Tag Archives: Denny Indrayana

Polisi: Antara Perwira Bersih dan Perwira Oportunis

BARANGKALI ini sebuah pertanyaan spekulatif. Apakah Presiden republik ini sedang dalam keadaan gugup menghadapi sikap bersikukuh para perwira pengendali Kepolisian RI terkait isu kriminalisasi terhadap KPK? Kalau bukan gugup, lalu kenapa Presiden Joko Widodo terkesan menghindar dan tak bereaksi apa pun, meskipun pers bertanya? Padahal, sementara itu, lebih dari sekedar menepis tudingan, para perwira pengendali kekuasaan di tubuh institusi penegakan hukum itu samasekali –meminjam formulasi berita utama Harian Kompas, Minggu 8 Maret 2015– “tidak menghentikan dugaan kriminalisasi terhadap sejumlah pihak yang selama ini mendukung pemberantasan korupsi.”

            Semacam kegugupan dalam bentuk lain diperlihatkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mendapat pertanyaan dari wartawan tentang kriminalisasi terhadap para pendukung gerakan anti korupsi, Jusuf Kalla balik mempertanyakan, apa yang dimaksud dengan kriminalisasi. Jusuf Kalla dikutip Kompas dan media lainnya mengatakan, “Kalau seorang punya fakta dia salah, kemudian diperiksa, apa itu kriminalisasi menurut anda?”. Menurut Jusuf Kalla lagi, “Kriminalisasi itu apabila sesuatu dibuat-buat. Namun kalau sesuatu fakta, kemudian orang diperiksa, itu bukan kriminalisasi.” Lalu mengecam, “teman-teman pegiat anti korupsi jangan tiba-tiba takut diperiksa”. Kalau orang lain, disuruh periksa, tapi bila menyangkut dirinya ‘jangan periksa saya’. Kan itu salah, ujarnya. Ia menasehati para pegiat anti korupsi itu agar bersikap sportif dan jantan.

COVER TEMPO YANG MENGUNDANG PEMIDANAAN. Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.”
COVER TEMPO YANG MENGUNDANG PEMIDANAAN. Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.”

            Jusuf Kalla terkesan telah menghakimi bahwa perbuatan yang dituduhkan kepada Komjen Budi Gunawan bukan fakta. Dan sebaliknya, apa yang dituduhkan polisi kepada Bambang Wijayanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, mantan Ketua PPATK Yunus Husein, para penyidik KPK serta berbagai pihak lainnya, adalah berdasarkan fakta. Jadi, bukan kriminalisasi. Cukup mencengangkan juga,  bagaimana bisa Jusuf Kalla sekaligus ‘melebihi’ jaksa dan hakim, untuk memastikan yang mana fakta dan yang mana bukan fakta lengkap dengan suatu judgement? Dan kebetulan judgement itu berbeda dengan arus utama opini publik pada umumnya.

Apakah pembelaan serta merta beliau terhadap polisi yang dituding melakukan kriminalisasi, adalah semacam mekanisme defensif yang kerap ditunjukkan oleh seorang tokoh kekuasaan? Ataukah, beliau telah menerima laporan sepihak yang tak menyeluruh, yang kemungkinan juga artifisial khas birokrasi –sebagaimana yang kerap dialami para petinggi negara– sehingga dengan sendirinya tak cermat membaca dan menganalisasi persoalan dengan utuh? Selain itu, sebagai seorang tokoh, tidakkah beliau pernah mempelajari sejarah penegakan hukum di negara ini yang penuh kisah hitam-putih dan jatuh-bangunnya kebenaran dan keadilan? Dan oleh karena itu, perlu perhatian khusus dan penanganan khusus pula. Lebih berhati-hati mencari kebenaran, lebih berusaha cermat menyelami aspirasi dan isi hati masyarakat, serta lebih bijak. Tapi baiklah, kita tunggu saja bagaimana kebenaran yang akan terbuka pada waktunya nanti.

            Pembangkang. KETUA Tim Sembilan bentukan Presiden Jokowi terkait konflik KPK-Polri, Dr Sjafii Ma’arif, mengatakan jika ada perwira polisi yang tidak mau menjalankan perintah Presiden, maka ia harus diberhentikan.  Kepolisian Republik Indonesia menurut perundang-undangan yang ada jelas-jelas berada pada posisi subordinasi terhadap Presiden. Memang Presiden tak bisa mencampuri aspek materil hukum saat kepolisian menjalankan fungsi sebagai penegak hukum, namun Presiden memiliki hak pengendalian untuk mencegah institusi itu menyimpang dari tugasnya sebagai aparat negara tersebut. Secara lebih spesifik, kepada pers Sjafii Ma’arif menyebutkan perwira tinggi yang bermasalah dan menjadi sumber kekacauan sebaiknya diganti. “Masih banyak perwira tinggi yang bagus.”

            Bahwa masih banyak perwira tinggi maupun perwira menengah Polri yang baik dan bersih, bisa disepakati. Namun, perlu diingatkan, khususnya kepada para jenderal polisi dan perwira-perwira bersih lainnya itu, bahwa bersama mereka terindikasi pula keberadaan unsur, yang kita sebut saja oknum perwira oportunis, yang bisa membawa Polri menjadi kekuatan destruktif. Buruk bagi institusi, buruk bagi masyarakat. Tak boleh menutup mata. Dan menjadi harapan, agar para perwira bersih di tubuh Polri mengambil inisiatif untuk membersihkan institusi yang mereka cintai itu. Perwira-perwira bersih diyakini mencintai institusi Polri lebih dari mencintai dirinya sendiri. Sementara itu, perwira-perwira ‘oportunis’ hanya mencintai kepentingan dirinya dan masuk Polri untuk memenuhi hasrat-hasrat kepentingan pribadinya. Mereka yang disebut terakhir inilah yang kadangkala menciptakan citra ‘bandits in uniform’ seperti yang suatu waktu pernah coba digambarkan seorang mantan Kapolri, Jenderal Mohammad Hasan, yang sungguh tepat mewakili kekecewaan publik. Dengan menjadi bersih kembali, rakyat pun sepenuhnya akan kembali mencintai Polri seperti pada masa-masa awal Indonesia merdeka. (Baca, https://socio-politica.com/2012/10/10/soal-isu-pengunduran-diri-para-jenderal-polisi/)

Dalam tulisan lainnya “Polri Dalam Peristiwa 5 Oktober 2012” ada ungkapan bahwa dari data pengalaman empiris selama ini, di tubuh Polri juga terdapat ‘bakat’ untuk melakukan pembangkangan. Terakhir, seperti yang terlihat dalam kaitan kasus korupsi Korlantas dengan ‘penyerbuan’ 5 Oktober 2012 ke Gedung KPK. Diingatkan, bahwa “Bilamana tak ada tindakan cepat, tepat dan tegas terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini dari yang menjadi atasan, atau atasan dari atasan –dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai atasan dari pimpinan Polri waktu itu– tindakan-tindakan agresif dan konfrontatif dengan kadar yang lebih tinggi akan terjadi di masa mendatang ini. Sejumlah pengalaman empiris selama ini menunjukkan bahwa institusi penegakan hukum dan ketertiban masyarakat ini ‘berbakat’ untuk itu karena pembiaran yang laten”. (https://socio-politica.com/2012/10/08/polri-dalam-peristiwa-5-oktober-2012/)

Dituliskan lebih jauh, “Saat ini, sejumlah oknum membawa Polri melakukan ‘pembangkangan’ hukum terhadap proses pemberantasan korupsi, besok lusa mungkin sekalian membangkang kepada lembaga kepresidenan dan pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti lembaga perwakilan rakyat dan Mahkamah Agung. Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengalami semacam ‘pembangkangan’ itu. Keputusannya untuk mengganti Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro dengan Jenderal Chairuddin Ismail, ditolak dan tidak dilaksanakan Bimantoro sehingga menimbulkan ketegangan internal.” 

Sesat. DI LUAR aspek politik kekuasaan di atas, ada catatan penting lainnya mengenai kepolisian kita. Dan catatan itu, berguna sebagai bahan untuk menilai dan kemudian menjadi dorongan untuk memperbaiki institusi tersebut dengan model seideal mungkin sesuai cita-cita dasar kelahirannya. Jauh dari niat mengungkit kesalahan masa lampau. Sepanjang yang bisa ditelusuri dan dicatat dari waktu ke waktu, kasus salah tangkap, rekayasa penetapan tersangka, pengkambinghitaman, salah dakwa dan salah hukum dalam peradilan sesat, seakan melekat dalam sejarah penegakan hukum. Jika dideretkan, akan ada satu daftar panjang untuk peristiwa sejenis, yang untuk sebagian besar terkait dengan institusi kepolisian sebagai penegak hukum.

Ada kasus salah tangkap, rekayasa dan kemudian berujung pada keputusan hukum yang sesat, menyangkut dua petani, Sengkon dan Karta. Kedua petani ini dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan Haji Sulaiman dan isterinya Siti Haya –suami isteri kaya dari desa Bojongsari, Bekasi tahun 1977. Polisi yang sebenarnya tak memiliki petunjuk kuat, mengarahkan kecurigaan kepada Sengkon dan Karta yang pernah ada hubungan kerja dengan Haji Sulaiman. Polisi menangkap kedua petani itu. Merasa harus bisa menyelesaikan kasus, polisi menciptakan skenario rekayasa menjadikan Sengkon-Karta sebagai pelaku. Tak punya bukti, polisi ‘memeras’ pengakuan dengan kekerasan dan siksaan. Ini metode tergampang yang selama bertahun-tahun menjadi senjata klasik polisi dalam penyidikan para tersangka. Tak tahan siksaan fisik dan mental, Sengkon-Karta akhirnya mengaku sebagai perampok dan pembunuh suami-isteri itu.

Tatkala proses peradilan berlangsung, Sengkon dan Karta, dengan sisa-sia coba menyangkal tuduhan yang disampaikan jaksa. Para hakim lebih mempercayai BAP Polisi dan surat tuduhan Jaksa –mirip yang dialami mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh menyuruh lakukan pembunuhan. Dan akhirnya terjadilah tragedi salah hukum sebagai hasil dari penyelidikan polisi yang sesat dan diikuti oleh penuntutan jaksa dan vonnis hakim dalam suatu proses yang juga sesat. Bertahun-tahun kemudian setelah Sengkon-Karta menjalani hukum penjara, akhirnya terungkap bahwa pembunuh sebenarnya adalah Gunel.

Selain kasus Sengkon dan Karta, ada pula kasus pembunuhan peragawati Dietje di Kalibata Jakarta Selatan dengan latar belakang keterlibatan kalangan kekuasaan, namun direkayasa dengan menampilkan tersangka palsu, Pak De alias Siradjuddin. Sementara kebenaran perkara beredar sebatas sebagai desas-desus tingkat atas, Pak De menjalani hukuman bertahun-tahun untuk sesuatu perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.

            Dalam satu forum Jakarta Lawyers Club –kini, Indonesia Lawyers Club– dua tahun lalu muncul satu lagi catatan kasus peradilan sesat yang unik di Gorontalo. Pasangan suami-isteri Risman Lakoro dan Rustin Mahaji, suatu ketika kehilangan anak gadis mereka, Alta Lakoro. Bukannya bersusah payah mencari keberadaan sang anak gadis, polisi malahan mengembangkan dugaan bahwa Risman dan Rustin telah membunuh Alta dan menyeret keduanya sebagai tersangka pembunuh yang berlanjut ke proses peradilan sesat. Risman dan Rustin dijatuhi hukuman penjara 3 tahun 6 bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Gorontalo. Risman dan Rustin sempat mendekam dalam penjara selama beberapa bulan, sampai pada suatu hari sang anak gadis, Alta Lakoro, kembali ke kampung halamannya di Boleamo, Gorontalo, dalam keadaan hidup.

            Kasus kesesatan hukum yang agak baru, pada masa pasca Soeharto, terjadi kembali di lingkup wewenang Kepolisian Bekasi, yaitu kasus pembunuhan Ali Harta Winata. Pembunuhan terhadap pemilik toko bahan bangunan Trubus di Jatiwarna, Pondok Gede ini terjadi 17 Desember 2002. Setelah bertemu jalan buntu dalam pemecahan kasus, polisi tiba-tiba mengembangkan suatu teori tentang pembunuhan dalam keluarga dan membangun kisah rekayasa untuk itu. Polisi menuduh anak korban sendiri, Budi Harjono, yang membunuh sang ayah. Polisi merekayasa cerita, bahwa Budi kesal kepada ayahnya yang telah melakukan kekerasan kepada isterinya, ibu Budi Harjono, dengan cara memukul menggunakan kaso kayu. Budi membela sang ibu dan bertindak kalap dan membunuh sang ayah. Polisi mengabaikan keterangan Nyonya Eni, isteri Ali Harta, yang bersikeras mengatakan bahwa bukan anaknya yang membunuh sang ayah. Polisi melakukan serangkaian penyiksaan atas diri Nyonya Eni agar mau mengakui dan membenarkan cerita bahwa memang Budi lah yang membunuh ayahnya sendiri.

Budi Harjono sendiri tak luput dari tekanan dan siksaan untuk memeras pengakuan agar sesuai dengan konstruksi peristiwa versi polisi. Budi sempat ditahan dalam sel polisi dan Lembaga Pemasyarakatan Bulak Kapal selama tak kurang dari enam bulan. Tak tahan dengan penyiksaan, Budi yang semula tegar akhirnya mengakui kepada polisi bahwa memang ia membunuh Ali Harta, ayahnya. Ia dijatuhi hukuman penjara 12 tahun.  Budi sempat menjalani hukuman selama 4 tahun sebelum kasus ini dibuka kembali. Terungkap bahwa kesaksian dan pengakuan sepenuhnya hasil rekayasa polisi. Kasus ini menjadi sorotan publik, dan polisi yang ‘menyadari’ adanya error in persona, akhirnya menangkap pembunuh sesungguhnya.

Terbaru dari itu, pada tahun 2008 adalah kasus salah tangkap dan salah hukum, atas diri tiga pemuda dari Jombang, Kemat, David dan Sugik yang dituduh melakukan pembunuhan. Terungkap kemudian bahwa ketiganya tak pernah membunuh siapa-siapa.

Sesungguhnya, masih terdapat daftar panjang tentang berbagai kesesatan dalam penegakan hukum, yang bermula dari kekeliruan polisi, lalu jaksa dan berakhir sebagai kesesatan peradilan. Masyarakat yang sehari-hari berhadapan dengan para penegak hukum, bisa mengenali persoalan sesungguhnya dalam interaksinya dengan penegakan hukum, meskipun cenderung tak berdaya mengungkapkannya. Tak masuk akal sebenarnya bila para tokoh pemimpin negara yang justru punya daya besar untuk memperbaiki keadaan, malah jauh lebih tumpul ‘kepekaan’nya.

Semestinya, bersama-sama kita bisa belajar dari itu semua, dan harus jujur mengakui, bahwa aparat-aparat penegak hukum kita, meski juga menunjukkan sejumlah keberhasilan, pada sisi lain masih membutuhkan banyak pembenahan. Bahwa dalam situasi itu ketidakpercayaan masyarakat cukup tinggi, harus dimaknai dengan cara berpikir dan sikap positif. Dan menjadi tugas para pemimpin negara, termasuk Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, untuk lebih memahami persoalan dan jangan keliru menyimpulkan, agar bisa turut membenahi persoalan.

Untuk melengkapi referensi, kita mengutip pendapat tiga akademisi dan praktisi hukum sebagai bahan pemikiran bersama menuju koreksi dan perbaikan. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Saldi Isra, memberi catatan: “Pada awal reformasi, masyarakat sipil berdarah-darah mendorong polisi jadi bagian dari supremasi sipil. Jika polisi terus seperti ini, sampai pada titik tertentu, mereka akan menimbulkan rasa tidak aman kepada masyarakat sipil. Ini sesuatu yang kontra produktif.” Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.” Prof Jimmly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menilai penegakan hukum saat ini seperti dilakukan tanpa jiwa dan di dalam ruang yang kosong. “Kalau dibiarkan, kriminalisasi pasti terus berlanjut.”

Bukan model Tonton Macoute dari Haiti. MENJADI harapan, para perwira bersih yang masih banyak terdapat di tubuh kepolisian tergerak untuk turun tangan memperbaiki institusi yang mereka cintai agar kembali dicintai rakyat. Jangan kalah oleh ‘oknum’ yang sebenarnya sedang melakukan pembangkangan hukum dan pengingkaran nilai keluhuran institusi penegak hukum ini. Jangan biarkan ada ‘bandits in uniform.’

Pembiaran akan memberi hasil akhir berupa model polisi Haiti –Tonton Macoute– yang luar biasa keji di bawah rezim kediktatoran Papa Doc (1957-1971) yang diteruskan puteranya Baby Doc (1971-1986) – (socio-politica.com)

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (2)

SELAIN Ali Sadikin, ada 12 orang lainnya plus Jokowi yang pernah memimpin Jakarta, sebagai gubernur atau sebagai walikota, sejak tahun 1947. Fauzi Bowo menjadi orang ke-13, sedang Jokowi menjadi yang ke-14. Sementara itu, antara 1916-1947, pemerintahan kolonial Belanda pernah menampatkan 5 orang walikota untuk memimpin Batavia. Dan tak satupun yang sejauh ini, dalam jangka waktu 97 tahun, berhasil menuntaskan masalah banjir. Entah mengapa, untuk banjir Jakarta, teknologi seakan tak mampu didayagunakan sebagai solusi, karena seakan memang tak ada political will untuk itu. Pemerintah pusat terkesan seperempat hati membantu, dan membiarkannya menjadi urusan Pemerintah DKI saja.

MOBIL MEWAH TERJEBAK BANJIR JAKARTA. "Kini, sejumlah kalangan pengacara kelas atas –yang sebagian pernah marah-marah oleh sentilan Wakil Menteri Kumham Denny Indrayana sebagai penikmat uang hasil korupsi– serta anggota DPR, kalangan pengusaha, maupun selebriti ‘pembobol’ bank, bebas berseliweran mengendarai mobil-mobil mewah semacam Bentley, Ferrari, atau Porsche di jalan-jalan Jakarta. Mereka betul-betul berhasil menikmati pertumbuhan ekonomi –yang dibarengi pertumbuhan segala macam. Hanya ‘polisi tidur’, dan tentu saja banjir, yang bisa menganggu kenyamanan mereka para pengendara mobil mewah". (foto download andalan.com)
MOBIL MEWAH TERJEBAK BANJIR JAKARTA. “Kini, sejumlah kalangan pengacara kelas atas –yang sebagian pernah marah-marah oleh sentilan Wakil Menteri Kumham Denny Indrayana sebagai penikmat uang hasil korupsi– serta anggota DPR, kalangan pengusaha, maupun selebriti ‘pembobol’ bank, bebas berseliweran mengendarai mobil-mobil mewah semacam Bentley, Ferrari, atau Porsche di jalan-jalan Jakarta. Mereka betul-betul berhasil menikmati pertumbuhan ekonomi –yang dibarengi pertumbuhan segala macam. Hanya ‘polisi tidur’, dan tentu saja banjir, yang bisa menganggu kenyamanan mereka para pengendara mobil mewah”. (foto-foto download andalan.com)

Bukan satu-satunya masalah. Proyek dan gedung-gedung tinggi yang megah berbiaya besar dibangun dan dirancang terus, termasuk hasrat menggebu membangun Pusat Pendidikan Olahraga Hambalang dan gedung baru DPR bernilai trilyunan rupiah yang semestinya tak berada di urutan atas skala prioritas berdasarkan urgensinya. Namun, bila itu menyangkut proyek penanggulangan banjir yang lebih tinggi tingkat emergencynya, penganggarannya mendadak tersendat seperti yang dialami dalam pembangunan banjir kanal timur. Jokowi yang bersemangat untuk membangun terowongan multiguna, untuk ikut menjadi solusi banjir dan mengurangi kemacetan lalu lintas, menjadi titik harapan terbaru.

Tetapi sebenarnya, banjir bukan satu-satunya masalah yang tak kunjung terselesaikan di Jakarta. Masih ada sejumlah persoalan laten lainnya yang mengharu-biru selama belasan bahkan puluhan tahun hingga kini, yang mungkin masih akan menjadi masalah 5 hingga 15 tahun ke depan. Dua di daftar teratas, di samping banjir, adalah kerumitan lalu lintas yang sedikit lagi macet total setiap hari, dan masalah kesenjangan sosial-ekonomi di antara masyarakat penduduk ibukota. Dua masalah ini tampaknya juga akan menjadi titik-titik krisis di berbagai kota besar lainnya. Masalah yang tak kalah genting lainnya adalah terciptanya lubang-lubang peluang korupsi di sela-sela cara pengelolaan pemerintahan sehari-hari, yang sekaligus merupakan fenomena nasional. Fenomena ini melajur sejak dari tingkat pemerintahan pusat sampai pada tingkat terbawah dalam pemerintahan yakni di tingkat kecamatan dan desa. Suatu fenomena yang terkait erat dengan kehidupan politik dan kepartaian yang korup, dengan gejala wealth driven economic yang menjalar menjadi gejala wealth driven politic.

Menyaingi masalah korupsi uang dan korupsi kekuasaan yang menjalar dari atas ke bawah, adalah sejumlah penyakit masyarakat yang menjalar dari bawah ‘membakar’ ke atas dan ke samping yang terpicu oleh suasana kemiskinan. Wujudnya berupa kejahatan jalanan, mengemis dengan paksaan, pencurian, pemerasan, kejahatan seksual, pelacuran dengan segala akibatnya, sampai kepada berbagai aksi kekerasan individual maupun massal yang kadangkala dipicu oleh masalah sepele saja. Bersamaan dengan itu, Jakarta menjadi medan perdagangan dan peredaran narkotika dan obat terlarang yang mungkin terbesar di Indonesia, dengan korban dari kalangan bawah sampai kalangan atas.

Bagaimana cara penguasa ibukota dan penguasa republik yang memerintah dari Jakarta menangani persoalan-persoalan yang nyata di depan mata selama bertahun-tahun itu? Tak berbeda dengan kegagalan menuntaskan soal banjir, penanganan berbagai masalah tersebut, lebih banyak gagalnya daripada keberhasilannya.

DALAM menghadapi soal kemacetan lalu lintas yang daya pelumpuhannya terhadap ekonomi dan kegiatan sosial warga kota, penguasa Jakarta sudah perlu dinyatakan sepenuhnya tak berdaya. Sementara penguasa pemerintahan pusat bersikap bagai burung onta. Begitu putus asanya para petugas, seringkali bila terjadi kemacetan lalu lintas total, para petugas memilih untuk setengah menonton setengah mengatur, bahkan menghilang. Para pengguna jalan pun terpaksa berjuang sendiri dengan segala cara meloloskan diri dari jebakan kemacetan selama berjam-jam dalam frustrasi. Pada saat dan situasi seperti itu terasa bahwa negara tak lagi punya pemerintah. Para demonstran yang lebih memilih secara permanen demokrasi jalanan, ikut berkontribusi memperparah kemacetan lalu lintas yang pada hari-hari biasa saja sudah luar biasa macetnya. Lebih ironis, sebagian besar aksi unjuk rasa yang tak henti-hentinya terjadi itu bukan lagi berdasarkan suatu idealisme yang pantas untuk diperjuangkan, melainkan lebih merupakan senjata politik bayaran untuk saling tekan. Rasanya, sudah lama masyarakat tak percaya dan tak menghargai aksi unjuk rasa sebagai alat perjuangan. Bagaimana tidak, kalau para koruptor saja bisa mengorganisir demonstrasi untuk menteror penegakan hukum? Fenomena ini telah menjadi pengalaman Kejaksaan Agung saat gencar menjalankan pemberantasan korupsi di masa-masa awal masa reformasi, dan juga menjadi pengalaman nyata KPK dalam beberapa tahun belakangan ini.

Kemacetan lalu lintas yang makin parah menuju kelumpuhan di Jakarta, dipacu oleh dua hal. Di satu pihak laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang luar biasa pesat, dan pada pihak lain nyaris tak adanya pertambahan jalan baru. Berbagai gagasan maupun kebijakan pernah dilontarkan pemerintah untuk mengatasi pertumbuhan populasi kendaraan bermotor. Untuk pengendalian pertambahan kendaraan bermotor roda empat, pernah ditetapkan pembatasan merek kendaraan bermotor. Disusul pelarangan impor mobil mewah. Tetapi ini menghilang dengan sendirinya karena kuatnya lobi pemodal dalam pemasaran dan industri otomotif ini, serta ampuhnya alasan anti monopoli.

Kebijakan penerapan penumpang kendaraan three in one di jalan protokol utama, lebih bersifat memindahkan kemacetan saja ke tempat lain. Introduksi tergesa-gesa penggunaan jalur busway lebih banyak menambah kemacetan di luar jalur khusus itu, karena pada waktu yang sama masih ada jalur bus umum lainnya di jalan yang sama. Lain soal mungkin, bila bus umum lainnya diintegrasikan pada jalur busway. Entah bagaimana nanti hasil kebijakan penggunaan bergilir jalanan antara mobil bernomor (polisi) ganjil dengan yang bernomor genap sebagaimana diwacanakan belakangan ini.

Pernah pula ada gagasan pengenaan pajak tinggi bagi kepemilikan mobil kedua dan seterusnya. Tapi bagaimana mungkin ini berjalan, karena justru orang-orang yang menjadi penentu dalam pemerintahan maupun kalangan berduit yang ikut mempengaruhi kebijakan, menjadi orang-orang pengikut mode sebagai ‘kolektor’ mobil. Sekali lagi, wealth driven economic dan wealth driven politic. Di Jakarta, hanya ada dua mobil di satu rumah adalah hal yang sangat lumrah, karena yang menjadi trend adalah memiliki 5 sampai 9 mobil mewah. Kadangkala, jumlah mobil lebih banyak dari jumlah penghuni yang ada di satu rumah.

Pertengahan tahun 1970-an, Direktur Utama Pertamina Dr Ibnu Sutowo, nekad memasukkan Rolls Royce ke Indonesia. Tapi mobil prestisius berwarna putih itu akhirnya hanya menjadi pajangan di rumahnya di Jalan Tandjung Menteng, karena adanya larangan penggunaan mobil mewah di jalan raya yang dikeluarkan atas perintah Presiden Soeharto. Saat itu sikap dan model hidup mewah menjadi sorotan publik, terutama oleh kalangan mahasiswa, yang kemudian melahirkan slogan hidup sederhana. Kini, sejumlah kalangan pengacara kelas atas –yang sebagian pernah marah-marah oleh sentilan Wakil Menteri Kumham Denny Indrayana, sebagai penikmat uang hasil korupsi– serta anggota DPR, kalangan pengusaha, maupun selebriti ‘pembobol’ bank, bebas berseliweran mengendarai mobil-mobil mewah semacam Bentley, Ferrari, atau Porsche di jalan-jalan Jakarta. Mereka betul-betul berhasil menikmati pertumbuhan ekonomi –yang dibarengi pertumbuhan segala macam. Hanya ‘polisi tidur’, dan tentu saja banjir, yang bisa menganggu kenyamanan mereka para pengendara mobil mewah. Dan satu lagi ‘pengganggu’ kenikmatan, yakni barisan pengendara sepeda motor yang bertemperasan bagaikan lipas memenuhi seluruh permukaan jalan. Para produsen dan penjual sepeda motor memang tak kalah galaknya memasarkan produk mereka dengan segala cara, mengisi ‘kekosongan’ kemampuan pelayanan memadai dari transportasi umum.

Para pengguna kendaraan bermotor roda dua ini, umumnya adalah kalangan menengah dan bawah yang memperoleh alat transportasinya melalui cara mencicil. Rata-rata mereka menggunakan 20-40 persen penghasilan perbulan untuk keperluan itu selama 2 sampai 5 tahun. Gagal sedikit dalam mencicil, motor disita. Di musim banjir seperti sekarang ini, mereka melengkapi ‘penderitaan’ hidupnya dengan banjir yang menenggelamkan pemukiman mereka. Tapi agak saru juga bila ada rumah mewah dengan deretan mobil mewah di garasi dan pekarangannya, terendam banjir, saat air bah tak mengenal batasan kaya-miskin.

Kesenjangan dari ketidakadilan sosial-ekonomi. Pembandingan antara mereka para pengguna mobil mewah dan mereka para pengguna sepeda motor cicilan, sekaligus merupakan pembandingan tingkat kehidupan antar lapisan masyarakat. Faktanya, di satu pihak ada segelintir kalangan ekonomi kuat dan pada pihak lain ada mayoritas miskin kalangan akar rumput ibukota dari suatu negara yang pada pembukaan konstitusinya mencantumkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Namun, selama 68 tahun Indonesia merdeka, cita-cita itu tak kunjung berhasil tercapai.

Kita ingin meminjam sebuah pertanyaan mengenai Indonesia di awal masuk ke dalam gerak pembangunan ekonomi akhir 1960-an dan awal 1970-an: “Bagaimana cara dan di mana bisa melihat tanda-tanda meningkatnya kemakmuran untuk sebagian kecil rakyat Indonesia?”. Jawabannya: “Etalase besarnya adalah Jakarta”. Pertanyaan lanjutnya: “Dan, bagaimana bila ingin melihat terciptanya jurang kesenjangan sosial yang makin melebar?”. Dan jawabannya adalah: “Ada di balik dinding etalase besar yang bernama Jakarta itu. Fenomena Jakarta tahun 1970-an sungguh memperlihatkan itu semua. Sebenarnya, fenomena serupa dalam bentuk lebih kecil, namun dalam esensi yang sama, juga bisa disaksikan di beberapa kota besar lainnya di Indonesia”.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)Berlanjut ke Bagian 3.

KPK Dalam Arus Hipokrisi dan Konspirasi Politik-Kekuasaan

ADALAH kemustahilan KPK bisa melenggang aman memberantas korupsi di saat negara berada dalam kendali kekuasaan politik yang sepenuhnya berada di tangan partai-partai yang tubuhnya terinfeksi virus korupsi. Mustahil pula KPK terlindung aman kelanjutan hidupnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang dipenuhi oleh perwakilan partai yang selalu meneriakkan retorika anti korupsi namun pada waktu yang sama sebagian kadernya bergelimang suap dan korupsi. Adalah fakta bahwa eksistensi partai selama ini, diakui atau tidak, untuk sebagian bersandar kepada dana hasil korupsi. Dan, partai-partai inilah yang kini sedang mengayun-ayunkan nasib KPK melalui move revisi UU KPK.

POSTER ‘KPK JANGAN SAMPAI PUNAH’, DI MEDIA SOSIAL. “Mengamati rentetan peristiwa yang menimpa KPK sejak awal, khususnya sejak tahun 2004 hingga kini, sesungguhnya KPK tak hanya dilanda arus hipokrisi dan sandiwara kekuasaan dalam kaitan masalah korupsi, melainkan sudah mengalami konspirasi politik-kekuasaan. Pemberantasan korupsi di era politik uang, adalah sesuatu yang tak diinginkan”. (Poster adjie1979@gmail.com)

Sama mustahilnya, mengharapkan KPK bisa bekerja optimal sementara ia dibentur kiri-kanan, sehingga kerapkali oleng, baik oleh sebagian (sesama) aparat penegakan hukum, tak terkecuali kalangan advokat, karena tujuan dan kepentingan subjektif yang berbeda. Beberapa lembaga penegakan hukum selama ini, diakui atau tidak, digerogoti korupsi internal. Sekaligus, penyalahgunaan kekuasaan, terutama korupsi dalam penanganan korupsi. Sikap tidak kooperatif, untuk tidak mengatakannya kesengajaan membentur, yang dilakukan Polri terhadap KPK dalam kaitan kasus Korupsi di Korlantas Polri, bisa dilihat dalam konteks ketidakbersihan internal tersebut. Dari pemberitaan pers terbaru, Tempo misalnya, terlontar semacam sinyalemen, tentang kuatnya sikap alert dan alergi Polri terhadap penanganan kasus tersebut oleh KPK. Tak lain karena sejumlah petinggi Polri kuatir kasus itu bisa (atau memang telah?) merambat ke atas sampai level Kapolri.

Benturan dan  gempuran bertubi-tubi juga senantiasa datang dari kalangan advokat, seperti yang antara lain terlihat dalam berbagai forum diskusi di televisi, forum ILC tvOne misalnya. Diakui atau tidak, sejumlah pengacara setidaknya dalam satu dekade terakhir telah menikmati suatu ladang rezeki Continue reading KPK Dalam Arus Hipokrisi dan Konspirasi Politik-Kekuasaan

Lakon ‘Rampogan Jawa’ dan ‘Istana Episentrum Korupsi’

TATKALA ‘berbicara’ ceroboh melalui twitter bahwa advokat korupsi sama dengan koruptor, Denny Indrayana, tiba-tiba bernasib bagaikan macan dalam tradisi Rampogan Jawa. Tradisi Jawa dari abad 19 –yang kemudian dilarang oleh pemerintah kolonial di awal abad 20 tahun 1905– itu adalah suatu permainan yang biasanya diselenggarakan setiap tahun. Bisa juga bertepatan 1 Syawal tanpa perlu ada kaitannya dengan aspek ritual agama. Dalam Rampogan Jawa, yang juga dikenal sebagai rampogan macan, seekor macan dilepas di tengah alun-alun kota pusat ‘pemerintahan’ feodal Jawa masa kolonial ataupun kadipaten, yang sekelilingnya dipagari dengan rapat oleh pasukan bertombak. Bila sang macan yang panik karena sorakan berlari ke timur ia akan dihalau dengan acungan dan tusukan tombak sehingga terpaksa lari ke barat. Bila ia lari ke utara, ia akan dihalau ke selatan. Kelelahan berlari ke sana ke mari dalam keadaan luka, macan Jawa itu akhirnya tewas kehabisan darah. Sesekali, bila sang macan berhasil menerobos pasukan bertombak, giliran penduduk yang menonton di belakang barisan menjadi panik dan lari bertemperasan ke segala arah. Hanya para petinggi yang bisa tenang menyaksikan di atas panggung yang tinggi.

LUKISAN ‘RAMPOGAN JAWA’. “Sementara itu, masyarakat tak kalah letihnya, bila harus selalu menonton lakon Rampogan Jawa atau lakon-lakon adu macan dengan banteng, atau bahkan sekedar lakon adu domba dan adu ayam. Maka masyarakat seringkali juga memilih berdiam diri, memejamkan mata…..”. (Repro lukisan Louis Henri Wilhelmus Merckes de Stuers, 1830-1869, The Indian Archipelago)

Pada masa Pakubuwono X, Rampogan Jawa coba diberikan makna artifisial, yakni sebagai simbol perlawanan. Bahwa bersama-sama, orang Jawa bisa menundukkan Belanda yang diibaratkan sebagai macan buas. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari, Paku Buwono X adalah penguasa Jawa yang sangat tunduk kepada kekuasaan kolonial Belanda.

Macan Rampogan Jawa kebanyakan adalah macan-macan yang ceroboh, tak menyadari kelihaian manusia, mendekati kampung sehingga terperangkap. Denny dan macan-macan bintang permainan Rampogan Jawa sama-sama ceroboh sehingga menjadi sasaran keroyokan. Silogisme sederhana yang tak cermat dari Denny tentang advokat dan koruptor, membuat dirinya dikepung habis-habisan selama beberapa hari ini oleh para advokat yang merasa dicemarkan nama baik dan martabat profesinya oleh sang Wakil Menteri Hukum dan HAM. Pengacara senior OC Kaligis misalnya sampai melaporkannya secara hukum ke Polda Metro Jaya. Denny tentu saja bukan seekor satwa hutan yang sudah sangat langka itu, tetapi semasa masih menjadi aktivis Continue reading Lakon ‘Rampogan Jawa’ dan ‘Istana Episentrum Korupsi’

Kisah Aksi Tempeleng, Tendang dan Tembak Oleh Petinggi Negara

KASUS tempeleng dan tendang oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dan rombongan sidaknya terhadap sipir-sipir LP Pekanbaru Riau 3 April dinihari, selain menimbulkan polemik, juga menguak ingatan terhadap perilaku kekerasan serupa yang dilakukan para petinggi negara di masa lampau. Bedanya, dulu perbuatan semena-mena oleh para petinggi dalam kekuasaan tak berani dipersoalkan secara terbuka. Kini, tindakan serupa pasti menjadi sorotan publik dan pers, serta menghadapi tuntutan untuk dituntaskan.

WAJAH KARIKATURAL INDRAYANA DALAM THE JAKARTA HERALD. “Satu kali tepuk, sang Wakil Menteri telah melanggar dua hal yang menopang nama Kementerian yang ikut dipimpinnya, yakni Hukum dan Hak Azasi Manusia”.

Tak kurang dari Jenderal Soeharto di masa puncak kekuasaannya, berkali-kali melontarkan ancaman akan bertindak keras terhadap mereka yang mengecam diri atau keluarganya. Antara lain, saat peranan Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto disorot dalam kaitan proyek Taman Mini Indonesia Indah. Sewaktu tokoh kesatuan aksi 1966, Adnan Buyung Nasution dalam suatu pertemuan 13 Juni 1967 mengecam ABRI rakus, Jenderal Soeharto berang. Kontan pada pertemuan itu juga, Soeharto mengatakan “Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempeleng…”. Soeharto tak pernah betul-betul menempeleng Buyung, namun sesudah Peristiwa Malari atau Peristiwa 15 Januari 1974, tokoh kritis ini termasuk di antara mereka yang ditangkap selain Rahman Tolleng dan Hariman Siregar.

Sebaliknya, Jenderal Soeharto pernah diceritakan ‘kena tangan’ Jenderal Ahmad Yani, terkait kasus dump truck dan penyelundupan untuk tujuan dana di lingkungan Kodam Diponegoro yang dianggap melibatkan Soeharto yang kala itu menjabat Panglima, bersama Lim Soei Liong. Jenderal AH Nasution mengajukan surat pemecatan Jenderal Soeharto, dan surat itu sudah tiba di meja Presiden Soekarno. Tetapi Jenderal Gatot Soebroto, memenuhi permintaan tolong ibu Tien Soeharto, berhasil membujuk Soekarno untuk tidak memecat Soeharto.

Tempelengan yang betul-betul telak pernah hinggap di pipi seorang sopir bus di ibukota. Penempelengnya tak lain Gubernur DKI Ali Sadikin, yang seorang Letnan Jenderal Marinir. Sang Gubernur kesal oleh perilaku ugal-ugalan sang sopir di jalanan. Banyak yang memberi pembenaran atas tindakan Ali Sadikin, karena memang waktu itu para pengemudi bus sering berperilaku bagai setan jalanan. Continue reading Kisah Aksi Tempeleng, Tendang dan Tembak Oleh Petinggi Negara

Gayus Tambunan: Kisah Belakang Layar

“Para whistle blower malah dimasukkan secara keroyokan ke ladang pembantaian, atau seperti kata Adnan Buyung Nasution justru dipendam agar tertutup mulutnya. Artinya, mereka tidak dikehendaki untuk mengungkap sejumlah kejahatan yang mereka ketahui. Kenapa ini bisa terjadi? Hanya satu jawabannya: Para bandit memang ada dan cukup kuat posisinya dalam beberapa posisi kunci dalam tubuh kekuasaan”.

SETELAH dua kali berturut-turut dalam sehari kemarin publik disuguhi antiklimaks oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu 19 Januari 2011 ini, klimaks yang sesungguhnya datang. Bukan dari sang presiden, melainkan justru dari Gayus Tambunan. Sesaat setelah Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan menjatuhkan vonnis 7 tahun atas dirinya, didampingi pengacaranya Adnan Buyung Nasution SH, Gayus mengungkapkan kepada pers tentang ajakan Sekretaris Satgas Anti Mafia, Denny Indrayana, berkonspirasi memojokkan Aburizal Bakrie. Padahal, menurut Buyung, sejak awal menjadi pendamping hukum bagi Gayus, yang bersangkutan telah bersepakat dengan dirinya untuk mengungkap semua yang terlibat, demi keadilan dan kebenaran, tidak terarah kepada orang tertentu.

Sementara itu, dua anti klimaks dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi pada waktu berdekatan. Pertama, adalah saat memberikan 12 instruksi berkategori ‘biasa’ dan kemungkinan besar takkan mampu ‘menggigit’ dalam penanganan lanjut kasus Gayus dan atau Mafia Pajak. Dan, antiklimaks yang kedua adalah pertemuan dialognya dengan para pemuka lintas agama yang diperluas pesertanya dengan kehadiran tokoh-tokoh di luar penandatangan pernyataan yang berisi gugatan ketidakjujuran pemerintah selama ini. Apalagi, inisiatif pertemuan tersebut ternyata bukan berasal dari SBY sendiri, melainkan, seperti yang dengan ‘cerdik’ diungkapkan SBY, inisiatifnya berasal dari Din Syamsuddin salah seorang tokoh lintas agama. Tapi terlepas dari itu, pertemuan itu tak mampu ‘menghapus’ opini tentang apa yang telah didefinitifkan di tengah publik sebagai 9 tambah 9 kebohongan pemerintahan SBY selama 6 tahun ini. Opini itu mungkin akan melekat lama di benak publik, karena merupakan konfirmasi terhadap opini yang selama ini memang mulai berkembang di masyarakat.

UNGKAPAN Gayus Tambunan mungkin saja lebih merupakan pelampiasan kekesalan terhadap taktik dan ‘janji-janji’ Denny Indrayana –yang berupaya keras berprestasi sebagai anggota Satgas Anti Mafia– dan tidak dengan sendirinya harus diterima sebagai kebenaran. Namun, lagi-lagi, suatu situasi konfirmasi tercipta di sini. Apa yang diungkapkan Gayus Tambunan –upaya politisasi oleh Denny yang mengarah kepada Aburizal Bakrie, serta beberapa tali temali terkait nama Komjen Susno Duadji, jaksa Cirus Sinaga dalam konteks ‘misteri’ kasus Antasari Azhar– seakan-akan mengkonfirmasi kesangsian kuat di tengah publik bahwa memang ada kejanggalan-kejanggalan dalam kasus-kasus yang disebutkan itu. Walaupun, sebagian besar publik juga tak puas terhadap vonnis 7 tahun yang dianggap rendah.

Seperti kita ketahui, penanganan awal kasus Gayus Tambunan dilakukan di masa Kabareskrim dijabat Komjen Susno Duadji. Adalah pula Susno Duadji yang memicu ekspose kasus Gayus Tambunan ini dalam konteks Mafia Pajak dan adanya Mafia Hukum di tubuh Polri. Sebagai whistle blower, Susno menyebut keterlibatan nama-nama Brigjen Raja Erizman, Brigjen Edmond Ilyas serta sejumlah perwira polisi lainnya, serta merembet Jaksa Cirus Sinaga cs dan Hakim Muhtadi Asnun yang ‘membebaskan’ Gayus. Jaksa Cirus Sinaga, adalah jaksa penuntut umum yang gigih ‘menjebloskan’ mantan Ketua KPK Antasari Azhar melalui proses peradilan di Pengadilan Jakarta Selatan. Pada saat Antasari Azhar diadili, Susno Duadji tampil sebagai saksi yang memberi pengungkapan-pengungkapan tentang adanya rekayasa kepolisian dalam penanganan kasus Antasari Azhar. Menarik pula, by accident, berdekatan waktu dengan ‘penjemputan’ Gayus Tambunan di Singapura oleh Denny Indrayana dan tim Mabes Polri di bawah Komjen Ito Sumardi, dan kemudian penjemputan Sjahril Djohan yang juga dikaitkan dalam kasus, terjadi insiden pencegahan dramatis di Bandara Soekarno-Hatta oleh sejumlah perwira menengah Polri atas diri Susno Duadji yang akan berangkat ke Singapura. Saat itu, Susno Duadji juga baru usai bersaksi di persidangan kasus Antasari Azhar. Itulah sebabnya, saat Gayus Tambunan, menyinggung nama-nama tersebut, khususnya nama Susno Duadji dan Antasari Azhar, pengungkapan itu cenderung diterima sebagai konfirmasi tentang sejumlah permainan di belakang layar. Publik cenderung lebih percaya, walau Satgas Anti Mafia sudah memberikan bantahan. Meskipun, sekali lagi, belum tentu pengungkapan Gayus Tambunan yang di sana-sini terasa berlebihan itu, sepenuhnya benar.

DI LUAR itu semua, menarik untuk melihat adanya benang merah yang mempertalikan peristiwa-peristiwa itu sebagai satu rangkaian pola. Dalam pembelaan yang dibacakannya sendiri, Gayus Tambunan menawarkan diri untuk menjadi ‘staf ahli’ Kapolri maupun Jaksa Agung dan menjanjikan dalam tempo dua tahun bisa membantu pengungkapan berbagai kejahatan perpajakan. Artinya, ia merasa banyak tahu praktek kejahatan di lingkungan kerjanya. Dalam pernyataan persnya hari Rabu ini, ia juga menyebut dua nama ‘tinggi’ dalam konteks tersebut, yakni Direktur dan Direktur Jenderal Pajak. Ia juga menyinggung janji Denny Indrayana –yang tak boleh tidak dikonotasikan sebagai perpanjangan tangan Presiden– untuk membantu sejumlah kemudahan dan keringanan dalam proses hukum, asalkan ia mau menjadi whistle blower, khususnya terhadap Aburizal Bakrie.

Komjen Susno Duadji juga adalah orang yang telah melakoni peran whistle blower dan untuk itu telah tampil bersuara melalui pers serta berbicara di depan forum Pansus DPR-RI dalam kaitan skandal Bank Century dan di situ menyebutkan adanya Mafia Hukum yang merasuk di tubuh Polri. Susno Duadji termasuk yang menangani kasus Bank Century –yang dianalisa ada kaitannya dengan dana politik tingkat tinggi– tatkala menjabat sebagai Kabareskrim.

Semestinya kehadiran para whistle blower bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bilamana Presiden dan jajarannya di bidang penegakan hukum memang bersungguh-sungguh ingin membersihkan diri dan memberantas Mafia Hukum. Katakanlah dalam suatu pola yang sedikit ekstrim sehingga bisa terasa kurang nyaman, yakni memanfaatkan maling untuk menangkap maling. Anggaplah Gayus maling. Anggaplah pula Susno –meminjam tudingan Brigjen Raja Erizman– memang juga maling, seperti yang coba dibuktikan sekuat tenaga dengan menyeretnya ke pengadilan untuk sesuatu yang dianggap sebuah ‘dosa’ lama terkait pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Barat beberapa tahun lalu. Kenapa tidak difaedahkan bilamana mereka memang bersedia mengungkapkan kekotoran yang mereka ketahui?

Apa yang terjadi? Para whistle blower malah dimasukkan secara keroyokan ke ladang pembantaian, atau seperti kata Adnan Buyung Nasution justru dipendam agar tertutup mulutnya. Artinya, mereka tidak dikehendaki untuk mengungkap sejumlah kejahatan yang mereka ketahui. Kenapa ini bisa terjadi? Hanya satu jawabannya: Para bandit memang ada dan cukup kuat posisinya dalam beberapa posisi kunci di tubuh kekuasaan.

Lalu, di mana posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam semua rangkaian ini? Opini akan tergiring ke arah pelibatan dirinya, bilamana dalam waktu-waktu mendatang yang tak terlalu lama, ia tak kunjung menunjukkan suatu tindakan meyakinkan bahwa ia memang bersungguh-sungguh memimpin pemberantasan korupsi di barisan terdepan. Mungkin Presiden harus ‘memerintahkan’ Kepala Polri atau Jaksa Agung, dengan risko jabatan, melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tiga-empat orang Perwira Polri atau dua-tiga orang Jaksa yang terindikasi. Begitu pula Menteri Keuangan, harus dibebani target pembersihan dalam jangka waktu tertentu.

Lingkaran Dalam Presiden, Mungkin Bukan Lagi Sekedar Kekhilafan

“Timbul kesangsian, bahwa ternyata untuk kesekian kalinya sepanjang pengalaman 65 tahun sebagai negara dan bangsa merdeka, kita belum juga berada di tangan yang tepat, baik dan benar. Sementara sebagai satu bangsa, kita pun harus mengakui, bahwa kita sendiri menjadi bagian dari masyarakat yang sedang mengalami sakit lahir batin karena kegagalan pembangunan sosiologis dari waktu ke waktu”. “Reaksi para petinggi Kejaksaan Agung itu memperlihatkan resistensi terhadap semua kemungkinan yang bisa menguak ‘ketertutupan’ Kejaksaan Agung selama beberapa tahun terakhir ini. Agaknya telah tercipta semacam status quo di tubuh institusi tersebut, yang berdasar kepada kepentingan-kepentingan tertentu dari orang-orang tertentu”.

DALAM hiruk pikuk polemik pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi 22 September 2010 tentang keabsahan Jaksa Agung Hendarman Supandji, pendapat advokat senior Adnan Buyung Nasution dapat dijadikan dasar jalan tengah untuk menghentikan silang sengketa yang bukan saja tidak produktif tetapi sudah cenderung ‘destruktif’. Walau menilai putusan MK itu tidak tepat, menurut Buyung, demi menghormati azas negara hukum, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya segera menerbitkan Keputusan Presiden menetapkan Jaksa Agung baru. “Bisa tetap Hendarman Supandji atau orang lain”. Sebagai ahli hukum pemerintah dalam proses persidangan MK untuk kasus tersebut, Buyung sendiri menganggap Jaksa Agung bukan menteri, sesuai UU No. 39 tahun 2009 tentang Kementerian Negara. “Namun Presiden sebaiknya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi itu untuk memberikan keteladanan”. (Kompas, 25 September 2010).

Seperti biasa, Presiden lamban memberikan tanggapan dan tindakan. Barulah pada hari Sabtu 25 September ini, melalui Menteri Sekertaris Negara diumumkan keputusan presiden memberhentikan dengan hormat Hendarman Supandji dari jabatan Jaksa Agung dan menetapkan Wakil Jaksa Agung Darmono untuk melanjutkan selaku pelaksana tugas Jaksa Agung. Meskipun sedikit terlambat, bagaimanapun juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekali ini telah bertindak baik dan benar. Namun, tentu saja, seperti dikatakan Buyung Nasution, ini merupakan pelajaran mahal ke depan untuk bangsa ini.

Sebelumnya dalam dua hari ‘tanpa kepastian’, adalah Menteri Sekertaris Negara Sudi Silalahi dan Staf Khusus bidang Hukum Denny Indrayana yang lebih dulu tampil memberikan tanggapan, namun terkesan lebih berupa bagian dari suatu mekanisme defensif mereka berdua daripada berbicara untuk dan atas nama Presiden. Bahkan, pernyataan mereka serta Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar,  selain agak ‘mengecilkan’ juga terasa mengandung ‘perlawanan’ terhadap Keputusan MK yang diambil dalam sidang uji materi berdasarkan pengajuan Yusril Ihza Mahendra. Mekanisme defensif itu tampil mungkin karena memang mereka, sebagai lingkaran dalam Presiden, sedikit banyaknya ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya situasi Jaksa Agung tanpa SK pengangkatan baru untuk masa kepresidenan kedua SBY. Menurut pengamat dan praktisi hukum Refly Harun, “Ketika anggota-anggota kabinet lainnya diberhentikan dengan Keputusan Presiden Nomor 83/P tahun 2009, Hendarman dikecualikan karena pemikiran Istana pada waktu itu Jaksa Agung bukan anggota kabinet. Hendarman terus menjabat dengan bekal keppres tahun 2007. Presiden tidak lagi mengeluarkan keppres baru”. Tapi, bisa juga, itu terjadi bukan berdasar suatu pemikiran, karena cukup kuat indikasi bahwa itu semua terjadi karena ‘lupa’ atau ‘lalai’ saja, bahkan bukan mustahil karena out of capability, mengingat bahwa selama ini telah terjadi begitu banyak kesalahan di Sekretariat Negara ataupun di kalangan staf lingkaran dalam Presiden.

Merupakan catatan bersama, telah terjadi kelambanan dan ketidakrapihan administrasi di lingkungan Sekretariat Negara dan Kepresidenan. Sejumlah institusi penegakan hukum mengeluhkan banyaknya keterlambatan surat izin Presiden untuk pemeriksaan pejabat negara dalam berbagai kasus dugaan korupsi. Jadwal penggantian pimpinan beberapa lembaga, seperti yang pernah dialami Komisi Yudisial, terulur karena terlambatnya surat-surat resmi yang harus ditandatangani Presiden. Dalam kaitan Komisi Yudisial, Presiden sampai harus mengeluarkan keppres memperpanjang masa jabatan komisi tersebut, yang menurut beberapa ahli hukum tatanegara merupakan pelanggaran konstitusi dan merupakan preseden berbahaya. Ada pula lembaga yang pimpinannya sudah memasuki usia pensiun, tetapi belum ditunjuk penggantinya, karena Keppres yang dibutuhkan belum kunjung datang. Belum lagi, salah atur protokoler. Kepala BKPM yang baru ‘ketinggalan’ tidak ikut dilantik saat Kabinet Indonesia Bersatu II sudah dilantik, namun terdaftar dalam rombongan Presiden dalam kunjungan Presiden ke LN beberapa hari kemudian. Seorang Wakil Menteri sudah diumumkan pengangkatannya, namun tak kunjung dilantik, untuk akhirnya secara tiba-tiba seorang lain diangkat dan dilantik sebagai Wakil Menteri. Kasus Anggito Abimanyu di Kementerian Keuangan. Nasib serupa, dialami dr Fahmi Idris, yang batal dilantik sebagai Wakil Menteri Kesehatan.

Sebelumnya, seorang calon Menteri Kesehatan sudah menjalani seluruh prosedur, termasuk test kesehatan, urung diangkat dan tiba-tiba yang dilantik seorang lainnya lagi sebagai Menteri Kesehatan. Sang calon menteri, Nila Moeloek, dianggap tak mampu bekerja dalam tekanan berdasarkan test psikiatri MMPI (Minnesota Multi Phasic Inventory). Padahal ia seorang ahli bedah mata yang sudah terbukti kecermatan dan kemampuannya bekerja dalam tekanan. Test MMPI itu sendiri, yang pertama kali dipakai terhadap prajurit-prajurit pada Perang Dunia I, selama bertahun-tahun tidak digunakan lagi di negara asalnya karena dianggap kurang akurat, dan bila digunakan, mutlak harus didampingi dengan test psikologi lainnya.

Dan last but not least, salah atur antrian pada acara open house Presiden di Istana saat lebaran lalu, telah mengambil korban jiwa seorang pengunjung. Bukankah sudah berkali-kali menjadi pengalaman di masyarakat bahwa suatu acara dengan adanya iming-iming pembagian uang –entah itu pembagian zakat, entah pembagian uang untuk maksud lainnya– akan selalu mengundang jubelan orang dan sangat riskan? Perlu pengaturan yang tidak asal-asalan.

MESKIPUN sudah diterbitkan suatu keputusan Presiden yang menunjukkan ketaatan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi, tak mudah menghilangkan kesangsian yang muncul terhadap kapabilitas Menteri Sekertaris Negara dan para Staf Kepresidenan. Misalnya, jangan-jangan di Sekretariat Negara atau di lingkaran dalam Presiden memang tidak ada ahli hukum pidana dan tatanegara yang mumpuni. Atau lebih luas lagi, tidak dimiliki profesional atau para ahli mengenai administrasi negara dan atau pengelolaan pemerintahan secara menyeluruh, mengingat banyaknya kesalahan seperti dicontohkan di atas. Dan dengan demikian tak ada jaminan bahwa kesalahan-kesalahan baru takkan terulang lagi. Lama-lama bila kadar kesalahan makin tinggi dan makin intensif, bisa muncul pertanyaan, apa bukannya sang Presiden sendiri yang memang tidak sepenuhnya kapabel dan tidak memiliki pemahaman masalah yang mendalam? Lebih jauh, timbul kesangsian, bahwa ternyata untuk kesekian kalinya sepanjang pengalaman 65 tahun sebagai negara dan bangsa merdeka, kita belum juga berada di tangan yang tepat, baik dan benar. Sementara sebagai satu bangsa, kita pun harus mengakui, bahwa kita sendiri menjadi bagian dari masyarakat yang sedang mengalami sakit lahir batin karena kegagalan pembangunan sosiologis dari waktu ke waktu. Jadi, keadaan semakin parah.

TERLEPAS dari itu semua, meski masih merupakan kaitan rangkaian peristiwa, reaksi sejumlah petinggi Kejaksaan Agung yang umumnya adalah Jaksa Agung Muda, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan pernyataan Ketua MK Mahfud MD, sangat menarik untuk disimak. Terlihat bahwa kalangan Kejaksaan Agung sangat reaktif terhadap apa yang tampaknya mereka anggap intervensi terhadap lembaga yang kini dipimpin oleh seorang Jaksa Agung karier itu. Dikaitkan dengan pernyataan Persatuan Jaksa (Persaja) Indonesia yang tidak menginginkan seorang Jaksa Agung yang berasal dari eksternal lembaga itu, reaksi para petinggi Kejaksaan Agung itu memperlihatkan resistensi terhadap semua kemungkinan yang bisa menguak ‘ketertutupan’ Kejaksaan Agung selama beberapa tahun terakhir ini. Terbaca bahwa telah tercipta semacam status quo di tubuh institusi tersebut, yang berdasar kepada kepentingan-kepentingan tertentu dari orang-orang tertentu, yang selama ini menjadi hambatan bagi institusi itu untuk tampil sebagai penegak hukum yang tangguh dan bersih seperti yang menjadi dambaan masyarakat.

Presiden sebagai penentu dalam penetapan siapa yang harus menjadi Jaksa Agung, harus cermat membaca situasi, bila ingin mereformasi Kejaksaan Agung menjadi institusi yang ideal. Dan, juga jangan lupa lebih memperbaiki lagi kualitas  manusia yang ada di lingkaran dalam kekuasaannya, tak terkecuali Sekretariat Negara. Pada akhirnya, tanggungjawab atas segala kesalahan di lingkaran dalam itu bagaimanapun juga pada instansi terakhir ada di pundak sang Presiden.

Kisah Indra Azwan: Gagal Bertemu Presiden, Gagal Bertemu Gorila Ragunan

“Kalau Indra berhasil menghadap, kira-kira apa yang bisa dilakukan seorang Presiden yang selama ini selalu menampilkan diri sebagai orang yang ‘tak mau’ mengintervensi hukum. Bukankah kasus tabrak lari atas putera Indra Azwan sudah dinyatakan ditolak pengadilan karena kadaluarsa. Kasus-kasus baru saja susah ditolong, apalagi yang sudah berusia 17 tahun”.

INI adalah kisah akhir pekan untuk disajikan di awal pekan ini. Kisah ‘ringan’ tapi sebenarnya bermakna ‘berat’, tentang pejalan kaki Malang-Jakarta, Indra Azwan, yang mencoba mencari keadilan atas kematian puteranya yang menjadi korban tabrak lari seorang perwira Polri 17 tahun silam. Indra mencari keadilan karena peristiwa itu baru bisa sampai ke pengadilan setelah 15 tahun tertahan di kepolisian, untuk mendapat ‘vonnis’ bebas bagi pelaku karena sudah kadaluarsa menurut ketentuan hukum yang ada. Dua tahun terakhir ini ia melanjutkan mencari keadilan, namun tak mendapat perhatian, apalagi pemecahan. (Baca, Kisah Polisi: Intervensi di Lapangan Sepakbola, Kasus Tabrak Lari 17 Tahun, dan Tilang Fatwa Haram, sociopolitica, 3 Agustus 2010).

Setelah dua kali gagal bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Jumat 30 Juli dan Senin 2 Agustus 2010 –dan hanya di’tampung’ oleh Staf Presiden Denny Indrayana– sekali lagi Indra Azwan mencoba menemui Presiden. Kali ini di kediaman Puri Cikeas, Sabtu 7 Agustus, tetapi sekali lagi gagal. Menurut Indra Azwan, ia hanya ditemui Paspampres yang sedang bertugas, karena Presiden sedang istirahat. Atau barangkali karena Presiden sendiri memang merasa tidak perlu dan tidak harus bertemu dengan seseorang bernama Indra Azwan ini. Hasrat bertemu Presiden mungkin saja dianggap keinginan yang berlebih-lebihan dan tidak pada tempatnya. Setelah tiga kali gagal bertemu Presiden, Azwan rupanya jadi patah arang, bahwa tokoh paling ‘atas’ di republik ini takkan pernah bisa menemuinya.

Setelah gagal untuk kedua kali, 2 Agustus yang lalu, ia pernah berkata, bahwa ia memang bertekad bertemu dengan Presiden sebagai titik harapan penghabisan. Kalau tidak bisa, “apa saya harus mengadu kepada satwa di kebun binatang?”, demikian kurang lebih dikatakan Azwan. Tetapi nyatanya, Indra Azwan memang gagal bertemu dengan pemimpin ‘tertinggi’ manusia Indonesia saat ini. Tentu, peristiwa tidak berhasil bertemu Presiden, adalah hal lumrah, bukan sesuatu yang luarbiasa. Apalagi bagi mereka yang sekedar tergolong manusia kelas akar rumput. Para pemimpin Indonesia hanya gampang ditemui saat kampanye politik. Barangkali, harus menjadi konglomerat dulu misalnya, seperti yang tergambarkan dalam buku seorang wartawan muda, Pak Beye dan Istananya, barulah seseorang jauh lebih berpeluang menghadap Presiden di Istana. Menghadap Presiden itu, harus ada ‘urgensi’nya. Dan, jangan jalan kaki dong! Pakai sepatu yang sudah jebol lagi. Saru.

Satu lagi, kalau Indra berhasil menghadap, kira-kira apa yang bisa dilakukan seorang Presiden yang selama ini selalu menampilkan diri sebagai orang yang ‘tak mau’ mengintervensi hukum. Bukankah kasus tabrak lari atas putera Indra Azwan sudah dinyatakan ditolak pengadilan karena kadaluarsa. Kasus-kasus baru saja susah ditolong, apalagi yang sudah berusia 17 tahun.

MAKA, pada akhirnya setelah gagal di dunia manusia, lalu Indra Azwan datang ke Taman Margasatwa Ragunan di Jakarta Selatan. Mencoba menghadap ke satwa terkemuka di sana, yaitu sang Gorila –yang merupakan satwa dengan penampilan yang paling mendekati sosok manusia. Sayang seribu sayang, saat Indra Azwan ingin menghadap pada Minggu sore pukul 17.00, 8 Agustus 2010, sang Gorila sudah masuk ke dalam tempat peristirahatannya. Sang Gorila istirahat, setelah seharian menjalankan tugas protokolernya sebagai ‘tontonan’ resmi para pengunjung Ragunan. Terpaksa Indra Azwan hanya berkeluh kesah di depan patung Gorila. Sungguh malang orang Malang yang malang ini, Gorila pun tak bisa menerimanya untuk mengadu. “Baru jadi Gorila saja, sudah tidak bisa, apalagi…..”, kata Azwan pada akhirnya. Agaknya hanya ke hadiratNya Azwan bisa mengadu, setiap saat, sebagai harapan paling akhir. Semoga Dia yang di atas itu mampu menggerakkan para manusia pencinta keadilan untuk terus menyuarakan tuntutan keadilan bagi kasus ini dan kasus-kasus ketidakadilan lainnya. Dan semoga Dia juga akan mendamaikan hati ayah yang tak mendapat keadilan di dunia ini untuk kematian puteranya 17 tahun silam.

Kisah Polisi: Intervensi di Lapangan Sepakbola, Kasus Tabrak Lari 17 Tahun, dan Tilang Fatwa Haram

“Kini ia mencoba menemui Presiden sebagai harapan terakhir. Dari zaman ke zaman rakyat memang masih selalu percaya bahwa raja akan selalu berbuat lebih baik dan adil daripada para pejabat jahat yang mengelilinginya. Padahal sejarah menunjukkan tak jarang, sumber segala ketidakbaikan justru bersumber pada sang raja. Adagiumnya, raja baik akan dikelilingi oleh banyak orang yang juga baik, sementara raja jahat akan menciptakan orang-orang yang juga tak kalah jahatnya di sekelilingnya”.

BELAKANGAN ini, polisi seringkali menjadi salah satu bahan pemberitaan pers pada posisi ranking teratas dalam kategori sangat menarik perhatian, untuk tidak menyebutnya ‘spektakuler’. Bukan hanya bertubi-tubi dituding dalam aneka rekayasa kasus menurut laporan masyarakat, bukan pula karena mirip pisau dapur dalam menegakkan hukum yang mengiris tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Melainkan juga mendapat tuduhan internal yang tak kalah beratnya, tentang keterlibatan sejumlah jenderal dan perwira menengahnya dalam kasus mafia hukum. Lalu mendapat sorotan terkait ditemukannya ‘rekening gendut’ perwira polisi. Polri dan para anggotanya juga menjadi institusi yang paling banyak dilaporkan masyarakat dalam pengaduan ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, melebihi institusi Peradilan dan Kejaksaan.

SAAT ini, setidaknya ada tiga berita terbaru, menyangkut tiga perwira polisi. Berita pertama, mengenai niat Inspektur Jenderal Polisi Herman Effendi untuk mundur dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden. Ada dua versi tentang alasan pengunduran diri itu. Pertama, karena adanya teguran kepada Kapolri oleh Presiden terkait laporan Satgas mengenai beberapa kasus. Versi yang cenderung berkategori rumor ini lalu memancing spekulasi, apakah karena teguran itu Polri menarik perwiranya dari Satgas, ataukah sang jenderal menarik diri atas inisiatif sendiri karena merasa tidak enak? Kedua, menurut Zaenal Arifin Mochtar dari UGM yang dekat dan se-almamater dengan Sekertaris Satgas Denny Indrayana, pengunduran diri Herman Effendi terpicu laporan Satgas kepada Presiden tentang rekening ‘gendut’ perwira Polri dan penganiayaan Aan alias Susandi Sukatna oleh anggota kepolisian.

BERITA kedua, menyangkut seorang jenderal polisi lainnya. Minggu malam, 1 Agustus 2010, Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Polisi Alex Bambang Riatmojo, membuat cerita di Stadion Manahan Solo tatkala berlangsung final sepakbola Piala Indonesia antara Arema Malang dengan Sriwijaya FC Palembang. Babak kedua pertandingan itu tertunda hingga 90 menit lamanya, akibat Jenderal Polisi itu meminta panitia pertandingan agar wasit Jimmy Napitupulu diganti dengan wasit lain. Bagi kalangan persepakbolaan permintaan ini tergolong aneh dan terkesan mengada-ada serta tidak pada tempatnya. Panitia Pelaksana menolak intervensi ini, karena bila permintaan itu dipenuhi, melanggar peraturan pertandingan yang merujuk ketentuan FIFA. Mungkin dengan latar belakang alasan ‘keamanan’, sang jenderal bersikeras agar Jimmy yang dianggapnya bertindak tidak adil di babak pertama, harus diganti. Akibatnya, terjadi perdebatan yang menyebabkan pertandingan tertunda hingga 90 menit, yang justru mulai membuat penonton kesal.

Wasit Jimmy, yang selama ini dikenal sebagai salah satu wasit terbaik di Indonesia, pada babak pertama memberi kartu merah kepada pemain Arema Malang, Noh Alamsyah asal Singapura, karena mengangkat kaki terlalu tinggi hingga mengenai pundak salah satu pemain Sriwijaya FC. Apakah ‘takut’ kalau sampai Aremania, yang terkenal sebagai barisan supporter fanatik dan galak dari Malang itu, akan mengamuk, maka Kapolda Jawa Tengah ‘berani’ mengintervensi panitia agar wasit diganti? Padahal, intervensi itu sendiri justru merupakan kekeliruan yang tak kalah mungkinnya menyebabkan kekisruhan, yakni apabila pertandingan tak dilanjutkan. Dalam tayangan langsung Televisi terlihat nyata betapa pro aktifnya sang jenderal mencampuri soal-soal yang sudah di luar wewenangnya di bidang pengamanan pertandingan. Dan konon, sebelumnya sudah dua kali sang Kapolda mengintervensi pertandingan sepakbola di wilayah hukumnya. Bayangkan bila nantinya menjadi kebiasaan di antara para Kapolda untuk mengintervensi turnamen-turnamen PSSI, akan tambah runyamlah persepakbolaan kita yang memang sudah runyam di tangan kepengurusan PSSI yang sama runyamnya.

Penonton yang makin panas karena pertandingan babak kedua tak kunjung dimulai, justru berhasil ditenangkan oleh pelatih Arema Roberth Alberts asal Belanda dan pelatih Sriwijaya FC Rachmad Darmawan, yang berinisiatif bergandengan tangan keliling lapangan sambil melambai kepada penonton di tribune stadion. Keadaan jadi terbalik, tindakan sang pengaman justru bisa menjadi pemicu keributan, sementara yang jadi objek pengamanan berfungsi sebagai rem pengaman.

Ketika pada akhirnya babak kedua akan dimulai, sang jenderal masih menyempatkan diri menasehati pelatih Arema Roberth yang asal Belanda dalam bahasa Inggeris, agar menginstruksikan para pemainnya –“please instruct your men….”– bermain dengan baik dan tertib. Makin terheran-heranlah sang pelatih yang barangkali untuk pertama kalinya mendapat pengalaman dicampuri urusannya oleh polisi.

Terlepas dari itu semua, menjadi pertanyaan, apakah Kapolda memiliki pola pikir seperti yang dimiliki militer –Pangkopkamtib maupun Pangkopkamtibda yang sekaligus adalah Panglima Kodam– di masa lampau bahwa sebagai pengendali keamanan dan ketertiban, dengan sendirinya bisa mencampuri segala sesuatu dan apa saja di wilayah kekuasaannya? Lebih jauh, apakah para pimpinan Polri merasa sebagai pengganti posisi penguasa keamanan dan ketertiban yang dijalankan Panglima-panglima militer pada masa dwifungsi ABRI?

MENDAMPINGI berita intervensi di lapangan sepakbola, sebuah berita lain yang berawal dari Malang juga menarik perhatian publik. Seorang ayah bernama Indra Azwan selama 22 hari menempuh jarak sekitar 1000 kilometer berjalan kaki ke Jakarta, mencoba bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Jumat 30 Juli dan Senin 2 Agustus untuk mengadukan nasib. Dua kali datang, dua kali gagal. Indra Azwan yang merasa tak berhasil mendapatkan keadilan, menjadikan Presiden sebagai harapan terakhir. Sejauh ini belum berhasil. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti halnya dengan Presiden Soeharto yang sangat menjaga ‘kewibawaan’nya, adalah juga presiden yang tak mudah begitu saja menerima rakyat kecil yang datang menghadap padanya. Entah karena pertimbangan protokoler, entah karena hambatan birokrasi di sekitarnya.

Sebelum Indra Azwan, percobaan yang sama dilakukan ibu dari seorang anak korban ledakan tabung gas, dan sejumlah ibu-ibu dari sejumlah korban kerusuhan dan pelanggaran HAM di masa lampau, yang setiap minggu selama kurang lebih 3 tahun mencoba menghadap. Akan tetapi tak ada yang pernah berhasil tembus bertemu sang Presiden.

Indra Azwan adalah ayah dari seorang bocah bernama Rifky Andika yang 17 tahun lampau tewas sebagai korban tabrak lari dari seorang perwira Polri bernama Djoko yang bertugas di Polwil setempat. Upaya Azwan mencari keadilan kepada polisi dan berbagai pihak kalangan penegak hukum tak kunjung mendapat tindak lanjut. Perwira polisi yang menabrak tak pernah berhasil dimintai pertanggungjawaban hukum. Begitu ampuhkah mekanisme kesetiaan korps di kalangan kepolisian untuk saling melindungi, bahkan di atas ketidakbenaran sekalipun? Baru pada tahun ke-15 kasus tabrak lari itu bisa sampai ke pengadilan. Namun pengadilan membebaskan sang polisi karena kasusnya dianggap sudah kadaluarsa. Sepertinya di sini hukum berhasil disiasati. Dua tahun terakhir ini, Indra Azwan tetap berjuang mencari keadilan, namun tetap tak berhasil. Kini ia mencoba menemui Presiden sebagai harapan terakhir. Dari zaman ke zaman rakyat memang masih selalu percaya bahwa raja akan selalu berbuat lebih baik dan adil daripada para pejabat jahat yang mengelilinginya. Padahal sejarah menunjukkan tak jarang, sumber segala ketidakbaikan justru bersumber pada sang raja. Adagiumnya, raja baik akan dikelilingi oleh banyak orang yang juga baik, sementara raja jahat akan menciptakan orang-orang yang juga tak kalah jahatnya di sekelilingnya.

Akankah Indra Azwan berhasil pada akhirnya? Bertemu Presiden atau mendapat keadilan? Meragukan. Karena menjadi pertanyaan, apakah yang bisa dilakukan Presiden kita itu yang terkenal sangat normatif dan berhati-hati, untuk tidak menyebutnya seorang peragu seperti yang terkesan selama ini? Kalau pada akhirnya memang Azwan tak juga berhasil bertemu Presiden, bagaimana? Ke mana lagi saya harus mengadu, ujar Azwan yang telah melapor ke mana-mana (termasuk DPR) tanpa hasil, “apa harus mengadu ke kebun binatang?”. Syukur, sebelum sempat ke kebun bintang, Denny Indrayana sudah memberikan semacam ‘obat’ placebo, yaitu dengan menerima dan menampung keluhan sang pejalan kaki pencari keadilan itu.

BERITA paralel pada waktu yang sama adalah mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia di Kabupaten Lebak Banten yang mengharamkan lelaki dan perempuan yang bukan muhrim untuk berboncengan sepeda motor. ‘Kedekatan’ selama berkendara bersama dianggap bisa menjadi awal dari persentuhan yang bisa menuju perzinahan. Akankah nanti setelah ini, MUI akan menuntut diterbitkannya Perda untuk melarang pasangan bukan muhrim berboncengan sepeda motor? Dan sekedar bertanya, akankah nanti polisi bersedia bila diminta untuk menindaki pasangan para pelanggar yang berani berboncengan padahal bukan muhrim? Menilang atau bahkan menangkap? Siapa tahu bersedia, karena mencampuri pertandingan sepakbola pun mau…. tanpa perlu diminta lagi.

Presiden ‘Normatif’ Dalam Situasi Serba Abnormal

“Bilamana Presiden suatu waktu memanggil seorang Kepala Polri atau seorang Jaksa Agung, dan memerintahkan dalam rangka penegakan hukum untuk merubah sesuatu yang putih menjadi hitam, jelas itu suatu intervensi. Namun bilamana Presiden, dalam kasus Susno misalnya, bertanya kepada Kepala Polri mengapa Susno harus ditahan dan apa alasannya, dan apakah alasan itu bisa dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang ada, apakah itu juga suatu intervensi? Seorang Presiden bisa saja bertanya tentang tindakan bawahannya, bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, karena bila ada sesuatu yang salah Presiden sebagai atasan ikut bertanggungjawab”.

APAKAH situasi kehidupan politik dan penegakan hukum di Indonesia berjalan normal saja? Mungkin tidak. Ada kecenderungan serba abnormal, bukan hanya dalam dua bidang kehidupan tersebut, melainkan barangkali merupakan fenomena yang hampir menyeluruh pada berbagai bidang kehidupan lainnya juga. Dalam berdemokrasi pun, di saat kita merasa mulai merasa telah berada dalam jalur yang tepat, ternyata kita masih harus takjub menyaksikan betapa banyaknya pelaku kehidupan sosial-politik yang menerjemahkan demokrasi sebagai kesempatan untuk menggunakan giliran memaksakan kehendak mumpung tidak lagi berada di bawah ‘todongan senjata’. Memang, era ‘todongan senjata’ sudah berlalu, tapi era ‘todongan uang’ muncul menggantikan.

Menghadapi situasi yang cenderung serba abnormal itu, kita memiliki seorang presiden yang sangat normatif –setidaknya dalam ucapan-ucapan formal maupun tindakan-tindakannya yang serba kurang cepat– yang sepenuhnya bukan pembaharu pendobrak. Menurut logika dialektis makin abnormal suatu negara beserta isinya, makin dibutuhkan pemimpin dan barisan elite bangsa yang berpikiran dinamis, bersikap pembaharu, dan berani mendobrak dalam gerakan yang terukur untuk mengendalikan proses positif. Tapi dalam kenyataan perjalanan bangsa ini, justru kitalah yang dikendalikan oleh arus proses yang berlangsung tanpa keteraturan. Kita mengalami semacam involusi, terdorong terus ke belakang padahal kita merasa tetap berjalan ke depan.

Tokoh pergerakan kritis dan pembaharuan sejak 1960an, Dr Adnan Buyung Nasution SH, mengeritik bahwa dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setahun terakhir ini, bangsa Indonesia hanya berputar-putar dari isu ke isu “tanpa ada kemajuan yang berarti” (Kompas, 19 Mei 2010). “Berbagai macam masalah bangsa, seperti korupsi dan penindasan, belum bisa dituntaskan”, ujar tokoh yang pada periode lalu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden tersebut. “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera membuat tindakan nyata. Wahai SBY, bergegaslah. Buatlah sesuatu yang konkret biar ada perbaikan bangsa ini”.

BERBICARA mengenai Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin, memang bisa serba salah. Bila dibandingkan dengan beberapa tokoh lain yang muncul ke permukaan secara formal sebagai calon pemimpin bangsa, pada tahun-tahun belakangan ini, kita harus mengatakan bahwa bagaimanapun ia adalah tokoh yang paling sedikit keburukannya. Ia berada dalam kategori, katakanlah ‘the bad among the worst’. Masih lebih baik daripada pengkategorian lesser evil. Tapi untuk mengatakan ia adalah jawaban bagi kebutuhan bangsa ini untuk bangkit setelah krisis politik dan ekonomi tahun 1998, jelas ia tidak dalam kategori tersebut.

Dalam berbagai kesempatan, Susilo Bambang Yudhoyono cukup banyak menyampaikan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya cukup menarik. Terutama bila itu dikaitkan dengan konteks bahwa ia mengucapkannya sebagai seorang Presiden yang secara formal sangat legitimate karena perolehan suaranya lebih dari 60 persen dalam pemilihan presiden 2009 lalu. Semestinya ia adalah seorang presiden yang powerful dalam pengertian yang positif dan konstruktif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara ini. Tapi dalam kenyataannya, ketika ia mencoba lebih ‘mengamankan’ posisi politiknya –dan merasa cara terbaik untuk itu adalah membangun koalisi di parlemen maupun dalam kekuasaan pemerintahan– ia justru menciptakan ‘ketidakamanan’ sekaligus ketidaknyamanan bagi dirinya dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan selama lima tahun ke depan.

Dalam koalisi ia hanya memperoleh teman-teman berkategori taktis untuk ikut memperoleh porsi dalam kekuasaan, dan samasekali tidak menemukan teman-teman perjuangan idealis dengan kesamaan tujuan dan pemikiran strategis untuk kepentingan Indonesia ke depan. Belum lagi bahwa ia tak memperoleh topangan berkualitas dari arah internal, baik dari dalam birokrasi pemerintahannya maupun dari tubuh partainya, Partai Demokrat, yang merupakan wahana politiknya yang utama. Berkali-kali kita mendengar berita dari berbagai media tentang kekeliruan-kekeliruan ‘kecil’ dalam lalu lintas administrasi di lingkungan sekretariat negara misalnya. Sementara di DPR, partai pemenang pemilihan umum itu diwakili oleh sejumlah politisi yang kelihatannya di sana-sini masih ‘canggung’ dan ‘serba salah’ dalam berkiprah atau ber’statemen’ di tengah suasana berpolitik yang akrobatik. Dalam Sidang Paripurna DPR untuk membahas hasil Pansus Century misalnya, fraksi tersebut mencoba menjalankan berbagai taktik dan manuver untuk menghadapi arus kuat yang sedang terjadi, tetapi terkesan ‘kurang cerdas’ sehingga mudah dipatahkan. Lebih dari sekali partai pendukung SBY itu juga terkesan sedang mencoba menjalankan siasat yang beraroma permainan kayu meskipun tak jarang juga bersikap demikian karena terkecoh. Ini misalnya terlihat dalam rapat Tim Pengawas Kasus Century DPR (semacam Panja) dengan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri Kamis 19 Mei ini di DPR-RI. Sejumlah anggota Tim Pengawas tersebut mencurigai bahwa Kapolri sengaja diberikan input yang tidak relevan, yakni Opsi A  Pansus Century yang tidak diterima Paripurna DPR, bukannya Opsi C yang telah diputuskan Paripurna DPR sebagai keputusan untuk ditindaklanjuti oleh para penegak hukum. Dengan sendirinya Kapolri mengajukan ‘kertas kerja’ yang tidak sesuai, sehingga Rapat Tim Pengawas dengan Kapolri dibatalkan dan dijadwal ulang.

Pernyataan-pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cenderung normatif, tak pernah merupakan penyampaian pemikiran dengan perspektif terobosan. Apalagi tindakan-tindakan terobosan dalam memecahkan pelbagai masalah yang sedang dihadapi bangsa. Dalam forum ke-6 World Movement for Democracy 12 April yang lalu di Jakarta, Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa demokrasi di suatu negara akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila prosesnya dilakukan dengan menghindari politik uang. Bila itu yang terjadi, ujarnya, maka hal itu bukan hanya mereduksi demokrasi atau kedaulatan rakyat, melainkan akan menghasilkan pemimpin pemerintahan yang hanya akan melayani mereka yang membayar saja. Ini suatu pernyataan yang normatif dengan nilai diagnosa. Bila ditindaklanjuti dengan terapi, akan menjadi sesuatu yang cukup luarbiasa.

Kita tahu, diakui atau tidak, terdapat indikasi kuat bahwa politik uang itu telah menjadi bagian dalam praktek sehari-hari dalam kehidupan politik Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Banyak berita yang telah diketengahkan pers dari waktu ke waktu mengenai praktek politik uang ini dalam sejumlah pemilihan kepala daerah, dan bahkan dalam pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Cuma saja, berita-berita itu seakan tak pernah mendapat perhatian dan tindak lanjut dari kalangan pengawasan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, ataupun dalam konteks penegakan hukum. Triliunan rupiah telah berputar dalam kancah pemilihan-pemilihan umum berbagai tingkat itu, dan sebagian darinya tak mampu bisa dijelaskan mengenai sumber dana maupun arus aliran dananya.

Seorang calon bupati-wakil bupati maupun gubernur-wakil gubernur membutuhkan dana milyaran hingga belasan atau puluhan milyar untuk tampil. Seseorang yang terjun sebagai calon legislatif membutuhkan puluhan hingga ratusan juta. Dan untuk maju menjadi Presiden dan Wakil Presiden, terlibat dana dalam skala ratusan milyar dan menurut perhitungan beberapa pengamat bahkan berskala triliunan. Keterlibatan pengerahan dana berskala raksasa senantiasa rawan diselipi ‘black money’, entah hasil perbuatan korupsi entah hasil dealdeal bermotif bisnis politik. Di belakang angka-angka rupiah yang raksasa, cenderung ada bayangan kriminal. Coba jelaskan, darimana datangnya dana triliunan rupiah yang digunakan dalam kancah politik selama ini. Iuran anggota organisasi politik? Sumbangan yang melampaui batas yang diperbolehkan undang-undang? Atau sumbangan gelap melalui deal politik beraroma bisnis dengan para konglomerat? Kejujuran laporan keuangan partai politik maupun kelompok politik lainnya dalam pemilihan-pemilihan umum, tak pernah dikejar alas-alas bukti kebenarannya.

DALAM kaitan penegakan hukum yang belakangan ini menjadi pusat perhatian karena ganti bergantinya kemunculan berbagai kasus menggemparkan, Presiden pun amat banyak menyampaikan pernyataan-pernyataan yang normatif. Padahal pernyataan dan sikap normatif belaka tak punya daya guna dalam situasi penegakan hukum yang sangat abnormal seperti yang kita saksikan selama ini terutama pada tahun-tahun belakangan.

Pada waktu yang sama Presiden tampaknya sangat sensitif terhadap senjata tudingan melakukan intervensi hukum. Pertengahan Mei, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, menyuarakan pandangan SBY bahwa Presiden tidak bisa mengintervensi proses hukum dalam kasus Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Ini bukan untuk pertama kalinya Presiden menyatakan sikap yang sama, tak ingin mengintervensi hukum. Tentu saja, ini sikap yang benar. Tapi, tindakan apakah yang bisa dikategorikan sebagai intervensi hukum? Bilamana Presiden suatu waktu memanggil seorang Kepala Polri atau seorang Jaksa Agung, dan memerintahkan dalam rangka penegakan hukum untuk merubah sesuatu yang putih menjadi hitam, jelas itu suatu intervensi. Namun bilamana Presiden, dalam kasus Susno misalnya, bertanya kepada Kepala Polri mengapa Susno harus ditahan dan apa alasannya, dan apakah alasan itu bisa dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang ada, apakah itu juga suatu intervensi? Seorang Presiden bisa saja bertanya tentang tindakan bawahannya, bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, karena bila ada sesuatu yang salah Presiden sebagai atasan ikut bertanggungjawab. Tentu Presiden tak harus mengeluarkan suatu perintah khusus, tetapi dengan bertanya Presiden telah memperingatkan bawahannya untuk tidak bertindak keliru, tidak bertindak semena-mena, karena segala sesuatunya harus bisa dipertanggungjawabkan suatu waktu. Teguran seperti itu –yang bermakna pengawasan– akan membuat seorang Kapolri atau Jaksa Agung untuk berpikir seribu kali sebelum melakukan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan hukum. Independensi Kapolri maupun Jaksa Agung tak berada dalam pengertian semacam ‘kemahadewaan’ yang tak bisa dipertanyakan. Apalagi dalam suatu situasi abnormal.

Begitu pula dengan apa yang dikatakan sebagai independensi Mahkamah Agung. Independensi lembaga peradilan tertinggi ini tidak sama dengan kebebasan para dewa yang tidak bisa dipertanyakan oleh rakyat. Publik bisa bertanya, sebagai bagian dari kontrol publik. Akses publik untuk mengontrol dunia peradilan, dalam sistem peradilan yang berlaku di Indonesia saat ini, memang hanyalah sebatas bertanya dan memberi komentar. Bagi beberapa kelompok dalam masyarakat, akses itu dianggap sangat terbatas bahkan dianggap hanyalah jalan buntu, sehingga tak jarang ada yang melakukan terobosan dengan protes mengunakan pengerahan massa bila merasa keadilan diinjak. Di beberapa negara, digunakan peradilan menggunakan sistem juri yang membuka pintu bagi publik untuk ikut menemukan kebenaran dan menentukan jalannya keadilan.