Awal Dari Sebuah Akhir Bagi Joko Widodo “Man of Contradictions”?

BERBAGAI berita mengenai pembusukan kekuasaan di masa Joko Widodo telah begitu  merasuk ke tengah publik. Bagaikan garam meresap di ikan asin. Seruan mundur dan gagasan pemakzulan pun sudah berulang-ulang disuarakan dari berbagai arah. Tetapi, tak ada tanda-tanda terdapatnya satu langkah awal menuju pemakzulan itu.

Keberanian para penentang masih maju mundur di depan pagar represif yang memagari kekuasaan sang presiden. Namun perlu juga dicatat bahwa bertahannya suatu kekuasaan terjadi tak selalu karena sang penguasa atau seorang presiden begitu kuatnya, melainkan karena adanya perimbangan kekuatan di sekitarnya yang saling menghitung satu sama lain.

Sedang dalam dunia mitos, ada faktor-faktor masa laku wahyu dan kesaktian. Tentu ini boleh saja sekedar diketahui, namun pasti tak perlu diperhitungkan, kecuali bila suatu mitos telah tertanam jauh di dalam kepala mayoritas rakyat.

Para pembisik dan intrik istana Babad Tanah Jawi

Dalam Babad Tanah Jawi –yang separuh sejarah dan separuh legenda– tak ada raja tanpa kesaktian. Raja Pajang, Sultan Adiwijaya misalnya, yang dikenal juga sebagai Joko Tingkir, adalah seorang sakti mandraguna. Mampu menaklukkan siluman buaya dengan tangan kosong. Pemilik keris Kyai Sengkelat dan punya kekuatan batin untuk menghalau seluruh ilmu sihir lawan. Adiwijaya memiliki anak angkat yang menjadi raja bawahan di Mataram, bernama Panembahan Senopati. Sang anak angkat juga sakti dan memiliki sejumlah benda pusaka. Punya tombak Kyai Plered, memiliki mestika wesi kuning yang selalu ada di sakunya dan sejumlah jimat penguat lain tersemat di baju yang menutupi sekujur tubuhnya. Ada pula pusaka Bende Mataram yang bila dibunyikan akan menaikkan moral pasukan dalam pertempuran dan meruntuhkan semangat lawan.

Suatu ketika sejumlah pembisik di lingkaran istana Pajang, memberi tahu Sultan Adiwijaya bahwa Senopati sedang menyusun kekuatan untuk memberontak. “Serbu Mataram,” kata para ahli kesultanan, “padamkan api selagi masih kecil.” Namun Sultan Adiwijaya ingat wirayat atau sumpah Sunan Giri: “Barang siapa yang memulai berbuat salah, maka ia akan terkalahkan.” Tetapi agaknya hasutan telah bekerja dua arah di antara ayah dan anak angkat itu. Suatu ketika dikabarkan Panembahan Senapati membawa 800 orang tentaranya menuju Pajang. Maka Sultan Adiwijaya mengirim tentara Pajang ke arah Barat untuk menyongsong. Tetapi ada keraguan di hati Adiwijaya. “Benarkah Senapati akan memberontak padaku dengan pasukan yang hanya 800 orang itu?” Padahal, tentara Pajang berkali lipat jumlahnya. Sementara itu, berbincang dengan Ki Juru Martani, Panembahan Senopati yang terlihat sedang masygul, pun mengeluh, “Saya telah tersudutkan paman, tak ada pilihan lain. Adakah jalan untuk menghindarkan peperangan ini?”.

Ternyata Dia yang di atas menentukan lain. Menjelang perang di pagi hari, angin kencang dingin bertiup dari Laut Selatan membuat tentara Pajang menggigil kedinginan. Disusul asap mengepul dari Gunung Merapi. Dari kepundannya keluar api dan batu, lahar dingin mengalir ke Sungai Opak yang memisahkan tentara Pajang dan Mataram. Begitu narasi Babad Tanah Jawi –yang ditulis ulang Dr Soewito. Gelindingan batu memporakporandakan pasukan Pajang. Sultan Adiwijaya memilih pulang ke Pajang. Tetapi di tengah perjalanan, gajah tunggangannya berulah, membuatnya jatuh terbanting ke bumi. Terpaksa ditandu hingga ke Pajang. Jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Ternyata Panembahan Senopati tak berbuat sesuatu memanfaatkan situasi. Ia kembali ke Mataram tak mau terlibat dalam pertengkaran para putera pewaris, siapa menjadi pengganti Adiwijaya di tahta. Dalam kisah ini, kesaktian tak menentukan. Mungkin memang tak ada. Alam lebih menentukan.

Dalam puja, kultus dan mitos

Presiden Joko Widodo yang saat ini baru setahun memasuki periode kedua kepresidenannya, kerapkali diperlakukan dan dinarasikan bagai tokoh sakti dalam versi baru Babad Tanah Jawi. Meski menjadi pemimpin Indonesia masa modern, seringkali tergambarkan dalam suasana pengkultusan dan pemitosan. Para pemuja menggambarkan, hanya sang tokoh yang mampu menyelamatkan Indonesia. Ada pula yang mengatakan Joko Widodo adalah rahmat Tuhan bagi Indonesia. Joko Widodo sendiri pernah menyatakan, “Saya Jokowi, bagian dari Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di negara RI yang memegang teguh UUD 1945. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan.” Disambut seorang pemuja, “Sebagai rahmat Tuhan untuk Indonesia, Jokowi akan diberikan ‘kemampuan Ilahi’ untuk menyelesaikan semua rencana Tuhan bagi Indonesia. Doa saya untuk Jokowi, mampu mengemban amanah agung dari yang maha kuasa untuk menyelesaikan janji-janji kemerdekaan 1945.”

Seorang influencer – lebih tepatnya buzzer, atau meminjam istilah Majalah Tempo, sebenarnya sekedar pendengung– secara berlebih-lebihan mengatakan bahwa “mimpi Soekarno pelan-pelan diwujudkan oleh seorang Jokowi.” Dan suatu ketika para pemuja Joko Widodo sempat tergelincir karena sebuah berita bohong bahwa situs Bloomberg telah menobatkan Joko Widodo sebagai pemimpin terbaik di Asia-Pasifik tahun 2016. Lalu mengelu-elukannya secara massive. Padahal penulis artikel “Who’s Had the Worst Year? How Asian Leaders Fared in 2016, And some of the headaches they face in 2017” di Bloomberg, David Tweed, membantah telah menyebut dan menempatkan Joko Widodo sebagai Kepala Negara terbaik di kawasan tersebut.

BUKU MAN OF CONTRADICTIONS. Tetapi sungguh menakjubkan juga, dalam persilangan politik dan kontradiksi di internal kekuasaan yang sesungguhnya sudah dalam kadar yang cukup dahsyat, serta ekonomi yang di ambang resesi, Joko Widodo justru seolah masih kuat bertahan pada posisinya di periode kedua ini. Anomali politik kekuasaan ala Indonesia atau menanti sebuah historical by accident? (Gambar-gambar original download)

Man of Contradictions

Sebuah buku baru berjudul “Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia” sesuai rencana, semestinya telah beredar sejak 1 September 2020. Buku terbitan Penguin ini berdasar paper Lowy Institute, Australia, yang ditulis Ben Bland. Tetapi garis besar isinya telah terpublikasi menjelang pertengahan Agustus, melalui ulasan James Massola di The Sydney Morning Herald. Massola menyebut isi buku ini semacam warning bagi Australia tentang presiden pragmatik di negara tetangga, bernama Joko Widodo. Buku ini menarasikan jejak kebangkitan Joko Widodo dari awal kehidupan miskin di sebuh gubuk di bantaran sungai, menuju keberhasilan sebagai pengusaha mebel dan akhirnya terjun ke dalam kehidupan politik. Dari seorang manusia biasa kalangan rakyat di luar lingkaran kekuasaan yang menapak ke dalam kekuasaan lalu menjelma sebagai seorang otoriter –yang dekat dan saling tergantung dengan elite politik di Jakarta.

Para pemimpin barat dari Canberra ke Washington, menurut Bland, sangat membutuhkan mitra baru untuk membantu menghadapi China di bawah Xi Jinping. Negara barat sempat menaruh ekspektasi tinggi terhadap Joko Widodo sebagai penyeimbang China di kawasan. Tetapi terkesan bahwa Joko Widodo pada hakekatnya tak punya keinginan, selain memang tak berkaliber untuk itu.

Buku itu mencatat deretan kegagalan Joko Widodo selama enam tahun. Tentu bukan pengetahuan baru bagi publik Indonesia, namun telah mengkonfirmasi adanya kegagalan itu. Bahwa gaya dan situasi pemerintahannya terkadang kacau. Bahwa Joko Widodo tak suka analisis dan lebih suka tindakan dan keputusan. “Tak ada analisis yang tepat tentang infrastruktur mana yang akan paling meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas. Hanya mendorong proyek tergantung di mana dia berkunjung saja.” Artinya, tak mengenal azas skala prioritas.

Bland mengkritik penanganan Joko Widodo terhadap pandemi virus Corona. Menampilkan banyak sikap terburuk: mengabaikan nasihat ahli, kurang kepercayaan kepada masyarakat sipil, dan kegagalan mengembangkan strategi yang koheren. Hasilnya, dua juta pengangguran, kemunduran potensial satu dekade dalam mengekang kemiskinan dan penampilan sistem kesehatan yang lemah. Bland menyebut angka penularan dan kasus kematian yang terjadi telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara dalam soal pandemi..

Rencana Joko Widodo membangun ibu kota baru di Kalimantan –yang “memperlihatkan sifatnya yang ganjil dan gaya pemerintahannya yang tak terorganisir”– serta lepas perhatian dan sikap abainya terhadap kebijakan luar negeri, juga disorot. “The President has little regard for the traditional diplomatic showpieces” – sang presiden kecil minatnya terhadap kegiatan diplomatik yang lazim, tulis Bland. “Dalam lima tahun pertamanya, Jokowi tak pernah menghadiri satu pun Sidang Umum PBB”. Bland agaknya tak begitu paham, Joko Widodo sebenarnya terkendala dalam kiprah internasional oleh keterbatasan kemampuan berbahasa Inggeris.

Awal dari sebuah akhir?

Di atas kertas, dengan segala kelemahan dan kegagalan kepemimpinan yang dimilikinya, menurut “dialektika” sistem demokrasi, semestinya riwayat kekuasaan Presiden Joko Widodo secara objektif sudah berada di titik-titik akhir. Peluang dan alasan pemakzulan, terbuka. Usai, tanpa perlu menunggu 20 Oktober 2024 yang menjadi akhir masa jabatan resmi pada periode kedua kepresidenannya. Sama nasib dengan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid yang harus mundur sebelum periode kepresidenan resmi mereka secara normal berakhir.

Tetapi sungguh menakjubkan juga, dalam persilangan politik dan kontradiksi di internal kekuasaan yang sesungguhnya sudah dalam kadar yang cukup dahsyat, serta ekonomi yang di ambang resesi, Joko Widodo justru seolah masih kuat bertahan pada posisinya di periode kedua ini. Anomali politik kekuasaan ala Indonesia atau menanti sebuah historical by accident? (media-karya.com/socio-politica.com)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s