MESKIPUN penghitungan resmi belum dilakukan, tetapi quick count yang dilakukan beberapa lembaga survey bersama sejumlah stasiun televisi, telah mengindikasikan bahwa pasangan baju kotak-kotak Jokowi-Basuki (Ahok) memenangkan pemilihan umum kepala daerah DKI Jakarta kali ini. Keunggulan perolehan suara Jokowi-Ahok berkisar 5 sampai 8 persen di atas perolehan pasangan Fauzi-Nachrowi yang lebih dikenal sebagai pasangan Foke-Nara. Keunggulan ini seakan melanjutkan keunggulan pasangan baju kotak-kotak itu pada putaran pertama.

Hasil putaran pertama maupun putaran kedua ini telah menjungkir-balikkan sederetan ‘dalil matematika’ –katakanlah demikian– dan atau perhitungan-perhitungan konvensional tradisional dalam praktek pemilihan umum kepala daerah selama ini. Misalnya, perhitungan faktor kekuatan partai pendukung calon yang tampil. Dalam pilkada kali ini, Foke-Nara didukung secara keroyokan oleh partai-partai berkonstituen besar untuk Jakarta, yakni Partai Demokrat dan koalisinya. Sementara itu Jokowi-Ahok didukung oleh hanya satu partai tergolong besar yakni PDIP dan sebuah partai yang lebih kecil yakni Gerindra Prabowo Subianto, plus sempalan-sempalan. Tidak mengherankan bila menjelang putaran pertama, boleh dikatakan seluruh lembaga survey menyimpulkan bahwa pasangan Foke-Nara paling unggul.
Pada putaran kedua, pasangan Foke-Nara mendapat tambahan dukungan resmi dari PKS setelah kandidat mereka Hidayat Nur Wahid dan Didiek J. Rachbini tersisih. PKS dikenal sebagai partai yang tradisional memiliki konstituen yang cukup kuat di Jakarta. Dengan sendirinya, juga mendapat dukungan dari partai-partai se-koalisi seperti Golkar, PPP, PKB dan juga PAN (meskipun sedikit terbelah). Bila semata-mata menghitung faktor kekuatan partai pendukung, di atas kertas, secara matematis, Foke-Nara bisa memenangkan putaran kedua ini. Tapi dukungan politik bukan soal matematis. Ada begitu banyak faktor yang bekerja, termasuk ketidakefektifan organisasi partai. Bisa saja para pimpinan partai melakukan negosiasi macam-macam, entah dalam konteks politik uang atau politik dagang sapi posisi dalam kekuasaan, tapi belum tentu seluruh massa pendukung bisa dituntun seperti sapi yang dicocok hidungnya. Pada sisi lain, yang sering diabaikan, adalah taktik dan strategi yang jitu, yang dalam hal tertentu bisa menandingi kekuatan uang yang belakangan makin diberhalakan.
Tentu, para pengamat bisa memaparkan lebih banyak ulasan dan analisa tentang kenapa Jokowi-Ahok unggul, walau tidak terlalu berjarak jauh di depan Foke-Nara. Ulasan ringkas ini juga tidak berpretensi untuk memberikan satu analisa yang mendalam. Biarlah pekerjaan ini, meminjam istilah ampuh yang digunakan Fauzi Bowo dalam kampanye untuk masa jabatannya yang pertama 5 tahun lampau, kita “serahkan pada ahlinya”. Termasuk mengenai masih tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih, yang menurut beberapa lembaga survey berkisar antara 30-35 persen. Kita hanya ingin menambahkan beberapa catatan sederhana dan mungkin ringan-ringan saja. Semacam intermezzo.
SALAH satu ‘azimat’ keberhasilan pasangan Jokowi-Ahok adalah penggunaan baju kotak-kotak dengan warna yang kontras, sedikit jreng dan oleh banyak orang pada mulanya dianggap sedikit norak. Baju kotak-kotak ini mirip baju koboi atau baju ndeso (country) di Amerika Serikat. Baju kotak-kotak ini berhadapan di lapangan dengan baju putih-putih pendukung Foke-Nara yang terkesan Islami. Ternyata baju kotak-kotak ini memikat hati, baik yang tua maupun yang muda. Corak ini terkesan lebih santai, lebih bebas, tidak jaim. Ketika dalam tempo yang singkat baju kotak-kotak ini menjadi trend setter, terlihat gejala kepanikan di kalangan luar Jokowi-Ahok. Seorang anggota Bawaslu DKI begitu ngotot agar baju kotak-kotak ini dilarang digunakan di hari pemungutan suara 20 September 2012. Ini sesuai dengan peraturan bahwa pada hari pemilihan para pendukung tak diperkenankan menggunakan identitas kelompok. Tapi bagaimana bisa mendalihkan baju kotak-kotak sebagai identitas resmi, karena ia tidak pernah dinyatakan demikian oleh para penggunanya. Kecuali di dada baju itu misalnya disemati pin atau tanda pengenal atau yang semacamnya. Ini kan baju kotak-kotak biasa yang bisa menjadi milik dan digunakan siapapun? Akhirnya, pihak yang berwewenang memutuskan jalan tengah, kedua kelompok pendukung bisa menggunakan baju kesukaan mereka masing-masing di hari pemungutan suara. Pendukung Foke-Nara menggunakan baju putih-putih, sedang pendukung Jokowi-Ahok memakai baju kotak-kotak. Tapi, ketika menuju ke tempat pemungutan suara, justru Jokowi mengenakan baju putih.
Namun yang terpenting dari keberhasilan Jokowi sebenarnya, adalah bahwa ia lebih mampu berbahasa yang lebih mudah ditangkap rakyat, lebih sederhana, tidak muluk-muluk dan tidak complicated. Kelihatannya dengan gaya itu ia bisa lebih dekat dengan rakyat dan karenanya lebih berpeluang mendapat rasa percaya. Riwayatnya selama menjadi walikota Solo, rajin dan rutin mendekati rakyat, serta keberhasilan-keberhasilannya telah menyebar sebagai berita sampai Jakarta. Ini sangat memenuhi rasa hampa yang selama ini dirasakan kalangan akar rumput di Jakarta, yang kurang disapa, merasa kurang diperhatikan dan tak punya jalan untuk mengadu kepada pemimpinnya, dan dengan demikian merasa dalam keadaan tanpa harapan.

Bahasa tubuh dan penampilannya pun lebih jelata, kurang necis dan parlente, tapi lebih spontan. Tidak jaim. Ini penting, soalnya publik pun agaknya mulai bosan kepada tokoh-tokoh jaim dan artifisial yang sudah terlalu banyak di pentas politik Indonesia belakangan ini. Walau, ada juga yang bilang ia punya profil yang sedikit agak Obama-an namun dalam tampilan yang kurang parlente. Jauh dari kenecisan ala Fauzi Bowo atau SBY. Dalam sebuah gambar plesetan yang beredar di media sosial, Obama pun ikutan memakai baju kotak-kotak.
Pokoknya, Jokowi adalah manifestasi serba pembalikan dari kelaziman yang ada saat ini. Ini adalah sesuatu yang bisa memenuhi rasa dahaga rakyat. Semoga Jokowi bisa menjadi seperti apa yang diharapkan banyak orang, terutama kalangan akar rumput. Bisa bersih-bersih Jakarta, lahir batin. Meskipun masih agak skeptik, tak ada salahnya menyampaikan harapan seperti itu. Dan di lain pihak, semoga pula PDIP lebih memberikan kesempatan Jokowi berimprovisasi, bukan sebagai sais delman politik apalagi sebagai kuda politik. Jokowi yang berhasil, bisa membantu pencitraan kembali PDIP yang dulukala menamakan diri partainya wong cilik, bukan sebaliknya. Untung saja, spanduk yang berbunyi “Jokowi menang, Megawati Presiden” tak sempat terlalu disimak dengan konotasi yang tak menguntungkan. Semoga pula, Ahok bisa mendampingi Jokowi dengan baik. Isu agama dan etnis minoritas, yang ditujukan pada dirinya dalam pertarungan politik yang baru lalu, tak cukup ‘berhasil’ rupanya. Tetapi barangkali, Ahok pun tak perlu lagi untuk selalu mengungkit kisah ketertindasannya sebagai etnis dan penganut agama minoritas. Kalau diulang-ulang terus, kan bisa jadi bumerang juga?
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).
Dulu saya pernah menulis mengenai hal nie..
tapi time tu x cukup maklumat… artikel nie benar2 menjelaskan
isu mengenai hal nie.. terima kasih atas penulisan awak…