Tag Archives: Din Syamsuddin

Lakon Partai Demokrat: Ada Sengkuni, Tak Ada Pandawa (2)

BETULKAH Anas Urbaningrum akan melakukan perlawanan politik sekaligus perlawanan hukum? Banyak pihak yang mengharapkan demikian, lalu mencoba memberi dukungan moral dengan membezoeknya. Bukan hanya para alumni HMI, tetapi juga dari kalangan partai ‘tetangga’ di koalisi, seperti Priyo Budi Santoso dari Golkar sampai Din Syamsuddin dari PP Muhammadiyah. Tak ketinggalan, tokoh-tokoh partai non koalisi, selain Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Pada sisi lain ada sejumlah pengamat yang menyangsikan keberanian bekas Ketua Umum PB HMI (1997-1999) itu untuk melakukan perlawanan sesungguhnya.

POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. "Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya". (Gambar plesetan yang beredar di media sosial)
POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. “Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya”. (repro gambar plesetan yang beredar di media sosial)

Di antara dua sisi tersebut, ada juga yang sekedar memanas-manasi agar kadar kepanikan di internal Partai Demokrat meningkat, atau agar Anas betul-betul membuka korupsi terkait Partai Demokrat. Jumat (1/3) sore misalnya, massa yang menamakan diri Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 mencoba mendatangi rumah Anas di Duren Sawit, namun dihalangi polisi. Hasbi Ibrahim, Sekertaris Jenderal Laskar, dikutip pers menyatakan “Anas jangan hanya banyak bicara, tapi buktikan diri berani bongkar kasus-kasus korupsi besar”. Paling serius, tentu adalah kunjungan 5 anggota Timwas Bank Century DPR-RI Senin (4/3). Timwas mengaku mendapat informasi penting dari Anas mengenai kasus Bank Century, termasuk penyebutan 5 nama yang terlibat, 4 di antaranya dianggap nama baru, 2 pejabat negara, 2 dari kalangan partai.  Kategorinya, relevan sebagai tersangka.

Gado-gado politik dan hukum. Untuk sebagian, upaya memanas-manasi Anas, kelihatannya berhasil, tetapi terutama justru berpengaruh ke arah Partai Demokrat. Terlihat tanda-tanda panik. Apalagi, memang selama ini terlihat betapa sejumlah tokoh-tokoh partai tersebut memang tidak berkategori politisi tangguh, cenderung bicara tak terarah, seringkali hanya bersilat lidah dengan retorika tidak nalar. Tetapi giliran kena serangan, gelagapan atau emosional. Banyak tokoh partai tersebut yang tertampilkan wah dan populer semata karena pencitraan semu. Tapi itulah risiko sebuah partai yang mendadak besar karena situasi. Bagai buah yang tampak matang karena dikarbit, sering mentah di tengah.

Membanjirnya kunjungan berbagai tokoh untuk menjenguk Anas di kediamannya, dibarengi sejumlah komentar, terkesan sangat politis, khususnya dalam persepsi kalangan Partai Demokrat. Menjelang keberangkatannya (3/3) ke Jerman dan Hongaria, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang juga adalah Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat– meminta persoalan hukum Anas jangan dibawa merambah ke ranah politik.

Tapi siapakah sebenarnya yang mulai membawa kasus hukum Anas ke ranah politik? Tak lain, SBY sendiri ketika ia mempersilahkan Anas untuk lebih fokus menghadapi masalah hukum yang menimpanya terkait kasus Hambalang, padahal Anas belum diberi KPK status tersangka.  Status tersangka baru sebatas tercantum dalam fotokopi Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK yang beredar –sehingga menjadi satu masalah dengan kegaduhan tersendiri. Sebelum Anas menjadi tersangka resmi, SBY telah bertindak jauh ‘mengambilalih’ kepemimpinan internal Partai Demokrat dari tangan sang Ketua Umum. Merasa diri teraniaya dan menjadi korban konspirasi –meskipun terasa sedikit artifisial– Anas Urbaningrum menyampaikan pesan akan melakukan perlawanan politik dan hukum. Dan yang giat melakukan perlawanan politik, maupun counter attack berupa tudingan yang beraroma campur aduk antara hukum dan politik, justru adalah kalangan Kahmi dan HMI. Di beberapa kota terjadi demonstrasi HMI membela Anas seraya menyerang SBY. Nama putera Presiden SBY, Edhie ‘Ibas’ Baskoro pun dirembet-rembet ikut menerima aliran uang dari kasus Hambalang. Ada tuntutan agar Ibas segera diperiksa KPK.

Bahkan juga, seperti yang dituduhkan tokoh Partai Demokrat Ramadhan Pohan, sejumlah tokoh politik dari berbagai partai dan organisasi –seperti Hanura, Gerindra, Muhammadiyah– ikut menggunakan kesempatan melakukan serangan politik terhadap SBY dan partainya. Saat keluar dari tempat kediaman Anas, biasanya memang para tokoh politik itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menurut Ramadhan menambah keruh keadaan. Inilah mungkin suatu keadaan yang disebutkan SBY “menimbulkan gonjang-ganjing politik”. Menurut Dr Tjipta Lesmana, serangan kepada SBY terjadi karena memang banyak yang memusuhi SBY.

Partai Demokrat adalah partai yang terbawa besar karena mencuatnya popularitas Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketokohannya juga tercipta oleh ‘penganiayaan’ politik Taufiq Kiemas-Megawati Soekarnoputeri. ‘Penganiayaan’ itu bertepatan waktu dan bertemu dengan situasi perasaan hampa rakyat tentang ketokohan yang bisa memberi harapan pasca Soeharto. Seakan-akan tercipta suatu momen historical by accident. Bahwa pada waktunya terbukti bahwa ia bukan seorang tokoh historical, bukan tokoh yang betul-betul bisa diharapkan, itu soal lain. Sejarah kan tak selalu melahirkan tokoh besar?

Sebagai partai yang membesar dengan pesat –meskipun bukan terutama dengan tumpuan kekuatan organisasi itu sendiri– Partai Demokrat menjadi bagaikan gula yang dikerumuni semut. Mereka yang menjadi golongan kecewa atau gugup di partai-partai lain, terutama dari Golkar yang sempat mengalami degradasi semangat setelah mundurnya Soeharto dari kekuasaan, mengalir ke Partai Demokrat yang menjadi partainya bintang baru bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Agaknya, ketika para pimpinan partai merasa bahwa di antara yang mengalir datang itu banyak yang kurang berkualitas, mereka lalu merekrut beberapa tokoh yang dianggap berkualitas untuk bergabung. Salah satunya, adalah Anas Urbaningrum, yang rela meninggalkan KPU untuk bergabung dan langsung mendapat posisi tinggi. Belakangan, Andi Nurpati dari KPU ikut pula bergabung. Partai Demokrat juga merekrut tokoh Jaringan Islam Liberal Ullil Absar Abdalla, serta sejumlah pengacara terkenal seperti Amir Syamsuddin dan Denny Kailimang.

Rekrutmen Anas Urbaningrum yang kala itu baru berusia 36 tahun ke Partai Demokrat tahun 2005, dengan meninggalkan KPU, seringkali dikisahkan dalam serial rumor politik, sebagai ada udang di balik batu. Saat itu, KPU digoncang berbagai masalah korupsi di tubuhnya. Anas yang seharusnya merampungkan masa tugasnya sampai 2007, meninggalkan KPU tak lama setelah Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden 2004. Banyak yang menghubungkan rekrutmen Anas dengan keanehan angka-angka pencapaian suara Partai Demokrat maupun SBY dalam dua jenis Pemilihan Umum tersebut. Hal serupa terjadi dengan Andi Nurpati, yang juga meninggalkan KPU setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Dalam dua Pemilihan Umum, 2004 dan 2009, Partai Demokrat seakan-akan selalu melakukan balas jasa kepada salah satu komisioner KPU. Walaupun ini semua hanya rumor, yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya –namanya juga rumor politik, yang merupakan gado-gado sedikit kebenaran dengan sedikit, insinuasi dan prasangka– tapi tak sedikit yang mempercayainya sebagai kebenaran.

Tak mungkin hanya Anas, tak mungkin hanya serupiah. Namun, terlepas dari apakah kasus Anas dan Partai Demokrat ini, sekedar gado-gado politik-hukum atau bukan, yang tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya.

Pengalaman empiris yang sudah-sudah, hingga sejauh ini, belum sekalipun KPK meleset dalam penetapan tersangka kasus korupsi. Belum pernah ada tersangka KPK yang lolos dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bisa saja, KPK terseok-seok, dikritik lamban atau pilih-pilih tebu, tetapi lembaga tersebut tetap berhasil membuktikan diri.

Anas Urbaningrum yang memiliki poker face sejati, sebenarnya sempat juga menggoyahkan sebagian opini publik dengan bantahan-bantahan yang tenang dan cenderung dingin. Apalagi ketika ia bersumpah dan berani digantung di Monas bila ia menerima “serupiah saja” dari proyek Hambalang. Terminologi “serupiah saja” sebenarnya memiliki pengertian yang jelas dan final. Bisa habis akal juga para ahli semiotika bila mencoba memberi penafsiran lain terhadap terminologi “serupiah saja” itu. Maka pakar humor mengambilalih dengan mencari padanan kata “saja” dengan “hanya”. Konon, yang dimaksud Anas dalam sumpahnya itu, “kalau serupiah saja” adalah “kalau hanya serupiah”. Kan tak mungkin, dan mana mau dia menerima “hanya serupiah”? Kalau ia menerima, harus dalam skala ratusan juta atau milyaran. Kan itu bukan “serupiah saja” atau “hanya serupiah”?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.

Muhammadiyah: Islam Kota Yang Semakin Elit (3)

SEBAGAI sebuah gerakan Islam sosial yang kini hampir memasuki usia 100 tahun, telah banyak yang dilakukan oleh Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia secara luas. Dalam bidang pendidikan misalnya, hingga tahun 2000 ormas Islam itu memiliki 3.979 taman kanak-kanak, 33 taman pendidikan Alquran, 6 sekolah luar biasa, 940 sekolah dasar, 1.332 madrasah diniyah/ibtidaiyah, 2.143 sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP dan MTs), 979 sekolah lanjutan tingkat atas (SMA, MA, SMK), 101 sekolah kejuruan, 13 mualimin/mualimat, 3 sekolah menengah farmasi, serta 64 pondok pesantren. Dalam bidang pendidikan tinggi, hingga tahun ini Muhammadiyah memiliki 36 universitas, 72 sekolah tinggi, 54 akademi, dan 4 politeknik.

KH AHMAD DAHLAN, FIKIH AL-MAUN. “Konsep itu dikembangkan karena adanya pandangan, bahwa umat Islam sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak yang menjadi penyandang masalah sosial, miskin, dan bodoh”. (Foto download)

Sementara itu, dalam bidang kesehatan, Muhammadiyah hingga tahun 2000 memiliki 30 rumah sakit umum, 13 rumah sakit bersalin, 80 rumah bersalin, 35 balai kesehatan ibu dan anak (BKIA), 63 balai pengobatan, 20 poliklinik, balai kesehatan masyarakat, dan layanan kesehatan yang lain. Lalu dalam bidang kesejahteraan sosial, hingga 2000 Muhammadiyah telah memiliki 228 panti asuhan yatim, 18 panti jompo, 22 balai kesehatan sosial, 161 santunan keluarga, 5 panti wreda/manula, 13 santunan wreda/ manula, 1 panti cacat netra, 38 santunan kematian, serta 15 BPKM. Dalam bidang ekonomi, hingga 2000 Muhammadiyah memiliki 5 bank perkreditan rakyat (BPR) (Suara Merdeka, Semarang, Rabu, 13 Juli 2005).

Peningkatan jumlah yang demikian spektakuler tidak dapat menutup kenyataan lain di seputar perkembangan amal usaha Muhammadiyah tersebut, yaitu kualitas amal usaha tersebut. Harus diakui, amal usaha Muhammadiyah untuk hal kualitas mengalami dua masalah sekaligus. Pertama, keterlambatan pertumbuhan kualitas dibandingkan dengan penambahan jumlah yang spektakuler. Kedua, ketidakmerataan pengembangan mutu lembaga pendidikan. Namun, kesuksesan Muhammadiyah dalam bidang usaha (ijtihad amali) itu tidak membuatnya lepas dari kritik kader-kadernya. Saat menjabat sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah, Din Syamsudin, pernah melontarkan kritik tajam. “Muhammadiyah telah berubah dari pergerakan tajdid menjadi gerakan amal usaha”, katanya. Kata amal usaha ditujukan pada perkembangan jumlah sekolah, rumah sakit, dan lembaga ekonomi milik Muhammadiyah (Islam Digest Republika, 22 November 2009).

Banyak sorotan yang diarahkan pada amal usaha di bidang pendidikan, seperti sekolah-sekolah tingkat dasar ataupun menengah serta perguruan tinggi karena lembaga-lembaga tersebut belum mampu menunjukkan daya saing pada tingkat Continue reading Muhammadiyah: Islam Kota Yang Semakin Elit (3)

Muhammadiyah: Islam Kota Yang Semakin Elit (2)

MENGHADAPI masalah Jawanisme, praktik-praktik ibadah yang bercampur dengan tradisi masyarakat setempat, Kiai Dahlan menggunakan metoda yang selalu mengedepankan berbuat baik (amar makruf) mengajak dengan bijaksana untuk mencari solusi, bukannya menyerang tradisi tersebut dengan keras (nahi mungkar). Waktu itu, banyak bangunan masjid yang kiblatnya tidak tepat ke arah Masjidil Haram di Mekah, karena dibangun berdasarkan pertimbangan kerapihan pembangunan kota dengan mengikuti rentetan jalan yang sudah ada. Mulanya, Kiai Dahlan yang ahli dalam ilmu falak berusaha untuk membetulkan arah kiblat masjid di Yogyakarta, namun menimbulkan insiden yang membuatnya berpikir lebih bijak setelah suraunya dibakar massa yang protes. Dalam suatu kesempatan lain, kepada para jamaah masjid yang salah arah kiblat ia mengatakan bahwa untuk bisa menampung seluruh jamaah di dalam masjid, saatnya bangunan itu harus diperbesar dan diperindah, serta kiblatnya ditujukan ke arah Masjidil Haram di Mekah. Usulan tersebut diterima sepenuhnya oleh para jamaah.

VISUALISASI KH AHMAD DAHLAN MUDA DALAM POSTER FILM ‘SANG PENCERAH’. Dalam kegalauan akibat maraknya serangan kelompok Islam radikal kepada kelompok lain yang dianggap sesat sekarang ini, Muhammadiyah yang dikenal sebagai salah satu kubu Salafi menghadapi dilema dan sesekali menjadi dilema sekaligus. “…. Ketika dihadapkan dengan perbedaan antara golongan Islam tradisional dan kelompok Islam garis keras, maka Muhammadiyah mengambil posisi yang disebut wasathiyah (moderat, posisi tengah) dengan mengedepankan keterbukaan, dialog dan komunikasi dengan semua pihak”. (gambar download).

Untuk memperbaiki arah kiblat masjid di kota-kota lain yang kurang sempurna, Kiai Dahlan berinisiatif mengumpulkan para tokoh ulama di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya untuk melakukan musyawarah. Walaupun setiap tokoh ulama daerah itu memiliki pandangan yang berbeda-beda, namun hasil musyawarah tersebut membawa pengaruh yang besar dalam pemahaman baru beragama yang rasional. Kiai Dahlan menghendaki umat Islam tidak menjadi orang yang jumud, yang hanya mengikuti dan menerima saja segala ajaran Islam tanpa memverifikasinya terlebih dahulu, apakah ajaran itu benar dari Islam atau sebaliknya, justru berasal dari kelompok lainnya yang bisa menyebabkan rusaknya akidah umat Islam.

Perilaku yang ramah, tidak mencari musuh itulah yang membuat paham Muhammadiyah menyebar dengan damai ke seluruh Indonesia (Islam Digest Republika, 22 November 2009). Namun dalam versi yang lunak, pesantren yang berafiliasi Continue reading Muhammadiyah: Islam Kota Yang Semakin Elit (2)

Syiah, Dendam Lama Yang Dibangkitkan Kembali (1)

“Perbedaan pendapat (di kalangan) umatku adalah tahmat”, Hadis riwayat Al Baihaqi.

PERSETERUAN karena perbedaan paham antara kelompok Sunni dan Syiah di Sampang, Madura sebenarnya bukan suatu hal baru. Kelompok Sunni menyebut aliran Syiah sebagai aliran sesat. Sudah terjadi sejak 2006, namun berlarut-larut berkepanjangan karena tak pernah ada penyelesaian yang tegas, baik di antara mereka, maupun oleh pihak pemerintah yang berwenang dalam masalah antar agama, sehingga menjadi api dalam sekam yang mudah dikobarkan kembali.

Pada sisi lain, penyerangan dan pembakaran terhadap masjid, madrasah dan rumah kelompok Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, yang dilakukan secara mendadak oleh ratusan massa yang mengaku kelompok Sunni, Kamis (29/12/2011) yang lalu, menunjukkan kekerasan atas nama agama semakin brutal. Bupati Sampang Noer Tjahja, mengatakan kerusuhan yang membuat umat Syiah itu harus mengungsi, sesungguhnya berakar dari masalah internal keluarga yang berbeda faham beragama, sehingga menimbulkan perselisihan (Kompas, 30 Desember 2011).

Menurut Ketua Dewan Syuro Pengurus Pusat Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat, penduduk Indonesia yang mayoritas Sunni menganggap Syiah berbeda dengan Islam pada umumnya. Syiah disebutkan memiliki Al Quran yang berbeda, memiliki azan yang berbeda, dan membolehkan kawin kontrak. Namun, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Said Agil Siraj mencurigai ada desain besar di balik kejadian tersebut, karena sejak dulu tak pernah ada perselisihan Sunni dan Syiah di Madura. Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Umar Shihab, sama-sama menegaskan kepada pers bahwa Syiah tidak sesat. Jadi, ada yang mengail di air keruh untuk merusak suasana damai di Indonesia?

Dari kepentingan politik menjadi konflik keyakinan
Sebagaimana tercatat dalam buku sejarah, awal mula munculnya perbedaan paham (khilafiyah) dalam bidang teologi (kalam) yang tidak pada substansi atau esensi Islam, terjadi pada masa akhir pemerintahan Khalifah Usman bin Affan yang berlangsung selama 12 tahun sejak tahun 644, yang berujung pada pembunuhannya, tahun 656. Waktu itu, karena persoalan jabatan politis ada sekelompok orang di pemerintahan Usman yang tidak disukai, sehingga saling mencaci, menghakimi, dan mencap kelompok yang berbeda tersebut sebagai orang kafir.

Ali bin Abi Thalib, sepupu, sahabat dan menantu Nabi Muhammad SAW, yang menggantikan Usman, dianggap tidak menjalankan apa yang diperintahkan Al Quran untuk menghukum seluruh anggota kelompok yang terlibat dalam usaha pembunuhan Usman. Ali hanya menghukum pembunuhnya saja. Kebijakan Ali tersebut mendapat tantangan dari Aisyah, janda Nabi Muhammad SAW, yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah, sehingga berujung dengan Perang Jamal (Unta) yang dimenangkan Ali. Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Setelah itu, banyak kebijakan-kebijakan Ali yang mendapatkan perlawanan dari Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Damaskus dan kerabat Usman, yang didukung oleh sejumlah bekas penjabat tinggi di masa pemerintahan Usman, dengan terjadinya Perang Siffin. Ali yang sebenarnya ingin menghindari perang dengan sesama muslim, dan menyelesaikan perkara itu dengan damai, untuk mengakhiri perang tersebut Ali melakukan tahkim atau perundingan (arbitrase) dengan Muawiyah. Kelompok Khawarij yang semula pendukung Ali, berbalik menghakimi Ali dan Muawiyah, serta pihak lain yang terlibat, yaitu Amru bin Ash, dan Musa Al Asy’ari, sebagai orang kafir, dan halal darahnya. Dalam suatu kesempatan, Ali akhirnya terbunuh oleh orang yang tidak senang padanya.

Pengikut Ali (syi’i), yang sejak Nabi Muhammad SAW wafat sangat yakin Ali berhak menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW sebagai khalifah, lalu mengalihkan dukungan kepada keturunan Ali hingga anak cucunya (ahlulbait). Kelompok yang kemudian dikenal sebagai Syiah itu, semakin tersisih dari pusat pemerintahan setelah terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib, putra kedua Ali, dalam penghadangan di Karbala oleh Jazid bin Muawiyah, yang kemudian mendirikan Dinasti Muawiyah. Sedangkan kelompok jalan tengah, atau pengikut Khalifah al Rasyidin menerima kepemimpinan Muawiyah, dikenal sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), yang kemudian lebih akrab disebut sebagai kelompok Sunni.

Perbedaan pandangan yang tajam antara Syiah dan Sunni, adalah dalam penafsiran Al-Qur’an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syiah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait (Ali bin Abi Thalib), sementara sumber yang lainnya, seperti Abu Hurairah, yang mendukung Muawiyah, tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syiah mengakui otoritas Imam Syiah keturunan Ali bin Abi Thalib (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syiah berbeda dalam siapa pengganti para imam tersebut, dan menetapkan imam mereka saat ini.

Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i, tokoh kelahiran Troblus, Lebanon pada 1924, dalam bukunya bertajuk “Islamuna fi at-Taufiq Baina as-unni wa asy-Syi’ah”, perbedaan antara kedua paham tersebut bukanlah persoalan prinsip, melainkan masalah khilafiyah yang dapat ditoleransi. Beberapa hal penting yang menjadi perhatian ar-Rifa’i di antaranya perbedaan hukum nikah mut’ah (kontrak berjangka), konsep imamah (kepemimpinan agama yang diturunkan menurut garis keturunan Ali), dan kemunculan Imam al-Mahdi (Islam Digest Republika, 5 Juni 2011).

Walaupun dalam perkembangannya terjadi sekte-sekte Syiah yang menyimpang, namun secara teologi antara Sunni dan Syiah Dua Belas Imam (Itsna’asyariyah) tidak memiliki perbedaan mendasar, baik dalam hal konsep ketuhanan (tauhid), kenabian, kitab suci Al-Quran, maupun kepercayaan akan hari akhir dan persoalan teologis lainnya, namun untuk kepentingan politis penguasa setempat kedua aliran ini mudah diadudomba. Perselisihan menjadi semakin besar, setelah paham Aswaja yang dulunya hanya sekadar cara pandang atau pola pikir (manhaj al-fikr) dalam sebuah permasalahan agama semakin banyak diikuti banyak orang, akhirnya berubah menjadi mazhab yang diterima penguasa. Sedangkan Syiah, yang dimusuhi pemerintah yang berkuasa menjadi mazhab yang tidak populer dan dikejar-kejar oleh penguasa yang represif. Bahkan, untuk mencari selamat kaum Syiah menerapkan taqiyyah (sikap menyembunyikan diri), tindakan menampilkan fakta yang berbeda soal urusan agama, baik dengan perkataan maupun perbuatan, agar tidak menimbulkan konflik mereka nampak seperti penganut mazhab setempat.

Di Timur Tengah, misalnya perselisihan paham antara Sunni dan Syiah sebagai ujung dari pertikaian politik menjadi semakin marak setelah Amerika Serikat menyerang Irak, dan memanfaatkan celah perselisihan potensial tersebut dengan baik. Bahkan, di Indonesia, Syiah yang sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat pun mudah menjadi sasaran kepentingan pihak yang mengaku sebagai kelompok Sunni.

Unjuk kekuatan sebagai isyarat untuk meredam proyek deradikalisi
Masalahnya, pada dasarnya umat Islam di Indonesia tergolong moderat, tapi ketika terjadi pelecehan pada ranah akidah, resistensinya akan menjadi sangat kuat dalam bentuk tindakan kekerasan massa. Prof. Baharun, pemerhati Syiah sekaligus Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, menanggapi pembakaran Ponpes Syiah di Sampang yang disampaikan kepada Eramuslim.com, Selasa (03/01/2012) yang lalu, mengatakan penyebab bentrok tersebut adalah akibat dari kesalahan dakwah kelompok Syiah yang dianggap sebagai aliran sesat yang merusak akidah. “Kita sama sekali tidak membenarkan pembakaran dan kekerasan, tapi mungkin masyarakat sudah kesal. Tidak ada solusi yang dilakukan terhadap sepak terjang Syiah yang merusak akidah,” tandasnya. (http://www.eramuslim.com/berita/nasional/aparat-diminta-usut-syiah-sebagai-pemicu-bentrok.htm)

Masalah Syiah memang mencuat setelah terjadi Revolusi Islam Iran (1979), ketika kelompok ulama Syiah berhasil mengusir Shah Iran, yang memunculkan ketokohan Ayatollah Khomeini, banyak orang kagum dengan ajaran Syiah yang dianggap lebih progresif. Pada awal gerakannya bersifat intelektual, namun sejak kehadiran alumnus Qum gerakan Syiah mulai mengembangkan Fiqh Syiah, sehingga muncullah lembaga-lembaga Syiah.

Berlanjut ke Bagian 2

Ditulis untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

Menuju Pemakzulan Presiden SBY? (2)

“Selain itu, bila toh ingin melakukan pemakzulan, perlu menjawab pertanyaan tentang alternatif sesudah pemakzulan, jangan-jangan yang tersedia, sekali lagi, hanyalah ‘mahluk baru’ dengan rahang menganga yang siap melahap dalam satu lakon baru….. Atau tokoh lain yang akan sama mengecewakannya”.

Din dan Dipo yang ‘berani’. SEBELUM di Bandung, Sri Bintang Pamungkas telah berkali-kali berorasi menyerukan supaya SBY diturunkan dari kursi kepresidenan. Tetapi bukan dia yang menyerukan jalan melalui revolusi dalam pertemuan di Gedung Indonesia Menggugat Bandung yang luput dari peliputan pers itu. Sri Bintang Pamungkas (lahir tahun 1945) memang agaknya seorang spesialis untuk bidang yang satu ini. Meski belum diketahui persis sejauh mana pengaruh dan perannya dalam setiap ‘pemakzulan’ dan atau ‘pergantian’ presiden, ia tercatat selalu ikut menyuarakan perubahan kepemimpinan negara, mulai terhadap Presiden Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri hingga yang terbaru, Susilo Bambang Yudhoyono.

Mungkin Sri Bintang hanya ‘kalah’ satu langkah dari Arifin Panigoro yang juga selalu tercatat keikutsertaannya dalam setiap proses ‘penurunan’ seorang Presiden Indonesia, termasuk terhadap Soekarno. Arifin tercatat namanya turut serta dalam gerakan anti Soekarno di tahun 1966-1967 kala masih menjadi mahasiswa ITB di Bandung.

Di masa yang tak terlalu ‘berbahaya’ lagi bagi para penentang kekuasaan seperti sekarang ini, seruan pemakzulan bahkan seruan revolusi, bisa meluncur dari mulut banyak orang tanpa risiko terlalu tinggi. Jauh berbeda dengan zaman Soekarno (khususnya pada 1959-1965) atau zaman Soeharto (1967-1997 atau awal 1998), yang bisa berisiko pemenjaraan tanpa pernah diadili hingga penculikan dan atau bentuk eliminasi lainnya bagai para aktivis, serta pembreidelan bagi pers. Suara terbaru tentang pemakzulan, diluncurkan antara lain oleh Din Syamsuddin, salah satu tokoh lintas agama yang kerap berkiprah di dunia politik praktis.

Din Syamsuddin menyebutkan pemerintahan SBY telah menyimpang dari konstitusi atau UUD 1945. Pelanggaran konstitusi merupakan salah satu alasan yang bisa digunakan untuk pemakzulan. Maka, Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang dulu adalah aktivis yang kurang lebih satu zaman dengan Hariman Siregar di Universitas Indonesia, menyanggah dari New Delhi, “itu tidak betul”. Kepada wartawan Kompas, J. Osdar, Dipo mengatakan tidak gentar untuk mengeluarkan pernyataan ini. “Di masa pemerintahan Soeharto pun saya berani melawan sampai saya masuk penjara”. Tentu saja komentar ini menjadi tidak ada relevansinya dengan persoalan dan situasi saat ini. Melawan pemerintah saja sekarang orang tidak gentar –kecuali ada kepentingan khusus atau tersandera ‘dosa’ lama– apapula konon bila sedang berada dalam posisi kekuasaan. Siapa yang akan memenjarakan seorang Sekertaris Kabinet? Bukankah, terlibat korupsi pun, sekarang ini tidak gampang bisa dipenjarakan? Asal paham ilmu ‘bagi-bagi’, tidak hanya mahir ilmu perkalian.

BANGSA ini sudah berpengalaman dengan ‘menurunkan’ Presiden. Tetapi bangsa ini juga punya sejumlah pengalaman empiris yang kurang nyaman tentang ‘menurunkan’ dan ‘menaikkan’ pemimpin nasionalnya. Saat berhasil melepaskan diri dari mulut buaya, ternyata jatuh ke mulut harimau, paling tidak dari satu pemimpin keliru ke tangan pemimpin keliru lainnya. Pelajari saja pengalaman peristiwa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Dari Soeharto ke BJ Habibie, dari BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid, dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputeri. Terakhir, dari Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono.

Kita ‘menjatuhkan’ Soekarno saat ia bermutasi ke dalam dictatorialship untuk memperoleh kepemimpinan Soeharto yang kemudian berubah wujud menjadi otoriter. Saat ‘menurunkan’ Soeharto, yang naik adalah Wakil Presidennya, BJ Habibie, karena lengsernya Soeharto tidak satu paket dengan sang wakil. Saat BJ Habibie dalam waktu singkat tidak memuaskan lagi, pertanggungjawabannya di MPR-RI ditolak, yang membawa pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputeri ke atas. Di tengah jalan, Abdurrahman Wahid yang menderita gangguan fisik dan kesehatan, sehingga cenderung dianggap labil karena gampang kortsluit, di-impeach di tengah jalan sehingga giliran Mega naik berpasangan dengan Hamzah Haz. Pasangan itu yang disimpulkan ternyata tak dapat berbuat banyak memperbaiki Indonesia ini, akhirnya kalah suara dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden secara langsung tahun 2004. Dan sekarang melalui Pilpres 2009 tampil pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, yang kini mulai dihadapkan pada suara-suara pemakzulan.

‘Mahluk baru’ dengan rahang menganga. APAKAH revolusi merupakan suatu kebutuhan saat ini? Atau apakah setidaknya sekedar suatu pemakzulan untuk memperbahatui kepemimpinan negara?

Revolusi –dalam konteks politik dan kekuasaan– biasanya berada di antara zona angan-angan radikal dengan zona insidental accident yang merupakan derivat dari historical by accident. Revolusi bukanlah sesuatu yang pantas untuk diinginkan. Ia merupakan jalan perubahan yang paling mahal yang harus dibayar dengan risiko-risiko tak terduga berupa penderitaan kemanusiaan yang panjang, meskipun memang ia bisa saja merubah keadaan secara drastis seketika. Revolusi Perancis 1789 yang berdarah-darah melahirkan kekuasaan teror Robespierre dan kawan-kawan sebelum akhirnya memberi resultante berupa kediktatoran baru ala Napoleon Bonaparte sepuluh tahun sesudah revolusi. Revolusi 1905 di Rusia, diikuti 100 ribu rakyat yang berbaris bersama Pendeta Gapon, diawali dengan ‘Minggu Berdarah’ 22 Januari dengan tumbal lebih dari 1000 rakyat yang tewas dibantai pasukan berkuda Kozak. Begitu banyak darah yang mengalir sehingga di hamparan salju di depan Istana Musim Dingin St Petersburg seakan tercipta satu sungai darah. Revolusi 1905 itu menjadi semaacam gladi resik bagi Revolusi Bolshevijk 1917 yang kemudian melahirkan kekuasaan berideologi totaliter di Rusia dimulai dengan soft oleh Lenin untuk mengeras di bawah Stalin. Bahkan Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 yang tak boleh tidak harus dilakukan untuk mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, pun tak terhindar dari ekses berupa kebiasaan menyelesaikan pertengkaran dengan angkat senjata selama beberapa lama di bagian awal Indonesia merdeka.

Pemakzulan di tengah jalan terhadap pemimpin negara yang sedang memerintah pun sebenarnya bukanlah sesuatu pilihan pantas dan terbaik dalam penyelesaian masalah. Kalau ia harus menjadi pilihan jalan keluar, ia haruslah menjadi pilihan yang betul-betul paling terakhir. Pemakzulan adalah cermin yang memperlihatkan betapa kita telah gagal dalam memilih pemimpin dan bahkan dalam membentuk sistem politik dan sistem bernegara. Kita bagaikan keledai yang telah terantuk berulang kali pada batu yang sama. Walau, pada sisi yang lain kita bisa memahami kekecewaan yang lahir dari kekesalan terhadap cara seseorang memimpin pemerintahan negara, dan kegagalan-kegagalannya menegakkan hukum serta mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya berkulminasi pada keinginan memakzulkan. Tapi kita juga pasti memilah-milah, bahwa tuntutan pemakzulan untuk sebagian bisa juga hanyalah bagian dari senjata politik untuk memaksa dibukanya suatu negosiasi politik dan kekuasaan. Kebetulan, konstitusi kita yang ada saat ini, tak menutup kemungkinan pemakzulan sepanjang syarat-syarat formal konstitusional untuk itu dan kondisi objektif yang ada, memungkinkan.

Selain itu, bila toh ingin melakukan pemakzulan, perlu menjawab pertanyaan tentang alternatif sesudah pemakzulan, jangan-jangan yang tersedia, sekali lagi, hanyalah ‘mahluk baru’ dengan rahang menganga yang siap melahap dalam satu lakon baru….. Atau tokoh lain yang akan sama mengecewakannya.

Gayus Tambunan: Kisah Belakang Layar

“Para whistle blower malah dimasukkan secara keroyokan ke ladang pembantaian, atau seperti kata Adnan Buyung Nasution justru dipendam agar tertutup mulutnya. Artinya, mereka tidak dikehendaki untuk mengungkap sejumlah kejahatan yang mereka ketahui. Kenapa ini bisa terjadi? Hanya satu jawabannya: Para bandit memang ada dan cukup kuat posisinya dalam beberapa posisi kunci dalam tubuh kekuasaan”.

SETELAH dua kali berturut-turut dalam sehari kemarin publik disuguhi antiklimaks oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu 19 Januari 2011 ini, klimaks yang sesungguhnya datang. Bukan dari sang presiden, melainkan justru dari Gayus Tambunan. Sesaat setelah Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan menjatuhkan vonnis 7 tahun atas dirinya, didampingi pengacaranya Adnan Buyung Nasution SH, Gayus mengungkapkan kepada pers tentang ajakan Sekretaris Satgas Anti Mafia, Denny Indrayana, berkonspirasi memojokkan Aburizal Bakrie. Padahal, menurut Buyung, sejak awal menjadi pendamping hukum bagi Gayus, yang bersangkutan telah bersepakat dengan dirinya untuk mengungkap semua yang terlibat, demi keadilan dan kebenaran, tidak terarah kepada orang tertentu.

Sementara itu, dua anti klimaks dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi pada waktu berdekatan. Pertama, adalah saat memberikan 12 instruksi berkategori ‘biasa’ dan kemungkinan besar takkan mampu ‘menggigit’ dalam penanganan lanjut kasus Gayus dan atau Mafia Pajak. Dan, antiklimaks yang kedua adalah pertemuan dialognya dengan para pemuka lintas agama yang diperluas pesertanya dengan kehadiran tokoh-tokoh di luar penandatangan pernyataan yang berisi gugatan ketidakjujuran pemerintah selama ini. Apalagi, inisiatif pertemuan tersebut ternyata bukan berasal dari SBY sendiri, melainkan, seperti yang dengan ‘cerdik’ diungkapkan SBY, inisiatifnya berasal dari Din Syamsuddin salah seorang tokoh lintas agama. Tapi terlepas dari itu, pertemuan itu tak mampu ‘menghapus’ opini tentang apa yang telah didefinitifkan di tengah publik sebagai 9 tambah 9 kebohongan pemerintahan SBY selama 6 tahun ini. Opini itu mungkin akan melekat lama di benak publik, karena merupakan konfirmasi terhadap opini yang selama ini memang mulai berkembang di masyarakat.

UNGKAPAN Gayus Tambunan mungkin saja lebih merupakan pelampiasan kekesalan terhadap taktik dan ‘janji-janji’ Denny Indrayana –yang berupaya keras berprestasi sebagai anggota Satgas Anti Mafia– dan tidak dengan sendirinya harus diterima sebagai kebenaran. Namun, lagi-lagi, suatu situasi konfirmasi tercipta di sini. Apa yang diungkapkan Gayus Tambunan –upaya politisasi oleh Denny yang mengarah kepada Aburizal Bakrie, serta beberapa tali temali terkait nama Komjen Susno Duadji, jaksa Cirus Sinaga dalam konteks ‘misteri’ kasus Antasari Azhar– seakan-akan mengkonfirmasi kesangsian kuat di tengah publik bahwa memang ada kejanggalan-kejanggalan dalam kasus-kasus yang disebutkan itu. Walaupun, sebagian besar publik juga tak puas terhadap vonnis 7 tahun yang dianggap rendah.

Seperti kita ketahui, penanganan awal kasus Gayus Tambunan dilakukan di masa Kabareskrim dijabat Komjen Susno Duadji. Adalah pula Susno Duadji yang memicu ekspose kasus Gayus Tambunan ini dalam konteks Mafia Pajak dan adanya Mafia Hukum di tubuh Polri. Sebagai whistle blower, Susno menyebut keterlibatan nama-nama Brigjen Raja Erizman, Brigjen Edmond Ilyas serta sejumlah perwira polisi lainnya, serta merembet Jaksa Cirus Sinaga cs dan Hakim Muhtadi Asnun yang ‘membebaskan’ Gayus. Jaksa Cirus Sinaga, adalah jaksa penuntut umum yang gigih ‘menjebloskan’ mantan Ketua KPK Antasari Azhar melalui proses peradilan di Pengadilan Jakarta Selatan. Pada saat Antasari Azhar diadili, Susno Duadji tampil sebagai saksi yang memberi pengungkapan-pengungkapan tentang adanya rekayasa kepolisian dalam penanganan kasus Antasari Azhar. Menarik pula, by accident, berdekatan waktu dengan ‘penjemputan’ Gayus Tambunan di Singapura oleh Denny Indrayana dan tim Mabes Polri di bawah Komjen Ito Sumardi, dan kemudian penjemputan Sjahril Djohan yang juga dikaitkan dalam kasus, terjadi insiden pencegahan dramatis di Bandara Soekarno-Hatta oleh sejumlah perwira menengah Polri atas diri Susno Duadji yang akan berangkat ke Singapura. Saat itu, Susno Duadji juga baru usai bersaksi di persidangan kasus Antasari Azhar. Itulah sebabnya, saat Gayus Tambunan, menyinggung nama-nama tersebut, khususnya nama Susno Duadji dan Antasari Azhar, pengungkapan itu cenderung diterima sebagai konfirmasi tentang sejumlah permainan di belakang layar. Publik cenderung lebih percaya, walau Satgas Anti Mafia sudah memberikan bantahan. Meskipun, sekali lagi, belum tentu pengungkapan Gayus Tambunan yang di sana-sini terasa berlebihan itu, sepenuhnya benar.

DI LUAR itu semua, menarik untuk melihat adanya benang merah yang mempertalikan peristiwa-peristiwa itu sebagai satu rangkaian pola. Dalam pembelaan yang dibacakannya sendiri, Gayus Tambunan menawarkan diri untuk menjadi ‘staf ahli’ Kapolri maupun Jaksa Agung dan menjanjikan dalam tempo dua tahun bisa membantu pengungkapan berbagai kejahatan perpajakan. Artinya, ia merasa banyak tahu praktek kejahatan di lingkungan kerjanya. Dalam pernyataan persnya hari Rabu ini, ia juga menyebut dua nama ‘tinggi’ dalam konteks tersebut, yakni Direktur dan Direktur Jenderal Pajak. Ia juga menyinggung janji Denny Indrayana –yang tak boleh tidak dikonotasikan sebagai perpanjangan tangan Presiden– untuk membantu sejumlah kemudahan dan keringanan dalam proses hukum, asalkan ia mau menjadi whistle blower, khususnya terhadap Aburizal Bakrie.

Komjen Susno Duadji juga adalah orang yang telah melakoni peran whistle blower dan untuk itu telah tampil bersuara melalui pers serta berbicara di depan forum Pansus DPR-RI dalam kaitan skandal Bank Century dan di situ menyebutkan adanya Mafia Hukum yang merasuk di tubuh Polri. Susno Duadji termasuk yang menangani kasus Bank Century –yang dianalisa ada kaitannya dengan dana politik tingkat tinggi– tatkala menjabat sebagai Kabareskrim.

Semestinya kehadiran para whistle blower bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bilamana Presiden dan jajarannya di bidang penegakan hukum memang bersungguh-sungguh ingin membersihkan diri dan memberantas Mafia Hukum. Katakanlah dalam suatu pola yang sedikit ekstrim sehingga bisa terasa kurang nyaman, yakni memanfaatkan maling untuk menangkap maling. Anggaplah Gayus maling. Anggaplah pula Susno –meminjam tudingan Brigjen Raja Erizman– memang juga maling, seperti yang coba dibuktikan sekuat tenaga dengan menyeretnya ke pengadilan untuk sesuatu yang dianggap sebuah ‘dosa’ lama terkait pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Barat beberapa tahun lalu. Kenapa tidak difaedahkan bilamana mereka memang bersedia mengungkapkan kekotoran yang mereka ketahui?

Apa yang terjadi? Para whistle blower malah dimasukkan secara keroyokan ke ladang pembantaian, atau seperti kata Adnan Buyung Nasution justru dipendam agar tertutup mulutnya. Artinya, mereka tidak dikehendaki untuk mengungkap sejumlah kejahatan yang mereka ketahui. Kenapa ini bisa terjadi? Hanya satu jawabannya: Para bandit memang ada dan cukup kuat posisinya dalam beberapa posisi kunci di tubuh kekuasaan.

Lalu, di mana posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam semua rangkaian ini? Opini akan tergiring ke arah pelibatan dirinya, bilamana dalam waktu-waktu mendatang yang tak terlalu lama, ia tak kunjung menunjukkan suatu tindakan meyakinkan bahwa ia memang bersungguh-sungguh memimpin pemberantasan korupsi di barisan terdepan. Mungkin Presiden harus ‘memerintahkan’ Kepala Polri atau Jaksa Agung, dengan risko jabatan, melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tiga-empat orang Perwira Polri atau dua-tiga orang Jaksa yang terindikasi. Begitu pula Menteri Keuangan, harus dibebani target pembersihan dalam jangka waktu tertentu.