Tag Archives: Dr Midian Sirait

Agama dan Pancasila: Membuka Belahan Luka Lama

SIAPA bisa menduga. Mendadak terjadi sebuah silang pendapat seputar Pancasila yang seakan membuka belahan ‘luka lama’ yang pernah terjadi di sekitar momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Padahal belahan luka itu sudah dirapatkan kembali dengan sikap bijak dan jiwa besar para pendiri bangsa dan republik ini. Pertama kali langsung di awal kemerdekaan. Dan yang kedua kali, dalam momen Dekrit 5 Juli 1959 yang disampaikan Presiden Soekarno dengan dukungan persetujuan Jenderal AH Nasution dan beberapa tokoh politik Islam.

Ironis bahwa toreh ulang atas luka justru tercipta karena ucapan tak cermat seorang Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila di tahun 2020 saat tokoh-tokoh kekuasaan gencar mengkampanyekan retorika ‘Saya Indonesia Saya Pancasila’ sejak akhir Mei dan awal Juni 2017. Kendati dengan susah payah coba diluruskan kemudian oleh sang Kepala BPIP dan orang-orang pemerintahan, ucapan yang menurut Franz Magnis Suseno (18/2) adalah sembrono, yang telah terekam di kepala khalayak itu, tak bisa ‘dibersihkan’ kembali. Malah, cara klarifikasi yang dilakukan sejumlah orang yang berpretensi sebagai ‘jurubicara’ pemerintah dengan pembenaran artifisial –yang menempatkan publik sebagai awam yang bodoh-bodoh– justru menambah tingkat kejengkelan. Continue reading Agama dan Pancasila: Membuka Belahan Luka Lama

‘Hantu’ PKI dan Filsafat Marxis Kontemporer

MENJELANG 52 tahun Peristiwa 30 September 1965, banyak disebutkan tentang gejala neo-komunisme. Apakah ideologi itu masih ada dan akan tumbuh kembali dalam berbagai wujud baru? Secara spesifik untuk konteks Indonesia bahkan mengemuka diskursus tentang kemungkinan bangkitnya kembali PKI. Selasa malam 19 September 2017, melalui tvOne, Indonesia Lawyers Club memilih tema pembahasan yang mempertanyakan apakah PKI itu nyata atau hantu?

Ada yang menyatakan PKI itu adalah hantu yang sekaligus juga nyata. Namun –seperti halnya diskursus yang berlangsung di masyarakat beberapa tahun terakhir– ada juga yang menyebutkan komunisme adalah ideologi yang sudah rontok. Salah satunya, budayawan Goenawan Mohammad. Dalam sebuah wacananya ke publik ia menggambarkan ‘kematian’ komunisme dengan mengutip Alexander Solzhenitsyn, “Bagi kami di Rusia, komunisme itu anjing yang mati.”

MARZUKI DARUSMAN. “Kita tidak terampil menanggapi dimensi-dimensi baru ideologi, khususnya yang terkait dengan komunisme.”

Betulkah komunisme sudah mati? Rontok dalam kekuasaan, mungkin, ditandai oleh bubarnya Uni Sovyet, kembali menjadi keping-keping banyak negara seperti semula. Tapi bisakah ideologi mati begitu saja? Di China daratan, meski sepak terjang dalam kehidupan ekonominya sudah kapitalistis, tetapi ideologi politiknya tidak ikut mati.

Terlepas dari itu semua, kelihatannya tak banyak orang mengikuti wacana yang terbuka di dunia internasional tentang perkembangan komunisme, mengenai ideologi, maupun mengenai kapitalisme dan sebagainya. “Ini membuat kita tidak terampil menanggapi dimensi-dimensi baru ideologi,” kata Marzuki Darusman dalam suatu percakapan, “khususnya yang terkait dengan komunisme.”

Sebenarnya terdapat informasi dan pengetahuan baru bahwa komunisme sebagai ideologi saat ini sedang mencari penjelmaan baru melalui tokoh-tokoh cendekiawan dunia seperti Slavoj Žižek, peneliti senior sosiologi di Universitas Ljubljana, Slovenia.

Žižek mencanangkan suatu masa depan dengan ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau. Ia menggunakan filsafat Marxis kontemporer dengan pendekatan kultural, dan menjabarkan diri sebagai kiri radikal yang mengkritisi neo liberalisme. Jadi, memang ada upaya untuk merehabilitasi komunisme di lingkungan cukup terpandang di kalangan intelektual dunia sekarang. Akan tetapi bila kita tak mengikuti prosesnya dengan cermat, kita tak akan mengerti bahwa proses pencarian itu bukan serta merta merupakan tiruan ideologi komunisme masa lalu.

“Karena kaitan tugas di PBB, saya misalnya juga harus mengamati perkembangan di Korea Utara. Negara itu tidak mengklaim dirinya sebagai negara dengan sistem sosialis apalagi komunis. Mereka mengklaim dirinya sebagai negara dengan ideologinya sendiri, dan tidak lagi menggunakan label komunisme,” kata Marzuki Darusman. Tapi sistem yang diterapkan di Korea Utara selama ini adalah sistem yang ekstrim, yang sama dengan sistem Stalinis di Rusia masa lampau. Katakanlah, komunisme dengan Stalinisme. Tapi, tidak persis seperti itu sebenarnya. Sistem totaliter yang dulu diterapkan di Uni Soviet, lebih tepat disebut sebagai Stalinisme –yang kini sudah runtuh. Stalinisme adalah bentuk komunisme yang degeneratif, yaitu komunisme yang menjelma menjadi terpusat pada kultus personalitas. Sepuhannya kala itu mungkin komunisme, tapi hakekatnya adalah Stalinisme, sama dengan Maoisme di China.

SLAVOJ ZIZEC. “Ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau.”

Perlu mencoba membuka ufuk pemikiran baru, untuk lebih mewacanakan secara tenang dan tidak tergopoh-gopoh bertindak menghadapi fenomena baru itu. Apakah itu untuk mencegah atau untuk membela diri, karena kedua-duanya sama-sama tidak menyelesaikan soal. Lebih penting sekarang dalam konteks Indonesia adalah bagaimana bisa melakukan hal-hal berharga untuk ke depan ini. Bukan sebatas berslogan mencegah terjadinya pengulangan dari peristiwa seperti yang terjadi pada September 1965. Untuk itu harus kritis. Sama pentingnya tentu adalah jangan sampai terjadi pengulangan masa Soekarno tahun 1960-1965 maupun pengulangan Orde Baru.

Menyikapi fenomena ideologis tidak bisa hanya dengan sikap marah-marah, melainkan dengan membangun barikade pemikiran yang bersumber pada ideologi nasional, yaitu Pancasila. Di sinilah agaknya kita tertinggal, sehingga seringkali menghadapi komunisme semata-mata sebagai hantu. Tidak sebagai suatu tantangan dalam konteks ideologi bangsa, misalnya dalam kaitan berkembangnya filsafat Marxis kontemporer. Salah seorang tokoh penggagas pembaharuan politik Indonesia Dr Midian Sirait (almarhum), melalui bukunya yang diterbitkan bertepatan dengan usianya 80 tahun, pernah mengajukan perlunya revitalisasi Pancasila. Tapi mungkin, jalan yang lebih tepat lagi, seperti diajukan Marzuki Darusman, adalah ideologisasi lanjut dari Pancasila. Meski, proses itu tidak bisa berlangsung sekejap dan instan. Memerlukan waktu, dan memerlukan juga proses kecendikiawanan (socio-politica).

Kisah Kandas Tokoh Sipil dan Militer Dalam Pembaharuan Politik (3)

MESKI terdapat sejumlah perspektif keberhasilan, halangan bagi pembaharuan politik masih jauh lebih banyak lagi, yang terkait dengan hasrat kekuasaan. Hambatan bagi gagasan pembaharuan politik di Indonesia, sesungguhnya juga datang dari Soeharto sendiri dengan segala perkembangan dan perobahan yang terjadi pada dirinya dan di lingkungannya. Seiring dengan berjalannya waktu, Soeharto berobah. Dirobah oleh kekuasaan. 

Soeharto sendiri memang berangsur berobah sikap. Pada awalnya ini bisa diketahui dari cerita-cerita Ali Moertopo kepada beberapa orang yang dipercayainya. Kalau Ali baru kembali dari bertemu dengan Soeharto ia mengajak beberapa orang berkumpul dan menginformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi ‘raja’, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota. Kehadiran keluarganya di berbagai bidang kehidupan, mulai dipandang menganggu oleh banyak orang. Ada koreksi, misalnya dari Jenderal Benny Murdani, tapi semuanya nyaris tak diindahkan. Kejengkelan-kejengkelan makin terakumulasi dari hari ke hari. Tahun 1967-1969 bahkan hingga 1970, sebenarnya Soeharto masih mau demokratis. Mau datang ke parlemen dan sebagainya. Tetapi terutama setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dengan kentara ia kembali menjadi sepenuhnya tentara. Berkali-kali ia melontarkan pidato keras dan emosional. Sikapnya terhadap Golkar dalam pada itu juga berobah, kini Golkar hanya dianggap tangan kekuasaan, mencapai dan mempertahankan tahta. Padahal pada mulanya Golkar dibangun sebagai kekuatan politik untuk merekrut orang-orang non ideologis dan berpegang pada Pancasila, dalam posisi mitra politik strategis.

JENDERAL ALI MOERTOPO. "Kalau Ali baru kembali dari bertemu dengan Soeharto ia mengajak beberapa orang berkumpul dan menginformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi ‘raja’, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota."
JENDERAL ALI MOERTOPO. “Kalau Ali baru kembali dari bertemu dengan Soeharto ia mengajak beberapa orang berkumpul dan menginformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi ‘raja’, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota.”

Beberapa bulan sebelum Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), masih di tahun 1973, salah satu tanda awal perobahan perlakuan politik Soeharto terhadap Golkar, adalah dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Perkawinan di DPR-RI. Ratusan orang dari Tangerang datang ke DPR, membubarkan sidang pembahasan RUU tersebut di DPR, menginjak-injak meja pimpinan DPR. Setelah peristiwa itu, proses RUU diputar 180 derajat mengikuti usul PPP. Soeharto memerintahkan, benar atau tidak benar isinya, RUU itu harus disahkan segera menjadi UU. Panglima Kopkamtib Letnan Jenderal Soemitro datang ke DPR untuk melaksanakan perintah itu. Golkar ditinggalkan, FKP dipersalahkan dan dianggap terlalu ngotot mempertahankan prinsip-prinsipnya, Soeharto merangkul PPP. Kenapa Soeharto melakukan itu? Menurut analisa intelijen, gejala keresahan yang kala itu meningkat di kalangan mahasiswa di berbagai kampus, pada akhirnya akan bermuara pada suatu letupan –yang ternyata kemudian terbukti dalam wujud Peristiwa 15 Januari 1974. Ditakutkan bahwa gerakan generasi muda Islam, terutama terkait dengan RUU Perkawinan, bila dibiarkan tak terselesaikan akan bertemu dan membesar bersamaan dengan keresahan generasi muda dari kampus yang menggejala dan akan membesar pula. Faktanya, yang terjadi hanyalah Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), yang dengan mudah dipotong melalui suatu skenario terancang baik, dengan tuduhan didalangi PSI.

Setelah Malari, Golkar ditetapkan harus dipegang ABRI. Jabatan Pelaksana Harian Dewan Pembina selalu dipegang oleh Panglima ABRI. Tubuh Golkar sendiri mengalami semacam pembersihan.

Tanpa nilai dan kebajikan baru. Banyak bagian dari rasionalitas –dan mungkin juga model kegairahan berpolitik– di tahun-tahun awal pasca Soekarno itu, kini hilang dan atau tidak ditemukan dalam euphoria kebebasan masa reformasi. Kini di era reformasi dan sesudahnya banyak orang menganggap keterikatan itu tidak boleh ada dalam demokrasi. Padahal kebebasan dan keterikatan selalu tarik menarik dalam kehidupan manusia, menuruti hukum alam. Tak mungkin hanya kebebasan tanpa keterikatan. Tetap harus ada aturan, tetap harus ada keterikatan hukum dan keterikatan akan norma-norma masyarakat yang beradab. Jangan membiarkan diri hidup tak berbudaya. Kini, budaya parlemen –untuk menyebut satu contoh penting dalam kehidupan politik Indonesia– seakan-akan menjadi tak karuan lagi. “Di Inggeris orang menyebut member of parliament sebagai the honourable, tapi di Indonesia bagaimana kita boleh menyebut terhormat lagi bila orang lebih mengutamakan urusannya sendiri saja lebih dulu? Jika tidak cermat menjaga harkat dan martabat, suatu waktu bisa saja menjadi horrible member of parliament,” ujar Dr Midian Sirait.

Demokrasi memang membuka pintu bagi siapa pun untuk masuk parlemen, tapi itu tidak berarti tak perlu lagi ada kriterium kualitatif dalam aturan kehidupan politik mengenai siapa-siapa saja yang wajar untuk masuk parlemen. Di sini salah satu kekurangan dari reformasi ini. Boleh saja menghujat orde baru bila tidak memahami secara lengkap sejarah politik Indonesia dari waktu ke waktu, tetapi harus diakui bahwa bahkan di masa awal orde baru ada visi, setidaknya dalam konsep-konsep yang dilontarkan oleh kaum intelektual, seperti gagasan merubah dan memperbaharui struktur politik, dan ada proses institusionalisasi dari kepentingan infrastruktur maupun suprastruktur. Proses merobah dan merombak dalam kehidupan politik dan ekonomi untuk beberapa lama berjalan dengan arah yang baik, sebelum kembali dilumpuhkan oleh ‘keberhasilan’ pemusatan kekuasaan di tangan satu orang karena dukungan-dukungan oportunistik terkait pengutamaan hasrat kekuasaan.

Ketika muncul, para pelopor reformasi tidak mempersiapkan visi. Tidak oleh perorangan tokoh, tidak oleh kelompok-kelompok pendukung reformasi, bersamaan dengan fakta bahwa reformasi sejauh ini hanyalah retorika. Tidak ada pembaharuan konsep moral dan penciptaan etika politik baru untuk mengganti konsep yang dianggap menyimpang di masa kekuasaan lampau. Setiap anggota parlemen menyebut diri mempunyai hak konstitusional. Termasuk paling buruk adalah setiap sidang paripurna penuh dengan interupsi. Semua ingin bicara tanpa aturan tata tertib lagi, seakan kehidupan liar di alam. Siapa yang ingin bicara, terus langsung interupsi, dan tak jarang terjadi interupsi terhadap interupsi. Bahkan interupsi atas interupsi atas interupsi.

Suasananya pengap, tak beda dengan kepengapan akibat kepungan asap kebakaran hutan.

Interupsi di DPR ini dimulai masih di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, yang dilakukan oleh Sabam Sirait dari PDI, saat Wahono menjadi Ketua DPR-RI. Itupun sebenarnya hanya untuk meminta jangan dulu diambil keputusan. Apa yang dilakukan Sabam waktu itu sudah dianggap berani. Sekarang, dianggap mode untuk unjuk kehebatan. Tentunya harus ada aturan, misalnya giliran fraksi per fraksi. Harus ada etika untuk bersedia mendengar dulu pendapat orang lain baru kemudian dikomentari. Sekarang, nyatanya bila ada yang sedang bicara, belum selesai sudah dipotong. Ketua bicara pun dipotong. Maka barangkali bisa difahami kenapa ada keengganan Presiden atau para eksekutif lainnya untuk memenuhi undangan DPR. Itu terjadi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Presiden Joko Widodo. Lembaga DPR itu sama kedudukannya dengan Presiden, namun ada fungsionalisasi dan semua fungsi sama pentingnya. Harus ada kemauan untuk saling menghormati, meski pun berbeda pendapat. Itulah demokrasi, sesungguhnya. 

Budaya aktual di parlemen ini, tentu bukan satu-satunya masalah yang saat ini dihadapi. Ada sejumlah masalah lain yang harus dibenahi, mulai dari penegakan supremasi hukum sampai kepada masalah bagaimana kebebasan pers bisa digunakan dengan baik hingga kepada masalah pembaharuan perilaku politik agar lebih berbudaya, serta masalah kebutuhan akan keluhuran seorang pemimpin.

Kita bisa bersama memberi catatan dan perhatian untuk masalah-masalah tersebut.

Dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan politik serta kehidupan bernegara, kita makin kekurangan solidarity makers seperti Adam Malik, Mohammad Hatta, IJ Kasimo, Mohammad Natsir ataupun type Soekarno bahkan Tan Malaka. Semua orang yang bergerak di kancah politik saat ini, bukan solidarity maker –kalau tidak malah, meminjam Dr Midian Sirait, beberapa di antaranya adalah trouble maker. Kebanyakan hanya mampu menciptakan pertemanan atau solidaritas terbatas di kelompok kepentingannya. Bahkan dalam tubuh partai pun bisa terjadi solidaritas tidak utuh, karena adanya klik-klik kepentingan. Lihat Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan atau Partai Amanat Nasional, dan sebelumnya Partai Kebangkitan Bangsa. Kuatnya klik-klik kepentingan ditubuh partai membuat partai rapuh dan mudah dibelah-belah dari luar, misalnya oleh kalangan penguasa, atau tepatnya, oleh partai yang sedang berkuasa. Contoh paling aktual, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, yang bisa dijungkir-balikkan melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly –yang adalah kader PDIP.

 ‘Pendidikan politik’ yang berlangsung bukan untuk kepentingan etis, tetapi lebih banyak untuk kepentingan kekuasaan sendiri semata-mata. Politik sekarang lebih banyak berkonotasi taktis, penuh perjuangan taktik, bukan perjuangan untuk tujuan-tujuan strategis dan luhur. Partai-partai kini untuk sebagian besar telah menjelma sebagai partai-partai oligarkis. Para pemimpin partai berkecenderungan kuat memperlakukan partainya sebagai milik pribadi. Walau dari mulut mereka masih selalu terlontar retorika demokrasi dan retorika berjuang untuk rakyat.

Kehidupan politik seakan tak pernah berhasil tersentuh nilai dan kebajikan baru.Agaknya pembaharuan politik hingga sejauh ini memang masih selalu kandas. 

-Disusun dari beberapa dokumentasi hasil wawancara dan dokumentasi lainnya. (socio-politica.com)

Kisah Kandas Tokoh Sipil dan Militer Dalam Pembaharuan Politik (2)

‘METODE’ struggle from within ini bukannya tak pernah dicoba. Melalui Golongan Karya. Meski suatu waktu, 40 tahun kemudian, Rahman Tolleng akhirnya mengakui, “Asumsi-asumsi kami ternyata sebagian salah. Dan karenanya harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi.” Katakanlah semacam fatamorgana.

Dalam Sidang Umum MPRS Maret 1968, tiga tokoh sipil yang bergabung dalam Golkar –Dr Midian Sirait, Rahman Tolleng dan tokoh pers dari Bandung Djamal Ali SH– ditampilkan secara bergiliran berpidato. Mereka tampil menyampaikan konsep perubahan struktur politik yang dibarengi pembangunan ekonomi, yang sekaligus menempatkan pentingnya penciptaan kepastian hukum. Tetapi untuk kepastian hukum itu diperlukan dukungan politik. Karena itu struktur politik harus diperbaharui, untuk mengenyahkan pertarungan ideologi dan menggantikannya dengan orientasi program, guna terciptanya dukungan politik yang sehat. Sementara itu, sejumlah partai pada Sidang Umum yang sama, lebih fokus menyampaikan keinginan agar segera dilaksanakan pemilihan umum. Konteksnya, tak lebih tak kurang adalah perebutan porsi kekuasaan.

Sipil dan Militer. DALAM suatu kurun waktu di tahun 1969-1972, Golkar dan ABRI mengadakan sesi yang berlangsung terus menerus untuk merumuskan mengenai akselerasi dan modernisasi 25 tahun. Topik dan terminologi ini, di belakang hari selalu disebut dan dipopulerkan oleh Mayor Jenderal Ali Moertopo, sehingga banyak yang menganggapnya sebagai gagasan Aspri Presiden tersebut. Dr Midian Sirait menuturkan, rantai awal menuju lahirnya gagasan percepatan modernisasi dalam jangka 25 tahun tersebut sebenarnya adalah simposium tahun 1968 di Bumi Sangkuriang itu. Masukan dalam simposium itu disimpulkan dan diteruskan Seskoad ke Presiden Soeharto. Cara penyampaian gagasan dan pemikiran seperti ini telah dilakukan berkali-kali. Bila kalangan gerakan pembaharuan perlu menyampaikan pemikiran kepada Soeharto, maka itu dilakukan lewat Mayor Jenderal Soewarto sampai 1967 maupun melalui Tjakradipura, Komandan Seskoad berikutnya. Termasuk misalnya pemikiran Soemitro Djojohadikoesoemo di Eropa –tentang pembangunan ekonomi– yang dikirim lewat seorang pilot sampai Hongkong, diterima Tombokan dan disampaikan ke Dr Midian Sirait lalu diteruskan ke Soeharto lewat Mayjen Soewarto.

JENDERAL SOEHARTO - JENDERAL HR DHARSONO. "Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak gagasan itu, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. Gagasan dwi partai Sang Jenderal pembaharu, kandas."
JENDERAL SOEHARTO – JENDERAL HR DHARSONO. “Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak gagasan itu, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. Gagasan dwi partai Sang Jenderal pembaharu, kandas.”

Demikianlah di tahun 1969-1972 lima tokoh sipil yang untuk sebagian adalah peserta percobaan struggle from within –Rahman Tolleng, Sumiskum, Moerdopo, Oetojo Oesman dan Midian Sirait– mewakili Golkar dalam rangkaian sesi dengan tim ABRI, yang diketuai oleh Amir Moertono yang ketika itu menjabat Asisten Sosial Politik ABRI. Amir bekerja di bawah Kepala Staf Kekaryaan ABRI Jenderal Darjatmo. Karena Oetojo Oesman kerap kali tidak muncul, sementara Moerdopo sibuk untuk berbagai urusan lain, maka praktis tiga lainnya yang selalu muncul dalam rangkaian sesi marathon tersebut.

Cukup banyak perbedaan yang muncul kala itu dengan pihak ABRI. Orang-orang sipil itu menyebut jangka waktu akselerasi-modernisasi selama 25 tahun –mengacu pada simposium 1968– sedang ABRI menginginkan jangka 30 tahun. Bagaimana dengan struktur politik di masa datang? Rahman Tolleng tampil dengan teori missile: Pendorong utama adalah ABRI, pendorong kedua pegawai negeri dari kalangan birokrasi pemerintahan, lalu pendorong ketiga adalah partai politik dan organisasi massa. ABRI protes: “Jadi kita ini pendorong saja? Setelah lepas landas, kita ditinggal?”. Teori yang diprotes ini hampir sama dengan ide Adam Malik, setelah tugas selesai, agar tidak berdosa, sang malaikat kembali ke langit. Berikutnya, Sumiskum memaparkan pentahapan 5 tahunan dalam 25 tahun. Pada 5 tahun pertama ABRI berkuasa, 5 tahun kedua ABRI memimpin, dan makin berkurang peranannya dalam tahapan-tahapan berikut, untuk pada akhirnya ABRI pun berlalu. Meredakan kegusaran ABRI, akhirnya Midian Sirait menyampaikan agar dalam menjalani 25 tahun itu, ABRI lah sendiri yang menentukan kapan mengakhiri tugas dan meninggalkan politik. Tapi apakah mereka sudi berhenti sukarela begitu? “Takkan berhenti mereka,” demikian Rahman memprotes. Namun Midian mengatakan itu hanya penyampaian taktis belaka sebagai bagian dari persuasi. Tetapi Rahman tetap mempertahankan gagasan, dan harus berhadapan dengan ABRI dalam forum ini.

Di tahun 1969-1972 itu, di medan lainnya dalam kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Dari KASI Bandung, sebelumnya muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Gagasan Dwi Partai ini pertama kali menjadi topik dalam suatu pembicaraan antara Soemarno –yang kala itu juga adalah politisi di DPR– dengan Rahman Tolleng. Pembicaraan yang sama tampaknya juga dilakukan Soemarno dengan dr Rien Muliono Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.

Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak gagasan itu, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. Gagasan dwi partai Sang Jenderal pembaharu, kandas. Semestinya, kata Midian Sirait, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang.”

Seperti diketahui, sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan oleh Sjafruddin Prawiranegara pada simposium di Bandung. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Sebenarnya, sebelumnya sekitar waktu itu pernah ada yang mengajukan gagasan 5 partai, yakni 2 partai Islam, 1 partai nasional, 1 partai Kristen-Katolik serta 1 Golongan Karya. Namun terhadap gagasan ini, Ali Moertopo bilang, “Sudahlah, pak Harto telah memutuskan 3 partai.”

Benang merah gerakan pembaharuan kala itu, dari Bandung khususnya, adalah perombakan struktur politik, melaksanakan dwi partai, dan tentara tidak lagi masuk dunia politik, barulah tercipta kehidupan politik baru dalam sistem politik dengan kelengkapan infrastruktur dan suprastruktur. Tapi itu semua  ternyata bukan sesuatu yang mudah dikerjakan.

Pengalaman terbenturnya gagasan dwi partai, antara lain menunjukkan banyaknya hambatan bahkan kemusykilan yang harus dihadapi. Tapi terlepas dari itu, kenyataan juga menunjukkan bahwa sedikit banyak Golkar dalam kadar tertentu sempat menjadi wahana bagi kaum pembaharu untuk memperjuangkan gagasannya. Berbeda banyak dengan Golkar masa kini yang lebih penuh pertikaian opportunistik antar tokoh-tokoh antagonis. Bagaimana pun, sejumlah gagasan pembaharuan berhasil diwujudkan, misalnya pembentukan ormas-ormas mandiri yang bukan onderbouw partai atau Golkar. (Berlanjut ke Bagian 3 socio-politica.com)

Kisah Kandas Tokoh Sipil dan Militer Dalam Pembaharuan Politik (1)

BERITA-BERITA 11 Maret 2016 di berbagai suratkabar nasional, menyebutkan terjadinya kembali kebakaran lahan dan hutan di beberapa provinsi. Namun, kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, jumlah titik apinya jauh lebih kecil dibanding tahun lalu. Tapi sebenarnya, di Indonesia, bukan hanya hutan yang bisa terbakar dan membuat beberapa bagian negara ini nyaris hilang terbungkus asap, membuat penduduk di kawasan sekitar tersengal-sengal sesak napas seperti terjadi berkali-kali. Kebakaran juga sering melanda kehidupan politik. Itu sebabnya, kehidupan politik dan kepartaian di sini kerap berbau sangit.

Bak hutan ‘konsesi’  yang ditangani sejumlah korporasi dengan jalan pintas aksi kriminal ‘bakar-membakar’ untuk land clearing, dalam kehidupan politik merambah ‘hutan’ kepentingan dengan cara membakar juga terjadi. Maka dalam beberapa tahun terakhir, kehidupan politik Indonesia pun senantiasa diselimuti kabut asap yang menyesakkan. Ada kesalahan dalam pembangunan sistem politik Indonesia dari waktu ke waktu, yang tak terlepas dari kandasnya serangkaian upaya pembaharuan politik beberapa dekade terakhir. Antitesisnya justru cenderung datang dari kalangan pemegang kunci-kunci kekuasaan sendiri, yang menikmati statusquo ‘sistem’ politik yang ada selama ini. Dan begitu dikritisi, muncul tudingan deparpolisasi dan semacamnya.

STATUS QUO. "Ada kesalahan dalam pembangunan sistem politik Indonesia dari waktu ke waktu, yang tak terlepas dari kandasnya serangkaian upaya pembaharuan politik beberapa dekade terakhir. Antitesisnya justru cenderung datang dari kalangan pemegang kunci-kunci kekuasaan sendiri, yang menikmati statusquo ‘sistem’ politik yang ada selama ini." (Karikatur dasar, T. Sutanto)
STATUS QUO. “Ada kesalahan dalam pembangunan sistem politik Indonesia dari waktu ke waktu, yang tak terlepas dari kandasnya serangkaian upaya pembaharuan politik beberapa dekade terakhir. Antitesisnya justru cenderung datang dari kalangan pemegang kunci-kunci kekuasaan sendiri, yang menikmati statusquo ‘sistem’ politik yang ada selama ini.” (Karikatur dasar, T. Sutanto)

            Pasca Soeharto, sistem kepartaian Indonesia berbalik 180 derajat kembali menjadi multi partai dengan kecenderungan praktek parlementer meski menurut sistem formal ketatanegaraan yang ada masih menggunakan sistem presidensial. Dan karena tak pernah ada partai yang berhasil memenangkan suara yang cukup untuk menciptakan mayoritas kerja di parlemen, maka tawar menawar politik menjadi bagian sehari-hari dalam praktek politik di lembaga perwakilan rakyat. Presiden yang terpilih dalam tiga kali pemilihan umum presiden secara langsung selalu dibayangi kekuatiran politik karena tak memiliki mayoritas kerja yang kuat di DPR dan harus melakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai yang ada. Berbagai cara, seakan dihalalkan demi terciptanya mayoritas kerja itu, baik melalui pembentukan ‘koalisi semu’ maupun ‘pelemahan’ partai seberang –bila perlu melalui akuisisi melalui paksaan kekuasaan. Dalam beberapa kasus ‘kekuasaan’ dan ‘kewenangan’ Menteri Hukum dan HAM digunakan sebagai tongkat penggebuk, bahkan bila perlu, tanpa mengindahkan keputusan Mahkamah Agung sekali pun.

Bangunan politik baru: Antara cita-cita dan fatamorgana. TAK LAMA setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965 dengan segera sejumlah tokoh intelektual dan kelompok generasi muda di masyarakat yang berbasis kampus berbicara tentang perlunya penghancuran bangunan politik lama. Ada yang menyebutnya bangunan politik G30S/PKI, tetapi yang dimaksudkan sebenarnya adalah bangunan politik Nasakom yang setidaknya selama sekitar lima tahun terakhir setelah Dekrit 5 Juli 1959 dibangun oleh Soekarno. Sebagai pengganti bangunan politik lama itu, harus dibangun suatu bangunan politik baru yang menjamin keadilan, kebenaran, kemanusiaan dan demokrasi –yang praktis hilang dalam 5 tahun terakhir kekuasaan Soekarno– untuk membuka kemungkinan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dengan lebih baik.

            Banyak pemikiran baru dan segar yang muncul dari kalangan cendekiawan dan generasi muda kala itu, yang memperlihatkan keinginan kuat agar pembaharuan politik dilakukan sesegera mungkin. Namun sepanjang tahun 1966 wacana pembaharuan politik untuk sementara tenggelam dalam arus gerakan pembubaran PKI dan kemudian gerakan retoris melahirkan Orde Baru untuk menggantikan Orde Lama Soekarno. Dan masih pada tahun yang sama gerakan generasi muda tahun 1966 bereskalasi menjadi gerakan menurunkan Soekarno dari kekuasaan negara, mulai dari Bandung dan kemudian Jakarta sebelum merambat ke kota-kota perguruan tinggi lainnya di Indonesia.

Segera setelah turunnya Soekarno dari kekuasaan formal di bulan Maret 1967, barulah kelompok cendekiawan dan mahasiswa dari Bandung bisa lebih terfokus menyentuh isu pembaharuan politik. Mereka menggunakan terminologi yang lebih tajam, yakni sebagai usaha perombakan struktur politik. Bendera perombakan struktur politik ini berlangsung hingga beberapa lama. Tetapi pada sisi lain dengan segera terlihat pula bahwa upaya perombakan struktur politik ini menghadapi hambatan-hambatan, yang antara lain terutama datang dari kalangan partai-partai ideologis yang  keberadaannya berakar dari zaman Soekarno. Tetapi kelak di kemudian hari, upaya perombakan struktur politik itu kerapkali justru harus berhadapan dengan Jenderal Soeharto yang ternyata memiliki arus pemikiran berbeda. “Padahal,” menurut Dr Midian Sirait –salah satu tokoh KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) yang bersama tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dari Bandung Rahman Tolleng, banyak melontarkan gagasan perombakan struktur politik– “pada mulanya Soeharto sempat diharapkan sebagai tokoh yang akan menerobos kebekuan politik yang ada pada rezim terdahulu.”

            Terhadap arus pemikiran Jenderal Soeharto yang berbeda, sejumlah tokoh memprakarsai suatu simposium pembaharuan di Bandung, 10 hingga 12 Pebruari 1968. Simposium yang berlangsung di Bumi Sangkuriang Bandung ini diselenggarakan bersama oleh KASI, ITB, Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) dan Kodam Siliwangi. Peserta simposium antara lain tokoh-tokoh terkemuka seperti Mohammad Hatta, Adam Malik, Sultan Hamengku Buwono IX, TB Simatupang, Sjafruddin Prawiranegara, IJ Kasimo, Mr Sumanang dan Mohammad Natsir. Dr Midian Sirait menjadi ketua Steering Committee dan memimpin diskusi bergantian dengan Kolonel Samosir dari Seskoad. Komandan Seskoad kala itu adalah Jenderal Tjakradipura. Diskusi berlangsung 3 hari, tanpa kehadiran wartawan. Kini boleh dikatakan semua peserta diskusi telah tiada, termasuk tokoh KASI Adnan Buyung Nasution selain Midian Sirait.

Kepada seorang penulis buku, Rum Aly, Dr Midian Sirait menuturkan, “Saya memimpin diskusi itu dengan sangat hati-hati, agar jangan sampai ada di antara tokoh bangsa ini yang tersinggung. Mulanya mereka bertanya kenapa mereka diundang. Saya menjawab, bapak-bapak diundang karena tidak pernah terlibat dalam kekuasaan di masa Soekarno. Saya mempersilahkan mereka berbicara berdasarkan urutan alfabetis. Dengan demikian Adam Malik selalu berbicara dulu dan Sjarifuddin Prawiranegara serta TB Simatupang bicara belakangan.”

Dalam pertemuan itu tokoh Katolik IJ Kasimo mengatakan: “Sudahlah. Partai-partai politik yang ada sekarang ini telah berdosa sepanjang perjalanan sejarah politik kita. Sekarang kekuasaan ada di tangan tentara. Kita moratorium saja selama 25 tahun. Kita beri saja tentara kesempatan memimpin 25 tahun. Setelah 25 tahun kita tata kembali. Kita beri waktu 25 tahun sebagai periode moratorium pertentangan ideologi.”

Adam Malik lain lagi. Ia berkata: “Ya sudahlah, untuk sekali ini dalam revolusi perubahan kekuasaan ini biarlah tentara di depan. Selesai tugas, tentara kembali ke baraknya. Tentara ini kan seperti malaikat, jangan berpolitik. Bukankah politik itu kotor, jadi malaikat tidak usah terlibat lagi.” Mendengar ucapan Adam Malik, Jenderal Tjakradipura dengan agak marah, berkata: “Itu tidak manusiawi. Masa’ kami disebut malaikat? Tentara bukan malaikat, bung. Tapi kami punya tanggungjawab pada bangsa dan negara.”

TB Simatupang mengatakan, “Prosesnya harus dalam satu pencetan.” Simatupang mencontohkan pengalaman Turki di bawah Jenderal Kemal Ataturk. “Kemal Ataturk mengambil alih kekuasaan dan pada waktu yang sama ia menyuruh temannya mendirikan satu partai politik, dan berjalan sejajar dengan militer dalam kekuasaan. Kemudian, tiba waktunya Ataturk memberikan kekuasaan kepada partai politik yang sudah dipersiapkan itu. Dalam konteks Indonesia, kita harus mempersiapkan lebih dulu partai politik yang bisa bekerjasama.”

Bung Hatta samasekali tidak menyebut partai politik. Seperti yang kerap disampaikannya sebelumnya, ia menganjurkan menyerahkan kekuasaan hukum ke tangan polisi, perkuat kesatuan Brigade Mobil (Brimob), perkuat koperasi. Sjafruddin Prawiranegara lebih radikal. “Bubarkan semua partai,” ujarnya. “Lalu bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan yang ketiga satu partai netral.” Sjafruddin menggunakan istilah netral namun tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral –“ya, partai netral lah”, katanya– dan menghindari menyebut kekuatan sosialis. Di situlah Mohammad Natsir tampil dengan sosok seorang guru. “Jangan bubarkan partai politik”, ujarnya. “Partai itu ibarat belukar. Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang. Itulah keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik.” Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan ibarat ilalang sesuai belukar dibakar. Mungkin itu sebabnya Natsir mengingatkan, jangan dibakar, tapi biarkan. “Kita bina partai yang masih baik.”

“Jadi memang ada bermacam-macam pendapat yang muncul dalam diskusi di Bumi Sangkuriang itu,” Midian Sirait menyimpulkan. “Tapi setidaknya harus ada satu yang jelas, harus ada perubahan struktural. Sebagai pimpinan sidang saya melontarkan bagaimana caranya supaya ada perubahan struktural dalam rangka pembaharuan politik Indonesia. Saya sendiri lebih condong kepada suatu pemerintahan teknokratis yang dijalankan bersama militer. Biarkan saja 25 tahun ini pemerintahan yang teknokratis, sambil kita robah struktur masing-masing. Yang paling pokok adalah –seperti juga pendapat Rahman Tolleng– ada proses institusionalisasi dari gerakan, semisal masuk ke dalam parlemen untuk membangun parlemen yang lebih baik. Katakanlah, memperjuangkan gagasan dari dalam institusi formal.” (Berlanjut ke Bagian 2 – socio-politica.com).

Dari Dua Semarak ‘Pesta’: Angan-angan Akar Rumput dan Kemakmuran Elite

DALAM momen yang berdekatan di bulan Oktober 2014 ini, terjadi dua ‘pesta’ yang semarak.

Pertama, 20 Oktober 2014, usai pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, berupa ‘kirab budaya’ yang diorganisir relawan Jokowi untuk mengantar sang Presiden dari Gedung MPR menuju Istana Merdeka. Ini juga tergambarkan sebagai semacam pesta rakyat. Sebuah kelompok relawan Jokowi yang dipimpin seorang pengusaha kelapa sawit, mengorganisir dana untuk konsumsi senilai 385 juta rupiah. Tentu itu bukan satu-satunya kontribusi, dan biaya keseluruhan mungkin saja tak hanya berskala ratusan juta rupiah. Apalagi pesta rakyat itu berlanjut dengan konser salam tiga jari hingga malam hari di kompleks Monumen Nasional.

JOKOWI DAN JUSUF KALLA DI ATAS KERETA KENCANA MENUJU ISTANA. "Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental." (foto tribunews)
JOKOWI DAN JUSUF KALLA DI ATAS KERETA KENCANA MENUJU ISTANA. “Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental.” (foto tribunnews)

Dan yang kedua, resepsi pernikahan satu pasangan selebriti dunia entertainmen di sebuah hotel di Bali, sehari sebelumnya, 19 Oktober yang disiarkan langsung oleh sebuah televisi swasta lengkap dengan iklan-iklan sponsor. Pesta yang konon berbiaya 15 milyar ini, dihadiri tak kurang dari 6000 tamu, yang sebagian terbesar tampil dengan busana ‘wah’ dan pasti mahal. Sebagai perbandingan, untuk Sidang MPR pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja, hanya disebarkan 1200 undangan. Maka, ada yang menyebut resepsi pernikahan selebrities ini sudah setara dan pantas disebut Royal Wedding. Kalau pesta di Bali ini diibaratkan sebuah etalase, maka ia berhasil menampilkan citra betapa makmur sejahtera sudah Indonesia ini. Salah satu kado untuk pernikahan ini, diserahkan Minggu siang. Sebuah mobil mewah, Lamborghini, yang menurut pengacara terkenal (dan kaya raya) Hotman Paris Hutapea pada acara penyerahan, berharga sekitar dua belas setengah milyar rupiah. Pemberi kado adalah klub para pemilik mobil mewah dengan merek tersebut.

Dua peristiwa semarak tersebut sebenarnya mewakili dua ‘dunia’ yang berbeda. Peristiwa pertama mewakili dunia politik dalam kaitannya dengan partisipasi dan apresiasi akar rumput yang ditampilkan dalam momen pergantian kepemimpinan nasional. Sedang peristiwa kedua, mewakili dunia entertainmen komersial sebagai salah satu sub sektor ekonomi bidang jasa. Dunia entertainmen itu merupakan salah satu ladang keberhasilan mencapai pendapatan besar oleh sebagian kecil anggota masyarakat berketrampilan entertainer yang berjaya menggali benefit yang semakin booming dari pasar masyarakat dalam negeri.

Kontras Laten. Tanpa sengaja, angka-angka rupiah dari dua peristiwa tersebut sekaligus mewakili suatu kontras laten dalam kehidupan bangsa ini, yaitu gap kaya-miskin, dalam konteks pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Dalam kontras itu, kurang lebih 20 persen golongan masyarakat makmur yang hidup berkelimpahan dalam satu ruang dan waktu bersama 80 persen yang hidup dalam serba keterbatasan karena belum berhasil terciprat rezeki pembangunan ekonomi. Kenyataan ini menjadi lebih memilukan, karena seperti metafora yang disebutkan penyair Taufiq Ismail dalam satu puisinya, uang telah menjadi berhala dan kerap diperlakukan seperti tuhan. Mereka yang menguasai akumulasi uang bisa mengendali kekuasaan negara dan kekuasaan sosial, sementara sebagian kalangan akar rumput yang ada dalam tekanan berat kehidupan ekonomi bisa terfaitaccompli untuk menggadaikan hak politik, hak sosial dan bahkan harkat-martabat dirinya.

Pembangunan ekonomi sesungguhnya bisa dipertemukan dengan pembangunan sosial dalam konteks sosial-ekonomi, melalui kebijakan politik yang diletakkan dengan baik. Namun, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, belum pernah ada kebijakan politik yang berhasil mempertemukan dengan baik pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial.

Dari waktu ke waktu menjadi pertanyaan begitu banyak orang: Sejauh manakah sudah keadilan sosial itu telah terwujud di Indonesia? Sub judul buku Revitalisasi Pancasila (Dr Midian Sirait, Kata Hasta Pustaka, 2008) dapat menjadi jawaban yang masih berlaku hingga kini. Bahwa Indonesia ini dihuni oleh “Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial”. Selanjutnya, beberapa penggambaran dalam buku tersebut masih akan dipinjam lebih jauh dalam tulisan ini dengan tambahan catatan lebih aktual.

Bangsa Indonesia berada dalam suatu posisi yang selain terjerat hutang luar negeri juga terjerat dengan angka kemiskinan yang besar dan bersamaan dengan itu memiliki angka pengangguran yang semakin tinggi. Hingga September 2014, hutang luar negeri berada pada angka 3000 triliun rupiah, dengan sekitar 70 persen di antaranya hutang swasta. Pemerintah sendiri telah mengambil dana masyarakat dalam negeri melalui surat berharga dengan nilai kurang lebih 1800 triliun rupiah.

Dari tahun ke tahun semakin banyak lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, tetapi sebagian besar tidak tertampung oleh lapangan perkerjaan yang tersedia. Semakin besar jumlah pengangguran ini, semakin besar pula tanggungan sosial yang harus dipikul. Dari sejak lima tahun yang lampau hingga kini, seorang yang bekerja harus menanggung biaya makan dan biaya hidup lainnya setidaknya untuk 6 orang dalam satu keluarga. Kesempatan bekerja semakin terbatas dengan terus bertambahnya manusia yang siap menjadi tenaga kerja. Dengan sendirinya, tingkat pendapatan juga semakin terbatas, sehingga kemiskinan pun akan bertambah, meskipun para pemerintah dari waktu ke waktu selalu menyebutkan adanya penurunan angka kemiskinan.

Sepintas kerapkali angka kemiskinan terlihat menurun, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah quasi miskin-tidak miskin. Banyak orang yang memiliki angka pendapatan yang bisa saja terlihat membaik, tetapi secara mendadak berkemampuan di bawah garis kelayakan dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya, pada tahun ajaran baru, atau saat terjadi gejolak harga komoditi yang menjadi kebutuhan pokok, entah harga cabai, minyak goreng, kelangkaan beras, kerumitan dan kenaikan tarif angkutan umum. Bila pemerintahan baru mendatang menurunkan subsidi BBM, yang esensinya berarti kenaikan harga BBM –dengan segala dampak non-ekonomisnya yang sebenarnya tidak rasional– untuk jangka waktu tertentu, banyak yang mendadak miskin kembali. Tak lain karena, mereka berada di perbatasan antara miskin dan tak miskin.

Tentang kemiskinan ini, menjelang akhir periode pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, tahun 2009, pemerintah pernah memberikan angka-angka yang menunjukkan menurunnya angka kemiskinan. Angka penurunan itu terjadi karena pengaruh bantuan langsung tunai (BLT) yang dibagi-bagikan pemerintah kepada rakyat miskin. Tetapi program itu hanya menurunkan angka kemiskinan untuk 2-3 bulan. Jadi bila dibuat statistik berdasarkan sensus pada 2-3 bulan setelah dibagikannya BLT, pasti angka kemiskinan itu menurun. Dan bila diteliti lagi 2-3 bulan sesudah itu, pasti akan menaik lagi, karena bantuan seperti itu takkan sempat digunakan secara produktif melainkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek menutup lubang akibat tekanan ekonomi yang berlangsung permanen. Menjadi semacam fatamorgana belaka.

Bagaimana caranya mengatasi kemiskinan itu? Pada tahun-tahun mendatang ini, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla akan menghadapi fakta persaingan yang makin ketat dengan negara-negara atau bangsa-bangsa lain. Bila terhadap kemajuan Cina dan India misalnya, kita tak mampu mengimbanginya, meskipun jumlah penduduk kita juga besar, kita akan makin terpuruk. Bangsa ini akan makin tertinggal.

Metoda Keadilan Sosial. Sebenarnya tersedia metoda yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan manusia Indonesia menghadapi persaingan, yakni keadilan sosial  dari falsafah Pancasila. Ini bukan sekedar retorika, karena bisa dilaksanakan. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar seperempat miliar jangan sampai menjadi beban pembangunan, tetapi harus menjadi modal. Agar sumber daya manusia yang secara kuantitatif besar itu, bisa menjadi modal, maka kemampuan kualitatifnya harus bisa ditingkatkan.

Menurut keyakinan kaum sosial demokrat –istilah ini digunakan Dr Midian Sirait dalam buku itu– dengan membagi rata kemampuan pembangunan, maka akan makin meningkat pula pendapatan bangsa secara merata. PDIP yang menjadi tulang punggung utama pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, diakui atau tidak, semestinya tergolong kaum sosial-demokrat.

Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah menyebutkan rencana-rencana pembangunan infrastruktur yang akan dilaksanakan dengan cara padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Hal yang sama sebenarnya dijanjikan dalam kampanye-kampanye Jokowi-Jusuf Kalla maupun Prabowo-Hatta Rajasa. Dengan demikian, akan makin banyak orang memiliki pekerjaan. Pada masa mendatang ini yang harus diutamakan memang adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak yang mungkin bisa disediakan. Itu akan mengurangi angka kemiskinan. Barangkali, bila selama ini satu orang bekerja untuk menghidupi dan memberi makan enam orang dalam satu keluarga, maka nanti satu orang bekerja untuk menghidupi empat orang saja. Seterusnya meningkat untuk tiga orang saja, yakni untuk satu isteri dan satu anak.

Pencapaian seperti ini akan mengurangi ketegangan sosial di perbatasan gurun kemiskinan dengan oase kelompok kecil masyarakat kaya yang berkelimpahan secara ekonomis. Oase itu selama ini antara lain diisi para pemilik koleksi kendaraan mewah berharga miliaran rupiah, kaum bergaya hidup kelas tinggi dan pemilik pemukiman mewah berharga fantastis yang tak mungkin terjangkau kalangan akar rumput dalam angan-angan sekali pun.

Peningkatan harkat dan martabat manusia, dengan sendirinya juga mencipta solidaritas masyarakat karena kerja, sebagai bagian dari keadilan sosial. Kekuatan dari keadilan sosial akan memperkuat kemampuan manusia berproduksi. Kemampuan manusia itu bila dihubungkan dengan jumlah penduduk yang besar, akan membuat bangsa Indonesia survive. Karena itu, keadilan sosial sebagai bentuk peningkatan kemampuan bangsa, bukan hanya berarti membagi rata kekayaan republik. Tetapi, kekayaan republik, kekayaan alam dan tanah, dimanfaatkan untuk seluruh kegiatan demi meningkatkan kemampuan manusia, sekaligus meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Harkat dan martabat manusia serta kemampuan intelejensi bangsa ini, pada gilirannya akan lebih memperkuat lagi solidaritas satu sama lain sebagai satu bangsa.

            Puisi dan Kereta Kencana. DALAM dunia retorika, yang dijejalkan para pemimpin selama 69 tahun Indonesia merdeka untuk ‘mengenyangkan’ batin rakyat di lapisan akar rumput, kehidupan Indonesia ini bisa indah bagai puisi. Dalam dunia akar rumput, angan-angan dan persuasi bernuansa dongeng kerapkali mampu menciptakan ekstase. Tokoh baru dalam kepemimpinan nasional, Joko Widodo, dipilih oleh separuh lebih rakyat pemilih sebagai antitesa gaya kepemimpinan elitis –yang mencitrakan diri dekat dengan rakyat tetapi sesungguhnya berjarak dalam kenyataan sehari-hari.

Tapi perlu meminjam Bung Hatta yang menyitir dalam bahasa Jerman, Zwischen Diechtung und Wahrheid, agar antara puisi dan kebenaran jangan terlalu jauh. Harus mendekatkan angan-angan dengan kenyataan, mendekatkan puisi dengan realita.

Prinsip keadilan sosial tentu tak hanya berarti pembagian-pembagian rezeki bagi masyarakat. Masyarakat juga harus dijamin kesehatannya, hari tuanya serta berbagai hal dasar lainnya, termasuk bidang pendidikan. Dua calon presiden dalam Pilpres yang baru lalu sama-sama menjanjikan hal-hal tersebut. Janji-janji jaminan sosial ini harus segera dibuktikan. Presiden yang bisa mengembangkan program dana sehat, dana pendidikan dan sebagainya dalam rangka jaminan-jaminan sosial, akan diingat sepanjang masa.

Di antara dua calon presiden yang ada, Jokowi yang terpilih. Tokoh yang kemunculannya bagaikan separuh dari dunia dongeng dan mitos Jawa ini –yang lahir dari kandungan wong cilik dan tersurat sebagai penyelamat negeri– ‘mengalahkan’ seorang tokoh atas yang lebih terbuka hitam-putih riwayatnya dalam catatan sejarah kontemporer Indonesia merdeka.

Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental. Dongeng dan mitos harus segera didekatkan dengan realita. (socio-politica.com)

Para Pemimpin Asia (Indonesia) Dalam Bayang-bayang Mistik

ADA cerita mistik dalam buku Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, “Selalu Ada Pilihan” (Penerbit Buku Kompas, 2014) yang diluncurkan Jumat pekan lalu.

            SBY menulis, bahwa sekitar 2009, menjelang Pemilihan Presiden 2009, pada suatu Minggu pagi, Kristiani Herawati isterinya sedang membaca majalah di ruang keluarga. “Sedang saya beraktivitas di ruang perpustakaan.” Tiba-tiba sang isteri berteriak dan memanggil-manggil. “Saya segera berlari ke ruang tengah untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata ada asap hitam tebal dan berputar-putar di langit-langit dan di tengah ruangan itu. Asap hitam itu bergerak ke timur seperti ingin menerobos ke kamar saya.” Lalu, “Saya ajak mereka semua membaca surat Al-Fatihah. Saya sendiri melengkapinya dengan doa penolak bala dan kejahatan. Saya juga minta untuk menutup pintu kamar saya, dan sebaliknya membuka semua pintu yang ada. Apa yang terjadi, asap tebal yang berputar-putar itu bak ditiup angin yang kuat bergegas keluar dari rumah saya.” Akhirnya SBY bersama keluarga selamat dari peristiwa yang tergambarkan sebagai suatu serangan ilmu hitam yang misterius itu.

BUKU SBY 'SELALU ADA PILIHAN'. "Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” (download merdeka.com)
BUKU SBY ‘SELALU ADA PILIHAN’. “Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” (download merdeka.com)

Pilihan cerita mistis ini terdapat pada halaman 262 dari buku  yang seluruhnya  terdiri 807 halaman itu. Dan tentu ada pilihan bagi para pembaca: boleh percaya boleh tidak.

            EMPAT puluh empat tahun lalu, 9 November 1970, Majalah Time menulis, “Banyak pemimpin Asia yang sungguh sophisticated dan terdidik baik, akan tetapi pemimpin-pemimpin Asia itu acapkali melangkah satu tindak ke belakang ke alam metafisik, berhubungan dengan para peramal, menjalankan praktek ‘kebatinan’, berdukun dan sebagainya.” Time menyebut nama Jenderal Soeharto sebagai salah satu di antara nama dalam deretan pemimpin Asia yang ‘bergaul’ dengan dunia mistis itu.

            “Suatu waktu, saat Presiden Soeharto akan melakukan perjalanan ke luar negeri, ia terlebih dahulu menjalankan suatu ritual khusus. Soalnya, seorang dukun Indonesia meramalkan terjadinya suatu bencana yang akan menimpa negeri ini pada akhir 1970.” Lalu beberapa ekor kerbau disembelih, dipenggal hingga kepala khewan-khewan itu terlepas dari tubuh. Satu kepala ditanam di ujung timur pulau Jawa, dan satu kepala lainnya lagi ditanam di ujung barat Jawa. Dan sebegitu jauh hingga bulan November tahun itu belum ada bencana datang menimpa.

            Di negara-negara Asia seperti Indonesia, yang masyarakatnya masih kuat berpegang kepada tradisi-tradisi lama, tulis Time, bantuan dukun –atau bomoh di Malaysia– menenteramkan hati masyarakat. Pada saat yang sama, dalam hal tertentu pengaruh dukun pun juga memberi para pemimpin negeri itu perasaan lebih terjamin. Tepatnya, merasa memperoleh tambahan kekuatan batin.

            “Jenderal Soeharto seorang yang pragmatis. Tapi ia juga adalah seorang yang tumbuh di tengah Muslim, Hindu dan animisme di Jawa Tengah. Ia seringkali merancang strategi bersama kawan-kawan militernya di lapangan golf, mendengarkan pendapat ahli-ahli ekonomi yang baru pulang dari Amerika, dan mendengarkan berbagai laporan melalui tape recorder. Tetapi sebaliknya, Soeharto juga percaya kepada penasehat-penasehat spiritualnya. Semenjak masa mudanya, ia sudah berguru kepada guru mistik yang terkenal, Raden Mas Darjatmo, yang merangkap sekaligus sebagai dukun, ahli kebatinan dan ‘guru’. Soeharto biasanya mencari dukun ‘sepuh’nya itu bila berkunjung ke kampung halamannya di Wonogiri.”

            “Setelah meletusnya Peristiwa 30 September 1965, Jenderal Soeharto memimpin gerakan melawan rezim Soekarno, atas nasehat seorang dukun.” Dan atas nasehat seorang dukun lainnya, Soeharto tidak melakukan tindakan keras terhadap aksi-aksi mahasiswa di tahun 1970, melainkan memilih melakukan pertemuan beberapa kali untuk bertukar pikiran, hingga suasana mendingin. Aksi-aksi mahasiswa saat itu terfokus sebagai gerakan-gerakan anti korupsi.

            Dr Midian Sirait menuturkan dalam bukunya, ‘Revitalisasi Pancasila’ (Kata Hasta Pustaka, 2009), dalam suatu kunjungan ke Banten, pagi-pagi 10 Maret 1971, Presiden Soeharto “berenang melawan arus sungai Cisimeut yang cukup deras di wilayah Badui Banten dalam suatu semangat ritual Jawa.” Dinihari, Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Witono, memberitahu seluruh anggota rombongan agar tak mendekat ke tempat dilakukannya ritual itu. “Dalam bahasa yang simbolistik, khas Jawa, ditunjukkan bahwa sebagai pemimpin, Soeharto tak gentar menghadapi semua persoalan, dengan melawan arus sekalipun.”

            Adapula cerita bahwa menurut Jenderal Soedjono Hoemardani –Aspri Presiden yang dikenal lekat dengan dunia spiritual– telah dilakukan sejumlah ritual di beberapa penjuru Nusantara yang dianggap tempat yang tepat untuk menanamkan paku-paku kekuasaan bagi Soeharto. Soedjono mengatakan, masa ‘melebihi’ seorang raja bagi Soeharto, akan berlangsung lama.

            Tapi Soeharto bukan satu-satunya pemimpin Indonesia yang ada dalam bayang-bayang mistik. Sejumlah tokoh pemimpin Indonesia lainnya, termasuk Soekarno dan Abdurrahman Wahid, masing-masing punya cerita dan penggambaran yang terkait mistik. Soekarno dimitoskan salah seorang kekasih Nyi Loro Kidul penguasa ‘Laut Selatan’. Sedang Abdurrahman dituturkan pernah melaksanakan ritual larungan di Pantai Selatan. Selain itu ia pernah menyebutkan bisa mengerahkan barisan jin untuk membantu dirinya.

            Soeharto menurut Time lebih lanjut, pun bukan satu-satunya pemimpin Asia yang hidup dalam bayang-bayang mistik. Para peramal mempunyai peranan menentukan di Thailand. Di tahun 1950an seorang pendeta Budha mengatakan kepada PM Thanom Kittikachorn bahwa ia ini akan menjadi Perdana Menteri sebanyak tiga kali. Terbukti bahwa Thanom memang bisa memasuki masa ketiga jabatan Perdana Menteri Thailand. Time juga memaparkan betapa elite militer Thailand sangat mempercayai ramalan-ramalan para astrolog dalam setiap gerakan militer mereka kala menghadapi gangguan keamanan yang banyak terjadi di wilayah perbatasan. “Raja Bhumibol Adulyadey adalah seorang raja yang modern. Meskipun begitu, ia tak pernah melakukan perjalanan bila para peramalnya belum menentukan waktu yang tepat bagi perjalanannya itu.”

            Malaysia adalah juga negeri yang tak kalah penuh dengan kisah mistik. “Untuk menangkal hujan agar jangan turun di saat ada perayaan, diperlukan bantuan seorang bomoh. Banyak pejabat pemerintah  yang membeli ‘air suci’ –holy water– dari para ahli kebatinan dengan harapan cepat naik pangkat. Menteri Tenaga Kerja Malaysia Tun V.T. Sambanthan secara tetap berembug dengan pendeta-pendeta Hindu untuk menentukan hari terbaik meresmikan suatu proyek baru.”

            Perdana Menteri Kamboja Lol Nol, diceritakan juga mempunyai ‘penasehat’, seorang pendeta bernama Mam Prum Moni. Seorang anggota National Assembly menyebutkan “Dia adalah orang yang paling penting bagi Jenderal Lon Nol.” Meskipun dengan kadar lebih rendah, Presiden Marcos dari Filipina juga percaya pada astrologi atau ilmu kebatinan (medium). Hanya PM Singapura Lee Kuan Yew yang menunjukkan perbedaan. Ia sama sekali menolak metafisika, menolak kekuasaan alam gaib.

            Adakah perubahan, khususnya di Indonesia, setelah empat puluh empat tahun, di saat alam pikiran manusia tentunya harus dan memang semestinya menjadi lebih rasional dan lebih modern? Pers melaporkan, bahwa menjelang proses pencalonan legislatif menyongsong Pemilihan Umum 2014 sejumlah orang mengalir ke tempat-tempat keramat untuk mencari berkah. Para dukun –dengan nama lebih keren, paranormal– juga sedang mengalami booming dalam ‘penjualan’ jasa. Tarifnya bisa fantastis, mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Terjadi pembodohan oleh orang yang sebenarnya ‘bodoh’ tapi cerdik, terhadap orang yang seharusnya ‘pandai’ tapi bodoh.

Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” Namun pada sisi lain, ia toh mengaku sebenarnya ragu-ragu menceritakan kejadian tersebut “karena bisa dituduh sebagai pemimpin yang tidak rasional atau bahkan dianggap percaya takhayul.” (socio-politica.com)

Revitalisasi Pancasila (7)

Catatan Prof Dr Midian Sirait*

TITIK lemah lainnya dalam peningkatan kemampuan nasional dan sekaligus menjadi penghambat jalan menuju pencapaian keadilan sosial, adalah masalah korupsi. Korupsi menjadi lebih subur karena sebagian bangsa ini juga memang hidup dalam suatu suasana konsumerisme dan hedonisme. Dengan hedonisme, moral kita akan lebih dipengaruhi oleh harta atau kesenangan yang didapat dari harta itu. Peranan kaum intelektual menjadi penting –selain dari peranan agama yang biasanya lebih formalistis– untuk memberikan pencerahan melalui diskusi-diskusi, memperkuat dialog-dialog dan kemampuan berdialog. Dengan berbagai upaya seperti itu akan terjadi pendewasaan. Pendewasaan politik juga berarti keharusan pemberian kesempatan untuk berbuat. Kesempatan untuk berbuat, sebenarnya adalah juga salah satu pangkal dari demokrasi. Berikan rakyat kesempatan untuk ikut berbuat, dimulai dalam kaitan pemilihan umum yakni memberi suara, kemudian kesempatan untuk mengkontribusikan konsep dan gagasan, serta membuka pintu bagi social participation di segala bidang kehidupan. Willy Brandt, yang pernah menjadi Kanselir Jerman Barat, menyebutnya sebagai mitmachen, ikut berbuat. Adanya kesempatan ikut berbuat akan mempermudah masyarakat untuk mengerti demokrasi itu.

 Menghindari malapetaka baru: Revitalisasi Pancasila

Secara lebih luas dalam masyarakat, harus ada institusi-institusi untuk lebih merekatkan persaudaraan antar rakyat khususnya di desa-desa, sebab akibat kegiatan-kegiatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang terus menerus, tampak gejala retakan dalam persaudaraan antar masyarakat di daerah-daerah. Suasana persaingan yang mengarah pertarungan kekuasaan dengan melibatkan kelompok-kelompok dalam masyarakat di daerah-daerah dalam pilkada-pilkada, ternyata menciptakan pembelahan-pembelahan dalam tubuh masyarakat. Masyarakat terus menerus dipengaruhi oleh kehidupan politik yang penuh intrik. Partai-partai terus menerus memberikan propaganda demi pencapaian kemenangan tanpa mempertimbangkan lagi akibat-akibat bisa terjadinya pembelahan masyarakat. Dalam setiap pemilihan kepala daerah timbul friksi mendalam yang bisa berlangsung berkepanjangan. Kita harus punya institusi untuk bisa kembali mempersatukan masyarakat. Harus ada upaya konvergensi kembali dalam kehidupan masyarakat, bukan terus menerus mengalami divergensi. Kecenderungan divergensi masyarakat dipertinggi kadarnya oleh pemilihan-pemilihan kepala daerah itu, sehingga masyarakat makin terbelah, makin terburai. Kalau sudah terburai, masyarakat kita makin atomistik. Kita harus menemukan cara bagaimana persaudaraan itu di desa-desa tetap terpelihara. Tawuran antar desa, kini menjadi hal yang biasa, nanti tawuran antar dusun atau antar rukun warga dan seterusnya di satu desa. Pada titik ini kita sudah harus lebih berhati-hati.

Sebelum terlalu terlambat lebih baik kita menghidupkan institusi yang memperbanyak komunikasi, salah satunya misalnya adalah institusi yang lebih banyak bersifat kebudayaan. Di pulau Jawa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Jawa Barat, umumnya kalau ada pertunjukan wayang golek atau wayang kulit, masyarakat seakan mempersatukan diri dalam ‘kenikmatan’ budaya. Mereka tidak ingat lagi perbedaan karena ‘politicking’ berkadar tinggi yang melanda kehidupan mereka sehari-hari. Institusi budaya seperti ini harus diperbanyak. Untuk luar Jawa cari bentuk budaya atau adat istiadat lain yang bisa mengkonvergensikan masyarakat. Jangan sampai fungsi persaudaraan, lama kelamaan jadi makin meredup karena cahaya memancar divergen, tidak lagi bersinar kuat dalam pancaran yang konvergen. Tidak hanya kita yang bersifat kekeluargaan dan penuh persaudaraan. Kemanusiaan itu ada di mana-mana, universal.

Dalam Pancasila disebutkan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab itu, berdasar Ketuhanan yang maha esa, maka tidak bisa tidak, sesungguhnya bangsa ini harus dan akan mampu berada dalam pergaulan dan persaudaraan antar bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang universal. Tetapi kita harus bisa memulainya lebih dahulu dalam wujud penyelenggaraan pemerintahan yang lebih terintegrasi dan demokratis. Perbanyak propinsi dengan sistem otonomi, akan tetapi sebaliknya untuk pemerintahan kabupaten di dalam propinsi-propinsi yang memiliki otonomi, perlu semacam evolusi sistem otonomi yang sekarang kita jalankan. Untuk mengelola birokrasi dan pengadministrasian pembangunan di daerah tingkat dua, dijalankan merit system, dan pusat membantu bupati dengan kemampuan profesional dan ditempatkan tim teknis sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Dalam sistem yang dijalankan sekarang terlalu banyak kemunduran, berupa terjadinya pembelahan-pembelahan masyarakat, dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Sekarang ini misalnya ada bupati, yang begitu menang pemilihan kepala daerah, segera mengganti semua pejabat di jajaran pemerintahannya, tanpa mengindahkan lagi sistem dan tata aturan kepegawaian yang ada dalam undang-undang. Ia mengganti para pejabat dengan orang-orang baru dari kalangan keluarganya dan atau dari kalangan teman-temannya. Ini menambah peruncingan pembelahan pasca pilkada yang memang sudah tercipta dalam pelaksanaan pilkada itu sendiri sebelumnya, yang berkonotasi pertarungan politik dan pertarungan kelompok masyarakat. Semua ini jangan diteruskan, kalau dibiarkan 5-10 tahun lagi divergensi masyarakat akan makin menguat dan pada akhirnya menjadi satu malapetaka baru. Kita seringkali menganggap persatuan nasional kita sudah final, terutama dalam anggapan yang sloganistik, tetapi kenyataan kerapkali menunjukkan hal-hal sebaliknya. Institusi-institusi untuk memperkuat persatuan nasional ini harus menjadi suatu concern bersama. Semangat Sumpah Pemuda/ Bangsa 1928 bagaimanapun harus tetap dihidupkan.

            Diperhadapkan dengan kemungkinan-kemungkinan terjadinya malapetaka baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang telah berkali-kali kita alami dalam sejarah Indonesia modern, untuk kesekian kalinya kita berpaling kembali kepada nilai-nilai yang telah kita miliki dalam Pancasila. Ini tentu bukan sekedar retorika, apalagi sekedar klise. Bagaimanapun tantangan yang kita hadapi saat ini, yang berasal dari dalam tubuh bangsa ini sendiri maupun tantangan dari luar yang timbul karena persaingan global dewasa ini, harus bersandarkan kepada suatu dasar yang kepadanya bersandar gagasan politik, maupun gagasan-gagasan ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Artinya, ada kebutuhan terhadap satu ideologi. Dan ideologi satu-satunya yang kita miliki adalah Pancasila.

Terlepas dari belum tercapainya kepuasan sepenuhnya atau sikap skeptis yang mungkin saja ada terhadap Pancasila, tak mungkin kita menyusun kembali suatu ideologi baru. Katakanlah, untuk menandingi dan atau menghadapi konsep neo liberalisme yang sebagai fakta senantiasa mematahkan semua ideologi lain terutama melalui hegemoni dan kekuatan ekonomi secara global. Pertanyaannya, apakah Pancasila mempunyai daya tanding ? Dalam pengutaraan-pengutaraan yang disampaikan Rahman Tolleng, Marzuki Darusman SH, Dr Anhar Gonggong dan Dr Abdul Hadi WM, dari sudut pandang dan pengalaman politik, hukum, ekonomi, sejarah maupun agama dan budaya, nilai-nilai dalam Pancasila secara hakiki memenuhi syarat kemampuan gagasan yang dibutuhkan sebagai suatu ideologi modern. Tetapi, menurut Marzuki Darusman, diperlukan proses ideologisasi lebih lanjut. Saya sendiri menyebutkan kebutuhan itu sebagai: Revitalisasi Pancasila.

Dalam proses revitalisasi tercakup pengertian Pancasila sebagai ideologi merupakan pangkal atau dasar berpikir, lalu ada prinsip-prinsip, kemudian ada institusi-institusi yang menggerakkannya, dan terakhir ada ukuran-ukuran untuk mengetahui apakah prinsip-prinsip itu terwujud atau tidak. Prinsip-prinsip adalah bagaimana sebagai ideologi Pancasila meningkatkan harkat dan martabat manusia, bagaimana meningkatkan persatuan nasional dan bagaimana menciptakan kesejahteraan dalam keadilan sosial. Institusi-institusi apa saja yang diperlukan untuk menegakkan prinsip-prinsip itu. Setelah itu, kita mengukur tingkat keberhasilannya. Karena, pada hakekatnya ideologi itu dalam pelaksanaannya terukur, antara lain dengan melihat sejauh mana institusi-institusi untuk melaksanakan prinsip-prinsip di dalamnya bisa bekerja dengan baik secara teratur, serta apa yang diperoleh masyarakat dengan hak-hak demokrasinya dan dalam kesejahteraan, dan sebagainya sebagaimana telah coba kita uraikan dalam beberapa bagian buku ini. Kita mencatat kembali, sebagai suatu resume, bahwa dalam kaitan prinsip dan gagasan yang terkait dengan Ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil  dan beradab, amat besar peranan agama yang dijalankan atas dasar saling menghargai sesama umat seagama maupun antar agama. Selain itu diperlukan sikap keterbukaan kaum beragama terhadap kemajuan ilmu dan gagasan-gagasan baru dalam kehidupan beragama dan kemanusiaan. Sedang pada pada sisi pemerintah, harus makin terlihat kesungguhan dalam menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, seperti yang tertuang dalam Pasal 29 Undang-undang Dasar kita. 

Dr MIDIAN SIRAIT. "Bagaimanapun tantangan yang kita hadapi saat ini, yang berasal dari dalam tubuh bangsa ini sendiri maupun tantangan dari luar yang timbul karena persaingan global dewasa ini, harus bersandarkan kepada suatu dasar yang kepadanya bersandar gagasan politik, maupun gagasan-gagasan ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Artinya, ada kebutuhan terhadap satu ideologi. Dan ideologi satu-satunya yang kita miliki adalah Pancasila."
Dr MIDIAN SIRAIT. “Bagaimanapun tantangan yang kita hadapi saat ini, yang berasal dari dalam tubuh bangsa ini sendiri maupun tantangan dari luar yang timbul karena persaingan global dewasa ini, harus bersandarkan kepada suatu dasar yang kepadanya bersandar gagasan politik, maupun gagasan-gagasan ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Artinya, ada kebutuhan terhadap satu ideologi. Dan ideologi satu-satunya yang kita miliki adalah Pancasila.”

Dalam kaitan persatuan nasional dan demokrasi, pendewasaan dalam kehidupan berpartai dan berparlemen merupakan kebutuhan utama, begitu pula dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan. Secara menyeluruh untuk pelaksanaan prinsip-prinsip dalam Pancasila, perlu memperbanyak dan memperkuat keberadaan lembaga-lembaga dengan fungsi penyelenggaraan dialog yang seluas-luasnya. Tak kalah pentingnya memperkuat aspek komunikasi masyarakat terutama melalui institusi-institusi budaya dan kebudayaan, yang mengandung nilai-nilai keindahan dan keluhuran tradisional maupun universal. Secara khusus untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah penting membentuk dan memperkokoh lembaga-lembaga jaminan sosial dan kesehatan, memperkuat sektor koperasi, membina sektor non formal sebagai alternatif lapangan nafkah dan kreativitas ekonomi, serta berbagai kebijakan yang diperlukan untuk kepentingan pemerataan keadilan dan kesempatan hidup serta kesempatan ‘turut berbuat’ bagi semua orang.

            Sebagai penutup, saya memberi catatan bahwa tulisan ini tidak bertujuan untuk memberi satu kata akhir. Tulisan ini bahkan dimaksudkan sebagai pembuka bagi satu rangkaian dialog berkelanjutan mengenai Pancasila, sehingga pada akhirnya kita tiba kepada satu tingkatan memadai dalam revitalisasi Pancasila. Dan, pada saatnya dalam artian sebenarnya, Pancasila menjadi ideologi yang merupakan pangkal berpikir kita semua untuk mencapai tujuan-tujuan bersama sebagai bangsa dalam satu negara. Terutama, dalam mencapai tujuan negara sejahtera, yakni terwujudnya keadilan sosial yang secara terus menerus dinantikan oleh bangsa ini.

*Tulisan ini adalah Bagian Kelima (bagian penutup) buku Prof Dr Midian Sirait “Revitalisasi Pancasila”, yang ditulis 2008 bertepatan dengan usia ke-80. Kini telah almarhum. Buku ini menjadi karya terakhir beliau. Semasa di Jerman, kuliah sosiologi dan politik sambil mempersiapkan disertasi Doktor Ilmu Pengetahuan Alam FU Berlin Barat, dan lulus Doktor Rerum Naturalum FU Berlin Barat (1961). Di tanah air beliau dikenal sebagai salah seorang konseptor pembaharuan politik melalui perombakan struktur politik di masa pergolakan 1966 hingga tahun 1970-an.

(socio-politica.com)

Revitalisasi Pancasila (6)

Catatan Prof Dr Midian Sirait*

BILA suatu negara sudah memiliki kehidupan politik dengan parlemen yang berjalan baik, maka seharusnya secara ideal berpolitik itu adalah kehidupannya karena merasa terpanggil atas dasar dedikasi. Tetapi yang terjadi sekarang ini, malahan berpolitik itu adalah untuk mencari hidup. Bukan sekedar pragmatis lagi, tetapi berpolitik untuk mencari duit, hedonistik. Kehidupan secara umum juga menjadi dipengaruhi oleh bidang materi, cenderung konsumtif. Masyarakat konsumtif memang merupakan gejala post capitalism. Sekarang kita berada di dalam jangka masa yang terisi dengan perilaku konsumtif, dan belum masuk ke dalam masyarakat produktif. Dengan demikian makin terasa betapa aspek moral dalam kehidupan politik menjadi tertinggal. Kita selalu menganggap bahwa agamalah yang bisa meningkatkan moral, tetapi sebenarnya itu saja tidak cukup. Harus ada dukungan intelektualitasnya.

Moral itu akan tampil karena ada kelompok-kelompok intelektual dengan segala etikanya, yang bisa memberi jalan bagi kontribusi para intelektual masuk ke dalam kehidupan politik. Tugas kaum intelektual tak hanya sekedar menganalisa, tapi harus tahu juga memberikan latarbelakang-latarbelakang sesuatu tindakan. Setiap orang yang berpolitik itu harus tahu latar belakang dari action yang dilakukannya. Bila kita mendengar pidato-pidato dalam konvensi Partai Demokrat maupun Partai Republik di Amerika Serikat akan terasa adanya perbedaan. Dalam konvensi Partai Demokrat itu, setiap yang berpidato ada filosofinya di belakang pikirannya. Tidak hanya meningkatkan kesatuan Amerika, tetapi juga menjaga kebebasan manusianya. Dan itu harus tergambar dengan politik luarnegerinya. Oleh karena itu mereka tidak terlalu membiarkan atau tidak setuju tindakan yang dilakukan oleh George Bush untuk membuat peta kekuatan baru di dunia yang ingin dipengaruhinya melalui ‘perang’.

DR MIDIAN SIRAIT. "Sekarang ini sepertinya kehidupan politik kita lebih pada parliament heavy karena eksekutif banyak menunjukkan kebimbangan dalam mengambil keputusan. Andaikata dalam sistem presidensial ini proses pengambilan keputusan berlangsung cepat dengan latarbelakang filosofis yang selalu jelas, maka barangkali pilihan parlemen itu akan lebih terarah kepada proses dialog."
DR MIDIAN SIRAIT. “Sekarang ini sepertinya kehidupan politik kita lebih pada parliament heavy karena eksekutif banyak menunjukkan kebimbangan dalam mengambil keputusan. Andaikata dalam sistem presidensial ini proses pengambilan keputusan berlangsung cepat dengan latarbelakang filosofis yang selalu jelas, maka barangkali pilihan parlemen itu akan lebih terarah kepada proses dialog.”

Barangkali kehidupan berpolitik dan berparlemen ini yang memang harus kita dewasakan. Dan peranan parlemen kita sekarang ini sepanjang yang dapat diikuti melalui pemberitaan-pemberitaan media massa, hanya menonjolkan soal-soal seketika. Undang-undang yang dihasilkan DPR belum cukup teruji apakah betul-betul sudah sesuai dengan pembukaan undang-undang dasar kita dan dengan Pancasila atau tidak. Barangkali kita juga harus sampai kepada suatu titik nanti untuk kembali memperbaiki proses kerjasama antara eksekutif dan parlemen itu sebagai satu kesatuan sinergis.

Sekarang ini sepertinya kehidupan politik kita lebih pada parliament heavy karena eksekutif banyak menunjukkan kebimbangan dalam mengambil keputusan. Andaikata dalam sistem presidensial ini proses pengambilan keputusan berlangsung cepat dengan latarbelakang filosofis yang selalu jelas, maka barangkali pilihan parlemen itu akan lebih terarah kepada proses dialog. Sekarang PDIP misalnya menyatakan diri sebagai pihak oposisi, tetapi dalam menjalankan oposisinya, partai tersebut belum memperlihatkan gagasan kuat dan berbeda yang bisa menjadi alternatif. Sikap oposisi saat ini lebih banyak didasarkan pada faktor perbedaan belaka. Sikap oposisi itu harus ditampilkan dan digunakan dengan jelas, karena pada waktunya mungkin rakyat akan memilih pihak oposisi yang memiliki konsep alternatif yang argumentatif. Bukan sekedar oposisi yang menonjolkan faktor-faktor negatif eksekutif saja. Bukan demikian kiat berparlemen sebenarnya.

Bila kita melihat bagaimana sidang parlemen di Inggeris, banyak yang bisa dipelajari. Saat Perdana Menteri tampil berbicara di depan parlemen, maka setiap kali ia menyampaikan sesuatu, para anggota yang merasa setuju berdiri untuk mengekspresikan persetujuannya itu. Sebaliknya, bila pihak oposisi memberikan pikiran-pikiran lain, akan ada pula anggota-anggota parlemen yang berdiri untuk menunjukkan persetujuannya. Amat jelas apa yang diperdebatkan di parlemen dan jelas pula apa latar belakang perdebatan itu. Baru sesudah itu diambil keputusan dan keputusan itu tidak selalu diterima oleh semua partai.  Diadakan pemungutan suara untuk menerima keputusan yang akan diambil eksekutif atau tidak.

Mendewasakan kehidupan berparlemen, menjadi salah satu bagian yang harus kita lihat sebagai hal yang perlu kita prioritaskan. Pendewasaan parlemen tentu juga berarti mendewasakan partai dengan antara lain meningkatkan kemampuan berdialog. Sejumlah lembaga kajian dan pendidikan demokrasi, seperti Freedom Institute, Institut Leimena, CSIS, Akbar Tandjung Centre, Habibie Centre, Wahid Institute, Institut Maarif, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dan berbagai lembaga serupa lainnya bisa mengambil peran untuk meningkatkan budaya dialog.

Bila kegiatan dialog intensif, maka cara-cara menunjukkan aspirasi melalui demonstrasi misalnya, mungkin akan berkurang karena adanya kanal terbuka melalui dialog tersebut. Dalam berdialog kita harus menghindarkan memaksakan pendapat dan kebenaran kita sendiri. Bila partai semrawut maka anggota parlemen yang masuk juga akan semrawut. Dan kelihatannya belakangan ini begitu pemilihan umum makin mendekat, maka rebutan tempat sebagai calon berikut yang lebih diutamakan untuk dipersoalkan, sedang persoalan masyarakat atau rakyat tergeser dari fokus. Persoalan masyarakat atau rakyat tidak menjadi masalah utama di parlemen yang tanpa kedewasaan. Pendewasaan tentu ada dalam konteks membangkitkan intelektualitas, kemampuan berpikir rasional dan kemampuan berpikir dalam kerangka sebab-akibat. Dengan kerangka berpikir seperti itu, bila sudah diketahui sesuatu keadaan sebagai akibat dari sebab-sebab, maka sebab-sebabnya itu yang harus diobati.

Sekarang ini kita melihat adanya ketidakteraturan dalam berpolitik, kebebasan jauh lebih ditonjolkan sehingga kerapkali terasa tidak bertanggungjawab lagi dan sewaktu-waktu bisa tergelincir menjadi anarki. Apalagi, bangsa ini memiliki dalam budayanya suatu sindrom amok, yakni gejala psikologis yang tampil sebagai perilaku mudah untuk bertindak membabi-buta melampiaskan amarah, tidak rasional dan tak terukur lagi dalam tindakannya. Budaya amok itu agaknya telah masuk ke dalam cara melaksanakan demokrasi.

Untuk mengekspresikan diri dan kehendak, cara demonstrasi lebih disukai karena lebih sesuai dengan budaya amok dibandingkan dengan cara dialog. Budaya semestinya bisa diarahkan ke arah yang positif, sikap amok jangan terus menerus dibawa, apalagi yang bersifat massal. Segala kebiasaan buruk dalam kebiasaan harus dibuang. Dalam politik memang dikenal massa actie seperti yang mulai dianjurkan dan digunakan Tan Malaka pada masa perjuangan sebelum kemerdekaan. Tetapi perlu juga tidak melupakan peringatan Bung Karno yang mengatakan bahwa kita harus bisa membedakan massa actie dengan aksi massal. Baik Tan Malaka maupun Bung Karno menyebutkan dalam teori revolusi massa actie adalah untuk mematangkan faktor-faktor objektif di dalam masyarakat. Sedangkan aksi massal lebih merupakan aksi bersama secara massal karena terpicunya faktor-faktor subjektif dalam masyarakat dan tidak lagi didasari pikiran rasional. Berpolitik pada masa datang hendaknya dalam pengertian yang sesuai dengan Pancasila, yang berkaitan dengan nilai spiritualnya dan tetap berdasar pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Bila suatu cara berpolitik tidak bermakna meningkatkan harkat dan martabat manusia, tidak adil dan beradab, maka cara itu layak untuk ditinggalkan.

Pengertian pendewasaan berikutnya, adalah peningkatan modal bangsa yang berupa persatuan nasional dalam bhinneka tunggal ika. Peningkatan itu adalah melalui keadilan sosial dan demokrasi. Dengan demikian pendewasaan itu sama dengan meningkatkan kemampuan bangsa. Dalam kaitan ini pers yang sering dikatakan sebagai pilar keempat dalam demokrasi, juga memerlukan pendewasaan. Merupakan gejala belakangan ini, berita tentang suatu topik bisa diberitakan terus menerus secara tidak proporsional lagi, sampai menimbulkan efek kejenuhan. Sampai kadang-kadang masyarakat sepertinya tidak suka lagi mendengar berita itu. Tetapi sesudah itu lewat, tidak disinggung lagi, jadi bersifat musiman.

Padahal, tentu ada juga permasalahan yang perlu diberitakan secara tuntas karena ada aspek kepentingan umum. Sebagai contoh, kita harus berhati-hati dengan penanganan berita mengenai tugas KPK dalam menghadapi masalah korupsi. KPK juga jangan sampai over expose, sampai kepada aspek-aspek yang remeh dan mengalahkan persoalan esensial. Selain bisa membuat kejenuhan, arus deras pemberitaan yang berlebih-lebihan bisa juga membuat masyarakat bisa lupa hal-hal yang pokok dalam kaitan masalah korupsi, karena teralihkan pada hal-hal yang tidak esensial. Dan akhirnya masyarakat terdorong untuk melupakan saja.

Menurut saya berita itu harus betul-betul berdasarkan kejadian sesungguhnya, tetapi tidak semua kejadian itu tepat jadi berita. Harus bisa melihat mana berita yang cocok dan mana berita yang bila disiarkan berlebihan akan mempengaruhi kehidupan secara negatif. Diperlukan semacam lokalisasi informasi tanpa perlu mempertentangkannya dengan aspek kebebasan pers. Analoginya ada dalam bio molekular. Bila ada molekul yang perkembangannya bisa merusak yang lain ia harus dihambat, dilokalisir agar tidak menimbulkan kerusakan yang meluas. Itu juga yang saya sebut pengaruh struktural. Sewaktu mengikuti ujian untuk mengambil SIM di Hamburg tempo dulu, polisi yang menguji saya selalu menyuruh berhenti di tempat-tempat yang seharusnya tidak boleh stop, seperti di persimpangan jalan, tanjakan, jembatan dan sebagainya. Agaknya itu merupakan bagian dari ujian. Meskipun diperintah berhenti, saya terus saja lewat dan baru berhenti di tempat yang seharusnya.

Pemahaman bahwa sesuatu mesti dilakukan pada waktu dan tempat yang seharusnya, hendaknya memang sudah tertanam dalam pikiran kita. Mengenai segala sesuatu kita harus bisa melihat mengapa dan apa latar belakangnya. Bila kita di tikungan, pengemudi mobil yang datang dari belakang tidak bisa melihat dari arah belokan. Jembatan biasanya hanya cukup untuk satu jalur dari masing-masing arah, sehingga tak tepat untuk berhenti di situ, dan sebagainya.

Intinya, kita juga harus tahu apa pengaruh sesuatu tindakan kita kepada yang lain. Pembuatan dan penyiaran berita semestinya juga dilakukan dengan cara, logika dan pertimbangan seperti itu. Tidak semua kejadian harus dan layak diberitakan. Bahwa berita itu harus berdasar pada suatu peristiwa yang betul terjadi, memang ya, tapi pada sisi lain pemberitaan itu juga harus sesuai dan bisa diserap masyarakat. Ada juga peristiwa-peristiwa yang publikasinya harus dilokalisir kalau pemberitaan itu bisa memecah masyarakat. Media massa juga harus bisa berperanan positif dalam memberitakan parlemen sehingga bersifat mendewasakan parlemen. Media massa memang mempunyai peranan yang krusial, di satu sisi harus memenuhi hak masyarakat untuk mendapat informasi yang terkait dengan pembangunan demokrasi, tetapi di pihak lain juga harus menghindari penciptaan prasangka yang destruktif di kalangan masyarakat dan menyiarkan pemberitaan yang menabrak hak demokrasi orang lain.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 7

‘Keliru’ Bersama Taufiq Kiemas

KETIKA Ketua MPR-RI Taufiq Kiemas meninggal dunia 8 Juni lalu, ia ‘mewariskan’ terminologi ‘4 pilar’ kehidupan berbangsa bagi Pancasila, UUD 1945, (konsep) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (konsep) Bhinneka Tunggal Ika. Sewaktu mulai menggunakan terminologi pilar itu –khususnya bagi Pancasila dan UUD 1945– bukannya tak ada kritik bahwa Pancasila dan UUD 1945 bukanlah sekedar pilar, melainkan dasar atau fundamen negara. Akan tetapi ‘sosialisasi’ 4 pilar tersebut berjalan terus, dan ternyata tak kurang banyak juga tokoh yang ikut terbawa menggunakan terminologi yang sebenarnya keliru itu. UniversitasTrisakti bahkan sempat memberi gelar Doctor Honoris Causa untuk Taufiq Kiemas karena kegiatan intensifnya menyosialisasikan 4 pilar bangsa itu.

TAUFIQ KIEMAS DAN JUSUF KALLA. "TANPA mengurangi penghargaan terhadap tokoh yang bernama Taufiq Kiemas ini, ke depan penggunaan terminologi pilar dalam mengkategorikan Pancasila dan UUD 1945 tak perlu dilanjutkan. Mana mungkin pilar berdiri tanpa fondasi? Mana mungkin ada kehidupan bernegara tanpa filsafat dasar bernegara? Sesuatu yang keliru tak pantas untuk dilanjutkan. " (foto-foto: kompas images/inilah.com)
TAUFIQ KIEMAS DAN JUSUF KALLA. “TANPA mengurangi penghargaan terhadap tokoh yang bernama Taufiq Kiemas ini, ke depan penggunaan terminologi pilar dalam mengkategorikan Pancasila dan UUD 1945 tak perlu dilanjutkan. Mana mungkin pilar berdiri tanpa fondasi? Mana mungkin ada kehidupan bernegara tanpa filsafat dasar bernegara? Sesuatu yang keliru tak pantas untuk dilanjutkan. ” (foto-foto: kompas images/inilah.com)

Pengguna terbaru terminologi pilar, antara lain misalnya, adalah mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Pada acara 40 hari meninggalnya Taufiq Kiemas di Gedung MPR (19/7), tokoh yang sedang mencoba kembali bertarung dalam Pemilihan Presiden 2014 itu, mengatakan 4 pilar tersebut adalah landasan berpikir kebangsaan kita.

Tak kurang dari Bung Karno, yang dengan sendirinya adalah ayah mertua Taufiq Kiemas setelah memperisteri Megawati Soekarnoputeri di tahun 1970an, yang menyebutkan Pancasila sebagai philosofische grondslag. Dalam pidato di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, yang membicarakan tentang Dasar Negara Indonesia, Soekarno mengatakan yang dicari saat itu tak lain adalah philosofische grondslag tersebut. “Philosofische grondslag ialah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.” Lalu, Soekarno menguraikan lima prinsip yang bisa menjadi dasar bagi Indonesia Merdeka, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Terhadap prinsip-prinsip ini kemudian digunakan terminologi sila. Berdasarkan uraian Soekarno ini kemudian dirumuskan 5 sila itu dengan urutan baru dan atas usulan Muhammad Yamin digunakan penamaan Pancasila.

Pancasila pada hakekatnya adalah suatu ideologi, yakni ideologi negara ini, yang mengandung wawasan dan gagasan yang menggambarkan suatu cita-cita. Menurut Prof Dr Midian Sirait, sebagai ideologi Pancasila dengan demikian merupakan satu kerangka atau struktur bangunan yang tersusun dari nilai-nilai, gagasan-gagasan azasi fundamental tentang manusia, yang membentuk satu sistem. Dan dalam kedudukan sebagai ideologi itu Pancasila menjadi dasar bagi gagasan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan.”

Sebenarnya, UUD 1945 yang pada mukadimahnya tercantum lima sila dalam Pancasila, pun berkategori sebagai fundamen bersama Pancasila, bukan sekedar pilar.

TANPA mengurangi penghargaan terhadap tokoh yang bernama Taufiq Kiemas ini, ke depan penggunaan terminologi pilar dalam mengkategorikan Pancasila dan UUD 1945 tak perlu dilanjutkan. Mana mungkin pilar berdiri tanpa fondasi? Mana mungkin ada kehidupan bernegara tanpa filsafat dasar bernegara? Sesuatu yang keliru tak pantas untuk dilanjutkan. Karena, hanya akan mengacaukan dan merusak pemahaman yang sesungguhnya terhadap Pancasila dan UUD 1945 dalam praktek kehidupan bernegara. Anjuran ini bukan karena Taufiq Kiemas sudah almarhum, karena sebelum ini kritik dan koreksi cukup banyak dilancarkan terhadap terminologi tersebut, namun tak didengarkan apalagi diperbaiki.

Tokoh-tokoh yang terbawa ikut keliru bersama Taufiq Kiemas, barangkali perlu meluruskan kembali pikiran-pikiran mereka.

Mungkin yang lebih penting untuk dilakukan adalah melakukan amandemen ulang terhadap hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan beberapa kali sebelum ini. Dalam rangkaian amandemen yang lalu, terlalu banyak kekeliruan sehingga beberapa pasal dari UUD itu sendiri bertentangan dengan dasar negara yang tercantum dalam pembukaan. Para pendiri bangsa yang berada dalam BPUPKI maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merumuskan dan mengesahkan UUD 1945, mengatakan bahwa apa yang mereka hasilkan adalah pokok-pokok pikiran mereka yang terbaik untuk pengaturan negara. Namun, tak tertutup kemungkinan untuk penyempurnaan kelak di kemudian hari. Hal itu diatur dalam Bab XVI Pasal 37 UUD 1945.

Sayangnya, di masa reformasi, partai-partai politik yang ada, tidak cermat dalam melakukan amandemen UUD. Terkesan, amandemen dilakukan untuk sebagian lebih karena trauma terhadap kekuasaan Soeharto yang terlalu besar dan dominan di masa sebelumnya. Untuk sebagian lagi, perubahan-perubahan yang dilakukan lebih banyak terdorong oleh berbagai kepentingan politik sesaat, termasuk hasrat pembagian kekuasaan-kekuasaan baru, khususnya kekuasaan legislatif yang berlebihan. Di lain pihak tetap ada yang bersikeras mempertahakan teks lama, semata-mata karena enggan terhadap perubahan-perubahan yang akan menghasilkan pembatasan kekuasaan eksekutif. Kedua-duanya merupakan sikap yang tak bertanggungjawab.

Perlu kembali ada gerakan pembaharuan politik, termasuk melakukan amandemen terhadap amandemen UUD 1945. Kali ini, dengan akal sehat, akademis, bertanggungjawab dan dengan altruisme. (socio-politica.com)