Tag Archives: Bank Indonesia

Kisah ‘Bubur Panas Hambalang’: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono

DALAM pemberantasan korupsi, KPK lebih banyak memilih cara bertindak bagaikan ‘makan bubur panas’. Takut lidah tersengat panas, sang bubur disantap dari pinggir seraya mengulur waktu membiarkannya berangin-angin lebih dulu. Saat menangani kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, dengan sabar KPK selama tahunan menyantap dari pinggir. Hampir saja bubur menjadi basi. Penindakan dimulai terhadap anggota-anggota DPR penerima suap yang dipilih dengan urutan mulai dari yang kurang ‘kuat’ sebelum menuju yang lebih ‘kuat’ posisi politiknya. Lalu meningkat ke perantara penyalur dana yang isteri jenderal mantan petinggi Polri, untuk akhirnya baru mengarah ke sang DGS pokok masalah. Tapi bagian paling tengah yang menjadi penyandang dana suap –yang menurut rumor politik adalah seorang tokoh yang berpengaruh dan ditakuti karena kekuatan uang maupun koneksinya di kalangan kekuasaan– sampai saat ini tetap saja belum tersentuh.

ANAS URBANINGRUM DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM NUANSA BIRU. "Kalau ternyata keterlibatan Andi Mallarangeng adalah hasil suatu fait-accompli, menjadi pertanyaan siapakah yang mampu membuatnya bisa tertekan? Apakah Anas Urbaningrum sebagai kolega separtai dan sama-sama maju sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres di Bandung dan kini bertumbuh menjadi lebih powerful? Apakah DPP Partai sebagai kekuatan kolektif? Ataukah Dewan Pembina yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono?" (download Tempo).
ANAS URBANINGRUM DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM NUANSA BIRU. “Kalau ternyata keterlibatan Andi Mallarangeng adalah hasil suatu fait-accompli, menjadi pertanyaan siapakah yang mampu membuatnya bisa tertekan? Apakah Anas Urbaningrum sebagai kolega separtai dan sama-sama maju sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres di Bandung dan kini bertumbuh menjadi lebih powerful? Apakah DPP Partai sebagai kekuatan kolektif? Ataukah Dewan Pembina yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono?” (download Tempo).

Tak kalah lambat, adalah penanganan kasus dana talangan Bank Century, karena rupanya buburnya betul-betul panas. Sudah tahunan lamanya berangin-angin, namun tetap saja panas bagi KPK. Baru bulan lalu, KPK mulai menyendok pinggiran bubur dengan menjadikan dua mantan pejabat tinggi BI sebagai tersangka. Berdasarkan pemberitaan tentang kasus tersebut selama ini, terutama dengan narasumber kalangan politik di DPR, publik tergiring ke suatu opini spekulatif bahwa Dr Budiono (dan entah siapa lagi di kalangan tinggi) ada di tengah-tengah ‘bubur panas’. Saat kasus terjadi, Budiono sedang menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Dan ketika kasus mencuat ke tengah publik, beliau sudah menjadi Wakil Presiden. Pantas saja tingkat kesulitannya menjadi lebih tinggi. Continue reading Kisah ‘Bubur Panas Hambalang’: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono

Pemberantasan Korupsi: Sudah Tiba di Batas Akhir Pengharapan (?)

PEMBERANTASAN korupsi, tampaknya sudah tiba di batas akhir pengharapan. Tak perlu lagi mengharapkan terlalu banyak pada rezim pemerintahan ini, mengenai penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Bahkan mungkin juga akan demikian, terhadap rezim yang akan datang, karena sepanjang yang bisa diamati di antara tokoh-tokoh yang disebutkan namanya saat ini sebagai kandidat presiden berikutnya, tak ada yang betul-betul bebas dari percikan lumpur korupsi masa lampau. Dan hanya keajaiban yang bisa membukakan jalan bagi tokoh-tokoh bersih masuk memimpin negara. Tapi itupun masih penuh tanda tanya, karena secara tradisional pengelolaan negara dan politik sejauh ini terlanjur penuh dengan manusia yang terbiasa dengan permainan kotor.

MACAN LESU. “KPK bukan hanya tak mampu menghadapi gempuran eksternal, tetapi juga dirundung berbagai masalah internal (kuantitatif maupun kualitatif) yang membuat dirinya lemah dan berjalan beringsut bagai macan uzur. Dan macan yang sebenarnya belum terlalu tua tapi sudah berperilaku uzur ini hanya mampu menerkam ternak kampung, tidak bisa mengejar khewan-khewan korupsi yang gesit dan kuat berkelompok”. (download koprol.com)

Dua keputusan terakhir Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terhadap Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaiti, memperlihatkan indikasi betapa kuatnya usaha melokalisir perkara korupsi agar tidak bisa merambah seluas-luasnya ke pelaku-pelaku kejahatan yang lebih di atas. Majelis Hakim perkara Nazaruddin, merasa perlu membuat pagar pengaman bagi Anas Urbaningrum, meskipun namanya disebut-sebut oleh begitu banyak saksi. Sementara itu, Majelis Hakim perkara Nunun Nurbaiti, membatasi perkara menjadi masalah gratifikasi, bukan penyuapan yang ancaman hukumannya lebih tinggi. Para anggota DPR yang terlibat dan telah diadili sebelumnya –dengan hukuman yang serba ringan– agaknya secara bersama berhasil menyajikan kesaksian-kesaksian yang mematahkan tuduhan bahwa mereka disuap untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom dalam pemilihan DGS Bank Indonesia.

Tercatat bahwa sejak berdirinya KPK dan kemudian Pengadilan Tipikor, vonnis-vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa koruptor ringan-ringan saja, antara 1 tahun 3 bulan sampai 3 tahun. Rata-ratanya Cuma 2 tahun 6 bulan. Tetapi sekali-kali ada juga yang sedikit lebih tinggi, 4 sampai 5 tahun, sehingga malah menimbulkan ‘keheranan’ apa ada yang salah dalam negosiasi?

Secara menyeluruh, dalam ruang dan waktu yang sama, kita melihat betapa KPK yang sangat diharapkan masyarakat sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi, ternyata begitu kedodoran. KPK bukan hanya tak mampu menghadapi gempuran eksternal, tetapi juga dirundung berbagai masalah internal (kuantitatif maupun kualitatif) yang membuat dirinya lemah dan berjalan beringsut bagai macan uzur. Continue reading Pemberantasan Korupsi: Sudah Tiba di Batas Akhir Pengharapan (?)

Marzuki Alie dan Partai Demokrat: Di Balik Tabir Asap Korupsi (1)

GAGASAN pengampunan dan saling memaafkan dengan para koruptor yang dilontarkan politisi Partai Demokrat –yang juga adalah Ketua DPR-RI– Marzuki Alie, menjelang akhir Juli ini, mirip dengan apa yang telah dijalankan di Thailand beberapa dekade lalu. Saat itu, Thailand termasuk juara korupsi di Asia Tenggara dan mungkin juga di Asia, antara lain bersama Vietnam (Selatan). Korupsi yang begitu meluas membuat berang mahasiswa Thailand, dan suatu saat di pertengahan 1960an, mereka menghadap raja Thailand Bhumibol Aduljadej, menyampaikan tuntutan agar semua koruptor dihukum mati. Setengah berseloroh, Raja Siam itu menjawab, kalau “kita memecahkan masalah korupsi dengan hukuman mati, maka Thailand akan tinggal berpenghuni sedikit orang saja”. Seloroh ini memantulkan suatu tingkat keadaan yang serius dengan konotasi yang amat buruk, yaitu bahwa korupsi dan para pelakunya ada dalam posisi hegemonik.

Bukan usulan mahasiswa untuk menghukum mati para koruptor yang kemudian dituruti penguasa Thailand. Tercatat bahwa setelah itu, khususnya pada akhir dekade 1960an dan dekade 1970an, ada kebijakan pemutihan bagi dana hasil korupsi, sepanjang dana itu diinvestasikan di dalam negeri, di sektor industri ataupun usaha-usaha ekonomi strategis lainnya. Muncul kelompok-kelompok kaya yang berperanan besar dalam ekonomi Thailand, yang sebagian terbesar adalah keluarga dengan investasi dana yang asal-usulnya dari perbuatan korupsi masa lampau. Dan pada waktu yang sama terus terjadi korupsi-korupsi baru dengan pelaku-pelaku baru dari kalangan penguasa ‘baru’ yang silih berganti.

Keadaan Indonesia sekarang, mungkin mirip-mirip. Kita bisa mencatat kehadiran dan peran para pelaku ekonomil generasi kedua, yang memperoleh kekuatan uang yang bersumber dari korupsi para orang tua mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan dan atau mewarisi usaha orang tua mereka yang dulu adalah pengusaha yang menikmati keuntungan-keuntungan besar karena kedekatan konspiratif dengan kalangan kekuasaan. Ada pula turunan ex pejabat yang bisa terjun dan berhasil masuk ke dalam kekuasaan eksekutif maupun legislatif, bermodalkan ‘warisan’ nama dan kekayaan orang tua yang sangat berguna dalam kehidupan politik masa kini yang berbasis money politic. Tak kurang banyaknya, muncul pula pelaku-pelaku baru yang masuk ke dalam ‘sistem’, memanfaatkan sistem, lalu ikut berkuasa dan menjadi kaya raya.

Korupsi pasca Soeharto begitu meluas, tak kalah hebat dengan masa Soeharto sendiri, sehingga tak ada institusi negara, institusi politik dan bahkan institusi sosial yang tak ikut menghasilkan koruptor. Tak ada profesi yang bebas dari perilaku korupsi. Para penegak hukum yang tadinya diharapkan akan memberantas korupsi –hakim, jaksa, polisi dan pengacara– untuk sebagian bahkan telah menjadi bagian dari korupsi itu sendiri, baik sebagai pelaku langsung maupun sebagai pemungut rente dari para koruptor. Sejumlah pengacara misalnya, menjadi begitu kaya dan bergelimang kemewahan, sejak munculnya tersangka-tersangka korupsi berskala besar-besaran. Korupsi dilakukan secara berjamaah –di salah satu daerah, seluruh anggota DPRDnya menjadi tersangka korupsi/gratifikasi tanpa kecuali– dan sudah terorganisir dalam jaringan-jaringan yang kuat. Bila sebagian saja dari apa yang diungkapkan ex Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin, mengandung kebenaran, sungguh mengerikan. Terlepas dari penilaian bahwa sebelum ini Nazaruddin banyak bohongnya, hal-hal yang diungkapkannya dari tempat persembunyiannya untuk sebagian bagaimanapun telah mengkonfirmasi pengetahuan publik selama ini. Apalagi, sanggahan-sanggahan reaktif yang dilakukan terhadap Nazaruddin, serba tidak meyakinkan.

Tergambarkan betapa sejumlah eksplorasi dana di negara ini berlangsung sistemik, terorganisir dan terkait erat dengan pengelolaan politik dan kekuasaan. Dan ada indikasi kuat bahwa pola itu tak hanya berlaku dalam tubuh Partai Demokrat. Coba tunjukkan, partai besar mana saat ini yang tak punya cerita skandal, entah skandal uang/korupsi, entah perilaku asusila, entah persekongkolan busuk lainnya yang sarat manipulasi demi kursi kekuasaan di berbagai lini kehidupan bernegara. Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, Gerindra, apapula konon Partai Demokrat yang dalam 7 tahun menjadi partai tambun?

Begitu massive dan kuatnya jaringan koruptor itu –yang untuk sebagian sudah terkait dengan kepentingan dana politik– sehingga sanggup mematah-matahkan dengan berbagai cara barangsiapa yang mencoba memberantas korupsi. KPK sebagai lembaga extra ordinary yang dibentuk saat kepercayaan kepada para penegak hukum di berbagai lembaga ordinary (konvensional) telah merosot, kini seakan berhasil digoyang, baik melalui upaya-upaya kriminalisasi maupun perangkap suap dan atau karena ada perorangan KPK yang memang telah bobol pertahanan moralnya.

Betapapun kita membela KPK –sebagai lembaga yang dengan kategori the bad among the worst, atau setidaknya sebagai lesser evil– kita keliru bila bersikap tutup mata tutup telinga. Justru publik harus peka, mendorongkan suatu pengusutan segera, justru untuk melindungi lembaga super body yang menjadi tumpuan harapan terakhir dalam pemberantasan korupsi itu. Dan tentu saja, yang paling penting, menolak setiap upaya pembubaran, apalagi dengan cara berdasarkan gagasan Marzuki Alie yang beraroma aneh. Seakan melanjutkan umpan bola dari Mohammad Nazaruddin, Marzuki menggagas untuk membubarkan saja KPK ‘bila’ sudah tak ada lagi tokoh yang punya kredibilitas untuk duduk di sana. Lalu sebagai tindak lanjutnya mengusulkan untuk bermaaf-maafan dengan para koruptor, dan mengajak mereka kembali ke Indonesia bersama uangnya, dan membuka lembaran baru. Tetapi lembaran baru apa yang bisa diharapkan? Para koruptor yang masih belum tertangkap dan terungkap kejahatannya, akan ikut terselamatkan, tanpa perlu mengembalikan dana hasil rampokannya. Suatu ‘pengampunan’ seperti itu, dengan sendirinya juga akan menghentikan pemberantasan korupsi untuk beberapa lama. Siapa-siapa saja yang akan terselamatkan? Dan apakah pada saat yang sama perbuatan korupsi juga akan berhenti? Perlu dibahas dan dianalisa lebih lanjut.

Tokoh Partai Demokrat bernama Marzuki Alie yang menjadi Ketua DPR-RI ini memang terkenal dengan suara-suara anehnya selama ini, semisal saat mengomentari bencana tsunami di Mentawai dengan menyalahkan kenapa penduduk berumah di tepi pantai. Tapi lebih dari itu, ia juga kerap membela orang-orang yang dituduh korupsi. Marzuki membela besan Presiden SBY, Aulia Pohan yang telah menjalani hukuman berdasarkan vonnis 3 tahun Pengadilan Tipikor, sebagai orang yang tidak bisa dianggap koruptor, karena tidak mencuri uang negara untuk kepentingan pribadi. Pers mengutip komentarnya bahwa Aulia Pohan hanya ikut melakukan kesalahan administratif bersama orang yang melakukan korupsi di Bank Indonesia. Sensitivitas dan sikap traumatik Marzuki Alie terhadap tuduhan korupsi mungkin lebih bisa dipahami bila mengingat bahwa ia adalah seorang mantan tersangka dalam suatu perkara korupsi 7 tahun lampau. Bolak-balik, saat menjadi Direksi PT Semen Baturaja ia diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam kaitan kasus korupsi 600 milyar rupiah di BUMN itu. Ia mengatakan bahwa tuduhan itu merupakan bagian dari persaingan internal di tubuh BUMN tersebut. Pada saat-saat terakhir ia berhasil memperoleh SP3 sehingga lolos dalam pencalonan melalui partai Demokrat untuk Pemilihan Umum 2004 dan akhirnya melaju ke atas hingga kini menduduki kursi Ketua DPR-RI.

Berlanjut ke Bagian 2

Pemberantasan Korupsi: Last But (Not) Least?

“Apakah yang menghalangi suatu rezim kekuasaan untuk membongkar tuntas kasus-kasus korupsi? Salah satu yang paling lazim adalah terdapatnya tali temali keterkaitan tindakan korupsi itu dengan realita kebutuhan dana politik. Itu jugakah yang sedang terjadi di kalangan kekuasaan pemerintahan dan kekuasan politik Indonesia saat ini?”.

TIGA bulan terakhir dari tahun 2010 terisi dengan awal berkiprahnya tiga pimpinan baru dari tiga institusi penegakan hukum: Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan KPK. Jenderal Timur Pradopo menjadi Kepala Polri menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang memasuki masa pensiun. Basrief Arief SH MH yang sudah pensiun tampil menjadi Jaksa Agung baru seakan sebagai jalan tengah di antara dua kutub keinginan, bahwa Jaksa Agung sebaiknya dari kalangan internal atau sebaliknya, dari kalangan eksternal. Dan Basrief Arief adalah orang luar yang dulu pernah ada di dalam, dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Jaksa Agung. Sementara itu, pimpinan KPK dipilih di antara dua selera, Busyro Muqoddas yang mewakili selera manis pedas dan Bambang Widjojanto yang mewakili rasa ekstra pedas. Elite kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik (partai) yang ‘diwakili’ oleh para anggota DPR di Komisi III, rupanya tak tahan terhadap rasa ekstra pedas, lalu memilih Busyro Muqoddas melalui proses dua tahap.

Kehadiran tiga tokoh baru pemimpin institusi penegakan hukum itu, bila diamati bukan mewakili selera ekstra pedas dalam konteks pemberantasan korupsi. Maksimal, selera pedas manis. Ada pedasnya sedikit, tapi lebih dominan rasa manisnya. Namun, bisa juga bertambah pedas jika mengalami proses fermentasi karena dorongan publik dan faktor dorongan kecerdasan, atau sebaliknya menjadi asam melalui suatu proses pembusukan karena tekanan kepentingan kekuasaan.

Ketika menjadi Kapolres Jakarta Barat di tahun 1998, Letnan Kolonel Timur Pradopo, menjadi bagian yang bekerja dengan ‘baik’ dalam ‘skenario’ pemegang hegemoni kekuasaan di musim penuh intrik menjelang kejatuhan Jenderal Soeharto itu. Mereka yang tak pandai-pandai meniti buih –atau sebaliknya terlalu nekad dan salah pilih perpihakan– akan terpuruk. Dalam peristiwa pergulatan politik 1998, Kapolri Dibyo Widodo ‘tersingkir’ dan Kapolda Metro Jaya Hamami Nata terganggu perjalanan karirnya. Timur Pradopo bisa melanjutkan karir.

Sewaktu menjadi Jaksa Tinggi DKI di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman, Basrief Arief tak pernah mendapat komplain dari atasannya itu. Begitu pula dalam perjalanan karir selanjutnya di bawah sejumlah Jaksa Agung, sampai mencapai posisi Wakil Jaksa Agung. Basrief Arief jaksa yang ‘calm’, dan menjadi jaksa yang baik di mata banyak orang. Sesekali mungkin pedas, tetapi bagaimanapun bukan termasuk tipe ekstra pedas. Selain itu, ia memang belum berkesempatan untuk menunjukkan diri, kecerdasan dan tipenya yang sebenarnya. Kesempatan untuk menunjukkan diri agar bisa dinilai, baru terbuka kini. Ketika menjadi Ketua KY, Busyro Muqoddas, memang nyata bertipe manis pedas, dalam kata-kata maupun tindakan. Kendati beberapa kali ia membuat para pimpinan MA kurang nyaman, tapi bagaimanapun juga ia bukan tipe ekstra pedas. Bambang Widjojanto lebih memiliki pembawaan ekstra pedas itu, namun untuk sementara tidak menjadi selera kalangan kekuasaan. Pasukan pemberantas korupsi yang ekstra pedas, dianggap terlalu riskan dan berbahaya bagi jalannya kehidupan politik yang bernuansa biaya tinggi.

Tanpa bermaksud mengecilkan Busyro Muqoddas yang dalam segi tertentu tak kalah baiknya, namun dalam situasi pemberantasan korupsi yang nasibnya kini bagaikan sabut yang terombang-ambing timbul-tenggelam oleh ombak di laut, tokoh ekstra pedas lebih dibutuhkan untuk memimpin lembaga semacam KPK. Lembaga itu membutuhkan zat pemicu setelah spiritnya ‘diluluhlantakkan’ oleh rekayasa tuduhan kasus pembunuhan seperti yang menimpa Antasari Azhar serta kriminalisasi KPK yang menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.

Last but not least’, atau ‘last and least’? APAKAH kehadiran tiga tokoh utama sebagai ‘muka baru’ –yang semestinya lebih segar dan lebih berstamina sebagai ‘pengelola baru’– dalam pemberantasan korupsi, bisa dijadikan harapan baru? Bila tak ada kejadian luar biasa, bagi Presiden SBY, Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief adalah penunjukan yang terakhir. Sedangkan Busyro Muqoddas yang masa jabatannya hanya sekedar mengisi waktu 1 tahun yang tersisa dari masa jabatan Antasari Azhar, belum tentu menjadi Ketua KPK dalam masa jabatan berikut, meskipun peluangnya tetap ada. Sebagai yang terakhir untuk saat ini, apakah mereka bertiga masuk dalam kategori last but not least? Atau justru berkategori last and least –paling akhir dan paling berkekurangan?

Pengalaman empiris sepanjang lima tahun masa kepresidenan pertama dari Susilo Bambang Yudhoyono ditambah satu tahun masa kepresidenannya yang kedua, menunjukkan bahwa laju pemberantasan korupsi hanya sedikit lebih baik dari masa Megawati berkuasa. Hanya sejenak dalam masa KPK di bawah Antasari Azhar, sempat terkesan akan terjadi gerak pemberantasan korupsi yang lebih spektakuler dan massive, kendati ada kritikan telah digunakannya pola tebang pilih. Namun tak perlu waktu lama sebelum semuanya patah, karena terjadinya ‘rekayasa’ kasus pembunuhan untuk menyeret Antasari dan kriminalisasi KPK yang menyeret Bibit-Chandra.

Kita lalu belajar dari situasi lanjutan di seputar gerakan pemberantasan korupsi dan menarik kesimpulan-kesimpulan.

Aulia Pohan, eks pejabat Bank Indonesia yang kebetulan adalah besan Presiden, berhasil diseret oleh KPK di masa Antasari Azhar sampai akhirnya diadili dan dihukum. Presiden tak turun tangan menyelamatkan sang besan. Itu satu kredit poin bagi SBY. Tapi, Antasari yang berperan ‘no mercy’ seakan mendapat pembalasan. SBY memang tak terlibat dalam pembalasan itu, namun ada cukup banyak orang yang merasa berkepentingan untuk turun tangan ‘menghukum’ sang Ketua KPK dengan menyeretnya ke dalam kasus cinta segi tiga yang berakhir dengan pembunuhan.

Banyak orang yang pernah ‘dekat’ dengan Antasari, entah karena menjadi kolega, entah karena lingkup persentuhan lainnya, berani mengatakan bahwa Antasari bukan tipe lelaki yang suka bermain asmara dengan perempuan lain. Cukup banyak yang tahu betapa ia tak pernah mempan dengan godaan perempuan cantik –maaf bila harus dikatakan, yang kualitasnya jauh di atas Rani. Soal lain, mungkin saja ia bisa ‘nakal’ dan punya cacat, tapi tidak soal perempuan. Rekaman suara percakapan antara Antasari-Rani, tak sedikitpun memberi petunjuk adanya ‘kegenitan’. Jalannya persidangan seperti yang bisa disaksikan publik secara terbuka cukup memperkuat adanya aroma rekayasa, tapi Antasari tetap dihukum, hingga tingkat peradilan yang tertinggi.

Tentu menjadi pertanyaan, bilamana memang kebenaran ada pada Antasari, karena kasusnya adalah kasus rekayasa, kenapa tak seorangpun –khususnya di kalangan tokoh– yang tampil untuk membela, bukan membela Antasari sebagai pribadi, tetapi membela seseorang yang menjadi korban ketidakbenaran. Jawabannya barangkali, karena orang telah letih membela kebenaran, yang bukan saja cenderung sia-sia, tetapi juga malah membahayakan diri sendiri di zaman yang penuh krisis moral seperti sekarang ini. Jawaban lainnya adalah, Antasari itu dianggap oleh sejumlah orang, termasuk bekas-bekas koleganya, menjadi ‘no mercy’, tak memiliki welas asih dan ‘tak solider’ lagi setelah menjadi Ketua KPK. Untuk memahami kenapa ada anggapan seperti itu, sehingga menjadi alasan untuk tidak ‘membela’, kita harus mempelajari aspek kultur kita tentang pengertian ‘setia kawan’ dan ‘kebersamaan’ ataupun ‘mikul dulur mendhem jero’.

Keletihan membela kebenaran di zaman tanpa kepastian, mungkin berlaku umum dalam kehidupan kita masa ini, termasuk bagi mereka yang berada dalam posisi formal sebagai penegak hukum. Bahkan, mungkin saja kebenaran itu sendiri tak lagi dikenali oleh banyak orang, masyarakat biasa maupun mereka yang sedang memangku amanah mengelola negara. Bahwa kebenaran adalah bagian dari sifai keilahian, yang bila dipahami akan menciptakan keadilan. Otak dan dan terutama nurani kita telah tumpul. Sudah terlalu lama kita semua terlarut dalam tata cara membeli segala sesuatunya –berbagai lowongan kerja sampai posisi di pemerintahan, dari lurah, bupati, gubernur hingga menteri dan kursi kepresidenan, kursi lembaga-lembaga perwakilan rakyat, menjadi polisi, hakim, jaksa, tak terkecuali bangku di perguruan tinggi– sehingga kitapun lebih kukuh mempertahankannya. Dalam situasi seperti itu, sifat altruistik, adalah tidak menguntungkan. Melakukan sesuatu nilai tambah di luar panggilan tugas, adalah kebodohan. Bahkan memenuhi panggilan tugas sebagaimana mestinya pada akhirnya pun menjadi tindakan pandir dan tidak ekonomis.

Bukan Susilo Bambang Yudhoyono. Siapa yang mampu merubah itu semua? Seorang pemimpin yang luar biasa. Justru ini merupakan persoalan bagi satu negara bersituasi seperti Indonesia sekarang ini. Bisakah dari satu bangsa yang sedang mengalami krisis nilai, lahir seorang pemimpin yang bernilai tinggi? Bukan kemustahilan menurut hukum paradoxal, tetapi peluangnya mungkin hanya satu dalam seribu. Untuk sementara ini, setelah enam tahun, bukan Susilo Bambang Yudhoyono orangnya, walau pada satu saat pernah terbersit dalam pikiran sejumlah orang dialah jawaban bagi penderitaan Indonesia.

Dalam lingkup KPK, lengkapnya kepemimpinan lembaga itu kini dengan kehadiran Busyro Muqoddas yang bertipe manis pedas, mungkin bisa membuat KPK bangkit dari keterpurukan. Begitu pula dengan kehadiran Basrief Arief bagi Kejaksaan Agung dan jajarannya. Mungkin saja juga demikian dengan kehadiran Timur Pradopo di Polri. Ketiganya bisa memulai dengan nomor satu membenahi internal lembaga masing-masing, untuk pertama-tama menjadi lebih bersih bagi Kejaksaan Agung dan Polri, serta menjadi lebih berani bagi KPK. Lalu melakukan gebrakan yang lebih mengesankan. Tetapi akankah? Merupakan tanda tanya besar.

Sedikit banyak, semua itu sangat bergantung kepada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya dalam komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Sejauh yang bisa terlihat hingga kini, dalam masalah pemberantasan korupsi, pemerintahan SBY masih berada dalam sekedar fase retorika. Tak ada sesuatu yang nyata yang memperlihatkan kuatnya dorongan SBY bagi suatu pemberantasan korupsi, jangankan yang bersifat massive dan spektakuler, untuk tingkat yang biasa saja sejalan dengan makin menghebatnya praktek korupsi dan praktek mafia hukum. Belum ada sesuatu yang berarti. Agaknya akan tetap demikian sampai berakhirnya masa kepresidenan SBY yang kedua. Bila SBY betul-betul concern dengan apa yang selalu diucapkannya terkait dengan pemberantasan korupsi, maka sudah akan terlihat jejak telapak tangannya dalam penindakan kasus-kasus semacam skandal Bank Century, kasus mafia hukum dan mafia pajak, kasus rekening tak wajar para perwira Polri, kasus-kasus gratifikasi dan suap yang melibatkan sejumlah kalangan pendukung politiknya, dan sebagainya.

Apakah yang menghalangi suatu rezim kekuasaan untuk membongkar tuntas kasus-kasus korupsi? Salah satu yang paling lazim adalah terdapatnya tali temali keterkaitan tindakan korupsi itu dengan realita kebutuhan dana politik. Itu jugakah yang sedang terjadi di kalangan kekuasaan pemerintahan dan kekuasan politik Indonesia saat ini?

65 Tahun Dengan 6 Presiden Indonesia (2)

Di bawah Soekarno, bekerja sejumlah menteri yang menjalankan perilaku korupsi, perilaku pribadi yang tercela menyangkut uang dan wanita, serta pemborosan atas nama revolusi, yang di kemudian hari dicontoh oleh rezim Soeharto –yang menggantikan Soekarno dalam kekuasaan– atas nama pembangunan.

BAGIAN yang tidak nyaman dari fakta kedekatan sejumlah konglomerat dengan kalangan kekuasaan, ialah bahwa mereka hampir dengan sendirinya menjadi lapisan kebal hukum dan kebal peraturan, sama halnya dengan kalangan kekuasaan dan kerabatnya. Tangan-tangan hukum sulit menyentuh mereka bilamana mereka atau sanak saudaranya melakukan pelanggaran hukum. Kejahatan seperti pembunuhan, dari yang berat sampai sekedar kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa orang lain, bisa dihapus. Kejahatan semacam pemerkosaan perempuan, bisa dialihkan tanggungjawabnya kepada para kambing hitam. Memperdayai lawan bisnis bisa dilakukan tanpa kuatir tuntutan hukum bebas dilakukan. Manipulasi perpajakan yang dilakukan dengan kerjasama aparat perpajakan adalah kebiasaan yang meluas. Kayus Gayus Tambunan, bisa dipastikan hanyalah satu riak kecil di antara gelombang besar.

Akses ke posisi-posisi politik juga cukup terbuka lebar bagi sanak keluarga ataupun ‘teman’ para pengusaha besar dan keluarga pejabat. Positioning seorang pejabat di posisi strategis, khususnya di sektor ekonomi dan keuangan, terindikasi kuat telah dirambah dengan kekuatan uang. Banyak yang memperkirakan, positioning jabatan di Bank Indonesia, Gubernur ataupun Deputi Senior Gubernur, sekedar satu contoh, umumnya terkontaminasi oleh pengaruh politik uang. Apakah penentuan dalam positioning dalam kabinet dari beberapa di antara Presiden yang pernah ada, juga telah terkontaminasi? Banyak yang berdoa, itu semua sekedar rumor.

Di atas segalanya, kerusakan yang paling berat adalah betapa dengan kekuatan uang, mereka bisa ikut mempengaruhi lahirnya undang-undang yang menguntungkan mereka, dan atau mempengaruhi beberapa keputusan politik maupun keputusan bidang ekonomi. Itulah sebabnya lahirnya suatu undang-undang yang betul-betul menempatkan kepentingan rakyat banyak, jarang mampu dilahirkan, karena pemerintah maupun para anggota badan legislatif, sangat terpengaruh oleh lobby-lobby para pemegang kepentingan ekonomi negara. Mungkin saja, gejala post democracy yang disebutkan Colin Crouch terjadi di negara-negara demokrasi barat –di mana pengambilan keputusan pada hakekatnya tidak lagi berada di tangan lembaga-lembaga demokrasi tetapi di tangan kaum pemodal– sebenarnya sudah lebih dulu terjadi di Indonesia.

Peralihan dengan benturan. Merupakan satu fenomena yang menarik, bahwa peralihan kekuasaan antar presiden di Indonesia selalu bermasalah, tak pernah berlangsung dengan betul-betul mulus. Tiga proses peralihan bahkan melalui konflik berkadar tinggi, yakni antara Soekarno-Soeharto, Soeharto-BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputeri. Sedang dua lainnya, yaitu antara BJ Habibie-Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri-Susilo Bambang Yudhoyono, juga bukannya tanpa masalah.

Peralihan dari Soekarno ke tangan Soeharto, terjadi dalam satu kejadian sejarah yang luar biasa, didahului oleh Peristiwa 30 September 1965, yakni suatu benturan akhir bersegi banyak yang bersumber dari suatu konflik yang laten berkepanjangan terutama antara tahun 1959 hingga 1965. Menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka), pada hakekatnya apa yang terjadi pada penggalan masa itu tak lain adalah pertarungan politik dan kekuasaan berjangka panjang, yang terkristalisasi di antara tiga unsur utama segitiga kekuasaan negara: Soekarno-PKI-Angkatan Darat. Semua unsur membawa prasangka yang berasal dari masa sebelumnya. Dan ini merupakan suatu kemalangan tersendiri. Semua itu menjadi lebih rumit lagi karena friksi pun terjadi di antara kelompok-kelompok di luar segitiga kekuasaan, yang juga tak terlepas dari hasrat kekuasaan.

“Tiga unsur utama dalam segitiga kekuasaan 1959-1965, tumbuh dan besar dalam satu rangkaian akumulasi ekses, bertahun-tahun lamanya, yang untuk sebagian besar berasal dari masa lampau mereka. Akumulasi ekses itu, pada akhirnya menciptakan citra demonic dalam perilaku politik dan perilaku dalam menjalankan kekuasaan yang ada di tangan mereka masing-masing. Para pelaku dalam pertarungan kekuasaan itu nyaris sempurna dalam mempraktekkan pola perilaku yang digambarkan Niccolo Machiavelli di tahun 1513. Machiavelli telah menulis dalam buku Il Principe tentang segala apa yang seharusnya dilakukan penguasa agar dapat bertahan. Tujuan menghalalkan segala cara. Negara harus kuat, penguasa harus menjalankan politik dengan tegas ditopang kekuatan tentara dan uang. Tak ada pilihan untuk berada pada posisi netral, tak ada keputusan yang ditunda-tunda. Dan mereka yang mengendalikan kekuasaan, tak boleh mengikuti hati nurani. Biarlah orang lain yang menggunakan hati nurani, mengemukakan kebenaran, dan biarlah pula mereka sendiri yang menderita karena itu. Sikap mulia menjadi pilihan paling belakang bagi penguasa, karena sikap mulia itu takkan berguna bila tak menguntungkan, apalagi bila merugikan. Menegakkan kekuasaan, dengan cara apapun, adalah yang terpenting di atas segalanya”.

PKI sendiri sementara itu, secara empiris telah menunjukkan kepada rakyat Indonesia, betapa ia adalah partai yang menggunakan kekerasan dalam kadar tinggi. Serangan-serangan politik dan agitasinya berhasil mencipta ketakutan mental yang meluas dan dalam. Kekejaman kemanusiaan yang dilakukan kaum komunis dalam Peristiwa Madiun 1948, takkan terlupakan. Aksi-aksi sepihak yang dijalankan PKI di berbagai daerah, yang mengalirkan darah dan merenggut nyawa manusia, tahun 1960-1965, menjadi catatan ingatan tak terlupakan, mengakumulasi kebencian dan dendam, ibarat api dalam sekam yang tinggal menunggu angin untuk berkobar menjadi api besar.

Militer Indonesia, dalam pada itu, di samping sejarah dan jasa perjuangannya yang gemilang, juga punya sisi gelap melalui sejumlah ekses yang dilakukan para tentara terutama di daerah-daerah pergolakan atas nama penegakan keamanan: pembunuhan, perkosaan dan keterlibatan atas berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oknum-oknum sebagai akibat syndrom kekuasaan maupun dampak psikologis dari kebiasaan terlibat dalam pertumpahan darah. Ada rentangan masa yang panjang di mana tentara sebagai orang-orang bersenjata, terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan, atas nama penyelesaian keamanan yang tak kunjung teratasi, mencipta aneka ekses yang menjadi beban penderitaan di atas punggung rakyat. Masa-masa darurat dengan segala ‘keleluasaan’ yang disebabkannya, membuat tentara terbiasa menempatkan diri di atas hukum, sehingga mengakumulasi kebencian rakyat.

Dalam masa puncak kekuasaannya, antara tahun 1959-1965, Soekarno adalah pemimpin yang berangsur-angsur meninggalkan rasa adil. Kekuasaan terpusat pada dirinya karena keberhasilannya memainkan kendali persaingan di antara kekuatan politik yang ada, dan memelihara rivalitas itu sebagai benefit bagi kekuasaannya. Perubahan dirinya dari pemimpin perjuangan menjadi sekedar penguasa otoriter yang menikmati kekuasaan, telah menjerumuskan rakyat Indonesia dalam kesengsaraan ekonomi dan kesengsaraan karena ketidakadilan politik dan hukum. Kebenaran diabaikan, dan ia menjadi kebenaran itu sendiri. Soekarno dalam enam tahun itu menjelma menjadi otoritarian sejati. Soekarno tak segan-segan memenjarakan lawan politik, tanpa diadili bertahun-tahun lamanya, meskipun masih selalu ada mitos bahwa para tahanan politik lawan Soekarno itu tetap diperlakukan dengan baik dalam tempat-tempat tahanan. Tapi perampasan kemerdekaan pribadi tetap saja perampasan hak azasi betapa pun bagusnya ia dibungkus. Esensi kejahatannya tidaklah berkurang. Lagi pula, faktanya, tak selalu para tahanan diperlakukan dengan baik. Kalaupun ada yang mendapat sedikit keistimewaan dalam tahanan, terbatas pada mereka yang tergolong kategori tokoh yang pernah dekat dalam perjuangan bersama Soekarno. Jadi, bersifat selektif dan kadang-kadang artifisial.

Pemerintahan Soekarno, pun adalah pemerintahan yang korup, dana dikumpulkan dan dikerahkan, atas nama kepentingan revolusi. Mungkin saja benar kalau dikatakan Soekarno tidak memperkaya diri pribadi, tetapi tak benar bila dikatakan ia tak menikmati kekuasaan untuk kepentingan subjektifnya, seperti misalnya melalui pesta-pesta tari lenso malam hari di istana. Di bawah Soekarno, bekerja sejumlah menteri yang menjalankan perilaku korupsi, perilaku pribadi yang tercela menyangkut uang dan wanita, serta pemborosan atas nama revolusi, yang di kemudian hari dicontoh oleh rezim Soeharto –yang menggantikan Soekarno dalam kekuasaan– atas nama pembangunan.

Berlanjut ke Bagian 3

Perempuan Indonesia Dalam Fatamorgana Kesetaraan

“AKAR dari kebekuan pencerahan sistem nilai antara lain terletak pada sejumlah fakta kegagalan demi kegagalan para pemerintah dan para pemegang kekuasaan lainnya di masyarakat. Baik dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, maupun dalam penciptaan kehidupan sosial-ekonomi dengan kelayakan minimal untuk memutus belitan kemiskinan dan kebodohan yang merupakan sumber kekufuran”.

MENJELANG Hari Kartini 21 April ini, kaum perempuan muncul dalam sejumlah momen peristiwa dengan berbagai ragam nuansa dan konotasi. Belum lama berselang kita menyaksikan seorang tokoh perempuan yang kebetulan menjadi Menteri Keuangan, Dr Sri Mulyani Indrawati, harus tampil di ‘garis depan’ menghadapi gempuran politik yang gencar terkait skandal Bank Century. Puncaknya adalah ketika ia harus tampil ‘sendirian’ di forum Pansus DPR tentang Kasus Bank Century. Kasus ini sendiri, begitu menarik perhatian, bukan hanya karena melibatkan dana 6,7 trilyun rupiah, melainkan terutama karena adanya dugaan yang tersodor ke medan opini publik bahwa kasus ini adalah skandal dana politik yang melibatkan secara luas kalangan penguasa saat ini. Tegasnya, ada kecurigaan yang tertuju kepada tokoh kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (dan Dr Boediono) dan partai pemenang pemilu, Partai Demokrat.

Belum lagi masalah Bank Century tertuntaskan –namun teredam beritanya belakangan ini– muncul lagi skandal perpajakan yang melibatkan Gayus Tambunan dan merambatkan goncangan ke tubuh institusi perpajakan yang mau tak mau menyeret Departemen Keuangan. Sekali lagi, Sri Mulyani, tampil ke pentas dan menjadi pusat perhatian. Tindakan-tindakan cepat yang dilakukannya untuk melakukan pembersihan –meskipun masih harus ditunggu hingga sejauh mana nantinya– cukup diapresiasi oleh publik.

Sementara itu, pada satu-dua bulan terakhir, sejumlah figur perempuan tampil di pentas politik, siap bertarung dalam serangkaian pemilihan umum kepala daerah. Kali ini ada suatu nuansa yang berbeda, dengan aroma ‘wangi’ yang sedikit glamour. Ada nama dari kalangan artis atau selebritis yang tampil dalam arena persaingan memperebutkan jabatan politik itu, seperti Emilia Contessa, Julia Perez, Venna Melinda –yang juga adalah anggota DPR– hingga Eva Maria. Sebelumnya disebut-sebut pula nama Ayu Azhari, Inul Daratista dan lain-lain. Ada yang berlanjut ada yang terhenti atau mungkin akan terhenti. Eva Maria misalnya, mungkin akan terhenti karena orang mulai mengungkit kisah ‘video’nya dengan seorang anggota parlemen beberapa tahun lampau. Dalam gelanggang yang sama, sejumlah isteri bupati di berbagai daerah tampil mencalonkan diri untuk menjadi bupati/kepala daerah yang akan menggantikan posisi sang suami dalam konteks cikal bakal politik dinasti dalam dunia kekuasaan. Secara unik, dua isteri dari satu suami –seorang bupati incumbent– serentak tampil dan siap terjun ke kancah persaingan pemilihan kepala daerah itu untuk mengisi posisi yang akan ditinggalkan suami mereka. Adapula seorang isteri bupati tampil untuk bersaing melawan suaminya yang juga adalah bupati incumbent, terdorong rasa kesal terhadap sang suami yang mencopot dirinya dari jabatan Ketua Pembina PKK dengan segala fasilitasnya lalu mengalihkannya kepada isteri yang kedua.

Tak kalah dengan pentas politik, dalam sejumlah peristiwa hukum, muncul beberapa nama ‘tokoh’ perempuan. Ada Arthalyta Suryani, terhukum kasus suap jaksa Urip, yang berhasil mengatur kenyamanan dirinya di Lembaga Pemasyarakatan dan kemudian ‘beruntung’ mendapat pengurangan hukuman dari 5 tahun menjadi 4 tahun 6 bulan dalam proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Ada Miranda Goeltom yang harus bolak-balik ke KPK dan Pengadilan Tipikor sebagai saksi penyuapan terhadap sejumlah anggota DPR terkait pemilihan dirinya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Dalam kaitan kasus yang sama ada juga Nunun Nurbaeti isteri seorang mantan petinggi Polri, yang tak kunjung muncul di Persidangan Pengadilan Tipikor sebagai saksi, karena ‘mendadak’ menderita sejenis dementia –kehilangan daya ingat alias sakit lupa– dan harus sampai berobat ke Singapura. Padahal menurut dugaan sementara dalam kasus Miranda Goeltom, Nunun Nurbaeti lah sumber lembaran-lembaran travel cheque yang seluruhnya bernilai milyaran rupiah, yang dibagi-bagikan kepada sejumlah anggota DPR.

Para tokoh perempuan dalam catatan peristiwa di atas, bukan lagi jenis perempuan Jawa (Indonesia) yang keterbelakangan nasibnya dicemaskan R.A. Kartini (1879-1905) seabad yang lampau. Bukan perempuan yang masih berjuang atau perlu diperjuangkan nasibnya agar masuk ke dalam lingkup kesetaraan gender. Sebagian besar dari mereka sudah sejak lama berada dalam posisi kesetaraan gender, bahkan mungkin lebih dari sekedar kesetaraan. Perempuan-perempuan seperti Dr Sri Mulyani atau perempuan-perempuan anggota parlemen maupun yang telah dan akan menjadi kepala daerah, semestinya justru adalah tokoh-tokoh perempuan yang bisa lebih memperkokoh kesetaraan gender yang belum dinikmati kaum perempuan yang berada di lapisan akar rumput. Sementara apa yang dilakukan figur-figur perempuan pelakon berbagai kasus hukum, menjadi contoh perbuatan yang tak termasuk dalam makna dan tujuan kesetaraan gender.

DALAM ruang peristiwa dan dimensi waktu yang sama, terjadi pula drama lain yang melibatkan kaum perempuan, namun dalam kaitan skala nasib yang berbeda samasekali. Tercekam kecemasan yang luar biasa, ratusan kaum ibu tampil menggalang tuntutan kepada Kepolisian di Bali agar segera mengatasi dan menangkap pelaku peristiwa perkosaan berantai terhadap anak-anak perempuan mereka yang masih di bawah umur (usia SD-SMP) dalam tiga bulan terakhir ini. Perempuan-perempuan yang umumnya dari kalangan menengah ke bawah ini, penuh kecemasan karena merasa melihat fakta betapa anak-anak mereka belum cukup terlindungi dari kejahatan seksual yang keji. Bila mereka berasal dari kalangan ekonomi atas, tentu persoalan akan lebih ringan, karena mereka bisa menyuruh sopir untuk mengantar-jemput anak-anak ke dan dari sekolah dengan mobil. Beberapa hari yang lalu, kita juga menyaksikan melalui tayangan televisi, kaum ibu yang larut dalam tangisan pilu karena kehilangan anak atau putera mereka dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok 14 April 2010.

Tetapi kedua peristiwa ini, hanyalah momen-momen insidental dalam kehidupan masyarakat, khususnya di kalangan kaum perempuan. Meskipun tak sedikit insiden datang beruntun mendera masyarakat, dengan lapisan akar rumput selalu sebagai penderita utamanya, semua itu bukanlah peristiwa keseharian yang menetap dalam kehidupan masyarakat bawah. Ada sejumlah hal mendasar berupa penderitaan yang melekat dalam kehidupan perempuan di lapisan akar rumput yang tak lain bersumber pada ketidaksetaraan gender, namun pada pihak lain ternyata kaum perempuan menyangga sebagian besar dari kehidupan bangsa ini.

Angka-angka di dunia kerja menunjukkan betapa kaum perempuan menjadi tulang punggung utama beberapa jenis industri dan sektor ekonomi formal maupun non-formal. Separuh beban ekonomi keluarga pun ada di pundak kaum perempuan. Namun merupakan fakta yang ironis bahwa tenaga kerja perempuan menderita diskriminasi dalam pengupahan dan hak-hak lainnya. Pekerja-pekerja perempuan juga kerapkali menjadi sasaran empuk pelecehan seksual dan bilamana mencari keadilan atas perlakuan buruk atas dirinya cenderung akan mengalami hambatan, apalagi pelecehan atau kekerasan seksual lebih ‘sulit’ pembuktiannya. Belum lagi masih kuatnya anggapan di kalangan kaum lelaki, bahwa perempuan memang adalah objek seks.

Sejumlah penafsiran dan pemahaman ajaran agama secara keliru, khususnya dalam Islam, harus diakui merupakan persoalan tersendiri bagi kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan. Poligami –seorang lelaki bisa beristeri sampai empat orang– menjadi sumber penderitaan lahir-batin bagi perempuan dan kehancuran psikologis anak-anak dalam keluarga poligamis itu. Tentu saja ada pengecualian, tetapi hanya sedikit. Syarat-syarat berat untuk bisa beristeri lebih dari satu, cenderung disiasati. Praktek ‘nikah siri’ dipilih sebagai jalan keluar oleh banyak kaum lelaki, agar bisa mengawini perempuan lain tanpa setahu isteri. Agama dimanfaatkan sebagai pembenaran, sambil beretorika lebih baik menikah siri daripada melakukan hubungan zina. Dengan pernikahan siri, kaum perempuan kehilangan banyak hak hukumnya, dan begitu pula anak yang menjadi hasil pernikahan. Beberapa tahun yang lalu seorang yang dianggap tokoh agama, menyiasati hubungan asmara sesaatnya dengan seorang perempuan melalui nikah atau kawin mu’thah. Selesai melakukan hubungan seksual, dilakukan ritual perceraian.

Di manakah gerangan para cendekiawan Islam berada dan di mana mereka akan menempatkan diri dalam pencerahan kehidupan beragama, baik dalam kesetaraan gender maupun dalam kesetaraan kemanusiaan lainnya? Saatnya para cendekiawan Islam tampil menggantikan peran sejumlah pemuka yang punya kelemahan kompetensi dalam membawa umat ke dalam pencerahan beragama. Islam telah hadir tak kurang dari tujuh ratus tahun lamanya dalam suatu situasi pasang surut. Perlu menunggu berapa abad lagi?

Pada masa sebelum reformasi, Undang-undang Perkawinan dijalankan cukup ketat, walau banyak juga tipu daya penelikungan. Pemerintahan Soeharto –suka atau tidak suka terhadap ketokohan Soeharto– memberlakukan dengan cukup ketat suatu peraturan pemerintah yang melarang seorang pejabat atau pegawai negeri untuk beristeri lebih dari satu. Pelanggaran mengakibatkan sanksi berat, terutama dalam karir. Tetapi pada masa reformasi, peraturan pemerintah itu melenyap. Seorang Wakil Presiden beristeri sampai empat, menggunakan secara optimal hak prerogatifnya sebagai lelaki. Dengan cepat sejumlah menteri dan tokoh pemerintahan lainnya ‘meniru’ dengan senang hati, beristeri lebih dari satu. Terjadi beberapa tragedi rumah tangga. Beberapa isteri melakukan ‘perlawanan’ tapi terkalahkan. Yang lain terpaksa ‘menerima’ karena posisi yang lebih lemah. Seikhlas-ikhlas seorang perempuan untuk diduakan, tetap akan ada luka dalam sanubari.

Beberapa sistem nilai yang dianut dalam masyarakat, terutama di kalangan bawah, menempatkan wanita sebagai ‘bawahan’ kaum lelaki sebagai pemegang hegemoni dalam hubungan gender. Dan pemerintah yang mempunyai tugas mencerdaskan bangsa, nyaris tak pernah ditemukan jejak tangannya dalam suatu proses pencerahan. Sistem nilai seperti ini, ditambah anggapan bahwa secara fisik lelaki adalah lebih kuat, menyebabkan mudahnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Banyak kaum lelaki dalam sistem nilai itu merasa mempunyai hak melekat untuk ‘menghukum’ isteri secara fisik maupun dengan kata-kata, bilamana sang isteri dianggap tidak patuh. Sungguh mencegangkan bagaimana dalam banyak keluarga, anak lelaki lebih diutamakan diberi kesempatan dalam pendidikan daripada anak perempuan. Sama dengan fakta ketidaksetaraan yang seratus tahun lebih di masa lampau menyebabkan kegundahan hati R.A. Kartini melakukan upaya agar ‘habis gelap terbitlah terang’. Agaknya kesetaraan gender masih merupakan fatamorgana bagi mayoritas perempuan Indonesia, terutama di lapisan akar rumput.

AKAR dari kebekuan pencerahan sistem nilai antara lain terletak pada sejumlah fakta kegagalan demi kegagalan para pemerintah dan para pemegang kekuasaan lainnya di masyarakat. Baik dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, maupun dalam penciptaan kehidupan sosial-ekonomi dengan kelayakan minimal untuk memutus belitan kemiskinan dan kebodohan yang merupakan sumber kekufuran. Dalam belitan kemiskinan dan kebodohan yang menciptakan ketidakpastian hidup, kekerasan mudah terpicu. Baik kekerasan secara vertikal (internal, kepada isteri dan anak dalam bentuk KDRT, dan secara eksternal bisa mewujud sebagai perlawanan terhadap establishment) maupun secara horizontal terhadap sesama anggota masyarakat. Menurut catatan sejarah hingga sejauh ini, belum pernah ada pemerintah di republik ini yang terbukti betul-betul bersungguh-sungguh menangani pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Orientasi para pemegang kendali pemerintahan selama ini masih selalu kepada aspek kekuasaan demi kekuasaan, dan demi kelanggengan kekuasaan, sebagaimana salah satu ajaran Macchiaveli, jangan pernah betul-betul membuat rakyat pintar. Apa pilihan sikap kita? Jangan biarkan, perbaiki? Atau lanjutkan?

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (10)

Janganlah ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan jalan mengganti kepemimpinan nasional –national leadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Pikiran-pikiran demikian adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah berhasil”. “…. menurut pengalaman sejarah berkaitan dengan ambisi menjadi pimpinan nasional, Yang ingin tidak dikasih. Yang dipersiapkan, gagal. Yang merasa akan jadi, bubar”.

ADALAH menarik bahwa bersamaan dengan radikalisasi mahasiswa Jakarta pada bulan-bulan terakhir tahun 1973 hingga awal 1974, suhu pertarungan dalam tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Soeharto juga meningkat.

Sejak pertengahan tahun 1973, tatkala melakukan kunjungan marathon bertemu dengan dewan-dewan mahasiswa di berbagai kota terkemuka pulau Jawa –seperti Bandung, Surabaya dan Yogyakarta– popularitas dan nama Pangkopkamtib Jenderal Soemitro ibarat berada dalam satu kurva yang terus menanjak. Namanya bahkan dikaitkan dengan pola kepemimpinan nasional baru, sehingga di kampus-kampus yang dikunjunginya sejak Agustus 1973 mahasiswa bertanya “Apakah betul bapak berambisi menjadi Presiden ?”. Wacana akan adanya pergantian pimpinan nasional dalam waktu tak terlalu lama lagi segera merebak, meskipun Jenderal Soemitro senantiasa mengelak dan pada akhirnya menegaskan “Bukan mau tak mau, kalau saudara tanya pada saya, yang jelas saya tak memikirkan sejauh itu”.

Akan tetapi pada Rabu tanggal 2 Januari 1974, kurva yang sedang menanjak itu bagaikan membentuk garis patah secara tiba-tiba. Dengan wajah yang digambarkan muram bercampur keberangan, Jenderal Soemitro yang baru saja menghadap Presiden Soeharto –bersama Ali Moertopo dan Sutopo Juwono– menyampaikan kepada para wartawan yang mencegatnya di Cendana bahwa ada usaha adu domba antara dirinya dengan Ali Moertopo, antara dirinya dengan Sutopo Juwono, dan antara Sutopo Juwono dengan Ali Moertopo. “Ada isu-isu yang menyebutkan akan ada penggantian pimpinan nasional mulai 1 April”, atau paling lambat pertengahan tahun ini. Ia merasa dituduh berambisi menjadi pimpinan nasional baru. “Isu-isu itu disadap dari pertemuan saya dengan mahasiswa-mahasiswa di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat”, ujarnya seraya mengacungkan-acungkan telunjuknya. “Itulah yang kemudian dikembangkan seolah-olah akan ada pergantian pimpinan nasional mulai 1 April”. Suatu isu, “yang betul-betul aneh, keterlaluan dan kejam !”. Dan seperti Ali Moertopo yang beberapa hari sebelumnya mensitir kata-kata bersayap dari ‘sejarah’, Jenderal Soemitro pun menyatakan bahwa menurut pengalaman sejarah berkaitan dengan ambisi menjadi pimpinan nasional, “Yang ingin tidak dikasih. Yang dipersiapkan, gagal. Yang merasa akan jadi, bubar”.

Ali Moertopo, sebagaimana dikutip oleh koran berbahasa Inggeris ‘The New Standard’ pada edisi 31 Desember 1973, telah mengeluarkan pernyataan bernada peringatan dengan juga mensitir ‘pengalaman’ sejarah. “Janganlah ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan jalan mengganti kepemimpinan nasional –national leadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Pikiran-pikiran demikian adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah berhasil”. Ali Moertopo memberi contoh dari sejarah, “Runtuhnya banyak kerajaan-kerajaan dalam sejarah kita sendiri adalah disebabkan oleh kepemimpinan yang goyah. Dan dengan selalu mengingat pelajaran dari sejarah itu, tidak ada pilihan lain selain dari memperkuat kepemimpinan nasional kita”.

Peringatan dari dua jenderal yang tampaknya bernada sama itu, pada hakekatnya adalah lontaran-lontaran peringatan yang bermata dua. Ali Moertopo berposisi sebagai pihak yang memperingatkan kepada siapa pun, tapi pasti terutama kepada Jenderal Soemitro. Tetapi sebaliknya, Jenderal Soemitro pun memberi peringatan, baik kepada yang dianggapnya penyebar isu maupun insinuasi, maupun kepada pihak lain yang juga pada hakekatnya punya ambisi sama, baik karena merasa dipersiapkan atau karena merasa akan jadi. Di pintu Cendana pada tanggal 2 Januari 1974 itu –sebagaimana yang dituturkannya sendiri kemudian hari– Jenderal Soemitro juga menunjuk Ali Moertopo yang ada di dekatnya, “Saya dan dia diisukan akan mengganti Presiden Soeharto…. Saya diadukan dengan Jenderal Ali Moertopo, kemudian Jenderal Ali Moertopo diadukan dengan pak Topo. Keterlaluan”. Lalu ia memperingatkan “Jangan sampai meluas isu yang demikian. Isu itu sama sekali tidak benar dan sangat kotor”. Ali Moertopo pun menimpali, “itu makar”. Siapa pembuat isu dan insinuasi ? “Nanti akan terungkap juga !”, cetus Jenderal Soemitro.

Hari itu, kedua jenderal itu baru saja bertemu dengan Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana selama kurang lebih 1 jam, bersama Letnan Jenderal Sutopo Juwono. Akan tetapi beberapa hari sebelumnya, pada Senin pagi tanggal 31 Desember 1973, ada pertemuan lebih luas yang diikuti oleh ketiga jenderal itu beserta Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, Aspri Presiden Soedjono Hoemardani dan Aspri Presiden Tjokropranolo. Sebagian yang hadir dalam pertemuan 31 Desember itu telah ‘dibekali’ dengan informasi tentang peringatan yang telah dilontarkan Ali Moertopo melalui ‘The New Standard’ edisi hari itu.

Adanya pertemuan 31 Desember 1973 yang berlangsung di Istana Merdeka, pada satu sisi seolah-olah dibuat samar-samar namun memang pada sisi lain dibuat sedemikian rupa agar bisa diketahui sebagian masyarakat dan diberikan kesan ‘penting’. Apa yang dibicarakan pada pertemuan itu tidak diperincikan kepada masyarakat. Akan tetapi peringatan Ali Moertopo di ‘The New Standard’ –suatu koran berbahasa Inggeris dengan oplaag atau tiras yang terbatas– telah memberikan indikasi awal masalah yang akan menjadi pembicaraan pertemuan pagi tersebut. Segalanya lalu menjadi jelas setelah terjadi pertemuan lanjutan tiga jenderal tersebut dua hari kemudian di Cendana dan disampaikan kepada pers. Sejumlah wartawan yang diberi tahu tentang pertemuan itu telah bersiaga dan mencegat Jenderal Soemitro –terutama, dan bukan Ali Moertopo– lalu menghujani sang jenderal dengan serentetan pertanyaan.

Dari dua pertemuan, terlihat bahwa Jenderal Ali Moertopo ada di atas angin. Apalagi, tanpa banyak diketahui beberapa hari sebelumnya Presiden Soeharto pun telah mengadakan pertemuan tersendiri –tempatnya di luar Jakarta– dengan sejumlah menteri dari kelompok teknokrat dan kelompok Aspri. Tujuan pertemuan itu adalah untuk menjembatani ketidakserasian pandangan antara sementara Aspri –Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani– dengan kelompok teknokrat dalam pemerintahan yakni Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Teknokrat yang hadir antara lain adalah mereka yang duduk di Bappenas, ditambah Barli Halim dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Rachmat Saleh dari Bank Indonesia.

Dalam pertemuan dengan para teknokrat ini, Presiden Soeharto –seperti halnya dalam dua pertemuan berikutnya dengan para jenderal di Istana Merdeka dan Cendana– telah bertindak seakan-akan ‘moderator’ untuk menyatukan pandangan-pandangan antara satu dengan yang lainnya. Bersamaan dengan itu, Presiden Soeharto menggariskan pula beberapa kebijaksanaan, antara lain tentang akan dibentuknya suatu badan yang mirip Dewan Stabilisasi Ekonomi di bidang politik. Agaknya atas dasar penggarisan itulah maka Mayor Jenderal Ali Moertopo mengutarakan dalam ‘The New Standard’ edisi 31 Desember 1973 bahwa Presiden Soeharto berniat untuk membentuk suatu Dewan Stabilisasi Sosial Politik dan juga akan mengadakan pertemuan rutin sekali seminggu dengan dewan ini sebagaimana halnya dengan Dewan Stabilisasi Ekonomi. Adalah pula dalam pertemuan dengan teknokrat dan Aspri itu Presiden menegaskan kembali tentang hak prerogatifnya untuk menggunakan Aspri-aspri. Dan yang terpenting dalam kaitan masalah Aspri ini, penegasan Presiden Soeharto bahwa urusan pembinaan sosial politik tetap akan dipercayakan kepada Aspri Bidang Politik Mayor Jenderal Ali Moertopo.

Jadi, tatkala masuk ke ruang-ruang pertemuan di Cendana dan Istana Merdeka, Ali Moertopo memang ada dalam posisi atas angin terhadap Jenderal Soemitro dan juga Jenderal Sutopo Juwono.  Adalah pula Ali Moertopo yang sebelum dua pertemuan terakhir ini yang sudah terlebih dahulu menunjukkan keunggulan informasi kebijakan tingkat tinggi –yang mengesankan ia berada di pusat pengambilan keputusan– dengan mengungkapkan akan adanya minor reshuffle di tubuh kekuasaan, khususnya di eselon militer tertinggi. Bahwa Laksamana Soedomo yang menjabat Wakil Panglima Kopkamtib saat itu akan mendapat promosi menduduki jabatan yang lebih tinggi dari jabatannya saat itu. Ali tidak mengungkap secara tepat jabatan baru itu, tapi tak ada jabatan lebih tinggi lagi di lingkungan itu selain jabatan pimpinan Kopkamtib itu sendiri. Sementara jabatan lebih tinggi lainnya di lingkungan Hankamnas sangat bisa dihitung dengan jari dan terbatas, yakni jabatan Menteri Hankam Panglima Angkatan Bersenjata yang sedang diduduki Jenderal Maraden Panggabean yang saat itu tampaknya sedang ‘tidak dipermasalahkan’.

Suatu laporan Badan Koordinasi Intelejen Negara, yang dikeluarkan tiga bulan kemudian –dengan kata pengantar yang ditandatangani oleh Kepala Bakin baru Yoga Soegomo– secara formal tidak mengakui adanya perpecahan internal di kalangan kekuasaan tersebut. Bakin hanya menggambarkan adanya gerakan-gerakan tertentu yang ingin memanfaatkan asumsi adanya perpecahan di kalangan kekuasaan tersebut. Lebih tepatnya, Bakin ingin mengesankan bahwa adanya perpecahan hanya sekedar ditiup-tiupkan dari arah eksternal. Kelompok ex PSI melalui wartawan senior Rosihan Anwar misalnya, antara 11-13 Desember 1973 dicatat telah memberitahukan kepada Hariman Siregar tatkala berada di Hotel Ambarukmo Yogya tentang perpecahan antara Aspri dan Pangkopkamtib. Padahal pada bulan Agustus 1973, hal-hal seputar rivalitas itu sudah menjadi bahan pertanyaan yang diajukan mahasiswa Bandung misalnya kepada Pangkopkamtib maupun kepada kalangan kekuasaan lainnya.

Masih dalam rangkaian laporan itu, dicatat pula bahwa pada 30 Desember 1973 Hariman Siregar menghadiri rapat di tempat Mochtar Lubis yang membahas “bentuk-bentuk gerakan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto”. Tapi ini belakangan dibantah oleh Mochtar Lubis, bahwa pertemuan itu sendiri tidak pernah terjadi. “Dalam Peristiwa Malari itu, saya tidak ikut campur, malahan jauh sama sekali dari ikut merencanakannya”, Mochtar Lubis menegaskan. Dan kemudian ada juga catatan tentang pengarahan dua tokoh ex perjuangan 1966 dari Bandung, Rahman Tolleng dan Awan Karmawan Burhan, kepada Hariman Siregar tentang tujuan-tujuan berupa reshuffle kabinet, rehabilitasi PSI, mendorong revolusi sosial dan sinyalemen tentang jenderal-jenderal korup di sekitar Soeharto.

Selain itu, ada pula uraian mengenai gerakan Kolonel (purnawirawan) Ramadi, eks Jaksa Tentara dan tokoh Guppi, yang menggalang upaya penggulingan Pimpinan Nasional Presiden Soeharto. Gerakan Ramadi dilukiskan telah merancang hingga kepada menyiapkan penyodoran suatu kabinet baru pada saat telah tercipta kerusuhan atau huru hara. Dan bahkan telah disiapkan Mayjen Suadi sebagai pemimpin gerakan yang sekaligus akan menggantikan kedudukan Jenderal Maraden Panggabean selaku Menteri Pertahanan Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata. Menurut laporan Bakin ini, gerakan Ramadi menganggap perlu mengadakan perubahan politik karena wibawa pemerintah makin menurun, ditambah inisiatif Jenderal Soemitro berkunjung ke Tafaat Tapol (Tempat Pemanfaatan Tahanan Politik) di Pulau Buru hanya akan memberi angin kepada PKI. Alasan perubahan politik lainnya adalah terkait kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Moertopo dalam bidang politik yang hanya menguntungkan orang-orang cina saja karena telah didikte oleh Lim Bian Koen (Sofjan Wanandi, saudara Lim Bian Kie/Jusuf Wanandi). Alasan lainnya lagi, dikuasainya 25% uang-uang dan pinjaman luar negeri oleh orang-orang tertentu saja serta dominasi ekonomi orang cina, korupsi merajalela, sulitnya penghidupan dan lapangan kerja dan tertekannya rakyat atau buruh kecil.

Meskipun dalam rancangan Ramadi, Jenderal Soemitro disentil, namun dalam satu laporan lain yang pernah disampaikan kepada Presiden Soeharto –disampaikan oleh Jenderal Maraden Panggabean yang didampingi Wakil Ketua G-1 Hankam Laksamana Kusnaedi Bagja– nama Jenderal Soemitro dikait-kaitkan dengan rencana gerakan tersebut. Sebenarnya, adanya dokumen Ramadi ini yang menyeret nama Soemitro, lebih dahulu pernah dilaporkan Ka Bakin Sutopo Juwono kepada Presiden. Menanggapi laporan tersebut, menurut Letjen Sutopo Juwono, pertama kali Presiden justru menjawab “Mereka hanya memakai nama Mitro”. Namun kelak ketika laporan serupa disampaikan kembali kepada Presiden setelah terjadinya peristiwa tanggal 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro dipanggil Presiden. Kepadanya, Presiden berkata, “Mit, ada laporan mengenai dokumen Ramadi lagi, yang dihubung-hubungkan dengan Mitro. Ini satu organisasi yang menyebut-nyebut nama Mitro untuk tujuan yang tidak baik”.

Berlanjut ke Bagian 11

Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (5)

“Tanggal 10 Maret, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai-partai tersebut  untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda”. ”Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan ‘apa’pun yang diinginkannya. Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam fase kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya”.

Setelah insiden berdarah yang merenggut nyawa Arief Rahman Hakim, keesokan harinya, 25 Februari, Laksamana Muda Udara Sri Mujono Herlambang justru mengumumkan Keputusan Kogam tentang pembubaran KAMI. Selain itu, di Jakarta juga diberlakukan jam malam, yang berlaku sejak 21.00 hingga 06.00 pagi dan larangan berkumpul lebih dari lima orang.

Pembubaran KAMI dengan segera ditolak oleh mahasiswa Bandung. Hanya beberapa jam setelah pembubaran diumumkan, pada mahasiswa Bandung ini, yakni jam 24.00 tanggal 25 Februari, mahasiswa Bandung telah mengeluarkan penegasan penolakan tersebut. Penolakan ini memberikan dampak moril bagi para mahasiswa di berbagai kota untuk juga ikut menolak keputusan pembubaran KAMI tersebut. Adalah pula tengah malam menjelang tanggal 25 Pebruari itu, mahasiswa-mahasiswa Bandung yang menilai bahwa rekan-rekannya di Jakarta sedang mengalami tekanan berat dari penguasa memutuskan mengirimkan tenaga bantuan ke Jakarta, jumlahnya ratusan namun dikirim bergelombang dan dilakukan secara diam-diam. Mahasiswa Bandung, telah berpengalaman ketika long march mereka ke Jakarta 17 Januari 1966 sebagai suatu gerakan terbuka dihambat oleh aparat keamanan, maupun karena terjadinya pendudukan kampus ITB oleh Barisan Soekarno –Siswono Judohusodo dan kawan-kawan dari GMNI.

Rombongan pertama mahasiswa Bandung yang berangkat ke Jakarta –belakangan akan dikenal sebagai Kontingen Bandung– terdiri dari empat puluh orang dengan menggunakan dua bus umum. Selama perjalanan, empat puluh mahasiswa yang seluruhnya dari mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok Bangbayang, dipimpin oleh Riswanto Ramelan mahasiswa Seni Rupa ITB, berpura-pura untuk tidak saling kenal. Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa Elektro ITB Bernard Mangunsong, menggunakan kereta api pukul enam pagi dan turun di Stasiun Jakarta Kota. Sedang rombongan ketiga yang juga menggunakan kereta api pukul sepuluh pagi, turun di Kramat Sentiong. Rombongan berkereta api ini pada umumnya anggota Batalion I Resimen Mahawarman. Sedangkan rombongan terbesar dan terakhir, yang terdiri dari kurang lebih 150 mahasiswa menggunakan kereta api pukul tiga sore, dipimpin oleh Arifin Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak Bandung-Jakarta Kota dalam tempo empat setengah jam.

Selain mahasiswa yang datang berombongan ini, terdapat pula sejumlah mahasiswa yang datang dengan berbagai cara secara berangsur-angsur selama beberapa hari, belum lagi yang sudah berada di Jakarta sejak beberapa hari sebelumnya, termasuk mahasiswa-mahasiswa penggerak seperti Zaenal Arifin dan kawan-kawan dari kelompok Bangbayang. Sehingga secara keseluruhan kontingen ini berkekuatan 400-an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung, namun terbanyak dari ITB. Jumlah ini sebenarnya tidak terlalu besar di tengah ribuan massa mahasiswa Jakarta, namun militansi dan keunikan Kontingen Bandung ini membuatnya berperan. Pada malam kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus –artinya tak ada mahasiswa yang boleh menginap– dengan alasan ada kemungkinan serangan dari pasukan-pasukan yang pro Soekarno. Terutama setelah terjadinya serangan bersenjata terhadap satu mobil Pasukan Tjakrabirawa.

Hanya satu malam Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba, karena keesokan harinya berangsur-angsur mereka kembali ke sana. Mereka bertahan seterusnya di sana, sementara sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta yang tertekan karena teror dan ancaman, menginap di Kopur (Komando Tempur) Kostrad untuk keselamatan mereka. “Kontingen Mahasiswa Bandung akan terus bertahan di Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan atau Soekarno dilumpuhkan”, ujar Muslimin Nasution, salah seorang pimpinan kontingen –bersama dengan antara lain Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat. Kedatangan Kontingen Bandung itu sendiri, justru pada saat mahasiswa Jakarta sedang ditekan, mempunyai arti tersendiri untuk menaikkan spirit rekan-rekannya mahasiswa Jakarta. Anggota-anggota Kontingen ini juga berinisiatif melakukan gerakan-gerakan mengejutkan ke sasaran-sasaran strategis. Meskipun bisa saja dianggap keterlaluan, mahasiswa-mahasiswa seni rupa ITB –Riswanto Ramelan, T. Soetanto dan kawan-kawan– yang ada di Kontingen itu menciptakan kreasi-kreasi seperti patung besar Soebandrio dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna Peking. Patung ini ikut dibawa ketika Kontingen Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta dan pelajar KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak-abrik ruang kerja Soebandrio di Departemen Luar Negeri. Patung ini lalu dicari-cari untuk disita oleh aparat Kodam Jaya, dan akhirnya ‘terpaksa’ dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan pelajar setelah diarak, dalam suatu acara simbolik di kampus Salemba.

Pada hari-hari berikutnya, tak henti-hentinya terjadi konflik fisik antara mahasiswa KAMI dengan anggota-anggota Front Marhaenis Ali Surachman. Ini adalah buah dari pengerahan yang diciptakan oleh para pemimpin partai dan para pendukung Soekarno, terutama dengan pembentukan Barisan Soekarno yang diperhadapkan dengan mahasiswa KAMI dan para pelajar dari KAPPI. Selain menyerbu Departemen Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa juga melakukan penyerbuan ke Kantor Berita RRT Hsin Hua, namun gagal. Tanggal 10 Maret, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai-partai tersebut  untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda.

Pada 11 Maret berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak pagi-pagi, mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi pengempesan ban mobil untuk memacetkan jalan. Sengaja atau tidak, peningkatan tekanan yang terjadi akibat demonstrasi besar-besaran mahasiswa ini memperkuat bargaining position Mayjen Soeharto terhadap Soekarno. Ditambah dengan efek kejut yang ditimbulkan oleh kemunculan pasukan tanpa pengenal lengkap –yang sebenarnya digerakkan oleh Brigjen Kemal Idris– yang diisukan sebagai pasukan tak dikenal yang akan mengepung istana, maka Soekarno tiba pada suatu posisi psikologis dan mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno dengan tergesa-gesa meninggalkan istana menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.

Tentang peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, Dr Soebandrio mempunyai versi sendiri. Ia menulis “di beberapa buku disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Saboer, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu, mungkin karena kegerahan duduk lama menunggu, tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu”.

Lebih jauh, Soebandrio menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang, yang tidak pernah dituliskan siapa pun, ia merasa bingung, akan ke mana? “Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil semua menteri, sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk pikuk di sekitar istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan”. Soebandrio mengaku sepedanya meluncur terus ke selatan sampai bundaran Bank Indonesia. Tetapi ia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa sampai jalan Thamrin. Ia ragu apakah bisa lolos.  Maka ia kembali mengayuh sepeda kembali ke istana dan “hebatnya” dia sampai di istana tanpa diketahui para demonstran.

“Begitu tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak tahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah, ketika berlari menuju heli tanpa sepatu, saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor”.

Apapun yang terjadi dengan Soebandrio dan Soekarno pada siang hari 11 Maret itu, malamnya lahir Surat Perintah 11 Maret, yang dibuat ‘bersama’ tiga jenderal yang sebenarnya dekat dengan Soeharto, yakni Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen Muhamad Jusuf dan Brigjen Amirmahmud. Dan atas dasar Surat Perintah itu, Soeharto kemudian membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. Beberapa hari kemudian, 18 Maret, Soeharto melakukan tindakan untuk ‘mengamankan’ 15 Menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan ‘apa’pun yang diinginkannya.

Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam fase kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya.

(Dari:Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 – Mitos dan Dilema, Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006).