Tag Archives: Letnan Kolonel Untung

“APA YANG TERJADI PADA TAHUN 1965?” (1)

Oleh Hotmangaradja Pandjaitan*   

          SITUASI traumatis masyarakat awam terhadap kekejaman PKI sampai saat ini masih membekas dari sisa-sisa lembaran hitam tahun 1965 itu, walaupun dirasakan ada keengganan untuk membicarakannya secara terbuka. Sikap yang demikian menunjukkan masih adanya kesadaran masyarakat untuk mencegah agar jangan sampai peristiwa tersebut terulang kembali.

          Berbagai tanggapan masyarakat awam atas pertanyaan yang sering kita dengar tentang faham komunis pada umumnya tidak terlepas dari kenyataan sebagai berikut ini.

          Kenyataan kesatu, ada upaya kudeta (coup d’etat), yaitu upaya pengambil-alihan kekuasaan yang sah secara paksa, yang diklaim secara resmi oleh PKI.

          Kenyataan kedua, dibentuknya Dewan Revolusi. Ada pengumuman melalui RRI hari Jumat, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 06.00 pagi yang menyatakan bahwa Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung telah mengambil-alih kekuasaan.

Kenyataan berikutnya, yang ketiga, adalah fakta Pemberontakan G30S/PKI. Pemberontakan militer dan politik yang digerakkan dan dikendalikan oleh tokoh-tokoh PKI yang diawali dengan menculik dan membunuh 6 Pati dan 1 Pama TNI AD pada tanggal 1 Oktober 1965, yakni Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri Panglima AD), Mayor Jenderal Suprapto (Deputi  II Pangad), Mayor Jenderal Haryono M.T. (Deputi III Pangad), Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I Pangad), Brigadir Jenderal D.I. Pandjaitan (Asisten IV Pangad) dan Brigadir Jenderal Sutojo Siswomihardjo (Oditur Jenderal Militer/ Inspektur Kehakiman Angkatan Darat) serta Letnan Satu CZI Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).

          Keterkaitan TNI AD. Banyak persepsi  yang berkembang tentang keterlibatan insitusi TNI AD dalam permasalahan yang terkait dengan perebutan kekuasaan di tahun 1965 itu. Kecurigaan ini masih dapat dianggap wajar bila kita memahami situasi negara yang dalam keadaan chaos pada saat itu, sehingga tidak dapat membedakan mana TNI yang Sapta Marga dan mana militer yang sudah disusupi faham komunis.

*LETNAN JENDERAL HOTMANGARADJA PANDJAITAN. Putera salah satu Pahlawan Revolusi, Brigadir Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, yang menjadi korban G30S PKI pada 30 September 1965 tengah malam menuju dinihari 1 Oktober. Pasukan G30S menyerbu ke rumah kediaman di Jalan Sultan Hasanuddin, memaksa untuk membawa sang jenderal dengan alasan dipanggil Presiden Soekarno. DI Pandjaitan yang mengenakan seragam jenderal, ditembak di halaman rumahnya ketika berdiri dalam posisi berdoa. Saat peristiwa terjadi, Hotmangaradja baru berusia 12 tahun, dan ikut menyaksikan tindakan kekerasan yang menimpa ayahandanya. Mengikuti jejak ayahanda, Hotmangaradja menjadi perwira tinggi TNI dan mencapai pangkat Letnan Jenderal. Kini, purnawirawan.

          Namun sesungguhnya, saat itu sikap institusi TNI AD sudah jelas dan tegas sebagaimana yang ditunjukkan oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri/ Panglima Angkatan Darat. Letnan Jenderal Ahmad Yani antara lain bersikap menolak masuknya konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) ke dalam tubuh Angkatan Darat; Menolak dibentuknya Angkatan Kelima, yaitu dengan mempersenjatai buruh dan tani. Letnan Jenderal Ahmad Yani pun dicap sebagai komunisto phobi –anti komunis yang berlebihan (Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI Menguak Kegagalan Mengkomuniskan Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, 2007).

          Secara umum sikap TNI AD yang ditunjukkan oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani tersebut merupakan wujud sikap prajurit TNI sejati yang berjuang untuk mempertahankan dan mengamalkan Pancasila, Sapta Marga dan Sumpah Prajurit secara utuh, yang lebih loyal melaksanakan Politik Negara di atas Politik Pemerintah. Dengan demikian dasar ideologi yang telah diyakini kebenarannya tersebut tidak mungkin dapat dicampur-adukkan dengan faham lain, apalagi dengan faham komunis. Penyebab utama sebenarnya ditunjukkannya sikap anti komunis yang ditunjukkan secara spontan  oleh golongan agama seperti dari NU, Partai Kristen dan lain-lain adalah karena  faham komunis yang diusung oleh PKI tidak percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga melarang eksistensi berbagai agama di bumi Indonesia.

Berbagai versi yang berkembang kemudian

          Menyimak dari berbagai buku tentang penuturan sejarah yang ditulis berdasarkan versi dan kepentingannya masing-masing, secara umum dapat dikategorikan menjadi dua versi yaitu versi pertama menerima kebenaran fakta sejarah yang diakui kebenarannya sampai saat ini dan versi kedua kebenaran yang diklaim oleh pihak yang gagal dan kemudian terhukum lalu mempersalahkannya di kemudian hari.

          Versi yang menerima fakta sejarah. Versi ini menerima kebenaran fakta sejarah yang diakui kebenarannya sampai saat ini sebagaimana yang diungkapkan oleh James Luhulima dalam bukunya Menyingkap Dua Hari Tergelap, bahwa PKI yang mendalangi G30S, AURI terlibat, dan PAU Halim Perdana Kusuma adalah Markas G30S. Walaupun kemudian juga muncul versi-versi lain tentang G30S, tetapi sampai Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998, versi resmi itulah yang diyakini kebenarannya (Luhulima, halaman 16). Tidak dapat disalahkan, bila masyarakat meyakini kebenaran fakta sejarah yang didukung oleh banyaknya alasan untuk menerima versi pemerintah, antara lain: (1) Ideologi Pancasila sebagai Ideologi Negara Republik Indonesia. (2) Saksi hidup dan bukti-bukti merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri. (3) Ternyata versi ini tidak terkait dengan keberadaan Soeharto sebagai Presiden. (4) Sebagian besar bangsa Indonesia menginginkan kehidupan yang lebih baik dan bersikap waspada terhadap PKI.

Tulisan ini diangkat dari buku ‘Symptom Politik 1965‘ (Kata Hasta Pustaka, 2007), dengan sedikit peringkasan yang tak merubah makna.

Versi yang mempermasalahkan fakta sejarah. Versi ini merupakan upaya dari pihak yang gagal dalam mengkomuniskan Indonesia dan kemudian terhukum oleh hukum formal maupun hukum sosial yang berlaku di masyarakat dengan menerima stigma PKI. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pihak yang gagal tersebut, maka dimunculkan teori-teori yang saling bertentangan, dengan tujuan akhirnya memudarkan kebenaran sejarah. Apakah PKI yang mendalangi G30S, apakah Presiden Soekarno, atau barangkali Soeharto sendiri yang menjadi dalang rekayasa G30S, untuk menghancurkan PKI yang dianggap penghalang untuk mencapai tujuannya (H. Suparman, Dari Pulau Buru Sampai ke Mekah: Sebuah Catatan Tragedi 1965, halaman 70).

Pada umumnya masyarakat tidak percaya dengan versi ini, karena selalu menggunakan pendekatan konflik yang tidak kunjung berakhir. Dengan mengutak-atik sejarah, membuat pertentangan dengan sikap sama rata sama rasa, desa mengepung kota dan lain-lain merupakan strategi untuk meyakinkan masyarakat bahwa PKI benar. Hanya ‘segelintir orang’ yang mau percaya terhadap versi ini, biasanya mereka yang kalah dalam percaturan politik atau mereka yang terkait dengan ekses atau dampak pembangunan.

Benang merah yang dapat ditarik. Pada kenyataannya, upaya-upaya untuk memutar-balikkan fakta sejarah pun terjadi. Dimulai dari wacana penghapusan Tap MPRS/XXV/1966 pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dengan memanfaatkan isu demokratisasi dan HAM, pencabutan Tap/MPR/II/1978 tentang P-4 dan maraknya penerbitan buku-buku yang secara tegas dan terang-terangan membela kepentingan PKI sebagai upaya membenarkan tindakan yang telah dilakukan. Dr. H. Soebandrio menulis buku –Yang Saya Alami Peristiwa G30S, Sebelum, Saat Meletus dan Sesudahnya, PT Bumi Intitama Sejahtera, 2006– dan menuduh secara tegas bahwa Soeharto (mantan Presiden RI) sebagai dalang Peristiwa 30 September 1965 dengan menyatakan Soeharto “mendukung tindakan Letnan Kolonel Untung untuk menculik para jenderal” (Hal. 22). Penerbitan buku yang sempat mengagetkan masyarakat adalah terbitnya buku dengan judul ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’ tulisan dr Ribka Tjiptaning Proletarianti.

Di samping itu forum-forum pertemuan antar eks anggota PKI semakin intensif dilakukan. Pembentukan organisasi massa dengan menggunakan jargon dan simbol-simbol yang pernah digunakan PKI, hingga pembentukan partai politik yang memiliki faham kiri, juga terjadi di beberapa tempat (Bagian 2: Mendudukkan Permasalahan/socio-politica).

SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (4)

Penjemputan jenderal berubah jadi penculikan. Jumat dinihari 04.00, 1 Oktober 1965, dimulailah gerakan ‘penjemputan’ para jenderal. Tapi ternyata, apa yang semula direncanakan sebagai ‘penjemputan’ –untuk kemudian diperhadapkan kepada Presiden Soekarno setelah diinterogasi untuk memperoleh pengakuan akan melakukan kudeta– telah berubah menjadi peristiwa penculikan berdarah. Merenggut nyawa enam jenderal dan satu perwira pertama. Hanya Jenderal Abdul Harris Nasution yang lolos, dan Brigjen Soekendro yang namanya juga ada dalam taklimat, ternyata tak ‘dikunjungi’ Pasopati.

Kenapa ‘penjemputan’ berubah menjadi penculikan dengan kekerasan dan mengalirkan darah ? Ternyata, tanpa sepengetahuan Brigjen Soepardjo dan Kolonel Abdul Latief, dua perwira yang paling tinggi pangkatnya dalam gerakan, Letnan Kolonel Untung mengeluarkan perintah kepada Letnan Satu Doel Arief, untuk menangkap para jenderal target itu “hidup atau mati”. Letnan Kolonel Untung menegaskan, “Kalau melawan, tembak saja”. Dan Doel Arief meneruskan perintah itu kepada regu-regu penjemput dalam bentuk yang lebih keras. Dalam kamus militer, terminologi “hidup atau mati”, cenderung berarti izin membunuh, dan umumnya yang terjadi para pelaksana memilih alternatif ‘mati’ itu bagi targetnya. Apalagi bila yang akan ditangkap itu melakukan perlawanan, hampir dapat dipastikan bahwa yang dipilih adalah alternatif ‘mati’ tersebut.

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006)

Bilamana penjemputan para jenderal itu memang bertujuan menghadapkan mereka kepada Panglima Tertinggi, Presiden Soekarno, seperti misalnya yang dipahami dan dimaksudkan oleh Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief, maka tak perlu ada perintah “hidup atau mati”. Faktanya, semua yang dijemput, memang mati terbunuh di tempat maupun kemudian di Lubang Buaya.

Jalannya peristiwa penculikan, diangkat dari penuturan para putera-puteri dan keluarga korban, dalam buku ‘Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam’, penuturan Jenderal AH Nasution serta konfirmasi sumber lainnya. Berikut ini.

Menjelang pukul 04.00 dinihari 1 Oktober 1965, Jenderal Abdul Harris Nasution dan isterinya, Johana Sunarti, terbangun karena terganggu nyamuk-nyamuk yang terbang seliweran berdenging-denging. Bersenjatakan sapu lidi Menko Kasab itu berusaha mengusir nyamuk-nyamuk itu. Justru ketika itulah pula terdengar suara tembakan dari luar. Nyonya Sunarti yang sejak semalam dihinggapi firasat buruk, ditambah dengan pengetahuannya atas beberapa informasi perkembangan situasi terakhir dari suaminya, segera membuka pintu kamar sedikit. Ia kaget karena di depan pintu berdiri seorang prajurit berseragam Tjakrabirawa dengan senjata di tangan dalam posisi siap tembak.

Nyonya Sunarti Nasution segera menutup kembali pintu kamar, dengan rasa heran mengenai kehadiran pasukan Tjakrabirawa itu. Kepada suaminya ia berkata, “Jangan buka pintu ! Mereka akan membunuh kamu”. Tetapi Jenderal Nasution memaksa isterinya untuk membuka kembali pintu, karena ingin berbicara sendiri dengan tentara-tentara yang sudah masuk hingga ke depan kamarnya itu. Begitu pintu terbuka sedikit, dan Jenderal Nasution terlihat dari luar, senjata di tangan anggota Tjakrabirawa itu menyalak dua kali. Dengan sigap Jenderal Nasution menjatuhkan tubuh ke lantai menghindari rentetan tembakan berikutnya, sementara Nyonya Sunarti dengan cepat menutup pintu dan menguncinya. Tak mudah, karena Tjakrabirawa yang ada di luar juga mendorong pintu agar bisa masuk.

Di kamar yang lain, salah seorang anggota keluarga yang terbangun, Mardiah adik perempuan Abdul Harris Nasution, seraya menggendong salah seorang puteri Jenderal Nasution, membuka pintu kamar karena ingin tahu apa yang terjadi. Namun begitu pintu terbuka ia diberondong tembakan dari luar, dan beberapa diantaranya mengenai puteri bungsu Jenderal Nasution, Ade Irma. Nyonya Sunarti yang sudah berada di kamar itu –kamar-kamar itu punya pintu penghubung satu sama lain– kembali bertindak mengunci pintu kamar. Pintu itu dihujani peluru dari luar tapi beruntung tak ada peluru yang tepat mengena, kecuali satu menyerempet di bagian kepala dan memutuskan rambut serta satu lainnya menggores di bawah ketiak. Pintu yang berbahan kayu jati itu tak berhasil terbuka dan tak jebol oleh berondongan peluru.

Sang isteri lalu memaksa Jenderal Nasution untuk menyelamatkan diri dengan memanjat tembok belakang. Ia nyaris kembali turun dari tembok ketika mengetahui Ade Irma Surjani cedera, namun dicegah sang isteri. “Mereka datang untuk membunuh kamu. Pergilah, biar saya yang menghadapi mereka”, ujar Sunarti. “Selamatkan diri ! Selamatkan diri !”. Akhirnya Nasution meloncat juga dan bersembunyi beberapa jam di balik sebuah drum di bagian belakang pekarangan tetangga, sebuah rumah milik Kedubes Irak, sebelum akhirnya dijemput jam 07.00 pagi oleh Kolonel Hidajat dan Sunario Gondokusumo iparnya.

Setelah Nasution meloncat, Nyonya Sunarti seraya menggendong Ade Irma yang terluka, kembali ke ruang tengah untuk menelpon Brigjen Umar Wirahadikusumah, tapi saluran telpon telah diputus. Lima anggota Tjakrabirawa yang ada di sana membentak-bentak menanyakan “Nasution di mana?”, tanpa menyebutkan lagi pangkat jenderalnya. Sunarti Nasution menjawab, “Jenderal Nasution di Bandung. Sudah dua hari. Kalian kemari hanya untuk membunuh anak saya!”. Desakan lebih jauh tak sempat lagi dilakukan mereka karena kemudian terdengar suara peluit beberapa kali, yang agaknya menjadi tanda bahwa tenggat waktu sudah habis, dan sudah saatnya untuk meninggalkan tempat itu. Mereka gagal menemukan Jenderal Nasution. Tetapi pada waktu yang hampir bersamaan, di bagian lain rumah di Jalan Teuku Umar itu, terjadi drama lain.

Mendengar ribut-ribut kedatangan sepasukan tentara –sebagian berseragam Tjakrabirawa– ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Tendean, keluar dari paviliun. Ia berhadapan dengan sejumlah tentara bersenjata, yang segera menanyakan “Mana Nasution?”. Semula tampaknya, ada beberapa diantara penerobos yang tak mengenal Nasution dan menyangka Pierre Tendean lah Jenderal Nasution. Tapi kesalahan itu segera disadari. Namun Pierre Tendean tetap mereka bawa dengan tangan terikat dan dimasukkan ke kendaraan. Sementara itu, yang lainnya tetap menerobos masuk mencari Nasution, sampai tenggat waktu habis.

Satuan yang bertugas menculik Jenderal Abdul Harris Nasution ini dipimpin oleh seorang anggota Tjakrabirawa, Pembantu Letnan Dua Djuharub. Di dalam kelompoknya bergabung satu regu dari peleton Batalion 454 Diponegoro, satu peleton PGT (Pasukan Gerak Tjepat) AURI ditambah 1 peleton Sukarelawan yang diidentifikasi kemudian berasal dari Pemuda Rakjat (Bagian 5: “Bapak diminta menghadap Presiden……!”/socio-politica)

SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (3)

Taklimat penjemputan 8 Jenderal. Penetapan rencana pembentukan Dewan Revolusi dilakukan dalam pertemuan kedelapan, 24 September, di rumah Sjam. Pertemuan yang berlangsung tujuh hari sebelum 1 Oktober 1965 itu, termasuk pertemuan penting karena di situ perencanaan makar mencapai puncaknya. Selain karena dihadiri lengkap seluruh pendukung gerakan, juga karena saat itu;ah tercapai kesepakatan pembentukan Dewan Revolusi. Nama yang semula dipilih adalah Dewan Militer. Tapi menurut Sjam, Aidit berkeberatan dan mengusulkan penggunaan nama Dewan Revolusi agar cakupannya lebih luas, tidak terdiri dari kalangan militer saja. Semula, dalam Dewan Militer, selain para perwira pelaksana gerakan, disebutkan nama dua panglima angkatan, Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Laksamana Madya Laut RE Martadinata.

Itulah pertama kali nama Aidit  dikaitkan dengan gerakan, meski hanya melalui ucapan Sjam. Sejauh hingga saat itu, Aidit tak pernah hadir dalam pertemuan. Dalam pertemuan kesembilan, 26 September, ditetapkan Gedung Penas (Pemetaan Nasional) dekat Halim Perdanakusumah sebagai Senko (Sentral Komando). Pada pertemuan ini ada desakan agar D-Day ditetapkan 29 September, tetapi Letnan Kolonel Untung meminta ditunda 30 September. Ia masih berharap mendapat dukungan kavaleri dengan tank dan panser dari Divisi Siliwangi. Dan ia telah mengajukan permintaan bantuan untuk itu kepada seseorang yang sepanjang data yang ada belum pernah ‘terungkap’ namanya.

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006)

 Permintaan Untung akan dukungan kavaleri dari Siliwangi ini, tak pernah terpenuhi sampai terjadi peristiwa pada 1 Oktober dinihari. Namun merupakan kebetulan yang menakjubkan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965, satu pasukan kavaleri dengan 30 buah tank dan kendaraan lapis baja dari Siliwangi –persis sama dengan yang diinginkan Letnan Kolonel Untung– betul-betul datang ke Jakarta dan bergabung ke bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. 

Pertemuan terakhir, dilakukan tepat pada D-Day 30 September, di rumah Sjam, di Salemba Tengah. Pada pertemuan ini, barulah dimunculkan Brigjen Soepardjo, yang datang dari Pontianak sehari sebelumnya atas permintaan Sjam Kamaruzzaman Ketua Biro Khusus PKI. Pangkopur II ini menawarkan mendatangkan pasukan dari Kalimantan yang ada dalam komandonya, namun perwira lainnya menyatakan tak perlu, karena pasukan yang tersedia sudah mencukupi.

Malam itu ditaklimatkan nama 8 jenderal yang akan dijemput, yakni Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soewondo Parman, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo dan Brigjen Ahmad Soekendro. Ada perubahan angka personil pasukan yang akan dikerahkan, dari 1 kompi Tjakrabirawa menjadi 1 batalion, dan dari Brigif I Kodam Jaya dari 1 batalion menjadi 3 batalion. Sehingga total pasukan yang akan dikerahkan menjadi sekitar 7000 orang.

Adalah menarik bahwa pada tengah malam, Aidit yang sebenarnya dijemput oleh perwira Tjakrabirawa dari rumahnya untuk dibawa ke Halim Perdanakusumah, pasca peristiwa –berdasarkan sebuah laporan intelijen–  digambarkan ikut sejenak hadir dalam pertemuan itu. Aidit lalu dipertemukan dengan Mayjen Pranoto di ruang lain di rumah itu, sebelum akhirnya dibawa ke Halim Perdanakusumah. Letnan Kolonel Untung dikemudian hari dalam pengakuannya, menyebutkan dua tokoh tersebut sebagai ‘dua orang tak saya kenal’. Kehadiran Aidit di rumah Sjam malam itu, tak banyak diketahui, karena setelah menghadiri acara di Senayan, dimana Soekarno berpidato, Aidit yang tidak menunggu acara sampai selesai, pulang kerumah dan menerima seorang tamu, Ketua CGMI Hardojo sampai menjelang tengah malam. Sekitar jam duabelas lewat, ia dijemput dari rumahnya di Pengangsaan Barat oleh dua perwira Tjakrabirawa yang menggunakan dua landrover AURI dan diminta ke Halim Perdanakusumah.

Acara di Istora Senayan, Musyawarah Nasional Teknik, 30 September malam, berlangsung hingga agak larut. Baru setelah pukul 22.00 Presiden Soekarno naik ke podium untuk berpidato. Sebelum itu, Soekarno sempat mendapat sepucuk surat, yang disampaikan melalui salah satu ajudannya, Kolonel Widjanarko. Setelah sejenak mengamati surat itu, memasukkan ke sakunya, Soekarno lalu meninggalkan tempat duduknya dan keluar menuju serambi gedung olahraga itu, diiringi oleh para perwira pengawalnya, Kolonel CPM Maulwi Saelan dan Komisaris Polisi Mangil, selain Kolonel Widjanarko. Mulanya, Soekarno menyempatkan diri ke kamar kecil. Lalu, di serambi Istora Senayan, Soekarno menyempatkan membaca surat tersebut. Menurut kesaksian Widjanarko di kemudian hari, surat itu berasal dari Letnan Kolonel Untung yang disampaikan seorang kurir. Setelah membaca surat, Soekarno mengangguk-angguk dan nampak bersemangat (Penggambaran ini berdasarkan pemeriksaan Widjanarko di Teperpu serta sumber sekunder lainnya).

Sikap bersemangat itu berkelanjutan ketika Soekarno kemudian menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itulah Soekarno menyampaikan sebuah kutipan dari dunia pewayangan, kisah Mahabharata, yang menggambarkan suatu ‘pelajaran’ untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan. Namun, setelah peristiwa tanggal 30 September 1965, kelak analogi dari pewayangan yang disampaikan Soekarno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam peristiwa tersebut. Apalagi, Soekarno di bagian akhir pidatonya mengucapkan serentetan kalimat, “Saudara-saudara sekarang boleh pulang tidur dan istirahat sedangkan Bapak masih harus bekerja menyelesaikan soal-soal yang berat, mungkin sampai jauh malam nanti….”.

Di kemudian hari, kalimat ini ditafsirkan terkait dengan surat yang diterimanya sebelum itu, yang berasal dari Untung, dan menjadi bagian dari analisa keterlibatan dirinya dalam perencanaan peristiwa yang beberapa jam lagi akan terjadi setelah ia mengucapkan pidatonya malam itu, 30 September menuju 1 Oktober 1965. Bahkan Soe-Hokdjin (Arief Budiman) pernah memberi catatan bahwa setahun sebelumnya, di depan para perwira Perguruan Tinggi Hukum Militer di Istana Bogor, Soekarno menterjemahkan ajaran Kresna, karmane evadhi karaste maphalesu kadacana, sebagai “kerjakan kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akibatnya”. Tetapi pada 30 September 1965 malam, Soekarno menterjemahkannya sebagai “kerjakan kau punya tugas kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi”. (Berdasarkan pemaparan Jenderal AH Nasution dalam buku ‘Memenuhi Panggilan Tugas’ dan tulisan Arief Budiman dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia, 25 Desember 1966). Apakah karena sebelum berpidato, ia telah menerima secarik surat dari Letnan Kolonel Untung? (Bagian 4: Penjemputan Jenderal Berubah Jadi Penculikan/socio-politica)

SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (1)

Perintah-perintah Soekarno. DALAM acara ulang tahun Soekarno, 6 Juni 1965, di Istana Tampak Siring, Bali, ada pembicaraan tentang isu kelompok jenderal yang tidak loyal. Saat itu Soekarno secara langsung memberikan petunjuk menghadapi rencana makar para jenderal itu. Tiga Waperdam, Dr Subandrio, Chaerul Saleh dan Dr Johannes Leimena hadir di Tampak Siring kala itu. Bersama para Waperdam, ada Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam serta tiga pejabat teras Bali, Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian. Selain itu, juga hadir perwira keamanan Soekarno, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel KKO Bambang Widjanarko.

Buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’ (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) menuturkan cukup detail tentang pertemuan itu. “Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya. Pada waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan untuk melakukan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya.”

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006) 

Tak memerlukan waktu yang lama Brigjen Sjafiuddin telah melapor kembali. Ia berkali-kali menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. “Sjafiuddin menggambarkan adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima Tertinggi.  Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid.” Dan betul, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Tanpa pikir panjang, Mursjid langsung menyatakan bersedia.

Tetapi selain kepada Sjafiuddin, Presiden Soekarno juga memerintahkan beberapa perwira lain menyelidiki kelompok perwira yang tidak loyal itu. “Dua diantara yang ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo.” Keduanya juga membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Mereka bolak-balik ke Istana membawa laporan memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal, jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi.

Pada tanggal 4 Agustus 1965, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada Untung Soekarno bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam. Bahkan Sjam mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat. Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno sendiri pada akhirnya.

Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan, Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal.

Pada 15 September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan Hardjo Wardojo.

Lalu pada 23 September pagi, di serambi belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata harus dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen Tjakrabirawa itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”. Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu adalah  Dr Subandrio, Chaerul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.

Ketika Brigjen Soedirgo menghadap lagi 26 September, kembali Soekarno mengatakan telah memerintahkan Brigjen Sabur dan Brigjen Sunarjo untuk mengambil tindakan dan memerintahkan Soedirgo membantu. ”Saya percaya kepada Corps Polisi Militer”, ujar Soekarno. Terlihat betapa selama berminggu-minggu, persoalan berputar-putar pada lapor melapor tentang adanya jenderal-jenderal yang tidak loyal dan setiap kali Presiden Soekarno pun mengeluarkan perintah penindakan. Namun, rencana penindakan itu seakan jalan di tempat. Barulah pada 29 September 1965, tampaknya ada sesuatu yang dapat dianggap lebih konkret, dengan munculnya Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo melaporkan kesiapan ‘pasukan’ yang dikoordinasi Pangkopur II dari Kalimantan ini untuk segera bertindak terhadap para jenderal yang tidak loyal tersebut. (Bagian 2: Rencana Penangkalan, Sebuah Gerakan Militer/socio-politica).

1965: Konspirasi Di Atas Konspirasi

TERKAIT Peristiwa 30 September 1965, buku Julius Pour “G30S, Fakta atau Rekayasa” (Kata Hasta Pustaka, 2013) menyebutkan ada satu pertanyaan yang menunggu jawaban. “Jika memang Jenderal Soeharto sudah tahu bahwa sejumlah perwira progresif revolusioner akan bergerak, mengapa dia tidak lebih dulu menghabisi mereka? Paling tidak, melaporkannya kepada Jenderal Yani.”

Untuk itu, Julius Pour yang dulu aktif sebagai wartawan di sebuah media nasional terkemuka, merujuk beberapa catatan dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, 2006). Bahwa, kala itu sebenarnya cukup banyak perwira Angkatan Darat, di antaranya Jenderal Soeharto, yang tahu banyak tentang adanya sesuatu yang berpotensi bahaya terhadap negara, khususnya terhadap pimpinan Angkatan Darat. Namun semuanya, tidak ada yang pernah menindaklanjuti informasi yang mereka terima tersebut. Minimal, dengan melaporkan kepada atasan. Di lain pihak, bisa terjadi, justru pihak atasan yang memang tidak tanggap.

SOEKARNO-UNTUNG-SOEHARTO. "Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief."
SOEKARNO-UNTUNG-SOEHARTO. “Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief.”

Menurut buku tahun 2006 tersebut, Jenderal Soeharto mengetahui adanya rencana gerakan, tidak kurang dari Kolonel Latief –salah seorang perwira yang kemudian dinyatakan terlibat dalam peristiwa– sehari menjelang kejadian. Selain itu, sebelumnya Soeharto pernah pula bertemu Letnan Kolonel Untung ‘pemimpin’ gerakan militer tanggal 30 September 1965 tersebut. Namun sebenarnya, Soeharto tak sendirian dalam mengetahui rencana konspirasi –bahkan mungkin justru terlibat secara mendalam– akan tetapi membiarkan. Tak lain, karena memang masing-masing tokoh, di antaranya Soekarno, saat itu punya agenda untuk kepentingan politik dan kekuasaannya sendiri.

Lebih jauh, berikut ini adalah kutipan beberapa catatan dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 yang menggambarkan adanya benang merah konspirasi di atas konspirasi dalam Peristiwa 30 September 1965.

SAMPAI tengah malam saat bertemunya akhir hari Kamis 30 September dan awal hari Jumat 1 Oktober 1965, terpetakan situasi berikut ini, diantara tokoh-tokoh yang akan mencipta satu episode baru dalam sejarah politik dan kekuasaan Indonesia. Semua tokoh, pada tempat pijakannya masing-masing, ada dalam keadaan tidak buta samasekali, dan semua punya sesuatu pengetahuan penting –meskipun dalam kadar kedalaman yang berbeda-beda– terkait dengan apa yang akan terjadi kemudian tak berapa lama lagi. Beberapa diantara mereka terlibat dalam rangkaian perbuatan yang menimbulkan tanda tanya, sekaligus menempatkan mereka dalam posisi tertuduh dalam sejarah, sebagai orang-orang yang menciptakan suatu tragedi berdarah.

            Soekarno, Presiden Republik Indonesia, memiliki bekal pengetahuan tentang akan adanya satu gerakan dari sekelompok perwira yang bertujuan menindaki sejumlah perwira lainnya di Angkatan Darat yang dianggap akan melakukan ‘kudeta’ terhadap dirinya. Ia sendiri yang memerintahkan penindakan para jenderal itu kepada Brigjen Sabur, Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. Tetapi memang menarik bahwa yang kemudian tampil bertindak adalah pasukan yang dikoordinasi oleh Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung, yang tidak ikut kesibukan lapor-melapor pada hari-hari menjelang tanggal 30 September 1965.

Soekarno percaya bahwa kelompok perwira yang akan melakukan makar itu, adalah apa yang dinamakan Dewan Jenderal. Bagi Soekarno, Dewan Jenderal identik dengan Jenderal Abdul Harris Nasution, yang menurut Soebandrio adalah jenderal yang paling ditakuti sang presiden. Jadi, baginya, Nasution adalah sasaran untuk ditindaki dan bersama sejumlah jenderal akan diperhadapkan kepadanya esok hari pada tanggal 1 Oktober 1965.

Ada kemungkinan, Soekarno tidak terlalu menyadari bahwa Letnan Jenderal Ahmad Yani –yang sebenarnya adalah satu di antara de beste zonen van Soekarno– menjadi salah satu sasaran gerakan, karena untuk Yani, Soekarno sudah punya solusi tersendiri. Keberatan Soekarno terhadap Yani hanyalah bahwa salah satu jenderal kesayangannya ini seringkali dianggapnya terlalu terpengaruh oleh Nasution. Bahwa akan terjadi pembunuhan, kemungkinan besar adalah di luar keinginan Soekarno. Menurut Laksamana Madya Laut (Purnawirawan) Mursalin Daeng Mamangung, Soekarno pada hakekatnya ‘tidak tahan’ melihat darah mengalir. Mursalin tidak yakin bila suatu perintah pembunuhan  keluar dari mulut Soekarno. Artinya, bisa ditafsirkan bahwa ungkapan-ungkapan tentang pertumpahan darah di antara sesama saudara kalau perlu demi perjuangan, lebih cenderung sebagai ungkapan romantik belaka dari Soekarno mengenai revolusi.

Jangankan Soekarno, bagi Brigjen Soepardjo maupun Kolonel Latief pun hal itu diluar dugaan. Perintah yang menyebabkan darah mengalir, berasal dari Letnan Kolonel Untung kepada Letnan Satu Doel Arief, yang kemudian ‘memperkuat’nya lagi ke bawah sebagai pilihan utama. Namun dalam persidangan Mahmilub atas dirinya, Letnan Kolonel Untung membantah dan mengaku ia hanya bermaksud menangkap dan menghadapkan para jenderal kepada Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno. Sang Letnan Kolonel menunjuk anggota Biro Khusus (Biro Chusus) PKI Sjam Kamaruzzaman sebagai pemberi perintah eksekusi.

            LETNAN Jenderal Ahmad Yani pada 30 September malam itu, sadar betul tentang adanya satu rencana penculikan terhadap sejumlah jenderal, sesuai laporan intelijen yang dengan gencar masuk padanya, namun ia tak tahu secara definitif kapan itu akan terjadi. Memang menjadi tanda tanya, kenapa ia menyuruh pulang satuan Pomad Para yang malam itu justru merupakan perkuatan pengawalan rumahnya. Agaknya ia menganggap pengawalan reguler yang ada, sudah cukup memadai, selain bahwa ia pun sudah mengetahui tindak-tanduk Komandan CPM Brigjen Soedirgo di hari-hari terakhir.

Siang 30 September 1965 itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani pulang dengan riang dan cerah dari kantornya, seperti yang dituturkan putera-puterinya. Sorenya ia tetap melakukan kegiatan olahraga golfnya, dan malamnya ia menerima laporan Pangdam Brawijaya Basoeki Rachmat serta perwira dari Corps Polisi Militer, serta telepon dari Brigjen Sugandhi. Sepanjang yang terlihat, tak ada yang perlu dikuatirkannya, dan ia percaya bahwa pengaturan keamanan dalam beberapa hari terakhir telah diatur dengan baik. Setidaknya, ia menerima laporan bahwa semuanya telah diatur.

Sikap gembiranya pada siang hari, tak bisa diabaikan, pasti ada penyebabnya, dan itu terkait dengan berita ‘baik’ terkait rencana pertemuannya esok pagi dengan Presiden, bahwa ia mungkin saja akan diganti sebagai Menteri Pangad, ditegur keras, namun sebaliknya ia akan naik ke suatu posisi lebih tinggi, walau posisi baru itu tidak punya nilai komando dan akses kepada pasukan. Menurut salah satu  mantan ajudan Presiden Soekarno, RH Sugandhi –dalam suatu percakapan bersama Drs Ton Kertapati dan Rum Aly di tahun 1987– ada yang menyampaikan demikian padanya hari itu, yang dikatakan bersumber dari Presiden Soekarno sendiri.

            DIPA Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, mengetahui adanya rencana ‘gerakan internal Angkatan Darat’ yang melibatkan Letnan Kolonel Untung Sjamsuri dan kawan-kawan. Ia siap untuk memetik keuntungan dari gerakan itu, tapi ia bukanlah di garis pertama persoalan maupun perencanaan. Kendali bukan pada tangannya. Itu menjadi tugas Biro Khusus di bawah Sjam, yang diketahuinya ikut berperan untuk mendorong gerakan internal tersebut. Tapi ia tidak punya kontak khusus dan langsung, baik dengan Letnan Kolonel Untung, Brigjen Supardjo, Kolonel Latief maupun Mayor Sujono. Dan tampaknya Sjam tidak memberi gambaran detail, kecuali ‘rumus’ didahului atau mendahului.

Dalam rangka mendahului, sepanjang informasi dari Sjam, kebetulan ada perwira yang tidak puas dan akan melakukan gerakan internal melawan kelompok Dewan Jenderal. Aidit lalu menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu ‘mengotori’ tangan sendiri secara langsung, rival dalam pergulatan kekuasaan di sekitar Soekarno bisa ditundukkan, melalui pergantian pimpinan oleh Soekarno. Dari Soekarno ada jaminan bahwa pimpinan Angkatan Darat yang baru tidak dari kalangan perwira yang menempatkan PKI sebagai musuh.

Bahwa PKI memiliki perencanaan sendiri, betul, tetapi bukan pada tanggal 30 September 1965 itu. Aidit punya perencanaan lebih lanjut bagi partainya dalam kerangka kekuasaan politik, dalam bentuk dan cara yang lain. Maka partai tidak disiapkan untuk momentum tanggal 30 September 1965, melainkan untuk sesuatu yang lebih bersifat jangka panjang. Adanya rencana jangka panjang ini diungkapkan juga oleh Ketua CDP PKI Jawa Barat Ismail Bakri. Ia juga menyebutkan bahwa sayap Moskow dalam PKI sebenarnya punya rencana sendiri lewat perjuangan politik, bukan dengan kekerasan bersenjata. Adanya rencana ini antara lain diungkapkan Ismail Bakri kepada aktivis 1978 Madjid Mahmud semasa sama-sama menjadi tahanan di RTM Cimahi pada tahun 1978.

            JENDERAL Abdul Harris Nasution, meskipun mengaku tidak ada firasat apa-apa menjelang tanggal 30 September, namun juga cukup memahami situasi dan dalam kedudukannya sebagai Menko Kasab telah mendapat laporan-laporan intelijen yang cukup. Ia menyadari, cepat atau lambat ada sesuatu yang akan terjadi, meskipun mungkin ia tidak tahu persis bahwa peristiwa akan mengambil waktu pada tanggal 30 September 1965. Sayangnya, laporan-laporan spesifik seperti yang disampaikan oleh Kolonel Herman Sarens Sudiro dan Kolonel Muskita misalnya tidak kepadanya, melainkan kepada Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusumah dan Pangkostrad Mayjen Soeharto.

Sebagai salah satu sasaran, Jenderal AH Nasution sudah cukup punya prediksi, terkecuali kepastian waktu. Penjagaan di rumahnya, ada pada tingkat standar memadai, termasuk dengan adanya Letnan Pierre Tendean. Meskipun, juga punya titik lemah, yakni fakta bahwa pengawal itu berasal dari Brigif I yang ada di bawah komando Kolonel Latief yang kemudian hari diketahui justru terlibat dalam gerakan pada tanggal 30 September 1965 itu. Tetapi, terlepas dari itu penggunaan pasukan Tjakrabirawa memang suatu hal yang agak di luar dugaan dan punya dampak kejutan dan amat taktis.

            LAKSAMANA Madya Udara Omar Dhani, pada dasarnya juga memperoleh informasi yang cukup mengenai beberapa bagian dari peristiwa yang akan terjadi. Ia memahami seluruh persoalan sebagai satu proses internal Angkatan Darat, untuk menindaki apa yang disebutkan sebagai jenderal-jenderal kontra revolusioner yang tergabung dalam Dewan Jenderal. Omar Dhani memilih sikap untuk tidak campur tangan terhadap masalah internal angkatan yang lain dan menanti apa yang akan terjadi. Pada sisi lain ada faktor subjektif yang terkait dengan rivalitas antar angkatan kala itu.

Namun, sadar atau tidak, terjadi keterlibatan nama Angkatan Udara, melalui keikutsertaan seorang Mayor Angkatan Udara dan beberapa anggota, serta digunakannya kendaraan dan senjata milik Angkatan Udara. Dan pimpinan Angkatan Udara tidak mencegah keikutsertaan tersebut. Selain itu, locus delicti ada di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, meskipun tidak seluruhnya termasuk dalam kawasan yang merupakan tanggungjawab Angkatan Udara, karena berada di luar area jurisdiksi seperti misalnya Lubang Buaya.

            BAGAIMANA caranya memahami posisi Mayor Jenderal Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief. Soeharto hanya menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri, tidak melanjutkannya kepada pimpinan Angkatan Darat, katakanlah setidaknya kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Dengan bekal informasi yang cukup detail itu, Soeharto dengan mudah ‘membaca’ situasi dan tampil dengan gerakan pembersihan. Keberhasilan dari gerakan pembersihan yang dilakukannya kelak membawa dirinya masuk ke dalam jenjang kekuasaan yang luar biasa.

Sikap dan perilaku Soeharto dalam peristiwa ini dalam hal tertentu memang bisa cukup mengherankan. Maka bukanlah sesuatu yang luar biasa bila pasca momentum ada analisa yang menempatkan Soeharto sebagai salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian peristiwa. Sebagaimana, sikap dan perilaku janggal yang juga diperlihatkan baik Soekarno maupun Dipa Nusantara Aidit, pun telah menempatkan mereka masing-masing dalam posisi-posisi sebagai ‘tertuduh’.

(socio-politica.com)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (3)

MENJELANG kedatangan pasukan RPKAD –yang kekuatannya hanya dalam hitungan kompi– di beberapa kota Jawa Tengah, sejumlah tokoh CC PKI yang sudah berada di propinsi itu mengorganisir massa bersenjata. Penuh percaya diri PKI memasang spanduk di beberapa kota, di Solo misalnya, yang berbunyi “Jadikan Solo kuburan bagi RPKAD”. PKI memang memiliki keyakinan bahwa Jawa Tengah, dengan dukungan satuan-satuan Diponegoro yang ada di bawah pengaruhnya, akan bisa dipertahankan.

RPKAD DALAM PROFIL BARU SEBAGAI KOPASSUS. “Sepanjang yang bisa dicatat, peranan RPKAD di Jawa Timur tidak menonjol. Kesatuan ini muncul di Jawa Timur untuk ikut dalam Operasi Trisula, saat di wilayah tersebut terjadi gerakan-gerakan bersenjata PKI yang berskala lebih besar, terutama di wilayah Blitar Selatan (1966-1968). Di Jawa Tengah pun, meminjam paparan Ken Conboy mengenai peranan RPKAD di Jawa Tengah 1965-1966, peran itu lebih banyak sebagai katalis”. (download flickr)

            Sejumlah tanda tanya mengenai Divisi Brawijaya. SITUASI penuh tanda tanya tentang ‘kebersihan’ Kodam Brawijaya di Jawa Timur, tahun 1965, sementara itu, tidak berbeda jauh dengan Kodam Diponegoro. Mayor Jenderal Basoeki Rachmat yang memimpin divisi Brawijaya kala itu, termasuk satu di antara sejumlah jenderal yang dianggap sebagai de beste zonen van Soekarno, bersama antara lain Jenderal Muhammad Jusuf, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Amirmahmud. Namun, meski dekat dengan Soekarno yang banyak memberi angin kepada PKI, Basoeki Rachmat tetap dikategorikan sebagai seorang jenderal anti komunis. Presiden Soekarno menganggap sikap anti komunis itu adalah akibat pengaruh Jenderal Nasution. Itu sebabnya, Soekarno merasa kurang gembira setiap kali mengetahui Basoeki Rachmat ‘terlalu’ banyak bertemu dengan AH Nasution. Bila Jenderal AH Nasution berkunjung ke Jawa Timur, selaku Menko/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, tentu saja sebagai Panglima Daerah Jenderal Basoeki Rachmat harus mendampingi.

Akan tetapi, meskipun anti komunis, sebagai Panglima Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat kurang berhasil membendung pengaruh PKI di kalangan perwira-perwira bawahannya. Walau tak pernah dipetakan dengan baik, diketahui setidaknya lebih dari separuh komandan-komandan batalion di Divisi Brawijaya berada dalam pengaruh Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (3)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (2)

BERDASARKAN ukuran kualitas keburukan peristiwanya, Peristiwa 30 September 1965, merupakan salah satu lembaran paling hitam dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia. Sepanjang lima tahun sebelum peristiwa puncak itu terjadi, kehidupan politik Indonesia ditandai pelibatan massa dalam aksi-aksi sepihak dan penggunaan kekerasan secara intensif dengan kadar yang luar biasa tinggi. Saat peristiwa terjadi enam jenderal, dua perwira menengah dan satu perwira pertama dibunuh. Dan setelah puncak peristiwa, berbulan-bulan lamanya terjadi malapetaka sosiologis dalam bentuk saling bantai yang menurut perkiraan moderat menelan 1 juta korban jiwa. Bahkan bila mengikuti angka yang pernah disebut Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, mungkin saja peristiwa itu menelan korban 3 juta orang.

KOLONEL SARWO EDHIE WIBOWO. Terminologi membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat yang digunakan Jenderal Sunardi DM, amat menarik. Apakah rakyat melakukan ‘perlawanan’ atau ikut melakukan ‘pembasmian’ PKI? Pada waktunya, kedua terminologi ini memiliki masing-masing kebenarannya sendiri. Ini penting dalam konteks menemukan peranan sesungguhnya yang dijalankan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD yang dipimpinnya, saat berada dan bertugas di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun kemudian di Bali. Apakah sesuai dengan tuduhan yang belakangan ini dilontarkan terhadap dirinya atau sebaliknya? (foto ipphos)

Peristiwa 1965 itu didahului oleh suatu masa selama 5 tahun yang merupakan masa penumpukan dendam sosial dan politik. Pada masa itu, bahkan sejak sebelumnya, PKI telah menunjukkan diri kepada rakyat Indonesia sebagai satu partai yang menggunakan kekerasan dalam kadar tinggi. Serangan-serangan politik dan agitasinya berhasil mencipta ketakutan mental yang meluas dan dalam. Masih menurut buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’, kala itu kekejaman kemanusiaan yang dilakukan kaum komunis dalam Peristiwa Madiun 1948, belum terlupakan. “Aksi-aksi sepihak yang dijalankan PKI di berbagai daerah, yang mengalirkan darah dan merenggut nyawa manusia, tahun 1960-1965, menjadi catatan ingatan tak terlupakan, mengakumulasi kebencian dan dendam, ibarat api dalam sekam yang Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (2)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (1)

PERGOLAKAN politik dan kekuasaan tahun1965-1966, telah menempatkan Kolonel –kemudian menjadi jenderal– Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang dipimpinnya berada dalam fokus sorotan perhatian. Selama setidaknya dua puluh empat tahun, hingga akhir hayatnya 9 November 1989, sepenuhnya ia dikagumi sebagai pahlawan penyelamat Indonesia karena berhasil menumpas Gerakan 30 September 1965. Dan untuk beberapa lama setelahnya, searah jarum jam, ia tetap dikenang sebagai seorang jenderal idealis di tengah pergulatan kekuasaan. Dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 itu, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo digambarkan dalam pengibaratan bagaikan anak panah yang melesat dari balik tabir blessing in disguise yang menghadirkan satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Namun anak panah ini kemudian disingkirkan agar tak mengganggu kelanjutan jalannya kekuasaan yang telah berubah dari jalur idealisme awal saat kekuasaan diktatorial Soekarno diakhiri.

JENDERAL SOEHARTO DAN KOLONEL SARWO EDHIE WIBOWO. “Secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chaerul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu”. (foto download).

Namun belakangan ini, nama Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo –justru setelah almarhum– kembali diletakkan di pusat sorotan, terkait Peristiwa 30 September 1965. Kali ini, dalam arah melawan jarum jam, ia digambarkan menjalankan suatu peran berdarah, khususnya pada masa epilog Peristiwa 30 September 1965. Ketika bandul penulisan tentang peristiwa tahun 1965 itu berayun terlalu ke kiri, pasca Soeharto, perannya sebagai komandan satuan pembasmi PKI dan para pengikutnya, tahun 1965-1966 diungkapkan dalam konotasi kejahatan kemanusiaan.

Benarkah sang jenderal pujaan kalangan perjuangan tahun 1966 itu, terlibat dalam dosa kejahatan kemanusiaan bersama Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (1)

Dilema Aksi Unjuk Rasa: Jalan Demokrasi atau Anarki?

AKSI unjuk rasa sebagai bagian gerakan ekstra parlementer, adalah cara yang sah dalam demokrasi. Dulu kala, di tahun 1966 dan 1973-1974 aksi menyampaikan aspirasi itu lebih dikenal dalam terminologi “demonstrasi” atau gerakan parlemen jalanan. Kehadiran parlemen jalanan mengandung konotasi bahwa parlemen resmi di Gedung DPR tak lagi cukup dipercaya atau tak lagi dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat. Bahkan, kemungkinan besar untuk sebagian besar DPR memang tak lagi mewakili kepentingan rakyat, karena dalam kenyataan anggota-anggotanya lebih mewakili kepentingan pribadi dan partainya.

Dalam situasi DPR makin tak dipercaya mewakili kepentingan rakyat, khususnya seperti yang menjadi pengalaman pada tahun-tahun terakhir ini, mekanisme unjuk rasa melalui cara ekstra parlementer menjadi pantas sebagai pilihan utama masyarakat untuk menyampaikan kritik dan keresahannya. Namun, pilihan utama itu bukannya tanpa risiko, karena dengan sedikit salah langkah –apalagi dibarengi salah persepsi– aksi unjuk rasa yang sebenarnya sah menurut demokrasi dengan mudah berubah menjadi anarki.

Unjuk rasa yang anarkis, akan menciptakan antipati, padahal tujuan utama suatu unjuk rasa sebenarnya adalah untuk mencari perhatian, simpati dan dukungan. Kecuali bila suatu gerakan memang didisain untuk menciptakan chaos dengan suatu tujuan politik tertentu –misalnya niat menjatuhkan suatu rezim– melalui kamuflase unjuk rasa demokratis. Pun bisa suatu gerakan ekstra parlementer bertujuan ideal dan digunakan karena tak ada jalan lain, namun berhasil dibelokkan secara cerdik oleh pihak tertentu untuk kepentingan khas. Bisa pula, suatu unjuk rasa berubah anarkis karena terpancing dan terpicu oleh sikap arogan maupun cara-cara kekerasan yang digunakan aparat negara ketika menghadapi aksi unjuk rasa tersebut. Sebagaimana juga mungkinnya aksi kekerasan pihak aparat terjadi justru karena terpancing oleh perilaku sejumlah pelaku unjuk rasa yang sengaja dilakukan untuk menimbulkan amarah petugas keamanan. Keadaan kini sudah cenderung serba campur aduk, karena tatkala aksi unjuk rasa sudah menjadi pula bagian dari taktik politik, maka sudah sulit untuk memilah mana unjuk rasa yang murni memperjuangkan kebenaran dan mana unjuk rasa yang bertendensi politik praktis. Dalam situasi seperti sekarang ini, seringkali mayoritas masyarakat bingung untuk menentukan dukungan.

HANYA sehari setelah terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965, masih pada 1 Oktober, sejumlah tokoh mahasiswa Bandung dengan cepat menyatakan penolakan terhadap Dewan Revolusi yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Pada 5 Oktober, saat di Jakarta berlangsung upacara pemakaman 6 jenderal dan 1 perwira pertama korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965, mahasiswa Bandung atas prakarsa tokoh-tokoh mahasiswa seperti Alex Rumondor, Rahman Tolleng, Sugeng Sarjadi dan beberapa mahasiswa lainnya melakukan apel berkabung. Pada siang hari, apel dilanjutkan unjuk rasa keliling kota, yang berakhir dengan aksi pendudukan sebuah kantor suratkabar pro PKI dan kantor-kantor milik PKI dan ormas onderbouwnya. Dalam aksi-aksi itu tak terjadi kekerasan berdarah. Dua hari kemudian, 7 Oktober, KAP Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh) melakukan aksi serupa di Jakarta, juga tanpa kekerasan fisik yang berdarah. KAP Gestapu dipelopori pembentukannya oleh dua tokoh dengan kombinasi latar belakang yang unik, yakni Harry Tjan Silalahi eks tokoh PMKRI yang sudah menjadi fungsionaris Partai Katolik, dan Subchan ZE tokoh muda Nahdlatul Ulama.

Tetapi setelah itu, dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti yang bisa dibaca dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly, Penerbit Kata Hasta Pustaka, 2006) terjadi gelombang pembalasan terhadap PKI. Pembalasan itu, “berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah”. “Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis”.

Aksi-aksi mahasiswa, pemuda, pelajar dan kaum cendekiawan dalam gerakan 1966 –khususnya sejak pencetusan Tritura 10 Januari 1966 sampai 10 Maret 1966– selalu dijaga sendiri oleh para peserta aksi parlemen jalanan, untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat, melalui cara dan argumentasi menggunakan akal sehat. Apalagi ketika korban di kalangan mahasiswa jatuh bertumbangan oleh peluru dan bayonet aparat kekuasaan. Begitu pula gerakan-gerakan mahasiswa 1973 sampai awal 1974. Gerakan-gerakan itu berhasil mendapat simpati dan dukungan masyarakat. Menjadi pemandangan yang lazim, setiap kali demonstran turun berbaris ke jalan menyampaikan tuntutan-tuntutan, kaum ibu juga turun ke jalan dengan sukarela membagi-bagikan nasi bungkus dan minuman kepada peserta demonstran. Dalam berbagai demonstrasi pada beberapa tahun terakhir, ada juga pembagian nasi bungkus, yang kemudian ditambah dengan pemberian amplop langsung atau melalui koordinator pengerah massa, sehingga nuansa dan konotasinya menjadi samasekali berbeda. Gejala yang disebut terakhir ini, terutama terkait dengan aksi unjuk rasa yang merupakan kontra demo yang disponsori pendukung kelompok kekuasaan, atau demo-mendemo dalam hubungan pilkada.

PARA senior pergerakan mahasiswa, seringkali memberi saran, lebih gunakan otak daripada otot. Memang sedikit mengherankan kenapa, para pengunjuk rasa pada sepuluh terakhir ini, termasuk mahasiswa, lebih sering memilih cara penggunaan otot yang suka atau tidak suka pada akhirnya memberi nuansa kekerasan. Beberapa aktivis mahasiswa mencoba menjelaskan, bahwa seringkali kekerasan, atau cara-cara fors lainnya, termasuk memblokkir jalan dan atau memacetkan lalu lintas, terpaksa dilakukan untuk menarik perhatian, karena cara-cara yang santun dan tertib ala mahasiswa zaman dulu sudah tidak diperhatikan. Maka diciptakanlah berbagai cara baru untuk menarik perhatian. Selain itu, pers atau media, juga ikut membentuk cara dan bentuk aksi unjuk rasa, dengan hanya memberi porsi pemberitaan kepada aksi-aksi yang ‘spektakuler’ dan menghebohkan. Di mata pers masa kini, pernyataan-pernyataan keras dan ‘vulgar’ mengalahkan pernyataan-pernyataan yang betapa pun tajam dan nalarnya tapi tidak heboh.

MENJEBOL PAGAR DPR 12 JANUARI 2012. “Biasanya pintu yang dirobohkan, kali ini pagar samping. Tetapi cukup menarik, bahwa setelah pagar bobol, massa tidak terus menerobos jauh ke dalam, karena dicegah oleh sejumlah pengatur gerakan, bukan karena halauan aparat keamanan”. (Foto download kompas.com)

Aksi kaum pekerja dari Bekasi baru-baru ini yang memblokkir jalan tol, mendapat tempat dalam pemberitaan, sekalipun juga mendapat sumpah serapah dari publik pengguna jalan. Begitu pula, aksi kaum tani dalam unjuk rasa mengenai keagrariaan 12 Januari baru lalu di depan gedung DPR, mendapat rating karena membobol pagar gedung perwakilan rakyat. Biasanya pintu yang dirobohkan, kali ini pagar samping. Tetapi cukup menarik, bahwa setelah pagar bobol, massa tidak terus menerobos jauh ke dalam, karena dicegah oleh sejumlah pengatur gerakan, bukan karena halauan aparat keamanan.

PENGAMANAN internal suatu gerakan juga suatu persoalan tersendiri. Apa yang dialami mahasiswa Jakarta pada awal 1974, perlu dijadikan pelajaran. Pada 15 Januari 1974, mahasiswa tak cukup siap dalam pengamanan internal gerakan. Ketika mahasiswa berbaris dari kampus Trisakti kembali ke kampus UI, orang-orang yang bekerja untuk Ali Moertopo –salah seorang jenderal yang terlibat persaingan internal di lingkungan ‘pendukung’ Soeharto– berhasil mengoorganisir peletupan aksi perusakan anarkis di Jalan Pecenongan dan Senen Raya. Dengan mudah kemudian, mahasiswa dikambinghitamkan telah melakukan makar melalui Peristiwa 15 Januari 1974 yang diberi penamaan Malari (Malapetaka Limabelas Januari) dengan mengobarkan kerusuhan. Jenderal Soemitro yang dituding berada di belakang gerakan mahasiswa, dengan gampang disapu, terlebih karena sang jenderal justru menunjukkan sikap ragu membela mahasiswa di saat terakhir.

Para mahasiswa yang kini bergerak masih dengan tujuan ideal dalam mengkritisi ketidakadilan, perlu mengkaji ulang ‘keamanan’ gerakan-gerakan mereka. Mereka masih perlu menjaga agar gerakan-gerakan mereka mendapat simpati dan dukungan masyarakat, dengan menghindari sikap-sikap kontra produktif, seperti merusak fasilitas umum, sengaja menimbulkan kekacauan lalu lintas dan sebagainya, sehingga menimbulkan antipati. Apa memang mau berjuang sendirian, yang bukan untuk kepentingan rakyat?

Aspek pengamanan internal lainnya, yang tak kalah pentingnya, baik itu gerakan mahasiswa maupun gerakan pekerja atau petani, adalah mengenai terdapatnya peran ‘event organizer’ di balik gerakan. Tak selalu massa peserta gerakan mengetahui adanya pemain belakang layar ini, yang memanfaatkan aspirasi murni suatu gerakan. Para pelaksana atau ‘event organizer’ ini akan memprovokasi dan membiayai gerakan, lalu di belakang layar menguangkan peristiwa aksi dengan menegosiasi calon sasaran dan atau siapapun yang berkepentingan dengan “ada” atau “tidak”nya gerakan. Itu sebabnya, suatu aksi bisa maju-mundur, seperti layaknya bidak-bidak dalam permainan catur saja, karena disesuaikan dengan negosiasi ‘komersial’. Tentu saja masih ada gerakan-gerakan murni dan spontan dengan latar belakang idealisme, tetapi tak bisa disangkal adanya permainan kotor di balik ini semua. Itu sebabnya, banyak kalangan kekuasaan yang tak terlalu peduli dan tak terlalu memandang aksi unjuk rasa sebagai sesuatu yang luar biasa. Penguasa juga merasa, sewaktu-waktu toh mereka bisa melakukan gerakan kontra yang tak kalah kotornya. Paling tidak, merasa bahwa tuntutan-tuntutan yang diajukan pengunjuk rasa tak mewakili keinginan rakyat yang sesungguhnya.

PARA aktivis idealis, harus bersikap lebih serius menghadapi fenomena belakang layar ini, karena bila dibiarkan berlanjut pada akhirnya membuat semua gerakan unjuk rasa takkan ada harganya lagi samasekali sebagai jalan demokrasi….. Dan bila semua unjuk rasa tak berharga lagi, tak ada lagi kanal menyampaikan kritik dan keresahan, maka pada akhirnya suatu saat mendadak tanpa terkendali lagi, bisa terjadi gerakan yang tiba-tiba revolusioner. Dan kemungkinan besar, akan bersifat anarkis.

Perubahan yang Berdarah

MESKI Kolonel Muammar Ghadafi adalah tipe penguasa yang pantas untuk dibenci, tak urung penyelesaian akhir yang dilakukan sekelompok revolusioner Libya atas dirinya, terasa mengenaskan dan mengusik rasa kemanusiaan. Ia diseret keluar dari gorong-gorong saluran pembuangan air kota, ditangkap, dipukuli kepalanya dengan gagang pistol dan berbagai cara penganiayaan lainnya, dihujat dengan kata-kata, untuk akhirnya ditembak mati. Direktur Senior Amnesty International, Claudio Cordone, mengatakan tindakan kekerasan itu bisa dianggap kejahatan perang. “If Colonel al-Gaddafi was killed after his capture, it will constitute a war crime and those responsible should be brought to justice”, ujarnya kepada BBC News. “Semua pihak”, ujarnya lagi, “sebenarnya terikat komitmen terhadap hak azasi manusia”.

MUAMMAR GHADAFI TEWAS. “Bagi Ghadafi, kini persoalan telah selesai di dunia ini. Tapi, bagi rakyat Libya peristiwa akhir yang berdarah ini menjadi awal bagi satu lagi persoalan baru” (download:ibtimes)

Gadhafi telah tewas dalam satu peristiwa tragis. Berawal dengan perebutan kekuasaan dari Raja Idris I di tahun 1969, ke tangan suatu Dewan Revolusi, dan berakhir 42 tahun kemudian saat Muammar Ghadafi membayar hutang darah masa kediktatorannya dengan nyawa dan darahnya sendiri. Bagi Ghadafi, kini persoalan telah selesai di dunia ini. Tapi, bagi rakyat Libya peristiwa akhir yang berdarah ini menjadi awal bagi satu lagi persoalan baru. Kemungkinan besar, tradisi penyelesaian berdarah dan tak beradab karena merosotnya nilai kemanusiaan, akan menjadi pola setidaknya untuk beberapa tahun ke depan di negeri itu. Satu kali tradisi tumbal darah terpicu, susah untuk mengakhirinya.

Libya yang bagian utaranya membentang sebagai pantai sepanjang 1600 kilometer di tepi selatan Laut Tengah, dan bagian selatannya berwujud lautan pasir Sahara, hampir mendominasi permukaan bumi Libya yang seluas 1.680.000 meter persegi, adalah negeri yang kenyang dengan kekuasaan otoriter. Mulai dari kekuasaan keras pendatang bersenjata Berber keturunan Arab dari timur, lalu penguasa dari Yunani dan Kemaharajaan Romawi, sampai Vandals dari Jerman, Spanyol, bangsa-bangsa Arab lainnya, Turki Ottoman, Italia di dasawarsa kedua abad 20, dan militer Inggeris serta Perancis semasa Perang Dunia II. Berdasarkan resolusi PBB 1949, yang menyatakan Libya harus merdeka paling lambat 1 Januari 1952, Dewan Nasional memproklamirkan kemerdekaan Libya 24 Desember 1951 dan Muhammad Idris al-Sanusi diangkat sebagai raja dari Monarki Konstitusional Libya. Kekuasaan monarki ini diakhiri oleh suatu Dewan Revolusi di bawah Kolonel Muammar Ghadafi.

INDONESIA berpengalaman dengan cara-cara penyelesaian berdarah dan kekerasan. Mulai dari masa kerajaan-kerajaan Nusantara hingga kurun Indonesia merdeka. Dalam sejarah Nusantara tercatat banyak contoh klasik tentang perubahan kekuasaan berdarah yang berantai. Satu di antaranya, Ken Arok, yang masuk dan naik ke kursi kekuasaan melalui pembunuhan dan berakhir pula dengan pembunuhan atas dirinya. Darah yang mengalir di masa awal mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, adalah mulia. Akan tetapi, di masa-masa berikutnya, tradisi penyelesaian berdarah menjadi bagian dari kejahatan kemanusiaan, walau dengan dalih perjuangan, agama atau apapun namanya. Penyelesaian berdarah menciptakan trauma mendalam, kehancuran dan dendam berkepanjangan: Pemberontakan PRRI-Permesta, Pemberontakan DI-TII, Pemberontakan RMS, Pemberontakan PKI di Madiun, hingga Pemberontakan G30S. Perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mencapai Aceh Merdeka dan Gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menginginkan kemerdekaan Negara Papua, tak dapat dikecualikan, begitu mereka mengangkat senjata dan mengalirkan darah orang lain maupun darah para pengikutnya sendiri.

Sewaktu beberapa tokoh PKI bersama sejumlah tokoh militer seperti Letnan Kolonel Untung dan Brigjen Sapardjo, melancarkan Gerakan 30 September 1965, darah 6 jenderal Angkatan Darat, 2 perwira menengah dan seorang perwira pertama, mengalir sebagai tumbal. Ini, ditambah ingatan tentang kekejian kelompok militer PKI dalam Peristiwa Madiun 1948, memicu pembalasan berdarah yang dahsyat –terlepas dari tuduhan bahwa aksi tersebut untuk sebagian diprovokasi tokoh-tokoh AD– yang mengambil korban tak kurang dari sejuta manusia Indonesia dari kalangan massa PKI maupun kelompok masyarakat lainnya yang untuk sebagian sesungguhnya tak tahu menahu dan tak ikut berdosa.

Selain berpengalaman dengan cara-cara kekerasan dan penyelesaian berdarah, Indonesia juga berpengalaman dengan perubahan kekuasaan yang ‘luar biasa’. Soekarno memperkokoh kekuasaannya melalui Dekrit 5 Juli 1959. Jenderal Soeharto ‘mengambil’ kekuasaan de facto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 dan menggantikan posisi Soekarno sebagai Presiden RI melalui suatu Sidang Istimewa MPRS. Soeharto meninggalkan kursi kepresidenan dan ‘menyerahkan’nya ke tangan BJ Habibie tanpa melalui sidang MPR. Kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid berakhir karena impeachment lalu digantikan Megawati Soekarnoputeri. Dua kali berturut-turut Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan kursi kepresidenan melalui pemilihan umum langsung, tetapi belakangan ini ‘kebersihan’ pemilihan-pemilihan umum itu mulai disangsikan, sejalan dengan terungkapnya beberapa kasus yang berkaitan.

INDONESIA dan Libya, relatif tak punya catatan hubungan sejarah maupun hubungan antar negara yang istimewa. Hanya saja, menurut cerita di balik berita, beberapa kali Libya di bawah Muammar Gadhafi membantu di belakang layar kelompok radikal fundamental Islam di Indonesia, baik berupa dana untuk membiayai kegiatan beraroma terorisme maupun pelatihan-pelatihan militer. Pemerintah-pemerintah Indonesia dalam pada itu tidak pernah memperlihatkan suatu sikap keras kepada Libya, kendati Libya di bawah Muammar Ghadafi berkali-kali menjadi salah satu musuh bersama bagi banyak negara di dunia. Indonesia cenderung menjaga jarak terhadap Libya yang memang nun jauh di sana dekat wilayah al-Maghribi.

Akan tetapi jangan salah, Indonesia dan Libya memiliki banyak persamaan. Sama-sama berpengalaman dalam keterjajahan bangsa asing maupun bangsa sendiri, sama-sama berpengalaman dengan kekuasaan kediktatoran. Rakyat penghuni Libya memiliki penderitaan yang sama dengan Indonesia dalam hal kekuasaan yang korup. Sama-sama korban ketidakadilan sosial, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik dan ketidakadilan hukum yang laten. Di bawah rezim Ghadafi, hasil eksplorasi kekayaan dari perut buminya, mengumpul di tangan hanya segelintir kalangan kekuasaan dan kroninya. Di bawah berbagai rezim penguasa Indonesia dari waktu ke waktu gejala penumpukan kekayaan juga terjadi di kalangan penguasa dan kerabat serta kroninya maupun kelompok partai atau kelompok politiknya. Temperamen beberapa kelompok masyarakatnya, seringkali sama panasnya, sehingga gampang melakukan penyelesaian dengan kekerasan berdarah secara vertikal maupun horizontal. Bedanya, manusia Libya yang tidak terbiasa dengan demokrasi ‘berani’ menganiaya dan membunuh langsung mantan pemimpinnya, sedang manusia Indonesia belum pernah bertindak sejauh itu. Sementara itu, banyak insan Indonesia lebih terampil mempraktekkan money politic dalam praktek demokrasinya, selain memanfaatkam gerakan massa.

MAKA, tak ada salahnya, para pemimpin belajar dari nasib tragis Gadhafi dan jangan sampai pernah tergelincir dalam kenikmatan kekuasaan yang memabukkan. Segala sesuatu bisa terjadi di negeri yang rakyatnya juga mengidap kompleks amok ini. Kompleks amok itu bisa diredusir bila rakyat makin dicerdaskan dan diperlakukan dengan adil.