Tag Archives: Mohammad Nazaruddin

Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (2)

PARTAI Demokrat –yang dideklarasikan kelahirannya 19 Agustus 2001, dan kini menjelang usianya yang ketigabelas– adalah bagaikan bintang yang sebenarnya kecil tetapi sempat ‘sejenak’ bersinar sangat terang di langit yang biru. Sayangnya, mungkin kini sedang berproses menjadi sebuah bintang jatuh, kecuali ada keajaiban politik di tahun 2014 ini. Begitu banyak masalah yang melanda tubuh partai ‘milik’ SBY itu. Mulai dari perilaku korup dan mempan gratifikasi sampai kepada konflik internal –yang satu dan lain sebab diakibatkan pola rekrutmen kader dan kepemimpinan yang terkesan serba dadakan diwarnai model jalan pintas atau loncat pagar.

            Rekrutmen yang melahirkan kaum opportunis. Model jalan pintas dan atau loncat pagar seperti itu membuat sejumlah kader yang tergolong pendiri Partai Demokrat, seperti Sys NS misalnya, terpental keluar. Pola rekrutmen yang sangat terbuka dalam waktu secepat-cepatnya, dengan risiko tingginya heterogenitas, memang menjadi ciri sebuah partai (baru) yang ingin membesar dengan cepat. Partai jenis ini mau tak mau menghindari pola seleksi ketat, bahkan sebaliknya sangat cenderung secara aktif melakukan rekrutmen, khususnya terhadap tokoh-tokoh yang secara instan sudah siap, populer, punya ketokohan, punya jam terbang di organisasi maupun partai lain, atau dianggap sudah punya konstituen memadai.

JENDERAL SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. "Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial, muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus di sekitar Presiden SBY..... Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus." (download sadandunia)
JENDERAL SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial, muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus ….. Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus.” (download sadandunia)

Kelemahan utama dari suatu pola rekrutmen cepat untuk membesarkan partai, adalah turut masuknya pemburu kepentingan dan bahkan juga kaum opportunis (yang gemar pindah-pindah partai) ataupun politisi luntang-lantung. Kader-kader model seperti inilah yang biasanya menjadi pembuat masalah, karena orientasinya memang kepentingan pribadi bukan kepentingan partai, apalagi kepentingan bangsa dan negara. Kelemahan ini akan lebih diperkuat, karena partai yang ingin bertumbuh cepat, pada waktu memacu diri menyongsong pemilu memiliki kecenderungan abai dan tidak menyempatkan diri melakukan konsolidasi kualitatif.

Selain ketokohan, berlaku pula syarat lain yang tak tertulis, yakni sebaiknya sudah mapan secara ekonomi. Tapi untuk syarat khusus yang terakhir ini, pada umumnya partai gagal dalam eksplorasi maupun pemanfaatan. Para pemilik akumulasi dana, pada awalnya akan menjadi kontributor yang cukup membantu, namun tak diperlukan waktu yang lama membalikkan keadaan, partai dimanfaatkan sebagai alat mengorganisir aksi memulung proyek pemerintah dan fasilitas ekonomi lainnya. Akhirnya menimbulkan masalah. Tapi jangankan tokoh-tokoh tipe seperti ini, tokoh-tokoh hasil rekrutmen karena ketokohan di organisasi atau partai lain, atau memiliki konstituen potensil, pun bisa menjadi sumber masalah. Biasanya, karena mereka gerak cepat dalam positioning di partai barunya, cenderung terjadi friksi dengan kader yang lebih dulu masuk. Walau, untuk partai seusia Partai Demokrat, sebenarnya ‘jam terbang’ para kader relatif beda-beda sedikit saja satu sama lain.

Salah satu tokoh muda yang bergabung dengan Partai Demokrat, tetapi tidak turut serta sebagai pendiri, adalah Andi Alifian Mallarangeng. Tadinya ia berduet dengan Dr Ryas Rasjid memimpin Partai Demokrasi Kebangsaan, pada Pemilihan Umum 1999. Sempat pula menjadi anggota KPU pada pemilu tersebut, sebelum ditarik SBY sebagai salah anggota lingkaran politiknya di pemerintahan dan kemudian di tubuh partai pendukung. Sejumlah ex kader partai lain juga bergabung di Partai Demokrat, seperti Hayono Isman dan Ruhut Sitompul dari lingkungan Partai Golkar. Namun yang lebih banyak bergabung, khususnya ketika partai itu memperlihatkan tanda-tanda akan atau telah bersinar, adalah orang-orang yang sebelumnya tak begitu dikenal sepak terjangnya di dunia politik.

Tapi, paling fenomenal adalah rekrutmen Anas Urbaningrum, Ketua Umum PB HMI1997-1999. Ia tak menyelesaikan periode kerjanya di KPU (dilantik 2001) karena mengundurkan diri 8 Juni 2005. Dan langsung direkrut sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat. Momen exitnya dari KPU sungguh ‘tepat’, karena tak lama sesudahnya KPU mendapat gempuran dahsyat terkait tindakan curang dengan lekatan penyelewengan dana. Sejumlah komisioner disorot keterlibatannya dalam tindak korupsi dalam jabatan, dan beberapa di antaranya berakhir di penjara. Beberapa lainnya selamat, meski juga disorot tajam. Dalam medan rumor dan isu, rekrutmen Anas oleh Partai Demokrat dihubung-hubungkan dengan jasa tertentu yang diberikannya untuk partai tersebut selaku anggota KPU.

KALAU ada partai yang begitu miripnya dengan Golkar masa Soeharto, itu tak lain adalah Partai Demokrat. Struktur organisasinya boleh dikata menyadur struktur Golkar. Saat Partai Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung meninggalkan pelembagaan dan penamaan Dewan Pembina, justru Partai Demokrat menggunakannya dalam struktur. Bila Ketua Dewan Pembina Golkar adalah Presiden Soeharto, maka Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah menteri asal Partai Demokrat, juga ditempatkan sebagai anggota Dewan Pembina. Kepengurusannya pun menggunakan model Golkar, yaitu DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dan DPD (Dewan Pimpinan Daerah).

Tetapi celaka dua belas, sejumlah kader partai itu, terpeleset keliru meniru cara-cara penggalangan dana ala Golkar tempo dulu. Bedanya, bila penggalangan dana Golkar masa lampau lebih tersentralisir dan ketat mencegah kebocoran ke kantong pribadi fungsionaris partai, maka di Partai Demokrat berlangsung lebih ‘leluasa’ dengan berbagai improvisasi tapi rawan bocor. Kerahasiaannya pun lemah, gampang bocor. Satu persatu kader penting partai itu masuk dalam ranah penanganan KPK, mulai dari mantan Bendahara Umum Mohammad Nazaruddin, anggota DPR Angelina Sondakh sampai Ketua Umum Anas Urbaningrum dan anggota Dewan Pembina Andi Mallarangeng. Menyusul, keterlibatan atau penyebutan dugaan keterlibatan dalam berbagai kejahatan keuangan negara dari kadernya yang lain, baik yang di DPP maupun yang di DPR. Cukup banyak nama disebut, mulai dari Johnny Allen Marbun sampai yang terbaru Sutan Bathoegana. Bahkan, terkait erat dengan serial konflik internal, nama Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang lebih dikenal dengan panggilan Ibas dituding terlibat kasus Hambalang dan beberapa kasus lain oleh kelompok Anas Urbaningrum.

Pada serial konflik internal inilah, kepada publik akhirnya tersuguhkan kisah model Brutus yang di satu sisi dianggap pengkhianatan kepada Julius Caesar sang pemimpin. Tapi, di sisi lain juga bisa dianggap tindakan untuk mengakhiri penyimpangan kekuasaan sang pemimpin yang dilakukan oleh ‘anak-politik’nya sendiri. Penggunaan nama Brutus dalam konotasi “pengkhianatan”, dipinjam dari sejarah Roma klasik terkait peristiwa pembunuhan keroyokan ‘ides March’ tahun 44 sebelum Masehi oleh para Senator Roma terhadap Julius Caesar, pemimpin Republik Roma kala itu.

Menurut Theodor Mommsen, Julius Caesar –lahir 13 Juli SM, tewas 15 Maret 44 SM– adalah seorang negarawan tiada banding, creative genius satu-satunya yang dilahirkan Roma dan yang terakhir dari dunia lama. Saat terjun dalam kemiliteran, ia berhasil mengandalkan kegeniusannya untuk memecahkan berbagai masalah, kendati ia sebenarnya tak sempat terlatih secara profesional sebagai militer, karena sampai usia pertengahan tak tertarik kepada dunia kemiliteran. Saat terjun ke dunia politik –dan menjadi Konsul Roma– dihadapkan kenyataan harus berbagi dalam kekuasaan dengan para senator, diam-diam ia menjalankan berbagai upaya pelemahan Senat. Dan itu menjadi mudah karena sebagian terbesar senator kala itu sangat korup dan gampang disuap. Berikutnya, dengan memanfaatkan kaum berduit ia menjalankan politik uang, ‘membeli’ para hakim, dewan juri, sejumlah pemuka masyarakat berpengaruh, dan legiun-legiun militer. Tahun 45 SM ia menduduki posisi Konsul Ketiga dan pada tahun 44 SM diresmikan sebagai Diktator Abadi, atau penguasa seumur hidup. Tapi pada Maret tahun 44 SM itu ia tewas oleh belati Brutus dan kerumunan para senator lainnya.

Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 1998, 20 Mei, 14 menteri dari kabinet terakhir Soeharto –Ginandjar Kartasasmita dan kawan-kawan– melalui suatu pertemuan di Gedung Bappenas menghasilkan satu surat untuk disampaikan kepada Presiden, yang menyatakan menolak ikut serta dalam Kabinet Reformasi yang akan dibentuk Soeharto. Dari sudut pandang Presiden Soeharto, apa yang dilakukan para menteri itu adalah perilaku para Brutus. Pastilah Jenderal Soeharto merasa terlukai oleh mereka yang untuk sebagian terbesar justru adalah orang-orang yang di’besar’kannya. Pada hari-hari itu memang Soeharto bertubi-tubi di’luka’i oleh sejumlah ‘anak’ politik dan kekuasaannya. Berturut-turut oleh Harmoko, Jenderal Wiranto dan BJ Habibie. (Baca juga, ‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto; socio-politica.com, May 30, 2012).

Saat Presiden Soekarno dijatuhkan dalam suatu proses panjang tahun 1966-1967, adalah Jenderal AH Nasution dan Jenderal Soeharto serta sejumlah jenderal lainnya, berperan bagaikan para Brutus. Tentu, menurut perspektif Soekarno dan para pengikutnya. Dalam proses kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid, Kepala Polri Jenderal Bimantoro, Poros Tengah Amien Rais dan kawan-kawan, tokoh militer seperti Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono bersama-sama ‘balik badan’ meninggalkan dirinya. Banyak di antara yang balik badan itu kemudian diakomodir Presiden berikutnya Megawati Soekarnoputeri. Pada umumnya, semua Presiden Indonesia sama-sama pernah mengalami ditinggalkan oleh orang atau kelompok yang pernah diberinya kesempatan bersama dalam pemerintahan, justru saat berada pada momen kritis akhir riwayat kepresidenan mereka. Meski, tak selalu disebabkan sikap opportunis dari mereka yang balik badan. Kelemahan dan kegagalan kepemimpinan maupun ‘ketidaksetiaan’ seorang tokoh pemimpin atau Presiden terhadap mereka yang dipimpinnya dalam menjalankan pemerintahan, di sisi lain juga bisa menjadi penyebab terjadinya ‘pengkhianatan’.

Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial (kompasiana), muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus di sekitar Presiden SBY. Kalau kriteria tersebut yang digunakan, jumlah para Brutus itu tidak sedikit. Baik dalam pemerintahan koalisi maupun di tubuh partai pendukung SBY.

Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus. Tapi tentu, dari kelompok loyalis Anas ada ‘definisi’ dan terminologi yang berbeda. Saat Anas digusur keluar dari Partai Demokrat dan kemudian terseret dalam kasus Hambalang serta kasus berkategori korupsi lainnya, ada lontaran tentang keberadaan para Sengkuni di sekitar Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pewayangan, hanya Prabu Suyudono yang menggunakan Sengkuni sebagai penasehat.

Per saat ini, tak henti-hentinya Anas dan kelompok pendukungnya melancarkan serangan tentang keterlibatan sejumlah kader partai maupun kalangan peripher SBY –khususnya Ibas sang putera– dalam berbagai korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Publik memperlihatkan tanda-tanda percaya terhadap apa yang dilontarkan Anas dan kawan-kawan, sekalipun pada sisi lain terdapat kesangsian kuat terhadap ‘kebersihan’ Anas –yang dengan poker face nyaris sempurna selalu tampil menjawab penuh ketenangan.

PUBLIK menanti kelanjutan lakon Brutus dan Julius Caesar –belati siapa yang lebih dulu menancap– maupun lakon Sengkuni dan Suyudono di tahun 2014 ini. (socio-politica.com).

‘Masa Depan’ Politik Indonesia Bersama Politisi ‘6 Miliar Rupiah’

MESKI tak sama spektakulernya dengan biaya menuju kursi Presiden Republik Indonesia, tetap saja ‘harga’ kursi parlemen melalui Pemilihan Umum 2014 terasa fantastis. Putera Hashim Djojohadikoesoemo –yang tak lain keponakan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto– bernama Aryo Djojohadikoesoemo terbuka mengakui persiapan biaya tak kurang dari 6 miliar rupiah untuk turut serta dalam perebutan kursi DPR-RI tahun 2014. Ia cukup rinci memberikan pos-pos biaya pengeluaran. Dan ternyata cucu begawan ekonomi Professor Dr Soemitro Djojohadikoesoemo itu tak sendirian dengan angka besar itu.

Pers memberitakan politisi Partai Demokrat Didi Irawadi mengungkap bahwa sejumlah temannya sesama petahana di DPR-RI sudah mengeluarkan biaya sekitar 5 miliar rupiah. Bisa dipastikan, karena pemilihan umum baru akan berlangsung April, selama setidaknya dua bulan ke depan, maka masih diperlukan biaya tambahan. Dengan demikian, mungkin biaya total menjadi minimal 6 miliar rupiah, bahkan bisa saja mencapai 1 juta dollar atau setara 12 miliar rupiah. Angka ini mengingatkan pada serial televisi tahun 1970-an ‘Six Million Dollar Man’, tentang manusia bionic berbiaya 6 juta dollar. Didi sendiri menganggap angka 5 miliar rupiah ke atas sudah tidak realistis. Ia menyebut angka realistis 1 miliar, sesuai angka biaya kampanye yang disiapkannya.

SIX MILLION DOLLAR MAN VERSI DONO WARKOP. Film badut-badutan 1980-an. Versi 2014, bisa jadi 'Politisi 6 Miliar Rupiah'. (foto download)
SIX MILLION DOLLAR MAN VERSI DONO WARKOP. Film badut-badutan 1980-an. Versi 2014, bisa jadi ‘Politisi 6 Miliar Rupiah’. (foto download)

Akan tetapi perhitungan angka realistis, tidak dengan sendirinya suatu realita. Ada sejumlah realita dalam praktek kehidupan politik yang tidak bisa dipungkiri. Selama 15 tahun terakhir, sebagian terbesar masyarakat mendapat ‘pelajaran politik’ sesat yang menciptakan keadaan bahwa ‘partisipasi’ politik itu punya harga dalam rupiah. Maka, angka realistis yang sesungguhnya adalah 5 miliar rupiah ke atas. Angka 1 miliar, apalagi angka di bawahnya yang hanya berskala ratusan juta rupiah, hanyalah angka retorika untuk mengencerkan volume sorotan dan kritik. Belum-belum, seorang calon legislatif, diakui atau tidak, sudah segera berhadapan dengan kewajiban setoran kepada partainya. Bahkan mereka yang punya relasi dan kekerabatan dengan para petinggi partai sekalipun, sulit untuk mengelak dari kewajiban tersebut.

Anggaplah nanti take home pay seorang anggota DPR adalah sebesar 50 juta rupiah per bulan –jika partainya tidak memungut ‘iuran’ berlebihan dan tidak wajar– maka selama 5 tahun pendapatannya adalah sebesar 3 miliar rupiah. Atau per tahun 600 juta rupiah. Dengan angka ‘investasi’ 1 miliar rupiah, berarti seorang anggota DPR yang berhasil meraih kursi, harus ‘mengembalikan’ investasinya itu dua ratus juta rupiah per tahun selama lima tahun. Pertahun, masih tersisa 400 juta rupiah untuk menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhan hidup layak lainnya. Tak perlu korupsi, atau menerima gratifikasi, bila bersikap tak boros dan berakal sehat. Kecuali, biaya 1 miliar rupiah itu adalah uang pinjaman atau hasil mengijonkan diri maupun hasil berbagai persekongkolan lainnya. Kemungkinan seperti yang disebutkan terakhir ini tak kecil, karena jangan lupa, bagi kebanyakan orang, 1 miliar rupiah toh tetap saja bukan sesuatu yang mudah diperoleh.

LALU bagaimana dengan para calon yang menyiapkan dan menggunakan biaya 6 miliar rupiah atau lebih? Para calon itu, dalam keadaan normal, harus siap ‘merugi’ setidaknya 3 miliar rupiah. Mungkin saja ada calon yang kaya sekaligus idealis, dan memiliki altruisme sehingga siap berkorban materi dalam pengabdian memenuhi pangggilan hati nuraninya. Apapun, hanya kelompok manusia kaya yang bisa maju memperebutkan kursi legislatif. Atau perorangan yang didukung kelompok kaya yang punya idealisme membiayai tokoh-tokoh berkualitas dan punya integritas, sebagai bagian dari kontribusi positifnya bagi bangsa dan negara.

Sebaliknya, sangat terbuka kemungkinan bahwa yang bisa terjun mengikuti pemilihan umum legislatif justru mereka yang sebelumnya berhasil memperoleh akumulasi dana besar melalui kejahatan keuangan semacam korupsi, gratifikasi dan lain sebagainya. Para petahana yang untuk sebagian telah tergerus erosi moral misalnya. Sementara itu, calon tak ‘berduit’ yang hanya bermodalkan hasrat besar menjadi politisi Senayan, hanya punya pilihan mencari dana dari persekongkolan yang akan dibayar nanti kelak bila terpilih dengan mencuri, mengatur proyek, memeras BUMN maupun swasta dan pejabat bermasalah. Atau paling tidak, mengorganisir pengaturan aliran dana gratifikasi.

Data empiris menunjukkan, semua jenis perbuatan itu sudah dipraktekkan pada periode-periode lalu maupun yang sedang berjalan. Beberapa politisi DPR telah menjadi narapidana korupsi –saat menjadi anggota DPR atau setelah purna tugas. Ada nama-nama seperti Panda Nababan cs, Hamka Yandu, Fachry Andi Leluasa, Jusuf Erwin Faisal, Paskah Suzetta, Angelina Sondakh, Mohammad Nazaruddin dan lain-lain sampai yang terbaru seperti Zulkarnain Djabbar. Adapula sedang menjalani proses sebagai tersangka, sedang atau segera diadili seperti Chairun Nisa, Emir Moeis, Anas Urbaningrum dan lain-lain. Ada juga yang sudah disebut-sebut namanya, namun masih berkelit atau masih berhasil lolos dari jeratan hukum seperti sejumlah anggota Banggar DPR serta Bambang W. Soeharto, John Allen Marbun, Sutan Bathoegana, Idrus Markham maupun Setya Novanto. Nama yang disebut terakhir ini, termasuk fenomenal, namanya sudah berkali-kali disebut dari dulu hingga sekarang, sejak kasus Bank Bali sampai kasus PON Riau dan kemungkinan suap Pilgub Jawa Timur, namun selalu lepas.

Angka keterlibatan anggota DPR dalam berbagai kejahatan keuangan, berskala puluhan dan boleh dibilang meliputi seluruh partai. Terlalu banyak dan panjang daftarnya untuk disebutkan. Jangan-jangan mirip fenomena gunung es, masih banyak yang tersembunyi di bawah permukaan.

SEPERTI halnya pada ajang pemilihan presiden-wakil presiden, 9 dari 10 kemungkinan bantuan dana politik memang pasti dialirkan dengan perjanjian khusus seperti itu menurut pola wealth driven politic –induk dari politik uang. Bila ini yang terjadi, kemungkinan terbesar adalah pada waktunya parlemen sepenuhnya dikendalikan dengan pola wealth driven politic sebagai derivat wealth driven economic dan akan kental diwarnai perilaku persekongkolan yang cepat atau lambat pasti akan lebih menghancurkan negara.

Bila nantinya ternyata Presiden-Wakil Presiden yang memenangkan pertarungan 2014 adalah jenis hasil persekongkolan, lengkaplah sudah perilaku kejahatan politik dan sempurnalah pola politik kejahatan. Mengamati dan menganalisis sepak terjang politik yang ditampilkan para pelaku politik saat ini, 9 dari 10 memang situasi seperti itulah yang paling mungkin terjadi. Itulah ‘masa depan’ politik Indonesia, bersama para politisi 6 miliar rupiah. Selamat ‘menikmati’, paling tidak hingga 5 tahun ke depan…… (socio-politica.com)

Kisah ‘Bubur Panas Hambalang’: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono

DALAM pemberantasan korupsi, KPK lebih banyak memilih cara bertindak bagaikan ‘makan bubur panas’. Takut lidah tersengat panas, sang bubur disantap dari pinggir seraya mengulur waktu membiarkannya berangin-angin lebih dulu. Saat menangani kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, dengan sabar KPK selama tahunan menyantap dari pinggir. Hampir saja bubur menjadi basi. Penindakan dimulai terhadap anggota-anggota DPR penerima suap yang dipilih dengan urutan mulai dari yang kurang ‘kuat’ sebelum menuju yang lebih ‘kuat’ posisi politiknya. Lalu meningkat ke perantara penyalur dana yang isteri jenderal mantan petinggi Polri, untuk akhirnya baru mengarah ke sang DGS pokok masalah. Tapi bagian paling tengah yang menjadi penyandang dana suap –yang menurut rumor politik adalah seorang tokoh yang berpengaruh dan ditakuti karena kekuatan uang maupun koneksinya di kalangan kekuasaan– sampai saat ini tetap saja belum tersentuh.

ANAS URBANINGRUM DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM NUANSA BIRU. "Kalau ternyata keterlibatan Andi Mallarangeng adalah hasil suatu fait-accompli, menjadi pertanyaan siapakah yang mampu membuatnya bisa tertekan? Apakah Anas Urbaningrum sebagai kolega separtai dan sama-sama maju sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres di Bandung dan kini bertumbuh menjadi lebih powerful? Apakah DPP Partai sebagai kekuatan kolektif? Ataukah Dewan Pembina yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono?" (download Tempo).
ANAS URBANINGRUM DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DALAM NUANSA BIRU. “Kalau ternyata keterlibatan Andi Mallarangeng adalah hasil suatu fait-accompli, menjadi pertanyaan siapakah yang mampu membuatnya bisa tertekan? Apakah Anas Urbaningrum sebagai kolega separtai dan sama-sama maju sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Demokrat dalam Kongres di Bandung dan kini bertumbuh menjadi lebih powerful? Apakah DPP Partai sebagai kekuatan kolektif? Ataukah Dewan Pembina yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono?” (download Tempo).

Tak kalah lambat, adalah penanganan kasus dana talangan Bank Century, karena rupanya buburnya betul-betul panas. Sudah tahunan lamanya berangin-angin, namun tetap saja panas bagi KPK. Baru bulan lalu, KPK mulai menyendok pinggiran bubur dengan menjadikan dua mantan pejabat tinggi BI sebagai tersangka. Berdasarkan pemberitaan tentang kasus tersebut selama ini, terutama dengan narasumber kalangan politik di DPR, publik tergiring ke suatu opini spekulatif bahwa Dr Budiono (dan entah siapa lagi di kalangan tinggi) ada di tengah-tengah ‘bubur panas’. Saat kasus terjadi, Budiono sedang menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Dan ketika kasus mencuat ke tengah publik, beliau sudah menjadi Wakil Presiden. Pantas saja tingkat kesulitannya menjadi lebih tinggi. Continue reading Kisah ‘Bubur Panas Hambalang’: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono

‘Oase’ Kemewahan di Tengah ‘Gurun’ Kemiskinan Indonesia (2)

UCAPAN-ucapan pengingat dari Jenderal AH Nasution maupun Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, sebenarnya adalah oase berharga di tengah gurun ketandusan moral para penyelenggara kekuasaan Indonesia di tahun 1970-an itu. Tetapi dalam kenyataan, para jenderal dan kalangan lainnya dalam kekuasaan, memperlakukannya sekedar sebagai angin lalu. Bahkan yang tercipta adalah situasi berupa terciptanya oase kemewahan di tengah gurun kemiskinan rakyat. Kedua jenderal, seperti halnya nasib beberapa jenderal idealis lainnya, kemudian bahkan disingkirkan dari peran-peran pengaturan negara. Bila Jenderal Nasution menyerukan bahwa keadilan sosial sudah dapat dimulai sejak sekarang tanpa menunggu sampai makmur, dijungkirbalikkan menjadi “memakmurkan diri sejak sekarang” tanpa perlu memikirkan keadilan sosial. Berlawanan dengan yang diingatkan Jenderal Sarwo Edhie, “kalau mau menumpuk kekayaan, keluar dari baju hijau”, justru baju hijau banyak dimanfaatkan untuk menumpuk kekayaan. Agaknya, para jenderal idealis itu dianggap hanyalah orang-orang ‘kuno’ yang tak bisa membaca tuntutan baru dari zaman yang makin pragmatis ini, maka suaranya tak ‘perlu’ didengarkan.

Fenomena kemewahan apakah yang dikritik oleh dua jenderal terkemuka itu di tahun 1973? Untuk itu kita bisa meminjam beberapa bagian pemaparan dalam buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter. Pada tahun 1970-an seiring dengan pembangunan ekonomi Indonesia, muncul keluarga-keluarga kaya baru, terutama di ibukota negara. Cukup menonjol di sini, kehadiran sejumlah jenderal sebagai manusia kaya yang hidup mewah berkat posisinya dalam pengelolaan berbagai badan usaha milik negara. Menjadi kaya, bukan hal yang terlarang di Indonesia, dulu di masa Soeharto maupun kini di tahun 2011. Tumbuhnya kelompok kaya baru, bilamana dibarengi penggunaan dana secara produktif sebenarnya bisa menopang pertumbuhan ekonomi. Tetapi, jika digunakan untuk tujuan-tujuan konsumtif dalam suatu pola konsumerisme, masalahnya menjadi lain. Kecenderungan konsumtif ini terpicu terutama karena banyak kelompok kaya baru memperoleh akumulasi uang secara mudah.

Ada beberapa simbol yang dibutuhkan kelompok kaya baru itu sebagai etalase. Selain memiliki rumah mewah, simbol status lainnya adalah memiliki mobil-mobil mewah. Di tahun 1970-an itu setiap keluarga kaya sebaiknya memiliki lebih dari satu mobil, biasanya 3 sampai 4 mobil sekaligus. Kini, di tahun 2000-an berkembang menjadi 7 sampai 9 mobil sekaligus. Mobilnya pun tidak asal mobil, melainkan mobil mewah yang berharga mahal. Dulu, Mercedes dan Roll Royce, kini di tahun 2000-an bertambah dengan BMW seri 7, Jaguar, Bentley, Porsche, Ferrari, Humvee dan aneka merk terkenal di dunia yang di Indonesia harganya menjadi miliaran, bisa sampai 7 miliar rupiah. Sejumlah pengacara yang biasa menangani klien yang terlibat korupsi ikut menikmati bonanza, sehingga beberapa di antaranya bisa memenuhi hasrat memiliki mobil-mobil sport yang mewah. Sejumlah anggota DPR pun menjadi bagian dari kemakmuran, dan memiliki antara lain Bentley yang berharga 7 miliar rupiah, dan tanpa beban moral sedikitpun bertanya apa salahnya memiliki mobil mewah?

Simbol lainnya adalah pesta-pesta perkawinan keluarga yang luar biasa semarak lengkap dengan upacara adat yang agung dan berbiaya mahal. Keluarga konglomerat Sudono Salim (Lim Soei Liong) pernah menyelenggarakan perayaan perkawinan emas bagi sang taipan di Singapura. Tamu-tamu dibiayai tiket dan akomodasi hotelnya. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pesta perkawinan putera Presiden SBY dengan puteri Menko Perekonomian Hatta Rajasa, raja sinetron Indonesia keturunan India, Raam Punjabi, menyelenggarakan pesta perkawinan puterinya di Honolulu, Hawaii. Sejumlah selebrities, mantan menteri dan jenderal purnawirawan, dihadirkan dengan menggunakan pesawat khusus.

Fenomena munculnya kelompok kaya baru itu sendiri, di masa Soeharto, diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak terkait dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu bersamaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masa itu tidak terbantahkan, meskipun juga seperti halnya yang terjadi hingga kini untuk sebagian besar tak kunjung terbuktikan. Terutama bila korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan itu dilakukan oleh mereka yang berada di lingkaran-lingkaran terdekat dari pusat kekuasaan. Pola dan keadaan itu, secara umum agaknya tak berbeda jauh dengan apa yang terjadi belakangan ini.

Korupsi itu seperti angin yang dapat dirasakan, namun tak dapat dipegang. Menurut logika, bagaimana mungkin seorang pejabat tingkat biasa saja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup dengan standar kelayakan normal, bisa memiliki rumah-rumah mewah yang bila diperhitungkan takkan mungkin dibelinya dengan gaji yang diakumulasikan dalam limapuluh tahun sekalipun. Setelah Presiden Soeharto lengser di tahun 1998, banyak orang yang sempat mencoba menyembunyikan kekayaan yang diperolehnya di masa Soeharto. Tapi tak butuh waktu lama untuk bertahan di tempat ‘persembunyian’, karena kekuatan hasrat konsumtif maupun hasrat prestige, punya kekuatan tersendiri untuk selalu tampil. Tak tertutupi lagi, betapa misalnya di rumah mewah seorang mantan menteri bidang ekonomi-keuangan masa Soeharto –di garasi dan pekarangannya– berderet tak kurang dari tujuh mobil mewah. Tapi, sementara itu, sungguh menakjubkan bahwa ia berani bicara sok suci dan mengeritik korupsi masa kini, sambil sekali-sekali menceritakan keburukan masa lampau tanpa menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah.

Mendominasi jalannya kekuasaan dan politik. Mengacu kepada semacam kenyataan global, bahwa 1 persen manusia saja yang mengendalikan 90 persen lebih kekayaan dan ekonomi dunia, maka di puncak piramida ekonomi Indonesia akumulasi kekayaan berada di tangan tak lebih dari 2,4 juta manusia. Dan di puncak dari puncak itu, terdapat 40 orang yang menurut Forbes adalah manusia terkaya Indonesia saat ini. Para koruptor kelas atas belum begitu jelas posisi dan urutan keberadaannya dalam daftar terkaya, namun bisa diperkirakan takkan jauh dari puncak. Jumlah manusia pelakunya maupun akumulasi dana hasil korupsi mereka bisa dipastikan signifikan. Kalau tidak signifikan, bagaimana mungkin mereka bisa mengendalikan kehidupan politik maupun penegakan hukum dan sering-sering hampir mengeliminasi lembaga pemberantasan korupsi?

Seberapa besar uang yang berhasil dirampok –meminjam terminologi Presiden SBY– para koruptor itu? Bila menggunakan perhitungan Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo (ayahanda Prabowo Subianto), setiap tahun terjadi kebocoran 30 persen APBN. Dan bila menghitung-hitung fee yang dipungut mafia anggaran seperti yang terungkap dalam berbagai berita belakangan ini, jumlahnya memang berkisar antara 20 hingga 30 persen. Artinya, menurut perkiraan tersebut, potensi kebocoran APBN 2011 yang sebesar 836,5 triliun rupiah, adalah sebesar 160,3 triliun sampai 250,95 triliun. Dalam 4 sampai 5 tahun saja para perampok uang negara berhasil mengakumulasi dana paling sedikit 1000 triliun rupiah.

Dengan uang sebanyak itu, dalam situasi wealth driven economic dan wealth driven politics, tidak mengherankan bila kelompok koruptor bisa ikut menentukan –kalau tidak malah sepenuhnya mendominasi– jalannya kekuasaan dan politik di negeri ini. Dengan menentukan jalannya kekuasaan dan politik, mereka pun mampu mengendalikan jalannya penegakan hukum. Sepuluh KPK pun bisa saja takkan berdaya, kalau tidak malah ikut ‘masuk angin’ seperti yang menjadi kritik dan sorotan publik terhadap lembaga itu belakangan ini. Kalau, 4+1 komisioner KPK periode mendatang ini ternyata tidak lah termasuk type ‘gila’, impian dan harapan publik kembali akan buyar. Akhir tahun depan, Abraham Samad sang ketua baru, harus mengundurkan diri sesuai dengan apa yang dijanjikannya. Publik harus mendukung mereka secara kritis dan kreatif  sepanjang mereka berada di jalur yang benar.

Kelompok korup bukan hanya menguat, tetapi juga berkembang biak dan mengalami regenerasi. Selain kasus rekening gendut sejumlah perwira polisi yang belum juga tersentuh hingga kini, sudah ada lagi kasus rekening gendut sejumlah PNS muda 3A-3B (usia 28 sampai 40) seperti diungkapkan Wakil Ketua PPATK pekan ini. Sejumlah indikator berupa rangkaian akibat korupsi dalam satu atau dekade terakhir, akan mulai bermunculan, diawali oleh robohnya jembatan di kabupaten Kutai Kertanegara. Sebelumnya, sudah banyak indikator akibat korupsi dengan skala lebih kecil berupa robohnya sejumlah gedung sekolah dan perkantoran pemerintah. Belum lagi sejumlah ‘tiupan peluit’ dan atau pengakuan sejumlah tersangka, mulai dari Gayus Halomoan Tambunan sampai Mohammad Nazaruddin, yang mengindikasikan fenomena gunung es korupsi. Semuanya, cenderung tak disentuh lebih jauh, sehingga sekaligus membuktikan betapa kuatnya jaringan korupsi di Indonesia.

The Stories Ever Told: Soeharto dan Para Presiden Indonesia (4)

KEHADIRAN Ibas Edhie Baskoro, putera bungsu Susilo Bambang Yudhoyono, dalam kancah politik menjadi salah satu titik masuk bagi serangan-serangan terhadap sang Presiden. Karena Ibas tak punya rekam jejak yang mengesankan sebelum ini dalam dunia aktivisme, maka kemajuan pesatnya dalam dunia politik, khususnya melalui Partai Demokrat ‘milik’ sang ayahanda, tak bisa tidak dikaitkan orang dengan posisinya sebagai anak Presiden/Ketua Dewan Pembina. Selain itu, Partai Demokrat adalah partai yang baru berusia 10 tahun, dan Ibas sudah ikut di belakang lokomotif sang ayah sejak mulai partai itu berdiri, jadi tak ada halangan dalam hubungan ‘usia’ keikutsertaan dalam partai. Bedanya dengan tokoh Partai Demokrat lainnya, adalah bahwa yang lain itu, selain lebih tua dalam usia, kebanyakan adalah kaum migran dari partai politik lainnya, khususnya dari Partai Golkar. Dalam pada itu, Anas Urbaningrum yang relatif masih cukup muda dalam usia, sudah ‘tua’ dalam aktivisme, pernah menjadi Ketua Umum PB HMI dan pernah pula menjadi anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebelum langsung direkrut ke dalam partai.

SEBUAH GAMBAR SBY. Sambil memuat gambar ini dalam blognya, 2009, seorang blogger dari Samarinda, Charles Siahaan, mengutip pesan seorang temannya di FB “Lihat, lama-lama wajah SBY mirip Soeharto”.

 Dari soal uang hingga posisi politik. Ibas telah beberapa kali menjadi fokus sorotan. Dalam isu bagi-bagi sedan mewah Jaguar oleh Harry Tanusudibyo, nama Ibas disebut sebagai salah satu penerima. Ketika Eggi Sudjana SH mengangkat isu itu secara terbuka ke publik, semua yang disebut sebagai penerima ramai-ramai membantah dan bahkan mengadukan Eggi telah mencemarkan nama baik. Kasus ini selesai dengan ‘happy ending’, namun meninggalkan ketidakjelasan tentang benar tidaknya isu itu. Dalam pemilu legislatif 2009 yang lalu, ada keraguan tentang suara perolehan Ibas, yang berakhir dengan diprosesnya sang penuduh di jalur hukum oleh Polri.

Tuduhan serius terbaru, adalah disebutnya keterlibatan Ibas bersama Anas Urbaningrum dan sejumlah tokoh lainnya dalam permainan dana politik ex korupsi anggaran belanja negara, yang dilontarkan Mohammad Nazaruddin. Apakah karena merasa telah menyerang putera Presiden, lalu Mohammad Nazaruddin menjadi ‘ketakutan’ bahwa akan ada ‘pembalasan’ terhadap anak dan isterinya, sehingga ia merasa perlu memohon mengiba-iba agar SBY melindungi keselamatan anak-isterinya? Dan berjanji takkan menyebut-nyebut lagi nama tokoh-tokoh –termasuk Ibas tentunya– dan nama Partai Demokrat seperti yang dilakukannya tatkala berada di luar negeri. Akan diam, dan bersedia dihukum tanpa perlu diperiksa dan diadili. Sebenarnya, itu merupakan suatu permintaan yang tidak masuk akal dari seorang yang sudah merasa atau mengesankan diri ‘tertekan’. Ataukah jangan-jangan Nazaruddin justru mengajukan deal kepada SBY: Tolong jamin keselamatan anak-isteriku, dan saya juga akan tutup mulut mengenai Ibas?

SEBAGAI manusia biasa, semua Presiden yang pernah memimpin Indonesia, punya kecenderungan untuk ‘sayang anak’. Dan tak sedikit pula kesulitan yang pernah timbul dari sikap ‘sayang anak’ maupun sikap ‘sayang isteri’ itu. Dalam konteks kekuasaan negara, sikap sayang anak atau sayang isteri yang berlebihan-lebihan umumnya melahirkan nepotisme. Dulu, Presiden Soekarno seringkali disorot karena terlalu ‘banyak’ isteri. Soekarno juga sering disorot karena Guntur Soekarnoputera, anak sulungnya, saat ia ini masih mahasiswa di ITB, karena suka kebut-kebutan dengan mobil sportnya, Carman Ghia yang mewah untuk ukuran zamannya. Tapi saat itu, Guntur belum ikut-ikutan bisnis memanfaatkan kedudukan ayahandanya, dan hanya aktif di organisasi mahasiswa GMNI namun belum sempat masuk ke DPR misalnya.

Mode berbisnis di kalangan anak pejabat, baru marak di masa Soeharto. Saat putera-puteri Soeharto beranjak dewasa dan berbisnis, sorotan muncul –meskipun lebih banyak berlangsung di bawah permukaan dan dalam pembicaraan masyarakat sehari-hari. Soeharto cukup berang mendengar adanya sorotan itu. Keberangan serupa berkali-kali ditunjukkannya sebelumnya, saat isterinya disorot kiprahnya dalam konteks kaitan bisnis. Beberapa pejabat tinggi tampil membela dan bertanya apakah karena ayahnya menjadi pejabat lalu seorang anak harus “kehilangan haknya menjadi pengusaha?”. Padahal yang menjadi persoalan di sini adalah soal fatsoen untuk menghindari konflik kepentingan. Selama seseorang menjadi Presiden, ada konsekuensi bahwa keluarganya kehilangan peluang sementara untuk berkiprah di bidang-bidang yang bisa menimbulkan conflict of interest itu. Setelah tidak menjadi presiden lagi, silahkan. Dan bila tidak ingin menghambat ‘karir’ anak atau keluarga, jangan menjadi Presiden atau pejabat tinggi. Seorang hakim misalnya, tak boleh mengadili perkara yang melibatkan anak-isteri atau keluarga dekatnya sebagai terdakwa.

Tapi memang, di Indonesia, semua masih serba tidak jelas, atau tepatnya dibuat tidak jelas. Di zaman Soeharto, semua anak pejabat memang seakan berlomba menjadi pengusaha, dan menarik keuntungan dari jabatan ayah mereka. Meminjam terminologi Jawa, disebut aji mumpung. Bila sang ayah menjadi Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi misalnya, maka anaknya menjadi pengusaha besar di bidang telekomunikasi dengan kecenderungan monopolistik. Bila sang ayah memimpin Pertamina, anak-anaknya bergerak di bidang usaha yang ‘menyusu’ ke Pertamina. Makin tinggi posisi hirarkis sang ayah dalam pemerintahan, makin luas pula jangkauan usaha sang anak. Dalam kaitan ini ada satu kisah menarik, antara Jenderal Benny Murdani dan Jenderal Soeharto, yang diangkat dari buku Julius Pour “Benny: Tragedi Seorang Loyalis” (Kata Hasta, 2007). Suatu hari Benny dan Soeharto bermain bilyar di Jalan Cendana. Benny berkata kepada Soeharto, bahwa untuk menjaga keamanan pribadi presiden memang sudah cukup dengan satu batalyon Paspampres. Tetapi, untuk pengamanan politik presiden, mutlak harus didukung oleh keterlibatan keluarga dan juga presidennya sendiri. Benny menuturkan, “Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak harto langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur, meninggalkan saya di ruang bilyar…. sendirian”.

Apakah dengan turunnya Soeharto dari kekuasaan, permainan nepotisme pun berakhir? Menurut George Junus Aditjondro, tidak. Dalam buku “Korupsi Kepresidenan”, seraya menyebut nama Thariq Kemal Habibie, Junus Aditjondro menulis bahwa di bawah Presiden BJ Habibie, keluarga Habibie dengan cepat berusaha menggeser peranan keluarga Soeharto dalam ekspansi bisnis oligarki. Terkait Presiden Abdurrahman Wahid, Junus Aditjondro mengapresiasi upaya pembersihan bisnis kalangan militer melalui peranan Jenderal Agus Wirahadikusumah, dan memberi kredit point terhadap pengajuan mantan Presiden Soeharto ke pengadilan oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. “Namun, dalam hal membiarkan nepotisme keluarga Wahid serta kroniisme para pendukungnya dari lingkungan NU dan PKB, Gus Dur belum banyak bergeser dari tradisi Soeharto”. Hasilnya, skandal Bulog-gate I dan Brunei-gate. Di zaman Megawati Soekarnoputeri menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden, Junus Aditjondro menyoroti bisnis-bisnis Taufiq Kiemas sang suami dan “Happy” Hapsoro sang menantu (suami Puan Maharani). Disebut-sebut antara lain isu komisi Rp. 426,4 miliar dalam pembelian jet tempur Sukhoi, dan kedekatan dengan keluarga Syamsul Nursalim. Adapun tentang Susilo Bambang Yudhoyono, Junus memaparkannya melalui buku Gurita Cikeas, disusul Cikeas Makin Menggurita –yang tampaknya menghilang dari peredaran maupun pembicaraan dan ulasan pers.

Keberhasilan Ibas Edhie Baskoro Yudhoyono dalam kancah politik, menjadi anggota DPR-RI dan Sekertaris Jenderal Partai Demokrat, barangkali hanya penerusan kebiasaan selama ini di Indonesia, bahwa kekuasaan adalah berkah. Di zaman Soeharto, anak-anak pejabat sipil maupun militer berduyun-duyun dan masuk dengan mudah ke posisi anggota DPR dan MPR. Anak Gubernur maupun anak Panglima Kodam menggeser peluang para kader muda Golkar yang tidak ‘berdarah biru’ kekuasaan. Para isteri petinggi –Gubernur, Pangdam dan Menteri– juga mendominasi kursi-kursi DPR dan MPR, sementara para suami dengan sendirinya menjadi anggota MPR. Ada jenderal yang berposisi Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, bisa memasukkan anak dan isterinya sekaligus ke lembaga-lembaga legislatif, sementara ia dengan sendirinya juga adalah anggota MPR Fraksi ABRI. Maka ada plesetan arti AMPI –sebuah organisasi kepemudaan Golkar– menjadi Anak-Menantu-Ponakan-Isteri/ipar, yakni mereka yang berhak masuk lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Anak-anak Soeharto pun pada umumnya mendapat kursi legislatif di masa Harmoko menjadi pimpinan DPR dan Golkar. Dalam kabinet terakhir pemerintahannya, Presiden Soeharto malah mengangkat salah seorang puterinya, Siti Hardiyanti Rukmana, menjadi Menteri Sosial RI. Tapi sang menantu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, belum sempat diangkat menjadi KSAD atau Panglima ABRI.

Di masa Abdurrahman Wahid, Yenni Wahid puterinya ikut berkegiatan dalam partai. Selain itu terbawa pula beberapa ponakan seperti Muhaimin Iskandar. Rupanya, di sini ada faktor rasa aman bila melibatkan anak-ponakan. Tapi ternyata, tidak betul-betul aman. Muhaimin Iskandar sang ponakan ternyata ‘meninggalkan’ sang paman dan berhasil ‘mengambil-alih’ kepemimpinan PKB tanpa keikutsertaan Gus Dur. Di masa Megawati Soekarnoputeri berkuasa sebagai pemimpin negara maupun pemimpin partai, PDIP, Guruh Soekarnoputera sang adik dan Puan Maharani sang puteri terbawa serta ke dalam kekuasaan. Puan malahan sempat disebut-sebutkan sebagai pewaris politik dan mungkin pewaris tahta Mega.

Kisah dua jenderal idealis. UNTUK menutup tulisan The Stories Ever Told ini, berikut adalah kisah dua jenderal idealis yang menjadi idola kaum pergerakan mahasiswa dan generasi muda di tahun 1966 hingga awal 1970-an: Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Letnan Jenderal Hartono Rekso Dharsono. Kedua-duanya, bersama Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah para jenderal idealis yang dengan berbagai cara telah dijauhkan dari posisi-posisi kekuasaan oleh Jenderal Soeharto. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro berperan dalam penyingkiran itu, namun pada akhirnya mengalami nasib yang serupa. Pada gilirannya, Jenderal Soemitro tersingkir karena kalah dalam percaturan kekuasaan melalui tangan Letnan Jenderal Ali Moertopo. Dan pada akhirnya, Ali Moertopo sendiri pun disingkirkan Soeharto ketika dianggap berambisi untuk naik lebih ke atas.

Selepas dari jabatan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (1964-1967), Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang bersama Mayjen HR Dharsono  populer di kalangan generasi muda 1966, seakan-akan dijauhkan dari Jakarta. Ia ditempatkan pada pos Panglima Kodam II Bukit Barisan di Medan. Banyak orang yang menganggap bahwa posisi baru itu merupakan ‘perangkap’ bagi Sarwo Edhie. Banyak kalangan kekuasaan yang diam-diam mengharap Sarwo tergoda dan tergelincir di sana. Sembilan dari sepuluh pejabat, terbukti tergelincir di sana. Sumatera Utara kala itu dianggap daerah yang penuh ujian moral bagi para pejabat, penuh godaan sogokan uang (termasuk sogokan menggunakan perempuan). Asal para pejabat, khususnya Panglima Kodam, Panglima Kepolisian dan Gubernur, bersedia tutup mata terhadap praktek penyelundupan maupun kejahatan ekonomi dan kriminalitas lainnya, ia akan segera kaya raya. Di antara para pejabat daerah masa itu, seorang Panglima Kodam adalah yang paling powerful. Sebelum berangkat ke sana, Sarwo Edhie memberikan janji kepada kelompok perjuangan generasi muda, takkan mempan godaan. “Saya berangkat ke sana dengan satu koper, dan akan kembali dengan satu koper yang sama”, ujarnya. Mayor Jenderal Sarwo Edhie berhasil membuktikan kebersihan dirinya. Setelah Sumatera Utara, berturut-turut Sarwo Edhie tetap dijauhkan dari Jakarta, menjadi Pangdam Trikora Irian Jaya 2 Juli 1968 – 20 Februari 1970 dan ditugaskan ke tempat lebih jauh lagi sebagai Duta Besar RI di Korea. Saat itu, pos duta besar selalu dikonotasikan sebagai pos ‘pembuangan’.

Letnan Jenderal HR Dharsono, juga adalah militer idealis yang belum pernah tercatat terlibat skandal berbau uang. Ia juga dijauhkan dari pusat kekuasaan, setelah begitu populer sebagai Panglima Kodam Siliwangi, terutama setelah melontarkan gagasan dwi-partai dalam rangka perombakan struktur politik Indonesia. Ia ditugaskan sebagai Duta Besar RI di Bangkok lalu Pnompenh Kamboja yang sedang bergolak. HR Dharsono pernah mendamprat seorang Menteri Kabinet Soeharto yang juga adalah seorang jenderal karena sebelumnya anak dan isteri sang menteri membuat masalah dengan bea-cukai pemerintah Thailand saat singgah di airport Bangkok. “Tertibkan keluarga anda kalau ke luar negeri, jangan bawa-bawa kebiasaan jelek dari tanah air”, tegur Dharsono. Sang menteri hanya bisa diam dimarah-marahi sang Dubes. Sewaktu bertugas di Pnompenh yang sedang dilanda demo anti Lon Nol, tutur seorang mantan stafnya, mobil Duta Besar HR Dharsono berpapasan dengan demonstran. HR Dharsono, membuka jendela mobil, lalu menyodorkan uang sumbangan kepada para demonstran. Di tanah airnya sendiri sang jenderal selama perjuangan 1966 dan sesudahnya memang punya kedekatan dengan mahasiswa pelaku demonstran. Kedekatan semacam itulah yang antara lain tak disukai Soeharto pada dirinya.

Selain persamaan sebagai jenderal idealis, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal HR Dharsono maupun juga Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah jenderal-jenderal yang gagah, menarik perhatian kaum perempuan. Tak heran, kalau ada saja gosip asmara melanda mereka, tapi tak sekalipun mereka melakukan kejahatan seksual –pelecehan, tipu daya, pemaksaan dan sebagainya– terhadap kaum Hawa semacam yang kerap dilakukan oleh sejumlah jenderal lain. Di masa militer dominan dalam kekuasaan negara, memang tak sedikit terjadi kisah buruk penyalahgunaan kekuasaan terkait masalah seksual. Seorang jenderal yang berkuasa dalam pemulihan keamanan, sebagai salah satu contoh, pernah ‘merampas’ isteri seorang petinggi sipil bidang hukum setelah menjebloskan sang suami ke tahanan dengan tuduhan terlibat PKI. Lainnya, seorang jenderal yang duduk dalam posisi basah di pemerintahan, ketika jumpa di airport saat akan melawat ke luar negeri,  dititipi oleh seorang jenderal purnawirawan agar melihat-lihat dan membantu menjaga keselamatan anak perempuannya yang ikut dalam penerbangan yang sama karena akan bersekolah di luar negeri. Tapi yang dititipi menjadi pagar makan tanaman, dengan tipu daya berhasil melakukan pelecehan di negara tujuan. Sang ayah yang dilapori anaknya, dengan berang pergi menemui Soeharto untuk mengadukan perbuatan sang menteri. Soeharto hanya manggut-manggut, tapi tak ada tindak lanjut yang sepantasnya dilakukan. Entah ada atau tidak hubungannya, sang jenderal purnawirawan di kemudian hari tercatat namanya dalam barisan tokoh anti Soeharto yang secara tak langsung ikut berperan dalam ‘kejatuhan’ sang penguasa 32 tahun itu….

Nazaruddin, The Man Who Knew Too Much?

MOHAMMAD NAZARUDDIN yang tertangkap di Cartagena Kolombia dan tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusumah Jakarta Sabtu malam, saat ini mungkin tepat disebut The Man Who Knew Too Much. Sebenarnya, sebutan ini dipinjam dari sebuah judul film yang beredar di Indonesia awal tahun 1960-an sebelum ada pemboikotan film-film Amerika di masa Soekarno. Bintang ternama James Stewart memerankan tokoh utama dalam film itu yang dikejar-kejar karena terlalu banyak tahu mengenai suatu kejahatan. Dengan pengungkapan-pengungkapan kebobrokan di tubuh Partai Demokrat dan di dalam pemerintahan yang dilontarkannya selama masa buronan, membuat Nazaruddin terkesan sebagai the man who knew too much, karena keterlibatannya dalam banyak hal yang berbau kejahatan keuangan, sehingga sekaligus menjadi the most wanted bagi kalangan tertentu dalam kekuasaan politik dan kekuasaan negara.

Di negara yang kotor, orang yang tahu terlalu banyak tentang kejahatan kekuasaan, akan dieliminasi. Bagi pemerintahan dan aparat penegakan hukum yang lurus, orang yang banyak tahu tentang kejahatan terutama karena ia terlibat secara dekat di dalamnya, sekuat tenaga akan diupayakan bersedia menjadi whistle blower agar keterangan-keterangannya bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar kejahatan. Tetapi pertanyaannya kini, apakah pemerintah dan aparat penegakan hukum kita termasuk kategori lurus atau bukan? Sudah bertahun-tahun publik berada dalam suasana penuh ketidakpercayaan kepada pemerintah maupun penegak hukum, dan menduga kuat betapa berbagai kasus korupsi dan kejahatan atas keuangan negara telah direkayasa habis-habisan. Tak lain karena kekuatan korup dan penyalahguna kekuasaan justru telah bersarang di tubuh kekuasaan, sebagai hasil kerja mekanisme rekrutmen politik dan kekuasaan yang bersendikan politik uang. Bahkan KPK yang tadinya merupakan harapan terakhir dalam upaya pemberantasan korupsi, kini mulai disangsikan oleh sebagian publik.

Meski publik pun mulai menyangsikan KPK, di tengah masyarakat masih terdapat benang merah pemikiran yang sehat, bahwa sebagai lembaga KPK harus tetap dipertahankan. Gagasan membubarkan KPK yang dilontarkan oleh Marzuki Alie –Ketua DPR-RI dan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat– dianggap pikiran sesat dan menyuarakan kepentingan kaum korup, setidaknya untuk menyelamatkan Partai Demokrat yang sudah kerasukan setan korupsi secara dalam. Kalau ada perorangan dalam KPK yang menyalahgunakan kekuasaannya, harus segera diangkat keluar, bukan dengan mengeliminasi lembaganya. Bila lembaga-lembaga peradilan, kejaksaan dan kepolisian untuk suatu jangka yang panjang telah membuktikan dirinya bersih dan berfungsi baik sebagaimana harusnya, barulah bisa dipertimbangkan untuk meminta KPK mengakhiri tugas dan kehadirannya. Namun tampaknya, masih akan lama sekali situasi itu bisa tercapai, untuk tidak mengatakan bahwa justru KPK masih terseok-seok dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Dan karena pemberantasan korupsi bukan semata soal penindakan, melainkan juga soal prevensi di hulu masalah, maka di sini faktor kualitas kepemimpinan nasional lah yang sebenarnya menjadi syarat utama. Tapi bagaimana kalau perjalanan para tokoh menuju kepemimpinan nasional justru selalui diwarnai oleh proses yang sarat dengan praktek politik uang? Pemimpin macam apa yang bisa diharapkan?

SETIDAKNYA hingga dua hari pertama setibanya Mohammad Nazaruddin di Jakarta, sebagian besar masyarakat masih diliputi kesangsian tentang kelanjutan penanganan Nazaruddin dalam konteks pengungkapan-pengungkapan yang dilontarkannya mengenai mafia anggaran negara dan mafia politik kekuasaan. Karena meski pengungkapan-pengungkapan itu masih perlu diperkuat dengan bukti-bukti dan atau setidaknya masih perlu ditelusuri lanjut kebenarannya, ia telah dicerna masyarakat karena seakan-akan telah mengkonfirmasi pola korupsi yang selama ini menjadi pengetahuan masyarakat. Sikap gagap dan gugup maupun beberapa kebohongan yang dpertunjukkan sejumlah petinggi Partai Demokrat tatkala memberi reaksi terhadap tuduhan-tuduhan Nazaruddin, hanya menambah keyakinan publik bahwa memang ada yang tidak beres di tubuh partai penguasa itu. Selain itu, beberapa proyek APBN yang selama ini tersembunyi dari pengetahuan publik, ternyata benar-benar ada dan tidak bisa dibantah: Selain proyek Wisma Atlet di Palembang, dan kasus-kasus di Kementerian Diknas dan Nakertrans, juga ada proyek Hambalang di Sentul Jawa Barat, serta proyek pabrik vaksin flu burung yang berskala triliunan rupiah. Dan ternyata memang untuk sebagian prosesnya tidak normal, tanpa tender terbuka. Orang pun bertanya-tanya, apakah proyek gedung baru DPR yang juga berskala triliun tadinya termasuk di dalamnya, dan ada seberapa banyak proyek-proyek semacam itu yang hingga kini masih tersembunyi dari pengetahuan publik?

Kekuatiran paling menonjol dari masyarakat, apakah kasus tudingan-tudingan mantan Bendahara Partai Demokrat itu, akan diselesaikan dalam suatu rekayasa untuk melokalisir persoalan sehingga tak menyentuh terlalu jauh ke dalam pusat kekuasaan. Masyarakat memiliki sejumlah trauma, betapa sejumlah whistle blower maupun mereka yang mungkin termasuk dalam deretan the men who knew too much, telah dibungkam dengan berbagai cara, mulai dari sekedar negosiasi biasa, gertakan, dijebloskan dalam penjara, dicederai dan bahkan mungkin dihilangkan nyawanya. Aktivis HAM Munir, mati diracun. Antasari Azhar dijebloskan dalam penjara melalui tuduhan pembunuhan dan peradilan rekayasa. Aktivis LSM Tama S. Langkun dicegat dan dianiaya yang diduga dalam kaitan kasus rekening gendut perwira polisi. Komjen Polisi Susno Duadji, diungkit dosa-dosa lamanya lalu diadili, sementara ungkapan-ungkapannya tak pernah ditindaklanjuti. Kasus Gayus Tambunan berputar-putar di seputar bagian kasus yang remeh temeh, sementara siapa pengusaha-pengusaha yang memberi fee besar-besaran dalam praktek mafia perpajakan tak pernah ditelusuri sampai tuntas. Kasus Bank Century diperlambat proses hukumnya, sehingga mantan Menkeu Sri Mulyani tersudut pada posisi marginal sebagai semacam kambing hitam sementara tabir permainan sesungguhnya di balik itu tak pernah dibuka.

MICHAEL MENUFANDU DAN MOHAMMAD NAZARUDDIN. Gambar berdua ini muncul di berbagai media dan internet, dengan teks jenaka ‘Sohiib…’. Penanganan yang “…berlangsung serba tertutup dan tak melibatkan unsur-unsur netral, telah menimbulkan syak wasangka yang serius”.

Banyak yang sangsi, dan meramalkan bahwa akhir lakon Nazaruddin takkan berbeda dengan permainan sebelumnya. Cara penanganan oleh Michael Menufandu Dubes RI di Bogota, proses penjemputannya dan perjalanan panjangnya dengan pesawat carter sampai kepada penahanannya di Mako Brimob, berlangsung serba tertutup dan tak melibatkan unsur-unsur netral dari masyarakat, telah menimbulkan syak wasangka yang serius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang berjanji menjaga ‘keselamatan’ dan takkan mengintervensi atau merekayasa kasus ini, namun kita sama-sama tahu bahwa kini sang presiden tidak lagi sepenuhnya dipercaya oleh masyarakat. Nazaruddin mungkin berhasil dijinakkan, dinegosiasi atau dibuat hilang keberaniannya, untuk akhirnya menjadi sekedar ayam sayur. Tetapi keajaiban mungkin saja terjadi, dan itu bukan mustahil, bahwa bila publik bersikeras mengawal dengan ketat penanganan kasus Nazaruddin, dan bila KPK ingin menyelamatkan reputasinya, kasus Nazaruddin betul-betul menjadi pintu masuk bagi suatu pembersihan tubuh kekuasaan yang berkelanjutan.

Marzuki Alie dan Partai Demokrat: Di Balik Tabir Asap Korupsi (2)

SALAH SATU di antara tokoh Partai Demokrat yang ditemui Mohammad Nazaruddin pada saat-saat terakhir sebelum melarikan diri ke luar negeri, tak lain Marzuki Alie, Wakil Ketua Dewan Pembina yang juga  adalah Ketua DPR-RI. Lainnya adalah Ruhut Sitompul dan Benny K. Harman, yang mendampingi Nazaruddin dalam suatu jumpa pers. Saat itu keduanya dengan sengit membela Nazaruddin, hampir sepenuhnya dengan cara at all cost. Tapi memang, dalam episode kesatu, hampir seluruh tokoh Partai Demokrat kala itu, mulai dari Ahmad Mubarok dan Sutan Bathugana sampai Anas Urbaningrum dan Ibas Edhi Baskoro, tampil bicara dengan nada membela sang Bendahara –pengelola ‘darah’ merah partai– dengan berbagai dalih. Dua tokoh yang bersuara beda kala itu, Kastorius Sinaga dan Amir Syamsuddin (dari Dewan Kehormatan), malah banyak dicerca dari arah internal secara terbuka melalui pers cetak maupun dalam berbagai forum tayangan televisi. Sehingga, waktu itu publik seolah mendapat kesempatan untuk membaca mana kelompok yang kecipratan rezeki mana yang tidak. Sekaligus tentu, bisa membaca peta pengelompokan kepentingan di tubuh Partai Demokrat terutama pasca Kongres Kota Baru Parahyangan Bandung.

DALAM episode kedua kisah Nazaruddin, yakni saat pengemban ‘darah’ bagi kehidupan partai itu meninggalkan Indonesia 23 Mei tepat sehari sebelum pencegahan atas dirinya dilakukan atas permintaan KPK, sejumlah tokoh separtai masih ‘membela’ dengan sekuat tenaga dan bila perlu ikut berbohong. Nazaruddin katanya pergi ke Singapura untuk berobat. Ruhut Sitompul bahkan berani bercerita, betapa badan Nazaruddin merosot, berat badan turun beberapa kilogram. Tokoh-tokoh partai pun menjenguk ke Singapura, pulang dengan cerita yang sama, Nazaruddin sedang berobat di negeri Tiger Balm itu. Lalu, bersama-sama bagaikan satu koor, ‘menjanjikan’ bahwa Nazaruddin akan pulang ke tanah air melakukan klarifikasi atas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan pada diri dan partainya, segera setelah selesai dengan pengobatannya. Pada waktu yang sama, seraya ‘terbatuk-batuk’ –rupanya kena batuk pilek– melalui wawancara jarak jauh dengan televisi swasta, tokoh muda ‘cemerlang’ Partai Demokrat ini juga menjanjikan yang sama.

NAZARUDDIN JUALAN SARI ROTI DI CARTAGENA. Sewaktu Nazaruddin diwawancara jarak jauh sebuah stasiun TV swasta, sayup-sayup di latar belakang terdengar suara penjaja Sari Roti. Maka muncullah gambar rekayasa ini di berbagai situs internet. “Tapi mungkin saja, saat di Cartagena, Nazaruddin sempat jualan Sari Roti”.

Tetapi ternyata masa pelarian itu berlangsung dua bulan lebih hingga 7 Agustus 2011, saat seseorang yang dikenali sebagai buronan Interpol Nazaruddin ditangkap polisi Kolombia di kota wisata Cartagena. Jadi, Nazaruddin bukannya kembali ke Indonesia, tetapi seraya berpindah-pindah tempat pada berbagai negara, ia mengungkap berbagai informasi berisi tuduhan-tuduhan serius terhadap rekan separtainya tentang permainan dana politik: Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Alfian Mallarangeng dan beberapa nama lainnya. Bersama dan melalui pers terungkap angka-angka fantastis dana pemenangan Anas Urbaningrum yang mencapai US$ 20 juta. Terungkap pula dalam rangkaian pemberitaan itu, dana-dana APBN yang mengalir menjadi dana politik Partai Demokrat, melalui proyek-proyek kompleks olahraga Hambalang di Sentul Bogor, permainan melalui proyek di Kementerian Diknas dan terakhir proyek pembangunan pabrik vaksin flu burung di Kementerian Kesehatan tanpa melalui proses tender. Semua terkesan sistematis dan by design.

Dalam fase ungkap-mengungkap ini, mendadak Nazaruddin menjadi musuh bersama dari hampir seluruh keluarga besar Partai Demokrat. Semua yang tadinya membela mati-matian, antara lain dengan argumentasi azas praduga tak bersalah, berbalik mencaci maki seraya mencuci tangan. Walau semua seakan menantang bahwa agar Nazaruddin kembali ke tanah air, terbaca bahwa banyak yang lebih berharap agar kawan yang satu ini tak pernah pulang ke Indonesia. Sikap-sikap yang membalik 180 derajat ini, seringkali sudah tak bisa dibedakan dengan lakon ketoprak. Sementara itu beberapa penggiat anti korupsi juga ikut kurang senang dengan pengungkapan Nazaruddin tentang beberapa tokoh KPK, dan menganggapnya sebagai maling teriak maling, yang tak berharga. Padahal, maling sekalipun bisa tak berbohong dan mengungkapkan sesuatu yang benar bila merasa dikorbankan komplotannya. Antusiasme dan harapan kepada KPK tak perlu membabi-buta, melainkan harus kritis sebagai bagian dari pengawalan terhadap lembaga itu sebagai harapan terakhir dalam pemberantasan korupsi pada tingkat situasi Indonesia saat ini. Sikap menutup mata terhadap tanda-tanda ketidakbersihan KPK, tak kalah buruknya dengan sikap Marzuki Alie yang memanfaatkan serangan-serangan terhadap KPK –yang tambah mencuat setelah tudingan Nazaruddin– untuk menyodorkan gagasan pembubaran KPK dan memberi pengampunan terhadap para koruptor. Bila pengampunan seperti itu terjadi, Partai Demokrat yang tampaknya banyak ‘menyimpan’ koruptor dalam tubuh dan dalam perlindungannya, akan terselamatkan.

Meski masih harus digali lebih jauh kebenarannya, bagaimanapun apa yang diungkapkan Nazaruddin dan apa yang diungkapkan oleh pers, untuk sementara telah menyodorkan suatu konstruksi tentang korupsi sistematis (terencana) untuk kepentingan dana politik, khususnya terkait Partai Demokrat. Bila dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa korupsi yang sudah terungkap dengan pelaku-pelaku dari partai lain –seperti PPP (kasus korupsi Bachtiar Chamsyah), PKS (LC fiktif Bank Century oleh Misbakhum, dan tudingan tokoh senior PKS Jusuf Supendi kepada Anis Matta dan kawan-kawan dalam penyalahgunaan dana Rp. 70 milyar dana Adang Daradjatun dalam pemilihan gubernur DKI), anggota-anggota DPR dari PDIP dan Golkar yang menerima gratifikasi dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Gultom, maupun tudingan ke tokoh PAN dalam kasus korupsi di Kementerian Perhubungan– tersimpulkan bahwa perilaku korupsi telah melekat dalam kehidupan kepartaian di Indonesia. Biaya politik saat ini, yang bersendikan mekanisme jual-beli, layaknya ekonomi pasar, memang makin tinggi.

Makin besar peranan sebuah partai dalam kekuasaan, makin besar pula korupsi yang dilakukan untuk kepentingan politik partai, yang sekaligus ditumpangi oleh perorangan yang memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri. Kadangkala, uang yang masuk ke saku perorangan bisa lebih besar daripada yang disetorkan ke kas partai. Dalam pemilihan umum 1999, ada seorang pimpinan partai cukup terkemuka yang menerima sumbangan masing-masing 1 milyar rupiah dari setidaknya dua donatur, tetapi dilaporkan hanya 1 milyar ke partai. Sang tokoh sempat jadi menteri. Kasat mata kita bisa melihat betapa banyak tokoh-tokoh partai maupun anggota DPR yang bisa tampil sangat kaya, tidak ‘semiskin’ beberapa tahun lampau sebelum menjadi tokoh. Pers akhir-akhir ini sempat memberitakan tentang Anas Urbaningrum yang kini hidup kaya,  seperti halnya Angelina Sondakh yang berumah dan bermobil bernilai milyaran, maupun Nazaruddin yang bergelimang uang beberapa tahun terakhir ini. Itu sekedar contoh dari Partai Demokrat.

Fenomena yang sama, mendadak kaya pada beberapa tahun terakhir saat terjun dalam dunia politik, juga bisa ditemukan pada sejumlah tokoh partai lainnya di luar Partai Demokrat. Padahal, sebelumnya, seperti istilah yang sering muncul dalam percakapan sehari-hari, dulu mereka ‘kere’. Ada seorang tokoh muda yang kini menjadi pimpinan partai, misalnya, sebelum pemilu pertama masa reformasi tahun 1999, indekos di kamar kumuh 3×3 meter, kini hidup berkelimpahan di samping mendapat posisi tinggi dalam kekuasaan pemerintahan. Tentu menjadi hak setiap orang untuk berupaya memakmurkan diri, tetapi hendaknya jangan dengan cara dan jalan pintas yang kotor. Mendadak bengkak mengindikasikan ada penyakit di balik itu. Di belakang angka-angka keberuntungan yang tinggi apalagi bila itu terjadi dalam sekejap, cenderung ada crime.

KINI drama ketoprakan Nazaruddin dan Partai Demokrat memasuki episode ketiga dengan tertangkapnya Nazaruddin di Cartagena Kolombia. Banyak yang mengingatkan, agar keselamatan Nazaruddin dijaga. Nazaruddin harus segera sampai di tangan lembaga yang paling bisa dipercaya, dalam hal ini KPK, kendati KPK pun harus diamati agar tak mungkin terjadi ‘balas dendam’ terhadap tudingan ex buron itu. The bad among the worst, and lesser evil, KPK. Jangan sampai Nazaruddin dibungkam atau dibuat hilang keberanian karena kemarahannya sebagai orang yang merasa dikorbankan sendirian, atau berhasil diajak negosiasi sehingga bersikap pecundang. Tak kurang banyaknya orang berharap bahwa segalanya kini bisa diungkap, dan bahwa penangkapan Nazaruddin akan menjadi pintu masuk untuk membongkar banyak kasus korupsi kekuasaan. Banyak juga yang menjadi was-was, terutama yang namanya pernah disebut-sebut, jangan-jangan Nazaruddin betul-betul berani karena kalap dan kemudian bisa membuktikan tudingan-tudingannya. Namun tak kalah banyaknya, yang tak yakin, dan bahwa yang akan terjadi hanyalah semacam anti klimaks. Ahli komunikasi politik Tjipta Lesmana mengatakan bahwa kasus ini, seperti halnya dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, akan tutup. Takkan terjadi happy ending…..

Berlanjut ke Bagian 3

Marzuki Alie dan Partai Demokrat: Di Balik Tabir Asap Korupsi (1)

GAGASAN pengampunan dan saling memaafkan dengan para koruptor yang dilontarkan politisi Partai Demokrat –yang juga adalah Ketua DPR-RI– Marzuki Alie, menjelang akhir Juli ini, mirip dengan apa yang telah dijalankan di Thailand beberapa dekade lalu. Saat itu, Thailand termasuk juara korupsi di Asia Tenggara dan mungkin juga di Asia, antara lain bersama Vietnam (Selatan). Korupsi yang begitu meluas membuat berang mahasiswa Thailand, dan suatu saat di pertengahan 1960an, mereka menghadap raja Thailand Bhumibol Aduljadej, menyampaikan tuntutan agar semua koruptor dihukum mati. Setengah berseloroh, Raja Siam itu menjawab, kalau “kita memecahkan masalah korupsi dengan hukuman mati, maka Thailand akan tinggal berpenghuni sedikit orang saja”. Seloroh ini memantulkan suatu tingkat keadaan yang serius dengan konotasi yang amat buruk, yaitu bahwa korupsi dan para pelakunya ada dalam posisi hegemonik.

Bukan usulan mahasiswa untuk menghukum mati para koruptor yang kemudian dituruti penguasa Thailand. Tercatat bahwa setelah itu, khususnya pada akhir dekade 1960an dan dekade 1970an, ada kebijakan pemutihan bagi dana hasil korupsi, sepanjang dana itu diinvestasikan di dalam negeri, di sektor industri ataupun usaha-usaha ekonomi strategis lainnya. Muncul kelompok-kelompok kaya yang berperanan besar dalam ekonomi Thailand, yang sebagian terbesar adalah keluarga dengan investasi dana yang asal-usulnya dari perbuatan korupsi masa lampau. Dan pada waktu yang sama terus terjadi korupsi-korupsi baru dengan pelaku-pelaku baru dari kalangan penguasa ‘baru’ yang silih berganti.

Keadaan Indonesia sekarang, mungkin mirip-mirip. Kita bisa mencatat kehadiran dan peran para pelaku ekonomil generasi kedua, yang memperoleh kekuatan uang yang bersumber dari korupsi para orang tua mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan dan atau mewarisi usaha orang tua mereka yang dulu adalah pengusaha yang menikmati keuntungan-keuntungan besar karena kedekatan konspiratif dengan kalangan kekuasaan. Ada pula turunan ex pejabat yang bisa terjun dan berhasil masuk ke dalam kekuasaan eksekutif maupun legislatif, bermodalkan ‘warisan’ nama dan kekayaan orang tua yang sangat berguna dalam kehidupan politik masa kini yang berbasis money politic. Tak kurang banyaknya, muncul pula pelaku-pelaku baru yang masuk ke dalam ‘sistem’, memanfaatkan sistem, lalu ikut berkuasa dan menjadi kaya raya.

Korupsi pasca Soeharto begitu meluas, tak kalah hebat dengan masa Soeharto sendiri, sehingga tak ada institusi negara, institusi politik dan bahkan institusi sosial yang tak ikut menghasilkan koruptor. Tak ada profesi yang bebas dari perilaku korupsi. Para penegak hukum yang tadinya diharapkan akan memberantas korupsi –hakim, jaksa, polisi dan pengacara– untuk sebagian bahkan telah menjadi bagian dari korupsi itu sendiri, baik sebagai pelaku langsung maupun sebagai pemungut rente dari para koruptor. Sejumlah pengacara misalnya, menjadi begitu kaya dan bergelimang kemewahan, sejak munculnya tersangka-tersangka korupsi berskala besar-besaran. Korupsi dilakukan secara berjamaah –di salah satu daerah, seluruh anggota DPRDnya menjadi tersangka korupsi/gratifikasi tanpa kecuali– dan sudah terorganisir dalam jaringan-jaringan yang kuat. Bila sebagian saja dari apa yang diungkapkan ex Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin, mengandung kebenaran, sungguh mengerikan. Terlepas dari penilaian bahwa sebelum ini Nazaruddin banyak bohongnya, hal-hal yang diungkapkannya dari tempat persembunyiannya untuk sebagian bagaimanapun telah mengkonfirmasi pengetahuan publik selama ini. Apalagi, sanggahan-sanggahan reaktif yang dilakukan terhadap Nazaruddin, serba tidak meyakinkan.

Tergambarkan betapa sejumlah eksplorasi dana di negara ini berlangsung sistemik, terorganisir dan terkait erat dengan pengelolaan politik dan kekuasaan. Dan ada indikasi kuat bahwa pola itu tak hanya berlaku dalam tubuh Partai Demokrat. Coba tunjukkan, partai besar mana saat ini yang tak punya cerita skandal, entah skandal uang/korupsi, entah perilaku asusila, entah persekongkolan busuk lainnya yang sarat manipulasi demi kursi kekuasaan di berbagai lini kehidupan bernegara. Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, Gerindra, apapula konon Partai Demokrat yang dalam 7 tahun menjadi partai tambun?

Begitu massive dan kuatnya jaringan koruptor itu –yang untuk sebagian sudah terkait dengan kepentingan dana politik– sehingga sanggup mematah-matahkan dengan berbagai cara barangsiapa yang mencoba memberantas korupsi. KPK sebagai lembaga extra ordinary yang dibentuk saat kepercayaan kepada para penegak hukum di berbagai lembaga ordinary (konvensional) telah merosot, kini seakan berhasil digoyang, baik melalui upaya-upaya kriminalisasi maupun perangkap suap dan atau karena ada perorangan KPK yang memang telah bobol pertahanan moralnya.

Betapapun kita membela KPK –sebagai lembaga yang dengan kategori the bad among the worst, atau setidaknya sebagai lesser evil– kita keliru bila bersikap tutup mata tutup telinga. Justru publik harus peka, mendorongkan suatu pengusutan segera, justru untuk melindungi lembaga super body yang menjadi tumpuan harapan terakhir dalam pemberantasan korupsi itu. Dan tentu saja, yang paling penting, menolak setiap upaya pembubaran, apalagi dengan cara berdasarkan gagasan Marzuki Alie yang beraroma aneh. Seakan melanjutkan umpan bola dari Mohammad Nazaruddin, Marzuki menggagas untuk membubarkan saja KPK ‘bila’ sudah tak ada lagi tokoh yang punya kredibilitas untuk duduk di sana. Lalu sebagai tindak lanjutnya mengusulkan untuk bermaaf-maafan dengan para koruptor, dan mengajak mereka kembali ke Indonesia bersama uangnya, dan membuka lembaran baru. Tetapi lembaran baru apa yang bisa diharapkan? Para koruptor yang masih belum tertangkap dan terungkap kejahatannya, akan ikut terselamatkan, tanpa perlu mengembalikan dana hasil rampokannya. Suatu ‘pengampunan’ seperti itu, dengan sendirinya juga akan menghentikan pemberantasan korupsi untuk beberapa lama. Siapa-siapa saja yang akan terselamatkan? Dan apakah pada saat yang sama perbuatan korupsi juga akan berhenti? Perlu dibahas dan dianalisa lebih lanjut.

Tokoh Partai Demokrat bernama Marzuki Alie yang menjadi Ketua DPR-RI ini memang terkenal dengan suara-suara anehnya selama ini, semisal saat mengomentari bencana tsunami di Mentawai dengan menyalahkan kenapa penduduk berumah di tepi pantai. Tapi lebih dari itu, ia juga kerap membela orang-orang yang dituduh korupsi. Marzuki membela besan Presiden SBY, Aulia Pohan yang telah menjalani hukuman berdasarkan vonnis 3 tahun Pengadilan Tipikor, sebagai orang yang tidak bisa dianggap koruptor, karena tidak mencuri uang negara untuk kepentingan pribadi. Pers mengutip komentarnya bahwa Aulia Pohan hanya ikut melakukan kesalahan administratif bersama orang yang melakukan korupsi di Bank Indonesia. Sensitivitas dan sikap traumatik Marzuki Alie terhadap tuduhan korupsi mungkin lebih bisa dipahami bila mengingat bahwa ia adalah seorang mantan tersangka dalam suatu perkara korupsi 7 tahun lampau. Bolak-balik, saat menjadi Direksi PT Semen Baturaja ia diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam kaitan kasus korupsi 600 milyar rupiah di BUMN itu. Ia mengatakan bahwa tuduhan itu merupakan bagian dari persaingan internal di tubuh BUMN tersebut. Pada saat-saat terakhir ia berhasil memperoleh SP3 sehingga lolos dalam pencalonan melalui partai Demokrat untuk Pemilihan Umum 2004 dan akhirnya melaju ke atas hingga kini menduduki kursi Ketua DPR-RI.

Berlanjut ke Bagian 2

Kasus Nazaruddin: Mencari Api di Balik Asap

BILA sebelum ini, mantan Bendahara Partai Demokrat Mohammad Nazaruddin, melontarkan cerita-ceritanya melalui Black Berry Messenger (BBM), maka pekan ini ia meningkat memberikan ‘testimoni’ melalui wawancara telepon dengan sejumlah stasiun televisi Indonesia. Suaranya terdengar jelas, tak disangsikan lagi bahwa memang ia yang berbicara, bukan orang lain. Lebih ‘terbuktikan’ daripada sekedar melalui komunikasi BBM. Dan seorang ahli psikologi forensik memberikan penilaian –berdasarkan antara lain analisa tekanan suara pada bagian tertentu, misalnya saat menyebutkan nama– yang pada intinya adalah bahwa sebagian besar penyampaian Nazaruddin bukanlah pengungkapan yang artifisial, sehingga cukup bisa dipertimbangkan sebagai bahan informasi untuk mencari kebenaran.

Adalah keliru, bila kita yang berada di luar lingkaran kepentingan Partai Demokrat, untuk ikut meremehkan atau ‘mengecilkan’ isi pengungkapan-pengungkapan Nazaruddin tentang sepak terjang sejumlah tokoh dalam mempermainkan uang negara dan menggunakannya untuk kepentingan politik uang di dalam dan di luar partainya. Sebagai warganegara kita berkepentingan negara ini bersih dari segala perilaku menyimpang penyelenggara negara maupun partai pendukungnya. Sebelum Nazaruddin mengungkapkan cerita-ceritanya pun pola permainan yang dibeberkannya bukan cerita asing bagi publik. Tiupan peluit Nazaruddin yang kini ramai-ramai dipojokkan oleh ‘bekas’ teman-teman separtai dan sepermainan, hanyalah mengkonfirmasi apa yang sudah diduga bahkan diketahui publik.

Dugaan-dugaan tentang adanya yang tidak beres di belakang keberhasilan Partai Demokrat mendongkrak suaranya hampir tiga kali lipat dari satu pemilu ke pemilu lainnya, sudah ada di kepala kita semua. Kita sama-sama menyaksikan adanya manipulasi-manipulasi DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang menguntungkan partai tertentu. Kita juga telah mencermati ‘bahasa tubuh’ sejumlah petinggi KPU, yang antara lain sangat cenderung mendekat-dekatkan diri kepada Presiden SBY. Kita juga sama-sama mengetahui, bahwa beberapa tokoh KPU, yakni Anas Urbaningrum dan kemudian Andi Nurpati direkrut menjadi petinggi Partai Demokrat melalui jalan bebas hambatan seakan balas jasa.

Begitu pula, kemenangan SBY dalam Pemilihan Presiden 2009, yang 60,8 persen, terlalu bagus untuk menjadi suatu kenyataan dalam satu sistem multi partai. Kemenangan tinggi dalam satu putaran itu bahkan seakan sudah dipastikan sebelum pemilihan umum itu sendiri berlangsung. Semua orang juga tahu tentang begitu banyaknya kecurangan dilakukan oleh berbagai pihak, tak terkecuali kubu sang pemenang, tetapi semua itu tak bisa diapa-apakan karena peraturan yang ada memang hanya menyediakan waktu yang sangat terbatas untuk pengajuan keberatan. Dan begitu tenggat waktu habis, habis pula kesempatan formal menurut undang-undang untuk menggugat kebenaran hasil pemilihan umum. Adanya sinyalemen tentang kecurangan dan atau manipulasi angka hasil pemilu hanya menjadi catatan yang tak berarti apa-apa lagi, hangus. Kecuali bila dilanjutkan sebagai gugatan moral demi kebenaran. Tapi moral, keadilan dan kebenaran kan sudah lama sekarat di negeri bernama Indonesia ini? Sekarang, ketiganya sedang terbaring lemah di pembaringan dalam bangsal unit gawat darurat.

DALAM wawancara teleponnya yang terbaru dengan beberapa stasiun televisi dan media cetak, Nazaruddin mengungkapkan bahwa Kongres Partai Demokrat di Kota Baru Parahyangan Bandung yang lalu bergelimang money politic. Calon Ketua Umum Anas Urbaningrum berhasil menyawer dana dari mana-mana yang jumlahnya mencapai hampir US$ 20 juta. Menjelang Kongres, dengan sebuah mobil box, sekitar 50 miliar rupiah dibawa dari Jakarta dan disimpan di salah satu kamar Hotel Aston, untuk persediaan menopang keperluan memenangkan Anas Urbaningrum. Cerita ini menarik, karena pada saat kongres itu berlangsung beberapa sumber lain bercerita tentang besarnya akumulasi uang yang menumpuk dan beredar di sekitar arena pemilihan. Bukan hanya kubu Anas yang menyediakan dana besar, melainkan setiap kubu pada dasarnya melakukan persiapan serupa. Bahwa ada dana yang dibawa ke Bandung saat itu, terkonfirmasi pula melalui keterangan seorang staf Nazaruddin yang mengakui membawa uang dalam jumlah besar dari Jakarta.

Apa yang terjadi di Partai Demokrat ini, mengingatkan kita pada cerita yang sama, tentang beredarnya dana besar dalam Munas Golkar di Pakanbaru yang menghasilkan Ketua Umum Aburizal Bakrie. Hal yang sama, lima tahun sebelumnya, dalam Munas Golkar di Nusa Dua Bali, saat Jusuf Kalla memenangkan kursi Ketua Umum Golkar. Dua peristiwa dengan dua partai berbeda, telah saling mengkonfirmasi mengenai telah terjadinya politik uang dalam kehidupan kepartaian di Indonesia.

MELALUI wawancara telepon itu, Nazaruddin juga melontarkan tuduhan tentang tidak bersihnya KPK dari ‘para maling’. Ia menyebut nama Chandra Hamzah, yang pernah juga dituduh dalam kasus suap terkait perkara Anggoro dan Anggodo Wijaya. Nazaruddin mengatakan Chandra Hamzah melakukan deal dengan Anas Urbaningrum, akan didukung untuk menjadi pimpinan KPK lagi (bersama Ade Rahardja) dengan syarat KPK tidak mengutik-utik Anas dan Angelina Sondakh dalam rentetan kasus yang mencuat belakangan ini. Nazaruddin mengaku punya bukti rekaman CCTV yang bisa membuktikan adanya pertemuan itu. Reaksi beberapa pimpinan KPK terhadap tudingan Nazaruddin, tidak cukup positif sekali ini. Ada kecenderungan mekanisme defensif para pimpinan KPK ini lebih mengedepan, sehingga memerlukan untuk menyerang balik bahwa Nazaruddin tak bisa dipercaya. Bagaimana kalau tudingan Nazaruddin kali ini ada benarnya? Kenapa KPK tak memilih saja untuk segera melakukan penyelidikan ke dalam dirinya? Apapun hasilnya, tetap saja baik bagi KPK. Kalau ada yang kotor, KPK bisa membersihkan diri dan layak tetap dipercaya. Kalau tak terbukti, orang akan semakin yakin terhadap kebersihan KPK, sehingga memilih akan selalu menempatkan diri bersama KPK setiap kali ada upaya memojokkan KPK.

Publik pasti lebih percaya kepada KPK. Tapi itu tak harus membuat kita menganggap KPK itu terdiri dari para malaikat yang tak pernah salah. Jadi kita semua harus lebih tanggap setiap kali ada tudingan tentang ketidakbersihan KPK. Kita harus segera mencari tahu dan dibuat tahu bahwa tudingan itu benar atau tidak. Barangkali begitu cara kita semua untuk menjaga lembaga yang menjadi harapan sisa dalam pemberantasan korupsi. Adalah sangat dangkal ucapan salah seorang pimpinan KPK yang mengatakan tak ada gunanya untuk menanggapi nyanyian ‘kosong’. KPK jangan mengikuti jalan pikiran penjaga malam yang malas. Saat ada anjing menggonggong atau angsa menguik gaduh di tengah malam, yang mungkin saja karena ada maling sedang menyelinap, sang penjaga malam malas memeriksa. Pagi-pagi baru ‘menyesal’ karena ternyata ada yang kemalingan.

KPK itu kini memiliki tim psikologi forensik yang punya metode dan kemampuan cukup prima dalam memeriksa saksi atau tersangka. KPK memiliki bukan hanya wewenang yang super, penyadapan dan sebagainya, tetapi juga sejumlah kelengkapan lain yang di atas rata-rata dibandingkan lembaga penegakan hukum lainnya. Dan yang terpenting di atas segalanya, ia mendapat dukungan kuat dan kepercayaan yang masih begitu besarnya dari sebagian terbesar masyarakat. Sepantasnya KPK mulai bergerak. Nazaruddin meniupkan asap, cari apinya. Rambah saja, dan tak usah membebani diri dengan pikiran-pikiran berbau politik.

Entah bagaimana caranya, KPK harus yang lebih dulu menemukan Nazaruddin. Bila Nazaruddin jatuh ke tangan yang salah, di luar KPK, sudah bisa diramalkan bagaimana akhir dari cerita. Bukankah kita sudah punya pengalaman pahit dengan sejumlah whistler blower atau setidaknya orang-orang yang bisa sekaligus menjadi whistle blower, seperti Antasari Azhar, Susno Duadji dan Gayus Tambunan, bahkan juga Anggodo Wijaya, yang semuanya jatuh ke tangan yang salah? Semestinya mereka bisa digiring membantu pengungkapan sejumlah kasus besar lainnya di tubuh kekuasaan, tetapi kini berhasil terbungkamkan. Banyak cerita gelap lalu bisa menjadi gelap selamanya.