Tag Archives: Tjipta Lesmana

Pemberantasan Korupsi: Kisah Jalan Beringsut KPK dan Panglima Pemberantasan Korupsi di Garis Belakang (2)

MESKIPUN KPK telah dibekali melalui undang-undang berbagai kelengkapan yang bisa membuatnya sebagai suatu superbody, hingga sejauh ini lembaga tersebut belum cukup membuktikan diri sebagai pemberantas korupsi nomor wahid. Tubuhnya masih dilekati berbagai penyakit dan sindrom yang secara tradisional diidap oleh lembaga penegakan hukum lainnya, kepolisian maupun kejaksaaan. Masih sulit untuk menghindari kesan bahwa KPK yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan terakhir masyarakat per saat ini, juga masih pilih-pilih tebu dalam penanganan perkara korupsi. Keberanian? Sikap pilih-pilih tebu pastilah akibat keberanian yang kurang, bukan terutama terkait sikap ingin cermat. Kalau berani, KPK akan bersikap tidak pandang bulu.

Begitu menghadapi kasus-kasus yang diduga di belakangnya terlibat kelompok-kelompok yang sedang berkuasa –baik karena legitimasi konstitusionalnya maupun karena kekuatan dana– KPK masuk ke jalur lambat dan atau menghindar. Sebut saja, dalam kasus Bank Century, Rekening Gendut Perwira Polri, maupun babak lanjut penanganan tokoh-tokoh Partai Demokrat selain Nazaruddin dan Angelina Sondakh. KPK dalam pada itu tampaknya sungkan ikutan menangani tindak lanjut mafia perpajakan, episode pasca Gayus Tambunan, yang nyata-nyata adalah tergolong tindak pidana korupsi yang tak boleh tidak melibatkan petinggi Kementerian Keuangan dan kalangan pengusaha besar.

LUCKY LUKE, LEBIH CEPAT DARI BAYANGANNYA SENDIRI. “Bayangan pencitraannya boleh saja meloncat ke garis depan pemberantasan korupsi, tapi raganya tertinggal, terperangkap dalam selimut. Sehingga, selalu lebih lambat dari bayangannya sendiri. Tak seperti tokoh komik Lucky Luke, yang bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri,…..” (download).

Belakangan ini, dalam penanganan lanjut tokoh-tokoh Partai Demokrat, setelah Nazaruddin dan Angelina Sondakh, cukup terlihat tanda-tanda kebimbangan KPK. Meski nama Anas Urbaningrum misalnya sudah berulang-ulang disebut, KPK belum ‘bergerak’ meminta keterangan Ketua Umum Partai Demokrat itu sebagai saksi, apalagi menjadikannya tersangka. Apa ini ada hubungannya dengan semacam analisa dari pengamat sosial-politik Tjipta Lesmana bahwa Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga adalah Presiden RI, tak mau mengutik-utik Anas Urbaningrum karena Anas bisa menyeret nama SBY dan atau lingkarannya ke dalam kasus? Analisa seperti ini bisa muncul, dan masuk akal, karena setiap mobilisasi dana yang dilakukan kader-kader partai hampir bisa dipastikan adalah bagian tak terpisahkan dari ‘politik dana’ partai itu sendiri. Partai manapun. Tak terkecuali Partai Demokrat yang paling kuat aksesnya kepada aliran dana negara, sebagai partai yang berkuasa. Lalu, pertanyaannya tentu, kenapa sikap KPK harus sejalan dan seirama dengan sang Pembina Partai Demokrat yang sekaligus adalah Presiden?

Dalam persidangan Tipikor dengan terdakwa Nazaruddin, saat Angelina Sondakh ditampilkan sebagai saksi, terungkap beberapa kejanggalan dalam proses BAP oleh penyidik KPK dan menimbulkan tanda tanya. Salah satunya adalah tidak di’kejar’nya oleh penyidik KPK –masih di zaman KPK kepemimpinan Busyro Muqoddas– mengenai (kepemilikan) salah satu Blackberry Angelina Sondakh dan atau salah satu PIN BB Angelina. Padahal, satu di antara bukti penting yang diajukan jaksa KPK dalam kasus Wisma Atlet ini adalah rekaman komunikasi BBM antara Mindo Rosalina dengan Angelina Sondakh. Beberapa nama penting –Anas Urbaningrum, I Wayan Koster, Mirwan Amir, Mahyudin, Menpora dan Angelina Sondakh sendiri– serta gambaran tentang aliran dana ada dalam rekaman komunikasi BBM tersebut. Mungkin rekaman yang dibantah habis oleh Angelina Sondakh, adalah rekaman dari BB yang ‘hilang’ di BAP itu, bukan dalam BB yang menurut Angelina Sondakh baru dimilikinya sejak akhir 2010. Bila bukti rekaman ini bisa dipatahkan, terbuka kemungkinan banyak yang akan selamat dari kasus Wisma Atlet, termasuk Angelina dan Nazaruddin sendiri.

SEMENTARA itu, dalam kaitan kasus Bank Century, terlihat jelas masih berbeda-bedanya sikap dan keyakinan di antara pimpinan KPK yang baru. Dalam rapat kerja dengan Tim Pengawas Kasus Bank Century DPR-RI (15/2), Ketua KPK Abraham Samad memastikan KPK akan menyelesaikan kasus tersebut pada tahun 2012 ini juga. Tapi Wakil Ketua Zulkarnaen, mengingatkan agar jangan menggunakan kata ‘memastikan’ melainkan ‘menjanjikan’. Sedang Busyro Muqoddas menegaskan “belum dapat memastikan” kapan kasus Bank Century bisa dituntaskan. Bambang Widjojanto juga ikut mengakui, sulit dipastikan waktu penyelesaian kasus tersebut. Bambang Widjojanto lebih lanjut mengungkapkan telah memutuskan tidak mengambil suara dalam kasus Bank Century, karena “pernah menjadi penasehat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang juga berperan dalam kasus Bank Century” (Kompas, 16/2).

Kasus Bank Century merupakan suatu kasus besar yang pengungkapannya sangat diharapkan publik. Dalam kasus itu mengambang cerita belakang layar tentang penyalahgunaan besar-besaran dana negara untuk kepentingan politik dalam kaitan Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden tahun 2009. Setelah ‘terbiasa’ dengan angka-angka perolehan suara kecil dalam berbagai pemilihan masa reformasi, untuk pertama kalinya tercetak kembali satu perolehan angka suara besar yang hampir menyamai angka-angka perolehan kalangan penguasa di masa Orde Baru, yang tembus di atas 60 persen. Angka spektakuler ini diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono dalam Pilpres 2009.

LUCKY LUKE. “…..meskipun di waktu senggang ia suka bersantai main catur dengan Jolly Jumper kudanya”. (download)

Aktivis Petisi 50 di masa Soeharto, Chris Siner Keytimu, mengeritik sikap Bambang Widjojanto dalam kasus Bank Century ini. “Saudara Bambang Widjojanto sebagai Wakil Ketua KPK dalam menjalankan tugasnya harus mewakili hati nurani, akal sehat dan kehendak baik”. Aneh, kalau dalam kasus Bank Century ia menyatakan tak ambil suara. Itu berarti, tidak bersikap. “Mengapa tidak mundur sekalian dari KPK?”, kata Chris. Bambang Widjojanto menjawab Chris melalui SMS, “saya setuju nasihat dan kritik yang bernas dan dan cerdas dalam konteks saling asih, asuh dan asah dari siapapun”. Apalagi jika nasehat didasarkan atas pemahaman yang utuh atas pokok soal. “Saya terlibat conflict of interest karena kantor lawyer di mana saya bergabung pernah menjadi legal adviser LPS. Saya sudah deklarasikan potensi conflict of interest itu dalam Rapim dan sebagai konsekuensinya saya tidak bisa vote kendati tetap mendorong proses. Doakan kami agar terus meletakkan hati nurani, akal sehat, dan kehendak baik dalam bersikap dan berperilaku. Tetap professional dan akuntabel serta mencari ridho Allah dalam bekerja”.

Apakah kisah jalan beringsut KPK dalam pemberantasan korupsi ini, memiliki tali temali dengan tokoh Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri dan ‘pemilik’ Partai Demokrat? Suka atau tidak suka, dengan berbagai keterlibatan kader-kader Partai Demokrat dalam berbagai kasus korupsi di daerah hingga tingkat pusat, timbul anggapan kuat bahwa partai tersebut adalah partainya kaum korup. Meskipun, harus diakui, pada dasarnya, seluruh partai yang ada, besar atau kecil, bagaimanapun juga punya keterlibatan dengan korupsi serta berbagai manipulasi keuangan lainnya dalam lumpur money politic. Adakah satu saja di antara sembilan partai yang eksis di DPR saat ini, yang bisa memproklamirkan diri bersih dari korupsi dan manipulasi uang? Bahkan Fraksi ABRI yang sudah almarhum pun tercatat namanya dalam khazanah korupsi dan suap menyuap politik. Setiap partai punya perkara. Barangkali, partai-partai ‘baru’ yang akan tampil di arena pemilihan umum mendatang, cukup dengan mengamati para inisiatornya, sembilan dari sepuluh akan menjalani lakon yang sama. Dengan persyaratan berat yang diterapkan untuk mendirikan partai baru (atau merger) dan untuk bisa menjadi peserta pemilihan umum, diperlukan biaya yang sangat besar. Dari mana sumber dananya?

Dengan keadaannya sekarang, sebagai pembina partai, Susilo Bambang Yudhoyono, seakan tidur satu selimut dengan para kriminal keuangan politik di dalam partainya itu. Padahal, SBY pernah mendaulat akan berada di garis depan dalam pemberantasan korupsi. Sejauh yang tampak, berdasarkan sikap dan tindakan faktualnya selama ini, tak pernah SBY berada di garis depan. Bayangan pencitraannya boleh saja meloncat ke garis depan pemberantasan korupsi, tapi raganya tertinggal, terperangkap dalam selimut. Sehingga, selalu lebih lambat dari bayangannya sendiri. Tak seperti tokoh komik Lucky Luke, yang bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri, meskipun di waktu senggang ia suka bersantai main catur dengan Jolly Jumper kudanya. Sebagai Presiden memang ia tak boleh mencampuri suatu proses peradilan, tetapi sebagai atasan para penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, ia bisa memacu dan bila perlu melecut aparat di bawah kewenangannya itu untuk menjalankan tugas pemberantasan korupsi.

Apakah untuk fenomena kelambatan dan kisah panglima pemberantasan korupsi yang tertinggal di garis belakang ini, diperlukan analisis dan penelusuran lanjut terhadap apa yang dinyatakan Tjipta Lesmana?

Marzuki Alie dan Partai Demokrat: Di Balik Tabir Asap Korupsi (2)

SALAH SATU di antara tokoh Partai Demokrat yang ditemui Mohammad Nazaruddin pada saat-saat terakhir sebelum melarikan diri ke luar negeri, tak lain Marzuki Alie, Wakil Ketua Dewan Pembina yang juga  adalah Ketua DPR-RI. Lainnya adalah Ruhut Sitompul dan Benny K. Harman, yang mendampingi Nazaruddin dalam suatu jumpa pers. Saat itu keduanya dengan sengit membela Nazaruddin, hampir sepenuhnya dengan cara at all cost. Tapi memang, dalam episode kesatu, hampir seluruh tokoh Partai Demokrat kala itu, mulai dari Ahmad Mubarok dan Sutan Bathugana sampai Anas Urbaningrum dan Ibas Edhi Baskoro, tampil bicara dengan nada membela sang Bendahara –pengelola ‘darah’ merah partai– dengan berbagai dalih. Dua tokoh yang bersuara beda kala itu, Kastorius Sinaga dan Amir Syamsuddin (dari Dewan Kehormatan), malah banyak dicerca dari arah internal secara terbuka melalui pers cetak maupun dalam berbagai forum tayangan televisi. Sehingga, waktu itu publik seolah mendapat kesempatan untuk membaca mana kelompok yang kecipratan rezeki mana yang tidak. Sekaligus tentu, bisa membaca peta pengelompokan kepentingan di tubuh Partai Demokrat terutama pasca Kongres Kota Baru Parahyangan Bandung.

DALAM episode kedua kisah Nazaruddin, yakni saat pengemban ‘darah’ bagi kehidupan partai itu meninggalkan Indonesia 23 Mei tepat sehari sebelum pencegahan atas dirinya dilakukan atas permintaan KPK, sejumlah tokoh separtai masih ‘membela’ dengan sekuat tenaga dan bila perlu ikut berbohong. Nazaruddin katanya pergi ke Singapura untuk berobat. Ruhut Sitompul bahkan berani bercerita, betapa badan Nazaruddin merosot, berat badan turun beberapa kilogram. Tokoh-tokoh partai pun menjenguk ke Singapura, pulang dengan cerita yang sama, Nazaruddin sedang berobat di negeri Tiger Balm itu. Lalu, bersama-sama bagaikan satu koor, ‘menjanjikan’ bahwa Nazaruddin akan pulang ke tanah air melakukan klarifikasi atas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan pada diri dan partainya, segera setelah selesai dengan pengobatannya. Pada waktu yang sama, seraya ‘terbatuk-batuk’ –rupanya kena batuk pilek– melalui wawancara jarak jauh dengan televisi swasta, tokoh muda ‘cemerlang’ Partai Demokrat ini juga menjanjikan yang sama.

NAZARUDDIN JUALAN SARI ROTI DI CARTAGENA. Sewaktu Nazaruddin diwawancara jarak jauh sebuah stasiun TV swasta, sayup-sayup di latar belakang terdengar suara penjaja Sari Roti. Maka muncullah gambar rekayasa ini di berbagai situs internet. “Tapi mungkin saja, saat di Cartagena, Nazaruddin sempat jualan Sari Roti”.

Tetapi ternyata masa pelarian itu berlangsung dua bulan lebih hingga 7 Agustus 2011, saat seseorang yang dikenali sebagai buronan Interpol Nazaruddin ditangkap polisi Kolombia di kota wisata Cartagena. Jadi, Nazaruddin bukannya kembali ke Indonesia, tetapi seraya berpindah-pindah tempat pada berbagai negara, ia mengungkap berbagai informasi berisi tuduhan-tuduhan serius terhadap rekan separtainya tentang permainan dana politik: Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Alfian Mallarangeng dan beberapa nama lainnya. Bersama dan melalui pers terungkap angka-angka fantastis dana pemenangan Anas Urbaningrum yang mencapai US$ 20 juta. Terungkap pula dalam rangkaian pemberitaan itu, dana-dana APBN yang mengalir menjadi dana politik Partai Demokrat, melalui proyek-proyek kompleks olahraga Hambalang di Sentul Bogor, permainan melalui proyek di Kementerian Diknas dan terakhir proyek pembangunan pabrik vaksin flu burung di Kementerian Kesehatan tanpa melalui proses tender. Semua terkesan sistematis dan by design.

Dalam fase ungkap-mengungkap ini, mendadak Nazaruddin menjadi musuh bersama dari hampir seluruh keluarga besar Partai Demokrat. Semua yang tadinya membela mati-matian, antara lain dengan argumentasi azas praduga tak bersalah, berbalik mencaci maki seraya mencuci tangan. Walau semua seakan menantang bahwa agar Nazaruddin kembali ke tanah air, terbaca bahwa banyak yang lebih berharap agar kawan yang satu ini tak pernah pulang ke Indonesia. Sikap-sikap yang membalik 180 derajat ini, seringkali sudah tak bisa dibedakan dengan lakon ketoprak. Sementara itu beberapa penggiat anti korupsi juga ikut kurang senang dengan pengungkapan Nazaruddin tentang beberapa tokoh KPK, dan menganggapnya sebagai maling teriak maling, yang tak berharga. Padahal, maling sekalipun bisa tak berbohong dan mengungkapkan sesuatu yang benar bila merasa dikorbankan komplotannya. Antusiasme dan harapan kepada KPK tak perlu membabi-buta, melainkan harus kritis sebagai bagian dari pengawalan terhadap lembaga itu sebagai harapan terakhir dalam pemberantasan korupsi pada tingkat situasi Indonesia saat ini. Sikap menutup mata terhadap tanda-tanda ketidakbersihan KPK, tak kalah buruknya dengan sikap Marzuki Alie yang memanfaatkan serangan-serangan terhadap KPK –yang tambah mencuat setelah tudingan Nazaruddin– untuk menyodorkan gagasan pembubaran KPK dan memberi pengampunan terhadap para koruptor. Bila pengampunan seperti itu terjadi, Partai Demokrat yang tampaknya banyak ‘menyimpan’ koruptor dalam tubuh dan dalam perlindungannya, akan terselamatkan.

Meski masih harus digali lebih jauh kebenarannya, bagaimanapun apa yang diungkapkan Nazaruddin dan apa yang diungkapkan oleh pers, untuk sementara telah menyodorkan suatu konstruksi tentang korupsi sistematis (terencana) untuk kepentingan dana politik, khususnya terkait Partai Demokrat. Bila dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa korupsi yang sudah terungkap dengan pelaku-pelaku dari partai lain –seperti PPP (kasus korupsi Bachtiar Chamsyah), PKS (LC fiktif Bank Century oleh Misbakhum, dan tudingan tokoh senior PKS Jusuf Supendi kepada Anis Matta dan kawan-kawan dalam penyalahgunaan dana Rp. 70 milyar dana Adang Daradjatun dalam pemilihan gubernur DKI), anggota-anggota DPR dari PDIP dan Golkar yang menerima gratifikasi dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Gultom, maupun tudingan ke tokoh PAN dalam kasus korupsi di Kementerian Perhubungan– tersimpulkan bahwa perilaku korupsi telah melekat dalam kehidupan kepartaian di Indonesia. Biaya politik saat ini, yang bersendikan mekanisme jual-beli, layaknya ekonomi pasar, memang makin tinggi.

Makin besar peranan sebuah partai dalam kekuasaan, makin besar pula korupsi yang dilakukan untuk kepentingan politik partai, yang sekaligus ditumpangi oleh perorangan yang memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri. Kadangkala, uang yang masuk ke saku perorangan bisa lebih besar daripada yang disetorkan ke kas partai. Dalam pemilihan umum 1999, ada seorang pimpinan partai cukup terkemuka yang menerima sumbangan masing-masing 1 milyar rupiah dari setidaknya dua donatur, tetapi dilaporkan hanya 1 milyar ke partai. Sang tokoh sempat jadi menteri. Kasat mata kita bisa melihat betapa banyak tokoh-tokoh partai maupun anggota DPR yang bisa tampil sangat kaya, tidak ‘semiskin’ beberapa tahun lampau sebelum menjadi tokoh. Pers akhir-akhir ini sempat memberitakan tentang Anas Urbaningrum yang kini hidup kaya,  seperti halnya Angelina Sondakh yang berumah dan bermobil bernilai milyaran, maupun Nazaruddin yang bergelimang uang beberapa tahun terakhir ini. Itu sekedar contoh dari Partai Demokrat.

Fenomena yang sama, mendadak kaya pada beberapa tahun terakhir saat terjun dalam dunia politik, juga bisa ditemukan pada sejumlah tokoh partai lainnya di luar Partai Demokrat. Padahal, sebelumnya, seperti istilah yang sering muncul dalam percakapan sehari-hari, dulu mereka ‘kere’. Ada seorang tokoh muda yang kini menjadi pimpinan partai, misalnya, sebelum pemilu pertama masa reformasi tahun 1999, indekos di kamar kumuh 3×3 meter, kini hidup berkelimpahan di samping mendapat posisi tinggi dalam kekuasaan pemerintahan. Tentu menjadi hak setiap orang untuk berupaya memakmurkan diri, tetapi hendaknya jangan dengan cara dan jalan pintas yang kotor. Mendadak bengkak mengindikasikan ada penyakit di balik itu. Di belakang angka-angka keberuntungan yang tinggi apalagi bila itu terjadi dalam sekejap, cenderung ada crime.

KINI drama ketoprakan Nazaruddin dan Partai Demokrat memasuki episode ketiga dengan tertangkapnya Nazaruddin di Cartagena Kolombia. Banyak yang mengingatkan, agar keselamatan Nazaruddin dijaga. Nazaruddin harus segera sampai di tangan lembaga yang paling bisa dipercaya, dalam hal ini KPK, kendati KPK pun harus diamati agar tak mungkin terjadi ‘balas dendam’ terhadap tudingan ex buron itu. The bad among the worst, and lesser evil, KPK. Jangan sampai Nazaruddin dibungkam atau dibuat hilang keberanian karena kemarahannya sebagai orang yang merasa dikorbankan sendirian, atau berhasil diajak negosiasi sehingga bersikap pecundang. Tak kurang banyaknya orang berharap bahwa segalanya kini bisa diungkap, dan bahwa penangkapan Nazaruddin akan menjadi pintu masuk untuk membongkar banyak kasus korupsi kekuasaan. Banyak juga yang menjadi was-was, terutama yang namanya pernah disebut-sebut, jangan-jangan Nazaruddin betul-betul berani karena kalap dan kemudian bisa membuktikan tudingan-tudingannya. Namun tak kalah banyaknya, yang tak yakin, dan bahwa yang akan terjadi hanyalah semacam anti klimaks. Ahli komunikasi politik Tjipta Lesmana mengatakan bahwa kasus ini, seperti halnya dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, akan tutup. Takkan terjadi happy ending…..

Berlanjut ke Bagian 3