Tag Archives: Sunni

Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (2)

SEBELUMNYA, pada tahun 1869 dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Al Azhar, Mesir, seorang mahasiswa, Muhammad Abduh, tertarik dengan ide pembaruan dunia Islam yang digagas oleh Al-Afghani. Sejak itu, Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, lahir di desa Mahallat Nash di kabupaten al-Buhairah, Mesir, pada 1849, banyak belajar dari Al-Afghani, yang kemudian menjadi pendukung utama gerakan Muslim di seluruh dunia untuk melawan stagnasi, kehancuran moral, despotisme politik, dan dominasi asing.

SYIAH MERASA DIDZALIMI….”dalam Syiah terbangun keakraban akibat deraan kesulitan, karena perlakuan represif dari penguasa setempat (Sunni) yang mencurigai mereka sebagai pemberontak, sampai-sampai harus bertakiyah segala. Di tengah kesulitan, muncul harapan perubahan nasib dengan datangnya Imam Mahdi,….”. (gambar download).

Kerjasama tokoh Syiah, Al-Afghani, dengan Sunni, Muhammad Abduh, juga terjadi pada era tahun 1950-an, pemimpin Ikhwanul Muslimin Hasan al-Bana (Sunni) melakukan kerjasama dengan Imam al-Qummi (Syiah). Setelah itu, pada 1954 Nawab Safawi, pemimpin gerakan Fida’iyyin Islam dari Iran, datang ke Kairo. Muhammad Ali al-Dhanawi, dalam bukunya Kubra al-Harakat al-Islamiyyah fil ‘Ash al Hadits, mengutip kata-kata Bernard Lewis, “Walaupun mereka (Fida’iyyin Islam) bermazhab Syiah, mereka percaya pada kesatuan Islam sama besarnya kepercayaan kaum Muslim Mesir yang Sunni. Di antara mereka terjalin komunikasi yang sangat lancar”. Menurut Dr Ishaq Musa al-Husaini dalam al-Ikhwanul Muslimin sejumlah pelajar dari Iran yang sedang belajar di Mesir ketika itu telah bergabung dalam organisasi tersebut. Ia mengungkapkan, di Irak pun banyak pemuka Ikhwanul Muslimin yang bermazhab Syiah (Islam Digest Republika, 12 Juni 2011).

Imam ke-12 sebagai senjata rahasia kebangkitan Syiah
Sebenarnya, dengan perkiraan hanya sekitar 20 persen dari total umat Islam di dunia yang bermazhab Syiah, dengan konsentrasi terbanyak di Iran, dan Irak, sebenarnya tidak perlu ada ketakutan akan pengaruh Syiah ini di Indonesia yang mayoritas Sunni, kecuali kalau menilai kaum Syiah itu memang lebih berkualitas dan militan. Menurut Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan direktur CIA Bob Woodwards dalam sebuah buku berjudul A Plan to Divide and Destroy the Theology, yang membuat Syiah lebih aktif dibanding Muslimin lainnya, faktor terkuatnya adalah adanya sistem kepemimpinan politik berdasarkan agama (marjaiyah), dan ikatan melalui perayaan Asyura. Peringatan syahidnya Husein, cucu Rasulullah SAW, 1400 tahun lalu itu, selalu diperingati oleh kaum Syiah secara meluas sebagai upacara-upacara kesedihan yang mempersatukan (http://www.victorynewsmagazine.com/ConspiracyAgainstJaffariSchoolofThought Revealed.htm).

Continue reading Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (2)

Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (1)

“Secara alami kita terkait dengan demokrasi.Kekebasan bertindak yang tidak disertai dengan kemampuan berpikir yang memadai, hanya akan menciptakan kekacauan ”, John Dewey, Filsuf.

SEKITAR tahun 1993 yang lalu, majalah Aula edisi November menurunkan berita menghebohkan mengenai pengungkapan Habib Hussein bin Abu Bakar al-Habsyi, pendiri pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam) Bangil, Pasuruan, masuk Syiah. Padahal, Habib Hussein dikenal sebagai ulama Sunni yang masyhur di kota Bangil, dan dianggap mumpuni di kalangan para habib. Berita yang dilansir majalah milik Nahdlatul Ulama itu bersumber dari surat rahasia Habib Hussein yang ditujukan kepada seseorang tokoh Syiah di Iran, yang menyatakan selama ini ia membuat kedok menyembunyikan ke-Syiah-annya (bertakiyah) sebagai strategi dakwah (Syiahali, Ahad, 27 Februari 2011).

DUABELAS IMAM SYIAH. “Dalam tradisi Nahdliyin juga dikenal membaca shalawat diba’ yang biasanya dibaca pada setiap malam Jumat. Pada shalawat tersebut disebutkan seluruh imam Syiah yang dua belas. Masyarakat Nahdliyin juga sangat menghormati ahlul bait, bahkan terkadang agak berlebihan”. Orang Nahdatul Ulama, Jawa pada umumnya, tidak berani mengadakan hajat menikahkan anak, atau berpesta, pada hari Asyura (10 Muharram), yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya Hussain bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW dan iman Syiah ketiga. Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid (alm), menyebut gejala itu sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah.  (gambar download googlesearch)

Sejak itu, penganut Syiah tidak segan-segan lagi melakukan aktivitas dan pengajian Islam aliran (mazhab) Syiah secara terbuka. Pesantren YAPI memang dikenal sebagai yayasan yang tertua milik kelompok Syiah, dibanding yayasan-yayasan Syiah lainnya. Terungkapnya surat rahasia itu membuat masyarakat Bangil pun berbelok arah, banyak para asatidz dan santri kemudian keluar dari pesantren YAPI tersebut. Itulah awal dari perselisihan antara kelompok Sunni dan Syiah di Bangil dan sekitarnya. Tahun 2007, sekelompok masyarakat melakukan demo besar setelah shalat Jum’at menolak paham Syiah. Dan, berujung dengan penyerangan tiba-tiba pondok pesantren Alma’hadul Islam YAPI di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, YAPI Bangil oleh ratusan orang yang mengklaim dari kelompok ASWAJA (Ahlussunnah Waljamaah) beberapa waktu lalu (15/2/2011), yang mengakibatkan empat santri terluka di bagian kepala. Masalah ini berlanjut dengan penyerangan kelompok Syiah di Kecamatan Omben, Sampang, Madura (29/12/211). Continue reading Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (1)

Kepentingan Di Balik Penyerangan Syiah (2)

Tidak boleh saling meng-kafirkan karena perbedaan

Dosen Sosiologi Peneliti Syiah di Indonesia dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Dr. Zulkifli, mengatakan sulit memberikan fatwa haram kepada Syiah di Indonesia. “Paham Syiah tidak bisa dibuat fatwa haram karena tidak menyentuh sisi fundamental keislaman di indonesia,” kata doktor lulusan Leiden University itu kepada sebuah media di Jakarta, Rabu, (25/1), dalam seminar “Membincang Syiah di Indonesia”. Karena itu, ia meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat harus berhati-hati dalam memutuskan fatwa Syiah. Karena kecenderungan paham syiah terus dipolitisasi untuk memenangkan dominasi sunni. (REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta, Rabu, 25 Januari 2012 14:40 WIB). Perbedaan keagamaan dalam tubuh  umat Islam, seperti antara Sunni dan Syiah merupakan keniscayaan yang tidak perlu menjadi konflik dengan kekerasan. “Keberagaman pandangan merupakan cermin bagi dinamika intelektualitas dan rasionalitas Islam sebagai agama yang bersifat universal dan responsif terhadap berbagai perkembangan”, kata KH Dr Muchlis M Hanafi MA dalam seminar “Mutiara-mutiara Al Qur’an dalam Kemelut Kekinian” yang berlangsung pada Selasa (31/1/2012) di Jakarta Islamic Centre (JIC).
Jauh sebelumnya, sudah ada deklarasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Islam Internasional di Amman dengan tema “Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern” yang mengundang 200 ulama terkemuka dunia dari 50 negara, di antaranya Dr. Muhammad Sa’id Ramadan Al-Buthi, Prof. Dr. Syaik Yusuf Qardhawi, Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Mufti Mesir Syeikh Ali Jum’ah, dan KH Ahmad Hasyim Muzadi, di Yordania pada 4-6 Juni 2005 (http://www.kingabdullah.jo/ main2.php?page_id=464), dan ditegaskan kembali dalam keputusan dan rekomendasi Sidang ke-17 Majma al-Fiqh al-Islam (lembaga di bawah Organisasi Konferensi Islam/OKI) di Yordania 24-26 Juni 2006, yang menyatakan tidak mengkafirkan setiap Muslim yang mengikuti salah satu dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali (empat mazhab Ahlussunah wal Jamaah), Ja’fari, Zaidiyah (dua mazhab Syiah), Ibadhiyah, dan Zhahiriyah. Demikian pula tidak boleh mengafirkan kelompok Muslim lain yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, rukun iman, menghormati rukun Islam, dan tidak mengingkari pokok-pokok ajaran agama (al-ma’lum min al-din bi al-dharurah). Penyatuan mazhab-mazhab tersebut mengingat sangat banyak persamaannya dalam segi prinsipil, dibandingkan dengan perbedaannya yang hanya menyangkut segi hal teknis (furu’iyyah). (http://sunnisyiah.blogspot.com/2011/03/risalah-amman.html)

Dalam sebuah situs webnya (www.fpi.or.id), Senin, 15 Februari 2010 lalu, DPP Front Pembela Islam (FPI), yang menempatkan diri sebagai ‘polisi’ agama di Indonesia, telah mengeluarkan pernyataan sikapnya terkait paham Syiah di Indonesia. FPI mengkafirkan dua golongan Syiah yang sudah menyimpang dari Ushuluddin yang disepakati semua Mazhab Islam, yaitu: (1) Syiah Ghulat yang menuhankan, maupun menabikan, Ali bin Abi Thalib dan meyakini Al-Qur’an sudah di-tahrif (dirubah, ditambah dan dikurangi), dan (2) Syiah Rafidhah yang tidak berkeyakinan seperti Ghulat, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka, baik lisan atau pun tulisan, terhadap para Sahabat Nabi SAW (Abu Bakar dan Umar), atau terhadap para isteri Nabi Muhammad SAW (Aisyah dan Hafshah).

Sedangkan Syiah Mu’tadilah yang tidak berkeyakinan Ghulat, dan tidak bersikap Rafidhah, mereka hanya mengutamakan Ali bin Abi Thalib di atas sahabat yang lain, dan lebih mengutamakan riwayat ahlul bait (keturunan Nabi SAW) daripada riwayat yang lain, mereka tetap menghormati para sahabat Nabi SAW, hanya saja mereka tidak segan-segan mengajukan kritik terhadap sejumlah sahabat secara ilmiah dan elegan. Kelompok Syiah golongan ketiga inilah yang disebut oleh Prof. DR. Muhammad Sa’id Al-Buthi, Prof. DR. Yusuf Qardhawi, Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Mufti Mesir Syeikh Ali Jum’ah dan lainnya, sebagai salah satu Mazhab Islam yang diakui dan mesti dihormati, dihadapi dengan da’wah, dan dialog, bukan dimusuhi (http://www.voa-islam.com/ news/indonesiana/2012 /01/03/17280/fpi-syiah-yang-sesat-menuhankan-ali-meyakini-quran-palsu-dan-mengafirkan-shahabat/).

Masalahnya, tidak jelas apakah Syiah yang diserang di Sampang itu memang pasti  sesat? Kalau anggota IJABI, menurut pengamatan intelijen, gerakan Syiah di Indonesia tersebut berusaha mengkonsolidasikan semua yayasan Syiah untuk meminimalisir perbedaan agar keberadaannya diterima oleh kalangan Muslim Indonesia untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Memang ada program lain dari mereka yang membuat bisa dicurigai pihak intelijen, yaitu berupaya mendirikan Marja al Taqlid, sebuah institusi agama yang sangat terpusat (marjaiyah, kepemimpinan agama), yang diisi oleh ulama-ulama syiah terkemuka, dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan pemerintah dan konstitusi Islam (Gerakan Islam Transnasional dan Pengaruhnya di Indonesia, di-release dan diedarkan oleh BIN). Hampir sama nadanya, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditetapkan di Jakarta tanggal 7 Maret 1984 M (4 Jumadil Akhir 1404 H) mengingatkan agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah, karena adanya perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan). (http://www.voa-islam.com/ news/indonesiana/2012/ 01/04/17291/ waspadai-para-tokoh-pembela-sekte-sesat-syiah-ini/)

Hal itu diterima, karena gerakan Syiah politik melawan penguasa otoriter yang pro Barat di kawasan Timur Tengah sedang marak berlangsung. Terakhir demo di Arab Saudi, negara dengan sistem monarki yang sangat kuat, telah berlangsung sejak Februari 2011 diawali dengan kelompok Syiah, minoritas di Saudi, menuntut kebebasan lebih bagi warga Syiah dalam menjalankan hak-hak beragama mereka. Aksi demo yang terjadi di tengah maraknya seruan melalui facebook, bisa jadi sebagai kelanjutan dari Musim Semi Arab (Arab Spring). Dua pemerintahan di Timur Tengah, Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Al dan Presiden Mesir Hosni Mubarak, sudah tumbang di tangan rakyatnya sendiri (http://makassar.tribunnews.com/2011/03/06/rakyat-arab-saudi-demo-raja).

JALALUDDIN RAKHMAT DALAM SEBUAH COVER BUKUNYA. “Jalaluddin Rakhmat menyebutkan Amerika Serikat (AS) berada dibalik kerusuhan Syiah di Madura. Kepentingan Amerika Serikat ikut andil dalam beberapa konflik agama di dunia, termasuk di Indonesia, muncul pasca revolusi Iran yang selalu menentang negara adikuasa tersebut”. (download)“

Siapa di balik perpecahan Sunni-Syiah ini?

Karena itu, siapa sebenarnya yang mengambil keuntungan dari perpecahan Sunni-Syiah di Indonesia sekarang ini? Dalam sebuah kesempatan di Sekretariat IJABI, Kemang, Jakarta, Sabtu (31/11/2011), Jalaluddin Rakhmat menyebutkan Amerika Serikat (AS) berada dibalik kerusuhan Syiah di Madura. Kepentingan Amerika Serikat ikut andil dalam beberapa konflik agama di dunia, termasuk di Indonesia, muncul pasca revolusi Iran yang selalu menentang negara adikuasa tersebut.“Jadi dalam hal ini Amerika berperan dalam konflik agama di Indonesia,” ungkap Kang Jalal –sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat– seperti dikutip Liputan.com (http://www.fimadani.com/tokoh-syiah-amerika-berperan-dalam-konflik-sunni-syiah/)

Pendapat lain, muncul dari pengamat intelejen AC Manullang, yang mengatakan bahwa konflik di Sampang, yang mengakibatkan terbakarnya pesantren milik Syiah, tidak bisa dilepaskan dari persaingan Amerika Serikat dan China dalam memperebutkan gas di Madura. “Saya menduga, konflik ini bukan hanya faktor perselisihan Sunni-Syiah, tetapi ada kepentingan besar yang menginginkan Madura menjadi tempat konflik, karena saat ini, China sudah menguasai kawasan ini terutama sektor gas,” kata pengamat intelijen, AC Manullang seperti diwartakan sebuah situs berita, Selasa, 3 Januari 2012 (www.itoday.co.id). AC Manullang mensinyalir Amerika tidak suka keberadaan Cina yang sudah menguasai sumber gas di Madura. Selain itu, pada kesempatan lain Manullang mengatakan berdasarkan pengamatannya, intelijen asing Amerika, yakni Central Intelligence Agency (CIA), selalu memainkan isu-isu yang berbau Islam untuk menguji panas dinginnya politik di Indonesia (http://arrahmah.com/ read/2012/01/09/ 17324-ac-manullang-dari-pertarungan-faksi-gam- hingga-keterlibatan-cia.html).

Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan direktur CIA Bob Woodwards, mengungkapkan dalam sebuah buku berjudul “A Plan to Divide and Destroy the Theology”, bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Brant sendiri telah lama bertugas di bagian tersebut, akan tetapi ia kemudian dipecat dengan tuduhan korupsi dan penyelewengan jabatan. Menurut Brant, kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan politik-politik Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Pada mulanya Revolusi Iran itu dianggap hanya sebagai reaksi wajar terhadap politik Syah Iran. Dan setelah Syah tersingkir, Amerika berusaha lagi untuk menempatkan orang-orang mereka di dalam pemerintahan Iran yang baru agar dapat melanjutkan politiknya di negara salah satu penghasil minyak terbesar, setelah Saudi Arabia, Rusia, dan Libya.

Setelah kegagalan besar yang dialami Amerika dalam dua tahun pertama, dikuasainya Kedubes di Teheran dan hancurnya pesawat-pesawat tempur AS di Tabas, dan setelah semakin meningkatnya kebangkitan Islam dan kebencian terhadap Barat, juga setelah munculnya pengaruh-pengaruh Revolusi Iran di kalangan Syiah di berbagai negara –terutama Libanon, Irak, Kuwait, Bahrain, dan Pakistan– akhirnya para pejabat tinggi CIA menggelar pertemuan besar yang disertai pula oleh wakil-wakil dari Badan Intelijen Inggris. Inggris dikenal telah memiliki pengalaman luas dalam berurusan dengan negara-negara Arab itu.

Dalam pertemuan tersebut, Amerika sampai pada beberapa kesimpulan, di antaranya, bahwa Revolusi Iran bukan sekadar reaksi alami dari politik Syah Iran. Tetapi, terdapat berbagai faktor dan hakikat lain, di mana faktor terkuatnya adalah adanya sistem kepemimpinan politik berdasarkan agama (marjaiyah) dan ikatan melalui peringatan syahidnya Husein, cucu Rasulullah SAW, 1400 tahun lalu, yang diperingati oleh kaum Syiah secara meluas melalui upacara-upacara kesedihan. Sesungguhnya dua faktor ini yang membuat Syiah lebih aktif dibanding Muslimin lainnya. Dalam pertemuan CIA itu, telah diputuskan bahwa sebuah lembaga independen akan didirikan untuk mempelajari Islam Syiah secara khusus dan menyusun strategi dalam menghadapinya (http://www. victorynewsmagazine.com /ConspiracyAgainstJaffariSchoolofThoughtRevealed.htm).

Dengan itu, bisakah disimpulkan ada konspirasi global yang dipandu oleh Amerika, sebagai negara adikuasa yang merasa menjadi polisi dunia, untuk menghancurkan Islam secara sistematis dan terorganisir di seluruh dunia, termasuk Indonesia, agar bisa menguasai sepenuhnya kawasan yang mempunyai aset ekonomi berupa minyak dan gas, seperti Aceh, Madura dan Papua?

Masalahnya, kita memang mudah dihasut dengan menyebarkan perbedaan kecil yang bisa menjadi sumber kesalahpahaman penyulut kerusuhan massa. Seperti kata pepatah, “Tungau (kutu yang sangat kecil) di seberang laut nampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak”. Banyak sekali persamaannya antara Sunni dan Syiah, walaupun ada perbedaannya, mengapa harus menjadi masalah? Mungkin, karena kita senang berdebat yang cenderung menegakkan benang basah, untuk membenarkan pendapat sendiri selalu berusaha mencari kesalahan orang lain. Sebaiknya hentikan polemik antara tokoh-tokoh Sunni dengan Syiah mengenai kehebatan paham mereka masing-masing. Lebih baik berlomba dalam kebaikan memperbaiki kondisi umat yang sedang terpuruk sekarang ini, setelah ditinggalkan oleh para penjabat yang lebih senang memperhatikan kepentingan partainya sendiri.

-Tulisan ini disusun untuk sociopolitica, oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang. 

Kepentingan Di Balik Penyerangan Syiah (1)

“Kita sudah cukup banyak memiliki ajaran agama yang membuat kita saling membenci, tapi belum cukup ajaran yang membuat kita saling menyayangi”, Jonathan Swift, Penulis.

PERNYATAAN Menteri Agama Suryadharma Ali, usai rapat di Gedung DPR Jakarta, Rabu 25 Januari yang lalu, yang mengatakan aliran Syiah bertentangan dengan ajaran Islam benar-benar mengejutkan dan sangat disesalkan, karena dapat membuat konflik dalam kehidupan beragama semakin memanas. Suryadharma baru membaca dokumen lama, salah satunya adalah hasil Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Maret 1984 di Jakarta yang merekomendasikan umat Islam Indonesia agar waspada terhadap penyusupan paham Syiah yang berbeda dengan ajaran Ahli Sunnah Waljamaah, terutama dalam segi imamah (pemerintahan). Kementerian Agama RI juga pernah mengeluarkan surat edaran nomor D/BA.01/4865/1983 pada 5 Desember 1983 tentang golongan syiah dan menyatakan bahwa syiah tidak sesuai dan bahkan  bertentangan dengan ajaran Islam. “Atas dasar itu, Majelis Mujahidin Indonesia menyatakan bahwa Syiah bukan dari golongan Islam. Siapa saja yang menganggap syiah tidak sesat, berarti dia sesat,” kata Menag dalam siaran persnya. Padahal, beberapa hari sebelumnya ia mengatakan Syiah masih dalam koridor Islam.

Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Umar Shahab menyarankan agar Suryadharma meminta maaf atas pernyataan tersebut, karena dapat memicu tindakan yang tidak dikehendaki dari kelompok garis keras. Secara terpisah, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Said Agil Siraj setuju Menteri Agama meminta maaf. “Wahabi yang keras saja tidak menganggap Syiah itu sesat”, katanya (Koran Tempo, 27 Januari 2011). Ketua Dewan Pimpinan Harian Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab pun menyatakan belum memutuskan apakah Syiah di luar Islam atau tidak. Bahkan, Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar menegaskan Syiah tidak menyimpang dari ajaran Islam. Kemudian, dalam hasil pertemuan Dewan Syura atau Tanfidz IJABI dengan Dewan Syariat PPP, Jumat (27/1/12) malam, Suryadharma mengatakan tidak merasa pernah menyebut kelompok Syiah sebagai aliran sesat yang berada di luar Islam. Kelihatan, ada kekuatan penekan yang begitu kuat sehingga Suryadharma bersikap plinplan seperti itu.

Daya tarik Revolusi Islam Iran yang membangkitkan minat mempelajari Syiah
Jauh sebelumnya, Syiah non-politik, atau Syiah fikih, yang masuk ke Indonesia sejak awal abad 19, yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat, India, dan ulama-ulama dari Hadramaut,  sudah membaur dengan Sunni. Tidak dikenal adanya masjid eksklusif Syiah, sehingga mereka beribadah di masjid yang sama dengan kelompok Sunni. Bahkan, di tempat yang pengaruh Syiah cukup dominan, beberapa tradisi Syiah digunakan masyarakat sebagai suatu kebiasaan tradisi beragama yang dianggap sudah demikian adanya.

Pada awal 1980-an, Makmun, seorang kiai di Nangkernang, Desa Karang Gayam, Sampang, Madura, yang gemar mempelajari agama lewat Al-Quran dan kitab-kitab kuning mendapat kiriman sebuah surat kabar dari sahabatnya di Iran mengenai Ayatollah Ali Khomeini, imam besar Syiah Iran, yang meletuskan Revolusi Islam Iran tahun 1979. Keberhasilan Khomeini menumbangkan monarki Syah Iran Reza Pahlevi, pemerintahan saat itu yang menjadi anak emas Amerika di Timur Tengah, telah membuat banyak kalangan Islam terbelalak, dan menjadi momentum historis bagi tersebarnya ajaran Syiah ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Mengagumi sosok Khomeini tersebut, pada 1983 Makmun lantas mengirim keempat anaknya, Iklil Hilal (kini 41 tahun), Tajul Muluk (40), Roisul Hukama (39), dan Heni (37), ke Pesantren Yayasan Pesantren Islam (YPI) di Bangil, Pasuruan, yang memang dikenal beraliran Syiah. Pada 1991, anak-anak Makmun telah kembali ke Sampang. Dari keempat anaknya, hanya Tajul, bernama asli Ali Murtadha, yang melanjutkan sekolah di Arab Saudi pada 1993, namun karena terkendala biaya, sekolahnya berhenti di tengah jalan. Ia banting setir jadi pekerja serabutan dan menetap di sana hingga 1999.

Mengetahui Tajul pernah berguru agama hingga ke Saudi, sejumlah warga Nankernang meminta Tajul untuk mengajari anak mereka mengenai agama. Pada 2004, Tajul merintis pesantren Misbahul Huda yang mengajarkan Islam ala Syiah yang pengaruhnya cepat meluas, sehingga menimbulkan kecemburuan dari sejumlah tokoh masyarakat Nangkernang, terutama kiai yang beraliran Ahlu Sunnah wal Jamaah atau Sunni. Pada 2006, gesekan mulai terjadi dan kelompok pesaing Tajul mulai menuding Syiah sesat. Protes itu reda dengan sendirinya, dan warga pun melupakan soal Syiah tersebut. Namun, konflik terjadi lagi ketika acara Maulid Nabi yang digelar di Misbahul Huda pada April 2007, dihadang oleh ribuan warga yang protes. Selain itu, pada 2007 Tajul dan Roisul dilantik sebagai pengurus IJABI wilayah Sampang.

Namun, karena masalah pribadi dengan kakaknya, tahun 2009 Roisul keluar dari Syiah dan kembali ke aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah. Sejak itu pula Roisul gencar menjelek-jelekkan Syiah. Dan sebelum penyerangan pesantren Misbahul Huda yang lalu itu, menurut Iklil Hilal, sang abang, Roisul terlihat di tengah-tengah massa, namun pada saat penyerangan terjadi sudah pergi menghilang. (http://www.tempo.co/read/news/ 2012/01/09/078376042/ Kisah-Cinta-di-Balik-Bentrok-Syiah-Madura).

Sebenarnya, di belakang keberhasilan revolusi itu ada Ali Syariati, salah satu arsitek intelektual Revolusi Islam Iran yang mampu menggerakkan para pemuda dan kaum buruh untuk bergerak melakukan perlawanan terhadap rezim Pahlevi. Namun, dalam pemberitaan mengenai revolusi Iran tersebut, namanya tidak disebut-sebut. Tokoh yang muncul ke permukaan adalah Khomeini sang pemimpin spiritual dan sekaligus pemimpin tertinggi Iran, dan beberapa tokoh intelektual lain yang berada di barisan para ulama, seperti Murthadha Muthari dan Sayeed Hosein Nashr.

Ali Syariati, yang dibenci oleh sebagian ulama Iran, adalah tokoh yang berada di barisan para intelektual dan menggerakkan kampus-kampus di Mashad menentang pemerintah rezim Pahlevi yang represif. Namun pada sisi lain ia menjadi salah satu orang yang membenci ulama, karena menurutnya para ulama sebelumnya berkonspirasi dengan pemerintah. Ali Syariati dicari-cari oleh intelijen, dan akhirnya dibunuh oleh agen rahasia Iran, karena melalui tulisan serta gerakan politiknya ia dituduh sebagai otak utama dalam gerakan menentang pemerintah tersebut. Selain menggerakkan mahasiswa di Iran, ia juga menggerakkan mahasiswa Iran yang berada di Eropa, khususnya yang berada di Perancis. Bahkan, menyebar ke seluruh pelosok dunia Barat dan Timur, termasuk Indonesia (http://kedai-ilmu.blogspot.com/ 2011/03/ali-syariati-sosok-aktivis-tangguh.html).

Di Indonesia, walaupun mayoritas penduduknya bermazhab Sunni, yang jelas-jelas berbeda dengan Syariati yang Syiah, tetapi sebagian intelektual Muslim sudah mengenal pemikirannya lewat penerjemahan buku-bukunya sejak akhir tahun 1970-an. Di tahun 1980 bersamaan dengan penerjemahan dan kajian-kajian tentang Syariati, muncul kelompok “Kiri Islam”, baik dari LSM maupun aktivis Islam dari HMI, Masjid Salman ITB, dan Masjid Shalahuddin Yogyakarta. Pemikiran dan penafsirannya tentang agama, yang dekat dan berpihak pada rakyat kecil demi keadilan, yang diwujudkan dalam tindakan kongkrit, agaknya relevan dengan kondisi Indonesia waktu itu yang rakyatnya banyak hidup di bawah garis kemiskinan.

POSTER ANTI SYIAH DI INDONESIA. “Keberhasilan Khomeini menumbangkan monarki Syah Iran Reza Pahlevi, pemerintahan saat itu yang menjadi anak emas Amerika di Timur Tengah, telah membuat banyak kalangan Islam terbelalak, dan menjadi momentum historis bagi tersebarnya ajaran Syiah ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia”. Pada saat yang sama, “gerakan Syiah menjadi sasaran kecemburuan kelompok lain yang selama ini pasif”. (Download: penaminang.blogspot.com)

Dalam kekaguman para generasi muda kepada revolusi Iran menggulingkan Syah Iran yang pro Barat –walaupun tidak sepenuhnya sebagai revolusi Islam– kajian mengenai Syiah ikut berkembang, dan mendapat dukungan dari pemerintah Iran. Kajian mengenai Syiah juga mulai banyak dilakukan di beberapa kampus di Jakarta (Universitas Indonesia dan Universitas Jayabaya), dan Bandung (Universitas Padjadjaran dan ITB). Bersamaan dengan itu ada program beasiswa ke Qum, Iran. Namun, program itu tidak begitu berhasil, karena pada saat yang sama, berkembang pula gerakan pengajian di kampus-kampus dari kelompok tarbiyah (Ikhwan) yang lebih agresif. Pada tahun 1990-an kelompok Syiah mengubah strateginya dengan keluar dari kampus, dan mengembangkan dakwahnya langsung ke tengah masyarakat melalui kegiatan publikasi (penerbitan buku), pembinaan kelompok-kelompok intelektual dengan program beasiswa ke Qum, Iran, dan sebagian lagi mengembangkan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan.

Sejauh yang dapat diketahui, menurut H As’ad Said Ali, Wakil Ketua Umum PBNU, generasi program beasiswa ke Qum yang pertama, adalah Umar Shahab dan Husein Shahab, yang keduanya berasal dari YAPI, Bangil. Mereka pulang ke Indonesia tahun 1970-an, dan sejak awal 1980-an mengembangkan Syiah di kalangan kampus. Sejak 1981, gelombang pengiriman mahasiswa ke Qum semakin intensif, dan generasi alumni Qum kedua inilah yang sekarang banyak memimpin yayasan-yayasan Syiah, dan menjadi pelopor gerakan Syiah di Indonesia. Walaupun tidak banyak yang berhasil dikader dan menjadi tokoh, tetapi hasilnya cukup memadai, misalnya Agus Abubakar dan Sayuti As-Syatiri dari UI, Zulfan Lindan dari Universitas Jayabaya, Jakarta, dan Haidar Bagir dari ITB, Bandung.

Namun yang lebih menarik, di luar jalur binaan kedua tokoh alumni Qum tersebut, pada pertengahan 1980-an muncul Jalaluddin Rakhmat sebagai cendekiawan Syiah yang lebih terkenal. Dengan latar belakang dari keluarga Nahdliyyin (orang-orang NU), Cicalengka, Jawa Barat, karena gemar mempelajari ilmu agama, saat SMA Jalaluddin berkelana menjelajah ke beberapa pesantren di Jawa Barat, pernah bergabung Persatuan Islam (Persis), aktif masuk dalam kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad, atau pemimpin masa depan. Ketika menjadi mahasiwa Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad, Bandung, bergabung dengan Muhammadiyah, dan dididik di Darul Arqam Muhammadiyah, dan pusat pengkaderan Muhammadiyah.

Setelah menjadi dosen, sampai dengan tahun 1998 kegiatan ekstra-kurikulernya dihabiskan dengan berdakwah dan melakukan pengajian, yang berlangsung di Masjid Salman ITB maupun di Masjid Jami Al-Munawarah, Bandung. Selain itu, ia membina jamaah di masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh gelandangan. Ia terkenal sangat vokal mengkritik kezaliman, baik yang dilakukan oleh elit politik maupun elit agama. Akibatnya ia sering harus berurusan dengan aparat militer, dan akhirnya dipecat sebagai pegawai negeri. Ia meninggalkan kampusnya dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Qum, Iran, untuk belajar Irfan (tasawuf) dan filsafat Islam dari para Mullah tradisional, yang mengantarkannya menjadi tokoh Syiah yang disegani. Pengenalannya dengan dunia tasawuf dimulai sejak tahun 1984, ketika bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshory diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984, ia bertemu dengan ulama-ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf, dan ia merasa kagum.

Sebagai aktivis Syiah, Jalaluddin  Rakhmat membidani dan menjadi Ketua Dewan Syura IJABI yang kini sudah mempunyai hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia  juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab.

Kini, gerakan Syiah di Indonesia diorganisir oleh Islamic Cultural Center (ICC), dipimpin Syaikh Mohsen Hakimollah, yang datang langsung dari Iran. Secara formal organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah. ICC Jakarta di bawah kendali dan pengawasan langsung Supreme Cultural Revolution Council (SCRC) Iran. Di bidang pendidikan ICC mengorganisir lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan penerbitan yang jumlahnya sangat banyak dan bertebaran di berbagai daerah. Sedangkan di bidang dakwah, ICC bergerak di dua sektor, yaitu: gerakan kemasyarakatan yang dijalankan oleh IJABI, dan  gerakan politik yang mengkhususkan bergerak di bidang mobilisasi opini publik dijalankan oleh Yayasan OASE. Sedangkan untuk bidang gerakan politik dan parlemen, dikomandani oleh sejumlah tokoh, dengan cara menyebarkan kader ke sejumlah partai politik.

Sebagai motor gerakan kemasyarakatan, IJABI hingga sekarang memiliki struktur yang telah meluas secara nasional hingga ke Daerah Tingkat II. Tentu format yang demikian dapat menjadi kekuatan efektif untuk memobilisasi pengaruh dan kepentingan politik. Kader-kader IJABI selain telah banyak aktif di dunia kampus, kelompok-kelompok pengajian, lembaga-lembaga sosial dan media, di daerah-daerah juga telah banyak yang menjadi anggota parlemen. Di level daerah inilah, IJABI yang memiliki peranan penting sebagai simpul gerakan dakwah dan politik di masing-masing daerah, gerakan Syiah menjadi sasaran kecemburuan kelompok lain yang selama ini pasif.

Berlanjut ke Bagian 2

-Tulisan ini disusun untuk sociopolitica, oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang. 

Syiah, Dendam Lama Yang Dibangkitkan Kembali (2)

SECARA kultural, Syiah telah masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan Islam ke Nusantara melalui jalur perdagangan dan dakwah dalam bentuknya yang taqiyyah. Namun, seiring dengan pertikaian politik internasional, Syiah di Indonesia pun masuk dalam pengawasan intelijen negara. Menurut BIN (Badan Intelijen Negara), dalam “Gerakan Islam Transnasional dan Pengaruhnya di Indonesia”, gerakan Syiah di Indonesia terdapat dalam dua kubu, yaitu: (1) Syiah Politik, para pengikut ide-ide politik dan intelektual Syiah) untuk membentuk Negara Islam, dan (2) Syiah Non-Politik, para pengikut fiqhiyah syiah untuk membentuk masyarakat Syiah.

Walaupun kedua kelompok Syiah tersebut juga mengalami perselisihan, namun tidak mengarah kepada perpecahan, karena saling melengkapi.

Kubu pertama, Syiah Politik, adalah LKAB (Lembaga komunikasi Ahlul Bait) yang merupakan wadah para alumni al Qum. Kubu ini dimotori oleh ICC Jakarta yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah Republik Islam Iran (RII). LKAB membawahi Yayasan Al Munthazar, Fathimah Aqilah, Ar Radiyah, Mulla Sadra, An Naqi, Al Kubra, Al Washilah, MT Ar Riyahi dan gerakan dakwah Al Husainy. LKAB berkantor di Jalan Bintaro KODAM Grand Bintaro Jaksel.
Kubu kedua, Syiah Non-Politik, dipegang oleh IJABI. Dalam kubu ini metode taqiyyah kurang disenangi. Sebaliknya, IJABI tampak lebih pluralis. Hal ini terlihat dari beberapa tokoh Sunni yang menjadi pengikut IJABI. Kiblat IJABI, bukanlah ke Iran, melainkan Marja Lebanon di bawah pimpinan Ayatollah Sayyed Mohammad Hussein Fadlallah. Tokoh utama di Indonesia adalah Dr Jalaluddin Rahmat.

Para pengikut Syiah keturunan Arab melakukan gerakan dengan ber-taqiyyah, tidak mau berterus terang mengakui sebagai pengikut syiah, secara dhahir mereka tampil sebagai orang Syafii, seperti Habib Ali Baagil (otak pengeboman Gedung BEJ), Habib Husein Al Habsyi (Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia), Abdullah As Segaf (Ikatan Persatuan Ahlul Bait Indonesia), Habib Saleh Al Idrus (Majelis Dzikir Nurkhaerat Poso, tokoh perlawanan Poso), dan lain-lain. Jaringan Syiah di Jawa Timur berpusat di Ponpes YAPI Bangil pimpinan Ustad Husen Al Habsyi, sedangkan jaringan Syiah di Jawa tengah berpusat di Ponpes Al Hadi Pekalongan pimpinan Ahmad Baraqbah dan Toha Musawa. Di Yogyakarta bepusat di Yayasan Roushan Fikr yang dipimpin oleh Sofwan (kader Syiah radikal). (http://batikamin.wordpress.com/2012/01/02/mengenal-gerakan-syiah-di-indonesia-versi-intelijen/).

Mungkin itulah sebabnya, serangan terhadap Syiah nampaknya seperti mendapatkan “izin” dari aparat keamanan, karena menganggap Syiah sebagai salah satu gerakan radikal yang perlu diawasi. Begitu pula, penyerangan Yayasan Pesantren Islam (YAPI) Al-Ma’hadul Islam Bangil, Pasuruan, oleh kelompok yang mengaku Sunni (15/2/2011) berjalan tanpa antisipasi aparat yang tahu bahwa konflik tersebut sebelumnya sudah pernah terjadi. Karena itu, bentrok karena dakwah beda mazhab tersebut terus berlangsung sebagai konflik antara sesama massa yang mencari solusi sendiri melalui jalur kekerasan.

Skenario besar mengincar NU sebagai bagian dari efek domino gerakan radikal membersihkan agama

Nampaknya, setelah “berhasil” menggusur Ahmadiyah sebagai salah satu aliran ‘sesat’ dengan cara kekerasan dalam insiden Cikeusik, Banten, yang nampaknya “dibiarkan” pemerintah, diduga ada skenario besar dari kelompok radikal yang bergerak atas nama pemurnian agama, yang sekarang nampak mencoba merangkak ke Syiah, yang lebih dekat dengan NU sebagai sasaran utama. Bayangkan efeknya pernyataan populer almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cendekiawan NU, ketika mengatakan: “Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiai dalam tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah. Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. (Tempo.co.id, Rabu, 04 Januari 2012 | 08:04 WIB).

MASSA SYIAH IRAN 1979 MENGELU-ELUKAN AYATOLLAH KHOMEINI. Kaum Syiah di Indonesia terbagi dalam dua kubu, Syiah Politik dan Syiah Non-Politik. Tak selalu kiblatnya ke Iran. Kiblat kubu Non-Politik, “bukanlah ke Iran, melainkan Marja Lebanon di bawah pimpinan Ayatollah Sayyed Mohammad Hussein Fadlallah. Tokoh utama di Indonesia adalah Dr Jalaluddin Rahmat”. (foto download).

Karena itu, adalah sangat memprihatinkan bila terjadi tindak kekerasan terhadap muslim Syiah di Sampang, Madura, salah satu basis NU, dengan pembakaran sebuah pesantren Syiah karena dinilai sebagai ajaran sesat. Tindak serupa ini bukan yang pertama, baik di Madura maupun di daerah lain di provinsi yang sama, Jawa Timur. Sebelumnya, di Bondowoso, Pasuruan, Malang, dan Bangil pernah terjadi penyerangan terhadap muslim Syiah. Selama ini eskalasi konflik terjadi, horizon keislaman di Jawa Timur sangat kondusif. Aroma Islam toleran sangat kuat di provinsi ini. Kekhasan corak keislaman seperti ini tak lepas dari akar budaya Nahdlatul Ulama (NU) yang tertanam kuat.

Said Agil tidak menampik jika kemungkinan ada pihak luar yang turut campur dalam konflik-konflik di dalam negeri. Misal ada madzhab di dunia yang ingin ikut mencampuri keadaan umat Islam di Indonesia. “Kalau LSM atau lembaga sosial pasti ada LSM yang menjadi jaringan asing,” jelasnya (http://www.republika.co.id/berita/ regional/nusantara/12/01/03/lx7ulh-ketum-pbnu-pihak-ketiga-campur-tangan-bentrokan-syiah-di-sampang).

Hal itu dapat dipahami, karena selama ini Nahdatul Ulama (NU) ternyata tak luput dari tindak kekerasan kelompok Islam radikal. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencatat, dalam kurun waktu 2011, setidaknya sudah tiga kali terjadi serangan, baik fisik maupun lisan, terhadap NU di tiga kota.

Menurut Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Ali, di Jakarta, Senin 27 Juni 2011, salah satu obyek penyerangan adalah masjid. “Pernah terjadi di Ngawi, salah satu kelompok itu menyerang masjid NU,” kata As’ad. Penyerangan itu terjadi pada bulan Mei 2011 lalu dengan sasaran imam masjid. Serangan dilakukan karena imam masjid itu dianggap ahli neraka. Namun, serangan bisa dipadamkan dan kelompok radikal bisa diusir polisi dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), organisasi keamanan milik NU (Tempo.co.id, Senin, 27 Juni 2011 | 14:21 WIB)

Kekerasan lain terjadi di Solo. Radio MTA milik kelompok radikal menyiarkan dakwah dari pemimpin agama. Dalam siaran itu, sang pemimpin agama mengatakan mudah saja kalau ingin masuk neraka. “Cukup memperbanyak tahlilan dan ziarah kubur atau dengan kata lain menjadi kelompok musyrik,” begitu isi dakwah lewat radio itu, seperti dikutip As’ad. Menurutnya, walaupun tidak menyebut nama NU, penyebutan menjadi “ahli tahlil dan ziarah kubur” bisa dipastikan mengarah ke kelompok NU yang memang kental menganut dua tradisi itu.

Kelompok radikal ini menurut As’ad memang cenderung mengkafirkan kelompok lain yang berbeda ajaran dengan mereka. Ini memicu mereka melakukan serangan verbal maupun fisik. Tetapi serangan-serangan ini, kata As’ad, bisa dilakukan karena negara yang menganut paham kebebasan tak mampu bertindak apa-apa. As’ad menguatirkan serangan semacam ini bisa menjadi provokasi dan menjalar ke tempat-tempat lain jika pemerintah hanya diam. “NU belum bisa melakukan dialog dengan kelompok radikal karena belum dialog saja sudah dikafirkan,” kata As’ad.

Akankah hal ini bisa berakhir setelah diluncurkannya proyek deradikalisasi Badan Nasional Penanggulanggan Terorisme (BNPT) yang mulai beroperasi di negeri ini (11/6/2011) dengan dukungan 8 pimpinan lembaga/organisasi Islam, termasuk PBNU, dan Densus 88/AT sebagai eksekutor di lapangan? Atau, kelompok radikal akan beraksi lebih keras lagi menunjukkan kekuatan mereka yang sebenarnya?

Mengembalikan fungsi ulama sebagai pembina umat untuk bertoleransi demi persatuan bangsa

Pembiaran dan ketidakhadiran negara dalam sejumlah kekerasan sesama warga sipil yang mengakibatkan kelompok minoritas harus menanggung penderitaan harus segera diakhiri. Atau rakyat di negeri ini harus melindungi diri sendiri, seperti yang tertulis pada spanduk “Negeri Autopilot”.

Pemerintah, dalam hal ini  Kementerian Agama (Departemen Agama), harus kembali berfungsi sebagai lembaga tertinggi dalam pembinaan umat untuk bertoleransi demi persatuan bangsa. Penyerahan “mandat” kepada MUI nampaknya tidak berjalan dengan baik, karena sering sekali terjadi perbedaan pendapat antara MUI Pusat dengan MUI Daerah yang membuat umat semakin bingung. Banyak keputusan MUI Pusat yang tidak sampai atau tidak dijalankan oleh MUI Daerah, seperti klarifikasi Syiah bukan sebagai ajaran sesat. Dan, perbedaan pandangan (jika tidak mau dikatakan perseteruan) mengenai proyek deradikalisasi antara MUI pusat dengan MUI Kota Surakarta (Sabili,19 Januari 2012/ 25 Safar 1433).

Para pemuka agama haruslah mampu mengajak umat Islam agar tetap berpegang teguh pada Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW dengan menjadikan perbedaan di antara umat sebagai sebuah cara pandang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dialog ilmiah antara Sunni dan Syiah yang terjadi pada lapisan atas, harus menjadi tindakan operasional lapangan di lapisan bawah. Begitu pula dengan pimpinan partai Islam, seharusnya melihat masalah ini sebagai bagian program kerja untuk menarik simpati pemilih pada Pemilu yang akan datang.

-Ditulis untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.