Tag Archives: whistle blower

PKS, Kisah Sapi dan Korupsi Institusional

TAK banyak orang yang jauh sebelum ini bisa menyangka bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bakal mendapat kesulitan dengan sapi –khewan ternak yang hanya sedikit lebih pintar daripada kerbau. Di antara yang tak banyak itu, satu di antaranya mungkin adalah Yusuf Supendi, salah seorang tokoh pendiri partai. Jauh-jauh hari ia sudah memberi peringatan internal tentang adanya faksi yang mengutamakan kesejahteraan ketimbang keadilan di tubuh PKS. Sejak lama agaknya ia sudah membaui aroma daging sapi dan entah bau apa lagi di lingkungan partai yang mengklaim diri sebagai partai dakwah itu. Tapi, sebagai ‘whistle blower’ ia malah dimusuhi oleh kalangan partainya sendiri, mirip nasib whistle blower lainnya, Komjen Pol Susno Duadji, “dari kumpulannya terbuang” karena dianggap “binatang jalang”.

            Entah berkah entah bencana, kader PKS ‘selalu’ diangkat Presiden Susio Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Pertanian dalam kabinetnya. Dengan memiliki kader dalam kementerian itu, beberapa kader partai tersebut memiliki akses yang kuat ke kementerian itu lalu terlibat bisnis terkait komoditi yang ada dalam wewenang pengendalian institusi tersebut. Di antaranya, paling terkenal kini, daging sapi impor. Kelakuan serupa, memainkan fasilitas, sebenarnya dilakukan oleh beberapa partai lainnya yang kadernya menduduki posisi puncak di berbagai kementerian, hanya belum terbongkar saja. Partai-partai yang lebih cerdik, umumnya lebih sanggup menutupi jejak. Tetapi persoalannya, seringkali kader-kader yang terlibat permainan dana haram, tak tahan situasi banjir uang, dan terkena sindrom ‘orang kaya baru’. Perilaku orang yang terkena sindrom kagetan ini sangat mudah terdeteksi karena perilaku ‘ayan duit’.

COVER TEMPO, SUAP SAPI BERJENGGOT. "Lebih penting, adalah bahwa KPK mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq plus Ahmad Fathanah. Terlihat, KPK sebenarnya sedang menjejaki korupsi institusional partai tersebut. Dengan data dan bukti yang sudah diperolehnya hingga saat ini, KPK merasa penting untuk memeriksa Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta."
COVER TEMPO, SUAP SAPI BERJENGGOT. “Lebih penting, adalah bahwa KPK mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq plus Ahmad Fathanah. Terlihat, KPK sebenarnya sedang menjejaki korupsi institusional partai tersebut. Dengan data dan bukti yang sudah diperolehnya hingga saat ini, KPK merasa penting untuk memeriksa Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta.”

            Salah satu kelompok ujung tombak pengejaran uang dalam rangka menghimpun dana politik partai –sekaligus dana untuk memperkaya diri atau kelompok sendiri– adalah kader-kader partai yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Tapi tak sedikit yang sebenarnya sepenuhnya mengejar uang untuk diri sendiri, hitung-hitung menebus kembali pengeluarannya selama berjuang meraih kursi. Mulanya, cukup dengan mencapai break even point (BEP), tetapi karena korupsi itu adalah candu, berlanjut untuk mencapai profit setinggi-tingginya sepanjang lima tahun.

Bila sejumlah oknum tentara maupun polisi ‘kepepet’ atau tak tahan godaan ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari yang diwarnai berbagai cerita korupsi, memilih melakukan kriminalitas bersenjata seperti perampokan, para oknum partai memilih jalur kerah putih. Maka terdengarlah berita-berita tentang keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam mafia anggaran, mafia perkara, mafia perpajakan, skandal pengadaan Al-Qur’an, kasus listrik tenaga surya, kasus Hambalang, kasus pengadaan barang di Kemdikbud, kasus penyelamatan container penuh Blackberry, dan aneka kejahatan kerah putih lainnya. Dibarengi kejahatan kerah biru, gratifikasi seks. Kira-kira untuk apa Ahmad Fathanah, orang dekat Luthfi Hasan Ishaaq, membagi-bagi uang kepada sejumlah perempuan cantik? Sekedar amal, bisnis, kesenangan diri sendiri atau perbuatan melecehkan kaum perempuan dengan menjadikan mereka alat gratifikasi seks?

SEJAK terungkapnya kasus suap dan korupsi impor daging sapi, meski ada adu argumentasi, pada umumnya para pimpinan PKS tidak bersifat terlalu frontal terhadap KPK. Kecuali Anis Matta, saat baru saja terpilih menjadi Presiden PKS menggantikan Luthfi Hasan, yang sempat mengobarkan retorika agama. Namun, ini masih bisa coba ‘dimengerti’ dalam konteks gimnastik politik yang bersangkutan. Tetapi ketika Senin 6 Mei yang lalu Tim KPK mendatangi Kantor DPP PKS di Jalan TB Simatupang Jakarta untuk menyita sejumlah mobil yang diduga milik Luthfi Hasan, terjadi perlawanan. Fase perlawananan ini terjadi mulai dari tingkat bawah di PPKS, yakni petugas keamanan, yang kemudian menjalar ke atas hingga tingkat DPP melalui Wakil Sekjen Fachry Hamzah.

Perlawanan dan argumentasi Fachry terasa sedikit mengada-ada. Mekanisme defensifnya bekerja dalam kadar cukup tinggi. Perlawanan PKS dan sikap Fachry dengan segera mendapat kecaman publik sebagaimana tercermin di berbagai media sosial. Bila Fachry bertahan dengan sikap seperti, yang tetap diperlihatkannya hingga Selasa malam tatkala tampil di forum diskusi Indonesia Lawyers Club tvOne, bisa dihitung akan ada pengaruhnya berupa penurunan simpati kepada partai. Dalam bahasa awam, sudahlah korupsi, melawan lagi. Pernyataan yang bersifat penawar antipati, datang dari mantan Presiden PKS Tiffatul Sembiring pada hari yang sama melalui pers. “Kami tidak ingin melawan KPK. Kami ingin KPK tetap kuat dan mengusut kasus korupsi. Kita jaga bersama supaya KPK tetap lurus,” ujarnya.

Riak perlawanan yang ditampilkan Fachry yang juga anggota DPR yang selama ini membidangi masalah hukum, sebenarnya tak menjadi soal penting dalam proses penanganan KPK terhadap PKS sebagai institusi politik. Lebih penting, adalah bahwa KPK mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq plus Ahmad Fathanah. Terlihat, KPK sebenarnya sedang menjejaki korupsi institusional partai tersebut. Dengan data dan bukti yang sudah diperolehnya hingga saat ini, KPK merasa penting untuk memeriksa Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta. Dan sebelumnya, juga Menteri Pertanian Suswono yang adalah kader PKS.

Kedua tokoh PKS itu, mulai terhubung melalui mata rantai rekaman suara percakapan Ridwan putera Hilmi Aminuddin dengan Ahmad Fathanah –tentang adanya permintaan dana 17 milyar rupiah– maupun adanya bukti aliran dana Ahmad Fathanah kepada adik Anis Matta. Bisa saja itu semua dibantah. Hilmi Aminuddin misalnya, mengatakan “bluffing” setelah kepadanya rekaman itu diperdengarkan. Mungkin yang dimaksudnya, bukan bluffing (gertakan) tetapi bullshit (omong kosong). Sementara itu, Anis Matta berkelit bahwa aliran dana untuk adiknya adalah dalam rangka pembayaran hutang Ahmad Fathanah. Kita tunggu saja kebenarannya. Tetapi perlu dicatat, selama ini KPK berhasil membuktikan bahwa apa yang ‘disampaikan’nya selalu ada dasar pembuktiannya. Namun, sekali lagi, sebaiknya kita menunggu bagaimana kebenarannya nanti.

SEBENARNYA, posisi dan struktur kasus yang dihadapi PKS ini hampir serupa dengan Partai Demokrat. KPK juga perlu mempertajam penjejakannya terhadap korupsi-korupsi yang terjadi dan dilakukan para kader partai itu. Cukup banyak indikasi bahwa korupsi di tubuh Partai Demokrat pun beraroma institusional. Akan tetapi agak mengherankan, KPK sedikit lentur dan meliuk tatkala menangani kasus-kasus korupsi di tubuh partai penguasa ini. KPK misalnya meliuk ketika ada tudingan dari Nazaruddin (dan mungkin juga dari Anas Urbaningrum) mengenai keterlibatan putera presiden, Edhie ‘Ibas’ Baskoro. Bagaimana, jika sikap agresif Fachry Hamzah sebagai anggota DPR disalurkan sedikit sebagai mekanisme ofensif kepada soal ini?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Susno Duadji, Les Misérables General

DALAM suatu situasi yang antiklimaks tanpa hiruk pikuk, Kamis malam 2 Mei jam 23.12 menjelang Jumat dinihari, Komisaris Jenderal Polisi Purnawirawan Susno Duadji dengan sukarela ‘menyerahkan’ diri untuk dieksekusi oleh empat petugas kejaksaan di LP Kelas II Cibinong Kabupaten Bogor. Beberapa jam sebelumnya, melalui seseorang Susno menghubungi Jaksa Agung Basrief Arief mengenai kesediaannya menjalani eksekusi berdasarkan sebuah putusan dari Mahkamah Agung yang dianggapnya cacad hukum sehingga harus batal demi hukum.

            Semula, terkesan sang jenderal polisi itu akan melawan, katakanlah di jalur dark justice, menghadapi hukum yang seringkali bagaikan sudah menghitam dalam kegelapan praktek penegakan hukum. Terkesan pula pada mulanya bahwa Mahkamah Agung yang putusannya dianggap cacad oleh sang jenderal, memilih untuk berdiam diri saja. Padahal, dalam logika awam yang sederhana, sumber masalah adalah putusan MA yang tidak perfect dan kelalaian administratif Pengadilan Tinggi yang menciptakan alasan bagi Susno ‘membangkang’ terhadap eksekusi.

LES MISERABLES, VICTOR HUGO. "SUSNO Duadji kini adalah Les Misérables General. Dengan beberapa perbedaan dalam detail, pada dasarnya nasibnya satu patron dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Dalam novel terkenal Perancis yang terbit pertama kali di tahun 1862, Les Misérables karya Victor Hugo, segala kebaikan yang coba dilakukan sang tokoh utama Jean Valjean menjadi tak berarti karena terbeban oleh stigma masa lampaunya." (download lynn books)
LES MISERABLES, VICTOR HUGO. “SUSNO Duadji kini adalah Les Misérables General. Dengan beberapa perbedaan dalam detail, pada dasarnya nasibnya satu patron dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Dalam novel terkenal Perancis yang terbit pertama kali di tahun 1862, Les Misérables karya Victor Hugo, segala kebaikan yang coba dilakukan sang tokoh utama Jean Valjean menjadi tak berarti karena terbeban oleh stigma masa lampaunya.” (download lynn books)

Karena MA berdiam diri untuk berapa lama, maka fenomena yang lebih mencuat adalah Susno dan para pengacaranya bertarung frontal dengan para jaksa eksekutor. Lalu meningkat menjadi institusi Polri melawan Institusi Kejaksaan. Namun, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali –yang dulukala pada usia muda berkat kesungguhannya menangani kasus-kasus narkotika sempat disebut bintang masa depan dunia peradilan– memberi akhir yang cukup baik dalam kasus ini. Ia memberikan jawaban yang jelas dan baik terhadap argumentasi Susno dan para pengacaranya.

Seorang wartawati dari Bandung 2 April mengajukan pertanyaan kepada Hatta Ali: “Komjen Susno Duadji hingga kini menolak eksekusi kejaksaan dengan alasan Putusan Kasasi MA tak mencantum perintah masuk tahanan. Apakah putusan MA dimaksud memang mengandung kekeliruan/kealpaan prinsipil hingga pantas Susno menolak eksekusi? Bagaimana cara MA meluruskan keadaan? Melalui fatwa atau apa?” Waktu itu Hatta Ali menjawab bahwa tak ada alasan hukum untuk tidak dilaksanakan oleh terpidana. Tiga minggu kemudian, Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta mengecam Mahkamah Agung “lempar batu sembunyi tangan” dan menyarankan MA mengeluarkan fatwa tentang eksekusi Susno.

Ketua Mahkamah Agung agaknya cukup introspektif. Selain menjawab argumentasi para pengacara Susno dan masalah Fatwa MA, Hatta Ali pada Rabu 1 Mei juga memberikan jawaban yang introspektif –meskipun sayangnya tak semua media pers memuat bagian tersebut. Kita kutip dari Tribun Jabar (2/5), bahwa belajar dari perkara Susno, Hatta meminta hakim di Indonesia untuk hati-hati dalam administrasi putusan perkara. MA akan menyosialisasikan agar kesalahan administrasi tidak berulang. “Oleh karena itu semua hakim di dalam pembinaan, saya ingatkan, tolong dibaca baik-baik putusan itu, identitasnya, pertimbangannya, sampai pada amar putusan.” Hatta menyebutkan kesalahan administrasi putusan perkara pernah terjadi di PN Limboto. “Di Pengadilan Negeri Limboto salah huruf nama saja jadi persoalan, dibuat celah bagi terpidana bahwa itu bukan nama dia. Padahal maksudnya jelas nama dia. Tapi celah-celah seperti itu harus kita tutup,” kata Hatta Ali.

            PADA akhirnya, selama semua berada dalam ‘sistem’ –terlepas dari betapa tidak sempurnanya sistem itu sendiri– maka sistem lah yang harus menang. Namun, bagaimana cara kita menghadapi, bila dalam sistem yang kualitatif dan normatif cukup memadai terdapat para pelaksana dalam sistem itu yang bersifat lalai, tidak cermat atau bahkan memanipulasi sistem itu –apakah itu sistem bernegara, berpolitik ataupun sistem hukum? Kita harus memikirkan bagaimana mekanisme koreksinya. Teristimewa dalam tingkat keadaan sekarang ini, saat kita merasakan betapa banyaknya tindakan manipulatif dalam sistem kenegaraan, sistem berpolitik maupun dalam sistem hukum kita. Dan sementara itu, di lain pihak kita seakan dibuat tak berdaya melakukan koreksi karena begitu kuatnya konspirasi kaum manipulatif. Pada waktu yang sama ada pretensi di kalangan tertentu dalam kekuasaan, merasa sebagai pemegang tunggal hak penafsiran karena posisinya, bukan karena kebenaran penafsiran itu sendiri.

            Dalam konteks pembahasan masalah hukum, coba kita cermati, apa yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa hukum terkait mafia perpajakan Gayus Tambunan, mafia hukum di lingkungan penegak hukum, kasus rekening gendut perwira Polri dan aparat perpajakan, kasus konspirasi yang mengorbankan Antasari Azhar, sampai pada kasus mafia anggaran di kalangan legislatif dan kalangan eksekutif terkait. Belum lagi masalah-masalah korupsi yang melibatkan partai-partai politik, terutama yang tentakelsnya membelit dalam pemerintahan maupun lembaga-lembaga perwakilan rakyat berbagai tingkat.

            KOMISARIS Jenderal Polisi Purnawirawan Susno Duadji adalah seseorang yang dididik dan dibesarkan sebagai bagian dalam kekuasaan sebelum memilih untuk menjadi whistle blower. Sebagai whistle blower ia cukup menggemparkan. Ia membeberkan adanya mafia hukum, mafia pajak dan makelar kasus di kalangan penegakan hukum. Ia menyentuh keterlibatan institusinya dalam konspirasi menjerumuskan Ketua KPK Antasari Azhar di saat ‘mantan’ jaksa karir ini di depan pintu pengungkapan sejumlah kejahatan kekuasaan. Sang jenderal juga tampil di DPR dan menyentuh kasus Bank Century yang diduga melibatkan kalangan tinggi dalam kekuasaan sebagai pelaku kejahatan terhadap keuangan negara.

            Namun dengan menjadi whistle blower, ‘dosa-dosa’ lama Jenderal Susno Duadji tatkala masih merupakan bagian dari kekuasaan dibuat menjadi alasan ‘mengejar’ dan ‘menjerat’ dirinya melalui jalan hukum formal. Terlepas dari apakah ‘dosa-dosa lama’ itu itu sebuah dosa sejati ataukah hasil rekayasa belaka –sesuatu yang bukan mustahil dan perlu ditelusuri ulang– nyatanya ia berhasil ditempatkan sebagai seorang terhukum. Sebaliknya, apa yang diungkapkannya selaku whistle blower boleh dikatakan tak tersentuh sedikitpun. Mungkin, ke depan, berkaca kepada pengalaman dan nasib Jenderal Susno Duadji, takkan ada lagi yang mau ‘menjerumuskan’ diri sebagai whistle blower. Terlebih lagi, takkan ada orang yang insaf yang mau membayar dosa-dosanya di masa lampau dengan mengungkapkan kebenaran secara keseluruhan agar semua peserta dalam kejahatan itu bisa dihukum setimpal dengan dosa masing-masing. Kisah whistle blower, tutup buku sampai di sini.

            SUSNO Duadji kini adalah Les Misérables General. Dengan beberapa perbedaan dalam detail, pada dasarnya nasibnya satu patron dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Dalam novel terkenal Perancis yang terbit pertama kali di tahun 1862, Les Misérables karya Victor Hugo, segala kebaikan yang coba dilakukan sang tokoh utama Jean Valjean menjadi tak berarti karena terbeban oleh stigma masa lampaunya. Segala kebaikannya, termasuk ketika menjadi walikota sebuah kota kecil atas pilihan masyarakat, tak dihitung. Tak ada jalan formal yang bisa menolong. Hanya moral kebenaran yang terbit dalam hati nurani Inspektur Polisi Javert –yang telah mengejarnya bertahun-tahun– di saat terakhir, memberi Jean Valjean harapan dalam suatu kesempatan baru. Inspektur Javert melepas tangkapannya, karena suatu pertimbangan moral dan kemanusiaan tertentu, meski melalui semacam dark justice. Kemudian, mengakhiri sendiri hidupnya untuk mengganti ‘pelanggaran’nya terhadap prosedur hukum formal yang berlaku kala itu.

            Les Misérables General Susno Duadji kini menempuh jalan formal menurut hukum yang sedang berlaku, akan mengajukan Peninjauan Kembali. Itu penting dan baik bagi dirinya. Akan tetapi tak kalah penting, dan akan besar gunanya bagi kita semua, bila ia melanjutkan sesuatu yang sudah dimulainya sejak akhir tahun 2009: Mengungkap berbagai kejahatan dalam tubuh kekuasaan sendiri. Bila itu dilakukannya, ia takkan terlupakan dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Dan bila tidak dilakukannya, ia ikut menambah gelapnya penegakan hukum.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Peristiwa Susno Duadji, Kala Penegakan Hukum ‘Menghitamkan’ Kebenaran

MASIH adakah pihak yang terlibat dengan peristiwa hukum terkait Komisaris Jenderal Polisi Purnawirawan Susno Duadji, berhak mengklaim diri berada di sisi kebenaran dan keadilan? Tak satupun, apakah itu kalangan kepolisian, para jaksa, para hakim di tiga tingkat peradilan maupun para atasan di tiga institusi penegakan hukum tersebut. Dan tentu, begitu pula dengan Susno Duadji dan para pengacara atau kelompok ‘pembela’nya. Bersama-sama, mereka semua telah ikut dalam cara penegakan hukum yang makin menghitamkan azas kebenaran yang seharusnya ada dalam konteks menemukan keadilan.

            Ketika baru saja kembali dari lawatan luar negeri Jumat (26/4), di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat suara mengenai peristiwa hukum terkait Susno Duadji. Menurut Harian Kompas (27/4) Presiden SBY mengatakan, “Saya menerima laporan dari Jaksa Agung dan Kapolri atas isu yang menjadi perhatian publik, yaitu penegakan hukum berkaitan dengan saudara Susno Duadji. Dari apa yang dilaporkan Kapolri dan Jaksa Agung, saya instruksikan, tegakkan hukum dengan seadil-adilnya dan sebenar-benarnya.” Seperti biasanya, ucapan Presiden, kali ini juga begitu, tak mudah untuk diartikan secara definitif. Membutuhkan ilmu semiotika yang tinggi untuk mengetahui apa yang sebenar-benarnya dimaksudkan beliau.

KOMISARIS JENDERAL SUSNO DUADJI. "Wibawa hukum sudah lama runtuh. Bukan hanya karena belum berhasilnya eksekusi Susno, tetapi juga sejak awal saat penegak hukum pilih-pilih tebu –mana yang ditangani, mana yang diloncati saja– dalam kasus ini. Bahkan, masih lebih awal dari itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam penanganan berbagai kasus selama ini. Runtuh sekaligus hitam." (download: republika)
KOMISARIS JENDERAL SUSNO DUADJI. “Wibawa hukum sudah lama runtuh. Bukan hanya karena belum berhasilnya eksekusi Susno, tetapi juga sejak awal saat penegak hukum pilih-pilih tebu –mana yang ditangani, mana yang diloncati saja– dalam kasus ini. Bahkan, masih lebih awal dari itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam penanganan berbagai kasus selama ini. Runtuh sekaligus hitam.” (download: republika)

            Dan, memang sempat ucapan Presiden itu ditafsirkan berbeda-beda oleh para pihak yang berkepentingan dalam kasus Susno Duadji –yang gagal dieksekusi pihak kejaksaan Rabu 24 April, sore di rumahnya di Bandung maupun malam hingga menjelang tengah malam di Markas Polda Jawa Barat. Tafsiran atas ucapan Presiden bukan sekedar berbeda, melainkan samasekali bertolak belakang satu dengan yang lain. ‘Terpaksa’ Daniel Sparingga, Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi dan Politik, menyampaikan suatu ‘tafsir’ resmi bahwa sikap Presiden jelas. Ia lalu menyampaikan suatu kutipan yang entah adalah pernyataan Presiden, atau entah formulasi Daniel sendiri, yang belum pernah dikutip pers manapun sebelumnya. “Semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum dan wajib menghormati supremasi hukum. Tidak boleh seseorang mengelak dari kewajiban menjalani hukuman.” Bila kutipan terbaru ini yang menjadi pegangan, jelas bahwa Presiden atau Daniel Sparingga menyarankan Susno harus dieksekusi.

            KASUS Komisasis Jenderal Susno Duadji, adalah suatu peristiwa yang serba salah dan penuh tanda tanya sejak mula. Tidak tepat, bila kita hanya mau mempersoalkan bagian akhir cerita, yakni apakah Susno harus dieksekusi atau tidak. Terlepas dari apakah nanti para penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung, berhasil menegakkan apa yang diformulasikan sebagai “kewibawaan hukum dan penegak hukum”, atau tidak, menjadi keperluan kita bersama untuk meneliti kebenaran dan keadilan sesungguhnya dari keseluruhan peristiwa ini. Paling tidak, dalam ukuran-ukuran secara moral.

            Susno Duadji –tanpa perlu mempersoalkan motifnya– adalah seorang Jenderal Polisi yang suatu ketika memilih untuk menjadi whistle blower dan pengeritik terhadap perilaku menyimpang sejumlah jenderal polisi yang selama ini menjadi koleganya. Setidaknya ada dua titik yang membuat Susno berbenturan dengan para koleganya di institusi Polri. Pertama, saat ia mengungkapkan penanganan salah dalam kasus Gayus Tambunan, yang dilakukan beberapa jenderal junior –antara lain Brigjen Raja Erizman dan Brigjen Edmond Ilyas– bersama sejumlah perwira lainnya. Kedua, sewaktu Susno mengungkap keterlibatan kalangan pimpinan level atas Polri dalam konspirasi rekayasa menjerumuskan Ketua KPK (saat itu) Antasari Azhar dalam skenario pembunuhan Nasruddin Zulkarnain.

Kenapa Antasari harus digiring ke ladang pembantaian kariernya? Karena, menurut pengetahuan publik, ia adalah ‘the man who knew too much’ , antara lain mengenai skandal uang yang merambah jauh hingga ke atas. Misalnya, terkait aliran dana melalui Arthalita Suryani.

Di luar dua peristiwa itu, sebagai Kabareskim Polri Susno Duadji pernah merasuk agak jauh ke tubuh Bank Indonesia dalam kaitan pengusutan skandal Bank Century. Karena itu ia pernah tampil dalam rapat dengar pendapat di DPR memberi sejumlah keterangan. Apakah karena dianggap mengetahui banyak tentang keterlibatan kalangan atas dalam skandal tersebut, ia lalu mendapat posisi sebagai musuh yang harus dieliminasi oleh kalangan tertentu dalam rezim penguasa yang terlibat?

Ketika Susno mengungkapkan soal konspirasi terhadap Antasari Azhar dan tampil di DPR menyampaikan keterangan tentang skandal Bank Century, ia mendapat kecaman dari para atasannya, antara lain tak kurang dari Kapolri (waktu itu) Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Dan sikap bernada memusuhi dari sejumlah petinggi negara lainnya. Dan saat Susno menyebutkan keterlibatan sejumlah jenderal dan perwira Polri dalam penanganan salah atas kasus Gayus Tambunan, ia mendapat tudingan balik “maling teriak maling”. Susno Duadji pada saat itu juga pernah diperlakukan tidak baik oleh sejumlah petugas Polri saat dihalang-halangi berangkat ke Singapura untuk berobat, di Bandara Soekarno-Hatta. Adegan yang muncul di layar televisi kala itu memperlihatkan bagaimana Susno diperlakukan mirip kriminal, padahal ia masih seorang perwira aktif.

Semestinya, bila pimpinan Polri memang ingin membersihkan institusinya dari para maling, institusi itu harus tanggap mengusut dan menangkap para maling yang diteriaki. Setelah membersihkan para maling yang diteriaki itu, tentu giliran pihak yang dianggap ‘maling teriak maling’ untuk diusut. Bila ia ternyata juga maling, pun harus ditindaki sesuai kesalahannya. Dalam kasus Susno ini, yang terjadi adalah dirinya lah justru yang lebih dulu dicari dan digali dosa masa lampaunya, yang berujung pada peradilan dirinya dalam perkara Arowana dan korupsi dana Pilgub Jawa Barat 2008 lampau. Sementara itu, mereka yang diteriaki ‘maling’ boleh dikatakan hanya disentuh sepintas dan seadanya. Kita tak tahu, apakah Susno sekedar memfitnah, atau ada kelompok ‘maling membela maling’? Nyatanya ia dipukul balik. Dalam dunia maling, pengkhianatan yang sebenar-benarnya pengkhianatan, adalah maling yang ‘menyanyi’ tentang sesama maling. Tidak heran bila ada ‘maling teriak maling’ ia akan ‘dikeroyok’ para maling. Ini ciri persekongkolan. Dalam negara kekuasaan, persekongkolan menjadi patron perilaku.

DALAM proses peradilan atas diri Susno Duadji, ketidakcermatan demi ketidakcermatan pihak pengadilan bermunculan. Di pengadilan tinggi terjadi ketidakcermatan berupa salah cantum nomor perkara di PN dalam surat putusan hakim banding. Lalu, di tingkat kasasi, lagi-lagi hakim tidak perfect. Dalam surat putusan kasasi pemidanaan Majelis Hakim Kasasi, tak disertakan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, seperti ketentuan dalam Pasal 197 butir k Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP). Menurut Pasal yang sama di ayat 2, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.” Belakangan, dengan adanya kasus Susno ini, Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan tak terpenuhinya butir k bisa menyebabkan putusan batal demi hukum. Tetapi putusan MK itu tentu tak bisa berlaku surut.

Terjadi perdebatan, pihak kejaksaan dan lembaga peradilan maupun sejumlah pengamat mengatakan eksekusi tetap harus dijalankan karena secara bersama putusan pengadilan pertama, banding dan kasasi, esensinya adalah menyatakan Susno bersalah dan karenanya dijatuhi hukuman. Kekeliruan administratif di Pengadilan Tinggi dan tidak tercantumnya perintah penahanan, tak merubah esensi. Kita bisa sepakat, bahwa yang lebih penting adalah esensi. Tetapi bukankah selama ini, yang suka melakukan pilih-pilih tebu antara esensi dan ketentuan non esensial dalam berbagai perundangan, justru adalah para penegak hukum sendiri? Mereka cenderung memilih mana yang menguntungkan diri mereka saja bila melakukan suatu kekeliruan. Lalu, untuk apa misalnya ada KUHAP, bila satu persatu ketentuan di dalamnya dibuang saat tak menguntungkan kepentingan para penegak hukum? Ketentuan KUHAP tentang hanya pihak terhukum yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, demi kepastian hukum, sudah lama dibuang.

Kini, Pasal 197 butir k mendapat giliran dibuang melalui Mahkamah Konstitusi. Artinya, Mahkamah Konstitusi menerima sebagai sesuatu yang tak salah bila para hakim bisa atau diperbolehkan khilaf, tak perlu perfect. Padahal, putusan hakim itu harus diupayakan sempurna sesempurna-sempurnanya karena pada setiap putusan hakim tercantum sumber kebenaran dan keadilan tertinggi yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Putusan hakim yang perfect saja masih kerap menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat di tengah berbagai fakta banyaknya permainan busuk dalam dunia hukum, apalagi bila putusan itu tidak perfect, baik karena kesalahan administratif maupun karena kelalaian dalam memenuhi ketentuan KUHAP. Menarik dalam konteks ini, mengutip sugesti Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta, yang esensinya menurut kita adalah agar Mahkamah Agung bersifat korektif, jangan hanya berdiam diri. Ia menyarankan Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa terhadap kekisruhan kasus Susno, sebagaimana lembaga itu pernah mengeluarkan fatwa dalam kasus GKI Yasmin. “Jangan lempar batu sembunyi tangan.”

SURATKABAR nasional terkemuka saat ini, Harian Kompas (29/4) menurunkan berita “Eksekusi Susno: Jika Gagal, Wibawa Hukum Runtuh”. Judul itu tidak tepat. Wibawa hukum sudah lama runtuh. Bukan hanya karena belum berhasilnya eksekusi Susno, tetapi juga sejak awal saat penegak hukum pilih-pilih tebu –mana yang ditangani, mana yang diloncati saja– dalam kasus ini. Bahkan, masih lebih awal dari itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam penanganan berbagai kasus selama ini. Runtuh sekaligus hitam.

Kalau wibawa hukum belum runtuh dan tidak hitam, kenapa harus terjadi insiden Polri-KPK dalam kasus Simulator SIM, insiden penyerbuan LP Cebongan-Sleman, rekayasa kasus Antasari Azhar, maju-mundur kasus Bank Century? Sedikit lebih kecil dari itu, belum tertanganinya kasus suap dan kejahatan keuangan sejumlah anggota DPR dari berbagai fraksi partai di DPR. Bagaimana pula kegagalan penanganan sejumlah kekerasan anarkis antar umat beragama, tidak jelasnya penanganan berbagai kasus sengketa tanah antara masyarakat dengan kaum pemodal, kenapa pisau hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas bagai pisau dapur, dan lain sebagainya yang terlalu panjang untuk disebutkan.

Kembali ke kasus eksekusi Susno Duadji, boleh saja kejaksaan melanjutkan eksekusi, entah jenderal purnawirawan itu memilih untuk mengalah  atau melawan. Tapi kita harus bisa mencoba memahami, bila Susno melanjutkan untuk ‘membangkang’ dan memilih jalur ‘dark justice’ karena merasa sudah menghadapi hukum yang hitam. Dan, sebaliknya  kita –publik dan pers– harus membantu semampu kita, bila ia memilih mengalah untuk dieksekusi tetapi melanjutkan peran whistle blower. Mendukung bila ia mengungkapkan ke masyarakat berbagai kejahatan yang diketahuinya telah terjadi di institusinya sendiri, maupun di institusi kekuasaan lainnya di negara ini selama ini. Dukungan yang sama, bagi siapa pun yang melakukan hal serupa.

SUATU usaha meneliti seluruh peristiwa terkait, mulai dari penanganan salah atas kasus Gayus Tambunan, konspirasi dalam kasus Antasari Azhar, kekeliruan administratif di Pengadilan Tinggi DKI maupun kelalaian dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, layak untuk dianjurkan dan dilakukan. Untuk mengetahui apa yang tak beres dalam keseluruhan peristiwa ini. Tak layak membiarkan kesalahan terjadi begitu saja. Kecuali bila kita memang membiarkan negara ini sebagai negara kekuasaan, negara persekongkolan dan bukan negara hukum.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Nazaruddin, The Man Who Knew Too Much?

MOHAMMAD NAZARUDDIN yang tertangkap di Cartagena Kolombia dan tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusumah Jakarta Sabtu malam, saat ini mungkin tepat disebut The Man Who Knew Too Much. Sebenarnya, sebutan ini dipinjam dari sebuah judul film yang beredar di Indonesia awal tahun 1960-an sebelum ada pemboikotan film-film Amerika di masa Soekarno. Bintang ternama James Stewart memerankan tokoh utama dalam film itu yang dikejar-kejar karena terlalu banyak tahu mengenai suatu kejahatan. Dengan pengungkapan-pengungkapan kebobrokan di tubuh Partai Demokrat dan di dalam pemerintahan yang dilontarkannya selama masa buronan, membuat Nazaruddin terkesan sebagai the man who knew too much, karena keterlibatannya dalam banyak hal yang berbau kejahatan keuangan, sehingga sekaligus menjadi the most wanted bagi kalangan tertentu dalam kekuasaan politik dan kekuasaan negara.

Di negara yang kotor, orang yang tahu terlalu banyak tentang kejahatan kekuasaan, akan dieliminasi. Bagi pemerintahan dan aparat penegakan hukum yang lurus, orang yang banyak tahu tentang kejahatan terutama karena ia terlibat secara dekat di dalamnya, sekuat tenaga akan diupayakan bersedia menjadi whistle blower agar keterangan-keterangannya bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar kejahatan. Tetapi pertanyaannya kini, apakah pemerintah dan aparat penegakan hukum kita termasuk kategori lurus atau bukan? Sudah bertahun-tahun publik berada dalam suasana penuh ketidakpercayaan kepada pemerintah maupun penegak hukum, dan menduga kuat betapa berbagai kasus korupsi dan kejahatan atas keuangan negara telah direkayasa habis-habisan. Tak lain karena kekuatan korup dan penyalahguna kekuasaan justru telah bersarang di tubuh kekuasaan, sebagai hasil kerja mekanisme rekrutmen politik dan kekuasaan yang bersendikan politik uang. Bahkan KPK yang tadinya merupakan harapan terakhir dalam upaya pemberantasan korupsi, kini mulai disangsikan oleh sebagian publik.

Meski publik pun mulai menyangsikan KPK, di tengah masyarakat masih terdapat benang merah pemikiran yang sehat, bahwa sebagai lembaga KPK harus tetap dipertahankan. Gagasan membubarkan KPK yang dilontarkan oleh Marzuki Alie –Ketua DPR-RI dan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat– dianggap pikiran sesat dan menyuarakan kepentingan kaum korup, setidaknya untuk menyelamatkan Partai Demokrat yang sudah kerasukan setan korupsi secara dalam. Kalau ada perorangan dalam KPK yang menyalahgunakan kekuasaannya, harus segera diangkat keluar, bukan dengan mengeliminasi lembaganya. Bila lembaga-lembaga peradilan, kejaksaan dan kepolisian untuk suatu jangka yang panjang telah membuktikan dirinya bersih dan berfungsi baik sebagaimana harusnya, barulah bisa dipertimbangkan untuk meminta KPK mengakhiri tugas dan kehadirannya. Namun tampaknya, masih akan lama sekali situasi itu bisa tercapai, untuk tidak mengatakan bahwa justru KPK masih terseok-seok dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Dan karena pemberantasan korupsi bukan semata soal penindakan, melainkan juga soal prevensi di hulu masalah, maka di sini faktor kualitas kepemimpinan nasional lah yang sebenarnya menjadi syarat utama. Tapi bagaimana kalau perjalanan para tokoh menuju kepemimpinan nasional justru selalui diwarnai oleh proses yang sarat dengan praktek politik uang? Pemimpin macam apa yang bisa diharapkan?

SETIDAKNYA hingga dua hari pertama setibanya Mohammad Nazaruddin di Jakarta, sebagian besar masyarakat masih diliputi kesangsian tentang kelanjutan penanganan Nazaruddin dalam konteks pengungkapan-pengungkapan yang dilontarkannya mengenai mafia anggaran negara dan mafia politik kekuasaan. Karena meski pengungkapan-pengungkapan itu masih perlu diperkuat dengan bukti-bukti dan atau setidaknya masih perlu ditelusuri lanjut kebenarannya, ia telah dicerna masyarakat karena seakan-akan telah mengkonfirmasi pola korupsi yang selama ini menjadi pengetahuan masyarakat. Sikap gagap dan gugup maupun beberapa kebohongan yang dpertunjukkan sejumlah petinggi Partai Demokrat tatkala memberi reaksi terhadap tuduhan-tuduhan Nazaruddin, hanya menambah keyakinan publik bahwa memang ada yang tidak beres di tubuh partai penguasa itu. Selain itu, beberapa proyek APBN yang selama ini tersembunyi dari pengetahuan publik, ternyata benar-benar ada dan tidak bisa dibantah: Selain proyek Wisma Atlet di Palembang, dan kasus-kasus di Kementerian Diknas dan Nakertrans, juga ada proyek Hambalang di Sentul Jawa Barat, serta proyek pabrik vaksin flu burung yang berskala triliunan rupiah. Dan ternyata memang untuk sebagian prosesnya tidak normal, tanpa tender terbuka. Orang pun bertanya-tanya, apakah proyek gedung baru DPR yang juga berskala triliun tadinya termasuk di dalamnya, dan ada seberapa banyak proyek-proyek semacam itu yang hingga kini masih tersembunyi dari pengetahuan publik?

Kekuatiran paling menonjol dari masyarakat, apakah kasus tudingan-tudingan mantan Bendahara Partai Demokrat itu, akan diselesaikan dalam suatu rekayasa untuk melokalisir persoalan sehingga tak menyentuh terlalu jauh ke dalam pusat kekuasaan. Masyarakat memiliki sejumlah trauma, betapa sejumlah whistle blower maupun mereka yang mungkin termasuk dalam deretan the men who knew too much, telah dibungkam dengan berbagai cara, mulai dari sekedar negosiasi biasa, gertakan, dijebloskan dalam penjara, dicederai dan bahkan mungkin dihilangkan nyawanya. Aktivis HAM Munir, mati diracun. Antasari Azhar dijebloskan dalam penjara melalui tuduhan pembunuhan dan peradilan rekayasa. Aktivis LSM Tama S. Langkun dicegat dan dianiaya yang diduga dalam kaitan kasus rekening gendut perwira polisi. Komjen Polisi Susno Duadji, diungkit dosa-dosa lamanya lalu diadili, sementara ungkapan-ungkapannya tak pernah ditindaklanjuti. Kasus Gayus Tambunan berputar-putar di seputar bagian kasus yang remeh temeh, sementara siapa pengusaha-pengusaha yang memberi fee besar-besaran dalam praktek mafia perpajakan tak pernah ditelusuri sampai tuntas. Kasus Bank Century diperlambat proses hukumnya, sehingga mantan Menkeu Sri Mulyani tersudut pada posisi marginal sebagai semacam kambing hitam sementara tabir permainan sesungguhnya di balik itu tak pernah dibuka.

MICHAEL MENUFANDU DAN MOHAMMAD NAZARUDDIN. Gambar berdua ini muncul di berbagai media dan internet, dengan teks jenaka ‘Sohiib…’. Penanganan yang “…berlangsung serba tertutup dan tak melibatkan unsur-unsur netral, telah menimbulkan syak wasangka yang serius”.

Banyak yang sangsi, dan meramalkan bahwa akhir lakon Nazaruddin takkan berbeda dengan permainan sebelumnya. Cara penanganan oleh Michael Menufandu Dubes RI di Bogota, proses penjemputannya dan perjalanan panjangnya dengan pesawat carter sampai kepada penahanannya di Mako Brimob, berlangsung serba tertutup dan tak melibatkan unsur-unsur netral dari masyarakat, telah menimbulkan syak wasangka yang serius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang berjanji menjaga ‘keselamatan’ dan takkan mengintervensi atau merekayasa kasus ini, namun kita sama-sama tahu bahwa kini sang presiden tidak lagi sepenuhnya dipercaya oleh masyarakat. Nazaruddin mungkin berhasil dijinakkan, dinegosiasi atau dibuat hilang keberaniannya, untuk akhirnya menjadi sekedar ayam sayur. Tetapi keajaiban mungkin saja terjadi, dan itu bukan mustahil, bahwa bila publik bersikeras mengawal dengan ketat penanganan kasus Nazaruddin, dan bila KPK ingin menyelamatkan reputasinya, kasus Nazaruddin betul-betul menjadi pintu masuk bagi suatu pembersihan tubuh kekuasaan yang berkelanjutan.

Kasus Nazaruddin: Mencari Api di Balik Asap

BILA sebelum ini, mantan Bendahara Partai Demokrat Mohammad Nazaruddin, melontarkan cerita-ceritanya melalui Black Berry Messenger (BBM), maka pekan ini ia meningkat memberikan ‘testimoni’ melalui wawancara telepon dengan sejumlah stasiun televisi Indonesia. Suaranya terdengar jelas, tak disangsikan lagi bahwa memang ia yang berbicara, bukan orang lain. Lebih ‘terbuktikan’ daripada sekedar melalui komunikasi BBM. Dan seorang ahli psikologi forensik memberikan penilaian –berdasarkan antara lain analisa tekanan suara pada bagian tertentu, misalnya saat menyebutkan nama– yang pada intinya adalah bahwa sebagian besar penyampaian Nazaruddin bukanlah pengungkapan yang artifisial, sehingga cukup bisa dipertimbangkan sebagai bahan informasi untuk mencari kebenaran.

Adalah keliru, bila kita yang berada di luar lingkaran kepentingan Partai Demokrat, untuk ikut meremehkan atau ‘mengecilkan’ isi pengungkapan-pengungkapan Nazaruddin tentang sepak terjang sejumlah tokoh dalam mempermainkan uang negara dan menggunakannya untuk kepentingan politik uang di dalam dan di luar partainya. Sebagai warganegara kita berkepentingan negara ini bersih dari segala perilaku menyimpang penyelenggara negara maupun partai pendukungnya. Sebelum Nazaruddin mengungkapkan cerita-ceritanya pun pola permainan yang dibeberkannya bukan cerita asing bagi publik. Tiupan peluit Nazaruddin yang kini ramai-ramai dipojokkan oleh ‘bekas’ teman-teman separtai dan sepermainan, hanyalah mengkonfirmasi apa yang sudah diduga bahkan diketahui publik.

Dugaan-dugaan tentang adanya yang tidak beres di belakang keberhasilan Partai Demokrat mendongkrak suaranya hampir tiga kali lipat dari satu pemilu ke pemilu lainnya, sudah ada di kepala kita semua. Kita sama-sama menyaksikan adanya manipulasi-manipulasi DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang menguntungkan partai tertentu. Kita juga telah mencermati ‘bahasa tubuh’ sejumlah petinggi KPU, yang antara lain sangat cenderung mendekat-dekatkan diri kepada Presiden SBY. Kita juga sama-sama mengetahui, bahwa beberapa tokoh KPU, yakni Anas Urbaningrum dan kemudian Andi Nurpati direkrut menjadi petinggi Partai Demokrat melalui jalan bebas hambatan seakan balas jasa.

Begitu pula, kemenangan SBY dalam Pemilihan Presiden 2009, yang 60,8 persen, terlalu bagus untuk menjadi suatu kenyataan dalam satu sistem multi partai. Kemenangan tinggi dalam satu putaran itu bahkan seakan sudah dipastikan sebelum pemilihan umum itu sendiri berlangsung. Semua orang juga tahu tentang begitu banyaknya kecurangan dilakukan oleh berbagai pihak, tak terkecuali kubu sang pemenang, tetapi semua itu tak bisa diapa-apakan karena peraturan yang ada memang hanya menyediakan waktu yang sangat terbatas untuk pengajuan keberatan. Dan begitu tenggat waktu habis, habis pula kesempatan formal menurut undang-undang untuk menggugat kebenaran hasil pemilihan umum. Adanya sinyalemen tentang kecurangan dan atau manipulasi angka hasil pemilu hanya menjadi catatan yang tak berarti apa-apa lagi, hangus. Kecuali bila dilanjutkan sebagai gugatan moral demi kebenaran. Tapi moral, keadilan dan kebenaran kan sudah lama sekarat di negeri bernama Indonesia ini? Sekarang, ketiganya sedang terbaring lemah di pembaringan dalam bangsal unit gawat darurat.

DALAM wawancara teleponnya yang terbaru dengan beberapa stasiun televisi dan media cetak, Nazaruddin mengungkapkan bahwa Kongres Partai Demokrat di Kota Baru Parahyangan Bandung yang lalu bergelimang money politic. Calon Ketua Umum Anas Urbaningrum berhasil menyawer dana dari mana-mana yang jumlahnya mencapai hampir US$ 20 juta. Menjelang Kongres, dengan sebuah mobil box, sekitar 50 miliar rupiah dibawa dari Jakarta dan disimpan di salah satu kamar Hotel Aston, untuk persediaan menopang keperluan memenangkan Anas Urbaningrum. Cerita ini menarik, karena pada saat kongres itu berlangsung beberapa sumber lain bercerita tentang besarnya akumulasi uang yang menumpuk dan beredar di sekitar arena pemilihan. Bukan hanya kubu Anas yang menyediakan dana besar, melainkan setiap kubu pada dasarnya melakukan persiapan serupa. Bahwa ada dana yang dibawa ke Bandung saat itu, terkonfirmasi pula melalui keterangan seorang staf Nazaruddin yang mengakui membawa uang dalam jumlah besar dari Jakarta.

Apa yang terjadi di Partai Demokrat ini, mengingatkan kita pada cerita yang sama, tentang beredarnya dana besar dalam Munas Golkar di Pakanbaru yang menghasilkan Ketua Umum Aburizal Bakrie. Hal yang sama, lima tahun sebelumnya, dalam Munas Golkar di Nusa Dua Bali, saat Jusuf Kalla memenangkan kursi Ketua Umum Golkar. Dua peristiwa dengan dua partai berbeda, telah saling mengkonfirmasi mengenai telah terjadinya politik uang dalam kehidupan kepartaian di Indonesia.

MELALUI wawancara telepon itu, Nazaruddin juga melontarkan tuduhan tentang tidak bersihnya KPK dari ‘para maling’. Ia menyebut nama Chandra Hamzah, yang pernah juga dituduh dalam kasus suap terkait perkara Anggoro dan Anggodo Wijaya. Nazaruddin mengatakan Chandra Hamzah melakukan deal dengan Anas Urbaningrum, akan didukung untuk menjadi pimpinan KPK lagi (bersama Ade Rahardja) dengan syarat KPK tidak mengutik-utik Anas dan Angelina Sondakh dalam rentetan kasus yang mencuat belakangan ini. Nazaruddin mengaku punya bukti rekaman CCTV yang bisa membuktikan adanya pertemuan itu. Reaksi beberapa pimpinan KPK terhadap tudingan Nazaruddin, tidak cukup positif sekali ini. Ada kecenderungan mekanisme defensif para pimpinan KPK ini lebih mengedepan, sehingga memerlukan untuk menyerang balik bahwa Nazaruddin tak bisa dipercaya. Bagaimana kalau tudingan Nazaruddin kali ini ada benarnya? Kenapa KPK tak memilih saja untuk segera melakukan penyelidikan ke dalam dirinya? Apapun hasilnya, tetap saja baik bagi KPK. Kalau ada yang kotor, KPK bisa membersihkan diri dan layak tetap dipercaya. Kalau tak terbukti, orang akan semakin yakin terhadap kebersihan KPK, sehingga memilih akan selalu menempatkan diri bersama KPK setiap kali ada upaya memojokkan KPK.

Publik pasti lebih percaya kepada KPK. Tapi itu tak harus membuat kita menganggap KPK itu terdiri dari para malaikat yang tak pernah salah. Jadi kita semua harus lebih tanggap setiap kali ada tudingan tentang ketidakbersihan KPK. Kita harus segera mencari tahu dan dibuat tahu bahwa tudingan itu benar atau tidak. Barangkali begitu cara kita semua untuk menjaga lembaga yang menjadi harapan sisa dalam pemberantasan korupsi. Adalah sangat dangkal ucapan salah seorang pimpinan KPK yang mengatakan tak ada gunanya untuk menanggapi nyanyian ‘kosong’. KPK jangan mengikuti jalan pikiran penjaga malam yang malas. Saat ada anjing menggonggong atau angsa menguik gaduh di tengah malam, yang mungkin saja karena ada maling sedang menyelinap, sang penjaga malam malas memeriksa. Pagi-pagi baru ‘menyesal’ karena ternyata ada yang kemalingan.

KPK itu kini memiliki tim psikologi forensik yang punya metode dan kemampuan cukup prima dalam memeriksa saksi atau tersangka. KPK memiliki bukan hanya wewenang yang super, penyadapan dan sebagainya, tetapi juga sejumlah kelengkapan lain yang di atas rata-rata dibandingkan lembaga penegakan hukum lainnya. Dan yang terpenting di atas segalanya, ia mendapat dukungan kuat dan kepercayaan yang masih begitu besarnya dari sebagian terbesar masyarakat. Sepantasnya KPK mulai bergerak. Nazaruddin meniupkan asap, cari apinya. Rambah saja, dan tak usah membebani diri dengan pikiran-pikiran berbau politik.

Entah bagaimana caranya, KPK harus yang lebih dulu menemukan Nazaruddin. Bila Nazaruddin jatuh ke tangan yang salah, di luar KPK, sudah bisa diramalkan bagaimana akhir dari cerita. Bukankah kita sudah punya pengalaman pahit dengan sejumlah whistler blower atau setidaknya orang-orang yang bisa sekaligus menjadi whistle blower, seperti Antasari Azhar, Susno Duadji dan Gayus Tambunan, bahkan juga Anggodo Wijaya, yang semuanya jatuh ke tangan yang salah? Semestinya mereka bisa digiring membantu pengungkapan sejumlah kasus besar lainnya di tubuh kekuasaan, tetapi kini berhasil terbungkamkan. Banyak cerita gelap lalu bisa menjadi gelap selamanya.

Republik Korupsi

RANGKAIAN fakta empiris kebuntuan penuntasan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia, dari waktu ke waktu, sesungguhnya telah mengukuhkan negeri ini sebagai suatu Republik Korupsi yang dikuasai oleh kelompok-kelompok korupsi. Karena korupsi belakangan ini makin melibatkan begitu banyak orang, dilakukan secara berjamaah, dan pada umumnya sulit untuk diungkap tuntas karena begitu luasnya persekongkolan yang bisa saling menutupi, maka jaringan korupsi seringkali dianalogikan dengan khewan laut bernama gurita.

Media massa seringkali menggunakan istilah menggurita bagi korupsi yang makin meluas, merambah ke mana-mana secara sistemik dan seringkali terorganisir. Peristiwa terbaru yang kuat beraroma korupsi, menyangkut mantan bendahara Partai Demokrat, dilukiskan sebagai “kasus Nazaruddin makin menggurita”, ketika makin banyak nama yang disebut-sebut keterlibatannya dalam kasus itu. Dr George Junus Adicondro, telah dua kali meminjam nama mahluk laut bertangan (tentakel) banyak ini, untuk dipakai sebagai judul dua bukunya: Membongkar Gurita Cikeas (2010) dan Cikeas Makin Menggurita (2011). Bila berukuran kecil, mahluk laut bertangan banyak itu, dikenal sebagai cumi-cumi yang merupakan santapan yang lezat di restoran sea food. Junus Adicondro yang melalui masa SMA di kota pantai Makassar sampai menjelang pertengahan tahun 1960-an, kemungkinan besar juga senang menyantap cumi-cumi yang lezat.

GURITA RAKSASA. “Sama dengan gurita raksasa yang sesungguhnya, ‘gurita korupsi’ pun amat perkasa. Selain makin rakus menghisap di berbagai medan rezeki, dengan tentakelnya yang banyak dan terorganisir, ‘gurita korupsi’ bahkan bisa memangsa lembaga-lembaga pemberantas korupsi, setidaknya membuatnya lemas tak berdaya”. (Source: download).

Saat menyelamatkan diri dari lawan, cumi-cumi maupun gurita kecil akan menyemprotkan ‘tinta’ sebagai kamuflase. Tapi bila berukuran besar, ia berbalik ditakuti mahluk laut lainnya, bahkan dihindari oleh para nelayan, dan disebut sebagai gurita atau octopus. Ada beberapa jenis di antaranya yang ukurannya amat besar dengan kemampuan dahsyat meringkus mangsa dengan belitan tentakelnya yang terkoordinasi, sebelum dihisap sebagai santapan. Sama dengan gurita raksasa yang sesungguhnya, ‘gurita korupsi’ pun amat perkasa. Selain makin rakus menghisap di berbagai medan rezeki, dengan tentakelnya yang banyak dan terorganisir, ‘gurita korupsi’ bahkan bisa memangsa lembaga-lembaga pemberantas korupsi, setidaknya membuatnya lemas tak berdaya. Tak pernah ada whistle blower yang bisa selamat menunaikan niat membuka kasus atau pertobatan, melainkan sang pengganggu itulah yang lebih dulu dijerat dan dimasukkan kerangkeng. Para penegak hukum yang masih punya integritas, dibujuk untuk tutup mata, dan bila masih tak mempan rayuan, akan dikriminalisasi sampai tersudut.

Ada beberapa contoh bisa diberikan untuk memperlihatkan kekuatan persekongkolan pelaku korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Komjen Polisi Susno Duadji yang berani mengungkap borok di institusinya, lebih dulu masuk penjara melalui rekayasa dengan mengungkit dosa-dosa lamanya. Antasari Azhar, yang sebagai Ketua KPK diperkirakan mengetahui sejumlah dosa politik masa pemilu dan kejahatan keuangan kalangan kekuasaan, kini mendekam dalam penjara melalui tuduhan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang diskenariokan berlatar belakang cinta segitiga dengan perempuan muda bernama Rani. Ironisnya, itu justru terjadi setelah Antasari mengadukan nasibnya kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Kalau begitu, ‘bodoh’ betul jaksa senior ini, setelah melaporkan kepada Kepala Polri tentang teror SMS Nasruddin, malah kemudian memerintahkan ‘pembunuhan’ Nasruddin. ‘Gugatan’ Jusuf Supendi dari PKS yang mengungkap cerita permainan dana politik para petinggi partainya yang muda-muda, terkait pencalonan Adang Daradjatun sebagai Gubernur DKI, tak terdengar kelanjutannya lagi. Bahkan kasus Gayus Tambunan tampaknya cenderung kembali ke posisi fenomena gunung es mafia perpajakan. Kasus rekening gendut perwira tinggi Polri ditamatkan melalui alasan akan terjadi pelanggaran undang-undang bila data rekening tersebut diungkap kepada publik.

ADAPUN Cikeas –yang disebut makin menggurita– sebenarnya hanyalah nama sebuah tempat di Kabupaten Bogor, terletak antara Jakarta dan kota Bogor, namun menjadi masyhur karena dipilih Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tempat membangun kediaman pribadinya yang luas di atas area yang juga luas. Seperti halnya almarhum Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono juga memilih untuk tidak berkediaman di Istana Merdeka. Setelah menjadi Presiden, Soeharto membeli sejumlah rumah di Jalan Cendana untuk diri maupun anak-anaknya. Menyusul, dibeli pula beberapa rumah di Jalan Jusuf Adiwinata persis di belakang jalan Cendana –antara lain rumah milik Siti Hardianti Rukmana dan Hutomo Mandala Putera– sehingga rumah-rumah itu saling memunggungi dan mudah untuk saling mengunjungi lewat jalan belakang. Dua di antara rumah-rumah di Jalan Cendana digabung menjadi satu untuk kediaman Soeharto dan Siti Suhartinah Soeharto, dan sering disebut sebagai Istana Cendana. Sementara itu, rumah SBY di Puri Cikeas, belum sampai disebut Istana Cikeas. Tapi nama Puri Cikeas itu sendiri, kebetulan mirip-mirip dengan penamaan bagi sebuah istana.

Nama dan terminologi Cikeas maupun Gurita, pada hakekatnya merupakan pengertian yang berdiri sendiri. Tetapi ketika kedua nama itu digabungkan dalam serangkaian tuduhan, tersirat pengertian baru yang terkait korupsi kalangan kekuasaan negara dan politik. Tuduhan adanya korupsi dan penyimpangan oleh kalangan kekuasaan, tercipta melalui terungkapnya sejumlah kasus, dan menciptakan kesimpulan tersendiri dalam opini publik. Ketika dua koran Australia, The Age dan Herald, menurunkan tulisan tentang korupsi rezim Susilo Bambang Yudhoyono, yang dijawab dengan bantahan yang tak meyakinkan, kesimpulan publik tentang kekuasaan yang korup, makin terkonfirmasi. Mencuatnya berbagai kasus belakangan ini, yang melibatkan mantan bendahara Partai Demokrat dan merembet sejumlah nama petinggi Partai Demokrat dan petinggi pemerintahan, disusul keterlibatan kader Partai Demokrat Andi Nurpati dalam dugaan serangkaian kecurangan Pemilu, menjadi konfirmasi terbaru tentang kotornya rezim kekuasaan saat ini. Bukan hanya korup, tapi kemungkinan besar memenangkan pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden melalui kecurangan.

Dengan kesimpulan seperti itu, banyak pihak yang sampai kepada kesimpulan, bahwa rezim ini harus dihentikan sebelum betul-betul membangkrutkan negara. SBY dan Budiono sekaligus. Kenapa Budiono juga? Karena menurut arah pengungkapan terbaru kasus Bank Century, Budiono yang kala itu menjadi Gubernur BI, beserta sejumlah petinggi BI, sangat kuat keterlibatannya dalam pemberian bailout bank tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani difaitaccompli dengan data artifisial sehingga menyetujui dana talangan yang kemudian dibengkakkan para petinggi BI, lalu di’pinjam’ sebagai dana politik. Tapi menurunkan paksa Presiden dan Wakil Presiden dengan cara inkonstitusional apalagi dengan anarki, hanya akan menciptakan masalah baru yang belum tentu mampu dipikul oleh bangsa ini. Tentara akan naik lagi mengulangi sejarah lampau, seperti dicemaskan Ikrar Nusa Bhakti dan sejumlah pengamat lainnya. Atau, bisa jadi kaum militan anarkis yang didukung oleh partai-partai politik oportunis yang akan naik. Sebaliknya, membiarkan rezim berlanjut hingga 2014, kemungkinan besar akan membuat bangsa dan negara ini betul-betul bangkrut seperti dikuatirkan Jenderal Purn. Sayidiman Suryohadiprojo. Beberapa unsur mahasiswa intra kampus yang tergabung dalam BEM –yang akan melakukan pertemuan nasional menjelang akhir Juli ini di Bandung– kelihatannya memiliki tawaran jalan tengah. Menganjurkan Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan pengunduran diri, agar bisa disusun pemerintahan baru sesuai mekanisme yang terdapat dalam konstitusi. Bila tidak, mahasiswa akan mengajukan tuntutan agar SBY diadili untuk kesalahan-kesalahan yang telah terjadi selama ini yang bisa berlanjut dengan impeachment atau pemakzulan.

Namun terlepas dari itu semua, cara-cara konstitusional saat ini memiliki titik yang sangat lemah, yakni sistem kepartaian yang begitu buruk. Tak satupun partai politik saat ini bisa dipercaya. Partai-partai yang ada adalah partai-partai dengan para pemimpin yang opportunis. Tak ada partai yang betul-betul bersih dari permainan dana politik dan taktik politik kotor. Semua partai telah mengkontribusikan politisi-politisi korup. Mereka adalah bagian dari pembentuk gurita korupsi di dalam tubuh Republik Korupsi ini. Tolong disebutkan partai mana yang tokoh-tokohnya tak pernah bermasalah –besar atau kecil– hukum: PKS, PPP, PKB, PAN, Partai Golkar, PDIP ataupun Gerindra dan Hanura selain Partai Demokrat sendiri? Apakah penyelesaian-penyelesaian konstitusional bisa dipercayakan di tangan partai-partai yang tidak bersih ini? Kalaupun penyelesaian konstitusional terjadi, bagaimanapun diperlukan pengawalan yang kuat terhadap tindak-tanduk politik partai.

TAPI apapun yang akan terjadi, sikap kenegarawanan semua pihak, akan sangat menentukan keselamatan bangsa dan negara ini.

Gayus Tambunan: Kisah Belakang Layar

“Para whistle blower malah dimasukkan secara keroyokan ke ladang pembantaian, atau seperti kata Adnan Buyung Nasution justru dipendam agar tertutup mulutnya. Artinya, mereka tidak dikehendaki untuk mengungkap sejumlah kejahatan yang mereka ketahui. Kenapa ini bisa terjadi? Hanya satu jawabannya: Para bandit memang ada dan cukup kuat posisinya dalam beberapa posisi kunci dalam tubuh kekuasaan”.

SETELAH dua kali berturut-turut dalam sehari kemarin publik disuguhi antiklimaks oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu 19 Januari 2011 ini, klimaks yang sesungguhnya datang. Bukan dari sang presiden, melainkan justru dari Gayus Tambunan. Sesaat setelah Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan menjatuhkan vonnis 7 tahun atas dirinya, didampingi pengacaranya Adnan Buyung Nasution SH, Gayus mengungkapkan kepada pers tentang ajakan Sekretaris Satgas Anti Mafia, Denny Indrayana, berkonspirasi memojokkan Aburizal Bakrie. Padahal, menurut Buyung, sejak awal menjadi pendamping hukum bagi Gayus, yang bersangkutan telah bersepakat dengan dirinya untuk mengungkap semua yang terlibat, demi keadilan dan kebenaran, tidak terarah kepada orang tertentu.

Sementara itu, dua anti klimaks dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi pada waktu berdekatan. Pertama, adalah saat memberikan 12 instruksi berkategori ‘biasa’ dan kemungkinan besar takkan mampu ‘menggigit’ dalam penanganan lanjut kasus Gayus dan atau Mafia Pajak. Dan, antiklimaks yang kedua adalah pertemuan dialognya dengan para pemuka lintas agama yang diperluas pesertanya dengan kehadiran tokoh-tokoh di luar penandatangan pernyataan yang berisi gugatan ketidakjujuran pemerintah selama ini. Apalagi, inisiatif pertemuan tersebut ternyata bukan berasal dari SBY sendiri, melainkan, seperti yang dengan ‘cerdik’ diungkapkan SBY, inisiatifnya berasal dari Din Syamsuddin salah seorang tokoh lintas agama. Tapi terlepas dari itu, pertemuan itu tak mampu ‘menghapus’ opini tentang apa yang telah didefinitifkan di tengah publik sebagai 9 tambah 9 kebohongan pemerintahan SBY selama 6 tahun ini. Opini itu mungkin akan melekat lama di benak publik, karena merupakan konfirmasi terhadap opini yang selama ini memang mulai berkembang di masyarakat.

UNGKAPAN Gayus Tambunan mungkin saja lebih merupakan pelampiasan kekesalan terhadap taktik dan ‘janji-janji’ Denny Indrayana –yang berupaya keras berprestasi sebagai anggota Satgas Anti Mafia– dan tidak dengan sendirinya harus diterima sebagai kebenaran. Namun, lagi-lagi, suatu situasi konfirmasi tercipta di sini. Apa yang diungkapkan Gayus Tambunan –upaya politisasi oleh Denny yang mengarah kepada Aburizal Bakrie, serta beberapa tali temali terkait nama Komjen Susno Duadji, jaksa Cirus Sinaga dalam konteks ‘misteri’ kasus Antasari Azhar– seakan-akan mengkonfirmasi kesangsian kuat di tengah publik bahwa memang ada kejanggalan-kejanggalan dalam kasus-kasus yang disebutkan itu. Walaupun, sebagian besar publik juga tak puas terhadap vonnis 7 tahun yang dianggap rendah.

Seperti kita ketahui, penanganan awal kasus Gayus Tambunan dilakukan di masa Kabareskrim dijabat Komjen Susno Duadji. Adalah pula Susno Duadji yang memicu ekspose kasus Gayus Tambunan ini dalam konteks Mafia Pajak dan adanya Mafia Hukum di tubuh Polri. Sebagai whistle blower, Susno menyebut keterlibatan nama-nama Brigjen Raja Erizman, Brigjen Edmond Ilyas serta sejumlah perwira polisi lainnya, serta merembet Jaksa Cirus Sinaga cs dan Hakim Muhtadi Asnun yang ‘membebaskan’ Gayus. Jaksa Cirus Sinaga, adalah jaksa penuntut umum yang gigih ‘menjebloskan’ mantan Ketua KPK Antasari Azhar melalui proses peradilan di Pengadilan Jakarta Selatan. Pada saat Antasari Azhar diadili, Susno Duadji tampil sebagai saksi yang memberi pengungkapan-pengungkapan tentang adanya rekayasa kepolisian dalam penanganan kasus Antasari Azhar. Menarik pula, by accident, berdekatan waktu dengan ‘penjemputan’ Gayus Tambunan di Singapura oleh Denny Indrayana dan tim Mabes Polri di bawah Komjen Ito Sumardi, dan kemudian penjemputan Sjahril Djohan yang juga dikaitkan dalam kasus, terjadi insiden pencegahan dramatis di Bandara Soekarno-Hatta oleh sejumlah perwira menengah Polri atas diri Susno Duadji yang akan berangkat ke Singapura. Saat itu, Susno Duadji juga baru usai bersaksi di persidangan kasus Antasari Azhar. Itulah sebabnya, saat Gayus Tambunan, menyinggung nama-nama tersebut, khususnya nama Susno Duadji dan Antasari Azhar, pengungkapan itu cenderung diterima sebagai konfirmasi tentang sejumlah permainan di belakang layar. Publik cenderung lebih percaya, walau Satgas Anti Mafia sudah memberikan bantahan. Meskipun, sekali lagi, belum tentu pengungkapan Gayus Tambunan yang di sana-sini terasa berlebihan itu, sepenuhnya benar.

DI LUAR itu semua, menarik untuk melihat adanya benang merah yang mempertalikan peristiwa-peristiwa itu sebagai satu rangkaian pola. Dalam pembelaan yang dibacakannya sendiri, Gayus Tambunan menawarkan diri untuk menjadi ‘staf ahli’ Kapolri maupun Jaksa Agung dan menjanjikan dalam tempo dua tahun bisa membantu pengungkapan berbagai kejahatan perpajakan. Artinya, ia merasa banyak tahu praktek kejahatan di lingkungan kerjanya. Dalam pernyataan persnya hari Rabu ini, ia juga menyebut dua nama ‘tinggi’ dalam konteks tersebut, yakni Direktur dan Direktur Jenderal Pajak. Ia juga menyinggung janji Denny Indrayana –yang tak boleh tidak dikonotasikan sebagai perpanjangan tangan Presiden– untuk membantu sejumlah kemudahan dan keringanan dalam proses hukum, asalkan ia mau menjadi whistle blower, khususnya terhadap Aburizal Bakrie.

Komjen Susno Duadji juga adalah orang yang telah melakoni peran whistle blower dan untuk itu telah tampil bersuara melalui pers serta berbicara di depan forum Pansus DPR-RI dalam kaitan skandal Bank Century dan di situ menyebutkan adanya Mafia Hukum yang merasuk di tubuh Polri. Susno Duadji termasuk yang menangani kasus Bank Century –yang dianalisa ada kaitannya dengan dana politik tingkat tinggi– tatkala menjabat sebagai Kabareskrim.

Semestinya kehadiran para whistle blower bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bilamana Presiden dan jajarannya di bidang penegakan hukum memang bersungguh-sungguh ingin membersihkan diri dan memberantas Mafia Hukum. Katakanlah dalam suatu pola yang sedikit ekstrim sehingga bisa terasa kurang nyaman, yakni memanfaatkan maling untuk menangkap maling. Anggaplah Gayus maling. Anggaplah pula Susno –meminjam tudingan Brigjen Raja Erizman– memang juga maling, seperti yang coba dibuktikan sekuat tenaga dengan menyeretnya ke pengadilan untuk sesuatu yang dianggap sebuah ‘dosa’ lama terkait pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Barat beberapa tahun lalu. Kenapa tidak difaedahkan bilamana mereka memang bersedia mengungkapkan kekotoran yang mereka ketahui?

Apa yang terjadi? Para whistle blower malah dimasukkan secara keroyokan ke ladang pembantaian, atau seperti kata Adnan Buyung Nasution justru dipendam agar tertutup mulutnya. Artinya, mereka tidak dikehendaki untuk mengungkap sejumlah kejahatan yang mereka ketahui. Kenapa ini bisa terjadi? Hanya satu jawabannya: Para bandit memang ada dan cukup kuat posisinya dalam beberapa posisi kunci di tubuh kekuasaan.

Lalu, di mana posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam semua rangkaian ini? Opini akan tergiring ke arah pelibatan dirinya, bilamana dalam waktu-waktu mendatang yang tak terlalu lama, ia tak kunjung menunjukkan suatu tindakan meyakinkan bahwa ia memang bersungguh-sungguh memimpin pemberantasan korupsi di barisan terdepan. Mungkin Presiden harus ‘memerintahkan’ Kepala Polri atau Jaksa Agung, dengan risko jabatan, melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tiga-empat orang Perwira Polri atau dua-tiga orang Jaksa yang terindikasi. Begitu pula Menteri Keuangan, harus dibebani target pembersihan dalam jangka waktu tertentu.

Memasuki Masa-masa Akhir Pemberantasan Korupsi?

“Lihatlah, betapa banyaknya peristiwa aneh yang tak boleh tidak hanya membuktikan betapa masih kuatnya kekuatan korup dalam membendung dan bahkan mampu melakukan aksi strike back….”.

SENIN siang 31 Mei 2010 ini, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menolak gugatan Pra Peradilan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Penangkapan dan penahanan oleh Polri atas diri Susno dinyatakan sah secara hukum. Meski ada beberapa data dan fakta yang tampaknya tidak akurat disebutkan hakim, nyatanya hakim memilih untuk ‘memenangkan’ Polri. Keputusan hakim itu sendiri, mengagetkan sekaligus tidak mengagetkan. Mengagetkan, karena menjadi pengetahuan dalam opini publik bahwa penangkapan, penanahan dan penetapan Susno sebagai tersangka adalah janggal. Namun sekaligus tidak mengagetkan karena dengan membaca rangkaian peristiwa penegakan hukum belakangan ini, sudah bisa diperkirakan bahwa hakim takkan mungkin berani ‘melawan’ trend kekuasaan selama ini yang cenderung memelihara status quo, yakni pemberantasan korupsi sebagai program proforma saja.

Penolakan terhadap gugatan pra peradilan Susno Duadji, hanya menambah indikasi yang antara lain disimpulkan setidaknya dalam dua tulisan di blog ini: “Korupsi dalam episode Tomorrow Never Dies” dan “Jenderal Susno Duadji: Whistle Blower Terakhir”. Ditarik ke belakang, terlihat betapa kemaharajaan korupsi di Indonesia selalu bisa membuktikan kekuatannya dan senantiasa memenangkan pertarungan terhadap setiap usaha pemberantasan korupsi yang bersungguh-sungguh. Kalaupun ada kasus korupsi yang tampak tertangani, pada hakekatmya itu sekedar placebo, pil obat palsu yang hanya bersifat menenangkan keresahan publik terhadap kegagalan pemberantasan korupsi. Mana pernah ada tersangka korupsi yang betul-betul mengesankan telah ditangani, kecuali bahwa sang tokoh yang diseret memang akan disisihkan atau dikorbankan sebagai tumbal. Aulia Pohan yang kebetulan adalah besan Presiden SBY, juga bukan pelaku suatu kasus spektakuler. Penahanan dan penghukumannya malah menjadi benefit politik bagi kekuasaan. Adanya sejumlah anggota atau ex anggota DPR dari PDI-P yang diadili dan sedang ditangani KPK, lebih tepat dianggap sebagai bonus bagi KPK. Kebetulan para anggota itu bukan dari partai yang sedang berkuasa, jadi hambatannya kecil-kecil saja. Tapi bagaimana dengan sumber uang gratifikasi dan perantaranya?

SITUASI perpolitikan Indonesia dalam rangka mencapai kekuasaan, pada beberapa tahun terakhir ini, membutuhkan biaya tinggi. Kalau sebelum ini kita mengenal apa yang disebut high cost economic, maka kini kita juga mengenal high cost politic. Untuk mendirikan partai dibutuhkan biaya yang tidak sedikit sampai berhasil menjadi peserta pemilihan umum. Sementara sebagai peserta pemilihan umum dibutuhkan lagi biaya yang lebih besar. Dalam pemilihan umum 1999, agar sebuah partai bisa mencapai posisi lumayan, dibutuhkan biaya dalam skala milyar sampai 100-150 milyar. Dalam pemilihan umum 2004 meningkat menjadi 50 milyar hingga 500 milyar. Dan pada tahun 2009 meningkat lagi ke skala ratusan hingga tembus ke skala trilyun. Tentu saja, tidak semua biaya itu secara jujur diakui secara resmi. Pemilihan umum Presiden yang baru lalu, juga tak mungkin jauh dari skala ratusan milyar hingga trilyunan. Dan pertanyaannya, dari mana biaya sebesar itu bisa diperoleh? Hanya dua sumber yang realistis. Pertama, kelompok-kelompok yang sebelumnya berhasil mengumpulkan dan mengerahkan dana melalui cara yang beraroma korupsi. Kedua, hasil negosiasi dengan para konglomerat putih maupun hitam, yang mau tak mau melalui bentuk-bentuk negosiasi tertentu. But you have to pay it later. Cara seperti ini, dalam area money politics, melajur hingga tingkat paling bawah, yakni calon-calon DPRD dan DPR. Di luar itu ada cara lain, penggunaan otot melalui premanisme. Pola yang sama terjadi dalam berbagai pemiluhan umum kepala daerah.

Mungkin saja pola seperti ini bisa menghasilkan seorang Presiden yang ‘tidak tahu menahu’ (atau ‘menutup mata’?) sehingga tetap tercitrakan bersih tak bernoda. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa ‘kebersihan’ itu melajur hingga ke bawah? Situasi ini bisa menimpa presiden atau calon presiden yang manapun. Semestinya kita pada suatu saat, bila ada kemauan, bisa mencoba meneliti untuk mencari tahu. Dan tidak memilih bersikap bagai kura-kura dalam perahu, berpurai-pura tidak tahu.

DIKAITKAN dengan situasi yang dianalisis sangat diwarnai oleh pola politik uang, maka apakah setiap kekuasaan yang terbentuk melalui proses dengan situasi itu dapat dijamin kebersihannya? Tak bisa tidak kita akan sampai kepada suatu kesimpulan bahwa kekuasaan dan pemerintahan yang ada sejauh ini, tak dapat menghindarkan adanya muatan-muatan koruptif di tubuhnya yang seakan sudah menjadi dosa asal dalam kehidupan politik dan kekuasaan di Indonesia. Kekuasaan pemerintahan –yang setiap lima tahun diperbaharui– yang terwarisi penularan dosa asal kehidupan politik itu, takkan mungkin memperbaharui dengan mudah institusi-institusi tradisional dalam tubuh kekuasaan negara, yang pada dirinya mau tak mau melekat dosa asal tersebut. Termasuk di sini adalah institusi-institusi penegakan hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian maupun badan-badan Peradilan.

Mungkin untuk sementara, walaupun harus tetap berusaha keras, kita jangan terlalu banyak berharap terhadap upaya pemberantasan korupsi dengan segala derivatnya –seperti penghapusan mafia hukum/peradilan dan sebagainya– akan segera terwujud dengan mudah. Lihatlah pengalaman KPK yang makin melemah keberanian dan ketangkasannya dengan apa yang menimpa Antasari Azhar, lalu Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Lihatlah pula bagaimana perlakuan atas Susno dibandingkan Sjahril Djohan, atau para jenderal yang disebut-sebut Susno. Lihatlah bagaimana  KPK dan Pengadilan Tipikor yang susah payah untuk menghadirkan Nunun Nurbaeti isteri mantan Wakapolri yang diduga membagi-bagi traveller cheques untuk kepentingan Miranda Gultom. Lihatlah bagaimana tersendatnya kasus Bank Century. Lihatlah bagaimana Pengadilan meluluskan pra peradilan atas SKPP Bibit-Chandra sehingga keduanya kembali ke status ‘tersangka’. Lihatlah, lihatlah, lihatlah betapa banyaknya peristiwa aneh yang tak boleh tidak hanya membuktikan betapa masih kuatnya kekuatan korup dalam membendung dan bahkan mampu melakukan aksi strike back, dan seterusnya. Dengan pengalaman Susno, kita pun mungkin untuk sementara tak bisa mengharap kehadiran whistle blower baru, anggaplah Susno sebagai peniup peluit terakhir untuk sementara ini.

APAKAH kita sedang memasuki masa-masa akhir dari pemberantasan korupsi untuk kesekian kalinya setidaknya untuk dekade ini, sampai muncul lagi tokoh kepemimpinan baru dengan semangat baru?

Korupsi Dalam Episode ‘Tomorrow Never Dies’

“Tokoh kartun, Paman Gober atau Uncle Scrooge yang mahakaya –dengan uang segudang besar bernilai fantasilyun rupiah– telah ‘membuktikan’ bahwa segalanya bisa dibeli, kecuali kapling di surga. Bukankah di Indonesia sudah terbukti semua bisa dibeli, termasuk ‘suara’ dalam pemilihan umum? Jadi, karena korupsi itu sudah begitu meluas, dan oknumnya pun merasuk ke mana-mana, dan jumlah orangnya begitu banyak dan dengan sendirinya kekayaannya pun bisa mencapai fantasilyun, maka sulit untuk dikalahkan. Apalagi mau di’mati’kan atau konon pula dijatuhi hukuman mati?!”

HUKUMAN mati untuk para pelaku korupsi? Di China daratan, itu sudah dilakukan, bukan sekedar wacana lagi. Tapi di Indonesia? Menanggapi wacana penerapan hukuman mati bagi koruptor, seorang perempuan akademisi menyatakan kesangsiannya. Ketika tampil di layar televisi, ia mengatakan, hukuman tertinggi seumur hidup –yang ada dalam UU Anti Korupsi kita– saja belum pernah tercapai, “apalagi hukuman mati…”. Faktanya memang, selama ini hukuman untuk para pelaku korupsi dan suap-menyuap, yang umumnya melibatkan kalangan kekuasaan dan kalangan pengusaha besar, senantiasa ringan-ringan saja. Itupun kalau bisa sampai ke pengadilan, karena banyak kasus yang sudah ‘raib’ di proses awal, entah di kepolisian entah di kejaksaan, untuk tidak mengatakannya memang tak tersentuh samasekali. Dan tak jarang pula patah di pengadilan, karena beberapa lembaga peradilan telah merubah diri menjadi kuburan bagi kasus-kasus korupsi dan kejahatan kerah putih lainnya.

Sementara itu, para koruptor dan pelaku kejahatan keuangan lainnya, yang kebetulan sedikit apes sehingga kena hukuman penjara, masih bisa mencoba peruntungannya untuk menyiasati masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Seraya menunggu upaya hukum terakhir Peninjauan Kembali dijalankan oleh para pengacaranya –yang sering-sering juga berhasil– mereka bisa berdamai dengan lingkungan barunya. Bisa mendapat sel-sel yang nyaman ber-AC, lengkap dengan televisi segala macam, bahkan sesekali (atau seringkali) bisa diam-diam pulang ke rumah di malam hari. Memesan makanan sesuai selera dan berbagai kenyamanan lainnya yang membuat rasa penjara berubah menjadi rasa hotel berbintang. Namun, tentu saja, senikmat-nikmat penjara, kebebasan tentu lebih diinginkan. Tapi kelihatannya kebebasan inipun bisa diatur kecepatannya, sehingga kita bisa melihat betapa para pelaku kejahatan kerah putih ini dianugerahi berbagai remisi dengan berbagai alasan, menikmati bebas bersyarat dan lain sebagainya. Pokoknya, masa dalam penjara berlangsung bagaikan ‘seumur jagung’ belaka.

Bagaimana seluruh kemudahan bagi para pelaku kejahatan kerah putih itu bisa terjadi begitu mudahnya? Tak lain karena di seluruh instansi penegakan hukum selalu ada yang bisa dibeli sebagai pertanda telah begitu berurat berakarnya mentalitas korup di negara ini. Perilaku korup sudah dipraktekkan sejak awal masa kemerdekaan, dengan akar yang sudah menjulur dari masa lampau, sejak ratusan bahkan seribu tahun lebih, yakni sejak tumbuhnya feodalisme Nusantara. Budaya upeti yang berlaku vertikal, dengan arah dari bawah ke atas, sudah berabad dikenal. Selain upeti sebagai tanda takluk dari raja-raja bawahan kepada raja besar pemilik payung kekuasaan utama, dikenal pula jenis upeti intra satuan-satuan politik-kekuasaan itu masing-masing, yakni dari bawahan kepada atasan. Fenomena yang disebut terakhir ini, yang berlangsung dalam berbagai bentuk dan cara, sudah merupakan model-model korupsi awal. Ken Arok adalah salah satu contoh klasik, memulai karirnya sebagai perampok dengan cara-cara kasar dan keras, dan akhirnya melalui pembunuhan menjadi raja penguasa yang korup.

SEBENARNYA Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak menutup samasekali kemungkinan dijatuhkannya hukuman mati. Pasal 1 ayat (2) menyatakan “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”. Namun sepanjang sejarah peradilan korupsi di Indonesia, di masa lampau maupun di masa berlakunya Undang-undang No,31/1999, hukuman mati belum sekalipun pernah dijatuhkan. Agaknya “keadaan tertentu” yang dimaksudkan Pasal 1 ayat (2) itu belum pernah terjadi. Malahan, dalam kenyataan, terbanyak yang terjadi adalah bahwa begitu banyak perkara korupsi –baik sepanjang asumsi dan pemahaman publik, maupun menurut analisa kaum kritis dan kalangan akademisi– yang tak tersentuh, terutama yang menyangkut kasus-kasus besar. Sedang bagi kasus-kasus yang pada akhirnya bisa dibawa ke pengadilan, putusan-putusan hukuman yang dijatuhkan cenderung yang terendah dan jarang dipilih hukuman maksimal.

Masalahnya barangkali, karena memang perkara-perkara itu umumnya menyangkut kasus korupsi dengan nominal berskala milyaran, atau belasan milyar saja, dan hanya sesekali berskala puluhan atau ratusan milyar. Kasus-kasus BLBI yang terjadi pada bagian akhir masa kekuasaan Soeharto yang berskala ratusan milyar, umumnya kandas. Perlawanan terhadap Kejaksaan Agung pada 1999-2001 berlangsung sengit. Hambatan-hambatan bisa berasal dari dalam tubuh Kejaksaan Agung sendiri, bisa pula berasal dari luar, baik dari kalangan kekuasaan sendiri maupun dari sesama penegak hukum. Berapa banyak kasus korupsi mengalami upacara penguburan di sejumlah pengadilan berbagai tingkat? Bersamaan dengan itu, dari tengah ‘masyarakat’ sendiri muncul fenomena aneh: Setiap kali Kejaksaan Agung menyeret tersangka baru, makin banyak pula demonstrasi massa terjadi di depan Gedung Kejaksaan Agung. Tak kalah aneh, sejumlah LSM yang menyebutkan diri anti korupsi, kerapkali justru lebih mengutamakan menyerang Kejaksaan Agung habis-habisan. Tuduhan politisasi perkara mengalir deras dari sejumlah media massa dengan Kejaksaan Agung sebagai sasaran utama. Barangkali, maksudnya melecut, tetapi kesannya malah mementung. Sehingga timbul juga tanda tanya, siapa public enemy yang sebenarnya, pelaku korupsi atau penegak hukumnya? Dan, di latar belakang semua itu ‘terdengar’ adanya pengerahan dana besar oleh para tersangka korupsi untuk menggoyang instansi pemberantas korupsi itu, meski harus diakui pula bahwa pada waktu yang sama memang ada juga indikasi terdapatnya jaksa-jaksa nakal yang justru memanfaatkan situasi giat pemberantasan korupsi itu.

Rupanya, banyak di antara jaksa-jaksa nakal seperti itu bisa meniti karir dengan selamat, dan tersemaikan sebagai bibit kenakalan yang lebih besar di masa berikutnya. Menjelang diberhentikannya seorang Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid, sebenarnya ada satu daftar di tangan sang Jaksa Agung yang berisi puluhan nama jaksa nakal yang akan ditindak atau dimutasi. Tapi nasib menentukan lain, malah sang Jaksa Agung yang lebih duluan dikandangkan. Jaksa Agung penggantinya, lain lagi, baru sejenak menjadi Jaksa Agung ia sudah harus berhenti dari tugasnya, bukan oleh suatu keputusan Presiden, melainkan karena dipanggil olehNya, oleh Dia yang lebih di atas. Padahal, ia sedang berada di puncak pengharapan ‘terakhir’ publik. Jaksa Agung pengganti yang kemudian ditunjuk, sebenarnya juga adalah seorang tokoh yang bisa diharapkan, karena memiliki integritas yang memadai. Namun, tak lama, karena giliran sang Presiden yang di-impeach sebagai akhir dari suatu pertikaian politik. Wakil Presiden naik menggantikan sebagai Presiden dalam sepatuh masa kerja yang tersisa. The bad among the worst, sang Presiden yang dimakzulkan itu, bagaimanapun lebih jelas perintah dan tindakannya dalam pemberantasan korupsi. Tak berhenti pada sekedar retorika.

Mungkin, Presiden yang sekarang ini masih lebih retorik daripada sebagai action man dalam konteks pemberantasan korupsi. Tapi bukankah pemberantasan korupsi pada setidaknya dalam dua tahun terakhir ini, begitu menonjol dan berhasil membangkitkan kembali harapan publik terhadap pemberantasan korupsi? Betul, tapi barangkali itu lebih tepat dilihat dalam kaitan kinerja KPK, khususnya pada figur Antasari Azhar, suka atau tidak. KPK adalah lembaga ekstra yang dibentuk bersama dalam satu suasana dengan political will yang berkadar cukup tinggi di bawah dorongan publik yang begitu kuat dan deras. Lagi-lagi soal ‘nasib’, Antasari Azhar terseret arus perkara pembunuhan yang masih disangsikan kebenaran sejatinya hingga saat ini. Ditambah dengan apa yang kemudian menimpa dua pimpinan KPK lainnya melalui kasus Cicak-Buaya yang dianalisa sebagai rekayasa pelemahan atau bahkan eliminasi KPK, kelihatannya KPK kini berjalan lebih tertatih-tatih. Terkesan keberaniannya dan kecepatannya bertindak, belakangan ini jauh merosot. Publik menjadikan ‘kelambanan’ dan ‘keraguan’ dalam penanganan kasus Bank Century, sebagai indikator sedang runtuhnya semangat tempur lembaga ekstra itu.

PERANG melawan korupsi, tampaknya kini bergeser kembali ke medan publik seperti di tahun 1970-an. Desakan-desakan publik dikemukakan dengan berbagai penyampaian opini melalui berbagai cara dan melalui berbagai media, termasuk dengan aksi massa. Publik berkecenderungan kuat mendukung siapapun yang mau bersuara dan bertindak mengungkap kejahatan keuangan maupun kejahatan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Para whistle blower mendapat apresiasi tinggi. Publik secara umum tidak merasa perlu untuk mengetahui masa lalu Jenderal Susno Duadji misalnya, tidak merasa perlu tahu dan merasa tidak perlu acuh pada tudingan ‘maling teriak maling’ yang ditujukan kepada sang Jenderal. Publik hanya berkepentingan bahwa pengungkapan yang dilontarkan Susno Duadji –yang menurut publik mewakili kenyataan dan gambaran sehari-hari yang dijumpai publik dalam persentuhan dengan polisi selama ini– segera diusut tuntas dan diberikan jawaban secepat mungkin. Kelat kelit yang dipertunjukkan oleh para petinggi Polri yang cenderung menyerang balik Jenderal Susno Duadji, hanya akan memperkuat sangkaan dan keyakinan publik bahwa institusi penegak hukum itu –dan demikian pula institusi penegak hukum lainnya– memang benar tidak bersih adanya. Lebih dari itu, akan dipersepsi sebagai bagian dari ‘empire strike back’. Bahwa, kemaharajaan korupsi sedang melancarkan serangan balik.

Akan tetapi menjadi pertanyaan sekarang, apakah kemaharajaan korupsi yang sudah begitu kuatnya di Indonesia ini, mampu dilawan oleh kelompok-kelompok kritis dan kelompok-kelompok akar rumput yang sudah makin gusar itu? Tokoh kartun, Paman Gober atau Uncle Scrooge yang mahakaya –dengan uang segudang besar bernilai fantasilyun rupiah– telah ‘membuktikan’ bahwa segalanya bisa dibeli, kecuali kapling di surga. Bukankah juga di Indonesia sudah terbukti semua bisa dibeli, termasuk ‘suara’ dalam pemilihan umum? Jadi, karena korupsi itu sudah begitu meluas, dan oknumnya pun merasuk ke mana-mana, dan jumlah orangnya begitu banyak dan dengan sendirinya kekayaannya pun bisa mencapai fantasilyun, maka sulit untuk dikalahkan. Apalagi mau di’mati’kan atau konon pula dijatuhi hukuman mati?! Sekarang tidak, begitu pun besok. Korupsi sudah memasuki episode ‘Tomorrow Never Dies’. Antasari Azhar yang tadinya diharapkan bisa menjadi Agen 007 untuk bermain dalam episode itu sudah terjerembab duluan. Atau, Susno Duadji? Memang sempat juga ada yang menyebut namanya sebagai calon Ketua KPK dalam proses pencalonan mendatang. Barangkali, mission impossible. Hanya tangan Tuhan yang bisa menolong di sini. Adapun publik, meskipun dalam demokrasi sering disebutkan “suara rakyat adalah suara Tuhan”, bagaimanapun tetaplah sejauh ini bukan “tangan Tuhan”.