“Timbul kesangsian, bahwa ternyata untuk kesekian kalinya sepanjang pengalaman 65 tahun sebagai negara dan bangsa merdeka, kita belum juga berada di tangan yang tepat, baik dan benar. Sementara sebagai satu bangsa, kita pun harus mengakui, bahwa kita sendiri menjadi bagian dari masyarakat yang sedang mengalami sakit lahir batin karena kegagalan pembangunan sosiologis dari waktu ke waktu”. “Reaksi para petinggi Kejaksaan Agung itu memperlihatkan resistensi terhadap semua kemungkinan yang bisa menguak ‘ketertutupan’ Kejaksaan Agung selama beberapa tahun terakhir ini. Agaknya telah tercipta semacam status quo di tubuh institusi tersebut, yang berdasar kepada kepentingan-kepentingan tertentu dari orang-orang tertentu”.
DALAM hiruk pikuk polemik pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi 22 September 2010 tentang keabsahan Jaksa Agung Hendarman Supandji, pendapat advokat senior Adnan Buyung Nasution dapat dijadikan dasar jalan tengah untuk menghentikan silang sengketa yang bukan saja tidak produktif tetapi sudah cenderung ‘destruktif’. Walau menilai putusan MK itu tidak tepat, menurut Buyung, demi menghormati azas negara hukum, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya segera menerbitkan Keputusan Presiden menetapkan Jaksa Agung baru. “Bisa tetap Hendarman Supandji atau orang lain”. Sebagai ahli hukum pemerintah dalam proses persidangan MK untuk kasus tersebut, Buyung sendiri menganggap Jaksa Agung bukan menteri, sesuai UU No. 39 tahun 2009 tentang Kementerian Negara. “Namun Presiden sebaiknya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi itu untuk memberikan keteladanan”. (Kompas, 25 September 2010).
Seperti biasa, Presiden lamban memberikan tanggapan dan tindakan. Barulah pada hari Sabtu 25 September ini, melalui Menteri Sekertaris Negara diumumkan keputusan presiden memberhentikan dengan hormat Hendarman Supandji dari jabatan Jaksa Agung dan menetapkan Wakil Jaksa Agung Darmono untuk melanjutkan selaku pelaksana tugas Jaksa Agung. Meskipun sedikit terlambat, bagaimanapun juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekali ini telah bertindak baik dan benar. Namun, tentu saja, seperti dikatakan Buyung Nasution, ini merupakan pelajaran mahal ke depan untuk bangsa ini.
Sebelumnya dalam dua hari ‘tanpa kepastian’, adalah Menteri Sekertaris Negara Sudi Silalahi dan Staf Khusus bidang Hukum Denny Indrayana yang lebih dulu tampil memberikan tanggapan, namun terkesan lebih berupa bagian dari suatu mekanisme defensif mereka berdua daripada berbicara untuk dan atas nama Presiden. Bahkan, pernyataan mereka serta Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, selain agak ‘mengecilkan’ juga terasa mengandung ‘perlawanan’ terhadap Keputusan MK yang diambil dalam sidang uji materi berdasarkan pengajuan Yusril Ihza Mahendra. Mekanisme defensif itu tampil mungkin karena memang mereka, sebagai lingkaran dalam Presiden, sedikit banyaknya ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya situasi Jaksa Agung tanpa SK pengangkatan baru untuk masa kepresidenan kedua SBY. Menurut pengamat dan praktisi hukum Refly Harun, “Ketika anggota-anggota kabinet lainnya diberhentikan dengan Keputusan Presiden Nomor 83/P tahun 2009, Hendarman dikecualikan karena pemikiran Istana pada waktu itu Jaksa Agung bukan anggota kabinet. Hendarman terus menjabat dengan bekal keppres tahun 2007. Presiden tidak lagi mengeluarkan keppres baru”. Tapi, bisa juga, itu terjadi bukan berdasar suatu pemikiran, karena cukup kuat indikasi bahwa itu semua terjadi karena ‘lupa’ atau ‘lalai’ saja, bahkan bukan mustahil karena out of capability, mengingat bahwa selama ini telah terjadi begitu banyak kesalahan di Sekretariat Negara ataupun di kalangan staf lingkaran dalam Presiden.
Merupakan catatan bersama, telah terjadi kelambanan dan ketidakrapihan administrasi di lingkungan Sekretariat Negara dan Kepresidenan. Sejumlah institusi penegakan hukum mengeluhkan banyaknya keterlambatan surat izin Presiden untuk pemeriksaan pejabat negara dalam berbagai kasus dugaan korupsi. Jadwal penggantian pimpinan beberapa lembaga, seperti yang pernah dialami Komisi Yudisial, terulur karena terlambatnya surat-surat resmi yang harus ditandatangani Presiden. Dalam kaitan Komisi Yudisial, Presiden sampai harus mengeluarkan keppres memperpanjang masa jabatan komisi tersebut, yang menurut beberapa ahli hukum tatanegara merupakan pelanggaran konstitusi dan merupakan preseden berbahaya. Ada pula lembaga yang pimpinannya sudah memasuki usia pensiun, tetapi belum ditunjuk penggantinya, karena Keppres yang dibutuhkan belum kunjung datang. Belum lagi, salah atur protokoler. Kepala BKPM yang baru ‘ketinggalan’ tidak ikut dilantik saat Kabinet Indonesia Bersatu II sudah dilantik, namun terdaftar dalam rombongan Presiden dalam kunjungan Presiden ke LN beberapa hari kemudian. Seorang Wakil Menteri sudah diumumkan pengangkatannya, namun tak kunjung dilantik, untuk akhirnya secara tiba-tiba seorang lain diangkat dan dilantik sebagai Wakil Menteri. Kasus Anggito Abimanyu di Kementerian Keuangan. Nasib serupa, dialami dr Fahmi Idris, yang batal dilantik sebagai Wakil Menteri Kesehatan.
Sebelumnya, seorang calon Menteri Kesehatan sudah menjalani seluruh prosedur, termasuk test kesehatan, urung diangkat dan tiba-tiba yang dilantik seorang lainnya lagi sebagai Menteri Kesehatan. Sang calon menteri, Nila Moeloek, dianggap tak mampu bekerja dalam tekanan berdasarkan test psikiatri MMPI (Minnesota Multi Phasic Inventory). Padahal ia seorang ahli bedah mata yang sudah terbukti kecermatan dan kemampuannya bekerja dalam tekanan. Test MMPI itu sendiri, yang pertama kali dipakai terhadap prajurit-prajurit pada Perang Dunia I, selama bertahun-tahun tidak digunakan lagi di negara asalnya karena dianggap kurang akurat, dan bila digunakan, mutlak harus didampingi dengan test psikologi lainnya.
Dan last but not least, salah atur antrian pada acara open house Presiden di Istana saat lebaran lalu, telah mengambil korban jiwa seorang pengunjung. Bukankah sudah berkali-kali menjadi pengalaman di masyarakat bahwa suatu acara dengan adanya iming-iming pembagian uang –entah itu pembagian zakat, entah pembagian uang untuk maksud lainnya– akan selalu mengundang jubelan orang dan sangat riskan? Perlu pengaturan yang tidak asal-asalan.
MESKIPUN sudah diterbitkan suatu keputusan Presiden yang menunjukkan ketaatan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi, tak mudah menghilangkan kesangsian yang muncul terhadap kapabilitas Menteri Sekertaris Negara dan para Staf Kepresidenan. Misalnya, jangan-jangan di Sekretariat Negara atau di lingkaran dalam Presiden memang tidak ada ahli hukum pidana dan tatanegara yang mumpuni. Atau lebih luas lagi, tidak dimiliki profesional atau para ahli mengenai administrasi negara dan atau pengelolaan pemerintahan secara menyeluruh, mengingat banyaknya kesalahan seperti dicontohkan di atas. Dan dengan demikian tak ada jaminan bahwa kesalahan-kesalahan baru takkan terulang lagi. Lama-lama bila kadar kesalahan makin tinggi dan makin intensif, bisa muncul pertanyaan, apa bukannya sang Presiden sendiri yang memang tidak sepenuhnya kapabel dan tidak memiliki pemahaman masalah yang mendalam? Lebih jauh, timbul kesangsian, bahwa ternyata untuk kesekian kalinya sepanjang pengalaman 65 tahun sebagai negara dan bangsa merdeka, kita belum juga berada di tangan yang tepat, baik dan benar. Sementara sebagai satu bangsa, kita pun harus mengakui, bahwa kita sendiri menjadi bagian dari masyarakat yang sedang mengalami sakit lahir batin karena kegagalan pembangunan sosiologis dari waktu ke waktu. Jadi, keadaan semakin parah.
TERLEPAS dari itu semua, meski masih merupakan kaitan rangkaian peristiwa, reaksi sejumlah petinggi Kejaksaan Agung yang umumnya adalah Jaksa Agung Muda, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan pernyataan Ketua MK Mahfud MD, sangat menarik untuk disimak. Terlihat bahwa kalangan Kejaksaan Agung sangat reaktif terhadap apa yang tampaknya mereka anggap intervensi terhadap lembaga yang kini dipimpin oleh seorang Jaksa Agung karier itu. Dikaitkan dengan pernyataan Persatuan Jaksa (Persaja) Indonesia yang tidak menginginkan seorang Jaksa Agung yang berasal dari eksternal lembaga itu, reaksi para petinggi Kejaksaan Agung itu memperlihatkan resistensi terhadap semua kemungkinan yang bisa menguak ‘ketertutupan’ Kejaksaan Agung selama beberapa tahun terakhir ini. Terbaca bahwa telah tercipta semacam status quo di tubuh institusi tersebut, yang berdasar kepada kepentingan-kepentingan tertentu dari orang-orang tertentu, yang selama ini menjadi hambatan bagi institusi itu untuk tampil sebagai penegak hukum yang tangguh dan bersih seperti yang menjadi dambaan masyarakat.
Presiden sebagai penentu dalam penetapan siapa yang harus menjadi Jaksa Agung, harus cermat membaca situasi, bila ingin mereformasi Kejaksaan Agung menjadi institusi yang ideal. Dan, juga jangan lupa lebih memperbaiki lagi kualitas manusia yang ada di lingkaran dalam kekuasaannya, tak terkecuali Sekretariat Negara. Pada akhirnya, tanggungjawab atas segala kesalahan di lingkaran dalam itu bagaimanapun juga pada instansi terakhir ada di pundak sang Presiden.
Lingkaran dalam Presiden terdiri dari pakar dan akhli. Begitu juga lingkaran luarnya, sebagian besar anggota dan berkoalisi di DPR atau dan para Menteri di Kabinet, tetapi mungkin berlainan jurus dan arah.
Apa yang anda tulis, merupakan satu kemungkinan, yang tergolong dalam kategori ‘teori pembusukan’.
Apanya yang teori pembusukan? Banyak fakta kok yg diungkap penulis. Contoh kecil anggota kabinet yg ketinggalan dilantik itu? Apa Presiden gak peka sampai memberi grasi buat Corby? Apa panglima tertinggi kita takut sama corby? Aneh bin ajaib,., karakter manusia indonesia tw sedikit sudah merasa ahli. Yang benar2 ahli malah tidak diberi kesempatan.