PKB: ‘Telur’ NU Yang Akhirnya Hanya Menjadi ‘Penggembira’ (1)

Pemujaan adalah pemikiran orang itu sendiri, bukan opini dari orang lain”, John Selden, Negarawan.

Syamsir Alam*

 PARTAI Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menurut Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) adalah “telurnya” NU (Nahdlatul Ulama), sekarang nampak limbung dalam pentas politik. Sepeninggal Gus Dur, keponakannya, Muhaimin Iskandar, yang Ketua Umum PKB, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mengusir sepupunya, Yenny Wahid (Zanuba Arifah Chafsoh Rahman Wahid), putri kedua Gus Dur. Bahkan, setelah terusir pun Yenny Wahid terganjal dalam pendaftaran partai barunya (Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara, PKBN) untuk ikut pemilu 2014. Sebelumnya, sang keponakan kesayangan Gus Dur itu, juga memecat tantenya, Lily Wahid, adik Gus Dur, dari anggota DPR karena berbeda pendapat mengenai Angket Bank Century, yang seharusnya mendukung kelompok koalisi partai pemerintah tempat PKB bernaung.

GUS DUR. “NU itu seperti induk ayam yang dari pantatnya keluar telur dan juga tai. Nah, PKB adalah telurnya”, kata Gus Dur. (gambar hamdihumaedi.com)

Tak berhasil dengan peluncuran PKBN, Yenny Wahid menggabungkan kekuatan dengan Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB) pimpinan Kartini Sjahrir, menjadi Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB). Partai ‘baru’ ini akan menggunakan legalitas PPIB yang telah menjadi peserta Pemilihan Umum 2009, dan tinggal mengupayakan lolos dari verifikasi KPU agar bisa menjadi peserta Pemilu 2014 mendatang.

PKB sepanjang sejarahnya yang belum cukup panjang, mengalami konflik internal kekeluargaan yang tidak baik, tak berhasil sebagai teladan berpolitik yang santun seperti yang diajarkan Gus Dur. Ditambah lagi dengan fakta, bahwa warga Nahdhliyin yang menjadi basis PKB sedang diperebutkan oleh banyak partai lain. Wajar kalau PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang dipimpin oleh Suryadharma Ali, yang kader NU, mengharapkan suara untuk Pemilu 2014 nanti dari massa NU, ataupun limpahan dari PKNU (Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama) yang juga berbasis massa NU saingan PKB yang tidak bisa ikut pemilu. Juga, PAN (Partai Amanat Nasional) yang seharusnya berbasis massa Muhammdiyah, pun melirik basis NU Jawa Timur (Seputar Indonesia, 29 April 2012).

Ternyata bibit unggul tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan semula. Dalam percaturan politik, PKB hanya menjadi pengekor dari Partai Demokrat, dan terancam kena gusur dari parlemen pada putaran Pemilu tahun 2014 mendatang, bila perolehan suaranya turun lagi sampai di bawah 3,5 persen yang disetujui menjadi ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Partai terbuka dengan basis massa Islam tradisional

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah sebuah fenomena partai politik di Indonesia, dengan basis massa Islam tradisional terbesar di Indonesia, justru tampil sebagai partai terbuka, dan sukses menghantar Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999). Partai yang didirikan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1998 (29 Rabi’ul Awal 1419 Hijriyah) oleh para kiai (kyai) Nahdlatul Ulama, yaitu Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, Abdurrahman Wahid, A. Mustofa Bisri, dan A. Muchid Muzadi, didasari oleh keresahan para kiai sesepuh pada pertemuan di Langitan (11 Mei 1998) mengenai situasi terakhir era Orde Baru dibawah pimpinan Pak Harto (Soeharto) (http://wikipedia.org/ Partai_Kebangkitan_Bangsa).

Menurut kesimpulan mereka, untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran, diperlukan perubahan pemerintahan. Saat itu para kiai membuat surat resmi kepada Pak Harto yang memintanya agar turun, atau lengser, dari jabatan presiden. Kiai Muchid Muzadi dari Jember dan Gus Yusuf Muhammad yang diutus pertemuan itu untuk menyampaikan surat tersebut, berangkat ke Jakarta, dan meminta waktu bertemu dengan presiden, tetapi belum mendapat jadwal. Sehingga sebelum surat itu diterima, Pak Harto sudah mengundurkan diri terlebih dahulu tanggal 23 Mei 1998.

Mengingat gerakan Ahlulssunah Wal Jamaah (Aswaja) tidak bisa lepas dari kegiatan politik praktis, pengurus NU mengadakan istighosah akbar di Jawa Timur untuk menggagas dan membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik NU (30 Mei 1998). Semua kiai, kecuali Gus Dur, yang berkumpul di kantor PWNU Jatim itu mendesak KH Cholil Bisri yang dinilai lebih berpengalaman dalam hal politik untuk melaksanakannya. Namun, KH Cholil Bisri menolak, karena tidak mau lagi berkecimpung terlalu jauh dalam dunia politik, dan merasa lebih baik di dunia pesantren saja. Karena para kiai terus mendorongnya, kemudian, KH Cholil Bisri mengundang 20 kiai melalui telpon untuk membicarakan kembali mengenai pendirian partai tersebut (6 Juni 1998).

Dalam pertemuan di rumah KH Cholil Bisri di Rembang yang dihadiri oleh lebih 200 kiai, terbentuklah sebuah panitia yang disebut dengan Tim Lajnah, yang terdiri dari 11 orang, dengan KH Cholil Bisri sebagai ketua, dan Gus Dur sebagai sekretaris. Tim Lajnah itu bekerja secara maraton untuk menyusun platform dan komponen-komponen partai termasuk logo partai yang dibuat KH A. Mustofa Bisri. Selain itu terbentuk juga Tim Asistensi Lajnah yang terdiri dari 14 orang, dengan  yang diketuai Matori Abdul Djalil dan Asnan Mulatif sebagai sekretaris.

Pada tanggal 18 Juni 1998, panitia itu mengadakan pertemuan dengan PBNU, yang dilanjutkan audiensi dengan tokoh-tokoh politik kader NU yang ada di Golkar, PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan PPP, yang menawarkan untuk bergabung tanpa paksaan. Namun, PBNU sendiri menolak usaha pendirian partai baru tersebut. Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat Nahdliyin tersebut, PBNU menanggapinya secara hati-hati, karena hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo menetapkan secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun, dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Namun demikian, sikap yang ditunjukan PBNU belum memuaskan keinginan warga NU. Banyak pihak dan kalangan NU dengan tidak sabar bahkan langsung menyatakan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat. Di antara mereka malahan ada yang sudah mendeklarasikan parpol, yakni Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat (Perkanu) di Cirebon.

Akhirnya, PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk menampung aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh KH Ma’ruf Amin (Rais Syuriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Prof Dr KH Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), H M. Rozy Munir,S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan PBNU.

Untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima seiring semakin derasnya usulan warga NU untuk mendirikan partai politik, maka pada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 20 Juni 1998 memberi Surat Tugas kepada Tim Lima, selain itu juga dibentuk Tim Asistensi NU yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma’ruf, Lc., Drs. H Abdul Aziz, M.A., Drs. H Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi NU bertugas membantu Tim NU dalam mengiventarisasi dan merangkum usulan pembetukan parpol. Selanjutnya, pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya. Tanggal 26-28 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra Cipanas untuk membahas usulan pendirian PKB dari para Kiai yang telah berkumpul di Rembang. Dalam usulan telah terlampir berkas-berkas platform partai, AD/ART, dan tanda gambar partai.

Setelah itu, pada tanggal 4 Juli 1998 Tim Lajnah beserta Tim dari NU mengadakan semacam konferensi besar di Bandung dengan mengundang seluruh PW NU se-Indonesia yang dihadiri oleh 27 perwakilan yang memutuskan nama partai. Usulan-usulan nama yang muncul waktu itu, adalah Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kebangkitan Ummat dan Partai Nahdlatul Ummat. Dengan musyawarah, konferensi akhirnya memilih nama PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Konferensi itu juga menyepakati 72 deklarator partai, sesuai dengan usia NU ketika itu, yang terdiri dari Tim Lajnah (11), Tim Asistensi Lajnah (14), Tim NU (5), Tim Asistensi NU (7), Perwakilan Wilayah (27 x 2), Ketua-ketua Event Organisation NU, tokoh-tokoh Pesantren dan tokoh-tokoh masyarakat. Namun, ketika masuk ke PBNU, yang dinyatakan menjadi deklaratornya hanya 5 orang saja, yaitu: KH Munasir Allahilham, KH Ilyas Ruchyat (Tasikmalaya), KH Muchid Muzadi (Jember), KH. A. Mustofa Bisri (Rembang), dan Gus Dus sebagai ketua umum PBNU.

Cukup menarik, walaupun dengan basis massa Nahdliyin, PKB adalah partai terbuka. Ini memancing ketidaksenangan beberapa kiai yang akhirnya mendirikan juga partai lain, seperi PKNU. Menanggapi situasi tidak akur itu, Gus Dur mengomentarinya dalam suatu acara TV di TPI (sekarang MNC TV) dengan ungkapan yang terkenal dan tak akan terlupakan. “NU itu seperti induk ayam yang dari pantatnya keluar telur dan juga tai. Nah, PKB adalah telurnya”, kata Gus Dur. Ketika ditanya oleh Haris Jauhari, pembawa acara, “lalu bagaimana dengan partai-partai warga NU selain PKB”, dengan enteng dan tegas Gus Dur menjawab, “Ya tai ayam” (Suara Hidayatullah, Nahdlatul Ulama Dijadikan Taruhan, 04/XIV, Agustus 2001)

*Ditulis untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, namun tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

Berlanjut ke Bagian 2

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s