Kisah Korupsi Para Jenderal (2)

PERSAMAAN lain antara kasus Korupsi Korlantas 2012 dengan kasus Ginandjar Kartasasmita Maret 2001, adalah terjadinya ‘polemik’ soal kewenangan penanganan perkara. Dalam kasus Ginandjar Kartasasmita, terjadi ‘polemik’ tentang kedudukan Jaksa Agung sebagai koordinator dalam penanganan perkara koneksitas Ginandjar Kartasasmita yang adalah Marsekal Madya TNI-AU dan pada waktu perbuatan terjadi masih berstatus militer aktif.

DARI DULU MENIKMATI PENYELESAIAN LUAR SIDANG. “Pada dasarnya, memang telah tercipta semacam tradisi bahwa bilamana seorang anggota militer, khususnya para perwira tinggi, terlibat dalam korupsi di luar institusi-institusi militer, kemungkinan besar akan diselamatkan”. Karikatur D. Sudiana, 1970.

Ginandjar Kartasasmita pertama kali diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung pada 27 Maret 2001 dalam kasus dugaan korupsi dalam pelaksanaan Technical Assistance Contract (TAC) antara PT Pertamina dengan PT UPG di empat sumur minyak. Selain dari Kejaksaan Agung, ada 4 perwira pemeriksa dari Oditur Jenderal TNI dan Oditur Militer Tinggi. Dalam kasus tersebut dinyatakan  4 orang, yakni mantan Direktur Utama Pertamina Faisal Abda’oe, Mantan Menteri Pertambangan Mayjen I.B Sudjana, dan pimpinan PT UPG, selain Ginandjar Kartasasmita, yang “cukup bukti untuk dikwalifikasikan sebagai tersangka-tersangka”.

Pemeriksaan yang berlangsung sampai petang, dilanjutkan keesokan paginya 28 Maret 2001. Tapi, pada pagi itu, Ginandjar yang agaknya mendapat ‘kisikan’ akan segera ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, bergegas meninggalkan Gedung Bundar. Terjadi drama. Ginandjar yang dibentengi sejumlah pengacaranya dan ‘barisan’ pengawalnya berhasil menembus keluar dari gerbang belakang Gedung Kejaksaan Agung melewati Keamanan Dalam Kejagung. Ginandjar dan rombongannya menuju Rumah Sakit Pertamina. Ia beralasan sakit dan memerlukan perawatan. Dalam surat Bagian Medis RS Pertamina, disebutkan Ginandjar dirawat di sana sejak 29 Maret 2001 jam 13.41. Dengan berada di rumah sakit itu, Ginandjar selama 8 hari bisa menghindari penahanan. Penampilannya selama di rumah sakit, juga cukup dramatis. Saat ia dijenguk oleh mantan Wakil Presiden Sudharmono yang akan meninggalkan rumah sakit yang sama, usai perawatan sejak beberapa hari sebelumnya, Ginandjar mengenakan kembali alat penopang leher yang beberapa saat sebelumnya sempat dilepas.

Dalam Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Fachri Nasution, 31 Maret 2011, disebutkan Ginandjar yang mantan Menteri Pertambangan dan saat itu masih menjabat Wakil Ketua MPR disebutkan “diduga keras turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dalam persetujuan Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT UPG (Ustraindo Petro Gas) pada lapangan minyak Pendopo, Prabumulih, Jatibarang dan Bunyu yang mengakibatkan kerugian negara”. Sumur-sumur tersebut diperhitungkan bisa menghasilkan produksi 200.000 barrel per hari. Suatu angka yang termasuk tinggi.

Setelah 8 hari di Rumah Sakit Pertamina, akhirnya penahanan bisa dilakukan juga oleh Kejaksaan Agung. Itupun berlangsung dramatis. Ginandjar Kartasasmita ditahan di Rutan Kejaksaan Agung, meski semula direncanakan akan ditahan di Rutan Salemba. Sejumlah pengacara senior yang sudah berusia 60 tahun ke atas setia mendampingi, dan bahkan ikut menemani menginap di sel Rutan Kejagung. Mereka menyebutnya sebagai tanda solidaritas terhadap klien mereka yang tak seharusnya ditahan.

Akan tetapi perlawanan paling kuat yang mereka lakukan adalah pengajuan pra peradilan sampai dua kali. Pra peradilan pertama dilakukan terhadap penahanan Ginandjar Kartasasmita. Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan –yang kala itu dikenal sebagai kuburan bagi berbagai kasus korupsi– menyatakan bahwa tindakan Kejaksaan Agung melakukan penyidikan, penahanan dan pembantaran dalam kasus Ginandjar Kartasasmita itu “sebelum tanggal 9 April adalah tidak sah”. Dan ketika Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah penahanan baru, 17 April, kembali para pengacara Ginandjar Kartasasmita mem-pra-peradilan-kan Kejaksaan Agung. Surat Perintah Penahanan baru itu dianggap tidak sah karena tidak ikut ditandatangani oleh jaksa-jaksa militer yang ikut menjadi tim pemeriksa. Lagi-lagi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Ginandjar Kartasasmita. Dengan adanya pra peradilan kedua itu, Mingguan Berita Tempo lalu melontarkan pertanyaan “sampai kapan kasus korupsi Pertamina ini bisa ke pengadilan?”.

Terkait perkara Ginandjar ini, setidaknya bisa dicatat, sikap institusi TNI, melalui surat dua petingginya. Pertama, surat berkategori konfidential, dari Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal Djamari Chaniago, 9 April 2001, yang ditujukan kepada tim pengacara Ginandjar Kartasasmita. Di situ disebutkan, memang ada pengiriman 4 personil oditur militer ke Kejaksaan Agung dalam rangka penyidikan. Namun, “Kewenangan penahanan tidak ada  pada keempat personil Oditur Militer tersebut, tetapi kewenangan penahanan a/n Marsdya TNI (Purn) Ginandjar Kartasasmita hanya ada pada Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum)/Papera”. Sebelumnya, 20 Maret 2001, Komandan Pusat Polisi Militer, Mayor Jenderal TNI Djasri Marin juga memberi tips dalam suratnya kepada para pengacara Ginandjar, bahwa “Dalam periode 1988-1993 Prof. Dr. Ir. H Ginandjar Kartasasmita sebagai Mentamben adalah sebagai Militer Aktif, dan apabila yang bersangkutan melakukan Tindak Pidana pada periode tersebut, maka Peradilan yang berwenang mengadili tindak pidana yang diduga dilakukan oleh yang bersangkutan adalah Peradilan Militer”.

Praktis, dengan melihat dua kekalahan pra-peradilan itu, Kejaksaan Agung yang kala itu dipimpin Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang menangani banyak kasus korupsi, secara khusus kandas dalam menangani kasus Ginandjar dan kawan-kawan, yang merugikan negara USD 24,8 juta. Sebagai suatu perkara koneksitas, dibutuhkan kerjasama oditur militer. Sementara itu bisa dipastikan para petinggi militer, sebagaimana yang bisa diikuti dari pernyataan sejumlah pejabat di bidang hukum militer, berkecenderungan kuat untuk mencegah kasus itu sampai ke pengadilan. Tak lain karena Ginandjar adalah perwira  militer –non Akmil– dengan pangkat terakhir Marsekal Madya TNI-AU. Mereka mengabaikan bunyi UU Anti Korupsi –UU No.3 tahun 1971 maupun UU No. 31 tahun 1999– yang menempatkan Jaksa Agung sebagai koordinator dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan militer aktif bersama pelaku sipil dan bahwa proses peradilannya pun harus di pengadilan umum. Kalau para oditur militer tak mau bekerjasama lalu apa yang bisa dilakukan?

Terlihat bahwa dalam praktek, ketentuan penanganan koneksitas atas perkara-perkara yang melibatkan pelaku-pelaku militer dalam kejahatan bersama pelaku sipil, cenderung menjadi faktor penghambat penegakan hukum. Tadinya diharapkan, bahwa adanya peradilan koneksitas bisa membuka cakrawala baru, karena sebelumnya, data empiris memperlihatkan betapa mahkamah-mahkamah militer itu hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Para perwira tinggi yang melakukan kejahatan keuangan di luar institusi militer tak mungkin bisa diadili melalui peradilan militer. Dan pada sisi lain bisa dikatakan hampir tak pernah ada peradilan korupsi internal dilakukan melalui peradilan militer. Penyelesaian cenderung menggunakan mekanisme ankum (atasan yang menghukum). Ada sikap lindung melindungi, yang tak boleh tidak berpangkal kepada keterlibatan bersama dalam melakukan dan atau menikmati hasil korupsi. Pun tak boleh dilupakan, bahwa ‘membantu’ dalam penyelamatan pelaku korupsi dengan angka jarahan besar, merupakan ladang untuk ikut mengais rezeki. Ada yang mengais rezeki secara sah dan terbuka, yakni para pengacara, tapi tak kurang banyak yang mengais rezeki gelap di belakang layar. Dari skala puluhan dan ratusan juta sampai skala milyaran rupiah.

Pada dasarnya, memang telah tercipta semacam tradisi bahwa bilamana seorang anggota militer, khususnya para perwira tinggi, terlibat dalam korupsi di luar institusi-institusi militer, kemungkinan besar akan diselamatkan. Apalagi bila sang pelaku tak melupakan korps atau rekan-rekan militernya yang masih bertugas di institusi induk. Akan tetapi bila yang dicuri adalah langsung uang milik institusi itu sendiri, tunggu akibatnya. Di masa Soeharto hanya sekali terjadi peradilan militer terhadap perwira yang korupsi, yaitu ketika sasaran korupsinya adalah keuangan Markas Besar Angkatan Darat. Namun, belakangan, ada juga beberapa kasus, yakni penjualan aset bangunan dan atau dana kesejahteraan bersama yang non budgetair seperti dana perumahan prajurit/Asabri, tidak ditangani melalui proses peradilan, melainkan sekedar sanksi karir sebagai suatu penyelesaian internal. Jenderal-jenderal pelakunya diberi jalan tengah berupa pemutasian, ke jabatan militer lainnya yang sedikit berkonotasi degradasi, ataupun ke jabatan sipil. Terutama bila kasus-kasus itu melibatkan cukup banyak pelaku internal. Atau ada dana yang disisihkan untuk ‘kesejahteraan’ bersama, misalnya di bidang pengadaan. Pokoknya, jangan bermain sendirian.

DI TUBUH Kepolisian RI, seorang Deputi Kapolri, Letnan Jenderal Polisi –kini disebut Komisaris Jenderal– Siswadji, pernah diadili dan dihukum melalui suatu peradilan terbuka, karena melakukan korupsi keuangan institusinya, sebesar 44 milyar rupiah (kala itu, tergolong sebagai jumlah yang besar). Kapolri waktu itu adalah Jenderal Widodo Budidarmo. Dalam suatu kebetulan yang naas, putera sang Kapolri, terlibat kecelakaan penggunaan pistol dinas yang menyebabkan tertembaknya ajudan Kapolri. Mau tak mau, peristiwa itu menjadi tanggungjawab Widodo Budidarmo. Akumulasi dua peristiwa ini, menyebabkan dipanggilnya Letnan Jenderal Polisi Awaluddin Djamin di tahun 1978 dari pos Duta Besar RI di Jerman Barat untuk menjabat sebagai Kapolri. Menhankam/Pangab waktu itu, Jenderal Muhammad Jusuf, memberi perintah, “Kau benahi kepolisian seluruhnya”. Jenderal Jusuf mengatakan, citra dan wibawa Kepolisian RI saat itu sedang merosot. Ketika itu dianggap tak ada perwira teras dalam internal institusi yang bisa dipercaya untuk memperbaiki Polri, karena semuanya telah terkontaminasi berbagai jenis kebobrokan. “Sudah bahaya betul, kalau begini”, kata Jenderal Jusuf. Maka Awaluddin Djamin, seorang perwira Polri yang sudah lama berada di luar institusi dipanggil untuk pembenahan.

Keterlibatan Letnan Jenderal Siswadji dalam kasus korupsi yang menggerogoti tubuh institusinya sendiri, sebenarnya cukup mengejutkan banyak pihak. Siswadji saat masih berpangkat perwira menengah, termasuk barisan perwira yang melawan pengaruh Brigjen Polisi Sutarto, wakil Dr Subandrio di BPI (Biro Pusat Intelijen), yang berorientasi kiri. Setelah Peristiwa 30 September 1965, Siswadji yang dianggap perwira cemerlang, ikut berjuang membersihkan Kepolisian RI yang sarang pendukung Orde Lama menjadi Orde Baru. Ia juga memimpin pengelolaan Universitas Res Publica milik Baperki yang diambil-alih menjadi Universitas Trisakti.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke bagian 3.

One thought on “Kisah Korupsi Para Jenderal (2)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s