Tag Archives: Komjen Susno Duadji

Membaca Tanda-tanda Kematian KPK

AWAL April 2015 ini, akhirnya ‘penanganan’ kasus gratifikasi Komisaris Jenderal Budi Gunawan diserahkan Kejaksaan Agung ke Badan Reserse Kriminal Polri. Ini kelanjutan dari keputusan ‘lempar handuk’ Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki masih di awal masa tugasnya, yang kemudian diteruskan dengan penyerahan berkas perkara ke Kejaksaan Agung bulan Maret lalu. Dan kini, diestafetkan melalui tangan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyopramono ke tangan Kabareskrim Komjen Budi Waseso –yang dikenal sebagai orang ‘terdekat’ Komjen Budi Gunawan di tubuh kepolisian. Bagi publik, estafet yang pembenarannya didasarkan pada sebuah MOU antara tiga institusi penegak hukum ini, terasa aneh dan tidak masuk akal. Menurut logika yang bisa diterima publik, bila seorang anggota sebuah institusi penegak hukum disangka melakukan suatu pelanggaran hukum, khususnya dalam kasus korupsi, yang terbaik adalah bila penanganannya dilakukan oleh institusi penegak hukum lainnya. Menghindari terjadinya konflik kepentingan. Berdasarkan pengalaman empiris selama ini, kesetiaan korps bisa lebih kuat dari kesetiaan kepada objektivitas penegakan hukum.

Dan hanya dalam hitungan hari, setelah berkas gratifikasi Budi Gunawan tiba di tangan Bareskrim, telah muncul sejumlah isyarat dari Polri, bahwa kemungkinan besar atas perkara Budi Gunawan akan diterbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Untuk menindaklanjuti pelimpahan dari Kejaksaan Agung itu Bareskrim Polri dengan cepat membentuk Satgassus (Satuan Tugas Khusus) dengan 8 penyidik di antaranya berasal dari Bareskrim. Akan dilakukan suatu gelar perkara. Rencananya, Selasa 14 April.  “Berkas itu akan segera disimpulkan, apakah bisa diajukan kelanjutan penyelidikannya,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Rikwanto yang dikutip pers. “Kalau tidak, ya, akan dikeluarkan SP3.”

POSTER "KPK HARUS MATI". "Tapi bukankah dalam satu-dua bulan belakangan ini KPK terlihat kembali giat melanjutkan berbagai kasus korupsi, di tengah keriuhan pengajuan pra-peradilan, dan masih sempat melakukan operasi tangkap tangan terhadap seorang anggota DPR dari fraksi partai penguasa PDIP? Betul. Tapi itu bisa lebih mirip geliat dari suatu tubuh yang sedang menahan sakit akibat sejumlah luka tusukan."
POSTER “KPK HARUS MATI”. “Tapi bukankah dalam satu-dua bulan belakangan ini KPK terlihat kembali giat melanjutkan berbagai kasus korupsi, di tengah keriuhan pengajuan pra-peradilan, dan masih sempat melakukan operasi tangkap tangan terhadap seorang anggota DPR dari fraksi partai penguasa PDIP? Betul. Tapi itu bisa lebih mirip geliat dari suatu tubuh yang sedang menahan sakit akibat sejumlah luka tusukan.”

            Komjen Budi Waweso memperkuat isyarat tersebut, bahwa kasus ini kemungkinan besar memang akan di-SP3-kan. Begitu pula dari calon Kapolri Komjen Badrodin Haiti. Berkas yang diserahkan KPK terkait kasus tersebut, dianggap tak layak oleh para petinggi Polri ini. Bahkan lebih dari itu, kedua jenderal memberikan semacam ancang-ancang, bahwa bila gelar perkara itu membuktikan Komjen Budi Gunawan tidak bersalah melakukan gratifikasi, maka Bareskrim Polri akan menindaki semua oknum KPK yang dulu menangani kasus tersebut. Tidak bisa tidak, ini terkesan kuat sebagai suatu ancaman serius terhadap jajaran KPK yang terlibat dalam men-tersangka-kan Komjen Budi Gunawan. “Oknum KPK itu bisa siapa saja, termasuk pimpinan non aktif dan penyidik,” ujar Budi Waseso (Kompas, 11/4). Bisa dipastikan, yang dimaksud di sini tak lain adalah Abraham Samad dan Bambang Widjajanto, serta para penyidiknya –paling tidak, para penyidik KPK yang tampil sebagai saksi dalam sidang pra peradilan gugatan Komjen Budi Gunawan. Bahkan, mungkin saja seluruh 4 orang pimpinan KPK kala itu sekaligus akan kena gempur, mengingat bahwa pengambilan keputusan-keputusan di KPK selalu bersifat kolektif.

            Putus asa dan gentar mencari kebenaran. ‘Lempar handuk’ itu sendiri, menjadi pilihan ‘putus asa’ dan ‘kegentaran’ pimpinan KPK di bawah kepemimpinan sementara Taufiequrachman Ruki. Ini terjadi setelah ‘kemenangan’ Budi Gunawan dalam pra-peradilan di PN Jakarta Selatan, melalui keputusan kontroversial hakim Sarpin Rizaldi. Tapi kita tak pernah tahu apa sesungguhnya yang terjadi di balik keputusan Taufiequrachman Ruki itu. Entah terkait hitung-hitungan politik, entah terkait tekanan kekuasaan, entah sekedar gentar terhadap Polri cq Bareskrim yang kini dipimpin Budi Waseso yang agresif. Padahal, secara hukum KPK sebenarnya masih punya pilihan lain, memulai kembali dari ‘awal’ penanganan kasus Budi Gunawan, karena yang dinyatakan tak sah hanyalah proses penetapan tersangka, bukan materi perkara. Materi perkara samasekali di luar jangkauan kewenangan pra-peradilan. Mekanisme pra-peradilan tak berwenang menentukan apakah Budi Gunawan bersalah atau tidak. Penganuliran status tersangka jenderal itu pun, di mata sejumlah ahli, telah melampaui ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Tidak pula kebenaran apakah Budi Gunawan bersalah atau tidak bersalah ada di tangan Bareskrim Polri, meskipun Polri bisa menetapkan SP3 bagi jenderalnya itu sehingga menghentikan perkara ini berlanjut ke pengadilan. Bagaimana pun kebenaran dalam kasus ini hanya bisa ditentukan melalui proses peradilan di pengadilan. Jadi lebih tepat, kasus ini dibiarkan masuk ke ranah pengadilan pada segala tingkatannya. Dulu, dua komisioner KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah yang ditahan polisi dengan sangkaan menerima suap dari dua bersaudara Anggodo-Anggoro, dihentikan perkaranya melalui SP3 Kejaksaan Agung, sehingga tidak berlanjut ke pengadilan. Dengan demikian, polemik cicak-buaya antara Polri-KPK, terselesaikan. Tapi toh lalu ada kerak yang tersisa, sampai kini, publik masih mendua keyakinan, apakah kedua komisioner KPK itu betul bersih atau memang menerima suap?

MUNGKIN saja, ‘lempar handuk’ pimpinan KPK itu terlalu dini dan tak seharusnya pernah dilakukan. Entah sebagai cermin dari sikap gampang menyerah, entah keraguan pimpinan ‘baru’ KPK. Pertengahan pekan lalu (8/4), hakim Tatik Hardiyanti dari PN Jakarta Selatan menolak permohonan Suryadharma Ali yang mem-pra-peradilan-kan status tersangka yang diberikan KPK pada dirinya. Hakim Tatik menyatakan pra-peradilan tidak berwenang memeriksa keabsahan penetapan tersangka. Ini diametral berbeda dengan hakim Sarpin yang memperluas wewenangnya dari apa yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. Namun, harus dicatat masih terdapat sejumlah permohonan pra-peradilan para tersangka KPK yang sedang berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Antara lain yang diajukan anggota DPR Soetan Bathoegana dan mantan Menteri ESDM Jero Wacik. Akan kita lihat apakah Sarpin effect akan terhenti atau berlanjut. Tapi yang jelas, hingga sejauh ini Sarpin seakan tak tersentuh, baik oleh KY maupun oleh MA.

Atau, apakah sebagai seorang purnawirawan Polri, Taufiequrachman Ruki mampu membaca apa yang akan terjadi, atau tepatnya, apa yang akan dilakukan dengan gigih oleh Polri melalui Komjen Budi Waseso yang kelihatannya ber’watak’ buldoser? Dan pimpinan sementara KPK itu merasa takkan mampu menghadapinya. Lagi pula sementara itu, ‘dukungan’ Presiden Joko Widodo jelas tak bisa diharapkan apalagi diandalkan, dan pada waktu yang sama dukungan dari publik terasa sedikit menyurut ketika satu per satu tokoh kritis pendukung KPK berhasil dibentur oleh Polri dengan kasus-kasus yang diangkat dari ‘perbendaharaan’ lama.

PENEGASAN Komjen Budi Waseso yang oleh banyak orang ditafsirkan sebagai ancaman terhadap KPK –meski masih coba diarahkan sebatas perorangan, bukan kelembagaan– bisa dipastikan menambah surut keberanian untuk membela KPK. Diakui atau tidak, Komjen Budi Waseso kini telah muncul sebagai faktor deterrent. Tercipta semacam angstpsychose, Komisaris Jenderal Budi Waseso sebagai Kabareskrim kini bisa mempidanakan dan menangkap siapa saja, hampir setingkat dengan Panglima Kopkamtib di masa Soeharto yang bisa menindak dan menangkap siapa pun tanpa kecuali.

Kendati terjadi masa surut dukungan, toh tetap terdapat sejumlah kecaman terhadap ‘rencana’ Budi Waseso untuk menindaki mereka yang terlibat dalam proses men-tersangka-kan mantan atasannya, Budi Gunawan. Erasmus Napitupulu, peneliti ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) bahkan menganjurkan KPK mengambialih kembali kasus Budi Gunawan berdasarkan Pasal 9 UU KPK, dengan alasan kasus itu adalah sebuah kasus korupsi dan mengandung konflik kepentingan. “Bayangkan kalau perkara Budi Gunawan diselidiki oleh mantan anak buahnya. Tidak mungkin kasus itu akan dilanjutkan,” ujar Erasmus seperti dikutip media. Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Adnan Paslyadja berpendapat bahwa Bareskrim keliru jika menindaki penyidik dan unsur KPK yang terlibat dalam proses men-tersangka-kan Budi Gunawan. Ketua YLBHI Alvon Palma menilai apa yang disampaikan Budi Waseso merupakan ancaman dalam berhukum dan berdemokrasi.

Dan, tak kurang dari Jenderal Purnawirawan Roesmanhadi –Kapolri 1998-2000– mengingatkan agar Bareskrim hanya  fokus mengusut kasus Budi Gunawan tersebut secara profesional. “Agar tidak ada lagi keputusan yang bisa mencoreng kredibilitas Polri sebagai satu ujung tombak penegakan hukum di Indonesia.” Kalau Budi Gunawan merasa dicemarkan nama baiknya, ia bisa menempuh langkah hukum. (Kompas, 13/4). Tapi Budi Waseso – lulusan Akpol 1984 yang masih perwira pertama saat Roesmanhadi menjabat Kapolri– tak segan-segan menyanggah Roesmanhadi. Ia menyebutkan penindakan oknum KPK bukanlah delik aduan, sehingga tidak perlu ada ada laporan dari Budi Gunawan. Budi Waseso menegaskan siap bertanggungjawab atas berbagai dampak dari proses penindakan terhadap KPK itu.

Budi Waseso adalah perwira polisi dengan reputasi keberanian ‘extra ordinary’. Ketika masih berpangkat Komisaris Besar, dia lah perwira yang ‘menghadang’ Komjen Susno Duadji 12 April lima tahun lalu di Gate D1 Terminal II D Bandara Soekarno-Hatta tatkala akan berangkat berobat ke Singapura. Susno dicegat karena tak mengantongi ijin ke luar negeri dari atasan. Lalu, Budi Waseso membawa kembali ‘mantan’ Kabareskrim itu untuk diperiksa di Divisi Propam Polri.

Tanda-tanda kematian KPK. Secara akumulatif, keputusan hakim pra-peradilan Sarpin Rizaldi, penetapan Abraham Samad dan Bambang Widjajanto sebagai tersangka untuk kasus-kasus yang diangkat dari ‘perbendaharaan’ lama, serta bayangan penindakan dengan pola serupa terhadap dua komisioner KPK lainnya, Adnan Pandupraja dan Zulkarnain, telah menjadi tanda-tanda awal kemungkinan kematian KPK. Nasib serupa dialami oleh sejumlah tokoh lain yang selama ini secara terbuka memberi dukungan kepada KPK dalam konflik Polri-KPK. Dan bersamaan dengan itu, kekuatan pembelaan dan dukungan yang muncul makin melemah di tengah dentang lonceng kematian. Faktor lain yang tak kalah pentingnya, bila tidak ada yang bisa menahan laju Budi Waseso –yang di belakangnya terdapat kekuatan yang tak bisa diremehkan– lonceng kematian KPK akan berdentang lebih keras.

Tapi bukankah dalam satu-dua bulan belakangan ini KPK terlihat kembali giat melanjutkan berbagai kasus korupsi, di tengah keriuhan pengajuan pra-peradilan, dan masih sempat melakukan operasi tangkap tangan terhadap seorang anggota DPR dari fraksi partai penguasa PDIP? Betul. Tapi itu bisa lebih mirip geliat dari suatu tubuh yang sedang menahan sakit akibat sejumlah luka tusukan.

Tubuh dan nama KPK mungkin masih akan ada secara formal untuk beberapa lama, tapi makin ke depan mungkin tanpa roh lagi. Karena, menjadi pertanyaan, apakah dalam pemilihan komisioner baru KPK nantinya di bulan-bulan menuju akhir tahun ini, bisa muncul tokoh-tokoh berani sekaligus nekad dan berintegritas? Kalau ya, apakah bisa dipercaya, para wakil partai di DPR –dalam situasi kepartaian yang buruk seperti sekarang– akan mampu meloloskan sejumlah komisioner baru tanpa komitmen khusus belakang layar? Lebih mungkin terjadi, adalah munculnya tokoh-tokoh tipe oportunis sekedar pencari ‘kerja’ dan ‘posisi’ yang bisa lolos karena bersedia menjadi perpanjangan tangan kelompok kepentingan politik belaka yang kini menjadi penguasa partai-partai yang ada.

Hingga sejauh ini, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, patron nasib yang tersedia bagi lembaga-lembaga pemberantasan korupsi adalah kematian di hadapan kekuasaan negara yang lebih didominasi kaum korup dari waktu ke waktu. Gambaran yang pesimistik? Mungkin ya.

Kecuali, ada kebangkitan baru yang lebih massive dari tengah masyarakat yang disertai kebangkitan akal sehat kaum terpelajar di tengah kegagalan sosiologis yang sedang mendera bangsa ini. (socio-politica.com)

‘Rekening Gendut’: Antara Perwira Tinggi dan Bintara Tinggi

KASUS ‘rekening gendut’ Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) Labora Sitorus seakan-akan melahirkan ‘dalil’ penegakan hukum baru di tubuh kepolisian. Di satu pihak para perwira tinggi ‘diperbolehkan’ memiliki ‘rekening gendut’. Kenyataannya, belasan perwira tinggi yang dulu disorot karena kepemilikan ‘rekening gendut’ berskala besar-besaran tak diapa-apakan, malah diberikan pembelaan-pembelaan internal. Di pihak lain, bintara tinggi tak boleh, dan karena itu, segera ditangani dan berakhir dalam tahanan. 

            Tapi, terlepas dari itu, Aiptu Labora Sitorus memang termasuk luar biasa. Ia terakhir memiliki 500 milyar rupiah dalam rekeningnya. Sementara akumulasi transaksi yang pernah melalui rekeningnya mencapai 1,5 triliun rupiah. Ini melampaui angka dalam rumor rekening seorang mantan petinggi Polri yang sebesar 1,3 triliun rupiah beberapa tahun lalu. Dan jauh melebihi ‘rekening gendut’ 17 perwira tinggi Polri, yang dihebohkan Juni 2010, dengan akumulasi puluhan milyar rupiah. Bahkan masih unggul jauh di atas harta Inspektur Jenderal Djoko Susilo mantan Dirlantas Polri, senilai sekitar 100 milyar rupiah yang disita KPK.

KARIKATUR REKENING BINTARA TINGGI POLRI. "Sebenarnya, bila aliran dana sang bintara tinggi ini memang sungguh-sungguh ingin ditelusuri dan ingin diungkap kejahatan apa saja yang ada di balik aliran dana itu, penanganan kasus sebaiknya diserahkan kepada KPK, jangan oleh Polri sendiri. Penahanannya juga jangan di Papua sana." (download matanews.com)
KARIKATUR REKENING BINTARA TINGGI POLRI. “Sebenarnya, bila aliran dana sang bintara tinggi ini memang sungguh-sungguh ingin ditelusuri dan ingin diungkap kejahatan apa saja yang ada di balik aliran dana itu, penanganan kasus sebaiknya diserahkan kepada KPK, jangan oleh Polri sendiri. Penahanannya juga jangan di Papua sana.” (download matanews.com)

            Jarak antara terungkapnya angka rekening Labora Sitorus berdasarkan penelusuran PPATK dan tindak penahanannya oleh Polri cukup ringkas. Ketika ia muncul untuk buka mulut di Komisi Kepolisian Nasional, tentang dana dari rekeningnya yang mengalir ke mana-mana, ia segera ditangkap dan cepat-cepat dikirim kembali ke Papua tempat ia bertugas dan ‘bermain’ selama bertahun-tahun. Sebenarnya, bila aliran dana sang bintara tinggi ini memang sungguh-sungguh ingin ditelusuri dan ingin diungkap kejahatan apa saja yang ada di balik aliran dana itu, penanganan kasus sebaiknya diserahkan kepada KPK, jangan oleh Polri sendiri. Penahanannya juga jangan di Papua sana.

Penanganan dan tempat penahanan yang ‘salah’ bisa dipastikan akan memberi akhir cerita yang berbeda. Di belakang angka-angka besar cenderung ada kriminal dengan skala yang besar serta keterlibatan yang juga berskala besar. Ini suatu premise yang bisa kita pegang untuk sementara ini berdasarkan sejumlah pengalaman empiris selama ini. Bukan hanya dalam dunia kriminal, tetapi juga dalam kehidupan ekonomi dan politik.

SUATU kemenangan dengan angka-angka besar dalam ajang pemilihan umum, pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah, sebagai contoh paling relevan untuk premise tersebut, harus diamati dengan cermat dan kritis. Pengalaman empiris telah menunjukkan betapa suatu kemenangan besar dalam pemungutan suara umumnya dibarengi oleh sejumlah masalah ikutan. Hampir seluruh kemenangan besar selama ini, dibayangi kecurangan. Mulai dari penghitungan yang menimbulkan kesangsian, pengungkapan adanya politik uang, sampai kepada sumber-sumber dana kampanye yang besar maupun ekses yang ditimbulkan ‘keharusan’ membayar kembali jasa pendukung kemenangan lengkap dengan rentenya. Bahkan kemenangan besar di atas 60 persen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilihan Presiden 2009 menjadi sorotan. Apalagi kemudian kemenangan itu dikuti oleh aneka masalah uang dan korupsi di tubuh Partai Demokrat.

Pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, bahkan sampai pemilihan kepala desa sekalipun, makin hari makin menempatkan faktor ketersediaan dana sebagai salah satu syarat terpenting. Para tokoh yang terjun ke kancah tersebut dalam ‘keadaan demam tinggi obsesi kekuasaan’ cenderung all out dan kadangkala tak punya rasa segan lagi menghalalkan segala cara. Begitu pula partai politik. Hanya ada dua sumber dana yang paling potensial, yakni hasil korupsi dan atau meminta sumbangan pengusaha. Bagi pengusaha yang memang nakal, ini merupakan kesempatan emas untuk mempraktekkan wealth driven politic. Tapi bagi pengusaha yang masih mau bersih, seakan dihadapkan pada si buah malakama. Mereka ‘dipaksa’ untuk memberi suap bilamana berurusan dengan birokrasi. Dilematis. Bila memberi suap sesuai yang diminta –hampir selalu dengan paksaan– tunggu saja, suatu waktu berurusan dengan Kejaksaan atau KPK. Bila tak memberi suap, tidak akan mendapat kesempatan bisnis. Maka, sekarang ini boleh dikata makin sedikt bisnis yang bisa berlangsung wajar.

PENANGANAN cepat terhadap kasus Aiptu Labora Sitorus, sejauh ini ada pantasnya untuk diapresiasi. Meski, kelanjutan ke mana nantinya kasus akan bergulir, masih tanda tanya. Penyerahan penanganan kasus tersebut ke KPK akan lebih menimbulkan rasa percaya, kendati KPK sendiri masih selalu terseok-seok dalam berbagai penanganan perkara. Tapi, bagaimanapun, the bad among the worst, KPK.

Tak kalah pentingnya, selain menangani bintara tinggi bernama Labora Sitorus, jangan lupa menangani para perwira tinggi Polri pemilik rekening gendut yang selama ini disorot. Begitu pula, jangan lupa penelusuran lanjut atas pengungkapan oleh whistle blower Komjen Susno Duadji, baik dalam kaitan penanganan kasus Gayus Tambunan maupun dalam kasus konspirasi atas diri mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Tentu, juga pembongkaran lanjut keterlibatan para petinggi Polri lainnya dalam kasus korupsi Simulator SIM Korlantas Polri maupun penggunaan dana-dana PNBP lainnya yang dikelola Polri selama bertahun-tahun ini.

Bagi KPK, ora et labora. Bekerja dan berdoa sekuat-kuatnya. Dukungan yang bisa KPK harapkan sementara ini, barangkali hanyalah dari Dia yang tertinggi di atas sana, dan kalangan akar rumput di bawah sana. Jangan terlalu berharap topangan dari arah horizontal, dari sesama institusi dalam penegakan hukum maupun kekuasaan negara. Berantas mereka yang bekerja dalam pengelolaan negara namun sambil korupsi: Mereka yang siang malam ‘bekerja keras’ menghimpun dana dari politik dan kekuasaan, dan mungkin baru ingat berdoa saat dijadikan tersangka dan masuk tahanan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Gayus Tambunan: Kisah Belakang Layar

“Para whistle blower malah dimasukkan secara keroyokan ke ladang pembantaian, atau seperti kata Adnan Buyung Nasution justru dipendam agar tertutup mulutnya. Artinya, mereka tidak dikehendaki untuk mengungkap sejumlah kejahatan yang mereka ketahui. Kenapa ini bisa terjadi? Hanya satu jawabannya: Para bandit memang ada dan cukup kuat posisinya dalam beberapa posisi kunci dalam tubuh kekuasaan”.

SETELAH dua kali berturut-turut dalam sehari kemarin publik disuguhi antiklimaks oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu 19 Januari 2011 ini, klimaks yang sesungguhnya datang. Bukan dari sang presiden, melainkan justru dari Gayus Tambunan. Sesaat setelah Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan menjatuhkan vonnis 7 tahun atas dirinya, didampingi pengacaranya Adnan Buyung Nasution SH, Gayus mengungkapkan kepada pers tentang ajakan Sekretaris Satgas Anti Mafia, Denny Indrayana, berkonspirasi memojokkan Aburizal Bakrie. Padahal, menurut Buyung, sejak awal menjadi pendamping hukum bagi Gayus, yang bersangkutan telah bersepakat dengan dirinya untuk mengungkap semua yang terlibat, demi keadilan dan kebenaran, tidak terarah kepada orang tertentu.

Sementara itu, dua anti klimaks dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi pada waktu berdekatan. Pertama, adalah saat memberikan 12 instruksi berkategori ‘biasa’ dan kemungkinan besar takkan mampu ‘menggigit’ dalam penanganan lanjut kasus Gayus dan atau Mafia Pajak. Dan, antiklimaks yang kedua adalah pertemuan dialognya dengan para pemuka lintas agama yang diperluas pesertanya dengan kehadiran tokoh-tokoh di luar penandatangan pernyataan yang berisi gugatan ketidakjujuran pemerintah selama ini. Apalagi, inisiatif pertemuan tersebut ternyata bukan berasal dari SBY sendiri, melainkan, seperti yang dengan ‘cerdik’ diungkapkan SBY, inisiatifnya berasal dari Din Syamsuddin salah seorang tokoh lintas agama. Tapi terlepas dari itu, pertemuan itu tak mampu ‘menghapus’ opini tentang apa yang telah didefinitifkan di tengah publik sebagai 9 tambah 9 kebohongan pemerintahan SBY selama 6 tahun ini. Opini itu mungkin akan melekat lama di benak publik, karena merupakan konfirmasi terhadap opini yang selama ini memang mulai berkembang di masyarakat.

UNGKAPAN Gayus Tambunan mungkin saja lebih merupakan pelampiasan kekesalan terhadap taktik dan ‘janji-janji’ Denny Indrayana –yang berupaya keras berprestasi sebagai anggota Satgas Anti Mafia– dan tidak dengan sendirinya harus diterima sebagai kebenaran. Namun, lagi-lagi, suatu situasi konfirmasi tercipta di sini. Apa yang diungkapkan Gayus Tambunan –upaya politisasi oleh Denny yang mengarah kepada Aburizal Bakrie, serta beberapa tali temali terkait nama Komjen Susno Duadji, jaksa Cirus Sinaga dalam konteks ‘misteri’ kasus Antasari Azhar– seakan-akan mengkonfirmasi kesangsian kuat di tengah publik bahwa memang ada kejanggalan-kejanggalan dalam kasus-kasus yang disebutkan itu. Walaupun, sebagian besar publik juga tak puas terhadap vonnis 7 tahun yang dianggap rendah.

Seperti kita ketahui, penanganan awal kasus Gayus Tambunan dilakukan di masa Kabareskrim dijabat Komjen Susno Duadji. Adalah pula Susno Duadji yang memicu ekspose kasus Gayus Tambunan ini dalam konteks Mafia Pajak dan adanya Mafia Hukum di tubuh Polri. Sebagai whistle blower, Susno menyebut keterlibatan nama-nama Brigjen Raja Erizman, Brigjen Edmond Ilyas serta sejumlah perwira polisi lainnya, serta merembet Jaksa Cirus Sinaga cs dan Hakim Muhtadi Asnun yang ‘membebaskan’ Gayus. Jaksa Cirus Sinaga, adalah jaksa penuntut umum yang gigih ‘menjebloskan’ mantan Ketua KPK Antasari Azhar melalui proses peradilan di Pengadilan Jakarta Selatan. Pada saat Antasari Azhar diadili, Susno Duadji tampil sebagai saksi yang memberi pengungkapan-pengungkapan tentang adanya rekayasa kepolisian dalam penanganan kasus Antasari Azhar. Menarik pula, by accident, berdekatan waktu dengan ‘penjemputan’ Gayus Tambunan di Singapura oleh Denny Indrayana dan tim Mabes Polri di bawah Komjen Ito Sumardi, dan kemudian penjemputan Sjahril Djohan yang juga dikaitkan dalam kasus, terjadi insiden pencegahan dramatis di Bandara Soekarno-Hatta oleh sejumlah perwira menengah Polri atas diri Susno Duadji yang akan berangkat ke Singapura. Saat itu, Susno Duadji juga baru usai bersaksi di persidangan kasus Antasari Azhar. Itulah sebabnya, saat Gayus Tambunan, menyinggung nama-nama tersebut, khususnya nama Susno Duadji dan Antasari Azhar, pengungkapan itu cenderung diterima sebagai konfirmasi tentang sejumlah permainan di belakang layar. Publik cenderung lebih percaya, walau Satgas Anti Mafia sudah memberikan bantahan. Meskipun, sekali lagi, belum tentu pengungkapan Gayus Tambunan yang di sana-sini terasa berlebihan itu, sepenuhnya benar.

DI LUAR itu semua, menarik untuk melihat adanya benang merah yang mempertalikan peristiwa-peristiwa itu sebagai satu rangkaian pola. Dalam pembelaan yang dibacakannya sendiri, Gayus Tambunan menawarkan diri untuk menjadi ‘staf ahli’ Kapolri maupun Jaksa Agung dan menjanjikan dalam tempo dua tahun bisa membantu pengungkapan berbagai kejahatan perpajakan. Artinya, ia merasa banyak tahu praktek kejahatan di lingkungan kerjanya. Dalam pernyataan persnya hari Rabu ini, ia juga menyebut dua nama ‘tinggi’ dalam konteks tersebut, yakni Direktur dan Direktur Jenderal Pajak. Ia juga menyinggung janji Denny Indrayana –yang tak boleh tidak dikonotasikan sebagai perpanjangan tangan Presiden– untuk membantu sejumlah kemudahan dan keringanan dalam proses hukum, asalkan ia mau menjadi whistle blower, khususnya terhadap Aburizal Bakrie.

Komjen Susno Duadji juga adalah orang yang telah melakoni peran whistle blower dan untuk itu telah tampil bersuara melalui pers serta berbicara di depan forum Pansus DPR-RI dalam kaitan skandal Bank Century dan di situ menyebutkan adanya Mafia Hukum yang merasuk di tubuh Polri. Susno Duadji termasuk yang menangani kasus Bank Century –yang dianalisa ada kaitannya dengan dana politik tingkat tinggi– tatkala menjabat sebagai Kabareskrim.

Semestinya kehadiran para whistle blower bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bilamana Presiden dan jajarannya di bidang penegakan hukum memang bersungguh-sungguh ingin membersihkan diri dan memberantas Mafia Hukum. Katakanlah dalam suatu pola yang sedikit ekstrim sehingga bisa terasa kurang nyaman, yakni memanfaatkan maling untuk menangkap maling. Anggaplah Gayus maling. Anggaplah pula Susno –meminjam tudingan Brigjen Raja Erizman– memang juga maling, seperti yang coba dibuktikan sekuat tenaga dengan menyeretnya ke pengadilan untuk sesuatu yang dianggap sebuah ‘dosa’ lama terkait pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Barat beberapa tahun lalu. Kenapa tidak difaedahkan bilamana mereka memang bersedia mengungkapkan kekotoran yang mereka ketahui?

Apa yang terjadi? Para whistle blower malah dimasukkan secara keroyokan ke ladang pembantaian, atau seperti kata Adnan Buyung Nasution justru dipendam agar tertutup mulutnya. Artinya, mereka tidak dikehendaki untuk mengungkap sejumlah kejahatan yang mereka ketahui. Kenapa ini bisa terjadi? Hanya satu jawabannya: Para bandit memang ada dan cukup kuat posisinya dalam beberapa posisi kunci di tubuh kekuasaan.

Lalu, di mana posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam semua rangkaian ini? Opini akan tergiring ke arah pelibatan dirinya, bilamana dalam waktu-waktu mendatang yang tak terlalu lama, ia tak kunjung menunjukkan suatu tindakan meyakinkan bahwa ia memang bersungguh-sungguh memimpin pemberantasan korupsi di barisan terdepan. Mungkin Presiden harus ‘memerintahkan’ Kepala Polri atau Jaksa Agung, dengan risko jabatan, melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tiga-empat orang Perwira Polri atau dua-tiga orang Jaksa yang terindikasi. Begitu pula Menteri Keuangan, harus dibebani target pembersihan dalam jangka waktu tertentu.

Korupsi Adalah Candu Kekuasaan Pragmatis

“Apakah kita bisa mengharapkan –kendati tak perlu berhenti bersikap kritis terhadap aneka perilaku korup– bahwa Indonesia akan bisa membasmi wabah korupsi yang sudah merasuk begitu dalam? Sembilan dari sepuluh kemungkinan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai 2014, takkan berhasil melakukan suatu pemberantasan korupsi secara signifikan. Mungkin dua sampai tiga periode pemerintahan berikutnya, pemberantasan korupsi pun belum akan berhasil baik. Korupsi adalah candu bagi kekuasaan yang pragmatis”.

SAMPAI seribu kalipun seorang Presiden beretorika tentang pemberantasan korupsi, takkan merubah apapun, selama kekuasaan negara yang ada dalam tangannya tetap dijalankan atas dasar pragmatisme di atas ladang kehidupan politik yang yang juga memang sangat pragmatis. Kekuasaan dan kehidupan politik yang kuat diwarnai pragmatisme, seperti yang sedang dialami Indonesia beberapa tahun belakangan ini, akan selalu memprodusir perilaku dan pelaku korupsi. Pragmatisme adalah suatu sikap –bahkan dalam ilmu filsafat juga dikenal paham pragmatisme– yang bersandar pada kesadaran hidup yang praktis dan lugas. Tidak selalu pragmatisme bermakna negatif, tetapi dalam konteks aktual Indonesia, pragmatisme berlangsung pada arah yang sesat, pengertian praktis berubah menjadi kepentingan sesaat yang eksklusif dan tidak lugas.

Pohon korupsi yang disemai di ladang pragmatisme, bagaikan Canabi sativa telah tumbuh subur dan rimbun di Indonesia, berdaun lebat yang memabukkan, bisa dipetik hasilnya sepanjang tahun tanpa mengenal musim lagi. Meski dilarang, pohon ganja ini tetap ditanam dan dipelihara orang, karena menghasilkan daun yang menghasilkan uang. Makin kering makin memabukkan dan membuat kecanduan. Kokain dari Columbia diolah secara besar-besaran dari tumbuhan bernama Coca. Sebagai produsen dari sepertiga kokain dunia, Columbia ‘meracuni’ dunia, terutama Amerika Serikat. Seringkali kalangan kekuasaan di negara itu ‘tutup mata’ bahkan bekerja sama dengan kartel-kartel, apalagi kalau bukan karena pesona uang dalam skala besar. Jadi, tak mungkin berharap perdagangan kokain akan diberantas penguasa di sana, karena ‘menguntungkan’ kekuasaan.

Korupsi dalam banyak hal tak berbeda dengan ganja atau kokain.  Sama-sama terlarang, tapi sama-sama dilakukan dan didayagunakan, terutama untuk menghimpun dana bagi diri sendiri maupun bagi kelompok kepentingan. Dan dalam hal tertentu, kerapkali sama-sama ‘dilindungi’ kalangan kekuasaan yang punya keterlibatan dan kepentingan. Sejumlah studi kasus di berbagai negara –di Asia, Afrika dan Amerika Latin– menunjukkan bahwa korupsi dilakukan secara sistematis, baik melalui konspirasi yang rapih dan cerdik maupun yang kasar dan ceroboh, untuk kepentingan pemupukan dana kekuasaan. Apakah Indonesia termasuk di dalamnya?

BANYAK indikasi yang secara kuat menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak pernah dilakukan dengan sepenuhnya bersungguh-sungguh di Indonesia, dari waktu ke waktu. Saat menyampaikan pleidoinya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 3 Januari 2011, dalam kasus mafia perpajakan, Gayus Tambunan mengungkapkan bahwa penyidik Polri telah melibatkan dan mengarahkan dirinya dalam sejumlah rekayasa. Dengan rekayasa itu, sejumlah nama bisa dilibatkan bahkan diadili dan dihukum. Namun, Gayus ‘menggugat’, kenapa penyidik independen dan jaksa hanya menyeret orang kecil seperti Kompol Arafat dan AKP Sumartini yang tidak punya wewenang, serta dirinya maupun Alif Kuncoro. Sebaliknya, tidak menyentuh nama-nama yang lebih ‘besar’ dan memiliki wewenang seperti Brigjen Pol Edmond Ilyas dan Brigjen Pol Raja Erizman, Kombes Pambudi Pamungkas, AKBP Mardiyani serta jaksa-jaksa Cirus Sinaga, Fadil Regan, Poltak Manullang dan Kemal Sofyan. Penyidik pun pilih-pilih tebu terhadap nama-nama atasan yang disebut Gayus, yakni antara Direktur Keberatan & Banding Direktorat Jenderal Pajak Bambang Heru dengan Humala Napitupulu. Hanya Humala yang diproses lanjut, sedang Bambang Heru tidak, kata Gayus, karena Humala tergolong orang kecil dan tak memiliki back up maupun dana melimpah.

Keheranan dan tanda tanya yang disampaikan Gayus, agaknya juga menjadi keheranan dan tanda tanya bagi publik. Seakan-akan ada konspirasi besar yang secara sistematis membatasi penuntasan kasus dengan melokalisirnya kepada pelaku-pelaku kelas teri dan menyelamatkan pelaku-pelaku kelas kakap serta pengusaha atau konglomerasi besar yang terlibat dalam manipulasi pajak bernilai triliunan rupiah. Dengan demikian, perkara tak bisa merambah ke atas. Pola yang sama terjadi pada berbagai kasus besar lainnya, yang bahkan kerapkali sudah tiba pada kebuntuan seperti yang terjadi pada dua kasus baru lainnya, yakni kasus Bank Century yang diduga terkait dengan soal dana politik tingkat tinggi atau kasus rekening gendut perwira Polri. Bila dirunut hingga ke masa lampau, akan ada satu daftar panjang: perkara-perkara korupsi dalam pembelian tanker Pertamina, penjualan sejumlah BUMN strategis dengan harga dan cara yang tak layak, serta berbagai perkara korupsi, suap ataupun gratifikasi yang melibatkan nama bekas Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Gultom, nama sejumlah mantan Jaksa Agung Muda yang terkait kasus suap Arthalita Suryani, nama-nama yang disebut whistle blower Komjen Susno Duadji, sampai korupsi bidang perminyakan yang melibatkan sejumlah nama jajaran direksi Pertamina maupun mantan Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita serta kasus-kasus BLBI, dan sebagainya dan sebagainya.

MELIHAT betapa banyaknya kasus-kasus korupsi dan kejahatan keuangan lainnya yang terbentur di jalan buntu, tak cukup untuk sekedar mengatakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak dilakukan secara bersungguh-sungguh. Paling benar barangkali adalah bahwa kejahatan korupsi memang adalah bagian penting dalam kegiatan pengelolaan kekuasaan yang dilakukan secara terencana dan sistematis seperti yang ditunjukkan oleh studi kasus di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Latin yang dipaparkan di atas. Sejumlah survei mengenai Indonesia yang pernah dipublikasikan, menyebutkan nama sejumlah lembaga penegakan hukum di Indonesia sebagai lembaga yang paling korup, sebagaimana pula bahwa partai-partai politik dan lembaga-lembaga legislatif tak kalah korupnya dengan kalangan eksekutif. Pemilu-pemilu kepala daerah di Indonesia sebagian terbesar diwarnai dengan politik uang dan manipulasi suara. Kasus Bank Century kuat dipercaya oleh publik tak terlepas dari soal penghimpunan dana politik terkait dengan Pilpres.

Semua ini secara de fakto merupakan kebenaran, sepanjang tak bisa dibuktikan sebaliknya. Jadi, apakah kita bisa mengharapkan –kendati tak perlu berhenti bersikap kritis terhadap aneka perilaku korup– bahwa Indonesia akan bisa membasmi wabah korupsi yang sudah merasuk begitu dalam? Sembilan dari sepuluh kemungkinan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai 2014, takkan berhasil melakukan suatu pemberantasan korupsi secara signifikan. Mungkin dua sampai tiga periode pemerintahan berikutnya, pemberantasan korupsi pun belum akan berhasil baik. Korupsi adalah candu bagi kekuasaan yang pragmatis. Dan sepanjang yang bisa diamati, para pelaku politik dan kekuasaan Indonesia, masih belum akan meninggalkan pragmatisme kekuasaan.

Tafsir Bencana Merapi dan Cara Berpikir Orang Jawa (2)

“Kegelisahan dan kekacauan masyarakat membingungkan dan merupakan perbuatan yang jelek. Sumber kekacauan itu terletak dalam individu-individu yang bersaingan dan mementingkan diri, atau dalam golongan-golongan yang mengira bahwa pendapat atau kebenaran mereka lebih benar daripada golongan lain dan yang tidak mau bermusyawarah atau berunding lagi. Kehidupan politik kita yang sangat menyempal beberapa tahun belakangan ini, namun penuh pretensi demokrasi, amat mencerminkan penggambaran yang disebutkan terakhir”.

SIKAP dan perilaku masyarakat yang bermukim di wilayah Gunung Merapi dalam menghadapi bencana letusan bisa cukup mengherankan bagi orang luar wilayah itu, khususnya, mereka yang hidup di luar kultur Jawa. Keterikatan masyarakat Merapi pada ‘kampung halaman’ juga sungguh menakjubkan bagi banyak orang: Meskipun bencana sudah sangat di depan mata dan ‘panas’ Merapi sudah terasa di kulit, mereka tetapi bertahan, setidak-tidaknya tidak tergesa-gesa meninggalkan rumah (kampung halaman) untuk mengungsi ke tempat aman. Dan kemudian, setelah berada di pengungsian, berkali-kali mereka menyempatkan diri untuk menengok rumah, sawah-ladang dan ternak mereka. Agak ekstrim, adalah kegiatan penambangan pasir di tepi-tepi daerah bahaya yang masih berlanjut. Begitu menganggap kegiatan Merapi mereda seperti pada awal pekan ini, tempat-tempat ‘pengungsian’ nyaris kosong ditinggal pulang ke kampung halaman.

Dalam khazanah ilmu pengetahuan sosial-budaya, orang Jawa memang sempat dikenali sebagai kelompok manusia Indonesia yang paling kecil hasrat merantaunya, dengan falsafah mangan ora mangan asal ngumpul yang kuat. Tapi kekuasaan kolonial Belanda telah memaksa mereka dengan tipu daya maupun kekerasan, meninggalkan kampung halaman dengan fait accompli serta penciptaan situasi point of no return. Penguasa kolonial menjadikan mereka koeli kontrak perkebunan di Deli Sumatera Utara dan Suriname Amerika Tengah. Sementara itu, pemerintahan Soekarno maupun Soeharto banyak mengalami kendala dan kegagalan dalam program transmigrasi guna mengurangi tekanan kepadatan penduduk pulau Jawa. Sejumlah penduduk wilayah Merapi serta berbagai gunung berapi lainnya di pulau Jawa yang pernah meletus, serta penduduk sekitar Gunung Agung di Bali, termasuk di antara mereka yang di-antarpulau-kan dalam rangka program transmigrasi. Tak sedikit di antara transmigran asal Jawa dengan cara apapun bisa kembali ke kampung halaman awal. Namun harus diakui pula bahwa selain faktor mentalita, ketidakmampuan para penyelenggara program transmigrasi juga berperan besar pada terjadinya arus balik kampung. Belum lagi kesan bahwa daerah transmigrasi adalah wilayah pembuangan bagi ‘kaum miskin’.

Apakah masyarakat penghuni Merapi dan sekitarnya sepenuhnya pemberani yang tak gentar menghadapi bahaya Merapi –untuk tidak menyebutnya kurang irrasional– meneladani seorang tokoh masyarakat setempat, Mbah Maridjan, yang sempat diciptakan menjadi simbol manusia pemberani melalui kegiatan komersial periklanan sebuah perusahaan minuman berenergi? Untuk sebagian (kecil), mungkin saja benar, tapi tidak untuk seluruhnya. Sikap fatalistik yang masih dimiliki orang Jawa, khususnya dari kalangan generasi lama yang berusia tua, tampaknya cukup berpengaruh: Seberapa bagus manusia merancang hidup, pada akhirnya Dia Yang Di Atas, yang lebih menentukan. Siapakah Dia Yang Di Atas, banyak tergantung kepada kepercayaan dan atau agama yang dianut masing-masing. Lapisan generasi baru Jawa, terutama yang telah terdidik dengan baik, sudah bergeser kepada nilai lebih baru, bahwa nasib manusia lebih banyak ditentukan oleh usaha dan kemampuan manusia itu sendiri daripada oleh faktor lainnya.

Namun tak kalah pentingnya, adalah kondisi objektif yang berupa ketidakpercayaan masyarakat –yang sebenarnya tak terbatas dalam kaitan bencana Merapi dan penanganannya– terhadap pemerintah sebagai solution maker, dalam konteks kepastian hidup. Dalam konteks bencana Merapi, timbul kesangsian-kesangsian sekaligus dilema bagi masyarakat yang selama ini hidupnya bukanlah betul-betul dalam kepapaan di bawah garis kemiskinan, bahkan cukup banyak yang berada pada tingkat kehidupan ekonomi yang layak. “Kalau kami pergi meninggalkan rumah kami, betulkah pemerintah akan sanggup menampung kami dengan baik? Siapakah yang akan menjaga harta benda kami bila kami tinggalkan? Sanggupkah pemerintah memberi kami makan dan tak membiarkan kami kelaparan, memberi susu kepada anak-anak kami, memberi kami obat saat kami sakit, sehingga kami tak menjadi orang-orang yang semata-mata adalah sasaran belas kasihan orang lain? Betulkah pemerintah akan membeli atau mengganti ternak kami yang mati, akankah pemerintah membantu kami membangun kembali rumah dan kehidupan kami nanti?”. Serta, puluhan pertanyaan lain yang serupa. Pada sisi lain, masyarakat bukannya tidak sadar bahwa bila letusan Merapi betul-betul terjadi, mereka akan menghadapi kematian. Jadi, mereka memilih ‘jalan tengah’ yang menyeremper-nyerempet bahaya, baru meninggalkan rumah pada ‘menit-menit’ terakhir, menyempatkan menengok rumah dan harta benda saat ada jeda erupsi Merapi, dan kembali ke rumah pada kesempatan paling pertama yang dianggap hampir aman. Pragmatis.

SELAIN erupsi Gunung Merapi, banjir bandang Wasior maupun gulungan Tsunami di Kepulauan Mentawai –bencana-bencana yang meskipun cukup sering terjadi belakangan ini, merupakan peristiwa insidental– Indonesia juga mengalami berbagai erupsi dalam kehidupan sosial-politik berupa aneka konflik kepentingan politik dan kekuasaan, banjir bandang perilaku korupsi dan manipulasi ekonomi yang tak henti-hentinya merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Serta, serentetan Tsunami sosial berupa kekerasan dan tindakan anarki yang seringkali berlangsung massal yang menjungkirbalikkan bangunan sosiologis bangsa yang dari mula memang tak pernah berhasil terkonstruksi dengan baik.

Erupsi-erupsi dari kepundan sosial-politik itu, banjir bandang korupsi dan berbagai Tsunami sosial sehari-hari, menunjukkan bahwa memang kita semua belum berhasil mengelola kehidupan sebagai satu bangsa dan negara secara teratur, baik dan benar. Barangkali kita harus kembali meneliti, mengamati dan belajar lagi mengenai dasar-dasar moral yang dimiliki masyarakat Indonesia sejauh ini, dan apakah itu cukup untuk melangkah ke depan atau bisa membawa surut dalam beberapa hal seperti yang belakangan ini menjadi dugaan beberapa tokoh masyarakat dan cendekiawan. Karena secara faktual hingga saat ini, cara berpikir masyarakat Jawa tetap adalah yang terasa paling ‘menonjol’ dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia, ditambah fakta bahwa kita hampir selalu berada dalam ruang lingkup kepemimpinan ‘berdasarkan’ kultur Jawa sebagaimana direpresentasikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wakil Presiden Dr Budiono, maka kita memilih referensi yang terhubung dengan itu. Kita memilih meminjam referensi terutama dari Niels Mulder –dan juga de Jong, Marbangun Hardjowirogo serta sedikit dari Clifford Geertz, yang semuanya punya kompetensi yang lebih dari cukup– untuk pemaparan mengenai cara berpikir orang Jawa maupun dasar moral masyarakat Jawa, dari sejumlah perpustakaan lama maupun baru.

CITA-CITA utama masyarakat Jawa terletak dalam tata tertib masyarakat yang laras. Manusia sebagai individu dalam tata tertib masyarakat yang laras itu tidak sangat penting. Secara bersama-sama orang mewujudkan masyarakat. Dan keselarasan masyarakat menjamin kehidupan yang baik bagi individu-individu atau orang per orang. Tugas moral seseorang adalah menjaga keselarasan tersebut, dengan cara menjalankan kewajiban-kewajiban sosial. Kewajiban-kewajiban sosial itu menyangkut hubungan-hubungan sosial, yaitu hubungan-hubungan antara orang-orang. Namun hubungan-hubungan sosial itu tidak sama, melainkan hirarkis. Kewajiban-kewajiban atau tugas moral seorang ayah berbeda dengan kewajiban-kewajiban isterinya dan kewajiban-kewajiban anak-anaknya. Kakak bukan adik. Perlu ada pak Lurah. Bapak-bapak pembesar mempunyai wewenang, tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang sangat berbeda dari wong cilik.

Semua pangkat itu terikat dan mewujudkan suatu susunan atas dasar kekeluargaan, yaitu kita harus bergotong-royong, tolong menolong, dan tukar menukar. Dasar moral masyarakat Jawa terletak dalam hubungan dan kewajiban antara orang yang tidak sama rata. Siapa yang berpangkat harus memelihara bawahannya, orang yang sama pangkatnya harus bertindak sama, harus solider. Poin ‘moral’ ini, misalnya, bisa ikut menerangkan kenapa kesetiaan korps dalam berbagai institusi tetap menonjol meskipun di sana sini sudah ada pelunturan. Di tubuh kepolisian sebagai contoh, rekening ‘gendut’ perwira polisi tak mudah diungkap, sejumlah jenderal yang disebutkan terlibat dalam kasus Gayus Tambunan lebih dilindungi dan bila ada yang terpaksa dikorbankan, itu adalah yang berpangkat lebih rendah seperti Kompol Arafat atau AKP Sri Sumartini. Komjen Susno Duadji yang menyempal diutamakan untuk dieliminasi. Sementara di tubuh Kejaksaan, dalam kasus suap Arthalita Suryani, hanya jaksa Urip yang ditindak, itupun karena tertangkap basah, sedang beberapa nama dalam posisi lebih tinggi diloloskan dari perhatian dan penindakan.

Hubungan antara orang-orang bersifat subjektif dalam suatu susunan yang berpangkat-pangkat pula. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara orang selalu berbeda, dan oleh karena itu tugas moral seseorang berbeda dari tugas moral orang lain. Batu ujian bagi moralitas tersebut terletak di dalam keselarasan masyarakat dan ketenangan atau ketenteraman lahir batin. Sebagai norma batu ujian ini tidak bisa dijadikan objek, melainkan terletak dalam proses masyarakat sendiri. Norma ini bisa dirasakan, yakni perasaan senang  dan tenteram dalam kehidupan ikatan keluarga yang besar. Ukuran bagi kebenaran-keadilan masyarakat adalah Sang Masyarakat, yang menjadi satu-satunya sumber bagi norma-norma itu sendiri.

Menurut Niels Mulder maupun de Jong, manusia Jawa tidak bisa lepas dari masyarakat mereka. Masyarakat itu otonom serta mengatur keseluruhan hidup para pesertanya. Ketenteraman dan keselarasan –rust en orde– masyarakat merupakan dasar moralitas, dan dasar itu terletak dalam hubungan yang laras antara orang dalam masyarakat mereka sendiri. Ketenteraman itu adalah suasana yang tidak bisa dijadikan objek. Kegelisahan dan kekacauan masyarakat membingungkan dan merupakan perbuatan yang jelek. Sumber kekacauan itu terletak dalam individu-individu yang bersaingan dan mementingkan diri, atau dalam golongan-golongan yang mengira bahwa pendapat atau kebenaran mereka lebih benar daripada golongan lain dan yang tidak mau bermusyawarah atau berunding lagi. Kehidupan politik kita yang sangat menyempal beberapa tahun belakangan ini, namun penuh pretensi demokrasi, amat mencerminkan penggambaran yang disebutkan terakhir.

Berlanjut ke Bagian 3

Timur Pradopo Dalam Kancah Kerusuhan 1998 (4)

“Bagaimanapun, kini Jenderal Timur Pradopo, sudah menjadi orang nomor satu Polri. Banyak ‘hutang’ kewajiban Polri yang kini menantinga. Semoga beban masa lampau tidak menjadi halangan bagi dirinya memimpin Polri untuk membayar hutang-hutang itu. Termasuk beban sejarah berupa sejumlah kasus lama yang untuk sebagian sudah kadaluarsa,..”. “Tak kalah penting, belajar dari Insiden Trisakti, Kerusuhan 1998, Insiden Semanggi I dan II yang dihadapi langsung oleh Timur Pradopo, Kapolri baru ini ‘terhutang’ kewajiban untuk membenahi Polri agar terhindar dari cara-cara militeristik berupa kekerasan berlebihan yang cenderung melanggar HAM dalam berbagai penindakan gerakan-gerakan unjuk rasa serta kegiatan kritis lainnya dalam bingkai idealisme demokrasi”.

Timur Pradopo dan SBY. DALAM rangka pengamanan Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum MPR Maret 1998, melalui suatu perintah operasi dari Panglima ABRI, untuk ibukota Jakarta, dibentuk Komando Operasi Jaya (Koops Jaya). Menurut Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Hamami Nata di depan TGPF (28 Agustus 1998), “Koops Jaya ini khusus untuk mengamankan kampanye, pasca kampanye, pemilu, pasca pemilu, Sidang Umum MPR, sampai berakhir akhir Juni 1998. Panglimanya adalah Pangdam selaku Pangkoop Jaya, dan wakilnya adalah adalah Kapolda, sebagai Wapangkoop Jaya”. Dalam skala kecil, pengamanan diserahkan kepada Polri, tetapi tetap di-back-up Koops Jaya sebagai lapis kedua. “Tetapi ketika eskalasi sudah cukup besar, penanganan langsung ke tangan Pangdam sebagai Pangkoop Jaya”.

Menambahkan penjelasan Mayjen Hamami Nata tentang Komando Pengendalian di ibukota itu, Kapolres Jakbar Letnan Kolonel Timur Pradopo, memaparkan bahwa sebagai penjabaran kesatuan wilayah, “ada yang namanya Komando Pelaksana Operasi, dengan Komandan Kodim sebagai Dankolaops, dan Kapolres sebagai Wadankolaops”. Pengamanan di wilayah Jakarta Barat, dari Koops ada sekitar 7 SSK, dan dari Polres Jakarta Barat 8 SSK, yang seluruhnya sebanyak 4000 orang.

Adakah kedekatan khusus Letnan Kolonel Timur Pradopo, dengan salah satu faksi tertentu dalam tubuh militer yang ada dalam political game di tahun 1998 itu? Kalau ada, dengan faksi atau kelompok kepentingan yang mana, kelompok Jenderal Wiranto atau kelompok Letnan Jenderal Prabowo Subianto? Atau suatu kelompok lain di luar itu? Sejauh ini, hal itu tak terdeteksi. Tetapi sejauh yang dapat dicatat dalam tali temali peristiwa politik di tahun 1998 itu, para pimpinan Polri, khususnya Jenderal Dibyo Widodo merasa sangat berang karena menganggap dikorbankan oleh pimpinan ABRI Jenderal Wiranto demi kehati-hatiannya –untuk tidak menyebutkannya sebagai tanda kegentaran– menghadapi manuver-manuver Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Pola kerusuhan by design pada bulan Mei 1998 ini bisa dibandingkan dengan pola kerusuhan yang diciptakan dalam Peristiwa 15 Januari 1974, saat setidaknya dua kelompok militer dan politik –kelompok Jenderal Soemitro dan kelompok Jenderal Ali Moertopo serta kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro cs– ‘bertarung’ dalam suatu political game. Dalam permainan itu, mahasiswa Jakarta terposisikan sebagai ujung tombak permainan –untuk tidak menyebutnya dijadikan pion percaturan politik dan kekuasaan– yang kemudian di’korban’kan, sementara Jenderal Soeharto pada babak akhir menjadi pemenang sesungguhnya.

Dalam opini, tersangka kuat para penembak mahasiswa dalam insiden Trisakti 12 Mei 1998 adalah pasukan penyusup yang berasal dari kelompok di bawah pengaruh Letnan Jenderal Prabowo. Motifnya, menciptakan kadar kerusuhan luar biasa dengan kategori situasi darurat agar Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi pembentukan lembaga pengamanan dengan wewenang ekstra. Tetapi dalam konteks teori konspirasi, bukan mustahil para penembak mahasiswa itu justru dari kelompok tentara lainnya, yang berkepentingan terciptanya martir di kalangan mahasiswa untuk memicu suhu situasi yang bisa membuka pintu kejatuhan Soeharto. Atau memang sekedar insiden sederhana, dilakukan salah satu satuan polisi di bawah komando Letnan Kolonel Timur Pradopo, yang katakanlah tanpa motif politik tetapi karena faktor emosi. Namun, karena di satu pihak tidak ada dorongan kuat untuk suatu pengungkapan tuntas atas peristiwa, dan pada pihak lain kelompok-kelompok kekuatan yang ada memang berkepentingan untuk menutup tabir peristiwa, maka siapa sebenarnya pembunuh para mahasiswa itu tidak pernah betul-betul bisa terungkap. Tinggallah sejumlah perwira polisi berpangkat rendah sebagai kambing hitam yang tergiring ke depan Mahkamah Militer. Protes Jenderal Dibyo Widodo terhadap dikorbankannya Polri, membawa sang jenderal pada akhir karirnya di kepolisian.

Bagaimana dengan Letnan Kolonel Timur Pradopo yang menjadi pemegang komando lapangan saat para mahasiswa itu tertembak? Menurut urutan logika, bila Timur Pradopo harus ditindaki dalam konteks peristiwa Mei 1998, maka banyak tokoh yang posisinya berada pada urutan-urutan di atas dirinya, dan lebih kontroversial perannya dalam peristiwa, yang harus terlebih dulu dimintai pertanggungjawaban. Dan sebagaimana sejumlah tokoh militer pada posisi ‘penting’ pada bingkai peristiwa, yang bisa melanjutkan menapak karir ke jenjang lebih tinggi, Timur Pradopo pun bisa mengalir karirnya. Setelah Peristiwa 1998, kita bisa melihat, hanya Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan beberapa orang dekatnya seperti antara lain Mayor Jenderal Zacky Makarim, yang tersingkir dari barisan elite militer.

DUABELAS tahun setelah peristiwa tahun 1998 berlalu, Timur Pradopo berhasil meniti karir dengan baik, dan kini per 22 Oktober 2010, telah mencapai posisi puncak Kepolisian RI, sebagai Kapolri dengan pangkat Jenderal penuh. Kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukannya sebagai calon tunggal Kapolri, di saat beberapa jenderal polisi lainnya yang senior, lebih banyak disebut-sebut dalam ‘bursa’ pencalonan? Dua di antaranya, Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo, bahkan seakan-akan tinggal melangkah ke kursi nomor satu di Trunojoyo.

Adakah persentuhan antara Timur Pradopo sebagai Kapolres Jakarta Barat dengan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pusaran Peristiwa Mei 1998? Saat SU MPR berlangsung, Maret 1998, Mayjen Susilo Bambang Yudhoyono yang di tahun sebelumnya menjabat Pangdam Sriwijaya, menjadi Ketua Fraksi ABRI di MPR. Setelah itu ia diangkat sebagai Kepala Staf Teritorial ABRI. Sebelumnya jabatan Kaster disebut sebagai Kasospol ABRI. Setelah dwifungsi ABRI ditinggalkan, dianggap tak perlu lagi ada jabatan dalam organisasi ABRI untuk menangani masalah sospol. Tak ada catatan tentang persentuhan Timur dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam konteks peristiwa Mei 1998. Tetapi diketahui bahwa saat Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono menjelang mengakhiri masa tugasnya sebagai Komandan Kontingen Garuda XIV yang tergabung dalam United Nation Protection Forces di Bosnia-Herzegovina (November 1995 – April 1996), ke dalam pasukannya bergabung 40 perwira Polri yang baru tiba dari tanah air. Tiga di antara perwira itu adalah Mayor Polisi Timur Pradopo, Mayor Ito Sumardi dan Mayor Wahyono. Mengutip Koordinator Indonesia Police Watch Neta S. Pane, Tempo menyebut ketiga perwira yang kini berpangkat Komisaris Jenderal itu sebagai Geng Bosnia di Trunojoyo.

Sejumlah hutang kewajiban. Bagaimanapun, kini Jenderal Timur Pradopo, sudah menjadi orang nomor satu Polri. Banyak ‘hutang’ kewajiban Polri yang kini menantinya. Semoga beban masa lampau tidak menjadi halangan bagi dirinya memimpin Polri untuk membayar hutang-hutang itu. Termasuk beban sejarah Polri berupa sejumlah kasus lama yang untuk sebagian sudah kadaluarsa, seperti: Siapa pelaku sebenarnya kasus perkosaan gadis penjual telur Sum Kuning tahun 1970 dan pembunuhan wartawan Udin (Sjarifuddin), di Yogyakarta. Siapa pembunuh sebenarnya peragawati Dietje yang sempat dikaitkan dengan keluarga tokoh puncak kekuasaan dan sederet kasus lama lainnya?

Dan yang terbaru, tentu saja, bagaimana sebenarnya liku-liku konspirasi pembunuhan yang kini menempatkan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai terhukum menurut lembaga-lembaga peradilan seluruh tingkat? Apa dan bagaimana sebenarnya kasus Bank Century –yang menjadi hutang bersama Polri, KPK dan Kejaksaan– yang di latar belakangnya dibayangi skandal keuangan berbau politik? Bagaimana tindak lanjut atas informasi hasil tiupan peluit Komjen Susno Duadji? Katakanlah memang Susno adalah ‘maling teriak maling’ –setidaknya menerima suap 500 juta rupiah menurut apa yang disebut dalam keputusan pengadilan terhadap Sjahril Djohan– tetapi bagaimana dengan para maling yang diteriakinya, apa tidak ditindaklanjuti? Bagaimana dengan pertanyaan tentang ‘rekening gendut’ sejumlah perwira Polri, apakah tidak perlu dicari jawaban sebenarnya? Bagaimana dengan pembunuhan aktivis Kontras, Munir, ada korban, ada pelaksana pemberi racun, tetapi siapa dan di mana orang-orang yang menyuruhnya? Bagaimana dengan pelaku penganiayaan Tama Langkun yang mempersoalkan rekening gendut perwira Polri? Bagaimana pengungkapan lanjut kasus Mafia Hukum dan Mafia Pajak Gayus Tambunan dan tali temalinya di tubuh kepolisian, kejaksaan dan badan peradilan?

Tak kalah penting, belajar dari Insiden Trisakti, Kerusuhan 1998, Insiden Semanggi I dan II yang dihadapi langsung oleh Timur Pradopo, Kapolri baru ini ‘terhutang’ kewajiban untuk membenahi Polri agar terhindar dari cara-cara militeristik berupa kekerasan berlebihan yang cenderung melanggar HAM dalam berbagai penindakan gerakan-gerakan unjuk rasa serta kegiatan kritis lainnya dalam bingkai idealisme demokrasi.

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (5)

“Ia pun mengaku punya banyak teman di kalangan ABRI. Lalu ia melontarkan kalimat ‘Kalau saya sekarang ini ditahan, maka saya yakin bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam, akan keluar lagi’. Ternyata justru ucapannya tersebut malah menyeret dirinya ke ruang interogasi. Ucapannya itu, yang juga diulangi dalam berita harian petang Sinar Harapan membuat Panglima Kodam VII Diponegoro Jenderal Widodo merasa tersinggung. Namun kemudian kelanjutan masalahnya menjadi tidak jelas lagi. Bandingkan dengan ‘keberanian’ berkata-kata dari Anggodo Wijoyo yang mengungkapkan kedekatannya dengan beberapa petinggi Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI di tahun 2009”.

TERLEPAS dari segala prasangka sosial, sesungguhnya memang benarlah berbahaya segala bentuk dominasi yang eksklusif, baik berdasarkan ras, kesukuan, provinsialisme maupun golongan. Tentu pola demikian dalam dunia usaha atau perekonomian adalah tak sehat.

Menurut Presiden Soeharto, kerjasama diantara golongan yang kerap dipertentangkan itu merupakan keharusan, walaupun masih merupakan tanda tanya bagaimana bentuk kerjasama itu nantinya diwujudkan. “Tanda tanya tentang perwujudan kerjasama pribumi dan non pribumi ini mengingatkan kita untuk memperhatikan satu gejala yang penting dipikirkan”. Gejala yang dimaksud adalah kecenderungan terjunnya sejumlah tokoh dari kalangan kekuasaan langsung atau tidak langsung ke dalam dunia usaha. Terjunnya mereka itu dalam prakteknya adalah berupa kerjasama dengan pengusaha swasta, sehingga terjadi pola perkawinan modal materil (dari swasta) dan penyediaan kesempatan-kesempatan istimewa (karena kekuasaan).

Pola ini amat cacad karena sifatnya membunuh persaingan yang wajar dan adil, dan yang terpenting karena ia berjalan menuju terciptanya embrio atau janin dari fasisme. Persekutuan tipe ini, apakah dengan swasta pribumi atau bukan pribumi, sama berbahayanya. Tapi baiklah pula tak menutup-nutupi kenyataan bahwa “kebetulan pada waktu ini persekutuan tersebut kebanyakan adalah dengan swasta non pribumi, apa yang selama ini populer sebagai sistem percukongan”. Hal ini menambah lagi perasaan tak adil bagi pihak lainnya. Diingatkan, agar yang dipertemukan dari kedua belah pihak adalah entrepreneur dengan entrepreneur dengan kesempatan fasilitas yang adil. “Bukan spekulan dengan penyalur fasilitas dan kesempatan istimewa”.

Pada waktu itu diperkirakan ada kurang lebih 5 juta orang WNI keturunan cina. Banyak diantara mereka sudah merupakan peranakan hasil perkawinan dengan pribumi atau etnis lainnya, dan tak dapat lagi berbahasa Tionghoa. Pada umumnya, setelah PP 10 di zaman Soekarno, mereka berdiam di kota-kota besar. Kebanyakan diantara mereka bergerak di bidang usaha dan perdagangan, lalu ada sedikit lainnya terjun ke bidang jasa menjadi dokter maupun bidang keahlian dan kesarjanaan lain. Sudah ratusan tahun keturunan cina ada bersama-sama dengan pribumi Indonesia, namun oleh berbagai faktor, misalnya di zaman penjajahan, integrasi keturunan cina dengan pribumi banyak terhambat.

Hingga tahun 1970-an itu –bahkan hingga kini– kesukaran utama adalah masih terdapatnya kalangan tertentu di kedua belah pihak yang saling berprasangka. Pada sekitar tahun-tahun itu prasangka pribumi versus non pribumi kembali meningkat dengan adanya isu percukongan dan perilaku ‘petualangan’ segelintir keturunan cina yang berkolusi dengan kalangan kekuasaan serta menonjolnya kekayaan mereka di tengah kemiskinan masyarakat pada umumnya. Hak yang sama mungkin berlaku hingga kini. Berbagai kisah ‘petualangan’ terbaru –sebut saja demikian, sesuai opini publik yang berlaku– seperti yang antara lain melibatkan nama-nama seperti Arthalita Suryani dalam kasus suap di Kejaksaan Agung, Anggoro dalam kasus PT Masaro, Anggodo dalam kasus cicak-buaya bersama Komjen Susno Duadji dan Robert Tantular dalam skandal Bank Century, menjadi bahan-bahan penyulut baru dalam ketegangan sosial-ekonomi masa kini.

Tak jarang pula perilaku, arogansi dan kedangkalan berpikir ataupun sekedar lidah yang tak terjaga –baik dari kelompok masyarakat pribumi maupun non pribumi– menjadi sumber masalah. Satu contoh, menyangkut pengusaha batik Keris yang bernama Tjokrosaputro, yang kebetulan warganegara keturunan cina namun berbahasa Jawa Sala yang sempurna. Di masa mulai bangkit dan gemilangnya kembali industri batik di sekitar tahun 1970-an, secara menonjol yang mampu muncul kembali adalah Perusahaan Batik Keris dan Perusahaan Batik Semar. Perusahaan Batik Keris telah menyelenggarakan sekurang-kurangnya dua pameran batik besar-besaran, yakni di Jakarta dan di Sala, yang dihadiri oleh Ibu Negara Tien Soeharto dan bahkan juga oleh Kepala Negara. Kemunculan Batik Keris dan Batik Semar menjadi saingan berat bagi sejumlah perusahaan batik lainnya, dan bagi perusahaan batik kecil malahan bukan sekedar saingan biasa melainkan disebut “calon pencabut nyawa”. Ini terutama setelah terlihat usaha kuat dari perusahaan besar itu untuk menguasai bahan baku industri batik.

Tatkala suatu tim peninjau dari DPR datang ke Jawa Tengah, kepada tim tersebut banyak disampaikan keluhan. Di Jakarta anggota DPR Jakob Tobing (yang waktu itu masih anggota Fraksi Karya, Golkar, dan Ketua Komisi VI DPR bidang Industri, Pertambangan dan Penanaman Modal) dan kawan-kawan, sewaktu memberikan penjelasan (4 September 1972) atas usul pernyataan pendapat tentang ‘penyelamatan dan pengembangan industri dalam negeri’, juga menyinggung masalah batik tersebut. “Kami perlu mengingatkan kita sekalian akan laporan-laporan komisi-komisi DPR pada peninjauan di Jawa Tengah, khususnya mengenai dikuasainya bahan-bahan baku batik oleh ‘Keris’ dan ‘Semar’ di Sala dan sekitarnya yang mengakibatkan melonjaknya harga bahan baku dan terdesaknya perusahaan-perusahaan batik yang lebih lemah”.

Komisi  DPR yang membidangi industri, tempat Jakob Tobing, memang banyak menampung keluhan tentang kepincangan antara kelompok ekonomi lemah dengan ekonomi kuat. Jakob Tobing dan kawan-kawan mendapat pemberitaan luas dari pers tatkala mengajukan sejumlah pertanyaan dan pernyataan yang menyangkut kebijakan dan strategi pembangunan pemerintah dalam suatu momen yang tepat. Adalah Jakob Tobing yang pada mulanya, 16 Juni 1972, mengajukan kepada pimpinan DPR cikal bakal pernyataan pendapat mengenai penyelamatan dan pengembangan industri dalam negeri. Jakob menyampaikan agar pola hubungan pribumi dan non pribumi harus diberikan ‘keserasian’ dalam perlakuan dan penanganan pemerintah, karena “pengusaha pribumi pada umumnya bermodal lemah dan memerlukan pembinaan”. Usulan Jakob yang muncul disaat makin menajamnya sorotan tentang masalah percukongan ini mendapat dukungan dari 38 anggota DPR, sehingga bisa ditingkatkan untuk dibahas di forum persidangan DPR di awal September 1972 itu. Selain itu, dukungan pers tampaknya cukup berperanan. Pers menyebutkannya sebagai “Pernyataan Jakob Tobing dan kawan-kawan”.

Pernyataan itu sekaligus membuka wacana bahwa pembangunan harus juga memperhatikan pemerataan, dengan memperluas basis pembangunan melalui pelibatan perorangan serta usaha kecil dan menengah, disamping mengejar pertumbuhan. Jakob Tobing juga memperkenalkan istilah “golongan ekonomi lemah” untuk menamakan kelompok ekonomi lemah yang pada umumnya pribumi, agar tidak terjadi suasana rasialistis. Suara para anggota DPR waktu itu, memang bisa cukup menarik diamati, karena berkali-kali terdengar gema yang vokal –kendati secara menyeluruh DPR kerap dikritik dan dianggap lemah oleh para mahasiswa– terutama yang disuarakan oleh mereka yang dikenal pernah ikut dalam perjuangan mahasiswa, baik yang di Fraksi Karya maupun yang di Fraksi partai-partai (PDI dan PPP). Beberapa cendekiawan yang duduk di DPR saat itu juga masih sering terdengar melontarkan pikiran yang jernih dan segar. Para menteri kabinet tidak berani meremehkan beberapa komisi tertentu di DPR, karena bila berbicara dengan kata-kata tidak pasti seperti “saya kira” ia akan segera disergah dengan kecaman agar bicara yang pasti dan jelas. Tapi Kepala Bulog Achmad Tirtosudiro toh pernah juga berhasil ‘mengendalikan’ salah satu Komisi DPR dengan bantuan Ketua Komisi Rachmat Muljomiseno dalam hearing mengenai kegagalan distribusi beras, meski kemudian mendapat kecaman keras internal DPR sendiri.

Mungkin karena ‘kesuksesannya’ menguasai medan yang terlihat menonjol dan hasrat ‘monopoli’nya, maka pengusaha batik Keris Tjokrosaputro itu lalu menjadi pusat perhatian dan mulai dikutik sejarah lampaunya sebagai anggota Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang merupakan organisasi kaum keturunan cina yang dianggap onderbouw PKI, di tahun 1965.

Sejumlah surat kabar di ibukota memberitakan bahwa sebenarnya Tjokrosaputro sudah dipanggil sejak bulan Juni terkait dengan keanggotaannya di Baperki. Namun untuk urusan promosi batik ia berada di luar negeri pada sekitar bulan Juni itu. Setibanya kembali di tanah air ia masih sempat menyelanggarakan banyak pameran batik secara besar-besaran dan tidak diperiksa oleh yang berwajib. Namun pada awal Agustus dalam wawancaranya dengan Harian Merdeka di kamar hotel Sabang, Jakarta, ia membenarkan keanggotaannya di Baperki Sala. “Memang benar saya dulu anggota Baperki dan duduk di dalam pengurus cabang Sala”. Diceritakannya bahwa ia baru tiga bulan jadi anggota Baperki ketika Peristiwa G30S meletus. Katanya, selama menjadi anggota Baperki ia telah memberikan sumbangan yang cukup banyak untuk memajukan olahraga dan pendidikan di Sala. Sebelum menjadi Baperki konon menurut dia, dirinya memang dikenal sebagai tokoh politik. Tapi ia masuk Baperki bukan karena kecenderungan politik, melainkan karena kecenderungan untuk ikut gerakan sosial. “Sewaktu G30S pecah, saya tidak ditahan tapi ‘diamankan’ saja”. Sementara dalam tahanan, rumahnya dibakar rakyat. “Memang sudah banyak orang-orang yang tidak suka melihat kemajuan-kemajuan yang saya capai sekarang ini dan berusaha mengungkapkan keanggotaan saya di Baperki”. Tapi “saya tidak pernah kuatir”.

Ia pun mengaku punya banyak teman di kalangan ABRI. Lalu ia melontarkan kalimat “Kalau saya sekarang ini ditahan, maka saya yakin bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam, akan keluar lagi”. Ternyata justru ucapannya tersebut malah menyeret dirinya ke ruang interogasi. Ucapannya itu, yang juga diulangi dalam berita harian petang Sinar Harapan membuat Panglima Kodam VII Diponegoro Jenderal Widodo merasa tersinggung. Namun kemudian kelanjutan masalahnya menjadi tidak jelas lagi. Bandingkan dengan ‘keberanian’ berkata-kata dari Anggodo Wijoyo yang mengungkapkan kedekatannya dengan beberapa petinggi Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI di tahun 2009.

Tapi sebenarnya ketidakmampuan mengendalikan lidah dan perilaku, bukan hanya monopoli Tjokrosaputro seorang maupun para cukong yang disorot dalam isu percukongan –yang belakangan lebih banyak disorot dengan menggunakan istilah yang lebih lunak dalam isu kesenjangan golongan ekonomi lemah dan golongan ekonomi kuat, dan sejauh mungkin mengurangi penggunaan istilah pri dan non pri  untuk menghilangkan kesan rasialistis.

Para jenderal pun ternyata bisa overacting, tak mampu mengendalikan diri dan larut dalam hasrat hidup mewah. Selain memiliki curiga (keris) yang merupakan simbol senjata, ada yang tak puas sebelum melengkapi syarat kaum pria lainnya seperti kukila (burung) untuk mengibaratkan fasilitas dan segala kenikmatan hidup lainnya, serta wanito (wanita) dalam artian sebenarnya.

Adalah Jenderal Purnawiran Abdul Harris Nasution, berkali-kali dalam bulan Mei 1973 menunjukkan kejengkelannya terhadap kehidupan bergelimang kemewahan dari sementara Jenderal. “Hidup bermewah-mewah tak serasi dengan kehidupan keprajuritan”, ujarnya  kepada pers, namun amat terbatas jumlah pers yang memberitakan ucapannya itu yang disampaikannya di Jakarta dan di Bandung. Dalam ceramahnya di Bandung ia mengingatkan pula, “pemerataan keadilan sosial sudah  dapat dimulai sejak sekarang, tak usah menunggu sampai makmur dulu”. Meski tak menyebutkan nama-nama jenderal yang ditudingnya, tapi umumnya orang dapat membenarkan apa yang dikatakan Nasution. Di Jakarta misalnya, dengan mudah masyarakat menemukan deretan rumah mewah bagaikan istana dengan beberapa biji mobil mewah di halamannya, yang kebetulan pemiliknya adalah jenderal-jenderal.

Dan kemudian adalah Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menyebutkan beberapa nama jenderal yang tergolong kaya raya waktu itu. “Pada waktu ini, memang amat banyak perusahaan yang diatur oleh kalangan tentara, semisal PT Tri Usaha Bhakti dan sebagainya”, tulis koran yang diasuh para mahasiswa Bandung itu. “Tentu tak mengherankan kalau menaksir umpamanya Brigadir Jenderal Sofjar sebagai Jenderal yang berpenghasilan tinggi, mengingat bahwa bekas Ketua Umum Kadin Pusat ini duduk dalam beberapa perusahaan swasta bermodal kuat seperti perusahaan penerbangan Seulawah dan Mandala, disamping menjadi Direktur Utama PT Garuda Mataram  yang mengassembling mobil VW (Volks Wagen) yang laris di negeri kita”.

Pun di Pertamina bukan hal yang mengherankan kalau terdapat jenderal-jenderal yang kaya raya. Mingguan itu menyebut nama Brigjen Pattiasina yang belum lama sebelumnya diberitakan pers mempersunting seorang penyanyi muda belia dan menghadiahkan untuk sang isteri sebuah rumah mewah berharga Rp.42 juta. Waktu itu, sebuah mobil sedan Jepang semacam Mazda atau Toyota berharga di bawah Rp. 3 juta per buah. (Namun berita perkawinan ini pernah dibantah, dan memang nyatanya sang jenderal kemudian ternyata memperisteri seorang gadis muda, juara kontes ratu kecantikan di Bandung, yang seusia dengan puterinya).

Satu lagi. “Tempo hari, disamping yang lain, juga ramai disorot Brigadir Jenderal Suhardiman yang memimpin PT Berdikari”. PT ini didirikan tahun 1966 untuk menangani penjalanan modal dan kekayaan eks PT Aslam, PT Karkam, PT Sinar Pagi dan beberapa perusahaan kalangan Istana Soekarno yang diambil alih penguasa baru. Di pertengahan tahun 1967 PT PP Berdikari sudah memiliki unit-unit usaha yang berbentuk PT juga, tak kurang dari 6 buah. Bidang geraknya antara lain perbankan, asuransi, pelayaran, ekspedisi muatan kapal, industri, produksi dan perkebunan.

Pada berbagai penerbitannya media generasi muda itu mengungkap pula beberapa nama lain dalam kalangan kekuasaan yang tergolong sebagai orang kaya. Dan akan senantiasa ditemukan betapa mereka yang berada dalam posisi-posisi penghasil dana, selalu ada kaitannya dengan jalur-jalur dan faksi-faksi yang berperan dalam kekuasaan. Adalah menarik bahwa tak jarang tokoh-tokoh penghasil dana ini bisa sekaligus punya jalinan dengan lebih dari satu faksi dalam kekuasaan. Dana memang penting bagi pemeliharaan kekuasaan dan merupakan satu ‘ideologi’ tersendiri.

Berlanjut ke Bagian 6