DENGAN sekolah-sekolahnya –yang telah menghasilkan sejumlah kader bangsa yang sekarang ini tersebar di berbagai partai politik sebagai hasil dari hampir seabad perjalanan gerakan pembaruannya dalam beragama (tajdid)– seharusnya Muhammadiyah menjadi salah satu kekuatan penentu nasib negara ini. Namun, sebagai organisasi sosio-religius terbesar kedua di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah tidak melibatkan diri secara langsung dalam politik praktis. Warga Muhammadiyah tersebar di berbagai partai politik yang bahkan saling bersaing.
KH AHMAD DAHLAN. “Pendidikan yang dulunya sangat identik dengan budaya Arab (pesantren, madrasah), diperbaiki dengan mengadopsi cara Barat, siswa bersekolah dengan memakai celana”. (download rspkugombong.com)
Hal yang lebih menonjol dari Muhammadiyah sekarang ini justru gerakan amal usaha yang pragmatis. Banyak sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dulu dekat dengan masyarakat bawah –yang menjadi sasaran binaan pembaruan untuk kemajuan bangsa– sekarang justru berkembang menjadi sekolah mahal yang semakin tidak terjangkau lagi oleh umat kalangan bawah di perkotaan. Muhammadiyah telah menjadi kelompok elit yang menjauh dari basisnya semula, orang-orang yang lemah (mustadl’afin), kelompok akar rumput yang sangat membutuhkan pendidikan dan pengayoman untuk mengubah nasib.
Menjadi modern tanpa kehilangan jatidiri bangsa
Politik Etis (Etische Politiek) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad ke-20 M, yang mulai berlaku secara nyata di lapangan setelah Ratu Wilhelmina berpidato di Staten General pada tahun 1901, sering dianggap sebagai awal dari keterbukaan kesadaran berbangsa rakyat Indonesia.Politik Etis itu menggantikan sistem tanam paksa (kultuur stelsel) yang merupakan politik eksploitasi tak etis oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang dihentikan sejak tahun 1870. Snouck Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906), menyarankan agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan dalam tradisi yang paling baik dari Barat kepada elit pribumi, yang nantinya diharapkan menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
Sesuai dengan semangat Politik Etis tersebut, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) Continue reading Muhammadiyah: Islam Kota Yang Semakin Elit (1)→
SEBELUMNYA, pada tahun 1869 dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Al Azhar, Mesir, seorang mahasiswa, Muhammad Abduh, tertarik dengan ide pembaruan dunia Islam yang digagas oleh Al-Afghani. Sejak itu, Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, lahir di desa Mahallat Nash di kabupaten al-Buhairah, Mesir, pada 1849, banyak belajar dari Al-Afghani, yang kemudian menjadi pendukung utama gerakan Muslim di seluruh dunia untuk melawan stagnasi, kehancuran moral, despotisme politik, dan dominasi asing.
SYIAH MERASA DIDZALIMI….”dalam Syiah terbangun keakraban akibat deraan kesulitan, karena perlakuan represif dari penguasa setempat (Sunni) yang mencurigai mereka sebagai pemberontak, sampai-sampai harus bertakiyah segala. Di tengah kesulitan, muncul harapan perubahan nasib dengan datangnya Imam Mahdi,….”. (gambar download).
Kerjasama tokoh Syiah, Al-Afghani, dengan Sunni, Muhammad Abduh, juga terjadi pada era tahun 1950-an, pemimpin Ikhwanul Muslimin Hasan al-Bana (Sunni) melakukan kerjasama dengan Imam al-Qummi (Syiah). Setelah itu, pada 1954 Nawab Safawi, pemimpin gerakan Fida’iyyin Islam dari Iran, datang ke Kairo. Muhammad Ali al-Dhanawi, dalam bukunya Kubra al-Harakat al-Islamiyyah fil ‘Ash al Hadits, mengutip kata-kata Bernard Lewis, “Walaupun mereka (Fida’iyyin Islam) bermazhab Syiah, mereka percaya pada kesatuan Islam sama besarnya kepercayaan kaum Muslim Mesir yang Sunni. Di antara mereka terjalin komunikasi yang sangat lancar”. Menurut Dr Ishaq Musa al-Husaini dalam al-Ikhwanul Muslimin sejumlah pelajar dari Iran yang sedang belajar di Mesir ketika itu telah bergabung dalam organisasi tersebut. Ia mengungkapkan, di Irak pun banyak pemuka Ikhwanul Muslimin yang bermazhab Syiah (Islam Digest Republika, 12 Juni 2011).
Imam ke-12 sebagai senjata rahasia kebangkitan Syiah Sebenarnya, dengan perkiraan hanya sekitar 20 persen dari total umat Islam di dunia yang bermazhab Syiah, dengan konsentrasi terbanyak di Iran, dan Irak, sebenarnya tidak perlu ada ketakutan akan pengaruh Syiah ini di Indonesia yang mayoritas Sunni, kecuali kalau menilai kaum Syiah itu memang lebih berkualitas dan militan. Menurut Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan direktur CIA Bob Woodwards dalam sebuah buku berjudul A Plan to Divide and Destroy the Theology, yang membuat Syiah lebih aktif dibanding Muslimin lainnya, faktor terkuatnya adalah adanya sistem kepemimpinan politik berdasarkan agama (marjaiyah), dan ikatan melalui perayaan Asyura. Peringatan syahidnya Husein, cucu Rasulullah SAW, 1400 tahun lalu itu, selalu diperingati oleh kaum Syiah secara meluas sebagai upacara-upacara kesedihan yang mempersatukan (http://www.victorynewsmagazine.com/ConspiracyAgainstJaffariSchoolofThought Revealed.htm).
“Secara alami kita terkait dengan demokrasi.Kekebasan bertindak yang tidak disertai dengan kemampuan berpikir yang memadai, hanya akan menciptakan kekacauan ”, John Dewey, Filsuf.
SEKITAR tahun 1993 yang lalu, majalah Aula edisi November menurunkan berita menghebohkan mengenai pengungkapan Habib Hussein bin Abu Bakar al-Habsyi, pendiri pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam) Bangil, Pasuruan, masuk Syiah. Padahal, Habib Hussein dikenal sebagai ulama Sunni yang masyhur di kota Bangil, dan dianggap mumpuni di kalangan para habib. Berita yang dilansir majalah milik Nahdlatul Ulama itu bersumber dari surat rahasia Habib Hussein yang ditujukan kepada seseorang tokoh Syiah di Iran, yang menyatakan selama ini ia membuat kedok menyembunyikan ke-Syiah-annya (bertakiyah) sebagai strategi dakwah (Syiahali, Ahad, 27 Februari 2011).
DUABELAS IMAM SYIAH. “Dalam tradisi Nahdliyin juga dikenal membaca shalawat diba’ yang biasanya dibaca pada setiap malam Jumat. Pada shalawat tersebut disebutkan seluruh imam Syiah yang dua belas. Masyarakat Nahdliyin juga sangat menghormati ahlul bait, bahkan terkadang agak berlebihan”. Orang Nahdatul Ulama, Jawa pada umumnya, tidak berani mengadakan hajat menikahkan anak, atau berpesta, pada hari Asyura (10 Muharram), yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya Hussain bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW dan iman Syiah ketiga. Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid (alm), menyebut gejala itu sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah. (gambar download googlesearch)
Sejak itu, penganut Syiah tidak segan-segan lagi melakukan aktivitas dan pengajian Islam aliran (mazhab) Syiah secara terbuka. Pesantren YAPI memang dikenal sebagai yayasan yang tertua milik kelompok Syiah, dibanding yayasan-yayasan Syiah lainnya. Terungkapnya surat rahasia itu membuat masyarakat Bangil pun berbelok arah, banyak para asatidz dan santri kemudian keluar dari pesantren YAPI tersebut. Itulah awal dari perselisihan antara kelompok Sunni dan Syiah di Bangil dan sekitarnya. Tahun 2007, sekelompok masyarakat melakukan demo besar setelah shalat Jum’at menolak paham Syiah. Dan, berujung dengan penyerangan tiba-tiba pondok pesantren Alma’hadul Islam YAPI di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, YAPI Bangil oleh ratusan orang yang mengklaim dari kelompok ASWAJA (Ahlussunnah Waljamaah) beberapa waktu lalu (15/2/2011), yang mengakibatkan empat santri terluka di bagian kepala. Masalah ini berlanjut dengan penyerangan kelompok Syiah di Kecamatan Omben, Sampang, Madura (29/12/211). Continue reading Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (1)→
“Binatang buas tak membunuh demi kesenangan. Manusia satu-satunya yang memandang penyiksaan atas sesama ciptaan Tuhan sebagai hal yang menyenangkan”, James Anthony Froude, Sejarahwan.
TIDAK masuk akal sehat, bila sekelompok orang yang mengatasnamakan “pemurnian” agama mengambil alih tugas aparat untuk menghukum kelompok lain sesama agama, hanya karena berbeda paham dengan mereka. Dengan beringas dan merasa benar, mereka menghancurkan rumah, rumah ibadah kelompok lain yang menurut mereka sesat. Pada hal, mayoritas masyarakat tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut. Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi swasta, Jenderal TNI (Purn) Dr. Ir. Drs. Abdullah Mahmud Hendropriyono SH, SE, MBA, MH, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), menyebut Wahabi terkait dengan rentetan pemboman yang terjadi di negeri ini (Politik.kompasiana.com, Jakarta, December 2009 14:59)
Pada kesempatan lain, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj, dalam acara bedah buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama” yang digelar GP Ansor di Kampus Politeknik Batam, Minggu (5/2), menyatakan bahwa ajaran Salafi Wahabi yang mengajarkan kekerasan dan intoleransi tidak cocok dengan tradisi dan budaya Islam di Indonesia. “Wahabi mengajarkan ektrimisme dan kekerasan. Ajaran ini selangkah menuju terorisme,” kata Aqil. Menurutnya, Islam merupakan agama yang terintegrasi dengan tradisi dan budaya santun dan cinta damai. Sehingga Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi mengajarkan jalan jihad melalui aksi terorisme (Kaskus.us, Batam, Senin, 06 Februari 2012 , 01:31:00). Siapa Wahabi itu?
Dari pemurnian akidah menjadi gerakan sosial-politik
GERAKAN WAHABI. “Gerakan Salafiyah yang paling sukses secara politik adalah gerakan Islam militan yang dikenal sebagai Wahabi, didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ibnu Sulaiman at-Tamimi (1703-1791)”. Hempher meyakinkan Abdul Wahab bahwa orang-orang Islam yang sesat harus dibunuh. “……. dan satu-satunya cara ….. adalah dengan ‘tangan’ (yad), atau kekuatan”. (foto download).
Menyebut Wahabi (Wahhabi), tidak bisa dilepaskan dari gerakan Salafiyah, kelompok yang memahami agama seperti halnya yang dipahami oleh generasi terdahulu (salaf as-shalih). Setelah Baghdad –pusat peradaban Islam– dihancur-leburkan bangsa Mongol pada 1258, dunia Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, maupun moral. Kejahatan merajalela, penguasa tak berdaya, dan para ulama tak bisa berijtihad (berpendapat untuk menetapkan suatu fatwa) secara murni lagi. Pada pertengahan abad ke-13 M itu masyarakat Islam banyak yang menjadi penyembah kuburan nabi, ulama, dan tokoh-tokoh tarekat untuk berharap berkah para anbia (nabi) dan aulia (wali). Kaum Muslimin pada era kemunduran itu cenderung meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mereka terjebak dengan perbuatan syirik (mempersekutukan Tuhan) dan bid’ah (menyalahi ajaran yang benar), dan lebih percaya pada khurafat (menyeleweng dari akidah Islam) dan takhyul. Kondisi itu melahirkan sebuah gerakan yang dikenal dengan istilah Salafiyah.
Salafiyah, gerakan yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah (wafat 1328), penganut mazhab Hambali, berupaya untuk menghidupkan kembali ajaran kaum Salaf, generasi awal Islam, dengan tujuan agar umat Islam kembali kepada ajaran Al Qur’an dan hadis (al-ruju’ ila al Kitab wa al-Sunnah), serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar, dan segala bid’ah yang terselip di dalamnya. Ibnu Taimiyah berpendapat, tiga generasi awal Islam yang biasa disebut sebagai kaum Salaf, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat Nabi, kemudian tabi’in (generasi yang mengenal langsung para sahabat Nabi), dan tabi’ut (generasi yang mengenal langsung para tabi’in), adalah contoh terbaik untuk kehidupan Islam (Islam Digest Republika, 17 Juli 2011).
Dalam perkembangannya, gerakan tersebut dikenal juga sebagai gerakan tajdid (pembaruan) yang sebenarnya merupakan watak dari ajaran Islam. Selain memelihara ajaran Islam yang utuh, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, tajdid juga memecahkan masalah baru yang selalu muncul dalam masyarakat Islam sebagai akibat perkembangan zaman. Doktrin yang menonjol dari gerakan Salafiyah, antara lain, pintu ijtihad selalu terbuka sepanjang masa, taklid (ikut-ikutan tanpa mengetahui sumber hukumnya) diharamkan, serta diperlukan kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa. Karena itu, kaum Salafi yang benci terhadap bid’ah pun menghindar dari perdebatan yang tak berujung, seperti memperdebatkan masalah akidah.
Namun, usaha yang dilakukan para ulama untuk menindak tegas segala praktik menyimpang dari kemurnian Islam itu dengan cara santun, seakan-akan hilang ditelan arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang. Sampai dengan dimasukinya abad ke-19 M pun tidak banyak perubahan yang terjadi, dunia Islam benar-benar terpuruk dan terjebak pada taklid buta, dan mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, baik pendidikan, sosial, politik, maupun budaya. Hampir seluruh dunia Islam berada dalam cengkeraman penjajah. Saat itu, muncul tokoh baru yang menghidupkan dan mendirikan Salafiyah modern yang berbeda dengan era Salafiyah klasik. “Salafiyah modern intinya bersifat intelektual dan modernis, serta tujuannya lebih beragam”, tulis John L Esposito, guru besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat, dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern. Gerakan tajdid baru untuk mengembaikan Islam pada bentuk murninya, dan mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik Islam yang dirintis oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) ini pun segera menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Gerakan Salafiyah yang paling sukses secara politik adalah gerakan Islam militan yang dikenal sebagai Wahabi, didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ibnu Sulaiman at-Tamimi (1703-1791). Di sebuah dusun terpencil bernama Di’riyyah, Najd (Nejed), Jazirah Arab, Abdul Wahab mencetuskan sebuah paham yang mengakui pengikut ahl as-Salaf, oleh pengikutnya diberi nama al-Muslimun, atau disebut juga al-Muwahhidun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah SWT. Namun, paham tersebut lebih dikenal sebagai Wahabi, istilah yang diberikan oleh musuh-musuhnya yang melihat adanya perbedaan cara yang jelas dengan Salafiyah.
Menurut Abdullah Mohammad Sindi, seorang profesor Hubungan Internasional berkebangsaan Saudi-Amerika, dalam artikelnya ‘Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud‘, pemerintah Inggris turut andil dalam membidani gerakan Wahabi tersebut, dengan tujuan menghancurkan kekuatan Islam dari dalam, dan meruntuhkan Daulah Turki Ustmaniyah (Ottoman), yang waktu itu menjadi pemimpin negara-negara Islam. Prof Sindi merujuk ‘Hempher: The British Spy to the Middle East’, buku memoar Hempher, seorang anggota dinas rahasia Inggris yang berhasil menyusup menjadi mentor Abdul Wahab dalam ideologi dan strategi perjuangan. Untuk memudahkan tugasnya, Hempher berpura-pura menjadi seorang mualaf dengan nama Muhammad. Selama penugasan, sebagaimana yang diceritakan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, dan di situ pada tahun 1125 H ia bertemu dan bersahabat dengan Abdul Wahhab. Sejak saat itu, mereka berdua diceritakan pula menjalin persahabatan yang dekat.
Hempher mendekati Abdul Wahab dalam waktu yang relatif lama, memberinya saran, dana untuk pergerakan dan hadiah-hadiah lain yang menarik. Dengan cara yang licik ia berhasil mencuci otak Abdul Wahab, meyakinkan bahwa orang-orang Islam yang sesat mesti dibunuh, karena telah melakukan penyimpangan yang berbahaya. Karena melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik, mereka dianggap telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, dan satu-satunya cara adalah memperbaikinya dengan “tangan” (yad) atau kekuatan. Abdul Wahab yang terobsesi dan merasa bertanggung jawab untuk memurnikan dan mereformasi Islam, membentuk sebuah aliran baru untuk menyerang dan memberantas semua kebiasaan buruk yang ada dalam masyarakat Arab waktu itu. Hempher pun berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad bin Sa’ud, penguasa Di’riyyah, untuk mendukung gerakan Abdul-Wahhab.
Berlanjut ke Bagian 2
*Ditulis untuk sociopolitica, oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.