MESKI tak sama spektakulernya dengan biaya menuju kursi Presiden Republik Indonesia, tetap saja ‘harga’ kursi parlemen melalui Pemilihan Umum 2014 terasa fantastis. Putera Hashim Djojohadikoesoemo –yang tak lain keponakan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto– bernama Aryo Djojohadikoesoemo terbuka mengakui persiapan biaya tak kurang dari 6 miliar rupiah untuk turut serta dalam perebutan kursi DPR-RI tahun 2014. Ia cukup rinci memberikan pos-pos biaya pengeluaran. Dan ternyata cucu begawan ekonomi Professor Dr Soemitro Djojohadikoesoemo itu tak sendirian dengan angka besar itu.
Pers memberitakan politisi Partai Demokrat Didi Irawadi mengungkap bahwa sejumlah temannya sesama petahana di DPR-RI sudah mengeluarkan biaya sekitar 5 miliar rupiah. Bisa dipastikan, karena pemilihan umum baru akan berlangsung April, selama setidaknya dua bulan ke depan, maka masih diperlukan biaya tambahan. Dengan demikian, mungkin biaya total menjadi minimal 6 miliar rupiah, bahkan bisa saja mencapai 1 juta dollar atau setara 12 miliar rupiah. Angka ini mengingatkan pada serial televisi tahun 1970-an ‘Six Million Dollar Man’, tentang manusia bionic berbiaya 6 juta dollar. Didi sendiri menganggap angka 5 miliar rupiah ke atas sudah tidak realistis. Ia menyebut angka realistis 1 miliar, sesuai angka biaya kampanye yang disiapkannya.

Akan tetapi perhitungan angka realistis, tidak dengan sendirinya suatu realita. Ada sejumlah realita dalam praktek kehidupan politik yang tidak bisa dipungkiri. Selama 15 tahun terakhir, sebagian terbesar masyarakat mendapat ‘pelajaran politik’ sesat yang menciptakan keadaan bahwa ‘partisipasi’ politik itu punya harga dalam rupiah. Maka, angka realistis yang sesungguhnya adalah 5 miliar rupiah ke atas. Angka 1 miliar, apalagi angka di bawahnya yang hanya berskala ratusan juta rupiah, hanyalah angka retorika untuk mengencerkan volume sorotan dan kritik. Belum-belum, seorang calon legislatif, diakui atau tidak, sudah segera berhadapan dengan kewajiban setoran kepada partainya. Bahkan mereka yang punya relasi dan kekerabatan dengan para petinggi partai sekalipun, sulit untuk mengelak dari kewajiban tersebut.
Anggaplah nanti take home pay seorang anggota DPR adalah sebesar 50 juta rupiah per bulan –jika partainya tidak memungut ‘iuran’ berlebihan dan tidak wajar– maka selama 5 tahun pendapatannya adalah sebesar 3 miliar rupiah. Atau per tahun 600 juta rupiah. Dengan angka ‘investasi’ 1 miliar rupiah, berarti seorang anggota DPR yang berhasil meraih kursi, harus ‘mengembalikan’ investasinya itu dua ratus juta rupiah per tahun selama lima tahun. Pertahun, masih tersisa 400 juta rupiah untuk menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhan hidup layak lainnya. Tak perlu korupsi, atau menerima gratifikasi, bila bersikap tak boros dan berakal sehat. Kecuali, biaya 1 miliar rupiah itu adalah uang pinjaman atau hasil mengijonkan diri maupun hasil berbagai persekongkolan lainnya. Kemungkinan seperti yang disebutkan terakhir ini tak kecil, karena jangan lupa, bagi kebanyakan orang, 1 miliar rupiah toh tetap saja bukan sesuatu yang mudah diperoleh.
LALU bagaimana dengan para calon yang menyiapkan dan menggunakan biaya 6 miliar rupiah atau lebih? Para calon itu, dalam keadaan normal, harus siap ‘merugi’ setidaknya 3 miliar rupiah. Mungkin saja ada calon yang kaya sekaligus idealis, dan memiliki altruisme sehingga siap berkorban materi dalam pengabdian memenuhi pangggilan hati nuraninya. Apapun, hanya kelompok manusia kaya yang bisa maju memperebutkan kursi legislatif. Atau perorangan yang didukung kelompok kaya yang punya idealisme membiayai tokoh-tokoh berkualitas dan punya integritas, sebagai bagian dari kontribusi positifnya bagi bangsa dan negara.
Sebaliknya, sangat terbuka kemungkinan bahwa yang bisa terjun mengikuti pemilihan umum legislatif justru mereka yang sebelumnya berhasil memperoleh akumulasi dana besar melalui kejahatan keuangan semacam korupsi, gratifikasi dan lain sebagainya. Para petahana yang untuk sebagian telah tergerus erosi moral misalnya. Sementara itu, calon tak ‘berduit’ yang hanya bermodalkan hasrat besar menjadi politisi Senayan, hanya punya pilihan mencari dana dari persekongkolan yang akan dibayar nanti kelak bila terpilih dengan mencuri, mengatur proyek, memeras BUMN maupun swasta dan pejabat bermasalah. Atau paling tidak, mengorganisir pengaturan aliran dana gratifikasi.
Data empiris menunjukkan, semua jenis perbuatan itu sudah dipraktekkan pada periode-periode lalu maupun yang sedang berjalan. Beberapa politisi DPR telah menjadi narapidana korupsi –saat menjadi anggota DPR atau setelah purna tugas. Ada nama-nama seperti Panda Nababan cs, Hamka Yandu, Fachry Andi Leluasa, Jusuf Erwin Faisal, Paskah Suzetta, Angelina Sondakh, Mohammad Nazaruddin dan lain-lain sampai yang terbaru seperti Zulkarnain Djabbar. Adapula sedang menjalani proses sebagai tersangka, sedang atau segera diadili seperti Chairun Nisa, Emir Moeis, Anas Urbaningrum dan lain-lain. Ada juga yang sudah disebut-sebut namanya, namun masih berkelit atau masih berhasil lolos dari jeratan hukum seperti sejumlah anggota Banggar DPR serta Bambang W. Soeharto, John Allen Marbun, Sutan Bathoegana, Idrus Markham maupun Setya Novanto. Nama yang disebut terakhir ini, termasuk fenomenal, namanya sudah berkali-kali disebut dari dulu hingga sekarang, sejak kasus Bank Bali sampai kasus PON Riau dan kemungkinan suap Pilgub Jawa Timur, namun selalu lepas.
Angka keterlibatan anggota DPR dalam berbagai kejahatan keuangan, berskala puluhan dan boleh dibilang meliputi seluruh partai. Terlalu banyak dan panjang daftarnya untuk disebutkan. Jangan-jangan mirip fenomena gunung es, masih banyak yang tersembunyi di bawah permukaan.
SEPERTI halnya pada ajang pemilihan presiden-wakil presiden, 9 dari 10 kemungkinan bantuan dana politik memang pasti dialirkan dengan perjanjian khusus seperti itu menurut pola wealth driven politic –induk dari politik uang. Bila ini yang terjadi, kemungkinan terbesar adalah pada waktunya parlemen sepenuhnya dikendalikan dengan pola wealth driven politic sebagai derivat wealth driven economic dan akan kental diwarnai perilaku persekongkolan yang cepat atau lambat pasti akan lebih menghancurkan negara.
Bila nantinya ternyata Presiden-Wakil Presiden yang memenangkan pertarungan 2014 adalah jenis hasil persekongkolan, lengkaplah sudah perilaku kejahatan politik dan sempurnalah pola politik kejahatan. Mengamati dan menganalisis sepak terjang politik yang ditampilkan para pelaku politik saat ini, 9 dari 10 memang situasi seperti itulah yang paling mungkin terjadi. Itulah ‘masa depan’ politik Indonesia, bersama para politisi 6 miliar rupiah. Selamat ‘menikmati’, paling tidak hingga 5 tahun ke depan…… (socio-politica.com)