orang untuk duduk dalam kabinetnya, terutama mungkin karena ia terlalu meladeni situasi kompromistis.

Masa kepresidenannya yang pertama, sedikit tertolong oleh the bad among the worst Muhammad Jusuf Kalla yang cukup gesit dan lincah. Dan tak kalah penting, tertolong oleh keberhasilan Jusuf Kalla ‘merebut’ Partai Golkar melalui Munas di Bali yang berlangsung sedikit banyak dalam pengaruh iklim money politics dan masih kuatnya rasa gamang sejumlah tokohnya untuk berada di luar lingkaran kekuasaan pemerintahan. Sedang dalam masa kepresidenannya yang kedua, SBY tertolong oleh kehadiran Sri Mulyani di posisi Menteri Keuangan, meski pada saat yang sama terjadi sorotan kuat dalam kasus Bank Century dan skandal Mafia Pajak Bahasyim dan Gayus Tambunan. Tetapi orang pada akhirnya tahu dan ‘melepaskan’ Sri Mulyani dari kedua kasus itu dan menempatkannya sebagai ‘korban’ konspirasi tingkat tinggi dalam tubuh kekuasaan.

SIPIL DAN MILITER DALAM POLITIK. “Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah buah tempaan karir militer –yang dulu mengandalkan kekuatan senjata dalam politik di saat kaum sipil mengandalkan kecap politik– bukan negarawan. BJ Habibie adalah ilmuwan dan teknolog yang tidak terdidik dengan pengalaman kenegarawanan. Abdurrahman Wahid, mungkin memiliki dasar-dasar pemahaman demokrasi dan kenegarawanan yang memadai, tetapi kondisi kesehatannya di masa menjadi Presiden tidak mendukung, sebagaimana atmosfir lingkungan ‘politik’nya di lingkaran NU sama tak menopangnya. Megawati sementara itu hanya ditopang oleh aspek sentimental sejarah terkait ayahandanya”. Karikatur 1967, T. Sutanto.

SEBENARNYA, secara objektif beberapa keberhasilan Presiden SBY selama 6 tahun lebih ini, cukup bisa diapresiasi, terutama di bidang ekonomi dan keuangan. Angka devisa tertinggi Indonesia misalnya, tercapai di masa SBY, melebihi masa Soeharto. Pers dan masyarakat juga menikmati kebebasan demokrasi, namun banyak di antara unsur pers dan masyarakat sendiri yang kebablasan dalam menikmati kebebasan dan hak azasinya dalam demokrasi seraya melupakan aspek kewajiban azasinya. Arus anarki dari luar kekuasaan lebih kuat dari anarki yang datang dari kalangan kekuasaan, terbalik dengan masa lampau. Dengan demikian, SBY sesungguhnya punya potensi menjadi number one, bukan number two setelah Soeharto. Tetapi persoalannya, aparat di bawah SBY tidak tangkas menghadapi persoalan-persoalan anarki dan sebagainya itu, sehingga SBY harus rela menerima kritik-kritik bahwa negara gagal melindungi dan menjamin rasa aman warganegaranya. SBY dan kalangan penegak hukum di bawahnya juga dianggap gagal menghadapi para koruptor, karena para pagar hukum itu terjangkit oleh perilaku suap dan korupsi itu sendiri.

Bersamaan dengan itu, SBY direpotkan menangkis berbagai serangan karena tidak selektif dalam menanggapi langsung berbagai persoalan, sebagaimana ia harus repot menghadapi berbagai akibat dari ulah, komentar dan beraneka move yang tidak matang dan sebenarnya tidak penting-penting amat, baik dari aparatnya di pemerintahan maupun para kader di partai pendukung utamanya, Partai Demokrat. Terbaru, mulai dari kasus Seskab Dipo Alam versus pers, isu gempa Jakarta dari Andi Arief staf khusus Presiden sampai ke yang terbaru kasus suap Kemenpora dan berita keterlibatan bendahara Partai Demokrat Nazaruddin serta anggota DPR Partai Demokrat Angelina Sondakh. Adapun Partai Demokrat yang mengalami sindrom mendadak menang besar –tiga kali lipat dari pemilu sebelumnya– memiliki persoalan tersendiri dengan mengarusnya berbagai macam manusia ke dalam tubuhnya saat filter pengamannya belum berfungsi baik. Partai ini masih bersandar penuh kepada figur SBY, sebagaimana PDIP bersandar kepada figur Mega. Merupakan tanda tanya, bagaimana nasib kedua partai itu nantinya tanpa figur sandaran mereka?

Dan last but not least, karena para pengeritik melihat bahwa SBY sangat sensitif bila citranya dilukai, maka para pengeritik maupun lawan-lawan politiknya selalu menyerang dari sisi lemah itu. SMS gelap yang menyinggung suatu hal yang sangat pribadi dari dirinya, bisa membuatnya bereaksi melebihi apa yang bisa diduga sebelumnya. Seringkali di antara kritik dan serangan itu ada yang tidak adil bahkan tidak beretika, tapi dalam kehidupan politik yang sakit, semua itu menjadi ‘halal’ karena ‘dihalalkan’. Meniru adagium dalam mitologi Cina, hanya ada satu cara menghadapi naga, yakni menebas kepala sang naga. Barangkali itu yang mau dilakukan lawan-lawan politik Susilo Bambang Yudhoyono. Masalahnya, kesempatan itu kerap kali dibuka sendiri….