Tag Archives: Banser

Para Korban Peristiwa 1965, Mencari Kebenaran Di Antara Dua Sisi

PRAKARSA sejumlah aktivis HAM menayangkan film dokumenter “Senyap” –The Look of Silence– di sejumlah kota, menimbulkan pro kontra akhir tahun 2014 di tengah masyarakat. Beberapa acara penayangan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi, dihentikan sepihak oleh sekelompok massa yang kontra, yang antara lain karena menganggap karya sutradara Joshua Oppenheimer itu sebagai “film PKI.” Lembaga Sensor Film (LSF) juga menolak film tersebut diputar untuk umum di bioskop-bioskop.

LSF menganggap film “Senyap” –yang merupakan karya berikut Oppenheimer setelah “Jagal” atau The Act of Killing– secara tersirat mengarahkan penonton bersimpati kepada PKI dan ajaran komunisme. Ini dikuatirkan LSF dapat menimbulkan ketegangan sosial politik dan melemahkan ketahanan nasional. “Film ini bersumber dari histories recite (sejarah sebagaimana dikisahkan) bukan sebagai histories realite (sejarah sebagaimana yang terjadi). Film ini memperlihatkan anakronisme dari kisah yang dibangun dan merupakan snapshot (fragmen) yang mengandung tujuan tertentu. Karena itu film ini hanya dapat dipertunjukkan untuk kalangan terbatas dan tidak layak untuk konsumsi publik.”

JOSHUA OPPENHEIMER DAN ADI, ADIK RAMLI. "Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini." (photo download AFP/Getty Images)
JOSHUA OPPENHEIMER DAN ADI, ADIK RAMLI. “Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini.” (photo download AFP/Getty Images)

Untuk sebagian, alasan LSF mungkin terasa klise, tetapi ada juga benarnya. Peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelum dan sesudah Peristiwa 30 September 1965, hingga kini masih menjadi sumber polarisasi sikap di sebagian terbesar masyarakat. Peristiwa kekerasan di seputar peristiwa itu sendiri, faktanya memang adalah kekerasan balas berbalas yang mencipta suatu malapetaka sosiologis. Dan tak ada pihak yang merasa lebih bersalah daripada pihak yang lain. Fakta politik menunjukkan bahwa pada kurun waktu sebelum dan sesudah tahun 1965 pada hakekatnya terjadi pertarungan politik antara kekuatan politik komunis dengan kekuatan non komunis. Di tengah-tengah, terjepit sebagian besar anggota masyarakat, yang bukan bagian dari keduanya, namun ikut menjadi korban dengan jumlah korban tak kalah besar.

Semua pihak, yang di kiri maupun yang di kanan, tak terkecuali yang di tengah, memelihara ‘dendam’nya sendiri secara berkepanjangan, berdasarkan luka dari penderitaan yang mereka anggap tak kunjung terselesaikan secara adil. Beberapa di antara mereka mencoba menjinakkan rasa perih dalam diri mereka, yang dengan berjalannya waktu berangsur-angsur berhasil. Namun, ada saja faktor ‘baru’ yang ganti berganti muncul membuat luka kembali basah.

Kenapa faktor ‘baru’ atau ‘diperbarui’ itu muncul dan bisa membuat luka kembali basah, tak lain karena belum berhasilnya kebenaran sejati dari peristiwa itu bisa dijelaskan dengan fakta berdasarkan –meminjam terminologi LSF– histories realite. Secara bersama,hingga sejauh ini bangsa ini belum berhasil membentuk suatu Komisi Kebenaran yang terpercaya dan mampu menghadirkan kebenaran sejati dari semua sisi yang bisa menjadi sandaran referensi bersama dalam menilai peristiwa sejarah yang telah dialami. Peristiwa seputar tahun 1965 dan 1966 ini, memiliki skala yang tidak kecil, mengingat jumlah korbannya setidaknya 500.000 orang bahkan kemungkinan besar mencapai angka jutaan. Suatu referensi kebenaran sejati, membantu untuk meredakan kemarahan dalam diri berjuta-juta orang,terutama generasi muda, yang sebagian besar pada hakekatnya adalah warisan ‘sejarah’ melalui penuturan.

POSTER PKI TAHUN 1960. "Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya." (download Monash.Edu)
POSTER PKI TAHUN 1960. “Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya.” (download Monash.Edu)

Korban. BERAPA korban dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965? Pertengahan Desember 1965 Presiden Soekarno membentuk Fact Finding Commission (FFC) untuk mengetahui berapa korban kekerasan kemanusiaan setelah peristiwa. FFC yang diketuai Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno Sosroatmodjo, melaporkan jumlah 80.000 korban. Tetapi salah satu anggota FFC, Menteri Oei Tjoe Tat SH, melaporkan tersendiri perkiraannya kepada Soekarno, dan menyebut angka 500.000-600.000 korban.

Menurut wartawan senior Julius Pour dalam bukunya G30S, Fakta atau Rekayasa (Kata Hasta Pustaka, 2013) “jumlah korban selalu menjadi bahan pergunjingan.” Julius menulis, meski FCC secara resmi telah mengumumkan jumlah korban tewas sekitar 80.000 orang, Rum Aly (Redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia) –dalam buku Tititik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, terbit 2006– tidak percaya terhadap angka tersebut. “Perkiraan moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah meralat angka korban tewas yang sudah pernah dia sebutkan.” Menurut Rum Aly, Sarwo Edhie memiliki catatan mengenai seluruh pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan sesudahnya, termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi justru dalam rangka usaha menerbitkannya.

“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah?” Angka 3.000.000 korban disebutkan oleh Letnan Jenderal Sarwo Edhie, antara lain dalam percakapan dengan beberapa Manggala BP7 –salah satu di antaranya, Hatta Albanik MPSi– yaitu saat sang jenderal menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

            Buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, lebih jauh mengungkapkan, bahwa pada tahun-tahun 1966-1967 hingga beberapa tahun berikut, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah ini, terutama terhadap pengikut PKI. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe-Hokgie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror.

Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia.”

Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, suratkabar-suratkabar milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM dalam sebuah percakapan dengan Rum Aly di tahun 1986 –beberapa bulan sebelum almarhum– mengakui adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI. Penggambaran kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.

Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka 80.000 tahanan politik oleh Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan.

Terlepas dari kampanye berlebih-lebihan dari kalangan tentara, memang di masyarakat juga tercipta tumpukan kebencian akibat sepak terjang PKI ketika berada di atas angin antara tahun 1960-1965 dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis. Tumpukan kebencian tersebut, ditambah berita keterlibatan PKI dalam pembunuhan para jenderal dinihari 1 Oktober 1965, maupun kenangan Peristiwa Madiun 1948, menjadi pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara luas. Bila pada awalnya, di wilayah perkotaan sasaran penghancuran hanyalah bangunan-bangunan fisik perkantoran partai dan organisasi mantelnya, pada proses selanjutnya di beberapa daerah dengan cepat berubah menjadi kekerasan yang mengalirkan darah dan melenyapkan nyawa. Ladang ‘pembantaian’ utama adalah daerah-daerah di Jawa Timur yang dilakukan terutama oleh massa NU (Nahdatul Ulama) dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Jawa Tengah dan Bali dengan penggerak utama dari kalangan PNI (Partai Nasional Indonesia) kendati di tingkat nasional PKI dan PNI adalah kawan sebarisan yang mendukung konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis) Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Pembantaian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah seperti Sumatera Utara –lokasi bagi film “Senyap” dan “Jagal”– maupun Sulawesi Selatan, secara sporadis di Jawa Barat dan aneka peristiwa insidental di berbagai wilayah Nusantara lainnya.

Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya. Bahkan di kalangan pengikut komunis sendiri terjadi pengkhianatan satu sama lain dengan berbagai motif, termasuk untuk menyelamatkan diri, yang berakibat kematian mereka yang dikhianati. Tentara-tentara kesatuan tertentu yang tadinya diketahui ‘dibina’ PKI pun banyak yang berbalik menjadi algojo dengan kekejaman ekstrim terhadap anggota PKI sendiri.

Pelaku. Siapa sajakah dan seperti apakah para pembunuh dalam peristiwa-peristiwa berdarah ini, dan siapa korban mereka pada tahun-tahun itu? Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak belasan tahun. “Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para pelaku lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Dalam The Look of Silence para eksekutor Ramli yang dituduh pengikut PKI, juga memperihatkan gejala psikologis serupa.

Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam saat itu, pembasmian anggota PKI yang  dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah. Sedang di Sumatera Utara, menurut film The Act of Killing Oppenheimer para pembunuh adalah anggota organisasi Pemuda Pancasila yang menganggap kaum komunis adalah musuh negara –dan membahayakan Pancasila– yang harus dibasmi.

            Kebenaran. Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini. Dan semuanya itu jelas tak kalah buruknya dengan kebenaran sepihak yang dikedepankan para ‘sejarawan’ tentara di masa lalu yang menumpahkan segala kesalahan sejarah kepada PKI sendirian, tanpa melihat tali temali aksi-reaksi dari segala peristiwa.

Maka, inisiatif lembaga-lembaga masyarakat yang ingin menayangkan film “Senyap”, tidak perlu dilarang. Dan mereka yang ingin menontonnya, pun tentu saja tak perlu dihambat. Namun, sebaliknya LSF yang tidak memberi izin edar untuk umum, pun tak perlu dituduh sebagai bersikap ala orde baru, karena alasan LSF dalam banyak hal cukup masuk akal.

            MENGAPA kita tidak kembali berpikir mengenai suatu Komisi Kebenaran untuk berbagai peristiwa sejarah dengan kandungan kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi dan telah membelah rasa kebersamaan dan menghancurkan moral kebenaran sebagai bangsa selama ini? Mulai dari kejahatan kemanusiaan pada dua sisi di seputar Peristiwa 30 September 1965 tentunya. Lalu, Pemberontakan DI/TII, Pelanggaran HAM masa DOM Aceh pada dua sisi pelaku (yakni Militer RI maupun GAM), seputar Peristiwa Mei 1998, tak terkecuali Peristiwa Santa Cruz –meskipun Timtim telah menjadi Timor Leste– sampai Pembunuhan Munir dan beberapa pelanggaran HAM lainnya. Tidak harus pencarian kebenaran selalu berujung pada suatu proses peradilan, karena kebenaran pun berfungsi memudahkan pencapaian rekonsiliasi bangsa. Selain itu, tradisi pencarian kebenaran, akan bersifat mencegah ketidakbenaran lebih lanjut. Terpenting dalam konteks ini, publik mendapat kebenaran sejati dari setiap peristiwa sebagai pedoman terpercaya agar mampu turut serta dalam suatu upaya rekonsiliasi mengutuhkan bangsa dalam semangat keadilan. Kebenaran membawa keadilan. (socio-politica.com)

Republik Laskar

Oleh Zen RS | Newsroom Blog, 25 Jul 2013

 PADA masa revolusi, milisi atau paramiliter sering mengatasnamakan revolusi. Pada masa Orde Baru, nama Pancasila dan NKRI “Harga Mati” yang digunakan. Pada masa reformasi, banyak yang membawa-bawa nama Islam.

Apa persamaannya? Milisi atau paramiliter di tiga masa itu sama-sama (walau tak selalu) didirikan atau dibentuk militer, dipersenjatai atau mempersenjatai diri, dan akhirnya cenderung kebal hukum.

Legitimasi “moral” yang mereka miliki, atas nama revolusi atau Pancasila atau Islam, membuat mereka memiliki kewibawaan yang meneror.

Tentu saja ada banyak kategori milisi. Ada yang memang dibentuk sebagai pasukan cadangan resmi tentara yang biasanya direkrut lewat wajib militer. Tetapi yang ingin saya bicarakan kali ini kebanyakan adalah milisi yang “tidak resmi” atau bukan dibentuk oleh negara. Kendati, seperti yang akan saya tunjukkan, “resmi” atau “tidak resmi” sering kali jadi perkara sumir di Indonesia.

PEMUDA PANCASILA, THE ACT OF KILLING. "Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan." (gambar, download Tempo)
PEMUDA PANCASILA, THE ACT OF KILLING. “Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan.” (gambar, download Tempo)

Di Indonesia, istilah “laskar” sebenarnya lebih populer ketimbang sebutan “milisi”. Istilah “laskar” itu juga lebih lentur untuk mengakomodasi tendensi-tendensi militeristik yang tidak terang-terangan menenteng senjata api.

Istilah “laskar” ini sudah populer sejak masa revolusi. Saat itu, hampir di setiap kota terdapat laskar yang dibentuk secara organis, biasanya oleh para pemimpin lokal yang berpengaruh. Di Bandung ada Barisan Tangan Merah, Barisan Merah Putih, dan lain-lain. Di sekitar Jakarta ada Laskar Hitam, Laskar Ubel-ubel, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di kota-kota lain, terutama kota-kota besar yang jadi kancah utama revolusi.

Ada juga laskar-laskar yang dibentuk dengan skala yang lebih serius, terutama oleh organisasi-organisasi politik utama saat itu. Partai Sosialis yang dibentuk Amir Sjarifuddin, misalnya, punya organisasi pemuda bernama Pesindo yang sangat kuat, berdisiplin dan juga bersenjata lengkap (terutama karena Amir dua kali menjabat sebagai Menteri Pertahanan).
Tidak semua laskar ini punya disiplin dalam mematuhi perintah pemerintah RI. Sangat banyak dan sangat biasa laskar-laskar itu bergerak semaunya, saling bertempur satu sama lain. Dan atas nama revolusi, banyak sekali rakyat Indonesia sendiri yang menjadi korban keganasan mereka.
Hampir semua literatur yang membahas fase revolusi (1945-1949) tak pernah absen menyebut keberadaan laskar-laskar milisi ini.

Tak hanya buku hasil sejarah, karya-karya sastra terbaik Indonesia juga banyak mengabadikan hal ini. Sebut saja: “Burung-burung Manyar” Romo Mangun, “Senja di Jakarta” Mochtar Lubis atau “Percikan Revolusi + Subuh” Pramoedya Ananta Toer.

PADA masa kepemimpinan Soekarno di era Demokrasi Terpimpin, milisi-milisi ini banyak dibentuk oleh partai-partai politik saat itu –melanjutkan yang memang sudah terjadi pada masa revolusi. Beberapa di antaranya bahkan memang sudah berdiri sejak masa revolusi. Milisi di era Soekarno semakin menguat setelah Indonesia mengkampanyekan konfrontasi melawan Malaysia. Banyak sekali pemuda yang direkrut atau bahkan sukarela mendaftarkan diri untuk dilatih dan dikirim ke perbatasan Malaysia di Kalimantan.

Menjelang peristiwa berdarah 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia bahkan gigih berupaya menggolkan Angkatan ke-5 di mana buruh dan tani akan dipersenjatai. Puncak dari fase ini dimulai dengan terbunuhnya para jenderal di Lubang Buaya. Kebetulan di sekitar itu ada lokasi pelatihan militer Angkatan ke-5 yang terutama menggunakan fasilitas dan pelatihan dari Angkatan Udara yang saat itu memang dekat dengan PKI.

Setelah itu, dimulailah pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan orang yang diduga PKI (“diduga”, karena memang tidak melalui proses peradilan). Militer Indonesia tentu saja menjadi bagian terpenting pembantaian ini –atau penumpasan dalam istilah resmi Orde Baru. Tapi selain militer, milisi adalah ujung tombak pembantaian orang-orang yang diduga PKI ini.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, Banser dan GP Anshor menjadi salah satu pelaku pembantaian, tentu saja dengan restu dan sokongan dari para kyai. Di Bali, milisi-milisi yang dilatih dan disokong tentara, terutama dari sayap Partai Nasional Indonesia, juga melakukan hal yang sama. Seperti halnya di Jawa Timur, mereka melakukannya dengan sokongan spiritual dari pemimpin Hindu di sana. Sedihnya, banyak dari mereka kemudian balik dibantai oleh tentara yang ingin menghilangkan jejak keterlibatan.

Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan.

Di tempat lain, hal serupa terjadi. Dengan sokongan dan kepastian kebal hukum yang diberikan tentara, milisi-milisi ini dengan buas memburu dan membantai siapa saja yang diduga PKI. Bukan sekali-dua terjadi salah eksekusi. Atau, bahkan, itu sebenarnya bukan salah eksekusi, tapi memang disengaja dengan membawa-bawa urusan pribadi ke “urusan nasional” ini.

Dalih yang dipakai adalah menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, juga dalih bahwa melawan musuh negara berarti juga musuh agama. Nasionalisme dan agama, pada fase ini, benar-benar menjadi kombinasi mematikan yang tidak alang kepalang buasnya.
Pada masa Orde Baru, milisi-milisi ini banyak yang kemudian “bersalin rupa” menjadi lebih lembut, tidak terang-terangan lagi mengeksekusi dan membantai. Yang mereka lakukan selanjutnya, guna menghidupi diri sendiri, adalah memeras sampai menjadi beking usaha-usaha ilegal.

Lagi-lagi anda hanya perlu menonton film “The Act of Killing” untuk melihat bagaimana Pemuda Pancasila dengan terang-terangan memalak toko-toko orang Cina di Medan.

TAPI Orde Baru juga melakukan hal serupa seperti yang terjadi di era Soekarno. Negara membentuk milisi di wilayah-wilayah konflik seperti Irian Jaya, Timor Timur dan juga Aceh. Nama-nama sangar seperti Eurico Guterres sampai Hercules adalah alumni generasi ini. Hercules, misalnya, “dibawa” oleh Prabowo Subianto (yang kini hendak jadi presiden) ke Jakarta dan sejak itulah namanya mencuat dalam dunia gangster ibu kota.

Memasuki era reformasi, kebiasaan buruk negara dan tentara dalam membentuk milisi, baik resmi maupun tidak, terus berlanjut.

Pam Swakarsa, misalnya, muncul di era kepemimpinan Habibie dan saat Wiranto (yang juga hendak jadi presiden) menjabat sebagai menteri pertahanan. Front Pembela Islam (FPI) lahir dari perkembangan terbaru saat itu ketika Pam Swakarsa dibentuk untuk melawan kekuatan kritis yang menolak kepemimpinan Habibie.

FPI bukan satu-satunya. Muncul juga Gerakan Pemuda Ka’bah yang di Jogja banyak melakukan razia seperti halnya FPI. Ada juga Laskar Jihad yang dikirim ke tengah konflik di Ambon. Belum lagi kemunculan organisasi paramiliter bentukan partai-partai politik. Atau bahkan organisasi-organisasi yang berdasarkan afiliasi kedaerahan.

FPI adalah anak kandung tradisi panjang negara yang doyan membentuk, memelihara atau membiarkan lahirnya milisi, paramiliter, laskar-laskar dan organisasi-organisasi yang doyan meneror. Sebab, apa pun dalihnya, demi revolusi atau demi Pancasila atau demi Islam, semuanya dicirikan oleh hal yang sama: kekerasan.

DAN di hadapan tradisi panjang seperti itu, apa yang bisa kita harapkan dari seorang presiden yang rajin mengetwit?

(socio-politica.com/ Sumber: Newsroom Blog)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (3)

MENJELANG kedatangan pasukan RPKAD –yang kekuatannya hanya dalam hitungan kompi– di beberapa kota Jawa Tengah, sejumlah tokoh CC PKI yang sudah berada di propinsi itu mengorganisir massa bersenjata. Penuh percaya diri PKI memasang spanduk di beberapa kota, di Solo misalnya, yang berbunyi “Jadikan Solo kuburan bagi RPKAD”. PKI memang memiliki keyakinan bahwa Jawa Tengah, dengan dukungan satuan-satuan Diponegoro yang ada di bawah pengaruhnya, akan bisa dipertahankan.

RPKAD DALAM PROFIL BARU SEBAGAI KOPASSUS. “Sepanjang yang bisa dicatat, peranan RPKAD di Jawa Timur tidak menonjol. Kesatuan ini muncul di Jawa Timur untuk ikut dalam Operasi Trisula, saat di wilayah tersebut terjadi gerakan-gerakan bersenjata PKI yang berskala lebih besar, terutama di wilayah Blitar Selatan (1966-1968). Di Jawa Tengah pun, meminjam paparan Ken Conboy mengenai peranan RPKAD di Jawa Tengah 1965-1966, peran itu lebih banyak sebagai katalis”. (download flickr)

            Sejumlah tanda tanya mengenai Divisi Brawijaya. SITUASI penuh tanda tanya tentang ‘kebersihan’ Kodam Brawijaya di Jawa Timur, tahun 1965, sementara itu, tidak berbeda jauh dengan Kodam Diponegoro. Mayor Jenderal Basoeki Rachmat yang memimpin divisi Brawijaya kala itu, termasuk satu di antara sejumlah jenderal yang dianggap sebagai de beste zonen van Soekarno, bersama antara lain Jenderal Muhammad Jusuf, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Amirmahmud. Namun, meski dekat dengan Soekarno yang banyak memberi angin kepada PKI, Basoeki Rachmat tetap dikategorikan sebagai seorang jenderal anti komunis. Presiden Soekarno menganggap sikap anti komunis itu adalah akibat pengaruh Jenderal Nasution. Itu sebabnya, Soekarno merasa kurang gembira setiap kali mengetahui Basoeki Rachmat ‘terlalu’ banyak bertemu dengan AH Nasution. Bila Jenderal AH Nasution berkunjung ke Jawa Timur, selaku Menko/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, tentu saja sebagai Panglima Daerah Jenderal Basoeki Rachmat harus mendampingi.

Akan tetapi, meskipun anti komunis, sebagai Panglima Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat kurang berhasil membendung pengaruh PKI di kalangan perwira-perwira bawahannya. Walau tak pernah dipetakan dengan baik, diketahui setidaknya lebih dari separuh komandan-komandan batalion di Divisi Brawijaya berada dalam pengaruh Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (3)

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (4)

SASARAN utama provokasi dan kekerasan oleh massa PKI di Jawa Tengah pada masa prolog Peristiwa 30 September 1965, adalah para pengikut PNI. Padahal, di tingkat nasional, PNI dan PKI seolah-olah terkesan kuat sebarisan dalam barisan Nasakom. Di tubuh PNI kala itu PKI bahkan berhasil ‘menanam’ seorang kadernya, Ir Surachman, dalam posisi penting sebagai Sekertaris Jenderal DPP PNI, mendampingi Ketua Umum Ali Sastroamidjojo SH. Itu sebabnya kemudian dalam pergolakan politik tahun 1966 ada penamaan PNI Asu, untuk membedakan dengan faksi PNI Osa-Usep yang menolak pengaruh unsur kom di tubuhnya.

AIDIT DAN POSTER PKI. “Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Bagi PKI ini menjadi antiklimaks, setelah sebelumnya di masa Nasakom sangat agresif menjalankan teror mental terhadap lawan politiknya di seluruh Indonesia”. (download anam78.blogspot.com/kompasiana.com)

Kenapa pengikut PNI di Jawa Tengah menjadi sasaran utama PKI, tak lain karena pada waktu itu, pengikut-pengikut PNI di Jawa Tengah dominan dalam jabatan-jabatan pemerintahan daerah, dominan dalam dunia usaha dan memegang kepemilikan terbesar dalam pertanahan. Sedangkan sasaran politik PKI adalah pemerataan kepemilikan tanah dengan cara radikal, dan untuk jangka panjang pemerataan kekayaan. Secara ideal, pemerataan tentulah baik, namun bila dilakukan dengan cara paksa dan radikal melalui kekerasan, sama artinya dengan penjarahan. Di Jawa Timur, sementara itu, para haji pengikut NU lah yang menjadi pemilik areal terluas tanah-tanah pertanian maupun dalam berbagai bentuk penggunaan tanah lainnya. Para pengikut NU juga unggul dalam kehidupan ekonomi lainnya. Maka, di provinsi tersebut, aksi radikal massa PKI dalam pertanahan dan perang terhadap apa yang mereka namakan ‘setan desa’ lebih tertuju kepada para pengikut NU.

Bisa dipahami bila kemudian pada masa epilog, saat terjadinya pembalasan dendam sosial politik di Jawa Timur, pelaku terdepan dalam peristiwa tersebut adalah massa NU, khususnya Barisan Ansor Serba Guna dari Pemuda Ansor. Kita ingin kembali mengutip pemaparan dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” –yang untuk sebagian pernah dimuat di blog sociopolitica Continue reading Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (4)

Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (3)

SETELAH berakhirnya masa kekuasaan formal Jenderal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI.

PARA PEMIMPIN PKI, DN AIDIT CS, BERSAMA BAPAK BESAR KOMUNIS CHINA MAO-ZEDONG. “Setelah PKI ‘berlalu’ karena pembubaran dan setelah surutnya komunisme secara global, ternyata ideologi dan aliran totaliter lainnya tidaklah ikut berakhir, untuk tidak tidak menyebutnya justru lebih menggejala. Tampilannya beraneka ragam, bisa dalam bentuk-bentuk aksi sepihak yang berkecenderungan kuat ‘menghakimi’ sendiri, bisa dalam bentuk sikap moralisme dengan bermacam-macam pretensi, ataukah sikap ber’demokrasi’ yang hanya mengenal haknya sendiri dan tidak menghargai hak orang lain, dan lain sebagainya”. (gambar asiafinest). BERIKUTNYA DI SOCIOPOLITICA: KISAH KORUPSI PARA JENDERAL

Bila sebelum ini penulisan versi penguasa masa Soeharto banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang tak kalah buruknya, bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Dalam sorotan terhadap kekerasan kemanusiaan yang terjadi di seputar peristiwa, fakta adanya situasi balas berbalas yang sama kejinya di semua pihak, cenderung diabaikan. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan. Dan kali ini, mereka yang selama ini ada di sebelah kanan, cenderung bersifat reaktif bertahan dan sesekali melontarkan tuduhan tentang ‘bangun’nya kembali paham komunis, meski secara global sementara itu kutub ideologi komunis praktis sudah roboh, atau paling tidak, jauh surut mendekati wilayah titik nol.

Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan Continue reading Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (3)

Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (1)

SETELAH Komnas HAM di pekan terakhir bulan Juli 2012 ini menyampaikan rekomendasinya kepada pemerintah mengenai pelanggaran HAM berat yang terjadi di seputar apa yang mereka sebut sebagai Peristiwa 1965-1966, muncul beragam reaksi. Dua di antara yang perlu dicatat adalah komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan keterangan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, tentang model penyelesaian terkait pelanggaran HAM tersebut.

KELOMPOK PEMUDA MENYUSUR LERENG MERAPI MENCARI ANGGOTA PKI, NOVEMBER 1965. “Peristiwa 30 September 1965, didahului peristiwa-peristiwa kekerasan oleh PKI dan organisasi sehaluan, melalui terror gerakan massa dan politik intimidasi, dan setelah peristiwa berlanjut dengan kekerasan lainnya sebagai pembalasan oleh kelompok anti komunis, dengan kadar kekejiannya yang tak kalah tinggi”. Semua pihak, baik pengikut partai-partai berhaluan komunis, maupun kekuatan-kekuatan anti komunis dan tentara, sama-sama menjadi pelaku kekerasan yang bersifat balas membalas dalam pola ‘didahului atau mendahului’. (foto dokumentasi asiafinest).

Presiden SBY (25/7) menyebutkan kriteria solusi yang dapat diterima semua pihak, dan apa yang terjadi harus dilihat jernih, jujur dan objektif. “Semangatnya tetap melihat ke depan. Selesaikan secara adil”. Presiden tidak menggunakan terminologi ‘kebenaran’, tetapi menggunakan terminologi pengganti, yakni “dilihat jernih, jujur dan objektif”. Pada waktu yang hampir bersamaan, Ifdhal Kasim mengatakan kasus pelanggaran HAM yang berat itu tidak harus (selalu) diselesaikan dengan mekanisme hukum. “Kalau memiliki komitmen politik, pemerintah juga dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu dengan cara-cara politis melalui rekonsiliasi”, demikian pers mengutip pandangannya. Dan sedikit mencengangkan sekaligus terasa dangkal adalah jalan pikiran Wakil Ketua DPR-RI, Priyo Budi Santoso, yang menganggap bahwa membuka kembali Peristiwa 1965-1966 adalah tidak produktif.

Selain kata kunci kebenaran yang kemudian diikuti kata kunci keadilan, kata kunci kecermatan adalah tak kalah pentingnya. Kebenaran akan tergali optimum melalui kecermatan. Kecermatan dalam meneliti kebenaran suatu peristiwa, berarti tak hanya melihat apa yang terjadi dalam peristiwa, melainkan juga melihat berbagai tali temali yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi.

Meski tidak disebutkan dalam bahasa yang lebih terang, Peristiwa 1965-1966 yang dimaksudkan Komnas HAM dalam hal ini Continue reading Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (1)

NU, Kaum ‘Sarungan’ yang Gamang dalam Dunia Modern (1)

Spesies yang dapat bertahan hidupbukanlah yang paling kuat, bukan pula yang paling cerdas, melainkan mereka yang paling mampu menghadapi perubahan”, Charles Darwin, Ilmuwan.

KEHADIRAN Laskar Ahlussunnah Wal Jama’ah (Laskar Aswaja), istilah yang sangat lekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), katanya merupakan upaya menangkis wacana dari kelompok Islam radikal yang mengusung pemurnian agama, yang sering menggunakan pendekatan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan (Tribunnews.com, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2012 15:47 WIB). Walaupun bukan sebagai organ resmi NU, tetapi diawaki oleh orang-orang NU. Masalahnya, sebagai arus utama kelompok Islam di Indonesia pun ternyata NU tak luput dari tindak kekerasan kelompok Islam radikal. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencatat, dalam kurun waktu 2011, setidaknya sudah tiga kali terjadi serangan, baik fisik maupun lisan, terhadap NU di tiga kota. Menurut Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Ali di Jakarta, Senin 27 Juni 2011, salah satu obyek penyerangan adalah masjid (Tempo.co.id, Senin, 27 Juni 2011 | 14:21 WIB).

KH HASYIM ASY’ARI, PENDIRI NU. “…. sebagai arus utama kelompok Islam di Indonesia pun ternyata NU tak luput dari tindak kekerasan kelompok Islam radikal. Dalam kurun waktu 2011, setidaknya sudah tiga kali terjadi serangan, baik fisik maupun lisan, terhadap NU di tiga kota.
Penyerangan itu terjadi pada bulan Mei 2011 lalu dengan sasaran imam masjid, yang dianggap ahli neraka. Menurut kelompok radikal tersebut NU yang kental dengan tradisi tahlilan dan ziarah kubur, adalah kelompok bid’ah (sesuatu yang berbeda dan dapat merusak ajaran agama) yang musyrik (mempersekutukan Tuhan)”. (download repro lukisan Mashuri/ elangprince.wordpress.com)

Penyerangan itu terjadi pada bulan Mei 2011 lalu dengan sasaran imam masjid, yang dianggap ahli neraka. Menurut kelompok radikal tersebut NU yang kental dengan tradisi tahlilan dan ziarah kubur, adalah kelompok bid’ah (sesuatu yang berbeda dan dapat merusak ajaran agama) yang musyrik (mempersekutukan Tuhan). Namun, serangan bisa dipadamkan, kelompok radikal itu diusir polisi dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), organisasi keamanan milik NU. Masalahnya, mengapa mereka berani menjadikan NU, sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi, sebagai sasaran? Continue reading NU, Kaum ‘Sarungan’ yang Gamang dalam Dunia Modern (1)

Syiah, Dendam Lama Yang Dibangkitkan Kembali (2)

SECARA kultural, Syiah telah masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan Islam ke Nusantara melalui jalur perdagangan dan dakwah dalam bentuknya yang taqiyyah. Namun, seiring dengan pertikaian politik internasional, Syiah di Indonesia pun masuk dalam pengawasan intelijen negara. Menurut BIN (Badan Intelijen Negara), dalam “Gerakan Islam Transnasional dan Pengaruhnya di Indonesia”, gerakan Syiah di Indonesia terdapat dalam dua kubu, yaitu: (1) Syiah Politik, para pengikut ide-ide politik dan intelektual Syiah) untuk membentuk Negara Islam, dan (2) Syiah Non-Politik, para pengikut fiqhiyah syiah untuk membentuk masyarakat Syiah.

Walaupun kedua kelompok Syiah tersebut juga mengalami perselisihan, namun tidak mengarah kepada perpecahan, karena saling melengkapi.

Kubu pertama, Syiah Politik, adalah LKAB (Lembaga komunikasi Ahlul Bait) yang merupakan wadah para alumni al Qum. Kubu ini dimotori oleh ICC Jakarta yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah Republik Islam Iran (RII). LKAB membawahi Yayasan Al Munthazar, Fathimah Aqilah, Ar Radiyah, Mulla Sadra, An Naqi, Al Kubra, Al Washilah, MT Ar Riyahi dan gerakan dakwah Al Husainy. LKAB berkantor di Jalan Bintaro KODAM Grand Bintaro Jaksel.
Kubu kedua, Syiah Non-Politik, dipegang oleh IJABI. Dalam kubu ini metode taqiyyah kurang disenangi. Sebaliknya, IJABI tampak lebih pluralis. Hal ini terlihat dari beberapa tokoh Sunni yang menjadi pengikut IJABI. Kiblat IJABI, bukanlah ke Iran, melainkan Marja Lebanon di bawah pimpinan Ayatollah Sayyed Mohammad Hussein Fadlallah. Tokoh utama di Indonesia adalah Dr Jalaluddin Rahmat.

Para pengikut Syiah keturunan Arab melakukan gerakan dengan ber-taqiyyah, tidak mau berterus terang mengakui sebagai pengikut syiah, secara dhahir mereka tampil sebagai orang Syafii, seperti Habib Ali Baagil (otak pengeboman Gedung BEJ), Habib Husein Al Habsyi (Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia), Abdullah As Segaf (Ikatan Persatuan Ahlul Bait Indonesia), Habib Saleh Al Idrus (Majelis Dzikir Nurkhaerat Poso, tokoh perlawanan Poso), dan lain-lain. Jaringan Syiah di Jawa Timur berpusat di Ponpes YAPI Bangil pimpinan Ustad Husen Al Habsyi, sedangkan jaringan Syiah di Jawa tengah berpusat di Ponpes Al Hadi Pekalongan pimpinan Ahmad Baraqbah dan Toha Musawa. Di Yogyakarta bepusat di Yayasan Roushan Fikr yang dipimpin oleh Sofwan (kader Syiah radikal). (http://batikamin.wordpress.com/2012/01/02/mengenal-gerakan-syiah-di-indonesia-versi-intelijen/).

Mungkin itulah sebabnya, serangan terhadap Syiah nampaknya seperti mendapatkan “izin” dari aparat keamanan, karena menganggap Syiah sebagai salah satu gerakan radikal yang perlu diawasi. Begitu pula, penyerangan Yayasan Pesantren Islam (YAPI) Al-Ma’hadul Islam Bangil, Pasuruan, oleh kelompok yang mengaku Sunni (15/2/2011) berjalan tanpa antisipasi aparat yang tahu bahwa konflik tersebut sebelumnya sudah pernah terjadi. Karena itu, bentrok karena dakwah beda mazhab tersebut terus berlangsung sebagai konflik antara sesama massa yang mencari solusi sendiri melalui jalur kekerasan.

Skenario besar mengincar NU sebagai bagian dari efek domino gerakan radikal membersihkan agama

Nampaknya, setelah “berhasil” menggusur Ahmadiyah sebagai salah satu aliran ‘sesat’ dengan cara kekerasan dalam insiden Cikeusik, Banten, yang nampaknya “dibiarkan” pemerintah, diduga ada skenario besar dari kelompok radikal yang bergerak atas nama pemurnian agama, yang sekarang nampak mencoba merangkak ke Syiah, yang lebih dekat dengan NU sebagai sasaran utama. Bayangkan efeknya pernyataan populer almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cendekiawan NU, ketika mengatakan: “Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiai dalam tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah. Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. (Tempo.co.id, Rabu, 04 Januari 2012 | 08:04 WIB).

MASSA SYIAH IRAN 1979 MENGELU-ELUKAN AYATOLLAH KHOMEINI. Kaum Syiah di Indonesia terbagi dalam dua kubu, Syiah Politik dan Syiah Non-Politik. Tak selalu kiblatnya ke Iran. Kiblat kubu Non-Politik, “bukanlah ke Iran, melainkan Marja Lebanon di bawah pimpinan Ayatollah Sayyed Mohammad Hussein Fadlallah. Tokoh utama di Indonesia adalah Dr Jalaluddin Rahmat”. (foto download).

Karena itu, adalah sangat memprihatinkan bila terjadi tindak kekerasan terhadap muslim Syiah di Sampang, Madura, salah satu basis NU, dengan pembakaran sebuah pesantren Syiah karena dinilai sebagai ajaran sesat. Tindak serupa ini bukan yang pertama, baik di Madura maupun di daerah lain di provinsi yang sama, Jawa Timur. Sebelumnya, di Bondowoso, Pasuruan, Malang, dan Bangil pernah terjadi penyerangan terhadap muslim Syiah. Selama ini eskalasi konflik terjadi, horizon keislaman di Jawa Timur sangat kondusif. Aroma Islam toleran sangat kuat di provinsi ini. Kekhasan corak keislaman seperti ini tak lepas dari akar budaya Nahdlatul Ulama (NU) yang tertanam kuat.

Said Agil tidak menampik jika kemungkinan ada pihak luar yang turut campur dalam konflik-konflik di dalam negeri. Misal ada madzhab di dunia yang ingin ikut mencampuri keadaan umat Islam di Indonesia. “Kalau LSM atau lembaga sosial pasti ada LSM yang menjadi jaringan asing,” jelasnya (http://www.republika.co.id/berita/ regional/nusantara/12/01/03/lx7ulh-ketum-pbnu-pihak-ketiga-campur-tangan-bentrokan-syiah-di-sampang).

Hal itu dapat dipahami, karena selama ini Nahdatul Ulama (NU) ternyata tak luput dari tindak kekerasan kelompok Islam radikal. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencatat, dalam kurun waktu 2011, setidaknya sudah tiga kali terjadi serangan, baik fisik maupun lisan, terhadap NU di tiga kota.

Menurut Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Ali, di Jakarta, Senin 27 Juni 2011, salah satu obyek penyerangan adalah masjid. “Pernah terjadi di Ngawi, salah satu kelompok itu menyerang masjid NU,” kata As’ad. Penyerangan itu terjadi pada bulan Mei 2011 lalu dengan sasaran imam masjid. Serangan dilakukan karena imam masjid itu dianggap ahli neraka. Namun, serangan bisa dipadamkan dan kelompok radikal bisa diusir polisi dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), organisasi keamanan milik NU (Tempo.co.id, Senin, 27 Juni 2011 | 14:21 WIB)

Kekerasan lain terjadi di Solo. Radio MTA milik kelompok radikal menyiarkan dakwah dari pemimpin agama. Dalam siaran itu, sang pemimpin agama mengatakan mudah saja kalau ingin masuk neraka. “Cukup memperbanyak tahlilan dan ziarah kubur atau dengan kata lain menjadi kelompok musyrik,” begitu isi dakwah lewat radio itu, seperti dikutip As’ad. Menurutnya, walaupun tidak menyebut nama NU, penyebutan menjadi “ahli tahlil dan ziarah kubur” bisa dipastikan mengarah ke kelompok NU yang memang kental menganut dua tradisi itu.

Kelompok radikal ini menurut As’ad memang cenderung mengkafirkan kelompok lain yang berbeda ajaran dengan mereka. Ini memicu mereka melakukan serangan verbal maupun fisik. Tetapi serangan-serangan ini, kata As’ad, bisa dilakukan karena negara yang menganut paham kebebasan tak mampu bertindak apa-apa. As’ad menguatirkan serangan semacam ini bisa menjadi provokasi dan menjalar ke tempat-tempat lain jika pemerintah hanya diam. “NU belum bisa melakukan dialog dengan kelompok radikal karena belum dialog saja sudah dikafirkan,” kata As’ad.

Akankah hal ini bisa berakhir setelah diluncurkannya proyek deradikalisasi Badan Nasional Penanggulanggan Terorisme (BNPT) yang mulai beroperasi di negeri ini (11/6/2011) dengan dukungan 8 pimpinan lembaga/organisasi Islam, termasuk PBNU, dan Densus 88/AT sebagai eksekutor di lapangan? Atau, kelompok radikal akan beraksi lebih keras lagi menunjukkan kekuatan mereka yang sebenarnya?

Mengembalikan fungsi ulama sebagai pembina umat untuk bertoleransi demi persatuan bangsa

Pembiaran dan ketidakhadiran negara dalam sejumlah kekerasan sesama warga sipil yang mengakibatkan kelompok minoritas harus menanggung penderitaan harus segera diakhiri. Atau rakyat di negeri ini harus melindungi diri sendiri, seperti yang tertulis pada spanduk “Negeri Autopilot”.

Pemerintah, dalam hal ini  Kementerian Agama (Departemen Agama), harus kembali berfungsi sebagai lembaga tertinggi dalam pembinaan umat untuk bertoleransi demi persatuan bangsa. Penyerahan “mandat” kepada MUI nampaknya tidak berjalan dengan baik, karena sering sekali terjadi perbedaan pendapat antara MUI Pusat dengan MUI Daerah yang membuat umat semakin bingung. Banyak keputusan MUI Pusat yang tidak sampai atau tidak dijalankan oleh MUI Daerah, seperti klarifikasi Syiah bukan sebagai ajaran sesat. Dan, perbedaan pandangan (jika tidak mau dikatakan perseteruan) mengenai proyek deradikalisasi antara MUI pusat dengan MUI Kota Surakarta (Sabili,19 Januari 2012/ 25 Safar 1433).

Para pemuka agama haruslah mampu mengajak umat Islam agar tetap berpegang teguh pada Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW dengan menjadikan perbedaan di antara umat sebagai sebuah cara pandang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dialog ilmiah antara Sunni dan Syiah yang terjadi pada lapisan atas, harus menjadi tindakan operasional lapangan di lapisan bawah. Begitu pula dengan pimpinan partai Islam, seharusnya melihat masalah ini sebagai bagian program kerja untuk menarik simpati pemilih pada Pemilu yang akan datang.

-Ditulis untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

Partai NU Bersama KH Idham Chalid di Suatu Masa (3)

“Bersama PPP, KH Idham Chalid tetap menjadi tokoh utama dan masih berkali-kali menduduki posisi dalam kabinet-kabinet Soeharto dalam beberapa periode. Itulah kelebihan KH Idham Chalid, yang bisa eksis dan berkibar bersama NU di masa ‘kediktatoran’ Soekarno maupun di masa otoritarian Soeharto”.

Harapan yang kandas

GOLKAR tampil sebagai pemenang dengan skor yang mencengangkan pada Pemilihan Umum 1971. Kemenangan ini memperkuat legitimasi kekuasaan Soeharto. Belum lagi DPR baru  hasil Pemilu 1971  dilantik dan berfungsi tetapi corak, langgam dan lalu lintas politik telah berubah. Dan terasa sekali betapa pemerintahan sudah menjadi ‘lebih kokoh’ dan lebih berkuasa segera setelah usainya pemilihan umum. Sebaliknya, partai-partai yang tidak menjadi pemenang, terpuruk dan kehilangan daya untuk melakukan bargaining position. Apalagi setelah pelantikan DPR hasil pemilihan umum, pada 28 Oktober 1971. Betapa tidak, Fraksi Karya Pembangunan yang mewakili Golkar berkekuatan 236 orang, ditambah dengan Fraksi ABRI dan anggota non ABRI yang diangkat sebanyak 100 orang, menjadi 336 orang dari 460 ‘wakil rakyat’, yang berarti memiliki mayoritas kerja sebesar 73 persen lebih.

Di balik kemenangan Golkar ini, sesungguhnya teronggok kekecewaan yang mendalam dari partai-partai politik ideologi Islam terhadap tentara. Tatkala ada dalam ‘kebersamaan’ dengan ABRI pada saat menghadapi kaum Komunis hingga tumbangnya Soekarno, sejumlah pemimpin partai politik Islam telah berharap bahwa cepat atau lambat mereka akan dipilih oleh ABRI untuk bermitra dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan pasca Soekarno. Harapan ini terutama dimiliki oleh para pemimpin NU, seperti KH Idham Chalid dan kawan-kawan, mengingat ‘besar’nya peranan massa NU, teristimewa Banser (Barisan Ansor Serba Guna), dalam pembasmian PKI yang berdarah-darah.

Lebih dari sekedar berharap, tokoh-tokoh partai Islam, sebelum Pemilihan Umum 1971, secara optimistik menghitung bahwa dalam Pemilu itu nanti, dengan tidak hadirnya lagi PKI dan melemahnya PNI, kemenangan dengan sendirinya jatuh ke tangan mereka. Mengacu kepada Pemilihan Umum 1955, secara kumulatif partai-partai Islam memperoleh 119 kursi parlemen dari 272 kursi hasil pemilu, yang berarti 43,75 persen. Dua besar partai Islam, Masjumi memperoleh 60 kursi dan NU 47, sisanya dari Perti dan PSII. Sementara itu, PNI memperoleh 58 kursi dan PKI 32 kursi di luar 7 orang yang dicalonkan PKI dan masuk ke parlemen sebagai Fraksi Pembangunan. Dibubarkannya PKI dan melemahnya PNI, diperhitungkan setidak-tidaknya memberi peluang tambahan kursi dan atau peluang berupa prosentase besar dari kursi 1971, diyakini akan bisa melampaui 50 persen. Dengan demikian keikutsertaan dalam pengendalian pemerintahan pasca 1971 bisa dalam genggaman.

Harapan dan perhitungan tersebut, membuat partai-partai Islam lebih antusias untuk diselenggarakannya suatu pemilihan umum yang lebih cepat setelah Soekarno jatuh. Sementara sebaliknya, kelompok independen, partai-partai non ideologi Islam dan juga tentara, meskipun sama-sama menghendaki pemilihan umum, cenderung untuk tidak terburu-buru. Suatu pemilihan umum yang lebih cepat dan terburu-buru dianggap hanya akan menguntungkan partai-partai ideologistis yang berasal dari struktur politik lama warisan Orde Lama dalam sistim Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

Tetapi sebenarnya sebelum Pemilu 1971, bukannya tak pernah muncul sejumlah kekecewaan di kalangan politisi partai Islam. Kekecewaan pertama sebenarnya telah sempat menyentak kelompok politik Islam, tatkala pada Desember 1966 pihak militer –melalui pernyataan salah seorang jenderal utama–  mengeluarkan penilaian yang sama dengan ‘vonnis’ yang pernah dijatuhkan Soekarno, bahwa Masjumi adalah partai terlarang dan termasuk partai yang menyimpang dari Pancasila. Pada waktu-waktu berikutnya, makin jelas bahwa tentara menghalangi kembali tampilnya Masjumi. Melalui liku-liku proses yang berkepanjangan dan penuh trik dan intrik yang berlaku timbal balik, titik kompromi tercapai. Dikeluarkan persetujuan berdiri bagi satu partai Islam yang ‘seolah-olah’ untuk menyalurkan pengikut-pengikut Masjumi, namun dengan syarat tak boleh menampilkan tokoh-tokoh utama Masjumi seperti Mohammad Roem dan kawan-kawan dalam kepengurusan dan struktur partai. Sehingga, roh Masjumi tidak dapat melakukan reinkarnasi sempurna. Tokoh kompromi yang muncul memimpin partai baru yang bernama Parmusi itu adalah Mintaredja SH.

Salah seorang Jenderal yang dianggap penasehat politik utama Soeharto yang sangat menentang comebacknya Masjumi adalah Mayjen Ali Moertopo. Penulis-penulis Barat seperti Richard Robinson dan Robert Heffner, menggambarkan Ali Moertopo yang merupakan seorang pembantu terdekat Soeharto pada tahun-tahun pertama Orde Baru, sebagai tokoh kekuasaan anti partai politik Islam. Ali Moertopo yang “berhubungan erat dengan masyarakat Indonesia-Tionghoa dan Katolik” adalah tokoh “teknokrat militer yang berpandangan politik nasional sekuler”, sehingga sikapnya itu tidak mengherankan. Moertopo berpandangan bahwa untuk membatasi pengaruh politisi Islam dan peran partai ideologis lainnya, harus dicegah terulangnya persaingan politik yang sengit dan menggoyahkan kehidupan bernegara seperti pada tahun 1950-an. Menurut uraian para penulis asing ini, Ali Moertopo dan para petinggi rezim Soeharto yang lain sepenuhnya yakin bahwa Indonesia akan mencapai kestabilan hanya bila politik dijalankan untuk dan berdasarkan keterwakilan kepentingan yang rasional, dan bukannya kepentingan emosional berdasarkan sentimen agama atau kesukuan yang primordial.

Namun dapat dicatat bahwa sikap Ali Moertopo ini, dalam perkembangan situasi berikutnya, tampak mengalami perubahan karena pertimbangan taktis. Setelah beberapa kegagalan dalam mengantisipasi Pemilihan Umum 1971, kelompok militan Islam mulai tidak sabar untuk mengambil alih permainan dan muncul dengan gerakan-gerakan sistimatis yang kelihatannya bisa semakin membahayakan rezim. Adalah menarik bahwa KH Idham Chalid tetap berhasil menjaga jarak dengan kelompok militan Islam, sehingga NU tak pernah ‘terlalu’ dimusuhi oleh kalangan kekuasaan, khususnya tentara. Namun, pada sisi sebaliknya NU tetap diterima dengan baik sebagai kawan sebarisan oleh kekuatan politik Islam lainnya, meskipun memilih berdiri di bagian belakang.

Menyadari bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi jangka panjang rezim Soeharto adalah dari kelompok Islam yang menurut jumlahnya adalah mayoritas, maka pilihannya adalah merangkul kalau tidak mungkin ‘dihancurkan’. Atau bisa juga, merangkul di sisi kiri dan menghancurkan di sisi kanan. Apalagi, kelompok politik dan kepentingan yang membawakan nama Islam pun sebenarnya terbelah antara mereka yang bergaris keras dan mereka yang bergaris lunak. Dengan cerdik Ali Moertopo bersama Jenderal Benny Moerdani memanfaatkan keadaan. Pada satu sisi mereka merekrut kelompok Islam garis keras yang sebelumnya terpinggirkan dan terlibat kasus DI-TII (Darul Islam-Tentara Islam Indonesia), dan memunculkan gerakan Komando Jihad, yang menciptakan opini negatif terhadap gerakan Islam garis keras. Pada sisi yang lain mereka merekrut tokoh-tokoh politik Islam yang moderat maupun yang opportunis ke dalam jaringan-jaringan. Dalam hal ini NU terbilang. Sejak Ali Moertopo, dengan posisi sebagai Aspri (Asisten Pribadi) Presiden dan pimpinan Opsus (Operasi Khusus), semakin kuat dan semakin masuk ke jalur kendali eksekutif, polarisasi kekuasaan di sekitar Soeharto mulai tampak makin menajam.

Dengan CSIS (Centre for Strategic & International Studies) –pusat studi dan kajian strategis yang didirikan pada tahun 1971– Ali Moertopo dan kelompoknya makin tajam dalam membaca dan merancang situasi, sehingga Opsus bahkan mulai menggeser fungsi Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang dipimpin Mayor Jenderal Sutopo Juwono. Kelompok Ali menjadi amat unggul dalam mengembangkan isu-isu pengarah maupun pemancing ke arah perubahan situasi yang dikehendaki dalam skenario politik. Golkar menjadi salah satu bagian dalam rancangan skenario politik Ali Moertopo kala itu.

Keluhan utama yang secara klasik disampaikan para politisi partai Islam, khususnya kelompok seaspirasi dengan ex Masjumi, adalah bahwa sepak terjang mereka dihambat dengan cara-cara curang oleh tentara. Tokoh-tokoh NU, terutama KH Idham Chalid, bersikap lebih adem ayem. Tudingan terhadap tentara ini sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Tetapi tudingan ini seakan mendapat pembenaran, dibelakang hari, ketika setelah pensiun, mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, pernah dikutip oleh Adam Schwarz (buku ‘A Nation in Waiting’) penilaiannya mengenai kemenangan Golkar tahun 1971 bahwa “kalau mengandalkan kepada kemampuan Golkar sendiri, tanpa topangan dari ABRI, maka partai-partai Islam lah yang akan menang”. “Saya dapat memastikan itu”. Sekali lagi, tentu hal ini masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi terlepas dari itu, nyatanya memang partai-partai politik berideologi Islam tersebut, mengalami pencapaian yang di luar harapan mereka sendiri. NU yang pada tahun 1955 memperoleh 47 kursi, pada pemilu 1971 memperoleh 58 kursi, tapi jelas sangat berbeda posisinya karena pada tahun 1971 itu kursi DPR adalah 460. Jadi NU hanya memperoleh 12,6 %. Bandingkan dengan tahun 1955 yang sebesar 17,28%. Sementara itu Parmusi yang dianggap penjelmaan Masjumi hanya memperoleh 24 kursi (5,21%), sedangkan Masjumi tahun 1955 memperoleh perwakilan 22,05%, karena perolehan kursi 60 dan berada pada tempat teratas melebihi PNI yang memperoleh 58 kursi.

Sederhana, namun tak alamiah

SEBENARNYA, harapan partai-partai Islam untuk unggul setelah jatuhnya Soekarno, sehingga bisa bermitra dalam kekuasaan negara dengan tentara, memang tidak terlalu realistis. Memang benar menurut statistik sekitar 90% rakyat Indonesia tercatat beragama Islam. Tetapi, mereka yang beragama Islam itu tidak dengan sendirinya seluruhnya setuju dengan dibawa-bawanya nama Islam dalam politik untuk memperebutkan kekuasaan yang duniawi. Kalangan cendekiawan Islam sendiri misalnya, tak kurang banyaknya yang menyerukan keberatan terhadap pengatasnamaan Islam ini dalam berpolitik. Selain itu, harus disadari juga adanya kaum abangan dalam struktur masyarakat Indonesia, yang biasanya lebih bersimpati kepada kekuatan politik yang beraliran nasionalis tanpa membawa embel-embel agama dan sikap-sikap fanatis. Setelah terjadi Peristiwa G30S, merupakan fakta yang berkaitan untuk dicatat, bahwa pengikut-pengikut atau simpatisan PKI dan demikian pula simpatisan PNI Asu (Ali Surachman), yang untuk sebagian juga beragama Islam ternyata melakukan eksodus dalam rangka mencari perlindungan baru, berpindah agama menjadi Kristiani, ditambah sedikit Hindu dan Budha. Jelas, tidak tampilnya PKI dan PNI Asu dalam pemilihan umum 1971, bukan berarti partai-partai Islam akan mendapat benefit, kecuali bahwa jumlah pesaing menurut kuantita kepartaian berkurang.

Dengan pengutamaan kekuasaan demi kekuasaan, seluruh kekuatan politik yang ada harus disesuaikan untuk fungsi penopang bagi kekuasaan di bawah Jenderal Soeharto. Setelah pemilihan umum 1971 usai, dilakukan penyederhanaan kepartaian. Sebenarnya, dengan hasil pemilihan umum, secara alamiah melalui suatu proses yang wajar terbuka pintu bagi terjadinya penyederhanaan dengan sendirinya akibat ‘paksaan keadaan objektif’. Partai-partai berideologi Islam tidak berhasil memperoleh suara yang signifikan untuk mendapat share dalam kekuasaan pemerintahan. Dengan kumulatif 94 kursi, secara objektif mereka tak ‘dibutuhkan’ dalam kekuasaan pemerintahan oleh Golkar dan ABRI yang memiliki 336 kursi dari 460 kursi di DPR. Kalau mereka tidak diajak, mau tak mau mereka berada di luar, dan mungkin mereka merasa perlu bergabung satu sama lain. Setidak-tidaknya bagi Perti yang hanya memperoleh 2 kursi dan PSII yang hanya memperoleh 10 kursi, tentu harus berpikir untuk menggabungkan diri kalau tidak mau hilang dari peta politik. Tidak selalu  harus bergabung berdasarkan persamaan ideologi Islam. Hal yang sama bagi partai-partai lain, IPKI dan Murba yang tak memperoleh kursi DPR samasekali. Keharusan penggabungan secara objektif pun harus dipertimbangkan oleh PNI yang mendapat hanya 20 kursi dan oleh partai-partai Kristen yang juga kebagian sedikit saja kursi, Partai Katolik 3 kursi dan Partai Kristen Indonesia yang memperoleh 7 kursi.

Namun sayangnya, Soeharto yang sudah lebih kokoh kekuasaannya, memilih melakukan penyederhanaan yang artifisial dan ‘dipaksakan’, setidaknya bukan sepenuhnya karena keikhlasan, melahirkan PPP sebagai gabungan partai-partai ideologi Islam dan Partai Demokrasi Indonesia untuk sisanya yang campur aduk antara kaum nasionalis dan Kristen. Suatu pengelompokan yang kala itu betul-betul debatable –namun perdebatan berlangsung di bawah permukaan saja. Terlihat bahwa dalam tubuh PPP bagaimanapun yang dominan adalah unsur-unsur NU mengatasi unsur lainnya, khususnya unsur ex Parmusi. Bersama PPP, KH Idham Chalid tetap menjadi tokoh utama dan masih berkali-kali menduduki posisi dalam kabinet-kabinet Soeharto dalam beberapa periode. Itulah kelebihan KH Idham Chalid, yang bisa eksis dan berkibar bersama NU di masa ‘kediktatoran’ Soekarno maupun di masa otoritarian Soeharto.

Kisah Tiga Jenderal dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (2)

“Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‘pasukan tak dikenal’ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana”.

TERDAPAT sejumlah Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno sebagai Pangti ABRI –suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri. Sementara yang lainnya, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, bila dibawa menghadap oleh Menteri Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa diantaranya, yang meskipun punya akses langsung dengan Soekarno, tetap menjalankan tatakrama untuk melapor kepada Yani, sebelum atau sesudahnya. Tetapi ada juga yang sama sekali melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh sejumlah jenderal senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan-bulan terakhir sampai September 1965 selalu ‘tembak langsung’ menghadap Soekarno adalah Brigjen Sjafiuddin dari Kodam Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di antara dua kategori itu. Ia juga termasuk jenderal yang punya akses terhadap Soekarno, dan bahkan dimasukkan dalam kategori de beste zonen van Soekarno. Sesekali ia melapor kepada Yani, dan banyak kali juga tidak.

Dalam momen yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuasaan Soekarno setelah Peristiwa 30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu reputasi yang diciptakan Amirmahmud adalah bahwa ia termasuk salah satu Panglima Kodam luar Jawa yang melarang semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya pada bulan Oktober tahun 1965, tanggal 19, tetapi masih lebih lambat dibandingkan sejumlah Kodam lainnya. Satu dan lain hal, kedekatannya dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya mengambil keputusan itu. Pada 1 Oktober, ketika Kepala Staf Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan pertemuan membahas situasi yang terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi satu-satunya Panglima se Kalimantan yang tidak hadir. Menurut informasi Munadi kepada Jenderal Nasution kemudian, ketidakhadiran itu disebabkan sang panglima didatangi oleh Ketua PKI Kalimantan Selatan, A. Hanafiah, yang memberitahukan bahwa Panglima Kodam itu ditunjuk sebagai anggota Dewan Revolusi Kalimantan Selatan.

Ketika Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya menimbulkan tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit-prajurit Kodam Jaya kerap bertindak keras dan kasar kepada mahasiswa. Perwira-perwira bawahan Amirmahmud pun umumnya tidak menunjukkan simpati terhadap gerakan-gerakan mahasiswa, untuk tidak menyebutnya bersikap memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati kepada mahasiswa, bisa dihitung cukup dengan jari di satu tangan, dan di antara yang sedikit itu tercatat nama Kepala Staf Kodam Kolonel AJ Witono serta Letnan Kolonel Urip Widodo.

Sebagai seorang Soekarnois, berkali-kali pula Amirmahmud  menampilkan lakon kesetiaan kepada Soekarno, diantaranya terkait dengan Barisan Soekarno. Tetapi, agaknya ini justru menjadi hikmah pula baginya, karena sedikitnya ia makin mendapat tempat di hati Soekarno, yang kemudian memudahkannya berperan dalam kelahiran Surat Perintah 11 Maret. Dan adalah karena peranannya pada tanggal 11 Maret, ia kemudian mendapat tempat yang lebih layak di sisi Soeharto dalam kekuasaan, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri sejak menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan kemudian menjadi Ketua MPR/DPR sebagai penutup karirnya yang secara menyeluruh tergolong ‘terang benderang’.

Hal lain yang membuat Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto adalah bahwa ia tidak termasuk di antara para jenderal yang ‘fasih’ berbahasa Belanda dan menggunakan bahasa campuran Belanda-Indonesia dalam percakapan sehari-hari satu sama lain. Soeharto adalah orang yang tak terlalu suka kepada kebiasaan berbahasa Belanda, suatu ketidaksukaan yang umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran Jepang. Namun dari Soekarno, setidaknya dua kali dalam dua waktu yang berbeda, 1946 dan 1965, Soeharto mendapat ‘gelar’ dalam bahasa Belanda dari Soekarno, yakni sebagai jenderal koppig. Amirmahmud tak merasa nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri para jenderal berbahasa Belanda ini, seperti misalnya HR Dharsono, Kemal Idris dan kawan-kawan. Ketidaknyamanan yang sama dirasakannya ketika ia masih bertugas di Divisi Siliwangi sebelum bertugas di luar Jawa. Divisi Siliwangi terkenal sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang pendidikan baik, melebihi divisi yang lain pada umumnya. Percakapan sehari-hari di antara kalangan perwira menengah sampai perwira tingginya sangat lazim menggunakan bahasa Belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan umumnya koleganya sesama perwira Siliwangi, tidak menggunakan bahasa itu. Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari Divisi Siliwangi, Letjen Ahmad Yani dan para perwira terasnya di Mabes AD adalah para jenderal yang juga berbahasa Belanda.

Kebiasaan berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira intelektual dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Meski demikian, sebagai pengecualian, Amirmahmud bisa juga membuat dirinya ‘betah’ bila hadir dalam pertemuan dengan Bung Karno, kendati sang Presiden banyak menggunakan kata-kata Belanda yang tak semua dipahaminya. Tetapi adalah menarik bahwa Soekarno sendiri nyaris tak pernah menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bila berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain yang diketahuinya tidak terbiasa dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan jauh dari kebiasaan menggunakan bahasa Belanda.

Sejak pagi hari 11 Maret sebenarnya Presiden Soekarno ada dalam suatu keadaan cemas dan tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun ia was-was akan faktor keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa-apa. Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat jawaban “Jamin pak, aman”. Soekarno meminta Amirmahmud untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab dengan gerak telapak tangan dengan ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga sekedar tanda bahwa ia tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.

Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Kepada Amirmahmud yang mengikutinya ia bertanya, “Mir, bapak ini mau dibawa ke mana?”. Digambarkan bahwa Amirmahmud, yang tadinya menjamin sidang ini akan berlangsung aman tanpa gangguan, tak menjawab dan hanya menuntun Soekarno menuju helikopter. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor.

Sebenarnya, Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu menjamin keamanan sidang kabinet tersebut, saat itu tak mengetahui mengenai kehadiran pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Pangkostrad Kemal Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim.

Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebenarnya terjadi beberapa benturan di berbagai penjuru Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar – dibukukan dengan judul ‘Angkatan 66’, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1981– adalah salah satu sumber yang tepat untuk dikutip guna menggambarkan situasi hari itu. Pagi-pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam-hitam. “Gerombolan berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya. Mereka menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S. Parman dan Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang batu terjadi. Perkelahian seru. Akhirnya gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser dari Jalan Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan kacau balau, karena perkelahian pada front luas terbuka”. Tetapi tiba-tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang menyerbu. Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas kepala pelajar dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa dengan nyaring mengucapkan “Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang anggota Tjakrabirawa”. Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para mahasiswa, akhirnya berlalu dengan membawa empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan.

Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, tapi hari itu mereka merambah ke mana-mana. Seterusnya, Yosar mencatat bahwa “Di Jalan Salemba terjadi perang pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi ‘Pernyataan Kebulatan Tekad Partai-partai Politik’. Sedangkan pelajar membagikan stensilan ‘reaksi pemuda-pelajar-mahasiswa atas sikap partai politik’…”. Peristiwa lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan kendaraan truk di Pasar Minggu melepaskan tembakan ketika diteriaki dan diejek oleh para pelajar. Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi yang ‘bermarkas’ dekat tempat kejadian, keluar ke jalan dan melepaskan tembakan ‘balasan’. Anggota Para Armed (Artileri Medan) dari arah lain, juga melepaskan tembakan.

Pada sore tanggal yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei Tjoe Tat SH dan melakukan perusakan. “Hari ini, situasi sampai pada puncaknya. Demonstrasi kontra demonstrasi. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror. Culik kontra culik”. Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‘pasukan tak dikenal’ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana. Dan ini semua dikaitkan dengan Soeharto yang selaku Menteri Panglima AD ‘sengaja’ tak hadir dalam sidang kabinet hari itu dengan alasan sakit.

Berlanjut ke Bagian 3