SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (7)

Jenderal dilemparkan ke luar pagar. Pasukan penculik, menerobos memasuki pekarangan rumah Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan dengan meloncati pagar pada dinihari 1 Oktober 1965. Setelah itu mereka menuju paviliun dan menembaki pintunya sampai terbuka. Mereka menembaki pula lantai dua dan mengenai jendela kamar Brigjen Panjaitan. Tiga keponakan Jenderal Panjaitan yang tidur di lantai satu, terbangun sewaktu mendengar tembakan. Mereka menyangka ada perampokan. Salah seorang di antaranya membuka pintu, sementara yang lainnya mengambil pistol di atas lemari. Tetapi ketika pintu dibuka, dari luar datang serentetan tembakan dari dua orang yang di kemudian hari diidentifikasi sebagai Sersan Dua Asmun dan Prajurit Satu Herwanto, merobohkan kedua pemuda itu.

Pasukan penyerbu masuk ke ruang tengah sambil menghamburkan tembakan ke mana-mana. Sersan Dua Sukardjo berteriak agar Brigadir Jenderal Pandjaitan turun, kalau tidak “maka seluruh keluarga akan dibunuh”. Akhirnya Brigjen Pandjaitan muncul dan menanyakan siapa mereka dan apa maksud mereka. “Kalian diperintah siapa?”, tanya sang jenderal. “Kami disuruh oleh Paduka Yang Mulia”, mereka menjawab. “Kamu dari mana?”, tanya Panjaitan lagi, dijawab “Kami dari Tjakrabirawa, jenderal”.

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006)

Sang jenderal tak mau segera turun. Tetapi mengingat keselamatan anak-anak dan isterinya, karena para tentara itu mengancam akan melemparkan granat ke atas, serta mendengar bahwa yang memanggil adalah Presiden Soekarno, ia akhirnya turun, setelah mengenakan seragam lengkap dengan tanda-tanda jasa. Brigjen Pandjaitan segera digiring keluar rumah oleh Sersan Dua Sukardjo dan Kopral Dua Dikin. Di luar rumah, Brigjen Pandjaitan berhenti sejenak untuk membuat tanda salib dan berdoa. Kopral Dikin  memukulnya, sehingga terjatuh. Bersamaan dengan itu, “Sersan Dua Sukardjo dan Kopral Dua Dikin menembaknya secara membabi buta, mengenai kepalanya sehingga otaknya bertaburan di pekarangan. Lalu ia dilemparkan ke luar pagar dan ke atas sebuah truk.” Demikian buku ‘Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam’, yang disusun anak-anak pahlawan revolusi berdasar pengalaman pribadi mereka (Jakarta, 2002).

          Sersan Dua Sukardjo yang memimpin rombongan penculikan Brigjen DI Pandjaitan berasal dari Batalion 454 Diponegoro. Pasukan ini terdiri atas satu regu dari Batalion 454 dan satu regu dari Brigif I Jaya. 

Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, Oditur Jenderal Angkatan Darat, pulang larut malam ke rumahnya di Jalan Sumenep Kamis 30 September 1965 setelah menghadiri suatu rapat raksasa yang juga dihadiri Presiden Soekarno. Ketika sang jenderal pulang, dua puteranya Agus Widjojo dan Ari Witjaksono serta puterinya Nani Soetojo, sudah tertidur lelap. Akan tetapi dinihari sekitar pukul 04.00 mereka terbangun karena  suara gaduh dan bunyi derap sepatu di depan rumah. Dari bagian atas jendela yang terbuka mereka melihat kehadiran sekelompok tentara berbaret merah.

Sebagian dari pasukan berbaret merah itu kemudian memasuki rumah dari arah depan, sementara sebagian lainnya masuk dari pintu belakang menodong para pembantu dan merampas kunci-kunci rumah. “Dengan kunci-kunci itulah gerombolan membuka pintu belakang untuk kemudian masuk hingga ruangan tengah.” Lalu ada yang menggedor-gedor pintu kamar bagian depan. “Siapa?”, tanya Brigjen Soetojo dari dalam kamar tidurnya. “Saya, Gondo, dari Malang,” seseorang menjawab. Sang jenderal lalu bertanya sekali lagi, “Siapa?”. Dengan suara yang terdengar bernada ancaman, seorang diantaranya menjawab, “Pak Tojo, lekas buka pintu, bapak dipanggil Presiden.”

Masih mengenakan baju tidur batik, Brigjen Soetojo membuka pintu kamar dan segera diapit oleh beberapa tentara yang berseragam Tjakrabirawa, antara lain Prajurit Satu Sujadi dan Prajurit Kepala Sumadi yang menerobos ke kamar. Sang jenderal kemudian dibawa keluar kamar dan diserahkan kepada Sersan Dua Sudibjo. Tanpa melawan, Brigjen Soetojo digiring ke luar rumah dan diserahkan lagi kepada Komandan Peleton mereka.

Anak-anak Soetojo berbagi tugas mengunci pintu-pintu kamar dari dalam dan tetap tinggal di kamar sesuai pesan ibu mereka. Sebuah bayonet tiba-tiba menyembul menembus daun pintu yang baru saja ditutup oleh Nani. Nyonya Soetojo yang saat itu sedang tidak enak badan, dengan suara keras dalam bahasa Jawa berkata “Bagaimana ini?!”, tapi tidak ada jawaban dari luar, kecuali bunyi perabotan yang diberantakkan. Setelah itu, Brigjen Soetojo dibawa pergi. Usaha menelpon yang dilakukan kemudian untuk meminta bantuan, sia-sia belaka. Sambungan telepon sudah diputus para penyerbu. Nyonya Soetojo lalu menelpon dari rumah tetangga, ke Jaksa Agung Sutardhio, tetapi baru berbicara beberapa patah kata, telpon diputus dari sana. Sutardhio adalah salah seorang petinggi negara yang ikut diminta Soekarno menindak para jenderal yang disebut ‘tidak loyal’.

Penculikan Brigjen Soetojo dilakukan oleh pasukan berkekuatan satu peleton Tjakrabirawa dibawah pimpinan Sersan Mayor Surono. Mereka membagi diri atas tiga regu yang masing-masing dipimpin oleh Sersan Dua Sudibjo, Sersan Dua Ngatidjo dan Kopral Dua Dasuki.

Secara menyeluruh terlihat bahwa penyerbuan brutal terhadap kediaman para jenderal tersebut relatif berlangsung cukup ‘mudah’, karena umumnya tak ada pengawalan di rumah-rumah tersebut. Pengawalan hanya ada di kediaman Menko Kasab Jenderal Abdul Harris Nasution dan kediaman Menteri Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani. Penggunaan satuan Tjakrabirawa, amat taktis karena kemunculan Cakra mengendorkan kewaspadaan awal para pengawal, sehingga mudah dilumpuhkan (socio-politica).

Leave a comment