Tag Archives: Edhie ‘Ibas’ Baskoro

PKS, Kisah Sapi dan Korupsi Institusional

TAK banyak orang yang jauh sebelum ini bisa menyangka bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bakal mendapat kesulitan dengan sapi –khewan ternak yang hanya sedikit lebih pintar daripada kerbau. Di antara yang tak banyak itu, satu di antaranya mungkin adalah Yusuf Supendi, salah seorang tokoh pendiri partai. Jauh-jauh hari ia sudah memberi peringatan internal tentang adanya faksi yang mengutamakan kesejahteraan ketimbang keadilan di tubuh PKS. Sejak lama agaknya ia sudah membaui aroma daging sapi dan entah bau apa lagi di lingkungan partai yang mengklaim diri sebagai partai dakwah itu. Tapi, sebagai ‘whistle blower’ ia malah dimusuhi oleh kalangan partainya sendiri, mirip nasib whistle blower lainnya, Komjen Pol Susno Duadji, “dari kumpulannya terbuang” karena dianggap “binatang jalang”.

            Entah berkah entah bencana, kader PKS ‘selalu’ diangkat Presiden Susio Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Pertanian dalam kabinetnya. Dengan memiliki kader dalam kementerian itu, beberapa kader partai tersebut memiliki akses yang kuat ke kementerian itu lalu terlibat bisnis terkait komoditi yang ada dalam wewenang pengendalian institusi tersebut. Di antaranya, paling terkenal kini, daging sapi impor. Kelakuan serupa, memainkan fasilitas, sebenarnya dilakukan oleh beberapa partai lainnya yang kadernya menduduki posisi puncak di berbagai kementerian, hanya belum terbongkar saja. Partai-partai yang lebih cerdik, umumnya lebih sanggup menutupi jejak. Tetapi persoalannya, seringkali kader-kader yang terlibat permainan dana haram, tak tahan situasi banjir uang, dan terkena sindrom ‘orang kaya baru’. Perilaku orang yang terkena sindrom kagetan ini sangat mudah terdeteksi karena perilaku ‘ayan duit’.

COVER TEMPO, SUAP SAPI BERJENGGOT. "Lebih penting, adalah bahwa KPK mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq plus Ahmad Fathanah. Terlihat, KPK sebenarnya sedang menjejaki korupsi institusional partai tersebut. Dengan data dan bukti yang sudah diperolehnya hingga saat ini, KPK merasa penting untuk memeriksa Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta."
COVER TEMPO, SUAP SAPI BERJENGGOT. “Lebih penting, adalah bahwa KPK mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq plus Ahmad Fathanah. Terlihat, KPK sebenarnya sedang menjejaki korupsi institusional partai tersebut. Dengan data dan bukti yang sudah diperolehnya hingga saat ini, KPK merasa penting untuk memeriksa Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta.”

            Salah satu kelompok ujung tombak pengejaran uang dalam rangka menghimpun dana politik partai –sekaligus dana untuk memperkaya diri atau kelompok sendiri– adalah kader-kader partai yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Tapi tak sedikit yang sebenarnya sepenuhnya mengejar uang untuk diri sendiri, hitung-hitung menebus kembali pengeluarannya selama berjuang meraih kursi. Mulanya, cukup dengan mencapai break even point (BEP), tetapi karena korupsi itu adalah candu, berlanjut untuk mencapai profit setinggi-tingginya sepanjang lima tahun.

Bila sejumlah oknum tentara maupun polisi ‘kepepet’ atau tak tahan godaan ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari yang diwarnai berbagai cerita korupsi, memilih melakukan kriminalitas bersenjata seperti perampokan, para oknum partai memilih jalur kerah putih. Maka terdengarlah berita-berita tentang keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam mafia anggaran, mafia perkara, mafia perpajakan, skandal pengadaan Al-Qur’an, kasus listrik tenaga surya, kasus Hambalang, kasus pengadaan barang di Kemdikbud, kasus penyelamatan container penuh Blackberry, dan aneka kejahatan kerah putih lainnya. Dibarengi kejahatan kerah biru, gratifikasi seks. Kira-kira untuk apa Ahmad Fathanah, orang dekat Luthfi Hasan Ishaaq, membagi-bagi uang kepada sejumlah perempuan cantik? Sekedar amal, bisnis, kesenangan diri sendiri atau perbuatan melecehkan kaum perempuan dengan menjadikan mereka alat gratifikasi seks?

SEJAK terungkapnya kasus suap dan korupsi impor daging sapi, meski ada adu argumentasi, pada umumnya para pimpinan PKS tidak bersifat terlalu frontal terhadap KPK. Kecuali Anis Matta, saat baru saja terpilih menjadi Presiden PKS menggantikan Luthfi Hasan, yang sempat mengobarkan retorika agama. Namun, ini masih bisa coba ‘dimengerti’ dalam konteks gimnastik politik yang bersangkutan. Tetapi ketika Senin 6 Mei yang lalu Tim KPK mendatangi Kantor DPP PKS di Jalan TB Simatupang Jakarta untuk menyita sejumlah mobil yang diduga milik Luthfi Hasan, terjadi perlawanan. Fase perlawananan ini terjadi mulai dari tingkat bawah di PPKS, yakni petugas keamanan, yang kemudian menjalar ke atas hingga tingkat DPP melalui Wakil Sekjen Fachry Hamzah.

Perlawanan dan argumentasi Fachry terasa sedikit mengada-ada. Mekanisme defensifnya bekerja dalam kadar cukup tinggi. Perlawanan PKS dan sikap Fachry dengan segera mendapat kecaman publik sebagaimana tercermin di berbagai media sosial. Bila Fachry bertahan dengan sikap seperti, yang tetap diperlihatkannya hingga Selasa malam tatkala tampil di forum diskusi Indonesia Lawyers Club tvOne, bisa dihitung akan ada pengaruhnya berupa penurunan simpati kepada partai. Dalam bahasa awam, sudahlah korupsi, melawan lagi. Pernyataan yang bersifat penawar antipati, datang dari mantan Presiden PKS Tiffatul Sembiring pada hari yang sama melalui pers. “Kami tidak ingin melawan KPK. Kami ingin KPK tetap kuat dan mengusut kasus korupsi. Kita jaga bersama supaya KPK tetap lurus,” ujarnya.

Riak perlawanan yang ditampilkan Fachry yang juga anggota DPR yang selama ini membidangi masalah hukum, sebenarnya tak menjadi soal penting dalam proses penanganan KPK terhadap PKS sebagai institusi politik. Lebih penting, adalah bahwa KPK mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq plus Ahmad Fathanah. Terlihat, KPK sebenarnya sedang menjejaki korupsi institusional partai tersebut. Dengan data dan bukti yang sudah diperolehnya hingga saat ini, KPK merasa penting untuk memeriksa Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta. Dan sebelumnya, juga Menteri Pertanian Suswono yang adalah kader PKS.

Kedua tokoh PKS itu, mulai terhubung melalui mata rantai rekaman suara percakapan Ridwan putera Hilmi Aminuddin dengan Ahmad Fathanah –tentang adanya permintaan dana 17 milyar rupiah– maupun adanya bukti aliran dana Ahmad Fathanah kepada adik Anis Matta. Bisa saja itu semua dibantah. Hilmi Aminuddin misalnya, mengatakan “bluffing” setelah kepadanya rekaman itu diperdengarkan. Mungkin yang dimaksudnya, bukan bluffing (gertakan) tetapi bullshit (omong kosong). Sementara itu, Anis Matta berkelit bahwa aliran dana untuk adiknya adalah dalam rangka pembayaran hutang Ahmad Fathanah. Kita tunggu saja kebenarannya. Tetapi perlu dicatat, selama ini KPK berhasil membuktikan bahwa apa yang ‘disampaikan’nya selalu ada dasar pembuktiannya. Namun, sekali lagi, sebaiknya kita menunggu bagaimana kebenarannya nanti.

SEBENARNYA, posisi dan struktur kasus yang dihadapi PKS ini hampir serupa dengan Partai Demokrat. KPK juga perlu mempertajam penjejakannya terhadap korupsi-korupsi yang terjadi dan dilakukan para kader partai itu. Cukup banyak indikasi bahwa korupsi di tubuh Partai Demokrat pun beraroma institusional. Akan tetapi agak mengherankan, KPK sedikit lentur dan meliuk tatkala menangani kasus-kasus korupsi di tubuh partai penguasa ini. KPK misalnya meliuk ketika ada tudingan dari Nazaruddin (dan mungkin juga dari Anas Urbaningrum) mengenai keterlibatan putera presiden, Edhie ‘Ibas’ Baskoro. Bagaimana, jika sikap agresif Fachry Hamzah sebagai anggota DPR disalurkan sedikit sebagai mekanisme ofensif kepada soal ini?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Lakon Partai Demokrat: Ada Sengkuni, Tak Ada Pandawa (2)

BETULKAH Anas Urbaningrum akan melakukan perlawanan politik sekaligus perlawanan hukum? Banyak pihak yang mengharapkan demikian, lalu mencoba memberi dukungan moral dengan membezoeknya. Bukan hanya para alumni HMI, tetapi juga dari kalangan partai ‘tetangga’ di koalisi, seperti Priyo Budi Santoso dari Golkar sampai Din Syamsuddin dari PP Muhammadiyah. Tak ketinggalan, tokoh-tokoh partai non koalisi, selain Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Pada sisi lain ada sejumlah pengamat yang menyangsikan keberanian bekas Ketua Umum PB HMI (1997-1999) itu untuk melakukan perlawanan sesungguhnya.

POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. "Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya". (Gambar plesetan yang beredar di media sosial)
POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. “Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya”. (repro gambar plesetan yang beredar di media sosial)

Di antara dua sisi tersebut, ada juga yang sekedar memanas-manasi agar kadar kepanikan di internal Partai Demokrat meningkat, atau agar Anas betul-betul membuka korupsi terkait Partai Demokrat. Jumat (1/3) sore misalnya, massa yang menamakan diri Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 mencoba mendatangi rumah Anas di Duren Sawit, namun dihalangi polisi. Hasbi Ibrahim, Sekertaris Jenderal Laskar, dikutip pers menyatakan “Anas jangan hanya banyak bicara, tapi buktikan diri berani bongkar kasus-kasus korupsi besar”. Paling serius, tentu adalah kunjungan 5 anggota Timwas Bank Century DPR-RI Senin (4/3). Timwas mengaku mendapat informasi penting dari Anas mengenai kasus Bank Century, termasuk penyebutan 5 nama yang terlibat, 4 di antaranya dianggap nama baru, 2 pejabat negara, 2 dari kalangan partai.  Kategorinya, relevan sebagai tersangka.

Gado-gado politik dan hukum. Untuk sebagian, upaya memanas-manasi Anas, kelihatannya berhasil, tetapi terutama justru berpengaruh ke arah Partai Demokrat. Terlihat tanda-tanda panik. Apalagi, memang selama ini terlihat betapa sejumlah tokoh-tokoh partai tersebut memang tidak berkategori politisi tangguh, cenderung bicara tak terarah, seringkali hanya bersilat lidah dengan retorika tidak nalar. Tetapi giliran kena serangan, gelagapan atau emosional. Banyak tokoh partai tersebut yang tertampilkan wah dan populer semata karena pencitraan semu. Tapi itulah risiko sebuah partai yang mendadak besar karena situasi. Bagai buah yang tampak matang karena dikarbit, sering mentah di tengah.

Membanjirnya kunjungan berbagai tokoh untuk menjenguk Anas di kediamannya, dibarengi sejumlah komentar, terkesan sangat politis, khususnya dalam persepsi kalangan Partai Demokrat. Menjelang keberangkatannya (3/3) ke Jerman dan Hongaria, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang juga adalah Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat– meminta persoalan hukum Anas jangan dibawa merambah ke ranah politik.

Tapi siapakah sebenarnya yang mulai membawa kasus hukum Anas ke ranah politik? Tak lain, SBY sendiri ketika ia mempersilahkan Anas untuk lebih fokus menghadapi masalah hukum yang menimpanya terkait kasus Hambalang, padahal Anas belum diberi KPK status tersangka.  Status tersangka baru sebatas tercantum dalam fotokopi Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK yang beredar –sehingga menjadi satu masalah dengan kegaduhan tersendiri. Sebelum Anas menjadi tersangka resmi, SBY telah bertindak jauh ‘mengambilalih’ kepemimpinan internal Partai Demokrat dari tangan sang Ketua Umum. Merasa diri teraniaya dan menjadi korban konspirasi –meskipun terasa sedikit artifisial– Anas Urbaningrum menyampaikan pesan akan melakukan perlawanan politik dan hukum. Dan yang giat melakukan perlawanan politik, maupun counter attack berupa tudingan yang beraroma campur aduk antara hukum dan politik, justru adalah kalangan Kahmi dan HMI. Di beberapa kota terjadi demonstrasi HMI membela Anas seraya menyerang SBY. Nama putera Presiden SBY, Edhie ‘Ibas’ Baskoro pun dirembet-rembet ikut menerima aliran uang dari kasus Hambalang. Ada tuntutan agar Ibas segera diperiksa KPK.

Bahkan juga, seperti yang dituduhkan tokoh Partai Demokrat Ramadhan Pohan, sejumlah tokoh politik dari berbagai partai dan organisasi –seperti Hanura, Gerindra, Muhammadiyah– ikut menggunakan kesempatan melakukan serangan politik terhadap SBY dan partainya. Saat keluar dari tempat kediaman Anas, biasanya memang para tokoh politik itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menurut Ramadhan menambah keruh keadaan. Inilah mungkin suatu keadaan yang disebutkan SBY “menimbulkan gonjang-ganjing politik”. Menurut Dr Tjipta Lesmana, serangan kepada SBY terjadi karena memang banyak yang memusuhi SBY.

Partai Demokrat adalah partai yang terbawa besar karena mencuatnya popularitas Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketokohannya juga tercipta oleh ‘penganiayaan’ politik Taufiq Kiemas-Megawati Soekarnoputeri. ‘Penganiayaan’ itu bertepatan waktu dan bertemu dengan situasi perasaan hampa rakyat tentang ketokohan yang bisa memberi harapan pasca Soeharto. Seakan-akan tercipta suatu momen historical by accident. Bahwa pada waktunya terbukti bahwa ia bukan seorang tokoh historical, bukan tokoh yang betul-betul bisa diharapkan, itu soal lain. Sejarah kan tak selalu melahirkan tokoh besar?

Sebagai partai yang membesar dengan pesat –meskipun bukan terutama dengan tumpuan kekuatan organisasi itu sendiri– Partai Demokrat menjadi bagaikan gula yang dikerumuni semut. Mereka yang menjadi golongan kecewa atau gugup di partai-partai lain, terutama dari Golkar yang sempat mengalami degradasi semangat setelah mundurnya Soeharto dari kekuasaan, mengalir ke Partai Demokrat yang menjadi partainya bintang baru bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Agaknya, ketika para pimpinan partai merasa bahwa di antara yang mengalir datang itu banyak yang kurang berkualitas, mereka lalu merekrut beberapa tokoh yang dianggap berkualitas untuk bergabung. Salah satunya, adalah Anas Urbaningrum, yang rela meninggalkan KPU untuk bergabung dan langsung mendapat posisi tinggi. Belakangan, Andi Nurpati dari KPU ikut pula bergabung. Partai Demokrat juga merekrut tokoh Jaringan Islam Liberal Ullil Absar Abdalla, serta sejumlah pengacara terkenal seperti Amir Syamsuddin dan Denny Kailimang.

Rekrutmen Anas Urbaningrum yang kala itu baru berusia 36 tahun ke Partai Demokrat tahun 2005, dengan meninggalkan KPU, seringkali dikisahkan dalam serial rumor politik, sebagai ada udang di balik batu. Saat itu, KPU digoncang berbagai masalah korupsi di tubuhnya. Anas yang seharusnya merampungkan masa tugasnya sampai 2007, meninggalkan KPU tak lama setelah Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden 2004. Banyak yang menghubungkan rekrutmen Anas dengan keanehan angka-angka pencapaian suara Partai Demokrat maupun SBY dalam dua jenis Pemilihan Umum tersebut. Hal serupa terjadi dengan Andi Nurpati, yang juga meninggalkan KPU setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Dalam dua Pemilihan Umum, 2004 dan 2009, Partai Demokrat seakan-akan selalu melakukan balas jasa kepada salah satu komisioner KPU. Walaupun ini semua hanya rumor, yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya –namanya juga rumor politik, yang merupakan gado-gado sedikit kebenaran dengan sedikit, insinuasi dan prasangka– tapi tak sedikit yang mempercayainya sebagai kebenaran.

Tak mungkin hanya Anas, tak mungkin hanya serupiah. Namun, terlepas dari apakah kasus Anas dan Partai Demokrat ini, sekedar gado-gado politik-hukum atau bukan, yang tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya.

Pengalaman empiris yang sudah-sudah, hingga sejauh ini, belum sekalipun KPK meleset dalam penetapan tersangka kasus korupsi. Belum pernah ada tersangka KPK yang lolos dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bisa saja, KPK terseok-seok, dikritik lamban atau pilih-pilih tebu, tetapi lembaga tersebut tetap berhasil membuktikan diri.

Anas Urbaningrum yang memiliki poker face sejati, sebenarnya sempat juga menggoyahkan sebagian opini publik dengan bantahan-bantahan yang tenang dan cenderung dingin. Apalagi ketika ia bersumpah dan berani digantung di Monas bila ia menerima “serupiah saja” dari proyek Hambalang. Terminologi “serupiah saja” sebenarnya memiliki pengertian yang jelas dan final. Bisa habis akal juga para ahli semiotika bila mencoba memberi penafsiran lain terhadap terminologi “serupiah saja” itu. Maka pakar humor mengambilalih dengan mencari padanan kata “saja” dengan “hanya”. Konon, yang dimaksud Anas dalam sumpahnya itu, “kalau serupiah saja” adalah “kalau hanya serupiah”. Kan tak mungkin, dan mana mau dia menerima “hanya serupiah”? Kalau ia menerima, harus dalam skala ratusan juta atau milyaran. Kan itu bukan “serupiah saja” atau “hanya serupiah”?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.

First family tax returns raises flags

Rendi A. Witular and Hans David Tampubolon, The Jakarta Post, Jakarta, January 30 2013, 9:42 AM.

An old phrase says nothing in life is certain but death and taxes. At a time when the nexus of power and wealth is viewed with skepticism, a peek into their tax returns might be expected to reveal the financial affairs of Indonesia’s first family.

Just like any other eligible, law-abiding citizens, President Susilo Bambang Yudhoyono and his two sons — Maj. Agus Harimurti and Edhie “Ibas” Baskoro — file tax returns.

Documents obtained by The Jakarta Post show Yudhoyono’s 2011 tax returns, submitted in the first quarter of 2012. He earned Rp 1.37 billion (US$143,000) during that year as President, in addition to Rp 107 million in income from royalties.

The validity of these documents was confirmed by sources at the Finance Ministry’s taxation directorate general.

The documents further revealed that in 2011 Yudhoyono opened bank accounts worth Rp 4.98 billion and $589,188. The return does not provide specific details for these funds. Presidential spokesman Julian Pasha did not respond to the Post’s request for clarification on Tuesday.

The Post was unable to obtain the President’s previous tax returns, hence it is not known whether the deposits were a carryover from prior holdings or a new accumulation.Family Affairs2

Yudhoyono has been very explicit about the need for citizens to fulfil their tax obligations, including the need for transparency regarding the wealth of officials. “Let’s develop a respectable culture […] creating a government which is clean, transparent responsive, accountable,” he said at the Directorate General of Taxation in 2009 as he submitted his annual tax returns.

Agus, 34, declared in his 2011 returns to have earned Rp 70.2 million in annual income. Agus is an officer with the Army’s Strategic Reserve Command (Kostrad) in Jakarta.

The tax documents also revealed that Agus opened four different bank accounts and a deposit account totaling Rp 1.63 billion. There was no information in the documents as to how the additional income was earned as the section for extra income —including that of his wife, fashion model Annisa Pohan— was left blank.

Agus has been listed as a taxpayer since 2007, but had not submitted a tax return until 2011.
Ibas explained on behalf of his brother that based on the law only high-ranking military officers were obliged to submit wealth reports.

“Mas Agus’ is currently only a major,” he said in his email.

Ibas said that he himself, “as a public official, in my capacity as a House legislator, have consistently submitted my wealth report to the KPK since 2009 and I have always fulfilled my obligations to submit my annual tax report in line with the law.”

According to Ibas’ 2010 tax return, he earned Rp 183 million as a Democratic Party lawmaker. He also had an investment worth Rp 900 million with PT Yastra Capital, a cash deposit amounting to Rp 1.59 billion and cash equivalents of Rp 1.57 billion.

Ibas did not declare any extra income, such as dividend payments, donations, stocks or investment proceeds. He had total assets of Rp 6 billion as reported in his 2010 tax return, including an Audi Q5 SUV car worth Rp 1.16 billion.

As a legislator, Ibas is required to report his wealth to the Corruption Eradication Commission (KPK), where he declared assets worth Rp 4.42 billion in 2009. In his 2009 tax return, Ibas’ assets were valued at Rp 5.18 billion. He declared no additional income from other sources.

Ibas’ father-in-law, Coordinating Economic Minister Hatta Rajasa, had earlier told the Post that “as father to both of them, I can assure you that there are no discrepancies whatsoever in their tax returns”.

Taxation director general Fuad Rahmany told the Post there should be a rational explanation if any discrepancies were suspected in the tax affairs of the first family.

“There is no way that the President’s family failed to properly fill in their tax returns. They have a special team that thoroughly calculates their tax obligations to ensure accuracy.”

Fuad also said that the directorate “does not have the authority to question taxpayers over any mismatch between their bank accounts and their annual earnings”.

(socio-politica.com; source: The Jakarta Post)

Indonesia 2013: Tetap Terjerat Di Sarang Laba-laba Korupsi-Kolusi-Nepotisme

SALAH satu pretensi utama –yang pada akhirnya lebih berwujud sebagai sekedar slogan kosong– gerakan reformasi saat menjatuhkan rezim Soeharto, adalah memberantas KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme) hingga ke akar-akarnya. Apa daya, dalam perjalanan sejarah 15 tahun terakhir, 1998-2013, Korupsi-Kolusi-Nepotisme malah tambah berurat berakar dalam empat masa kepresidenan setelah Soeharto. Bila pada masa Soeharto, praktek KKN itu dilakukan hanya oleh sejumlah orang ‘terpilih’ yang sepenuhnya terkendali oleh rezim, kini pada tahun-tahun terakhir ini, ia menjadi permainan bebas dengan peserta yang lebih massal dan massive.

Professor Dr Soemitro Djojohadikoesoemo –besan Presiden Soeharto– menghitung bahwa kebocoran APBN Indonesia di masa kekuasaan Soeharto sebesar 30 persen. Agaknya itulah angka patokan dalam pengendalian ambang batas korupsi, agar di satu pihak pembangunan bisa berjalan, dan pada pihak lain penghimpunan dana guna memelihara kekuasaan pun bisa dilakukan. Ibarat Agen 007 dan kawan-kawan, ‘lisensi’ untuk korupsi dibatasi, tidak dimiliki semua orang. Hanya orang tertentu dalam poros-poros utama kekuasaan yang memilikinya. Untuk yang tidak memegang lisensi, diberikan kelonggaran yang dikendalikan, untuk melakukan korupsi kecil dan kecil-kecilan saja. Ini berlaku untuk petugas lapangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat –seperti pada instansi pajak, bea cukai, imigrasi, polisi lalu lintas, DLLAJR dan sebagainya. Namun bilamana ambang batas dilampaui, Opstib (Operasi Tertib) di bawah kendali Laksamana Sudomo bertindak menyapu lapangan dalam batas tertentu.

HATTA RAJASA DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. "Antara para kakek dan cucu, terentang waktu yang panjang. Maka doa para kakek di sini tentang cucunya, harus menunggu waktu lama sebelum terkabul. Perlu kesabaran yang pantas. Tetapi kesabaran cenderung gampang dikalahkan oleh hasrat yang sudah berkobar-kobar untuk mendapat pemenuhan secepatnya". ( editing, foto beritasatu.com)
HATTA RAJASA DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “Antara para kakek dan cucu, terentang waktu yang panjang. Maka doa para kakek di sini tentang cucunya, harus menunggu waktu lama sebelum terkabul. Perlu kesabaran yang pantas. Tetapi kesabaran cenderung gampang dikalahkan oleh hasrat yang sudah berkobar-kobar untuk mendapat pemenuhan secepatnya”. ( editing, foto beritasatu.com)

Brutal dan fantastis. Mereka yang coba bermain sendiri, ditindaki dengan keras –seperti dalam kasus korupsi Kepala Dolog (Bulog) Kalimantan Timur Budiadji dan korupsi Deputi Kapolri Jenderal Polisi Siswadji. Kasus-kasus besar di Pertamina tak pernah sampai ke tangan penegak hukum, tetapi hanya diselesaikan dengan pergantian-pergantian direksi dan kepala divisi dengan pejabat baru yang lebih bersedia ‘diatur’ dan sedia berbagi. Begitu pula di Bulog, antara lain melalui pen’dutabesar’an pejabat level atasnya. Seorang gubernur di wilayah Indonesia Tengah pernah diberhentikan di ‘tengah jalan’ karena mengganggu irama putaran mesin dana dari komoditi kayu hitam.

Secara umum, korupsi masa Soeharto lebih sistematis, terstruktur dan terencana, tak dibiarkan meluas tak terkendali. Sementara itu korupsi –maupun kolusi dan nepotisme– pasca Soeharto dari tahun ke tahun berlangsung makin mirip dengan gerakan bola liar yang memantul ke sana ke mari. Permainannya, dari waktu ke waktu bertambah brutal, dengan angka-angka rupiah yang fantastis dalam skala ratusan milyar bahkan trilyunan. Meluas secara horizontal dan menjulang tinggi secara vertikal, melahirkan istilah korupsi massal atau berjamaah. Namun di tengah kemelut serta hiruk-pikuk yang tercipta karenanya, terselip sejumlah korupsi besar yang dilakukan lebih terencana. Dirancang sejak awal melalui proses penganggaran antara kementerian dan kelompok-kelompok tertentu anggota DPR. Atau antara kelompok pengusaha dengan sejumlah anggota DPR –pengusaha ‘memesan’ para anggota DPR itu menciptakan proyek. Ini semua adalah praktek kolusi. Makin terkuak bahwa memang perusahaan-perusahaan (swasta maupun BUMN) telah terlibat sejak awal dalam konspirasi penciptaan proyek. Belakangan ini misalnya, beberapa perusahaan swasta (yang dikendali politisi partai) dan BUMN serta sejumlah anggota DPR yang duduk di Badan Anggaran (Banggar) berada dalam sorotan karena dugaan keterlibatan dalam konspirasi korupsi terencana tersebut. Dana konspirasi seringkali lebih dulu diluncurkan untuk melumasi jalannya proses. Korupsi dan kolusi adalah dua jenis perilaku berspesies sama, saling dukung dalam satu sinergi.

Berita terbaru menyebutkan berdasarkan analisis PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), 20 anggota Banggar DPR terindikasi korupsi. Ini merupakan konfirmasi tambahan bagi dugaan selama ini tentang betapa kuatnya perilaku korupsi. Serajin-rajinnya KPK, bila kecepatan penanganan kasus tetap seperti saat ini, takkan mungkin sanggup menghabisi korupsi dalam kadar yang memadai. Malah ada tanda-tanda, bahwa sewaktu-waktu KPK lah yang akan dihabisi oleh kekuatan korup yang ada dalam kekuasaan saat ini. Senjata pamungkas KPK yang diperlukan tak lain kecepatan bertindak mumpung masih didukung publik dan para aktivis kritis. Jangan terlalu lama mencicil, bunganya bisa bertambah tinggi tak terpikul.

Dalam kasus Hambalang misalnya, setelah penetapan Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka, seorang komisioner KPK menyebutkan bahwa sebelum akhir tahun 2012 akan ada lagi tersangka penting lainnya ditetapkan sebelum akhir tahun. Orang berspekulasi, yang dimaksud mungkin Anas Urbaningrum atau salah satu pejabat tinggi Kementerian Keuangan maupun pejabat Badan Pertanahan Nasional yang namanya selalu disebut-sebutkan Rizal Mallarangeng –adik Andi Alfian– dalam serial konperensi-persnya setiap hari Jumat. Nyatanya, sampai jam 24.00 tanggal 31 Desember 2012, tak ada tersangka baru ditetapkan. Bagaimana pula dengan kasus-kasus lainnya seperti kasus Bank Century, kasus Simulator SIM Korlantas dan kasus pengadaan lainnya di lingkungan Polri yang juga diduga bermasalah?

Nepotisme, nama, doa dan harapan. SEJALAN dengan maraknya korupsi dan kolusi, nepotisme juga kembali menjadi mode. Bisa lebih ganas dan lebih mewabah daripada masa Soeharto. Seorang gubernur tak segan-segan membantu adiknya menjadi bupati di daerah tempatnya semula menjadi kepala daerah.  Sejumlah bupati ‘mewariskan’ kursinya kepada isteri, ipar, anak, saudara kandung. Lalu beberapa di antara mantan bupati itu sendiri, berjuang untuk meraih kursi gubernur. Bila perjuangan mereka berhasil maka dalam satu provinsi, beberapa jabatan strategis pemerintahan daerah akan dibagi di antara keluarga dan kroni. Nepotisme berkembang biak bagai gerombolan kutu busuk yang bertelur di mana-mana, menciptakan gatal di sekujur tubuh negara: masuk ke lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif, tak terkecuali di lembaga-lembaga masyarakat bahkan keagamaan. Dari level tertinggi hingga ke level terendah.

Kalau seseorang menjadi anak presiden, anak wakil presiden, anak menteri, anak gubernur, anak bupati sampai anak lurah, ia cenderung merasa berhak –bagaikan di zaman kerajaan– untuk mewarisi satu posisi dalam pemerintahan, kekuasaan politik di partai, pengecualian hukum atau paling tidak menikmati fasilitas ekonomi. Selain anak, dalam daftar pewaris terdapat pula isteri atau suami, ipar, kakak atau adik, keponakan, besan dan sebagainya. Kepengurusan partai pun lazim terisi beberapa anggota keluarga. Partai-partai menjadi institusi oligarki. Perhatikan Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PAN, PKB, PPP dan beberapa partai lainnya. Dengan konstelasi kepartaian yang penuh nepotisme seperti saat ini, pada gilirannya dengan sendirinya pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat juga akan terjangkiti nepotisme. Dari nepotisme, terjadi lagi perkuatan korupsi dan kolusi.

TATKALA cucu kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lahir pekan lalu, ia diberi nama Airlangga Satriadhi Yudhoyono. Kata Edhie ‘Ibas’ Baskoro, ayah sang bayi, “Nama adalah doa orang tua kami”. Dan menurut wartawan Kompas J. Osdar (2 Januari 2013) yang mengutip ucapan Ibas, dalam nama itu ada harapan tertentu. Pers memberitakan uraian Ibas mengenai harapan dibalik nama itu, yakni agar sang putera kelak menjadi kepala keluarga dan pemimpin yang bijak, baik, serta mampu mengayomi seluruh masyarakat. Sang putera –yang juga adalah cucu Menko Perekonomian Hatta Rajasa– pun diharapkan mampu menjadi satria yang bisa menghadapi tantangan dan cobaan dengan baik.

Airlangga sebenarnya adalah nama pendiri dan menjadi raja pertama Kerajaan Kahuripan (1009-1042) saat masih berusia 19 tahun. Sayangnya, setelah memerintah 33 tahun, demi ‘keadilan’ bagi anak-anaknya, Airlangga membelah negara kesatuan itu menjadi dua, Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Sementara itu, Yudhoyono adalah nama belakang Presiden Indonesia saat ini. Antara para kakek dan cucu, terentang waktu yang panjang. Maka doa para kakek di sini tentang cucunya, harus menunggu waktu lama sebelum terkabul. Perlu kesabaran yang pantas. Tetapi kesabaran cenderung gampang dikalahkan oleh hasrat yang sudah berkobar-kobar untuk mendapat pemenuhan secepatnya.

Sarang laba-laba. Nama sebagai doa, dan doa sebagai harapan, ada dalam kultur Nusantara. Pada masa lampau, doa seorang raja bisa dianggap sebagai suatu keputusan. Di masa demokrasi modern, keputusan ada di tangan rakyat selaku pemegang kedaulatan. Tetapi bisa saja harapan disiasati melalui nepotisme dan rekayasa politik berdasarkan tekanan kekuasaan. Justru apa yang disebut terakhir ini, menjadi pilihan banyak pihak dalam satu paket bersama korupsi dan kolusi. Telah dilaksanakan di berbagai penjuru tanah air oleh sejumlah ‘elite politik’ dan beberapa gubernur, bupati, camat sampai kepala desa. Tidak lagi sekedar sebagai doa. Tidak lagi sabar, karena terkabulnya doa memerlukan waktu menanti yang lama. Banyak orang, meski selalu menyebutkan nama Tuhan, apalagi ketika berkecimpung dalam praktek politik kekuasaan, perilakunya berjalan menjauhi butir-butir kemuliaan yang menjadi hakekat keilahian. Indonesia, sepanjang apa yang terlihat, masih tetap terjerat di sarang laba-laba korupsi-kolusi-nepotisme, melanjutkan apa yang terjadi di masa Soeharto. Maka, tanpa pembaharuan cara dan kehidupan politik dalam kaitan orientasi kekuasaan, kemungkinan besar korupsi-kolusi-nepotisme masih akan berlangsung hingga satu atau bahkan dua dekade ke depan.

Doa kita, apa yang disebutkan terakhir, hendaknya jangan menjadi keadaan yang berkepanjangan. Mari melakukan pembaharuan, agar berakhir.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)