Tag Archives: Abdul Wahhab

Wahabi, Menghalalkan Kekerasan Atas Nama Agama (1)

“Binatang buas tak membunuh demi kesenangan. Manusia satu-satunya yang memandang penyiksaan atas sesama ciptaan Tuhan sebagai hal yang menyenangkan”, James Anthony Froude, Sejarahwan.

TIDAK masuk akal sehat, bila sekelompok orang yang mengatasnamakan “pemurnian” agama mengambil alih tugas aparat untuk menghukum kelompok lain sesama agama, hanya karena berbeda paham dengan mereka. Dengan beringas dan merasa benar, mereka menghancurkan rumah, rumah ibadah kelompok lain yang menurut mereka sesat. Pada hal, mayoritas masyarakat tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut. Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi swasta, Jenderal TNI (Purn) Dr. Ir. Drs. Abdullah Mahmud Hendropriyono SH, SE, MBA, MH, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), menyebut Wahabi terkait dengan rentetan pemboman yang terjadi di negeri ini (Politik.kompasiana.com, Jakarta, December 2009 14:59)

Pada kesempatan lain, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj, dalam acara bedah buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama” yang digelar GP Ansor di Kampus Politeknik Batam, Minggu (5/2), menyatakan bahwa ajaran Salafi Wahabi yang mengajarkan kekerasan dan intoleransi tidak cocok dengan tradisi dan budaya Islam di Indonesia. “Wahabi mengajarkan ektrimisme dan kekerasan. Ajaran ini selangkah menuju terorisme,” kata Aqil. Menurutnya, Islam merupakan agama yang terintegrasi dengan tradisi dan budaya santun dan cinta damai. Sehingga Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi mengajarkan jalan jihad melalui aksi terorisme (Kaskus.us, Batam, Senin, 06 Februari 2012 , 01:31:00). Siapa Wahabi itu?

Dari pemurnian akidah menjadi gerakan sosial-politik

GERAKAN WAHABI. “Gerakan Salafiyah yang paling sukses secara politik adalah gerakan Islam militan yang dikenal sebagai Wahabi, didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ibnu Sulaiman at-Tamimi (1703-1791)”. Hempher meyakinkan Abdul Wahab bahwa orang-orang Islam yang sesat harus dibunuh. “……. dan satu-satunya cara …..  adalah dengan ‘tangan’ (yad), atau kekuatan”. (foto download).

Menyebut Wahabi (Wahhabi), tidak bisa dilepaskan dari gerakan Salafiyah, kelompok yang memahami agama seperti halnya yang dipahami oleh generasi terdahulu (salaf as-shalih). Setelah Baghdad –pusat peradaban Islam– dihancur-leburkan bangsa Mongol pada 1258, dunia Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, maupun moral. Kejahatan merajalela, penguasa tak berdaya, dan para ulama tak bisa berijtihad (berpendapat untuk menetapkan suatu fatwa) secara murni lagi. Pada pertengahan abad ke-13 M itu masyarakat Islam banyak yang menjadi penyembah kuburan nabi, ulama, dan tokoh-tokoh tarekat untuk berharap berkah para anbia (nabi) dan aulia (wali). Kaum Muslimin pada era kemunduran itu cenderung meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mereka terjebak dengan perbuatan syirik (mempersekutukan Tuhan) dan bid’ah (menyalahi ajaran yang benar), dan lebih percaya pada khurafat (menyeleweng dari akidah Islam) dan takhyul. Kondisi itu melahirkan sebuah gerakan yang dikenal dengan istilah Salafiyah.

Salafiyah, gerakan yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah (wafat 1328), penganut mazhab Hambali, berupaya untuk menghidupkan kembali ajaran kaum Salaf, generasi awal Islam, dengan tujuan agar umat Islam kembali kepada ajaran Al Qur’an dan hadis (al-ruju’ ila al Kitab wa al-Sunnah), serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar, dan segala bid’ah yang terselip di dalamnya. Ibnu Taimiyah berpendapat, tiga generasi awal Islam yang biasa disebut sebagai kaum Salaf, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat Nabi, kemudian tabi’in (generasi yang mengenal langsung para sahabat Nabi), dan tabi’ut (generasi yang mengenal langsung para tabi’in), adalah contoh terbaik untuk kehidupan Islam (Islam Digest Republika, 17 Juli 2011).

Dalam perkembangannya, gerakan tersebut dikenal juga sebagai gerakan tajdid (pembaruan) yang sebenarnya merupakan watak dari ajaran Islam. Selain memelihara ajaran Islam yang utuh, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, tajdid  juga memecahkan masalah baru yang selalu muncul dalam masyarakat Islam sebagai akibat perkembangan zaman. Doktrin yang menonjol dari gerakan Salafiyah, antara lain, pintu ijtihad selalu terbuka sepanjang masa, taklid (ikut-ikutan tanpa mengetahui sumber hukumnya) diharamkan, serta diperlukan kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa. Karena itu, kaum Salafi yang benci terhadap bid’ah pun menghindar dari perdebatan yang tak berujung, seperti memperdebatkan masalah akidah.

Namun, usaha yang dilakukan para ulama untuk menindak tegas segala praktik menyimpang dari kemurnian Islam itu dengan cara santun, seakan-akan hilang ditelan arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang. Sampai dengan dimasukinya abad ke-19 M pun tidak banyak perubahan yang terjadi, dunia Islam benar-benar terpuruk dan terjebak pada taklid buta, dan mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, baik pendidikan, sosial, politik, maupun budaya. Hampir seluruh dunia Islam berada dalam cengkeraman penjajah. Saat itu, muncul tokoh baru yang menghidupkan dan mendirikan Salafiyah modern yang berbeda dengan era Salafiyah klasik. “Salafiyah modern intinya bersifat intelektual dan modernis, serta tujuannya lebih beragam”, tulis John L Esposito, guru besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat, dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern. Gerakan tajdid baru untuk mengembaikan Islam pada bentuk murninya, dan mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik Islam yang dirintis oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) ini pun segera menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Gerakan Salafiyah yang paling sukses secara politik adalah gerakan Islam militan yang dikenal sebagai Wahabi, didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ibnu Sulaiman at-Tamimi (1703-1791). Di sebuah dusun terpencil bernama Di’riyyah, Najd (Nejed), Jazirah Arab, Abdul Wahab mencetuskan sebuah paham yang mengakui pengikut ahl as-Salaf, oleh pengikutnya diberi nama al-Muslimun, atau disebut juga al-Muwahhidun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah SWT. Namun, paham tersebut lebih dikenal sebagai Wahabi, istilah yang diberikan oleh musuh-musuhnya yang melihat adanya perbedaan cara yang jelas dengan Salafiyah.

Menurut Abdullah Mohammad Sindi, seorang profesor Hubungan Internasional berkebangsaan Saudi-Amerika, dalam artikelnya ‘Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud‘, pemerintah Inggris turut andil dalam membidani gerakan Wahabi tersebut, dengan tujuan menghancurkan kekuatan Islam dari dalam, dan meruntuhkan Daulah Turki Ustmaniyah (Ottoman), yang waktu itu menjadi pemimpin negara-negara Islam. Prof Sindi merujuk ‘Hempher: The British Spy to the Middle East’, buku memoar Hempher, seorang anggota dinas rahasia Inggris yang berhasil menyusup menjadi mentor Abdul Wahab dalam ideologi dan strategi perjuangan. Untuk memudahkan tugasnya, Hempher berpura-pura menjadi seorang mualaf dengan nama Muhammad. Selama penugasan, sebagaimana yang diceritakan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, dan di situ pada tahun 1125 H ia bertemu dan bersahabat dengan Abdul Wahhab. Sejak saat itu, mereka berdua diceritakan pula menjalin persahabatan yang dekat.

Hempher mendekati Abdul Wahab dalam waktu yang relatif lama, memberinya saran, dana untuk pergerakan dan hadiah-hadiah lain yang menarik. Dengan cara yang licik ia berhasil mencuci otak Abdul Wahab, meyakinkan bahwa orang-orang Islam yang sesat mesti dibunuh, karena telah melakukan penyimpangan yang berbahaya. Karena melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik, mereka dianggap telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, dan satu-satunya cara adalah memperbaikinya dengan “tangan” (yad) atau kekuatan. Abdul Wahab yang terobsesi dan merasa bertanggung jawab untuk memurnikan dan mereformasi Islam, membentuk sebuah aliran baru untuk menyerang dan memberantas semua kebiasaan buruk yang ada dalam masyarakat Arab waktu itu. Hempher pun berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad bin Sa’ud, penguasa Di’riyyah, untuk mendukung gerakan Abdul-Wahhab.

Berlanjut ke Bagian 2

*Ditulis untuk sociopolitica, oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

Jalan Terorisme: Dari Fundamentalisme Islam Hingga Radikalisme (2)

“Sejak pertengahan 1980-an, ruang publik Indonesia menyaksikan kemunculan pemuda-pemuda berjenggot (lihyah) dengan jubah (jalabiyyah), serban (imamah) dan celana tanggung di atas mata kaki (isbal), maupun perempuan-perempuan dengan baju lebar hitam dan penutup muka (niqab)”. “Negara juga sudah mengesahkan undang-undang tentang Haji, Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadoqah (Bazis). Tapi, undang-undang ini berlaku sebatas dimaksudkan agar pengelolanya tidak melakukan penyimpangan, dan tidak berlaku secara imperatif atau memberikan sanksi bagi umat Islam yang tidak berhaji dan berzakat. Implikasi sosialnya adalah, jenis ancaman hukuman menurut syariat Islam seperti qishash, rajam dan hudud tidak bisa diterapkan”.

Akar Ideologi dan Teologi. Meskipun cenderung dicampuradukkan satu sama lain, menurut Adlin M. Sila, sebenarnya fundamentalisme, radikalisme dan terorisme, adalah tiga faham yang saling bertolak belakang satu sama lain dari segi istilah dan atau terminologi. Gerakan fundamentalisme adalah gerakan untuk kembali ke ajaran Islam awal. “Beberapa gerakan keagamaan Islam yang menganut ideologi ini adalah wahhabisme dan salafisme. Wahhabisme yang berasal dari pelopornya yaitu Abdul Wahhab, menyuruh untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sementara salafisme adalah kelompok Islam yang menganjurkan untuk mengikuti praktek ibadah kelompok salaf (atau generasi terdahulu, di mulai dari zaman Nabi Muhammad hingga tiga generasi sesudah beliau). Sedangkan radikalisme dan terorisme adalah metode yang digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan suci yang diperjuangkan atas nama agama”.

Gerakan salafi yang kini lagi mewabah, kata Adlin, hanyalah varian dari gerakan Islam kontemporer. Gerakan ini merupakan metamorfosis dari gerakan yang sudah ada sebelumnya, atau melanjutkan gerakan sebelumnya seperti wahhabisme yang dianut oleh organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah pada awal masa pergerakan. Dalam konteks tersebut, munculnya gerakan Islam yang mewacanakan syariat Islam pada era reformasi ini selalu saja menarik perhatian. Ini juga menegaskanbahwa gerakan semacam ini bukanlah barang baru, tetapi sesuatu recurrent dan menjadi bagian sejarah.

Gerakan Salafi menurut Noorhaidi Hasan PhD, turut meramaikan aktivisme keislaman di Indonesia sejak pertengahan 1980-an ketika ruang publik Indonesia menyaksikan kemunculan pemuda-pemuda berjenggot (lihyah) dengan jubah (jalabiyyah), serban (imamah) dan celana tanggung di atas mata kaki (isbal), maupun perempuan-perempuan dengan baju lebar hitam dan penutup muka (niqab). Secara eksplisit dengan menyebut diri Salafi, mereka memperkenalkan sebuah varian Islam yang sangat rigid, yang terfokus pada upaya pemurnian tauhid dan praktek keagamaan eksklusif yang diklaim sebagai jalan untuk mengikuti jejak keteladanan Salaf al-Salih, generasi awal Muslim. Masalah-masalah yang tampaknya sederhana, seperti jalabiyyah, imamah, lihyah, isbal, dan niqab, menjadi tema utama yang selalu muncul dalam wacana keseharian mereka. Awalnya, mereka menolak segala bentuk aktivisme politik (hizbiyyah), yang mereka pandang sebagai bid’ah, dan dengan demikian bercorak ‘kesunyian a-politis’ (apolitical quietisme). Dengan mengibarkan bendera gerakan dakwah Salafi, mereka berupaya untuk menarik garis pemisah yang tegas dari masyarakat lainnya, dengan cara mengelompokkan diri secara eksklusif di dalam ikatan-ikatan komunitas yang menyerupai enclave.

Sementara itu menurut uraian Adli Sila lebih jauh, gerakan Salafi adalah sebuah gerakan yang tidak monolitik, tetapi beragam, terutama dari segi metode mengamalkan ideologi Salafi sebagai manhaj (jalan hidup). Keberagaman ini muncul tidak semata-mata oleh perbedaan pengamalan ideologi Salafi, tetapi oleh kondisi sosial politik yang mengitari munculnya gerakan tersebut. Ditambah lagi, konstruksi fatwa ikut berperan, yang dihasilkan oleh para tokoh Salafi dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam saat itu. Intinya, manhaj gerakan islam di Indonesia tidak bersifat genuine, ada resepsi keberagamaan lokal tapi terdapat juga pengaruh gerakan keagamaan transnasional.

Inspirasi awal Gerakan Salafi di Indonesia. Untuk kasus Indonesia, munculnya gerakan Salafi juga dipengaruhi oleh dinamika penerapan syariat Islam dari awal sejarah terbentuknya negara Republik Indonesia. “Konon, terbentuknya Departemen Agama dianggap sebagai bentuk kompromi antara negara dan agama. Kondisi ini menggolongkan Indonesia sebagai negara non-agama dan non-sekuler sekaligus”, kata Adli. Prateknya, selain mengeluarkan undang-undang Peradilan Agama yang hanya menyangkut persoalan perdata (private), dan tidak dalam masalah pidana (public), negara juga sudah mengesahkan undang-undang tentang Haji, Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadoqah (Bazis). Tapi, undang-undang ini berlaku sebatas dimaksudkan agar pengelolanya tidak melakukan penyimpangan, dan tidak berlaku secara imperatif atau memberikan sanksi bagi umat Islam yang tidak berhaji dan berzakat. Implikasi sosialnya adalah, jenis ancaman hukuman menurut syariat Islam seperti qishash, rajam dan hudud tidak bisa diterapkan. “Ini yang menjadi persoalan”. Negara menganggap sudah mengakomodasi prinsip-prinsip syariat Islam, sementara sebagian tokoh Islam menganggapnya belum.

Pada tataran politik, usulan amandemen Pasal 29 UUD 1945 yang berpihak pada Piagam Jakarta pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 dan 2002 ditolak. Praktis, hal ini menutup kemungkinan syariat Islam berlaku secara nasional. Secara tidak langsung, keputusan Sidang Tahunan MPR ini dianggap sebagai sebuah kemandegan politik dalam memperjuangkan aspirasi syariat Islam pada tingkat nasional. Tapi bagi sebagian tokoh gerakan Islam, terutama yang berorientasi politik, tidaklah demikian. Mereka yakin bahwa masih ada saluran politik lain dalam memperjuangkan syariat Islam, yaitu melalui jalur otonomi khusus. Saat ini, tidak sedikit daerah yang sedang mengusulkan kepada DPR-RI untuk diberikan otonomi khusus pelaksanaan syariat Islam, atau minimal diberikan hak untuk menerbitkan peraturan daerah (Perda) bernuansa syariat Islam. Tuntutan yang lagi populer di berbagai daerah ini jelas memiliki ‘alasan’. Melalui mekanisme ini, daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan homogen, memungkinkan untuk menerapkan syariat Islam dalam sistem pemerintahan dan kemasyarakatannya, karena telah memperoleh perlakuan khusus. “Menariknya, klaim ‘khusus’ yang biasanya dituntut oleh komunitas Muslim minoritas di negara Barat ini, muncul di Indonesia. Negara dengan mayoritas penduduknya Muslim”.

“Meskipun bidang agama masih menjadi kewenangan pemerintah pusat dan tidak diserahkan ke daerah, tapi ini tidak berlaku apabila daerah yang bersangkutan memiliki kekhususan”. Sesuai amandemen tahap II UUD 1945 Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah, negara mengakui keberadaan daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan undang-undang, seperti yang sudah diberlakukan di Naggroe Aceh Darussalam (NAD), sebagai yang tertuang dalam UU No.18 Tahun 2000. Dari undang-undang ini, NAD sudah menghasilkan ratusan Qanun (baca; Perda syariat Islam) yang terkait dengan masalah-masalah seperti Qanun khalwat, minuman keras, perjudian dan lain sebagainya. Tapi, persoalan yang krusial untuk diselesaikan oleh tokoh-tokoh penggagas syariat Islam di berbagai daerah adalah bagaimana mengintegrasikan konsep otonomi khusus ini dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Keraguan muncul mengingat NAD belum memperlihatkan hasil maksimal sebagai daerah percontohan otonomi khusus pelaksanaan syariat Islam. Padahal, jika otonomi khusus di NAD ini berjalan bagus, akan memungkinkan daerah lain untuk memperoleh hak yang sama”. Tapi, jika sebaliknya yang terjadi, tertutup kemungkinan daerah lain untuk memperolehnya. Kondisi sosial keamanan yang lebih kondusif semestinya menjadi variabel penentu bagi sebuah daerah untuk menjadi percontohan pelaksanaan syariat Islam. Di luar yang disinggung Adli, tentu, masih banyak variabel lain, di antaranya variabel keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang meskipun beragama Islam, tidak menghendaki syariat Islam dijalankan dengan kekuatan dan campur tangan kekuasaan pemerintahan.

Dalam sejarah Indonesia, terutama pada abad ke-13, raja-raja yang telah memeluk Islam senantiasa berusaha menegakkan syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Bahkan, setelah penjajah Belanda berkuasa, kerajaan-kerajaan Islam masih berusaha menegakkannya. Selanjutnya, muncul kelompok dalam kalangan Islam yang membawa pemikiran ‘baru’ (tajdid, pembaharuan) dalam beribadah, yang sifatnya sangat politis dan mengancam keberadaan Belanda di Nusantara. Lewat politik pecah belah, pemerintah Belanda mendekati kalangan adat yang merasa terancam dengan kehadiran ide pembaharuan ini. Syariat Islam lalu dibatasi hanya pada masalah ibadah. Sedangkan dalam bidang-bidang lain seperti politik, tidak mendapat tempat. Kebijakan pemerintah kolonial ketika itu didasarkan pada nasehat Christian Snouck Hurgronje yang memperlakukan teori receptie (resepsi), yaitu syariat Islam hanya bisa berlaku setelah diresepsi atau dibingkai oleh hukum adat. Atau, syariat Islam hanya boleh diberlakukan jika raja dan kepala-kepala adat, sebagai pemuka masyarakat, memberikan persetujuan.

Berlanjut ke Bagian 3