Tag Archives: Dewan Pembina Partai Demokrat

Kisah ‘Bubur Panas Hambalang’: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono

DALAM pemberantasan korupsi, KPK lebih banyak memilih cara bertindak bagaikan ‘makan bubur panas’. Takut lidah tersengat panas, sang bubur disantap dari pinggir seraya mengulur waktu membiarkannya berangin-angin lebih dulu. Saat menangani kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, dengan sabar KPK selama tahunan menyantap dari pinggir. Hampir saja bubur menjadi basi. Penindakan dimulai terhadap anggota-anggota DPR penerima suap yang dipilih dengan urutan mulai dari yang kurang ‘kuat’ sebelum menuju yang lebih ‘kuat’ posisi politiknya. Lalu meningkat ke perantara penyalur dana yang isteri jenderal mantan petinggi Polri, untuk akhirnya baru mengarah ke sang DGS pokok masalah. Tapi bagian paling tengah yang menjadi penyandang dana suap –yang menurut rumor politik adalah seorang tokoh yang berpengaruh dan ditakuti karena kekuatan uang maupun koneksinya di kalangan kekuasaan– sampai saat ini tetap saja belum tersentuh.

ANAS URBANINGRUM DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM NUANSA BIRU. "Kalau ternyata keterlibatan Andi Mallarangeng adalah hasil suatu fait-accompli, menjadi pertanyaan siapakah yang mampu membuatnya bisa tertekan? Apakah Anas Urbaningrum sebagai kolega separtai dan sama-sama maju sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres di Bandung dan kini bertumbuh menjadi lebih powerful? Apakah DPP Partai sebagai kekuatan kolektif? Ataukah Dewan Pembina yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono?" (download Tempo).
ANAS URBANINGRUM DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM NUANSA BIRU. “Kalau ternyata keterlibatan Andi Mallarangeng adalah hasil suatu fait-accompli, menjadi pertanyaan siapakah yang mampu membuatnya bisa tertekan? Apakah Anas Urbaningrum sebagai kolega separtai dan sama-sama maju sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres di Bandung dan kini bertumbuh menjadi lebih powerful? Apakah DPP Partai sebagai kekuatan kolektif? Ataukah Dewan Pembina yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono?” (download Tempo).

Tak kalah lambat, adalah penanganan kasus dana talangan Bank Century, karena rupanya buburnya betul-betul panas. Sudah tahunan lamanya berangin-angin, namun tetap saja panas bagi KPK. Baru bulan lalu, KPK mulai menyendok pinggiran bubur dengan menjadikan dua mantan pejabat tinggi BI sebagai tersangka. Berdasarkan pemberitaan tentang kasus tersebut selama ini, terutama dengan narasumber kalangan politik di DPR, publik tergiring ke suatu opini spekulatif bahwa Dr Budiono (dan entah siapa lagi di kalangan tinggi) ada di tengah-tengah ‘bubur panas’. Saat kasus terjadi, Budiono sedang menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Dan ketika kasus mencuat ke tengah publik, beliau sudah menjadi Wakil Presiden. Pantas saja tingkat kesulitannya menjadi lebih tinggi. Continue reading Kisah ‘Bubur Panas Hambalang’: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono

Pemberantasan Korupsi: Kisah Jalan Beringsut KPK dan Panglima Pemberantasan Korupsi di Garis Belakang (2)

MESKIPUN KPK telah dibekali melalui undang-undang berbagai kelengkapan yang bisa membuatnya sebagai suatu superbody, hingga sejauh ini lembaga tersebut belum cukup membuktikan diri sebagai pemberantas korupsi nomor wahid. Tubuhnya masih dilekati berbagai penyakit dan sindrom yang secara tradisional diidap oleh lembaga penegakan hukum lainnya, kepolisian maupun kejaksaaan. Masih sulit untuk menghindari kesan bahwa KPK yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan terakhir masyarakat per saat ini, juga masih pilih-pilih tebu dalam penanganan perkara korupsi. Keberanian? Sikap pilih-pilih tebu pastilah akibat keberanian yang kurang, bukan terutama terkait sikap ingin cermat. Kalau berani, KPK akan bersikap tidak pandang bulu.

Begitu menghadapi kasus-kasus yang diduga di belakangnya terlibat kelompok-kelompok yang sedang berkuasa –baik karena legitimasi konstitusionalnya maupun karena kekuatan dana– KPK masuk ke jalur lambat dan atau menghindar. Sebut saja, dalam kasus Bank Century, Rekening Gendut Perwira Polri, maupun babak lanjut penanganan tokoh-tokoh Partai Demokrat selain Nazaruddin dan Angelina Sondakh. KPK dalam pada itu tampaknya sungkan ikutan menangani tindak lanjut mafia perpajakan, episode pasca Gayus Tambunan, yang nyata-nyata adalah tergolong tindak pidana korupsi yang tak boleh tidak melibatkan petinggi Kementerian Keuangan dan kalangan pengusaha besar.

LUCKY LUKE, LEBIH CEPAT DARI BAYANGANNYA SENDIRI. “Bayangan pencitraannya boleh saja meloncat ke garis depan pemberantasan korupsi, tapi raganya tertinggal, terperangkap dalam selimut. Sehingga, selalu lebih lambat dari bayangannya sendiri. Tak seperti tokoh komik Lucky Luke, yang bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri,…..” (download).

Belakangan ini, dalam penanganan lanjut tokoh-tokoh Partai Demokrat, setelah Nazaruddin dan Angelina Sondakh, cukup terlihat tanda-tanda kebimbangan KPK. Meski nama Anas Urbaningrum misalnya sudah berulang-ulang disebut, KPK belum ‘bergerak’ meminta keterangan Ketua Umum Partai Demokrat itu sebagai saksi, apalagi menjadikannya tersangka. Apa ini ada hubungannya dengan semacam analisa dari pengamat sosial-politik Tjipta Lesmana bahwa Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga adalah Presiden RI, tak mau mengutik-utik Anas Urbaningrum karena Anas bisa menyeret nama SBY dan atau lingkarannya ke dalam kasus? Analisa seperti ini bisa muncul, dan masuk akal, karena setiap mobilisasi dana yang dilakukan kader-kader partai hampir bisa dipastikan adalah bagian tak terpisahkan dari ‘politik dana’ partai itu sendiri. Partai manapun. Tak terkecuali Partai Demokrat yang paling kuat aksesnya kepada aliran dana negara, sebagai partai yang berkuasa. Lalu, pertanyaannya tentu, kenapa sikap KPK harus sejalan dan seirama dengan sang Pembina Partai Demokrat yang sekaligus adalah Presiden?

Dalam persidangan Tipikor dengan terdakwa Nazaruddin, saat Angelina Sondakh ditampilkan sebagai saksi, terungkap beberapa kejanggalan dalam proses BAP oleh penyidik KPK dan menimbulkan tanda tanya. Salah satunya adalah tidak di’kejar’nya oleh penyidik KPK –masih di zaman KPK kepemimpinan Busyro Muqoddas– mengenai (kepemilikan) salah satu Blackberry Angelina Sondakh dan atau salah satu PIN BB Angelina. Padahal, satu di antara bukti penting yang diajukan jaksa KPK dalam kasus Wisma Atlet ini adalah rekaman komunikasi BBM antara Mindo Rosalina dengan Angelina Sondakh. Beberapa nama penting –Anas Urbaningrum, I Wayan Koster, Mirwan Amir, Mahyudin, Menpora dan Angelina Sondakh sendiri– serta gambaran tentang aliran dana ada dalam rekaman komunikasi BBM tersebut. Mungkin rekaman yang dibantah habis oleh Angelina Sondakh, adalah rekaman dari BB yang ‘hilang’ di BAP itu, bukan dalam BB yang menurut Angelina Sondakh baru dimilikinya sejak akhir 2010. Bila bukti rekaman ini bisa dipatahkan, terbuka kemungkinan banyak yang akan selamat dari kasus Wisma Atlet, termasuk Angelina dan Nazaruddin sendiri.

SEMENTARA itu, dalam kaitan kasus Bank Century, terlihat jelas masih berbeda-bedanya sikap dan keyakinan di antara pimpinan KPK yang baru. Dalam rapat kerja dengan Tim Pengawas Kasus Bank Century DPR-RI (15/2), Ketua KPK Abraham Samad memastikan KPK akan menyelesaikan kasus tersebut pada tahun 2012 ini juga. Tapi Wakil Ketua Zulkarnaen, mengingatkan agar jangan menggunakan kata ‘memastikan’ melainkan ‘menjanjikan’. Sedang Busyro Muqoddas menegaskan “belum dapat memastikan” kapan kasus Bank Century bisa dituntaskan. Bambang Widjojanto juga ikut mengakui, sulit dipastikan waktu penyelesaian kasus tersebut. Bambang Widjojanto lebih lanjut mengungkapkan telah memutuskan tidak mengambil suara dalam kasus Bank Century, karena “pernah menjadi penasehat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang juga berperan dalam kasus Bank Century” (Kompas, 16/2).

Kasus Bank Century merupakan suatu kasus besar yang pengungkapannya sangat diharapkan publik. Dalam kasus itu mengambang cerita belakang layar tentang penyalahgunaan besar-besaran dana negara untuk kepentingan politik dalam kaitan Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden tahun 2009. Setelah ‘terbiasa’ dengan angka-angka perolehan suara kecil dalam berbagai pemilihan masa reformasi, untuk pertama kalinya tercetak kembali satu perolehan angka suara besar yang hampir menyamai angka-angka perolehan kalangan penguasa di masa Orde Baru, yang tembus di atas 60 persen. Angka spektakuler ini diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono dalam Pilpres 2009.

LUCKY LUKE. “…..meskipun di waktu senggang ia suka bersantai main catur dengan Jolly Jumper kudanya”. (download)

Aktivis Petisi 50 di masa Soeharto, Chris Siner Keytimu, mengeritik sikap Bambang Widjojanto dalam kasus Bank Century ini. “Saudara Bambang Widjojanto sebagai Wakil Ketua KPK dalam menjalankan tugasnya harus mewakili hati nurani, akal sehat dan kehendak baik”. Aneh, kalau dalam kasus Bank Century ia menyatakan tak ambil suara. Itu berarti, tidak bersikap. “Mengapa tidak mundur sekalian dari KPK?”, kata Chris. Bambang Widjojanto menjawab Chris melalui SMS, “saya setuju nasihat dan kritik yang bernas dan dan cerdas dalam konteks saling asih, asuh dan asah dari siapapun”. Apalagi jika nasehat didasarkan atas pemahaman yang utuh atas pokok soal. “Saya terlibat conflict of interest karena kantor lawyer di mana saya bergabung pernah menjadi legal adviser LPS. Saya sudah deklarasikan potensi conflict of interest itu dalam Rapim dan sebagai konsekuensinya saya tidak bisa vote kendati tetap mendorong proses. Doakan kami agar terus meletakkan hati nurani, akal sehat, dan kehendak baik dalam bersikap dan berperilaku. Tetap professional dan akuntabel serta mencari ridho Allah dalam bekerja”.

Apakah kisah jalan beringsut KPK dalam pemberantasan korupsi ini, memiliki tali temali dengan tokoh Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri dan ‘pemilik’ Partai Demokrat? Suka atau tidak suka, dengan berbagai keterlibatan kader-kader Partai Demokrat dalam berbagai kasus korupsi di daerah hingga tingkat pusat, timbul anggapan kuat bahwa partai tersebut adalah partainya kaum korup. Meskipun, harus diakui, pada dasarnya, seluruh partai yang ada, besar atau kecil, bagaimanapun juga punya keterlibatan dengan korupsi serta berbagai manipulasi keuangan lainnya dalam lumpur money politic. Adakah satu saja di antara sembilan partai yang eksis di DPR saat ini, yang bisa memproklamirkan diri bersih dari korupsi dan manipulasi uang? Bahkan Fraksi ABRI yang sudah almarhum pun tercatat namanya dalam khazanah korupsi dan suap menyuap politik. Setiap partai punya perkara. Barangkali, partai-partai ‘baru’ yang akan tampil di arena pemilihan umum mendatang, cukup dengan mengamati para inisiatornya, sembilan dari sepuluh akan menjalani lakon yang sama. Dengan persyaratan berat yang diterapkan untuk mendirikan partai baru (atau merger) dan untuk bisa menjadi peserta pemilihan umum, diperlukan biaya yang sangat besar. Dari mana sumber dananya?

Dengan keadaannya sekarang, sebagai pembina partai, Susilo Bambang Yudhoyono, seakan tidur satu selimut dengan para kriminal keuangan politik di dalam partainya itu. Padahal, SBY pernah mendaulat akan berada di garis depan dalam pemberantasan korupsi. Sejauh yang tampak, berdasarkan sikap dan tindakan faktualnya selama ini, tak pernah SBY berada di garis depan. Bayangan pencitraannya boleh saja meloncat ke garis depan pemberantasan korupsi, tapi raganya tertinggal, terperangkap dalam selimut. Sehingga, selalu lebih lambat dari bayangannya sendiri. Tak seperti tokoh komik Lucky Luke, yang bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri, meskipun di waktu senggang ia suka bersantai main catur dengan Jolly Jumper kudanya. Sebagai Presiden memang ia tak boleh mencampuri suatu proses peradilan, tetapi sebagai atasan para penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, ia bisa memacu dan bila perlu melecut aparat di bawah kewenangannya itu untuk menjalankan tugas pemberantasan korupsi.

Apakah untuk fenomena kelambatan dan kisah panglima pemberantasan korupsi yang tertinggal di garis belakang ini, diperlukan analisis dan penelusuran lanjut terhadap apa yang dinyatakan Tjipta Lesmana?