Bernafas Dalam Lumpur Penistaan Agama

PERBUATAN menista agama dan nabi, telah terjadi sepanjang usia agama itu sendiri. Dilakukan oleh mereka yang berada di luar agama, maupun oleh mereka yang justru juga berada di dalam agama itu. Akan tetapi jangankan terhadap agama dan para nabi, Tuhan pun tak luput dari penistaan manusia, di luar lingkup keyakinan maupun di dalam keyakinan atas diriNya. Munculnya film “Innocence of Muslims” adalah salah satu peristiwa terbaru dalam rangkaian panjang tersebut. Tadinya pembuat filmnya diidentifikasi sebagai seorang Jahudi bernama Sam Bacile, tetapi berita terbaru –yang dikutip VIVAnews dari The Wall Street Journal– mengungkapkan bahwa pembuat sebenarnya adalah seorang warganegara AS keturunan Mesir bernama Nakoula Basseley. Ia seorang  penganut Koptik yang minoritas di negeri piramida itu, tetapi tidak taat.

PENYERANGAN KONSULAT JENDERAL AMERIKA DI BENGHAZI. “Barangkali, betapa pun geram dan marah, kita patut mendengarkan suara-suara yang bijak seperti yang disampaikan KH Sholahuddin Wahid dan KH Said Agil Siraj. Kita seakan coba dipancing bagai kerbau masuk berkubang ke dalam lumpur penistaan agama. Jangan menjadi sedungu kerbau, agar tak terjerumus”. (Reuters/Esam Al-Fetori)

Sejarah mengajarkan kepada kita, tatkala seorang nabi –dialami semua nabi– mulai menyampaikan pesan dan ajaranNya, ia segera dihadapkan pada ketidakpercayaan manusia dan penistaan sebagai penyebar kebohongan. Para nabi dari dua agama besar yang terakhir, Kristen dan Islam, menghadapi penentangan paling dahsyat yang pernah ada sepanjang sejarah peradaban manusia. Jesus Kristus (Nabi Isa) bahkan akhirnya mati di tiang penyaliban, sementara Nabi Muhammad harus menghadapi peperangan dengan orang-orang yang tak percaya padanya di negeri gurun asalnya sendiri.

Peristiwa penyaliban Nabi Isa itu pun, harus diakui, hingga kini kerapkali masih mengendap dalam pikiran sejumlah non Kristiani sebagai luka lama persilangan pandangan yang menjadi laten. Keyakinan itu misalnya ada di kalangan Islam tradisional, maupun menurut Injil Barnabas. Perbedaan keyakinan itu mulai terjadi berabad-abad yang lampau, sejak peristiwa itu diragukan sebagai suatu kebenaran, oleh sebagian dari yang berbeda kepercayaan. Justru, dalam keyakinan Kristen, penyaliban itu menjadi bagian utama dari konsep penebusan dosa-asal manusia. Maka, persoalan yang satu itu telah menjadi bagian yang belum juga terselesaikan dari pertentangan panjang yang usang di antara umat dua agama dan juga di kalangan Kristen sendiri terkait dengan pemaparan Injil Barnabas. Dan karena ilmu pengetahuan kerapkali sangat dijauhkan dari praktek kehidupan keagamaan, maka upaya mencari kebenaran agama banyak terbentur, untuk tidak mengatakannya tak pernah dilakukan. Keyakinan akan kebenaran selalu dikaitkan dengan keimanan. Padahal, sesungguhnya ilmu sejarah bisa membantu pencarian kebenaran, karena dalam setidaknya tiga ribu tahun terakhir ini, sebagian besar umat manusia telah berada dalam masa sejarah dan masa pencatatan setelah dikenalnya budaya tulis menulis dalam peradaban manusia.

SELAKU pemegang hegemoni dalam kendali dan keunggulan peradaban manusia –politik, ekonomi dan teknologi– dalam tiga ratus tahun terakhir sejak revolusi industri, Barat seringkali tergelincir dalam arogansi the winner. Kolonialisme adalah salah satu produk dari rasa unggul itu, yang hingga kini tetap berlangsung dalam bentuk yang dipercantik melalui proses sofistikasi. Dalam kompleks superioritas, sebagian masyarakat negara maju merasa serba unggul  dari masyarakat negara tidak maju yang dikonotasikan berada di luar peradaban Barat. Dalam pilihan agama pun, banyak di antara mereka yang merasa lebih unggul. Banyak yang dihinggapi kecenderungan sikap memperolok-olok, bukan hanya budaya tapi juga agama orang lain, terutama pada abad-abad lalu –yang untuk sebagian masih berkelanjutan hingga kini. Dalam bentuk yang kronis, memperolok-olok menjadi sikap penistaan. Bagi yang agak dungu dan picik, fenomena keunggulan mewujud sebagai fanatisme, yang pada akhirnya memberi dirinya pretensi bahkan hak untuk melakukan penistaan. Apalagi bila itu semua berpadu dengan xenophobia –yang sedikit atau banyak, dimiliki oleh setiap bangsa.

Tapi jangankan terhadap agama lain, di beberapa masyarakat Barat itu, agama Kristen yang dianut mayoritas masyarakat di sana pun seringkali mengalami olok-olok dan penistaan, maupun berbagai bentuk kesangsian yang serius terhadap agama. Sejumlah kontroversi, bisa ditemukan misalnya dalam film-film “The Passion of The Christ, The Messiah” dan “The Da Vinci Code”. Film yang disebut terakhir ini, yang dibuat berdasarkan novel karya Dan Brown, menurut kesimpulan Dr Erwin Lutzers teolog dari Chicago –berdasarkan pengamatan yang dilakukannya– “merupakan penyerangan paling serius terhadap Kekristenan yang pernah saya saksikan”. Novel dan film itu mengungkapkan salah satu sisi yang sangat manusiawi dan duniawi dari Jesus Kristus, yakni hubungan asmara dengan perempuan bernama Maria Magdalena dan menghasilkan keturunan. Begitu pula dalam “Innocence of Muslims” Nabi Muhammad digambarkan sebagai seorang ‘penipu’ dan ‘tokoh perayu’.

Nama Maria Magdalena, ada dalam injil dalam empat peristiwa, yang di satu pihak dianggap sebagai tokoh-tokoh yang mungkin berbeda satu sama lain, tetapi pada pihak lain dianggap sebagai satu perempuan yang sama. Maria Magdalena yang paling dikenal sebelum munculnya “The Da Vinci Code”, adalah seorang perempuan yang dianggap pelacur dan hendak dirajam dengan batu oleh orang-orang Jahudi. Ia lari meminta perlindungan Jesus. Kepada mereka yang hendak merajam, Jesus berkata “Siapa di antara kalian yang tidak berdosa, melempar pertama”. Orang-orang yang ingin merajam itu, mundur. Maria Magdalena lainnya, ialah Maria dari Betania, saudara Lazarus yang dibangkitkan dari mati. Dalam suatu perjamuan ia mengurapi kaki Jesus dengan minyak dan menyekanya dengan rambutnya. Kemudian, Maria Magdalena, perempuan yang digambarkan telah dibebaskan dari tujuh roh jahat dan menjadi pengikut setia. Dia lah perempuan yang dengan setia berdiri di kaki tiang penyaliban Jesus dan menyaksikan Jesus bangkit dari kematian. Namun dengan semiotika terhadap ayat-ayat dalam injil, muncul kesimpulan bahwa Maria Magdalena adalah satu.

THE DA VINCI CODE. “Adalah menarik, bahwa sekeras-kerasnya reaksi masyarakat di Barat terhadap penghujatan dan penistaan maupun kesangsian terhadap Kristen, masih selalu kalah kerasnya oleh reaksi penganut-penganut agama di Timur kala menghadapi hal yang sama terhadap agama mereka”. (matt-thornton.net)

ADALAH menarik, bahwa sekeras-kerasnya reaksi masyarakat di Barat terhadap penghujatan dan penistaan maupun kesangsian terhadap Kristen, masih selalu kalah kerasnya oleh reaksi penganut-penganut agama di Timur kala menghadapi hal yang sama terhadap agama mereka. Reaksi terkeras penganut Kristen dalam perbedaan agama, adalah kobaran Perang Salib pada beberapa abad lampau. Tetapi, semangat mengolok-olok masih bertahan terutama di kalangan kaum fanatik dan yang sedikit dungu. Kaum fanatik dan dungu di lingkungan agama mana pun sama saja buruknya, dan sama-sama memerlukan pencerahan dari ulama yang bijak dan cerdas serta kaum intelektual yang religius dan rasional sekaligus.

Dalam beberapa dekade terakhir, bisa disaksikan –dan harus diakui– betapa reaksi sebagian umat Islam selalu jauh lebih keras dan emosional pada setiap peristiwa-peristiwa kontroversial keagamaan. Dalam peristiwa buku Salman Rushdie ‘The Satanic Verses’, beberapa tahun lalu, 1989, pemimpin tertinggi Republik Islam Iran Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa mati untuk sang penulis. Alasan Rushdie bahwa buku itu adalah proses pencarian dirinya tentang kebenaran agama yang tak lain adalah untuk menyelamatkan Islam dari pengaruh setan, tak diterima. Sejak fatwa itu, Rushdie hidup dalam pengejaran para eksekutor yang betul-betul memang dikerahkan. Beberapa waktu yang lalu diberitakan Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Ayatollah Ali Khamenei dan Presiden Ahmadinejad, berdasarkan suatu kajian ulang terhadap buku Salman Rushdie, ingin membatalkan fatwa mati itu. Tetapi kelompok militan mengatakan fatwa Khomeini itu tak bisa dibatalkan, bahkan sebuah yayasan di Iran yang dipimpin Hassan Sane’i menaikkan janji memberi hadiah dari 2,8 juta USD menjadi 3,3 juta USD bagi siapa pun yang bisa mengeksekusi Salman Rushdie. Beberapa hari yang lalu, Salman Rushdie tampil di layar CNN menjelaskan bahwa di masa lampau sebenarnya ada kesalahpahaman terhadap bukunya itu.

Menghadapi kasus film “Innocence of Muslims“, pecah sejumlah reaksi dengan kekerasan di berbagai negara Islam yang kebetulan memang sedang dalam situasi tidak stabil karena pergolakan di dalam negeri. Dalam penyerangan Konsulat Jenderal AS di Benghazi Libya, Duta Besar AS untuk negara itu tewas sebagai korban. Reaksi-reaksi keras lainnya, dengan korban jiwa, juga terjadi di Lebanon, Mesir. Tunisia dan Sudan, yang kesemuanya adalah wilayah sedang bergolak. Di sana release film tersebut –yang beredar luas melalui internet dan bisa di unduh antara lain di jaringan Youtube atau melalui Google– telah menjadi pemicu, meskipun tercampur aduk dengan faktor-faktor politik, khususnya yang terkait dengan sentimen anti Amerika. Kegeraman masyarakat terhadap penistaan Islam, ikut dimanfaatkan sebagai ladang bermain para pengikut rezim lama yang ditumbangkan –di Mesir dan Libya misalnya– untuk menggoyang rezim baru yang dianggap naik karena skenario Amerika. Di Saudi Arabia tidak ada demo protes, tetapi Raja Saudi Arabia menyampaikan penegasan berupa peringatan bahwa boleh saja menista agama lain, tetapi jangan sekali-sekali pernah mencoba menista Islam. Suatu pernyataan yang sangat taktis untuk menjaga ketokohannya sebagai pemimpin negara Islam,namun bisa menimbulkan kesalahpahaman serius dalam pergaulan antar agama.

Sejumlah pemuka masyarakat dan tokoh Islam di Indonesia, lebih mampu berpikir jernih dan terukur, meskipun ada juga yang sangat emosional. Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, KH Sholahuddin Wahid yang adalah seorang insinyur lulusan ITB, sangat memahami bahwa film ‘Innocence of Muslims’ telah menimbulkan kemarahan umat Islam. Tetapi ia mengingatkan agar jangan terpancing secara emosional sehingga bertindak anarkis. Begitu umat Islam bertindak anarkis, itu akan memperkuat klaim bahwa Islam memang adalah agama yang mengajarkan kekerasan. “Pemerintah harus mengirimkan nota protes ke pemerintah Amerika karena telah membiarkan warganya membuat film yang menghina umat Islam”, ujarnya Sabtu 15 September sebagaimana dikutip sejumlah media sosial. Ketua Umum PB-NU, KH Said Aqil Siraj, mengutuk penistaaan melalui film tersebut. Tapi dengan bijak ia menyarankan agar film tersebut tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi dengan tindakan yang justru kontra-produktif. “Dari dulu sampai sekarang, selalu ada orang yang tidak suka kepada Rasulullah, tetapi kita jangan sampai menghabiskan energi untuk itu, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa”, katanya kepada Antara. “Nabi Muhammad SAW merupakan figur yang mulia dan sempurna”, kata Aqil Siraj, “Allah akan menjaga nama baik beliau, baik ketika masih hidup atau sesudah wafat”.

Pernyataan dengan dosis lebih tinggi, adalah yang disampaikan Ketua MUI Pusat KH Ahmad Cholil Ridwan. Ia dikutip oleh media sosial mengatakan “Umat Islam yang menghina Nabi Muhammad itu hukumnya murtad. Orang murtad itu disuruh taubat. Kalau tidak mau taubat, ya dihukum mati”. Ia mencontohkan Salman Rushdie. Untuk Sam Bacile yang kemudian diketahui bernama Nakoula Basseley, yang bukan Islam tapi penganut Kristen Koptik Mesir, ia menganjurkan dikenakan fatwa mati.

Dan tentu saja, sejumlah tokoh organisasi yang radikal seperti FPI atau Hizbut Thahrir, bersuara lebih keras lagi. Tetapi tak mungkin mereka tak bersuara keras, karena itu memang mereka perlukan untuk menjaga nama mereka tetap mendapat perhatian dan tetap eksis.

Barangkali, betapa pun geram dan marah, kita patut mendengarkan suara-suara yang bijak seperti yang disampaikan KH Sholahuddin Wahid dan KH Said Agil Siraj. Kita seakan coba dipancing bagai kerbau masuk berkubang ke dalam lumpur penistaan agama. Jangan menjadi sedungu kerbau, agar tak terjerumus. Harus cerdas menghadapi mereka yang menista agama kita. Jangan menjadi picik dan dungu lalu bereaksi secara dungu pula dan harus bernafas dalam lumpur penistaan itu. Biar mereka sendiri yang berkubang di dalam sana, karena olok-olok dan kepicikan mereka sendiri. (socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Advertisement

3 thoughts on “Bernafas Dalam Lumpur Penistaan Agama”

  1. Bukankan semuanya mulai dari Kartun hingga Film diambil/berdasar sumbernya? yakni alquran dan hadits-haditsnya? Lalu mengapa protes? Membingungkan nih perilaku para muslim…barbar

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s