Tag Archives: Dr Sri Mulyani Indrawati

Perempuan Indonesia Dalam Fatamorgana Kesetaraan

“AKAR dari kebekuan pencerahan sistem nilai antara lain terletak pada sejumlah fakta kegagalan demi kegagalan para pemerintah dan para pemegang kekuasaan lainnya di masyarakat. Baik dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, maupun dalam penciptaan kehidupan sosial-ekonomi dengan kelayakan minimal untuk memutus belitan kemiskinan dan kebodohan yang merupakan sumber kekufuran”.

MENJELANG Hari Kartini 21 April ini, kaum perempuan muncul dalam sejumlah momen peristiwa dengan berbagai ragam nuansa dan konotasi. Belum lama berselang kita menyaksikan seorang tokoh perempuan yang kebetulan menjadi Menteri Keuangan, Dr Sri Mulyani Indrawati, harus tampil di ‘garis depan’ menghadapi gempuran politik yang gencar terkait skandal Bank Century. Puncaknya adalah ketika ia harus tampil ‘sendirian’ di forum Pansus DPR tentang Kasus Bank Century. Kasus ini sendiri, begitu menarik perhatian, bukan hanya karena melibatkan dana 6,7 trilyun rupiah, melainkan terutama karena adanya dugaan yang tersodor ke medan opini publik bahwa kasus ini adalah skandal dana politik yang melibatkan secara luas kalangan penguasa saat ini. Tegasnya, ada kecurigaan yang tertuju kepada tokoh kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (dan Dr Boediono) dan partai pemenang pemilu, Partai Demokrat.

Belum lagi masalah Bank Century tertuntaskan –namun teredam beritanya belakangan ini– muncul lagi skandal perpajakan yang melibatkan Gayus Tambunan dan merambatkan goncangan ke tubuh institusi perpajakan yang mau tak mau menyeret Departemen Keuangan. Sekali lagi, Sri Mulyani, tampil ke pentas dan menjadi pusat perhatian. Tindakan-tindakan cepat yang dilakukannya untuk melakukan pembersihan –meskipun masih harus ditunggu hingga sejauh mana nantinya– cukup diapresiasi oleh publik.

Sementara itu, pada satu-dua bulan terakhir, sejumlah figur perempuan tampil di pentas politik, siap bertarung dalam serangkaian pemilihan umum kepala daerah. Kali ini ada suatu nuansa yang berbeda, dengan aroma ‘wangi’ yang sedikit glamour. Ada nama dari kalangan artis atau selebritis yang tampil dalam arena persaingan memperebutkan jabatan politik itu, seperti Emilia Contessa, Julia Perez, Venna Melinda –yang juga adalah anggota DPR– hingga Eva Maria. Sebelumnya disebut-sebut pula nama Ayu Azhari, Inul Daratista dan lain-lain. Ada yang berlanjut ada yang terhenti atau mungkin akan terhenti. Eva Maria misalnya, mungkin akan terhenti karena orang mulai mengungkit kisah ‘video’nya dengan seorang anggota parlemen beberapa tahun lampau. Dalam gelanggang yang sama, sejumlah isteri bupati di berbagai daerah tampil mencalonkan diri untuk menjadi bupati/kepala daerah yang akan menggantikan posisi sang suami dalam konteks cikal bakal politik dinasti dalam dunia kekuasaan. Secara unik, dua isteri dari satu suami –seorang bupati incumbent– serentak tampil dan siap terjun ke kancah persaingan pemilihan kepala daerah itu untuk mengisi posisi yang akan ditinggalkan suami mereka. Adapula seorang isteri bupati tampil untuk bersaing melawan suaminya yang juga adalah bupati incumbent, terdorong rasa kesal terhadap sang suami yang mencopot dirinya dari jabatan Ketua Pembina PKK dengan segala fasilitasnya lalu mengalihkannya kepada isteri yang kedua.

Tak kalah dengan pentas politik, dalam sejumlah peristiwa hukum, muncul beberapa nama ‘tokoh’ perempuan. Ada Arthalyta Suryani, terhukum kasus suap jaksa Urip, yang berhasil mengatur kenyamanan dirinya di Lembaga Pemasyarakatan dan kemudian ‘beruntung’ mendapat pengurangan hukuman dari 5 tahun menjadi 4 tahun 6 bulan dalam proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Ada Miranda Goeltom yang harus bolak-balik ke KPK dan Pengadilan Tipikor sebagai saksi penyuapan terhadap sejumlah anggota DPR terkait pemilihan dirinya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Dalam kaitan kasus yang sama ada juga Nunun Nurbaeti isteri seorang mantan petinggi Polri, yang tak kunjung muncul di Persidangan Pengadilan Tipikor sebagai saksi, karena ‘mendadak’ menderita sejenis dementia –kehilangan daya ingat alias sakit lupa– dan harus sampai berobat ke Singapura. Padahal menurut dugaan sementara dalam kasus Miranda Goeltom, Nunun Nurbaeti lah sumber lembaran-lembaran travel cheque yang seluruhnya bernilai milyaran rupiah, yang dibagi-bagikan kepada sejumlah anggota DPR.

Para tokoh perempuan dalam catatan peristiwa di atas, bukan lagi jenis perempuan Jawa (Indonesia) yang keterbelakangan nasibnya dicemaskan R.A. Kartini (1879-1905) seabad yang lampau. Bukan perempuan yang masih berjuang atau perlu diperjuangkan nasibnya agar masuk ke dalam lingkup kesetaraan gender. Sebagian besar dari mereka sudah sejak lama berada dalam posisi kesetaraan gender, bahkan mungkin lebih dari sekedar kesetaraan. Perempuan-perempuan seperti Dr Sri Mulyani atau perempuan-perempuan anggota parlemen maupun yang telah dan akan menjadi kepala daerah, semestinya justru adalah tokoh-tokoh perempuan yang bisa lebih memperkokoh kesetaraan gender yang belum dinikmati kaum perempuan yang berada di lapisan akar rumput. Sementara apa yang dilakukan figur-figur perempuan pelakon berbagai kasus hukum, menjadi contoh perbuatan yang tak termasuk dalam makna dan tujuan kesetaraan gender.

DALAM ruang peristiwa dan dimensi waktu yang sama, terjadi pula drama lain yang melibatkan kaum perempuan, namun dalam kaitan skala nasib yang berbeda samasekali. Tercekam kecemasan yang luar biasa, ratusan kaum ibu tampil menggalang tuntutan kepada Kepolisian di Bali agar segera mengatasi dan menangkap pelaku peristiwa perkosaan berantai terhadap anak-anak perempuan mereka yang masih di bawah umur (usia SD-SMP) dalam tiga bulan terakhir ini. Perempuan-perempuan yang umumnya dari kalangan menengah ke bawah ini, penuh kecemasan karena merasa melihat fakta betapa anak-anak mereka belum cukup terlindungi dari kejahatan seksual yang keji. Bila mereka berasal dari kalangan ekonomi atas, tentu persoalan akan lebih ringan, karena mereka bisa menyuruh sopir untuk mengantar-jemput anak-anak ke dan dari sekolah dengan mobil. Beberapa hari yang lalu, kita juga menyaksikan melalui tayangan televisi, kaum ibu yang larut dalam tangisan pilu karena kehilangan anak atau putera mereka dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok 14 April 2010.

Tetapi kedua peristiwa ini, hanyalah momen-momen insidental dalam kehidupan masyarakat, khususnya di kalangan kaum perempuan. Meskipun tak sedikit insiden datang beruntun mendera masyarakat, dengan lapisan akar rumput selalu sebagai penderita utamanya, semua itu bukanlah peristiwa keseharian yang menetap dalam kehidupan masyarakat bawah. Ada sejumlah hal mendasar berupa penderitaan yang melekat dalam kehidupan perempuan di lapisan akar rumput yang tak lain bersumber pada ketidaksetaraan gender, namun pada pihak lain ternyata kaum perempuan menyangga sebagian besar dari kehidupan bangsa ini.

Angka-angka di dunia kerja menunjukkan betapa kaum perempuan menjadi tulang punggung utama beberapa jenis industri dan sektor ekonomi formal maupun non-formal. Separuh beban ekonomi keluarga pun ada di pundak kaum perempuan. Namun merupakan fakta yang ironis bahwa tenaga kerja perempuan menderita diskriminasi dalam pengupahan dan hak-hak lainnya. Pekerja-pekerja perempuan juga kerapkali menjadi sasaran empuk pelecehan seksual dan bilamana mencari keadilan atas perlakuan buruk atas dirinya cenderung akan mengalami hambatan, apalagi pelecehan atau kekerasan seksual lebih ‘sulit’ pembuktiannya. Belum lagi masih kuatnya anggapan di kalangan kaum lelaki, bahwa perempuan memang adalah objek seks.

Sejumlah penafsiran dan pemahaman ajaran agama secara keliru, khususnya dalam Islam, harus diakui merupakan persoalan tersendiri bagi kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan. Poligami –seorang lelaki bisa beristeri sampai empat orang– menjadi sumber penderitaan lahir-batin bagi perempuan dan kehancuran psikologis anak-anak dalam keluarga poligamis itu. Tentu saja ada pengecualian, tetapi hanya sedikit. Syarat-syarat berat untuk bisa beristeri lebih dari satu, cenderung disiasati. Praktek ‘nikah siri’ dipilih sebagai jalan keluar oleh banyak kaum lelaki, agar bisa mengawini perempuan lain tanpa setahu isteri. Agama dimanfaatkan sebagai pembenaran, sambil beretorika lebih baik menikah siri daripada melakukan hubungan zina. Dengan pernikahan siri, kaum perempuan kehilangan banyak hak hukumnya, dan begitu pula anak yang menjadi hasil pernikahan. Beberapa tahun yang lalu seorang yang dianggap tokoh agama, menyiasati hubungan asmara sesaatnya dengan seorang perempuan melalui nikah atau kawin mu’thah. Selesai melakukan hubungan seksual, dilakukan ritual perceraian.

Di manakah gerangan para cendekiawan Islam berada dan di mana mereka akan menempatkan diri dalam pencerahan kehidupan beragama, baik dalam kesetaraan gender maupun dalam kesetaraan kemanusiaan lainnya? Saatnya para cendekiawan Islam tampil menggantikan peran sejumlah pemuka yang punya kelemahan kompetensi dalam membawa umat ke dalam pencerahan beragama. Islam telah hadir tak kurang dari tujuh ratus tahun lamanya dalam suatu situasi pasang surut. Perlu menunggu berapa abad lagi?

Pada masa sebelum reformasi, Undang-undang Perkawinan dijalankan cukup ketat, walau banyak juga tipu daya penelikungan. Pemerintahan Soeharto –suka atau tidak suka terhadap ketokohan Soeharto– memberlakukan dengan cukup ketat suatu peraturan pemerintah yang melarang seorang pejabat atau pegawai negeri untuk beristeri lebih dari satu. Pelanggaran mengakibatkan sanksi berat, terutama dalam karir. Tetapi pada masa reformasi, peraturan pemerintah itu melenyap. Seorang Wakil Presiden beristeri sampai empat, menggunakan secara optimal hak prerogatifnya sebagai lelaki. Dengan cepat sejumlah menteri dan tokoh pemerintahan lainnya ‘meniru’ dengan senang hati, beristeri lebih dari satu. Terjadi beberapa tragedi rumah tangga. Beberapa isteri melakukan ‘perlawanan’ tapi terkalahkan. Yang lain terpaksa ‘menerima’ karena posisi yang lebih lemah. Seikhlas-ikhlas seorang perempuan untuk diduakan, tetap akan ada luka dalam sanubari.

Beberapa sistem nilai yang dianut dalam masyarakat, terutama di kalangan bawah, menempatkan wanita sebagai ‘bawahan’ kaum lelaki sebagai pemegang hegemoni dalam hubungan gender. Dan pemerintah yang mempunyai tugas mencerdaskan bangsa, nyaris tak pernah ditemukan jejak tangannya dalam suatu proses pencerahan. Sistem nilai seperti ini, ditambah anggapan bahwa secara fisik lelaki adalah lebih kuat, menyebabkan mudahnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Banyak kaum lelaki dalam sistem nilai itu merasa mempunyai hak melekat untuk ‘menghukum’ isteri secara fisik maupun dengan kata-kata, bilamana sang isteri dianggap tidak patuh. Sungguh mencegangkan bagaimana dalam banyak keluarga, anak lelaki lebih diutamakan diberi kesempatan dalam pendidikan daripada anak perempuan. Sama dengan fakta ketidaksetaraan yang seratus tahun lebih di masa lampau menyebabkan kegundahan hati R.A. Kartini melakukan upaya agar ‘habis gelap terbitlah terang’. Agaknya kesetaraan gender masih merupakan fatamorgana bagi mayoritas perempuan Indonesia, terutama di lapisan akar rumput.

AKAR dari kebekuan pencerahan sistem nilai antara lain terletak pada sejumlah fakta kegagalan demi kegagalan para pemerintah dan para pemegang kekuasaan lainnya di masyarakat. Baik dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, maupun dalam penciptaan kehidupan sosial-ekonomi dengan kelayakan minimal untuk memutus belitan kemiskinan dan kebodohan yang merupakan sumber kekufuran. Dalam belitan kemiskinan dan kebodohan yang menciptakan ketidakpastian hidup, kekerasan mudah terpicu. Baik kekerasan secara vertikal (internal, kepada isteri dan anak dalam bentuk KDRT, dan secara eksternal bisa mewujud sebagai perlawanan terhadap establishment) maupun secara horizontal terhadap sesama anggota masyarakat. Menurut catatan sejarah hingga sejauh ini, belum pernah ada pemerintah di republik ini yang terbukti betul-betul bersungguh-sungguh menangani pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Orientasi para pemegang kendali pemerintahan selama ini masih selalu kepada aspek kekuasaan demi kekuasaan, dan demi kelanggengan kekuasaan, sebagaimana salah satu ajaran Macchiaveli, jangan pernah betul-betul membuat rakyat pintar. Apa pilihan sikap kita? Jangan biarkan, perbaiki? Atau lanjutkan?

Bukan ‘Ketoprak’: Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan di Indonesia

“Dalam menanggapi hasil Pansus DPR tentang Bank Century, dikeluhkan betapa SBY belum juga memberi sikap dan jawaban tegas. Apakah SBY akan menempa besi semasih panas –meski kini mulai turun menjadi hangat-hangat kuku– atau akan menunggu sampai masalah dingin? To solve the problem by postponing the problem menjadi pilihan terbaik? Dan sikap kepemimpinan apa yang akan dipilih Kapolri Bambang Hendarso Danuri –dan mungkin juga SBY– dalam menghadapi memanasnya perang kata di antara para jenderal polisi setelah lontaran tudingan Komjen Pol Susno Duadji tentang makelar kasus di tubuh kepolisian? Berada di depan, di tengah persoalan, atau memilih berdiri di luar….?”.

HINGGA masa kedua kepresidenannya, Susilo Bambang Yudhoyono, masih selalu dikritik lamban dalam mengambil keputusan sehingga juga lamban dalam bertindak. Rupanya, Presiden pun mahfum dengan kuatnya kritik itu, sehingga ketika ada demonstran yang membawa-bawa kerbau ke arena unjuk rasa terkait kasus Bank Century, dengan cepat ia bisa menafsirkan bahwa dirinya disamakan dengan kerbau yang badannya gemuk dan lamban. Para pendukungnya dari Partai Demokrat senantiasa mencoba meluruskan anggapan terhadap pemimpin pujaan mereka itu, bahwa beliau bukannya lamban, tetapi seksama dalam mengambil keputusan. Maka tidak bisa terburu-buru.

Nasib Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono tak beda dengan nasib Jenderal Soeharto. Pada tahun-tahun pertama Jenderal Soeharto menapak ke dalam kekuasaan, mahasiswa dan generasi muda lainnya, seringkali gregetan kepadanya. Ia dianggap sering lamban mengambil keputusan. Bergaya alon-alon waton kelakon dan mikul dhuwur mendhem jero dalam kepemimpinannya. Maka ia pun jadi lamban dalam melakukan perubahan, yang menurut para mahasiswa yang lebih radikal, sangat diperlukan ‘pasca’ kekuasaan Soekarno.

Menurut Prof. Dr Midian Sirait, doktor bidang farmasi yang juga fasih dan trampil dalam politik, di Indonesia ini ada dua aliran dalam cara pengambilan keputusan. Menurut Adam Malik, Wakil Presiden RI yang ketiga, tempalah besi selagi panas. Artinya, tangani persoalan begitu ia muncul, jangan terlambat. Tapi bagi Soeharto yang menganut pola kepemimpinan tradisional Jawa, kalau kita bisa menempa besi dalam keadaan dingin-dingin kenapa kita harus menempanya dalam keadaan panas-panas? Biasanya para Empu di Jawa membentuk keris dalam keadaan dingin dengan kekuatan empu jarinya. Makanya disebut Empu.

Masih menurut Dr Midian Sirait, cendekiawan muslim Nurcholis Madjid pernah menuturkan padanya, dalam jalan pikiran orang Jawa, terkandung pandangan, kenapa harus tergesa-gesa mengambil keputusan, karena untuk menyelesaikan permasalahan bisa juga dengan menunda keputusan. Dalam bahasa Inggeris, disebut to solve the problem by postponing the problem. Barangkali setelah postpone, maka problem is not exist. Jadi tidak perlu lagi susah-susah mengambil keputusan. Seringkali para pemimpin di Indonesia mempraktekkan resep seperti ini, jangan selalu buru-buru mengambil keputusan dalam keadaan persoalan masih panas. Kalau di DPR ada masalah yang masih panas, jangan buru-buru di-voting, tunggu reda, siapa tahu akhirnya tak perlu voting dan konsensus bisa dicapai dengan lobby dan musyawarah. Kelihatannya dalam paripurna mengenai hasil Pansus Bank Century yang lalu, Ketua DPR yang berasal dari Partai Demokrat, berupaya mengulur waktu. Tapi caranya mengulur waktu malah bikin panas banyak anggota dan voting pun tak terhindarkan.

Pengambilan keputusan setelah masalah menjadi ‘dingin’, ada contoh ceritanya dalam khazanah kisah humor tentang Indonesia. Suatu ketika menjelang tengah hari, sebuah laporan masuk ke Menteri Perhubungan, ada kapal penumpang terbakar dalam pelayaran ke sebelah Timur. Sang menteri segera mengumpulkan pejabat teras di departemen dan melakukan rapat. Seorang pejabat yang paling rendah kedudukannya mengusulkan segera umumkan pemberitahuan secara nasional sebagai SOS. “Jangan dulu”, kata seorang Dirjen yang menangani langsung urusan perhubungan laut, “tadi sudah saya kasih petunjuk tegas agar nakhoda dan awak kapal mengatasi sendiri masalah. Itu kan kapal baru dibeli. Kata yang jual, peralatan pemadamnya lengkap dan canggih. Malu kan kalau buru-buru diumumkan”. “Saudara yakin?”, tanya menteri yang menandatangani persetujuan pembelian kapal ‘baru’ tapi ‘bekas’ itu. “Yakin pak”. Menteri minta menghubungi nakhoda kapal untuk mendapat laporan terakhir. Jawaban dari nakhoda yang mendapat instruksi tegas untuk mengatasi masalah, “Api di bagian sumber kebakaran sudah bisa diatasi, pak. Kita di sini sedang merapatkan bagaimana memadamkan api yang menjalar ke bagian lain”. Menteri dan para pejabat yang lain, mengangguk-angguk. Kalau sumber awal kebakaran bisa diatasi, pasti yang lain juga bisa. Laporan berikut dari nakhoda menyebutkan sektor jalaran api yang pertama sudah padam, kini sedang ditangani pemadaman bagian lainnya. Demikian berulang-ulang laporan yang masuk, sudah padam di bagian tertentu dan sedang dilanjutakan ke jalaran api yang berikut. Sampai sore. Dan akhirnya laporan akhir pada senja hari menyebutkan, seluruh api telah padam. “Bagus”, kata Menteri dan Dirjen serempak. “Bagaimana keadaan kapal sekarang?”. Jawabannya, “Para penumpang sudah dievakuasi ke laut, dengan sekoci dan pelampung atau inisiatif sendiri… Kapal mulai tenggelam…..”. Hah! Dengan cepat menteri menginstruksikan mengirimkan berita resmi ke kapal-kapal yang ada dekat daerah kejadian dan pelabuhan terdekat untuk membantu. Betul kan, akhirnya keputusan pun bisa diambil setelah masalahnya menjadi ‘dingin’? Para penumpang sudah ada di laut dalam kedinginan dan sebentar lagi kapal yang tenggelam akan dingin karena air laut.

PENGAMBILAN keputusan erat tali-temalinya dengan kepemimpinan. Dalam hal kepemimpinan, Presiden Soeharto selalu menyebutkan ‘ajaran’: Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Terjemahan bebasnya yang memimpin itu di depan sebagai teladan, yang di tengah menangani pekerjaannya, dan yang sepuh-sepuh biar mengawasi dari belakang. Cuma awas, sering-sering juga ada ‘kecelakaan’, yaitu tatkala sang pemimpin yang di depan ambil jurus langkah seribu, maka mereka yang di tengah akan segera ikutan, dan mereka yang mengawasi di belakang buru-buru bersembunyi. Atau kalau kebetulan sang pemimpin punya integritas, tegar tetap di depan, tapi saat menelah ke lini tengah dan belakang, saf mendadak kosong. Kan pengikut juga mulai pintar dan pragmatis?

Dari khazanah budaya lainnya yang bukan Jawa, dari Sumatera Barat misalnya, ada prinsip bahwa pemimpin itu sehari-hari harus selalu satu langkah di depan dalam berbagai kesempatan. Politisi Marzuki Darusman memberi tambahan yang bernada humor, bahwa kalau ada permasalahan sang pemimpin harus berdiri di tengah. Tapi… kalau ‘terjepit’, berdirilah di luar. Sementara itu dalam khazanah budaya Bugis ada pendirian ‘Sekali membentang layar, pantang surut ke pantai, sekalipun badai menghadang’. Tampaknya sudah agak jarang juga tokoh-tokoh Bugis meminjam tekad pelayar Bugis tempo doeloe ini, kecuali Nurdin Khalid yang right or wrong selalu bersikeras mempertahankan segala kedudukannya dari balik jeruji penjara sekalipun. Tapi jangan salah, meskipun bukan orang Bugis, Dr Budiono dan Dr Sri Mulyani Indrawati, sama kukuhnya dengan para pelaut Bugis, yang pantang surut dihadang badai Bank Century.

Nah, di masa sekarang yang penuh ‘ujian’ ini, seperti apa gerangan kira-kira pilihan sikap para pemimpin kita yang lain? Dalam menanggapi hasil Pansus DPR tentang Bank Century, dikeluhkan betapa SBY belum juga memberi sikap dan jawaban tegas. Apakah SBY akan menempa besi semasih panas –meski kini mulai turun menjadi hangat-hangat kuku– atau akan menunggu sampai masalah dingin? To solve the problem by postponing the problem menjadi pilihan terbaik? Dan sikap kepemimpinan apa yang akan dipilih Kapolri Bambang Hendarso Danuri –dan mungkin juga SBY– dalam menghadapi memanasnya perang kata di antara para jenderal polisi setelah lontaran tudingan Komjen Pol Susno Duadji tentang makelar kasus di tubuh kepolisian? Berada di depan, di tengah persoalan, atau memilih berdiri di luar sampai suhu ruangan menurun?

Sekedar catatan intermezzo di hari Minggu. Tidak serius-serius amat, meskipun juga bukan sekedar ‘ketoprak’. (RA)