Tag Archives: Bali

Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (2)

PETA situasi politik Bali di tahun 1965 lebih unik. Sebelum Peristiwa 30 September 1965, terdapat dua kekuatan politik yang sangat mencuat pengaruhnya di daerah tersebut. Pertama, PNI. Kedua, PKI. Di Bali, kekuatan lain di luar keduanya, nyaris tak ada artinya. Tetapi keduanya terlibat dalam rivalitas yang ketat dan tajam di provinsi tersebut. Padahal di tingkat nasional, khususnya di ibukota negara, kedua partai tersebut dianggap duet yang menjadi andalan Soekarno dalam kehidupan politik berdasarkan Nasakom. PKI dan PNI selalu dielu-elukan Soekarno sebagai dua kekuatan terpercaya dalam revolusi Indonesia.

PRESIDEN SOEKARNO DI DEPAN MASSA PKI, SENAYAN 1965. “Selain membela PKI sebagai salah unsur dalam konsep Nasakom ciptaannya, di sisi lain ia terkesan ‘mengecilkan’ peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dinihari sebagai hanya riak kecil dalam samudera revolusi. Sikap politiknya ini memicu dan memberi jalan kepada Jenderal Soeharto dan para perwira pengikutnya untuk mengembangkan lanjut hasrat untuk masuk lebih dalam ke gelanggang kekuasaan. Bila Soekarno ‘membekukan’ PKI, Jenderal Soeharto dan kawan-kawan akan kehilangan alasan untuk bertindak terlalu jauh”. (foto asiafinest).

Dalam suatu jangka watu yang panjang PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat pada umumnya menjadi pendukung PNI, sehingga berkat pengaruh mereka PNI memiliki massa pendukung yang besar di Bali. Namun dalam kehidupan sosial sehari-hari perlahan tapi pasti makin tercipta celah-celah kesenjangan. Rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani, adalah petani dengan kepemilikan tanah yang kecil, bahkan ada yang kemudian tidak memiliki tanah sama sekali. Selama puluhan tahun, sebenarnya terdapat tradisi harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dan petani, melalui sistem bagi hasil yang untuk jangka waktu yang lama diterima sebagai suatu keadaan yang adil. Bilamana terjadi perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan pada umumnya selalu berhasil sebagai media penyelesaian damai. Meskipun tak selalu penyelesaian itu bisa sepenuhnya memuaskan, khususnya bagi kalangan bawah.

PKI muncul memanfaatkan celah-celah kesenjangan sosial yang ada. Partai tersebut melakukan pendekatan kepada para petani dan golongan bawah lainnya, dan ‘mengajarkan’ untuk mulai menuntut lebih Continue reading Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (2)

Lelucon Dalam Kehidupan Politik Lelucon

“KEHIDUPAN politik kini memang makin penuh canda dan kelucuan, selain penuh acting (namun minus action). Tidak percuma para komedian dan bintang acting masuk gelanggang politik dan pemerintahan”.

DALAM sebuah catatan keluhan penumpang sebuah perusahaan bus antar propinsi, ada komplain yang berbunyi: “Full AC, Full Music, WC Full”. Ada situasi tertentu dalam kehidupan politik masa kini sering dianalogikan dengan WC, yaitu dalam hal ‘bau’. Kalau seseorang baru masuk ke ruang khusus itu, ia dengan segera bisa mencium betapa tak nyamannya aroma udara di dalamnya. Tetapi setelah berapa lama di dalam, lama-lama bau itu takkan terendus lagi oleh indera penciuman. Banyak orang saat mengamati kehidupan politik dari luar, mengatakan politik itu ‘kotor’ –penuh tipu daya, manipulasi, menghalalkan segala cara sambil mengharamkan sifat-sifat altruistik. Namun begitu seseorang ‘terbawa’ atau membawa diri masuk ke dunia politik, lama-lama yang dianggap ‘kotor’ itu tidak lagi betul-betul kotor dan bahkan pada akhirnya sanggup dikerjakan dengan nyaman tanpa rasa bersalah lagi.

Kehidupan politik Indonesia 2010, selain penuh pertengkaran, juga dipenuhi oleh ejek mengejek, termasuk dalam bentuk lelucon-lelucon sindiran lewat media SMS, Facebook, Twitter dan yang semacamnya. Namun tak kalah sering, kehidupan politik itu sendiri hadir sebagai lelucon yang belum tentu selalu lucu.

KARENA sedang menjadi Presiden, tentu saja Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk tokoh yang paling sering jadi sorotan joke, sindiran sampai serangan politik. Dari yang agak enak sampai yang sangat tidak enak. Pasti SBY yang disasar ketika beredar luas sms tentang type kepemimpinan yang tidak mampu melakukan action namun hanya bisa acting. Katanya pemerintahan kita sekarang tidak sanggup menegakkan tata tertib melainkan hanya tata tutur.

Ada juga tudingan bahwa dalam soal TKW, pemimpin kita turun tangan, tapi soal Gayus Tambunan, lepas tangan. Lalu dalam soal Mafia Hukum cuci tangan. Ini tentu dihubungkan dengan hasil sidang kabinet beberapa hari lalu yang sangat memperhatikan masalah nasib TKW yang jadi korban penganiayaan di Arab (dan juga Malaysia). Mengenai soal Gayus jalan-jalan sampai ke Bali, Presiden memang menyuruh cari tahu siapa yang meloloskan dan untuk apa Gayus ke Bali, tapi ada pernyataan tambahan bahwa Presiden tidak dapat mencampuri urusan hukum.

Namun, dalam soal Gayus Tambunan yang bebas melenggang keluar tahanan Mako Brimob untuk jalan-jalan nonton ke Bali, tak pelak lagi Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yag dikenal sebagai Ical menjadi sasaran utama. Tampaknya sebagian pers giat mengarahkan bahwa kepergian Gayus ke Bali diatur oleh orang-orang Ical dan untuk bertemu dengan dirinya. Pasti dikaitkan dengan kecurigaan bahwa Ical akan merundingkan soal mafia pajak Gayus yang menyangkut penyelamatan perusahaan-perusahaannya. Padahal, perusahaan-perusahaan besar yang disebut-sebut terlibat skandal Gayus, bukan perusahaan Ical sendirian. Ada puluhan perusahaan yang juga disebut-sebut. Tetapi karena Ical adalah Ketua Umum Golkar, kesempatan emas ini digunakan beberapa politisi partai lain untuk memojokkan Ical. Pasti para politisi itu tahu bahwa keterlibatan Ical dengan Gayus sulit untuk dibuktikan. Bahkan tak mungkin sebagai pemilik perusahaan-perusahaan itu turun tangan sendiri mengurus soal pajak seperti itu. Kalau betul ada kejahatan pajak, pasti para eksekutif perusahaannyalah yang bertanggungjawab secara hukum. Bukan mustahil ‘pemilik’ samasekali tak mengetahui. Terkait pertemuan dengan Gayus di Bali, apakah pengusaha cerdas seperti Ical begitu bodoh turun tangan sendiri bertemu dengan Gayus? Tapi namanya politik, kapan lagi ada kesempatan seempuk ini untuk menghantam Golkar atau Ical pribadi?

Ada yang bilang sejumlah perusahaan besar yang namanya disebut-sebut terlibat, malah ikutan mendorong terjadinya serangan terhadap Aburizal Bakrie, mungkin untuk mengalihkan perhatian. Dalam suatu pertemuan, seorang politisi partai yang sudah disebut-sebut keterlibatannya dengan kasus gratifikasi/suap terkait skandal traveller cheque pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom, dengan berapi-api mengomentari kasus Aburizal-Gayus. ‘Mental’nya kuat juga. Dan kemungkinan besar kulitnya juga tebal. Untuk sementara, Ketua Umum Golkar itu harus rela mengurut dada saja. Foto Gayus dengan wig yang tertangkap kamera wartawan berdekatan dengan seorang perempuan berjilbab saat menonton tennis di Bali, disulap. Wajah sang perempuan diganti dengan wajah Aburizal Bakrie. Foto itu beredar luas via HP dan internet. Ada-ada saja.

Seorang politisi lain mengedarkan lelucon, bahwa sejak foto Gayus memakai wig beredar, angka penjualan wig merosot drastis di kalangan kaum perempuan, tetapi meningkat di kalangan waria. WIG juga menjadi akronim bagi berbagai ungkapan yang kebanyakan serba konyol. Mantan anggota Kabinet periode pertama SBY, Fahmi Idris, bahkan membuat sebuah pantun tentang Gayus dan dikutip pers. Dan soal Gayus menangis di depan persidangan pasca Bali Tour, banyak yang bilang, bukan karena menyesali perbuatannya, tetapi menangisi pengeluarannya yang ratusan juta tanpa ada after sales service berupa jaminan keamanan kerahasiaan. Tetapi kejadian sesungguhnya, katanya, adalah Gayus menyesali diri kenapa tidak berhasil memperoleh wig dan topi model Mbah Surip. Menarik perhatian, tetapi lebih sulit dikenali.

KEHIDUPAN politik kini memang makin penuh canda dan kelucuan, selain penuh acting (namun minus action). Tidak percuma para komedian dan bintang acting masuk gelanggang politik dan pemerintahan. Ada keberhasilan ‘pencerahan’ di dunia perlakonan.

Tafsir Bencana Merapi dan Cara Berpikir Orang Jawa (2)

“Kegelisahan dan kekacauan masyarakat membingungkan dan merupakan perbuatan yang jelek. Sumber kekacauan itu terletak dalam individu-individu yang bersaingan dan mementingkan diri, atau dalam golongan-golongan yang mengira bahwa pendapat atau kebenaran mereka lebih benar daripada golongan lain dan yang tidak mau bermusyawarah atau berunding lagi. Kehidupan politik kita yang sangat menyempal beberapa tahun belakangan ini, namun penuh pretensi demokrasi, amat mencerminkan penggambaran yang disebutkan terakhir”.

SIKAP dan perilaku masyarakat yang bermukim di wilayah Gunung Merapi dalam menghadapi bencana letusan bisa cukup mengherankan bagi orang luar wilayah itu, khususnya, mereka yang hidup di luar kultur Jawa. Keterikatan masyarakat Merapi pada ‘kampung halaman’ juga sungguh menakjubkan bagi banyak orang: Meskipun bencana sudah sangat di depan mata dan ‘panas’ Merapi sudah terasa di kulit, mereka tetapi bertahan, setidak-tidaknya tidak tergesa-gesa meninggalkan rumah (kampung halaman) untuk mengungsi ke tempat aman. Dan kemudian, setelah berada di pengungsian, berkali-kali mereka menyempatkan diri untuk menengok rumah, sawah-ladang dan ternak mereka. Agak ekstrim, adalah kegiatan penambangan pasir di tepi-tepi daerah bahaya yang masih berlanjut. Begitu menganggap kegiatan Merapi mereda seperti pada awal pekan ini, tempat-tempat ‘pengungsian’ nyaris kosong ditinggal pulang ke kampung halaman.

Dalam khazanah ilmu pengetahuan sosial-budaya, orang Jawa memang sempat dikenali sebagai kelompok manusia Indonesia yang paling kecil hasrat merantaunya, dengan falsafah mangan ora mangan asal ngumpul yang kuat. Tapi kekuasaan kolonial Belanda telah memaksa mereka dengan tipu daya maupun kekerasan, meninggalkan kampung halaman dengan fait accompli serta penciptaan situasi point of no return. Penguasa kolonial menjadikan mereka koeli kontrak perkebunan di Deli Sumatera Utara dan Suriname Amerika Tengah. Sementara itu, pemerintahan Soekarno maupun Soeharto banyak mengalami kendala dan kegagalan dalam program transmigrasi guna mengurangi tekanan kepadatan penduduk pulau Jawa. Sejumlah penduduk wilayah Merapi serta berbagai gunung berapi lainnya di pulau Jawa yang pernah meletus, serta penduduk sekitar Gunung Agung di Bali, termasuk di antara mereka yang di-antarpulau-kan dalam rangka program transmigrasi. Tak sedikit di antara transmigran asal Jawa dengan cara apapun bisa kembali ke kampung halaman awal. Namun harus diakui pula bahwa selain faktor mentalita, ketidakmampuan para penyelenggara program transmigrasi juga berperan besar pada terjadinya arus balik kampung. Belum lagi kesan bahwa daerah transmigrasi adalah wilayah pembuangan bagi ‘kaum miskin’.

Apakah masyarakat penghuni Merapi dan sekitarnya sepenuhnya pemberani yang tak gentar menghadapi bahaya Merapi –untuk tidak menyebutnya kurang irrasional– meneladani seorang tokoh masyarakat setempat, Mbah Maridjan, yang sempat diciptakan menjadi simbol manusia pemberani melalui kegiatan komersial periklanan sebuah perusahaan minuman berenergi? Untuk sebagian (kecil), mungkin saja benar, tapi tidak untuk seluruhnya. Sikap fatalistik yang masih dimiliki orang Jawa, khususnya dari kalangan generasi lama yang berusia tua, tampaknya cukup berpengaruh: Seberapa bagus manusia merancang hidup, pada akhirnya Dia Yang Di Atas, yang lebih menentukan. Siapakah Dia Yang Di Atas, banyak tergantung kepada kepercayaan dan atau agama yang dianut masing-masing. Lapisan generasi baru Jawa, terutama yang telah terdidik dengan baik, sudah bergeser kepada nilai lebih baru, bahwa nasib manusia lebih banyak ditentukan oleh usaha dan kemampuan manusia itu sendiri daripada oleh faktor lainnya.

Namun tak kalah pentingnya, adalah kondisi objektif yang berupa ketidakpercayaan masyarakat –yang sebenarnya tak terbatas dalam kaitan bencana Merapi dan penanganannya– terhadap pemerintah sebagai solution maker, dalam konteks kepastian hidup. Dalam konteks bencana Merapi, timbul kesangsian-kesangsian sekaligus dilema bagi masyarakat yang selama ini hidupnya bukanlah betul-betul dalam kepapaan di bawah garis kemiskinan, bahkan cukup banyak yang berada pada tingkat kehidupan ekonomi yang layak. “Kalau kami pergi meninggalkan rumah kami, betulkah pemerintah akan sanggup menampung kami dengan baik? Siapakah yang akan menjaga harta benda kami bila kami tinggalkan? Sanggupkah pemerintah memberi kami makan dan tak membiarkan kami kelaparan, memberi susu kepada anak-anak kami, memberi kami obat saat kami sakit, sehingga kami tak menjadi orang-orang yang semata-mata adalah sasaran belas kasihan orang lain? Betulkah pemerintah akan membeli atau mengganti ternak kami yang mati, akankah pemerintah membantu kami membangun kembali rumah dan kehidupan kami nanti?”. Serta, puluhan pertanyaan lain yang serupa. Pada sisi lain, masyarakat bukannya tidak sadar bahwa bila letusan Merapi betul-betul terjadi, mereka akan menghadapi kematian. Jadi, mereka memilih ‘jalan tengah’ yang menyeremper-nyerempet bahaya, baru meninggalkan rumah pada ‘menit-menit’ terakhir, menyempatkan menengok rumah dan harta benda saat ada jeda erupsi Merapi, dan kembali ke rumah pada kesempatan paling pertama yang dianggap hampir aman. Pragmatis.

SELAIN erupsi Gunung Merapi, banjir bandang Wasior maupun gulungan Tsunami di Kepulauan Mentawai –bencana-bencana yang meskipun cukup sering terjadi belakangan ini, merupakan peristiwa insidental– Indonesia juga mengalami berbagai erupsi dalam kehidupan sosial-politik berupa aneka konflik kepentingan politik dan kekuasaan, banjir bandang perilaku korupsi dan manipulasi ekonomi yang tak henti-hentinya merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Serta, serentetan Tsunami sosial berupa kekerasan dan tindakan anarki yang seringkali berlangsung massal yang menjungkirbalikkan bangunan sosiologis bangsa yang dari mula memang tak pernah berhasil terkonstruksi dengan baik.

Erupsi-erupsi dari kepundan sosial-politik itu, banjir bandang korupsi dan berbagai Tsunami sosial sehari-hari, menunjukkan bahwa memang kita semua belum berhasil mengelola kehidupan sebagai satu bangsa dan negara secara teratur, baik dan benar. Barangkali kita harus kembali meneliti, mengamati dan belajar lagi mengenai dasar-dasar moral yang dimiliki masyarakat Indonesia sejauh ini, dan apakah itu cukup untuk melangkah ke depan atau bisa membawa surut dalam beberapa hal seperti yang belakangan ini menjadi dugaan beberapa tokoh masyarakat dan cendekiawan. Karena secara faktual hingga saat ini, cara berpikir masyarakat Jawa tetap adalah yang terasa paling ‘menonjol’ dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia, ditambah fakta bahwa kita hampir selalu berada dalam ruang lingkup kepemimpinan ‘berdasarkan’ kultur Jawa sebagaimana direpresentasikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wakil Presiden Dr Budiono, maka kita memilih referensi yang terhubung dengan itu. Kita memilih meminjam referensi terutama dari Niels Mulder –dan juga de Jong, Marbangun Hardjowirogo serta sedikit dari Clifford Geertz, yang semuanya punya kompetensi yang lebih dari cukup– untuk pemaparan mengenai cara berpikir orang Jawa maupun dasar moral masyarakat Jawa, dari sejumlah perpustakaan lama maupun baru.

CITA-CITA utama masyarakat Jawa terletak dalam tata tertib masyarakat yang laras. Manusia sebagai individu dalam tata tertib masyarakat yang laras itu tidak sangat penting. Secara bersama-sama orang mewujudkan masyarakat. Dan keselarasan masyarakat menjamin kehidupan yang baik bagi individu-individu atau orang per orang. Tugas moral seseorang adalah menjaga keselarasan tersebut, dengan cara menjalankan kewajiban-kewajiban sosial. Kewajiban-kewajiban sosial itu menyangkut hubungan-hubungan sosial, yaitu hubungan-hubungan antara orang-orang. Namun hubungan-hubungan sosial itu tidak sama, melainkan hirarkis. Kewajiban-kewajiban atau tugas moral seorang ayah berbeda dengan kewajiban-kewajiban isterinya dan kewajiban-kewajiban anak-anaknya. Kakak bukan adik. Perlu ada pak Lurah. Bapak-bapak pembesar mempunyai wewenang, tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang sangat berbeda dari wong cilik.

Semua pangkat itu terikat dan mewujudkan suatu susunan atas dasar kekeluargaan, yaitu kita harus bergotong-royong, tolong menolong, dan tukar menukar. Dasar moral masyarakat Jawa terletak dalam hubungan dan kewajiban antara orang yang tidak sama rata. Siapa yang berpangkat harus memelihara bawahannya, orang yang sama pangkatnya harus bertindak sama, harus solider. Poin ‘moral’ ini, misalnya, bisa ikut menerangkan kenapa kesetiaan korps dalam berbagai institusi tetap menonjol meskipun di sana sini sudah ada pelunturan. Di tubuh kepolisian sebagai contoh, rekening ‘gendut’ perwira polisi tak mudah diungkap, sejumlah jenderal yang disebutkan terlibat dalam kasus Gayus Tambunan lebih dilindungi dan bila ada yang terpaksa dikorbankan, itu adalah yang berpangkat lebih rendah seperti Kompol Arafat atau AKP Sri Sumartini. Komjen Susno Duadji yang menyempal diutamakan untuk dieliminasi. Sementara di tubuh Kejaksaan, dalam kasus suap Arthalita Suryani, hanya jaksa Urip yang ditindak, itupun karena tertangkap basah, sedang beberapa nama dalam posisi lebih tinggi diloloskan dari perhatian dan penindakan.

Hubungan antara orang-orang bersifat subjektif dalam suatu susunan yang berpangkat-pangkat pula. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara orang selalu berbeda, dan oleh karena itu tugas moral seseorang berbeda dari tugas moral orang lain. Batu ujian bagi moralitas tersebut terletak di dalam keselarasan masyarakat dan ketenangan atau ketenteraman lahir batin. Sebagai norma batu ujian ini tidak bisa dijadikan objek, melainkan terletak dalam proses masyarakat sendiri. Norma ini bisa dirasakan, yakni perasaan senang  dan tenteram dalam kehidupan ikatan keluarga yang besar. Ukuran bagi kebenaran-keadilan masyarakat adalah Sang Masyarakat, yang menjadi satu-satunya sumber bagi norma-norma itu sendiri.

Menurut Niels Mulder maupun de Jong, manusia Jawa tidak bisa lepas dari masyarakat mereka. Masyarakat itu otonom serta mengatur keseluruhan hidup para pesertanya. Ketenteraman dan keselarasan –rust en orde– masyarakat merupakan dasar moralitas, dan dasar itu terletak dalam hubungan yang laras antara orang dalam masyarakat mereka sendiri. Ketenteraman itu adalah suasana yang tidak bisa dijadikan objek. Kegelisahan dan kekacauan masyarakat membingungkan dan merupakan perbuatan yang jelek. Sumber kekacauan itu terletak dalam individu-individu yang bersaingan dan mementingkan diri, atau dalam golongan-golongan yang mengira bahwa pendapat atau kebenaran mereka lebih benar daripada golongan lain dan yang tidak mau bermusyawarah atau berunding lagi. Kehidupan politik kita yang sangat menyempal beberapa tahun belakangan ini, namun penuh pretensi demokrasi, amat mencerminkan penggambaran yang disebutkan terakhir.

Berlanjut ke Bagian 3

Tatkala Presiden Melintasi Jalan

“Wujud kepercayaan kepada Raja yang dilahirkan melalui kalimat “if the King only knew”, kerap lahir dalam bentuk lain berupa anggapan yang terkandung dalam ungkapan “plus Royaliste que le roiyang berarti bahwa “anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri”. Tapi sejarah menunjukkan pula, seringkali memang sang Raja –atau sang Pemimpin– sendiri lah yang merupakan sumber masalah dan bencana. Apalagi bilamana sikap feodal masih dominan melajur dalam kekuasaan dan masyarakat. Rapor mereka, merah semua.

“Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga”.

MENJADI pengalaman banyak orang di sekitar ibukota, setiap kali rombongan Presiden usai melintas, baik di jalan bebas hambatan Jagorawi maupun di jalan-jalan ibukota, kemacetan lalu lintas terjadi. Jalan-jalan yang kebetulan memang sedang macet akan semakin macet, sementara yang sedang padat akan bertambah padat dan segera mengalami kemacetan. Saat Presiden dan rombongannya yang selalu berbentuk konvoi panjang, sudah tiba di tujuan, pengguna jalan lainnya yang tadi dilewati masih terseok-seok merayap bersama kendaraannya, paling tidak selama satu jam. Paling kurang, ini terjadi dua kali dalam sehari di hari kerja, dan sering-sering lebih dari itu manakala Presiden banyak melakukan kegiatan di luar Istana. Kota-kota lain hanya akan mengalaminya sekali-sekali saat Presiden berkunjung.

Semua juga pasti masih ingat bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengawali masa kepresidenannya yang pertama lebih dari lima tahun yang lampau dengan sebuah insiden lalu lintas di mulut jalan masuk ke jalur utama tol Jagorawi, beberapa menit setelah meninggalkan kediamannya di Puri Cikeas. Terjadi tabrakan beruntun yang mengambil korban, karena mobil pengawal menghentikan mendadak kendaraan yang datang dari arah Bogor. Saat itu, publik mengeritik keteledoran petugas yang bersikap ceroboh dan menggampangkan, menghentikan arus kendaraan dengan mendadak, tidak lebih awal demi memperhitungkan keselamatan pengguna jalan lain. Suatu sikap yang sadar atau tidak bersumber pada arogansi karena merasa ‘berkuasa’.

Kini, ada sebuah kisah baru. Tidak menggemparkan seperti pengalaman pertama, tetapi cukup layak untuk diperhatikan. Seorang wartawan, bernama Hendra NS, menulis sebuah surat pembaca di Harian Kompas, Jumat 16 Juli 2010. Kita kutip di bawah ini.

“Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya –juga mayoritas pengguna jalan itu– memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal”, tulis sang wartawan. “Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman. Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri. Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, saya pun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan”.

Dituliskan lebih lanjut bahwa sang Patwal di depan turun dan menghajar kap mobil sang wartawan, memukul spion mobil sampai terlipat, dan dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?”. Lalu disusul serentetan intimidasi dalam suatu dialog yang tak kondusif selama sekitar 10 menit. “Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?”, omel sang Patwal. Saat rombongan  SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan sang penulis surat pembaca yang terbengong-bengong.

Sebagai penutup suratnya, sang wartawan menghimbau, “Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga”.

Perasaan ‘sengsara’ setiap kali berpapasan atau dilewati iring-iringan panjang rombongan Presiden, tampaknya diderita banyak pengguna jalan lainnya, dan menjadi salah satu sumber keluhan. Belum lagi dengan rombongan Wakil Presiden dan para VIP lainnya. Tapi yang paling panjang memang rombongan Presiden, dengan rute yang juga panjang dari Cikeas, sebagian Tol Jagorawi, tol dalam kota sampai Istana. Tanpa ‘gangguan’ iring-iringan VVIP seperti itu, rute itu sudah luar biasa padat, apalagi bila ditingkahi oleh ‘peminggiran’ paksa. Paling menderita tentu saja para penumpang kendaraan umum seperti bus kota yang berjejal-jejal kepanasan di pagi hari sekali pun. Sebuah keluhan pernah tercetus, “Presiden lewat saja, kita yang harus tersiksa. Apa Presiden tidak tahu ya?”

Jika Presiden tidak berniat pindah tinggal ke Istana Merdeka, seperti yang diusulkan sang penulis surat pembaca, apakah tidak sebaiknya Presiden mencari pemecahan lain yang intinya adalah untuk menarik ‘saham’nya dari kemacetan lalu lintas setiap hari? Kenapa Presiden, misalnya, tidak menggunakan helikopter saja dari Cikeas-Istana pergi-pulang? Biayanya pasti tidak ‘sebesar’ dengan ‘biaya sosial’ dan ‘biaya psikologis’ yang harus dibayar rakyat dua kali dalam sehari.

Di masa lampau, keluhan serupa tak banyak dilontarkan publik terhadap Presiden Soeharto. Hanya sesekali ada iringan panjang, yakni bila mengantar tamu negara. Setiap hari, pergi dan pulang kerja, ke dan dari Bina Graha, iringan mobil Presiden, yang jumlahnya sedikit saja, sudah termasuk ambulans, cenderung berjalan senyap. Hanya lampu merah di atap mobil pengawal terdepan yang berputar tanpa sirene. Rutenya juga pendek, Bina Graha, Merdeka Utara, Merdeka Timur depan Stasiun Gambir, Patung Pak Tani, Menteng Raya, Cut Meutia, Ratulangi, Cendana dan sebaliknya. Dan biasanya, pilihan waktunya agak bertepatan dengan saat lalu lintas tidak terlalu padat. Bukannya iring-iringan rombongan Presiden kala itu tak pernah bermasalah. Pada tahun 1986 di Bali, sekeluarga yang terdiri dari ayah-ibu dan seorang anak tewas tersambar mobil rombongan saat menyeberang jalan sewaktu iringan agak terputus. Beritanya berhasil diredam dan tak pernah disiarkan. Di pantai Barat Aceh lain lagi, mungkin di tahun 1986 juga, hanya sekitar lima belas menit sebelum rombongan Presiden melintas menuju Meulaboh, seekor harimau menyeberang jalan sambil menyeret tubuh manusia yang mungkin adalah hasil terkamannya pada dini hari beberapa jam sebelumnya. Para petugas segera menghalau dan mengejar sang harimau serta ‘membersihkan’ jalan.

MENGAKHIRI catatan ini, kita mengutip sekali lagi dua pengibaratan terkait raja dan kekuasaan, yang pernah dituturkan dua cendekiawan, MT Zen dan Harry Tjan Silalahi. Mungkin bisa dipakai untuk menjawab tentang seluk beluk arogansi para petugas negara dan pertanyaan di bus kota “Apa Presiden tidak tahu ya…?” .

Dari seluruh pelosok pedalaman, dari perbukitan dan dataran tanah Perancis menjelang akhir abad 18, angin membawakan jeritan dan keluhan yang menyayat hati: “…. if the King only knew ! ” – ….. jika Baginda Raja mengetahui. Demikian juga di Rusia lebih dari seratus tahun kemudian. Dari dataran steppe hingga ke padang salju Siberia, terdengar keluhan dan rintihan yang senada. “…. if the Czar only knew !”. Jadi nyatalah di sini bahwa rakyat pada mulanya mempunyai kepercayaan sekiranya Baginda Raja mengetahui tentang nasib mereka, niscaya Raja akan menghukum para menteri yang bersalah serta menolong rakyat yang tertindas. “Bukankah Raja itu wakil dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ?”. Tetapi sayang ! …. Sayang sekali ! Pertolongan yang dinantikan tak kunjung datang dari sang Raja. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa Baginda Raja telah melupakan mereka, telah meninggalkan mereka, telah meremehkan mereka dan telah mengkhianati mereka. Mereka tidak mengerti dan tidak mau mengerti bahwa Baginda Raja sendirilah yang terutama mengkhianati dan berdosa kepada mereka….. Baginda Raja dengan penuh kesadaran telah membiarkan para menteri dan para bangsawan menindas rakyat untuk kepentingan sang Raja, agar Baginda Raja senantiasa berdendang dan menari di atas jubin batu pualam dan diterangi oleh ribuan chandelier bersama seribu bidadari. Demikian antara lain MT Zen dalam “Kubunuh Baginda Raja” (1966).

Wujud kepercayaan kepada Raja yang dilahirkan melalui kalimat “if the King only knew”, kerap lahir dalam bentuk lain berupa anggapan yang terkandung dalam ungkapan yang pernah dikutip Harry Tjan Silalahi, “plus Royaliste que le roi” yang berarti bahwa “anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri”. Tapi sejarah menunjukkan pula, seringkali memang sang Raja –atau sang Pemimpin– sendiri lah yang merupakan sumber masalah dan bencana. Apalagi bilamana sikap feodal masih dominan melajur dalam kekuasaan dan masyarakat. Rapor mereka, merah semua.

PKI Sejak 23 Mei 1920: Dari Konflik ke Konflik (4)

“Seharusnya kita semua –terutama generasi baru, angkatan muda bangsa-negara ini, termasuk yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata– menghilangkan dendam sejarah, dan salah satu yang mungkin menjadi carajalannya ialah memaafkan tanpa melupakan!”.

SETELAH mengeluarkan ide dasarnya berupa Konsepsi Presiden itu, maka Presiden Soekarno melangkah lebih jauh, yaitu dengan merumuskan sebuah sistem demokrasi alternatif yang kemudian disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi alternatifnya itu dimaksudkan untuk menggantikan sistem Demokrasi Liberal yang dianut dan dijalankan selama 8 tahun, yang memang sangat tidak disukai Presiden Soekarno. Sistem ini sudah tidak disukainya sejak masih duduk sebagai pemimpin PNI dan Partindo. Demikianlah, walaupun mendapat kritikan tajam, bahkan juga dengan adanya sejumlah sikap penentangan terhadap Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno tetap melangkah untuk mewujudkan ide dan konsep yang dikemukakannya. Terlebih lagi waktu itu rumusan Demokrasi Terpimpinnya telah diterima oleh Sidang Kabinet Karya. Persoalan penggantian UUD Negara 1950 yang tentu saja tidak sesuai dengan nafas Demokrasi Terpimpin itu, memang tampak akan menjadi kendala. Demikian pula dengan ketidakberhasilan Dewan Konstituante menciptakan UUD negara yang baru. Namun, Presiden Soekarno dapat mengatasi kendala itu dengan dilatari oleh adanya dukungan yang sangat kuat dari sejumlah kekuatan politik, antara lain TNI-Angkatan Darat dan PKI.

Singkat kata, setelah mendapatkan dukungan kuat dari pelbagai pihak selain TNI-Angkatan Darat dan PKI, maka Presiden Soekarno mengambil jalan inkonstitusional untuk memberlakukan kembali UUD negara yang dirumuskan pada 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan itu, sistem Demokrasi Terpimpin pun dapat dijalankan dengan berpegang pada UUD negara, yaitu UUD negara 1945 (UUD ’45). Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, maka berkuasalah Presiden Soekarno sebagai Presiden konstitusional yang tidak hanya sebagai Kepala Negara melainkan juga sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri, PM) negara. Dengan demikian, berarti juga jalan ”mulus” terbuka bagi PKI untuk memasuki lembaga pemerintah, yaitu memasuki bidang pemerintahan eksekutif. Selama pemerintahan dengan sistem Demokrasi Terpimpin dengan UUD ’45, digambarkan adanya tiga kekuatan utama yang menguasai arena pemerintahan negara, yaitu TNI-Angkatan Darat yang ”bersaing” dengan PKI dan di antara kedua kekuatan itu bertegaklah Soekarno sebagai kekuatan utama yang berusaha mengatasi kedua kekuatan yang saling bertentangan itu.

Selama periode 1959-1965 –yang juga digambarkan dengan slogan revolusi belum selesai– tampak situasi belum juga menjadi lebih baik bagi berlangsungnya sebuah pemerintahan yang dapat melaksanakan tugas kepemerintahannya sebagaimana yang digambarkan Presiden Soekarno dengan slogan revolusi belum selesai tersebut; Dan untuk menyelesaikannya, Soekarno disebut juga sebagai Presiden/Pemimpin Besar Revolusi! Tetapi, dalam periode itu tampil sejumlah krisis, tidak hanya krisis politik, melainkan juga krisis ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Di tengah-tengah slogan untuk menyelesaikan revolusi, pertentangan di antara kekuatan-kekuatan politik makin berkembang secara nyata. PKI tidak hanya bertentangan dengan TNI-Angkatan Darat, melainkan juga dengan kekuatan-kekuatan agamis seperti Islam dan Katolik, bahkan terjadi pertentangan antara PNI dan PKI, dan juga dengan kekuatan Marxis, antara PKI dengan Partai Murba. Pertentangan-pertentangan itu, dalam periode 1960-1964, melahirkan tindakan-tindakan fisik yang bahkan tidak jarang melahirkan tindakan kekerasan yang ”saling membunuh”.

Sejalan dengan itu, salah satu cara yang tampak akan digunakan untuk mendapatkan kesempatan politik ialah pelaksanaan land reform. Langkah untuk pelaksanaan land reform itu, digunakan oleh PKI untuk ”memaksakan” kehendaknya. Cerita tentang adanya tindakan pendukung pelaksanaan land reform itu dengan jalan kekerasan, terdengar dari pelbagai daerah, seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, Bali dan Tana Toraja, misalnya, sampai sekarang masih hidup seorang anak yang ketika menyebut nama ayahnya, ia tidak menyebut nama yang biasa digunakan ketika ayahnya masih hidup, melainkan menggantikannya dengan: dia yang dicincang. Sebutan itu digunakan setelah ayahnya meninggal dicincang oleh rombongan orang BTI/PKI yang hendak merebut tanah warisan milik keluarganya. Itu hanya salah satu cerita tentang pertentangan yang melahirkan gambaran kekejaman pada ketika itu.

Di tengah-tengah makin meningkatnya situasi krisis dengan slogan revolusi, untuk menghadapi ’lawan’nya PKI menggunakan istilah ofensif revolusioner dan atau jor-joran manipolis. Penggunaan slogan-slogan itu tampaknya dimaksudkan untuk identitas kekuatan diri sebagai bagian dari kekuatan utama pendukung pemimpin besar revolusi dalam rangka menyelesaikan revolusi yang belum selesai itu. Tetapi di tengah-tengah situasi yang menampakkan kekuasaan otoriter dari presiden, maka terjadi suatu pembalikan situasi, yaitu melalui tindakan Letnan Kolonel Untung –salah seorang komandan pasukan di Resimen Cakrabirawa– yang mengumumkan apa yang disebut sebagai Dewan Revolusi dengan sejumlah nama pemimpin bangsa ketika itu sebagai anggota. Tetapi posisi dan nama Presiden Soekarno dalam Dewan Revolusi itu tidak disebutkan!

Dewan Revolusi menyatakan bahwa gerakan yang dicanangkannya itu bernama: Gerakan 30 September (G30S). G30S itu tentu saja telah merancang pelbagai hal yang akan menopang pencapaian tujuan mereka. Namun, para pemimpin G30S yang dikomandani oleh Letnan Kolonel Untung ternyata tidak memperhitungkan secara cermat kekuatannya, sehingga hanya dalam waktu yang sangat singkat, kekuatan gerakan Dewan Revolusi G30S itu dapat dilumpuhkan. Mayor Jenderal Soeharto tampaknya tidak diperhitungkan sebagai perwira tinggi yang membahayakan gerakan mereka, walaupun menduduki jabatan strategis sebagai Panglima Kostrad – tetapi memang Kostrad waktu itu tidak dapat disamakan dengan posisi dan kekuatan Kostrad sekarang. Dan salah ’menghitung’ posisi Mayor Jenderal Soeharto itulah tampaknya yang merupakan salah satu faktor utama dari kegagalan rencana G30S itu.

Setelah kekuatan anti PKI di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto berhasil menguasai keadaan setelah pengumuman Dewan Revolusi yang mengambil alih kekuasaan pemerintahan yang digagalkan, sejak tanggal 2 Oktober 1965, maka diketahui bahwa yang berada di belakang G30S itu ialah Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Dipa Nusantara (DN) Aidit. Dengan adanya ”bukti-bukti” yang ditemukan oleh kekuatan anti PKI itu, maka G30S yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung dengan Dewan Revolusinya, dan dianggap telah melakukan kudeta itu, akhirnya dikaitkan –dalam arti sebagai dalang dan pelaku gerakan kudeta– dengan PKI; Dan karena itu, selama pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, 1966-1998, maka penulisan G30S selalu dikaitkan dengan PKI, yaitu G30S/PKI. Dengan adanya bukti-bukti itu –tentu saja bukti-bukti yang dimaksud itu menurut pendapat para pendukung Jenderal Soeharto dan kelompok Anti Komunis PKI, yang kemudian menyebut dirinya dengan: Orde Baru (Orba)– maka para pendukung Jenderal Soeharo dan Orde Baru yang telah menguasai pemerintahan negara melakukan pembersihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.

Para pendukung PKI itu –karena dianggap sebagai dalang dan terkait dengan G30S– dianggap sebagai pemberontak, bahkan sebagai ”pengkhianat” terhadap pemerintah yang sah dan negara Republik Indonesia. Dengan adanya anggapan yang demikian itu, hak-hak kewarganegaraan mereka sebagai warga negara Republik Indonesia, dibatasi, bahkan dihilangkan. Mereka yang dianggap terlibat dalam G30S/PKI itu, dikategorikan dalam tiga kategori, yatiu golongan A, B dan C, yang masing-masing mempunyai tingkat sanksi yang berbeda-beda karena tingkat keterlibatannya di dalam kepengurusan PKI dan organisasi massanya dan G30S. Golongan A dan B dianggap terlibat langsung dalam kepengurusan PKI dan juga diduga terlibat pula di dalam kegiatan-kegiatan G30S/PKI itu. Mereka itu biasanya mendapat hukuman di penjara dalam waktu yang sangat panjang, sampai seumur hidup dan atau dihukum mati. Sebagian dari mereka dipindahkan ke tempat tahanan yang lebih terpencil, yaitu ke Pulau Buru. Sedang golongan C jauh lebih ringan dan biasanya bisa dibebaskan, tetapi dengan persyaratan tertentu, antara lain dengan melapor ke kantor Kodim (Komando Distrik Militer) atau kantor polisi yang telah ditentukan.

Dalam perkembangan selama kekuasaan pemerintahan Orde Baru, diciptakan pelbagai undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang membatasi hak-hak kewarganegaraan dari pengurus atau anggota PKI dan atau organisasi atau orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI dan G30S, baik langsung maupun tidak langsung. Sebagai akibat dari adanya peraturan-peraturan  itu, yang selalu dan harus mengacu kepada  Tap MPRS No XXV/1966 maka semua lembaga negara dari semua tingkatan, demikian pula pada semua lembaga pendidikan, misalnya lembaga-lembaga pendidikan instansional, seperti AKABRI dan yang lainnya di lingkungan Angkatan Bersenjata –Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian– harus melewati seleksi yang sangat ketat, sehingga lembaga-lembaga itu tidak ”tersusupi” oleh orang-orang PKI dan G30S. Tetapi yang sangat menyulitkan ialah setelah G30S/PKI itu melewati jarak waktu puluhan tahun, maka anak-anak keturunan mereka pun tetap kehilangan hak kewarganegaraannya karena sangkaan terhadap orang-orang tuanya sebagai pengurus atau anggota PKI atau G30S. Keadaan yang demikian ini berlangsung terus, selama kurang lebih 32 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru pimpinan Jenderal dan Presiden Soeharto.

Persoalan Sejarah, Memaafkan Tanpa Melupakan

Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Jenderal, Presiden Soeharto, maka persoalan yang akan dihadapi oleh bangsa-negara kita, ialah persoalan sejarah. Yang saya maksudkan ialah bahwa dengan G30S/ PKI pada tahun 1965 itu, maka bangsa-negara kita telah membelah dirinya dengan dilatari oleh ”dendam” sejarah. Anak-anak PKI/G30S itu yang lahir pada tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an adalah tetap merupakan warga negara Republik Indonesia, dengan hak kewarganegaraannya yang sama dengan yang lainnya, anak-anak warga negara yang dahulu anti PKI dan G30S itu.

Sejalan dengan itu, bagaimanapun juga terjadinya keterbelahan akibat dari G30 S/PKI itu, seharusnya tidak berlanjut ke hari-hari depan, dalam kehidupan bersama kita sebagai bangsa dan di dalam negara Republik Indonesia. Karena itu, seharusnya kita semua –terutama generasi baru, angkatan muda bangsa-negara ini, termasuk yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata– menghilangkan dendam sejarah, dan salah satu yang mungkin menjadi carajalannya ialah memaafkan tanpa melupakan! Karena apa yang pernah kita lakukan sejak puluhan tahun yang lalu itu, adalah sejarah yang seharusnya dipahami sebagai milik bersama, dan seharusnya dapat menjadi landasan yang akan saling memperkuat kita semua –dalam arti sebagai warga negara– menopang kelangsungan hidup berbangsa-negara, di tengah-tengah bangsa-negara lainnya di muka bumi ini.

*Anhar Gonggong. Aktif dalam pergerakan mahasiswa sejak masa kuliah di UGM. Sejarawan dan budayawan yang bergelar doktor ilmu sejarah ini, pernah menjabat sebagai Deputi Menteri bidang Sejarah dan Purbakala di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sekarang mengajar Sejarah Ekonomi dan Bisnis di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Atmajaya Jakarta, mengajar Agama dan Nasionalisme di Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Perempuan Indonesia Dalam Fatamorgana Kesetaraan

“AKAR dari kebekuan pencerahan sistem nilai antara lain terletak pada sejumlah fakta kegagalan demi kegagalan para pemerintah dan para pemegang kekuasaan lainnya di masyarakat. Baik dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, maupun dalam penciptaan kehidupan sosial-ekonomi dengan kelayakan minimal untuk memutus belitan kemiskinan dan kebodohan yang merupakan sumber kekufuran”.

MENJELANG Hari Kartini 21 April ini, kaum perempuan muncul dalam sejumlah momen peristiwa dengan berbagai ragam nuansa dan konotasi. Belum lama berselang kita menyaksikan seorang tokoh perempuan yang kebetulan menjadi Menteri Keuangan, Dr Sri Mulyani Indrawati, harus tampil di ‘garis depan’ menghadapi gempuran politik yang gencar terkait skandal Bank Century. Puncaknya adalah ketika ia harus tampil ‘sendirian’ di forum Pansus DPR tentang Kasus Bank Century. Kasus ini sendiri, begitu menarik perhatian, bukan hanya karena melibatkan dana 6,7 trilyun rupiah, melainkan terutama karena adanya dugaan yang tersodor ke medan opini publik bahwa kasus ini adalah skandal dana politik yang melibatkan secara luas kalangan penguasa saat ini. Tegasnya, ada kecurigaan yang tertuju kepada tokoh kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (dan Dr Boediono) dan partai pemenang pemilu, Partai Demokrat.

Belum lagi masalah Bank Century tertuntaskan –namun teredam beritanya belakangan ini– muncul lagi skandal perpajakan yang melibatkan Gayus Tambunan dan merambatkan goncangan ke tubuh institusi perpajakan yang mau tak mau menyeret Departemen Keuangan. Sekali lagi, Sri Mulyani, tampil ke pentas dan menjadi pusat perhatian. Tindakan-tindakan cepat yang dilakukannya untuk melakukan pembersihan –meskipun masih harus ditunggu hingga sejauh mana nantinya– cukup diapresiasi oleh publik.

Sementara itu, pada satu-dua bulan terakhir, sejumlah figur perempuan tampil di pentas politik, siap bertarung dalam serangkaian pemilihan umum kepala daerah. Kali ini ada suatu nuansa yang berbeda, dengan aroma ‘wangi’ yang sedikit glamour. Ada nama dari kalangan artis atau selebritis yang tampil dalam arena persaingan memperebutkan jabatan politik itu, seperti Emilia Contessa, Julia Perez, Venna Melinda –yang juga adalah anggota DPR– hingga Eva Maria. Sebelumnya disebut-sebut pula nama Ayu Azhari, Inul Daratista dan lain-lain. Ada yang berlanjut ada yang terhenti atau mungkin akan terhenti. Eva Maria misalnya, mungkin akan terhenti karena orang mulai mengungkit kisah ‘video’nya dengan seorang anggota parlemen beberapa tahun lampau. Dalam gelanggang yang sama, sejumlah isteri bupati di berbagai daerah tampil mencalonkan diri untuk menjadi bupati/kepala daerah yang akan menggantikan posisi sang suami dalam konteks cikal bakal politik dinasti dalam dunia kekuasaan. Secara unik, dua isteri dari satu suami –seorang bupati incumbent– serentak tampil dan siap terjun ke kancah persaingan pemilihan kepala daerah itu untuk mengisi posisi yang akan ditinggalkan suami mereka. Adapula seorang isteri bupati tampil untuk bersaing melawan suaminya yang juga adalah bupati incumbent, terdorong rasa kesal terhadap sang suami yang mencopot dirinya dari jabatan Ketua Pembina PKK dengan segala fasilitasnya lalu mengalihkannya kepada isteri yang kedua.

Tak kalah dengan pentas politik, dalam sejumlah peristiwa hukum, muncul beberapa nama ‘tokoh’ perempuan. Ada Arthalyta Suryani, terhukum kasus suap jaksa Urip, yang berhasil mengatur kenyamanan dirinya di Lembaga Pemasyarakatan dan kemudian ‘beruntung’ mendapat pengurangan hukuman dari 5 tahun menjadi 4 tahun 6 bulan dalam proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Ada Miranda Goeltom yang harus bolak-balik ke KPK dan Pengadilan Tipikor sebagai saksi penyuapan terhadap sejumlah anggota DPR terkait pemilihan dirinya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Dalam kaitan kasus yang sama ada juga Nunun Nurbaeti isteri seorang mantan petinggi Polri, yang tak kunjung muncul di Persidangan Pengadilan Tipikor sebagai saksi, karena ‘mendadak’ menderita sejenis dementia –kehilangan daya ingat alias sakit lupa– dan harus sampai berobat ke Singapura. Padahal menurut dugaan sementara dalam kasus Miranda Goeltom, Nunun Nurbaeti lah sumber lembaran-lembaran travel cheque yang seluruhnya bernilai milyaran rupiah, yang dibagi-bagikan kepada sejumlah anggota DPR.

Para tokoh perempuan dalam catatan peristiwa di atas, bukan lagi jenis perempuan Jawa (Indonesia) yang keterbelakangan nasibnya dicemaskan R.A. Kartini (1879-1905) seabad yang lampau. Bukan perempuan yang masih berjuang atau perlu diperjuangkan nasibnya agar masuk ke dalam lingkup kesetaraan gender. Sebagian besar dari mereka sudah sejak lama berada dalam posisi kesetaraan gender, bahkan mungkin lebih dari sekedar kesetaraan. Perempuan-perempuan seperti Dr Sri Mulyani atau perempuan-perempuan anggota parlemen maupun yang telah dan akan menjadi kepala daerah, semestinya justru adalah tokoh-tokoh perempuan yang bisa lebih memperkokoh kesetaraan gender yang belum dinikmati kaum perempuan yang berada di lapisan akar rumput. Sementara apa yang dilakukan figur-figur perempuan pelakon berbagai kasus hukum, menjadi contoh perbuatan yang tak termasuk dalam makna dan tujuan kesetaraan gender.

DALAM ruang peristiwa dan dimensi waktu yang sama, terjadi pula drama lain yang melibatkan kaum perempuan, namun dalam kaitan skala nasib yang berbeda samasekali. Tercekam kecemasan yang luar biasa, ratusan kaum ibu tampil menggalang tuntutan kepada Kepolisian di Bali agar segera mengatasi dan menangkap pelaku peristiwa perkosaan berantai terhadap anak-anak perempuan mereka yang masih di bawah umur (usia SD-SMP) dalam tiga bulan terakhir ini. Perempuan-perempuan yang umumnya dari kalangan menengah ke bawah ini, penuh kecemasan karena merasa melihat fakta betapa anak-anak mereka belum cukup terlindungi dari kejahatan seksual yang keji. Bila mereka berasal dari kalangan ekonomi atas, tentu persoalan akan lebih ringan, karena mereka bisa menyuruh sopir untuk mengantar-jemput anak-anak ke dan dari sekolah dengan mobil. Beberapa hari yang lalu, kita juga menyaksikan melalui tayangan televisi, kaum ibu yang larut dalam tangisan pilu karena kehilangan anak atau putera mereka dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok 14 April 2010.

Tetapi kedua peristiwa ini, hanyalah momen-momen insidental dalam kehidupan masyarakat, khususnya di kalangan kaum perempuan. Meskipun tak sedikit insiden datang beruntun mendera masyarakat, dengan lapisan akar rumput selalu sebagai penderita utamanya, semua itu bukanlah peristiwa keseharian yang menetap dalam kehidupan masyarakat bawah. Ada sejumlah hal mendasar berupa penderitaan yang melekat dalam kehidupan perempuan di lapisan akar rumput yang tak lain bersumber pada ketidaksetaraan gender, namun pada pihak lain ternyata kaum perempuan menyangga sebagian besar dari kehidupan bangsa ini.

Angka-angka di dunia kerja menunjukkan betapa kaum perempuan menjadi tulang punggung utama beberapa jenis industri dan sektor ekonomi formal maupun non-formal. Separuh beban ekonomi keluarga pun ada di pundak kaum perempuan. Namun merupakan fakta yang ironis bahwa tenaga kerja perempuan menderita diskriminasi dalam pengupahan dan hak-hak lainnya. Pekerja-pekerja perempuan juga kerapkali menjadi sasaran empuk pelecehan seksual dan bilamana mencari keadilan atas perlakuan buruk atas dirinya cenderung akan mengalami hambatan, apalagi pelecehan atau kekerasan seksual lebih ‘sulit’ pembuktiannya. Belum lagi masih kuatnya anggapan di kalangan kaum lelaki, bahwa perempuan memang adalah objek seks.

Sejumlah penafsiran dan pemahaman ajaran agama secara keliru, khususnya dalam Islam, harus diakui merupakan persoalan tersendiri bagi kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan. Poligami –seorang lelaki bisa beristeri sampai empat orang– menjadi sumber penderitaan lahir-batin bagi perempuan dan kehancuran psikologis anak-anak dalam keluarga poligamis itu. Tentu saja ada pengecualian, tetapi hanya sedikit. Syarat-syarat berat untuk bisa beristeri lebih dari satu, cenderung disiasati. Praktek ‘nikah siri’ dipilih sebagai jalan keluar oleh banyak kaum lelaki, agar bisa mengawini perempuan lain tanpa setahu isteri. Agama dimanfaatkan sebagai pembenaran, sambil beretorika lebih baik menikah siri daripada melakukan hubungan zina. Dengan pernikahan siri, kaum perempuan kehilangan banyak hak hukumnya, dan begitu pula anak yang menjadi hasil pernikahan. Beberapa tahun yang lalu seorang yang dianggap tokoh agama, menyiasati hubungan asmara sesaatnya dengan seorang perempuan melalui nikah atau kawin mu’thah. Selesai melakukan hubungan seksual, dilakukan ritual perceraian.

Di manakah gerangan para cendekiawan Islam berada dan di mana mereka akan menempatkan diri dalam pencerahan kehidupan beragama, baik dalam kesetaraan gender maupun dalam kesetaraan kemanusiaan lainnya? Saatnya para cendekiawan Islam tampil menggantikan peran sejumlah pemuka yang punya kelemahan kompetensi dalam membawa umat ke dalam pencerahan beragama. Islam telah hadir tak kurang dari tujuh ratus tahun lamanya dalam suatu situasi pasang surut. Perlu menunggu berapa abad lagi?

Pada masa sebelum reformasi, Undang-undang Perkawinan dijalankan cukup ketat, walau banyak juga tipu daya penelikungan. Pemerintahan Soeharto –suka atau tidak suka terhadap ketokohan Soeharto– memberlakukan dengan cukup ketat suatu peraturan pemerintah yang melarang seorang pejabat atau pegawai negeri untuk beristeri lebih dari satu. Pelanggaran mengakibatkan sanksi berat, terutama dalam karir. Tetapi pada masa reformasi, peraturan pemerintah itu melenyap. Seorang Wakil Presiden beristeri sampai empat, menggunakan secara optimal hak prerogatifnya sebagai lelaki. Dengan cepat sejumlah menteri dan tokoh pemerintahan lainnya ‘meniru’ dengan senang hati, beristeri lebih dari satu. Terjadi beberapa tragedi rumah tangga. Beberapa isteri melakukan ‘perlawanan’ tapi terkalahkan. Yang lain terpaksa ‘menerima’ karena posisi yang lebih lemah. Seikhlas-ikhlas seorang perempuan untuk diduakan, tetap akan ada luka dalam sanubari.

Beberapa sistem nilai yang dianut dalam masyarakat, terutama di kalangan bawah, menempatkan wanita sebagai ‘bawahan’ kaum lelaki sebagai pemegang hegemoni dalam hubungan gender. Dan pemerintah yang mempunyai tugas mencerdaskan bangsa, nyaris tak pernah ditemukan jejak tangannya dalam suatu proses pencerahan. Sistem nilai seperti ini, ditambah anggapan bahwa secara fisik lelaki adalah lebih kuat, menyebabkan mudahnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Banyak kaum lelaki dalam sistem nilai itu merasa mempunyai hak melekat untuk ‘menghukum’ isteri secara fisik maupun dengan kata-kata, bilamana sang isteri dianggap tidak patuh. Sungguh mencegangkan bagaimana dalam banyak keluarga, anak lelaki lebih diutamakan diberi kesempatan dalam pendidikan daripada anak perempuan. Sama dengan fakta ketidaksetaraan yang seratus tahun lebih di masa lampau menyebabkan kegundahan hati R.A. Kartini melakukan upaya agar ‘habis gelap terbitlah terang’. Agaknya kesetaraan gender masih merupakan fatamorgana bagi mayoritas perempuan Indonesia, terutama di lapisan akar rumput.

AKAR dari kebekuan pencerahan sistem nilai antara lain terletak pada sejumlah fakta kegagalan demi kegagalan para pemerintah dan para pemegang kekuasaan lainnya di masyarakat. Baik dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, maupun dalam penciptaan kehidupan sosial-ekonomi dengan kelayakan minimal untuk memutus belitan kemiskinan dan kebodohan yang merupakan sumber kekufuran. Dalam belitan kemiskinan dan kebodohan yang menciptakan ketidakpastian hidup, kekerasan mudah terpicu. Baik kekerasan secara vertikal (internal, kepada isteri dan anak dalam bentuk KDRT, dan secara eksternal bisa mewujud sebagai perlawanan terhadap establishment) maupun secara horizontal terhadap sesama anggota masyarakat. Menurut catatan sejarah hingga sejauh ini, belum pernah ada pemerintah di republik ini yang terbukti betul-betul bersungguh-sungguh menangani pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Orientasi para pemegang kendali pemerintahan selama ini masih selalu kepada aspek kekuasaan demi kekuasaan, dan demi kelanggengan kekuasaan, sebagaimana salah satu ajaran Macchiaveli, jangan pernah betul-betul membuat rakyat pintar. Apa pilihan sikap kita? Jangan biarkan, perbaiki? Atau lanjutkan?

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (4)

“Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12 Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno”.

Pintu menuju kekuasaan baru

BUTIR-BUTIR yang terkandung dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Soekarno kepada Jenderal Soeharto, untuk sebagian adalah butir-butir ‘karet’ yang bisa serba tafsir, baik bagi Soekarno maupun bagi Soeharto. Akhirnya, siapa yang lebih memiliki kekuatan akan menang dalam penafsiran. Bilamana Soekarno masih memiliki kekuatan lebih, maka Jenderal Soeharto sebagai pemegang Surat Perintah tersebut, akan menjadi alat keamanan belaka bagi Soekarno. Dan pada waktunya, pasti akan dicabut. Tetapi faktanya, saat itu kekuatan Soekarno sedang mengalami erosi, meski belum longsor sama sekali. PKI yang menjadi pendukung dan sekutu taktisnya untuk seberapa lama, sedang mengalami proses pembasmian serentak di seluruh penjuru Indonesia, setelah teropinikan sebagai pelaku makar dan pelaku kekejaman –membunuh enam jenderal dan seorang perwira pertama di Jakarta ditambah dua perwira menengah di Yogyakarta– melalui Gerakan 30 September. Sedang Soekarno sendiri tampaknya bersikeras untuk tidak membubarkan PKI, dan memilih menentang arus utama opini kala itu.

Sementara itu, PNI yang semestinya menjadi sumber dukungan strategis bagi Soekarno, setelah peristiwa ikut mengalami imbas karena dalam opini masa lampau tergambarkan sebagai partner PKI dalam struktur Nasakom. Apalagi, Sekertaris Jenderal PNI Ir Surachman diindikasikan sebagai berideologi kiri. Selain itu, secara faktual, sejak lama internal PNI juga tidak utuh, dan segera setelah Peristiwa 30 September, sayap ini ‘melepaskan’ diri sebagai PNI Osa-Usep. Pemisahan diri ini menyebabkan pembelahan kekuatan PNI secara nasional, termasuk di tingkat organisasi sayap.

Meskipun sebagian pengikut PNI Osa-Usep masih mendukung Soekarno, tetapi tak kurang pula yang berangsur-angsur berubah menjadi penentang Soekarno. Tokoh GMNI Jawa Barat, Sjukri Suaidi misalnya, yang tergabung dalam kesatuan aksi bahkan sampai kepada pernyataan meragukan kepantasan Soekarno untuk tetap dianggap sebagai Bapak Marhaen. Sementara itu tokoh GMNI yang lain, mahasiswa ITB Siswono Judohusodo yang pertengahan Januari ikut dalam Barisan Soekarno, tersudut ke dalam suatu posisi dilematis. Kendati ia adalah pemuja Soekarno, pada dasarnya sebagai mahasiswa yang rasional ia juga bisa membenarkan pendapat rekan-rekannya sesama mahasiswa ITB bahwa Soekarno yang telah terlalu lama berkuasa dan pada masa-masa terakhir kekuasaannya kala itu telah tergelincir melakukan sejumlah kekeliruan politik, sudah saatnya untuk diakhiri kekuasaannya.

Menurut Siswono, mengenai Soekarno ada tiga kelompok sikap. Yang pertama, apapun, pokoknya Bung Karno tak boleh diapa-apakan. Yang kedua, adalah sebaliknya, Soekarno memang harus mendapat pelajaran dan harus diganti dan tidak perlu dengan cara terhormat. Yang ketiga, memang sudah saatnya Soekarno diganti, tetapi hendaknya dengan cara yang terhormat, tanpa merendahkannya. Siswono masuk ke dalam kelompok ketiga ini. Ia tidak setuju dengan yang pertama, sebagaimana ia menolak sikap kelompok kedua yang telah merendahkan Soekarno. “Apakah orang yang berjasa seperti itu dianggap sebagai maling yang bisa ditendang begitu saja?”. Karena mayoritas mahasiswa Bandung secara dini merupakan barisan anti Soekarno, maka Siswono dianggap berada di ‘seberang’, meskipun ia pernah dalam kebersamaan pada Peristiwa 10 Mei 1963. Apalagi kemudian ia bergabung dengan barisan Soekarno, dan melakukan pendudukan kampus ITB di bulan Pebruari sewaktu mahasiswa ITB baru saja memulai suatu long march ke Jakarta. Ia mengaku menduduki kampus agar long march batal. Karena, ”long march itu akan berdampak terjadinya benturan luar biasa”. Ia kuatir mahasiswa-mahasiswa itu akan berhadapan dengan pendukung-pendukung Soekarno yang tidak ingin Soekarno diturunkan, apalagi dengan cara tidak terhormat. Keterlibatannya dalam pendudukan kampus ITB, membuat Siswono ditangkap oleh Siliwangi pada bulan Maret dan ditahan sampai April. Tentang Barisan Soekarno yang terlibat dalam tindak kekerasan dalam Peristiwa 19 Agustus 1966, ia memberi penjelasan, “itu tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya pimpin”. Ia mengaku, “saya sendiri tidak tahu dari mana orang-orang yang banyak itu”.

Sementara itu adalah ironis pula bahwa tatkala di berbagai daerah PNI menjadi tumbal yang berpasangan dengan PKI dan di daerah lainnya lagi bahkan menjadi tumbal pengganti bagi PKI, justru di daerah basisnya di Jawa Tengah dan juga Jawa Timur serta Bali, PNI mengalami benturan dengan massa PKI dalam pola pilihan ‘lebih dulu membantai atau dibantai’. Dengan aneka ragam sikap dalam tubuh PNI, serta aneka masalah yang dihadapi lapisan massa PNI, sebagai resultante tercipta PNI yang tidak siap menjadi pendukung handal bagi Soekarno untuk saat itu, dalam artian hanya cukup untuk keperluan defensif.

Situasi terberat yang dihadapi Soekarno kala itu adalah bahwa ia sebenarnya mulai ‘tersisih’ –setidaknya berkemungkinan untuk itu– dari arus utama opini dan pengharapan rakyat yang telah melangkah ke tahap memikirkan suatu perubahan, dan tinggal memiliki sisa-sisa penghormatan berdasar paternalisme dari sebagian rakyat. Kaum elite Jakarta –yang pada hakekatnya banyak menyerap referensi pemikiran dan gaya kehidupan barat yang modern– misalnya, di bawah permukaan sejak lama telah merasa terganggu kebebasannya oleh Soekarno yang melakukan serba pembatasan. Mulai dari pelarangan film-film barat, dansa barat jenis baru sampai kepada permusuhan terhadap musik yang disebutnya sebagai ngakngikngok –terutama The Beatles dari Inggeris dan Koes Bersaudara– padahal musik-musik dinamis itu memikat hati kaum muda terutama dari kalangan elite yang sebenarnya lebih nyaman dan terbiasa dengan hal-hal yang berbau barat. Soekarno juga merampas kebebasan pilihan cara berpakaian dan bersikap, dengan intervensi untuk mengatur soal  pakaian dan cara bersikap lainnya yang harus “sesuai dengan kepribadian nasional”.

Sementara itu, perlahan namun pasti, kalangan rakyat di lapisan akar rumput, mulai jenuh akan kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan dan mengalami pengikisan rasa percaya kepada pemerintahan Soekarno kendati masih mendua karena masih terdapatnya sisa rasa ‘pemujaan’ mereka terhadap Soekarno. Selain Soekarno, tentu saja PKI dengan segala provokasi anti barat dan anti kebebasan perorangan, menjadi sasaran kebencian terpendam dan atau sasaran pantul dari mereka yang masih mendua terhadap Soekarno, seperti misalnya yang banyak terjadi di kalangan elite pengikut PNI. Tapi dalam banyak kasus, PNI sendiri justru juga mengalami bias kebencian itu. Ini menjelaskan, kenapa seruan Soekarno untuk membentuk Barisan Soekarno dalam realitanya hanya mampu menimbulkan riak-riak kecil perlawanan untuk pembelaan Soekarno, namun tak pernah mencapai tingkat yang signifikan untuk membalikkan posisi Soekarno yang melemah.

Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Sejak gerak cepatnya berhasil membersihkan Jakarta dari Gerakan 30 September, Soeharto telah tampil di mata mahasiswa, pelajar, pemuda dan rakyat pada umumnya sebagai pahlawan penyelamat. Dan dalam tempo yang cukup cepat dan sistimatis mematahkan mitos kekuasaan Soekarno. Kini dengan pelimpahan surat perintah tanggal 11 Maret itu dari Soekarno, ia melangkah setapak lagi lebih ke depan ke dalam kekuasaan negara, dan mengawali kelahiran mitos baru sebagai pahlawan yang dengan kesaktian Pancasila telah menyelamatkan bangsa dan negara dari malapetaka bahaya komunis. Dengan posisi dan situasi baru di atas angin, penafsirannya terhadap butir-butir Surat Perintah 11 Maret itu, lebih unggul. Meskipun dalam setiap kesempatan formal Soekarno masih selalu menolak pembubaran PKI, Soeharto toh melakukannya melalui suatu surat keputusan selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Konsep surat keputusan pembubaran itu, disusun oleh Kolonel Sudharmono SH dan Letnan Drs Moerdiono berdasarkan perintah Soeharto melalui Ketua G-5 KOTI Brigjen Soetjipto.

Cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti setelah beberapa menteri dalam kabinetnya, terutama Soebandrio, mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan complain. Suatu kemarahan yang mungkin saja artifisial, lalu ditunjukkan oleh Soekarno. Menurut penuturan Sajidiman Surjohadiprodjo yang waktu itu adalah perwira staf di Markas Besar Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel, Soekarno menganggap Soeharto telah melampaui wewenang. Itu dinyatakannya kepada Amirmahmud, salah seorang perwira tinggi yang menjemput Surat Perintah 11 Maret di Istana Bogor dua hari sebelumnya. Panglima Kodam Jaya ini menjawab bahwa sesuai surat perintah itu, Soeharto memang berhak bertindak untuk dan atas nama Presiden Soekarno, sepanjang hal itu perlu menjamin keamanan dan menjaga kewibawaan presiden. Namun, tulis Sajidiman, “Presiden Soekarno tidak dapat menerima argumentasi itu dan memanggil panglima angkatan lainnya”.

Digambarkan adanya peranan Soebandrio untuk menimbulkan kegusaran Soekarno, dengan menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI-AD bermaksud akan menyerang Istana Presiden. “Karena informasi itu, angkatan-angkatan lainnya mengadakan konsinyering pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, karena setiap saat dapat terjadi pertempuran antara TNI-AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, kemudian Jenderal AH Nasution berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu, tetapi wibawanya masih cukup besar untuk membuat ketiga panglima bersedia hadir. Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa samasekali tidak ada rencana TNI-AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim. Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan karena melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya.

Setelah semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar”. Soeharto sendiri mengakui bahwa sekitar waktu itu, “sudah ada yang berbisik-bisik pada saya, untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan. Tetapi tidak pernah terlintas satu kalipun di benak saya untuk melakukannya”.  Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12 Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno.

Berlanjut ke Bagian 5

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (3)

“Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar”.

Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang yang dianggap pendukung utama Presiden Soekarno di daerah itu dan mempunyai kedekatan dengan PKI– sesuai ‘perintah’ Soekarno, PKI mendapat keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI. Dalam suasana Nasakomisasi itu, banyak tindakan-tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula terjadi setelah Brigjen Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD, digantikan sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan adalah menarik, meskipun secara horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan Cina, selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam beberapa kasus lainnya terjadi pula persaingan kepentingan ekonomi dan politik yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.

PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin punya kedekatan khusus dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, setelah Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’ sebenarnya dari mereka yang ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah tangkap.

Menurut Soe Hok-gie, pemicu kekerasan yang kemudian terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan  bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. “Selama tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian”. Dengan perkiraan yang paling konservatif, menurut Soe Hok-gie, “paling tidak 80.000 orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria dan wanita. Soe Hok-gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung berdasarkan suatu spontaniteit –istilah bahasa Belanda untuk spontanitas– melainkan terutama karena hasutan tokoh-tokoh PNI.

Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali. Pertama, karena memang adanya faktor dendam akibat akumulasi perlakuan massa PKI sebelumnya kepada orang-orang PNI di pedesaan-pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru muncul setelah beberapa tokoh PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya dengan PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI. Seorang pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi gila karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan bisnisnya yang bernama Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh karena ia bersekutu dengan Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.

Selain pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara wanita korbannya mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yakni 3 tahun penjara. Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya, pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar rumput PKI, dan justru banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.

Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera Utara juga termasuk menonjol meskipun tidak terlalu massive seperti di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Tetapi penggambaran bahwa pada masa-masa di bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan mayat, bukanlah deskripsi yang terlalu berlebih-lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif, tak kalah dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban jiwa seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah ini. Dalam periode Nasakom, PKI unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta api. PKI juga memiliki suratkabar yakni Harian Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat nasional berasal dari daerah ini.

Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah ini adalah Pemuda Pantjasila, dan mereka lah paling gencar menggempur PKI pasca Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal, karena organisasi kepemudaan ini memperoleh informasi cepat dari Jakarta mengenai gambaran situasi sebenarnya melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa yang menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu ‘kemarahan’ mereka, karena Jenderal Nasution adalah tokoh yang mendirikan IPKI. Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini, khususnya di perkebunan-perkebunan adalah Soksi. Organisasi sayap Soksi di dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup banyak anggotanya akhirnya juga cukup berperan dalam gerakan pembasmian PKI di Sumatera Utara. Salah satu tokohnya di Sumatera Utara adalah Bomer Pasaribu yang cukup berperan dalam kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional.

PKI, PNI dan peran para bangsawan di Sulawesi Selatan. Suatu keadaan yang agak terbalik dari Jawa Tengah terjadi di Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi Selatan amat menonjol. Dan inilah yang kemudian menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh-tokoh PKI di wilayah ini cukup vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau Jawa yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa dikatakan ‘moderat’. Aksi-aksi sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan melalui pernyataan-pernyataan. Kalau pun pernah terjadi aksi sepihak, itu hanya terjadi di Tanah Toraja. Anggota-anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat tak pernah melakukan tindakan kekerasan berdarah-darah seperti yang dilakukan misalnya di Bandar Betsi Sumatera Utara, serta tidak melakukan gerakan perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih bergeraknya DI-TII di wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama karena kehadiran DI-TII di wilayah-wilayah luar perkotaan itu. Dengan demikian, PKI Sulawesi Selatan sebenarnya terhindar dari melakukan tindakan-tindakan mengakumulasi dendam seperti yang dilakukan PKI di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka adalah menarik bahwa bila kemudian terjadi tindakan ‘balas dendam’ yang cukup kejam di daerah ini, seperti misalnya yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf.

Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian. Begitu pula misalnya tokoh-tokoh organisasi mantelnya, seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI misalnya, tak banyak tokohnya yang menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan cenderung tak dikenal. Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti misalnya Mochtar dan Nurul Muhlisa. Tapi salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa, yakni Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, karena selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering berbicara dalam berbagai kesempatan mengenai komunisme. Ia selalu memuji-muji PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner, termasuk dalam memberikan kuliah. Maka, ketika keadaan berbalik setelah patahnya Gerakan 30 September 1965, dan nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non komunis.

Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan kawan-kawan, menyeret paksa sang professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu digiring ke tempat lain. Menurut seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan (militer). Setelah itu, orang tak pernah melihatnya lagi. Ada yang mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh kilometer ke arah Tenggara kota Makassar, lalu dihabisi di sana. Tetapi seorang aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep, memperkirakan bahwa nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya adalah biasa saja, tidak karena suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng yang sehari-harinya sebenarnya tidak bersikap ‘ganas’ sebagai anggota HSI yang partainya sedang naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi, sebagaimana yang banyak beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi ‘kesempatan’ untuk meninggalkan Makassar. Putera-puterinya –hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah– yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa ikut mendapat getahnya, padahal sehari-harinya mereka tak pernah tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus pula ‘meninggalkan’ kota Makassar entah ke mana.

Berlanjut ke Bagian 4

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (1)

“Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia”. Sebuah peristiwa yang merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”.

LUMURAN darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan waktu kehadiran sepanjang perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara ini, tak terkecuali pada masa Indonesia merdeka dalam sejarah Indonesia modern. Tepat pada tahun keduapuluh Indonesia merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh Gerakan 30 September, yang terutama terkait dengan sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa-sisa kebencian yang belum sepenuhnya pupus hingga kini.

Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari suatu rangkaian pertarungan politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar dari masa sebelum Indonesia merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan politik sipil ideologis dan ‘kekuatan politik’ angkatan bersenjata. Melibatkan demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing-masing yang tak lain bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung-petarung dalam perebutan kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang salah, menjadi masalah sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dulu, namun pada saat sang pemenang surut karena waktu, maupun kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh momentum untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri.

Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin akan lebih bermakna, sepanjang mereka berkesempatan mendapat dan menggali informasi jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun. Tanpa dendam karena pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal karena pertalian darah dan pertalian kepentingan yang diwariskan.

Terlepas dari apapun penyebabnya dan siapa pelakunya, peristiwa berdarah yang terjadi lebih dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia merdeka. Melihat kualitas peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan –yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua perwira menengah di Jawa Tengah– bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai lembaran paling hitam sejarah Indonesia hingga sejauh ini. Apalagi, setelah pembunuhan keji itu terjadi,  menyusul pula rentetan pembunuhan massal –siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama apapun– terhadap sejumlah orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih.

Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu, ada apa dengan bangsa ini sebenarnya? Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam suatu pikiran jernih yang dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda di Bandung hanya tiga tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Mewakili jalan pikiran sejumlah intelektual muda kala itu, media itu mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini?

Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media generasi muda 1966 merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”. Sebuah peristiwa yang merupakan resultante dari kontradiksi-kontradiksi yang terdapat secara objektif dalam masyarakat kala itu, yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke masa-masa berikutnya, hingga kini. Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam lontaran pemikiran tersebut, kontradiksi-kontradiksi masih melekat di tulang sumsum masyarakat Indonesia, yang berakar dari sejumlah faktor disintegrasi yang belum juga tersembuhkan.

Setelah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah dalam Peristiwa 30 September 1965, terjadi gelombang pembalasan. Di mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan pembakaran Universitas Res Publica (belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti), sepanjang Oktober hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap kantor-kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi kiri lainnya. Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, tetapi juga menjalar ke kota-kota lainnya seperti Medan sampai Makassar. Aksi di kota-kota besar itu umumnya, hanya menyangkut asset, terutama kantor-kantor milik organisasi kiri, dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia. Kalau pun ada tindakan terhadap anggota-anggota organisasi kiri, adalah sebatas ‘meringkus’ untuk selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat.

Ketika para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi penyerbuan itu, Angkatan Darat, berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri kesibukannya, melakukan pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh-tokoh organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. Menurut Soeripto SH, aktivis mahasiswa tahun 1960-an, “Setahu saya, Soeharto waktu itu memberi perintah, semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh”. Kebetulan politbiro PKI ketika itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah pula sebabnya banyak tokoh PKI yang merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh-tokoh PKI terutama dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah komando dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung dan tidak pernah menegur.

Fase berdarah babak kedua

RPKAD yang telah merampungkan tugas di Jakarta, mendapat tugas lanjutan untuk melakukan penyisiran untuk menangkap tokoh-tokoh PKI dan organisasi onderbouwnya terutama  di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu kemudian di Bali. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula satu gelombang pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah. Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis.

Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka sosiologis yang terjadi, gelombang pembalasan yang paling parah di Pulau Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dan juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasi-organisasi massa yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI merupakan partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama adalah Pemuda Marhaenis, dan mendapat bantuan dari pemuda-pemuda Islam seperti dari Barisan Ansor Serbaguna. Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis versus kelompok non komunis, kekuatan utama non komunis adalah massa NU, terutama dari Banser, yang di beberapa tempat seperti Banyuwangi didukung oleh Pemuda Marhaenis.

Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang terjadi terutama antara PKI dan PNI, mulai dari posisi-posisi di badan-badan perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan. Menurut tokoh GMNI Siswono Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani menghadapi aksi-aksi keras PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan kalangan dunia usaha di Jawa Tengah pada umumnya adalah pendukung-pendukung PNI, sementara para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang lebih miskin, pada umumnya adalah pengikut-pengikut PKI. Ketika BTI melakukan aksi-aksi sepihak dalam rangka UUPA terhadap tanah-tanah yang dianggap milik para tuan tanah dan para petani kaya, yang terkena pada umumnya adalah pengikut-pengikut PNI. Dan sewaktu SOBSI tak henti-hentinya menjalankan aksi-aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok ‘majikan’ yang umumnya adalah warga PNI.

Tokoh-tokoh PNI, seperti misalnya Hardi SH pernah mengadu langsung tentang sikap provokatif dan agresif massa PKI terhadap PNI dan kepentingan-kepentingannya di Jawa Tengah, tetapi Soekarno selalu balik mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam Nasakom. PKI Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan telah melakukan serangan-serangan politik kepada PNI. PKI juga berkali-kali melakukan serangan-serangan politik yang menggoyang para bupati yang kebetulan adalah dari kalangan simpatisan PNI. Sikap tanpa tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun telah mengakumulasi kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput hingga ke elit PNI di daerah tersebut. Hal lain yang menjadi fenomena menarik di Jawa Tengah ini adalah bahwa di beberapa daerah, banyak kalangan tentara dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama dan dalam banyak peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi-organisasi mantelnya seperti BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah perwira berhaluan komunis pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk seberapa lama.

Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964, sebagaimana dilaporkan oleh sebuah tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan Pertahanan Rakyat) terlibat melakukan tugas pengawalan tatkala BTI membantu seorang petani menggarap kembali sawahnya yang pernah dijualnya –dan bahkan sudah dikalahkan di pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan kata-kata “Teruslah kalian mengerjakan sawah. Kalau ada orang PNI datang biar saya tembak mereka”. Banyak Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan Kodim-nya adalah perwira berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora melakukan pelatihan-pelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis sehingga tak mungkin ada yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan. Beberapa desa memiliki persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah menjalani latihan militer.

Berlanjut ke Bagian 2

Dalam Kancah Politik Kekerasan (1)

-Rum Aly*

“Bakunin yang dianggap Marx sebagai maniak gila, mengajarkan kekerasan yang ekstrim sebagai alat utama kaum revolusioner, ……”. “Apakah PKI, ….. akan menampilkan fenomena yang sama dalam sejarah Indonesia?”

SETIAP orang mungkin saja mengalami persentuhan sosial dan persentuhan politik yang berbeda-beda dengan PKI maupun dengan komunisme, tetapi berapapun kadarnya, merupakan fenomena di tahun 1960-1965 bahwa bagi mereka yang berada di luar pagar pengaruh ideologi itu, penampilan PKI cenderung mencemaskan bahkan menakutkan. Apalagi bila bercampur dengan pengetahuan mengenai situasi dunia yang kala itu dilanda suasana perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. Kisah-kisah kekerasan Stalin di Rusia dalam menegakkan kekuasaan komunis secara totaliter di Rusia kemudian Eropah Timur ataupun pembunuhan-pembunuhan massal yang dilakukan Partai Komunis Cina di bawah Mao Zedong (dulu ditulis: Mao Tse-tung) dalam perebutan pengaruh dan kekuasaan di daratan Cina, menambah rasa takut itu. Apakah PKI, setelah keterlibatan mereka dalam pemberontakan berdarah di Madiun 1948, akan menampilkan fenomena yang sama dalam sejarah Indonesia?

Namun, jangankan bagi mereka yang di luar pagar, kecemasan atau rasa was-was bahkan bisa menghinggapi mereka yang ada di dalam pagar. Seorang pekerja yang menjadi anggota SOBSI di suatu propinsi luar Jawa di Indonesia Timur, Daeng Sila, pertengahan tahun 1965 pernah mengeluhkan perilaku yang terlalu revolusioner dari teman-teman separtainya di pulau Jawa. Salah satu keluhan yang dilontarkan anggota serikat buruh onderbouw PKI ini –yang di sore hari menjadi guru mengaji bagi anak-anak di sekitar rumahnya– adalah sikap PKI di pulau Jawa, yang menunjukkan permusuhan terhadap agama atau kaum beragama, selain berbagai tindak kekerasan lainnya sebagaimana yang terdengar melalui berita radio atau terbaca di suratkabar. Secara umum, sikap para pendukung PKI di propinsi itu sendiri, hingga tahun 1965, sebenarnya memang tidak seradikal, segarang dan seprovokatif dengan yang di Jawa atau beberapa propinsi lain seperti di Sumatera Utara atau Kalimantan Timur.

PKI di propinsi Indonesia Timur itu, Sulawesi Selatan –tempat kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf dan Muhammad Jusuf Kalla– terlibat dalam persaingan politik sehari-hari yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Tokoh-tokohnya pada umumnya memiliki kehidupan ekonomi yang bersahaja untuk tidak mengatakannya berada dalam tingkat kemiskinan yang ‘mengibakan’ hati –hidup dalam gubug tanpa perabot yang layak– dibandingkan dengan tokoh-tokoh partai lainnya. Berbeda dengan PNI misalnya yang pendukungnya adalah dari kalangan menengah, kaum bangsawan dan kaum elite di daerah itu. Begitu mengibakan hati, sehingga setelah Peristiwa 30 September 1965, tatkala terjadi aksi penyerbuan ke kantor-kantor PKI dan onderbouw-onderbouwnya serta rumah-rumah para tokohnya di Makassar, ada seorang mahasiswa aktivis dari Universitas Hasanuddin yang kemudian mengakui tidak tega dan hanya melihat dari kejauhan sewaktu menemukan rumah yang akan ‘diserbu’ itu hanyalah gubug reyot yang tanpa didobrakpun mungkin tak lama lagi akan rubuh.

Di propinsi ini, selain beberapa peristiwa berdarah di Tana Toraja, relatif tak tercatat aksi-aksi radikal dan kekerasan lainnya dari PKI yang berkadar tinggi seperti umpamanya yang terjadi di Bandar Betsi Sumatera Utara, di Buleleng Bali atau Peristiwa Jengkol dan Peristiwa Kanigoro di Kediri, Jawa Timur. Bagi Sulawesi Selatan yang bergolak sejak tahun 1950 hingga 1965, kekerasan penuh darah oleh DI-TII di satu pihak dan tentara di pihak yang lain dengan rakyat terjepit di tengah-tengahnya, bahkan lebih dominan mengisi ingatan setiap orang sebagai kenangan getir –seperti halnya pembunuhan massal atas ribuan rakyat oleh Kapten Raymond Westerling, perwira peranakan Belanda-Turki, dalam Peristiwa 11 Desember 1946. Sebagaimana pula ingatan lebih terisi oleh peristiwa penyerbuan tanpa belas kasihan terhadap rumah-rumah tokoh PNI Sulawesi Selatan –yang untuk sebagian besar adalah pengikut Hardi dan kawan-kawan yang berseberangan dengan Ali-Surachman– dan peristiwa rasial terhadap etnis Cina, tak lama setelah Peristiwa 30 September 1965, meski warga ‘keturunan’ ini tidak punya keterlibatan apapun terhadap peristiwa politik tersebut. Sungguh ironis bahwa aksi menghancurkan kehidupan orang lain itu, yang menumpas sampai garam-garam di dapur, terutama dilakukan justru oleh massa organisasi-organisasi ekstra mahasiswa dan pelajar yang baru saja lepas dari gelombang penganiayaan politik PKI di Pulau Jawa. Dan celakanya lagi, salah sasaran pembalasan.

Catatan di atas, mungkin merupakan satu kesaksian tentang ‘kebersahajaan’ hidup, kadar keterlibatan maupun posisi minor tokoh-tokoh komunis di daerah itu dalam pergolakan politik hingga tahun 1965. Mungkin esensinya tak berbeda jauh dengan semacam kesaksian, yang juga pernah dinyatakan oleh Soe Hok-gie almarhum yang mengaku sempat kagum terhadap idiom-idiom keadilan dan kemiskinan rakyat yang dilontarkan dan diperjuangkan PKI. Namun kesaksian untuk propinsi di wilayah Timur ini, samasekali tak berlaku untuk Pulau Jawa, karena dalam ruang waktu yang sama, sikap radikal, keras dan provokatif yang ditunjukkan dan dilahirkan dalam berbagai bentuk penganiayaan dan kekerasan politik di Pulau Jawa, telah mewakili citra PKI sebagai partai garang secara nasional dan mengakumulasi ketakutan sekaligus kebencian yang berlaku secara nasional pula. Dan dalam suatu arus balik, di bulan-bulan terakhir 1965, maka pembalasan pun berlangsung secara nasional, yang kedahsyatannya –terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan juga di Sumatera Utara– cenderung tak terbayangkan sebelumnya. Tapi terlepas dari itu, apa pun alasannya, situasi balas berbalas dalam kekerasan dan kekejaman adalah buruk. Katakanlah bahwa PKI di masa lampau menjalankan politik kekerasan dan kejahatan kemanusiaan, tetapi dalam sudut pandang kemanusiaan, bagaimanapun sebuah pembalasan massal dengan kekerasan berdarah dalam wujud kejahatan atas kemanusiaan yang menimpa mereka yang dikaitkan dengan PKI, tak dapat dibenarkan. Kenapa kejahatan harus dibalas dengan kejahatan?

Berakar pada suatu ideologi totaliter

Komunisme lahir sebagai salah satu dari tiga pecahan ideologi yang bersumber pada ajaran Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895). Dibandingkan dengan dua pecahan lain, yakni aliran sosial demokrat dan aliran demokratis sosialis, aliran komunis adalah yang paling keras, dalam artian tak memiliki samasekali aspek kompromi dan toleransi terhadap ajaran lain. Sebutan komunis sendiri sudah lebih dulu dikenal sejak Revolusi 1830 di Perancis, yaitu penamaan terhadap perkumpulan-perkumpulan rahasia kaum revolusioner, atau komune, yang kemudian juga punya pengertian kedua, yakni sebagai kepemilikan bersama.

Dalam bukunya, Das Kapital yang disusun berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan masyarakat industri yang pincang di London dan sekitarnya, Marx menyimpulkan keharusan penyingkiran bentuk masyarakat kapitalistik. Pada masa hidup Marx, kapitalisme di Eropah memang sedang berada pada titik puncak dalam menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan dalam masyarakat industri Eropah, saat kaum pekerja berada dalam penindasan ekonomi dengan keburukan yang tiada taranya sepanjang sejarah Eropah. Sehingga, Benyamin Disraeli menggambarkan Eropah memiliki hanya dua bangsa, yang hidup di dua kutub kehidupan yang amat berbeda, yakni kaum kaya yang memiliki dan menguasai segala-galanya di satu kutub dan kaum miskin yang hampir kehilangan segala-galanya pada kutub yang lain. Dalam Communist Manifesto yang dilontarkan Marx dan Engels 1848, disebutkan bahwa tujuan masyarakat adil hanya akan bisa dicapai dengan penyingkiran secara paksa seluruh tatanan sosial yang ada pada saat itu, dan dalam proses itu kaum proletar takkan kehilangan apapun kecuali belenggu mereka. Kaum proletar harus berjuang merebut seluruh dunia.

Komunisme di Rusia merupakan Marxisme yang mengalami pengembangan dan penajaman dalam aspek tertentu oleh Lenin –sehingga sering disebut Marxisme-Leninisme– yang kemudian mencapai bentuk paling ekstrim di tangan Joseph Stalin. Trotsky yang dianggap moderat dan lunak bahkan dicap reaksioner, disingkirkan. Dan dalam penerapannya di daratan Cina oleh Mao Zedong, komunisme mendapat bentuk yang tak kalah kerasnya. Dan seperti halnya dengan cara-cara Stalin dalam menegakkan kekuasaan komunisme di Rusia, komunis Cina di bawah Mao menghalalkan segala cara demi tujuan, tak terkecuali melakukan eliminasi atau pembunuhan-pembunuhan terhadap mereka yang menghalangi pencapaian tujuan itu.

Rusia yang bergolak karena kepincangan ekonomi yang membuat kaum pekerja hidup penuh kesengsaraan –seperti umumnya seluruh Eropah yang resah kala itu– merupakan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya komunisme. Ketika Revolusi 1905 pecah di Rusia, Lenin (1870-1924) sendiri sebenarnya cukup kaget dan tak pernah menduganya, dan ia memang tak berperanan dalam proses menuju revolusi saat itu. Proses menuju Revolusi 1905, lebih banyak terinspirasi dan terdorong oleh Mikhail Bakunin yang untuk sebagian sempat hidup sezaman dengan Karl Marx, maupun oleh gerakan politik yang dikenal sebagai Partai Revolusioner Sosialis yang samasekali tidak menganut Marxisme. Bakunin adalah seorang bangsawan Rusia yang membelot, keluar dari Pasukan Pengawal Tzar karena tidak menyetujui oktokrasi kekaisaran Rusia, dan terlibat beberapa pemberontakan melawan kekuasaan otokrasi di Eropah selain otokrasi Rusia sendiri sampai akhirnya di buang ke Siberia.

Tatkala Bakunin yang rontok seluruh gigi depannya di Siberia, berhasil lolos di tahun 1861, ia melarikan diri ke London. Lima tahun kemudian sempat bergabung dengan kelompok Marxis namun kerap terlibat pertentangan pendapat dengan Karl Marx, sehingga akhirnya keluar dari kelompok itu. Bakunin yang dianggap Marx sebagai maniak gila, mengajarkan kekerasan yang ekstrim sebagai alat utama kaum revolusioner, karena menurutnya kekerasan adalah alat kreatif yang ampuh. Pada tahun 1890 ia sudah memiliki ribuan pengikut dari kalangan bawah yang digambarkannya sebagai ‘primitif’ yang bagaikan bah lumpur akan menggempur dan menghancurkan musuh, yakni kaum burjuis. Sementara itu Partai Revolusioner Sosialis yang muncul tahun 1900, yang untuk sebagian terinspirasi oleh jalan anarki dan kekerasan ala Bakunin, memilih teror dan kekerasan sebagai senjata perjuangan. Sejumlah gubernur, menteri dan tokoh-tokoh kekuasaan Kekaisaran Rusia menjadi korban pembunuhan yang berpuncak pada pemboman yang menewaskan pemimpin pemerintahan dari wangsa Romanov, Sergius Alexandrovitch Romanov. Pelaku pembunuhan, seorang muda yang bernama Kaliayev, dengan lantang menyebutkan dirinya di depan pengadilan sebagai ‘tangan pembalasan dendam rakyat’.

Berlanjut ke Bagian 2